EDISI: JANUARI - FEBUARI 2007
Daftar Isi EDITORIAL
Redaksi Asasi Edisi Ini: Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi Agung Putri Wakil Pemimpin Redaksi: Amiruddin al Rahab Redaktur Pelaksana Eddie Riyadi Redaktur Supriyadi W. Eddyono, Syahrial W.M., Triana Dyah, Wahyu Wagiman Sekretaris Redaksi Triana Dyah Distribusi Khumaedy.
LAPORAN UTAMA Melihat Proses Seleksi Anggota Komnas HAM 2007-2012 Oleh Tim Laporan Utama: Supriyadi Widodo Eddyono, Syahrial W.M., dan Triana Dyah Masalah-Masalah Sekitar Pemilihan Anggota Komnas HAM: Sedikitnya Perempuan yang Lolos Seleksi dan Akan Banyaknya Anggota Komnas HAM yang Abstain dalam Sidang Paripurna Penetapan Calon Anggota Komnas HAM 2007-2012 Oleh Wahyu Wagiman NASIONAL
Alamat Redaksi/Editorial Address: ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Jakarta 12510. Phone: 021-797 2662 7919 2564 Fax: 021-7919 2519
Dicari Anggota Komnas HAM: Sebuah Catatan untuk Panitia Seleksi Oleh Amiruddin al Rahab INTERNASIONAL Hidup Segan Mati Tak Mau, Akhirnya Mati Juga: Belajar dari Pengalaman Komnas HAM Thailand Oleh Emil Afandi SUARA
Email
[email protected] Website www.elsam.or.id. Untuk berlangganan Bulletin Asasi secara rutin kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Redaksi menerima sumbangan pengganti biaya cetak dan pengiriman berapapun nilainya dan ditransfer ke rekening ELSAM Bank Niaga, no. 641.0163.1.
Kaum Waria Menuntut Pengakuan sebagai Warga Negara: Bincang-Bincang Bersama Mbak Yulia Rettoblaut dan Mbak Nancy Iskandar Oleh Eddie Riyadi WACANA Tanggung Jawab Bisnis terhadap HAM: Dari Sosial-Etis ke Politik Oleh Eddie Riyadi RESENSI
Desain & Tata Letak Desain Tata Letak EE Tim - 93614 297 Billy C. Putra 93614297
[email protected] [email protected]
Merebut Kembali Alam yang Terampas Oleh Eddie Riyadi
EDISI: Januari-Februari 2007
Editorial Calon Independen untuk Komisi Independen
K
ritik pedas terhadap Komnas HAM tidak terhindarkan. Setelah lima tahun beroperasi di bawah UU No. 39 tentang HAM, yang dihasilkan adalah sebuah birokrasi untuk penegakan hak asasi. Komnas HAM tidak gigih melawan konservatisme pemerintah, tidak responsif terhadap berbagai kejadian pelanggaran HAM dan sibuk membangun tata cara kerja dan pengambilan keputusan internal. Besar anggapan bahwa Komnas terdahulu jauh lebih hebat, lebih berani membuat terobosan, padahal tidak didukung oleh undang-undang. Benarkah? Sejauh itu benar, soalnya tidak sedangkal kegagalan DPR memilih calon yang tepat. Yang luput dihitung dalam memperjuangkan legalisasi dan konstitusionalisasi hak asasi manusia adalah daya serap ke dalam konservatisme, ide-ide pembaruan semacam hak asasi manusia oleh elite politik negeri ini. Sebelumnya, Komnas ada di luar negara. Ia menjadi ancaman dan karenanya terjadi intervensi terus-menerus. Sekarang, legalisasi menempatkan Komnas HAM bukan lagi ancaman. Segala denyut Komnas dengan mudah disambut dan diintegrasikan dalam logika negara birokrasi. Ini belum lagi jika kita boleh berpikir legalisasi Komnas HAM, berseiring dengan penyingkiran militer dari panggung parlemen, menjadi jaminan tidak digelarnya pertanggungjawaban pimpinan militer atas pelanggaran HAM di masa lalu. Keadaan lain yang tidak menguntungkan adalah reformasi politik ternyata menghasilkan pemerintahan yang lemah terhadap kekuatan pemodal, yang bersekutu dengan penguasa-penguasa politik lokal. Liberalisasi ekonomi politik ciptaan rejim pasca-otoritarian perlahan menelan kedaulatan rejim itu sendiri. Lantas komisioner macam apa yang pantas menakhodai biduk komisi ini? Dengan segudang masalah di atas rasanya tak pantas kita bicara tentang siapa jadi komisioner, tetapi cara apa komisi harus bekerja. Untuk itu percuma kita bicara keterwakilan dan keberagaman anggota jika hanya mengekspresikan cara berpikir yang tunggal dan konservatif. Independensi Komnas hanya bisa dijaga kalau Komnas mau terus-menerus mengkoreksi kerjanya. Keberagaman hanya mungkin jika komisioner mengemban lebih dari satu kepentingan.
Untuk itu percuma kita bicara keterwakilan dan keberagaman anggota jika hanya mengekspresikan cara berpikir yang tunggal dan konservatif. Independensi Komnas hanya bisa dijaga kalau Komnas mau terus-menerus mengkoreksi kerjanya. Keberagaman hanya mungkin jika komisioner mengemban lebih dari satu kepentingan. Tepat kiranya apa yang dikatakan oleh Yulia Rettoblaut dari organisasi waria bahwa keterlibatannya di pencalonan Komnas bukan karena ingin memajukan kepentingan waria semata tetapi terutama memastikan hak warga negara. Sejak pagi-pagi panitia seleksi seharusnya mencegah bibit birokratisasi Komnas HAM dengan membuat terobosan baru yaitu mengusulkan jumlah anggota yang jauh lebih sedikit dari yang ditetapkan oleh undang-undang. Jumlah anggota yang sedikit memastikan bahwa komnas HAM bukan lembaga politik di mana berbagai kepentingan bernegosiasi. Biduk Komnas HAM harus dikayuh oleh para pendayung yang mampu mengembangkan improvisasi ketika arus besar melemahkan kemampuan pemerintah menegakan HAM. Kita juga perlu para pendayung yang mampu memprakarsai mekanisme lokal hak asasi manusia. Terutama, para pendayung biduk Komnas HAM harus menemukan bentuk pertanggungjawaban untuk kejahatan kerusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana alam dan hancurnya hidup masyarakat, menunjuk pelaku pelanggaran HAM yang berlindung di balik mekanisme tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR dan mekanisme baru penyelesaian pelanggaran HAM. Komnas HAM harus kembali mengambil jarak dari rejim negara birokrasi, memiliki mekanisme dan konsensusnya sendiri, efektif melakukan pemantauan dan penyelidikan. Pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat tidak dimulai dari prosedur hukum tetapi dari usaha terus-menerus memperbesar gelombang tuntutan politik. (Agung Putri)
EDISI: Januari-Februari 2007
Laporan Utama Melihat Proses Seleksi Anggota Komnas HAM 2007-2012 Oleh Tim Laporan Utama (Supriyadi Widodo Eddyono - Koordinator Bidang Legal Servie, Sayhrial W.M Peneliti ELSAM, dan Triana Dyah - Pustakawati) Pada bulan September 2007 nanti masa jabatan para Komisinoner Komnas HAM periode 2002-2007 akan segera berakhir. Sehubungan dengan rencana itu Komnas HAM kemudian mempersiapkan seleksi anggota Komnas HAM untuk periode 2002-2012 dengan membentuk Panitia Seleksi Pemilihan Anggota Calon Komnas HAM pada awal bulan Desember 2006. Proses pemilihan anggota Komnas HAM ini menjadi momen yang penting bagi proteksi, pelayanan dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia. Karena itulah, proses ini perlu mendapat perhatian yang serius baik dari masyarakat, para pekerja HAM maupun pemerintah indonesia. Dasar Hukum Seleksi Anggota Komnas HAM Dasar hukum utama bagi Komnas HAM untuk merekruit para anggota (komisionernya) terdapat dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam undang-undang ini ada beberapa pasal terkait dengan keanggotaan dari Komnas HAM yakni: • Pasal 76 ayat (2) mengenai keanggotaan Komnas HAM • Pasal 83 mengenai jumlah anggota Komnas HAM • Pasal 84 mengenai syarat menjadi anggota komnas HAM • Pasal 85 mengenai pemberhentian anggota Komnas HAM Sedangkan mengenai tata cara pemilihan pengangkatan serta pemberhentian anggota Komnas ditetapkan dalam peraturan tata tertib Komnas HAM (pasal 86) UU No. 39 Tahun 1999. Pembentukan Panitia Seleksi
Pada tanggal 11 Desember 2006, panitia seleksi (pansel) untuk pemilihan anggota Komnas resmi dibentuk dengan
dikeluarkannya keputusan ketua Komnas HAM No. 37/ Komnas HAM/XII/2006. Dalam SK tersebut disebutkan bahwa ada lima orang yang menjadi Pansel untuk pemilihan anggota Komnas HAM periode 2007-2012 ini yaitu: • Soetandyo Wigjosoebrtroto, akademisi dari Unair dan mantan anggota Komnas HAM; • Azyumardi Azra, akademisi dari UIN Syarif Hidayatullah; • Siti Musdah Mulia, aktivis dari Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP); • Maria Hartaningsih, Jurnalis dari Kompas; • Kamala Chandrakirana, dari Komnas Perempuan. Pansel tersebut memiliki tugas untuk: (1) mengumumkan penerimaan dan melakukan pendaftaran calon; (2) melakukan seleksi administratif dan seleksi kualitas maupun integritas calon; (3) meminta pernyataan dari para calon; (4) mengumumkan daftar para calon; (5) menyampaikan nama-nama calon ke sidang paripurna Komnas HAM; dan (5) memberikan laporan mengenai pelaksanaan tugas kepada sidang paripurna Komnas HAM. Di samping itu, Komnas HAM juga berencana akan mengeluarkan SK baru mengenai tambahan tugas dari tim pansel. Secara ringkas SK tersebut berisikan mengenai tugas pansel yang juga mengacu pada peraturan tata tertib Komnas HAM dan Prinsip-Prinsip Paris. Sayangnya isi dari Tatib Komnas tersebut sampai saat ini belum bisa bisa diakses. Sehingga tidak diketahui persisnya apa yang menjadi tata tertib Komnas terkait dengan proses pemilihan anggotanya. Pengumuman bagi Pelamar Berbekal SK tersebut, Tim Pansel ini kemudian mengumumkan undangan kepada masyarakat untuk menjadi anggota Komnas HAM di berbagai media pada
EDISI: Januari-Februari 2007
Laporan Utama tanggal 21 Desember 2006. Pengumuman tersebut berisikan syarat-syarat yang ditetapkan untuk para calon termasuk syarat administratitf dan syarat lainnya (lihat Box). Penutupan pendaftaran dalam pengumuman tersebut dinyatakan selambat-lambatnya pada tanggal 20 Januari 2007 cap pos. Praktis jangka waktu untuk pendaftaran ini tidak lebih dari dua bulan. Oleh karena itulah, ketika penutupan resmi tanggal 20 Januari 2007, ternyata jumlah pelamar calon anggota Komnas HAM ternyata masih sedikit sekali, akibatnya Pansel kemudian mengumumkan perpanjangan waktu bagi para pelamar.
Terhadap calon yang tidak lengkap persyaratan administratifnya, dikirimkan surat (baik kepada calon maupun yang mencalonkan). untuk melengkapi kekurangan persyaratan administratif; •
Tahap II, Penilaian profil;
•
Tahap III, Masukan masyarakat tentang calon;
•
Tahap IV, Dialog langsung;
•
Tahap V, Tes kesehatan bagi calon anggota
Komnas HAM terpilih. Sedangkan mengenai kriteria pemilihan calon angota Komnas HAM ini, Pansel juga telah menetapkan beberapa kriteria yakni: (lihat table).
Box Pengumuman Anggota Komnas HAM Kriteria Individual
Syarat •
Warga Negara Indonesia
•
Tidak menjabat sebagai anggota legislatif, eksekutif, yudikatif, lembaga negara, fungsionaris partai politik,
Pengetahuan
pemegang pimpinan eksekutif pada perusahaan, dan organisasi non pemerintah. •
•
HAM(konsep, perangkat, struktur)
•
Peta permasalahan Sosial, Budaya, Ekonomi, dan Politik yang relevan
Berdedikasi dan mempunyai integritas tinggi, profesional, menghayati cita-cita negara hukum dan negara
bagi penegakan HAMdi Indonesia
kesejahteraan yang berintikan keadilan dan penghormatan pada hak asasi manusia. •
Berpengetahuan dan berpengalaman memajukan dan melindungi orang atau kelompok yang dilanggar hak asasi
Teknis
manusianya. •
Berpengalaman sebagai hakim, atau jaksa, atau polisi, atau pengacara, atau pengemban profesi hukum lainnya, atau tokoh agama, tokoh masyarakat, aktivis organisasi non-pemerintah, akademisi perguruan tinggi, jurnalis, dan
Strategis
pembela hak asasi manusia. Adminiatratif
Prestasi •
Profil singkat berupa daftar riwayat hidup tentang pengalaman yang berkaitan dengan kegiatan HAM, baik sebagai individu ataupun melalui lembaga tertentu.
•
Pengorganisasian (perencanaan, koordinasi, evaluasi)
•
manjerial
•
Kemampuan kepemimpinan, dan bekerjasama (eksternal dan internal)
•
Kemampuan berkomunikasi (lembaga negara, masyarakat dan parpol)
•
Kemampuan menangani isu–isu HAMsecara obyektif dan adil
•
Pengalaman keterlibatan dalamupaya memajukan dan melindungi HAM
•
Pengalaman memajukan dan mendorong terciptanya masyarakat yang
•
Jujur, profesional, konsisten pada nilai-nilai HAM, imparsial, dan
•
Tidak pernah terlibat dalammasalah dan perkara pelanggaran HAM
•
Bersedia melepaskan jabatan di tempat lain
•
Bersedia memberikan waktu yang memadai untuk pelaksanaan tugas
•
Mengutamakan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAMberat.
demokratis, berkeadilan setara dan tidak diskriminatif
•
Rekomendasi dari 2 (dua) organisasi atau tokoh masyarakat yang kompeten di bidang hak asasi manusia.
•
Surat pernyataan tidak pernah melakukan perbuatan tercela dalam masalah hak asasi manusia, dan termasuk
•
Naskah antara 7500 – 8000 karakter tentang gagasan calon mengenai perlindungan dan pemajuan hak asasi
Integritas
korupsi, kolusi dan nepotisme. manusia di Indonesia. Pas foto terbaru ukuran 4 X 6 sebanyak 2 (dua) lembar.
Komitmen
Ketentuan Lainnya
dan pencapaian sasaran kerja Komnas HAM
•
Berkas permohonan sebagai calon anggota Komnas HAM yang sudah dikirim ke Panitia Seleksi tidak akan
•
Selama proses seleksi, pendaftar tidak dipungut biaya apa pun.
•
Hanya pendaftar yang memenuhi persyaratan administrasi yang akan dipanggil untuk mengikuti tahapan seleksi
•
Panitia seleksi tidak melayani surat menyurat dan korespondensi lainnya.
dikembalikan.
Sumber: Portal komnas HAMGo.id
berikutnya.
•
• Penentuan calon anggota Komnas HAM oleh Panitia Seleksi dan keputusan panitia seleksi bersifat final dan tidak dapat diganggu-gugat
Komposisi keangggotaan
Proses Seleksi dan Mekanismenya Berdasarkan pengamatan dari berbagai dokumen yang ada, seleksi anggota Komnas HAM ini mencakup beberapa 5 tahap seleksi yakni:
Memastikan perwakilan bermacamragamkekuatan-kekuatan sosial (dari masyarakat sipil) yang terlibat dalamperlindungan dan pemajuan HAM
•
Mencerminkan keberagaman masyarakat Indonesia
•
Mencerminkan keberagaman disiplin ilmu
•
Memungkinkan pendekatan muli dan inter-disipliner
Seleksi Tahap I: Profil Umum Calon
Tahap I, seleksi administrasi: Setelah diterimanya
Pada penutupan penerimaan calon, Tim Pansel telah
dokumen calon anggota Komnas HAM yang masuk,
menerima 178 pelamar, namun dari 178 pelamar tersebut
selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan
38 di antaranya gugur karena tidak memenuhi syarat seleksi
administratif para calon.
administratif yakni: tidak melengkapi persyaratan
•
EDISI: Januari-Februari 2007
Laporan Utama rekomendasi maupun makalah. Sedangkan 12 calon lainnya diminta untuk melengkapi persyaratan administrasi sampai dengan tanggal 12 februari 2007. Dari segi perimbangan keterwakilan laki-laki dan perempuan, komposisi pendaftar laki-laki masih mendominasi, yakni sebesar 83%. Dari 178 orang pendaftar, hanya terdapat 31 perempuan. Di antara pendaftar laki-laki tersebut, 2 di antaranya mendeklarasikan diri sebagai representasi kelompok waria. Komnas HAM dalam hal ini dilihat sebagai institusi yang strategis dalam rangka perjuangan hak dari kelompok-kelompok yang termarginalisasi secara sosial. Kalangan aktivis Organisasi Non-Pemerintah adalah yang terbanyak jumlahnya sebagai pendaftar. Tercatat 45 orang aktivis mendaftarkan diri atau didorong oleh berbagai organisasi untuk mencalonkan sebagai kandidat komisioner Komnas HAM mendatang. Fenomena ini mengulang proses seleksi pada tahun 2002 ketika banyak aktivis Organisasi Non-Pemerintah menjadi kandidat komisioner Komnas HAM. Jumlah tersebut disusul oleh profesi advokat, dosen, dan profesi lainnya berturut-turut seperti pensiunan, jurnalis, swasta, dan lain-lain (Lihat Tabel 1). Yang menarik adalah bahwa 17 komisioner Komnas HAM mencalonkan diri kembali sebagai komisioner tahun untuk periode 2007-2012 mendatang. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 memang tidak melarang seorang komisioner mencalonkan diri untuk kedua kalinya. Tanpa mengesampingkan pegabdian dan masa kerja mereka selama satu periode lalu, di tengah banyak pertanyaan pelbagai pihak terhadap kinerja Komnas HAM saat ini, tampaknya perlu perhatian ekstra bagi masyarakat dan lembaga yang berwenang publik untuk mempertimbangkan kinerja komisioner selama ini.
Tabel 1 Komposisi Berdasarkan Profesi
Terkait dengan latar belakang wilayah geografis pendaftar (domisili), DKI Jakarta mencatat jumlah tertinggi sebanyak 87 pendaftar atau lebih dari separo pendaftar. Lebih mencolok lagi 139 pendaftar tinggal di Pulau Jawa. Hal ini tentunya menjadi persoalan, bahwa kesenjangan Jawa dan Luar Jawa adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Hal tersebut bisa jadi dipicu karena adanya ketimpangan akses informasi. Situasi ini harusnya patut menjadi pertimbangan panitia seleksi dan DPR kelak, bahwa faktor keterwakilan geografis menjadi salah satu indikator dalam seleksi. Tabel 2 Komposisi Pendaftar Berdasarkan Latar Belakang Geografis Komposisi Keterwakilan Berdasarkan Asal Daerah 6 2 3 1 7 5 3 3 2 2 1
Sumatera Utara Sumatera Selatan Sumatera Barat Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Papua NTT NAD Maluku Lampung Kalimantan Barat Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat DKI Jakarta DI Yogyakarta Banten Bali
4 4
16 11 13
87
8
0
20
40
60
80
100
Sementara itu, perhatian utama terhadap topik-topik mengenai perlindungan dan penegakan hukum pada ranah hak-hak sipil politik masih mendominasi minat dari caloncalon angota Komnas HAM tahun 2007-2012. Hal ini dapat dilihat dari makalah yang ditulis oleh para calon anggota (Tabel 3). Ke depan, tampaknya tantangan Komnas HAM bukan sekadar menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia pada ranah sipil dan politik. Kecenderungan kasus-kasus yang berdimensi pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya tampak semakin menggejala dan ke depan berpeluang akan terus bertambah. Tabel 3 Minat Terhadap Bidang Hak Asasi Manusia
Komposisi Keterwakilan Berdasarkan Profesi PERHATIAN UTAMA CALON ANGGOTA KOMNAS HAM
1 3 1 1 3 3 1 2 1 1 2 3
Tenaga ahli Swasta Purn.Pol &TNI Polisi Pensiunan Pengamat Peneliti Pendeta Mahasiswa Lain2 Kriminolog Konsultan Konselor Komisioner/S Ketua Ormas Jurnalis Hakim Guru/Dosen Dokter Aktivis Advokat
7
100
10 9
90
9
60
70 50
17
40
7
20
37
10
35
33
30 10
45
15 0
87
80
8
5
Wacana Ham
Lembaga Komnas
10
0
20
30
40
50
EDISI: Januari-Februari 2007
Hak Affirmatif
Hak Sipol
Hak Ekosob
Lain2
Laporan Utama Dengan diumumkannya jumlah pendaftar yang dinyatakan lolos, berarti Pansel telah melakukan seleksi administratif. Sesuai dengan mandat yang diberikan oleh Komnas HAM kepada Pansel, tugas selanjutnya adalah melakukan “seleksi kualitas dan integritas” para calon. Hasil Seleksi Tahap 2: Profil Calon Didominasi Para Aktivis Ornop Setelah melakukan uji sahih dan melihat kualitas dan integritas calon berdasarkan dokumen tertulis, pada tanggal 26 februari 2007 Pansel kembali mengumumkan hasil seleksi tahap II untuk penilaian profil calon. Dari segi perimbangan (70 calon), keterwakilan laki-laki dan perempuan, komposisi pendaftar laki-laki masih mendominasi, yakni sebesar 79% yakni 55 orang calon laki-laki sedangkan untuk perempuan hanya terdapat 21% yakni 15 orang calon. Bisa diduga, dari segi profesi, Kalangan aktivis Organisasi Non-Pemerintah adalah yang terbanyak jumlahnya yang lolos selesksi tahap II ini. Tercatat 26 orang aktivis lolos untuk mencalonkan diri sebagai kandidat komisioner Komnas P ro s e n ta s e advokat
9
a k t iv is
26
a n g g o ta K H
8
d o k te r
1
dosen
8
ju r n a lis
3
k o n s u lt a n
1
p e n e lit i
5
p e n s ./p u rn
5
r o h a n iw a n
3
s ta f k o m n a s
1
p e re m p u a n
15
L a k i2
55 SEL EKSI T A HA P 2 L A T A R BEL A KA NG C A L ON
s taf k o m n as r o h an iw an p e n s ./p u r n p e n e liti k o n s u lt an ju r n alis dose n d o k te r an g g o ta KH ak tivis ad vo k at
1 3 5 5 1 3 8 1 8 26 9
SELEKSI TAHAP 2 KOMPOSISI GENDER
pe r e m pu a n 2 1% La k i 2 79%
EDISI: Januari-Februari 2007
Laporan Utama CALON ANGGOTA KOMNAS HAM 2007-2012, SELEKSI TAHAP II NO
LOLOS TAHAP 2
PROFESI
NO
LOLOS TAHAP 2
PROFESI
1
Antarini P.Arna
Aktivis
43
M.Yusuf Ismail Pase
Advokat
2
AA Sudirman
Jurnalis
44
Marzani Anwar
Peneliti
3
Abdul Muhaimin
Rohaniwan
45
Mindawati Perangin-angin
Rohaniawan
4
Abdul Munir Mulkan
Dosen
46
Miryam Saravasti
Konsultan
V.Nainggolan 5
Abdul Rasal Rauf
Dosen
47
Mohammad Imam Azis
Aktivis
6
Adrianus E.Maliala
Dosen
48
Nur Khholis
Advokat
7
Agus Gunawan Wibisono
Aktivis
49
Ori Rahman
Aktivis
8
Ahmad Baso
Aktivis
50
Purwandono
Aktivis
9
Ahmad Hambali
Advokat
51
Raharja Waluya Jati
Jurnalis/Aktivis
10
Ahmad Suaedy
Aktivis
52
Ratna Batara Munti
Aktivis
11
Ahmad-Sofian
Aktivis
53
Rita Serena Kalibonso
Advokat/Aktivis
12
Albert Rumbekwan
KH -Papua
54
Roy Tumpal Pakpahan
Jurnalis/Aktivis
13
Aloysius Renwarin
Aktivis
55
Rudi M.Rizki
Dosen
14
Amidhan
anggota KH
56
Ruswiyati Suryasaputra
anggota KH
15
Andik Hariyanto
Aktivis
57
S.A. Supardi
Pens.Polisi
16
Antonio Pradjasto
Aktivis
58
Saharuddin Daming
Advokat
17
Asvi Warman Adam
Peneliti
59
Sandra Moniaga
Peneliti
18
Azas Tigor Nainggolan
Aktivis
60
Sarah Lery Mboeik
Aktivis
19
Bambang Budiono
Dosen
61
Sulistijawati Sugondo
anggota KH
20
Daniel Panjaitan
Advokat
62
Suma Mihardja
Aktivis
21
Derem Contius Marbun
Pens. Hakim
63
Sumurung Parningotan
Rohaniawan
Harianja 22
Dian Kartika Sari
Aktivis
64
Syafruddin Nguima
Aktivis
Simeulue 23
Enny Soeprapto
anggota KH
65
Tati Krisnawaty
Aktivis
24
Hariyanto Ismi
Pens.Jaksa
66
Tedy Yusuf
Purn.
25
Heppy Sebayang
Advokat
67
Yosep Adi Prasetyo
Aktivis
26
Hesti Armiwulan
Dosen
68
Yulianus Rettoblaut
Aktivis
27
Hira P. Jhamtani
Peneliti
69
Zainuddin Maliki
Dosen
28
Ichsan Malik
Aktivis
70
Zumrotin K. susilo
anggota KH
EDISI: Januari-Februari 2007
Laporan Utama Masalah-Masalah Sekitar Pemilihan Anggota Komnas HAM: Catatan tentang Keseimbangan Jender dan Soal Kredibilitas Rekomendasi Oleh Wahyu Wagiman (Peneliti ELSAM) Panitia Seleksi Pemilihan Anggota Komnas HAM Periode
Namun, melihat hasil seleksi dari dua tahap yang
2007-2012 telah menyelesaikan dua tahap dari lima tahap
telah dilalui ini, ada beberapa masalah yang patut
yang harus dilalui, yaitu seleksi administrasi dan penilaian.
mendapatkan perhatian serius dari masyarakat. Mengingat
Dari tahap seleksi administrasi, 143 orang dinyatakan lolos,
masalah-masalah ini akan berpengaruh pada proses
12 orang diharuskan melengkapi persyaratan yang tidak
pemilihan selanjutnya, baik terhadap kualitas calon anggota
lengkap, dan 23 orang lainnya dinyatakan gagal. Sedangkan
Komnas HAM itu sendiri maupun independensi dan
tahap penilaian profil telah menghasilkan 70 orang calon
imparsialitasnya dalam menjalankan tugas di masa yang
anggota Komnas HAM.
akan datang.
Selanjutnya Panitia Seleksi menunggu masukan
Beberapa masalah ini antara lain, sedikitnya
dari masyarakat perihal track record 70 orang yang telah
perempuan yang lolos dari tahap penilaian profil dan adanya
lolos tersebut. Masukan dari masyarakat ini sedianya akan
rekomendasi dari pejabat publik/lembaga negara;
dilakukan sampai dengan 5 Maret 2005. Penilaian profil dan
rekomendasi dari anggota Komnas HAM; dan rekomendasi
masukan dari masyarakat merupakan salah satu tahapan
dari Panitia Seleksi. Dari 70 orang yang lolos penilaian profil,
yang paling penting dalam proses pemilihan ini. Pada tahap
lebih dari 2/3 (dua pertiganya) adalah laki-laki. Sedangkan
ini Panitia Seleksi akan meneliti satu per satu calon anggota
perempuan kurang dari 1/3 (satu pertiganya). Mungkin
yang telah lolos seleksi tahap sebelumnya. Karena dari
Panitia Seleksi memiliki penilaian tersendiri terhadap
sinilah Panitia Seleksi akan melihat potensi dan kemampuan
perempuan-perempuan yang mencalonkan diri sebagai
seseorang untuk menjadi anggota Komnas HAM. Panitia
Anggota Komnas HAM ini. Tetapi sebaiknya, untuk
Seleksi akan menganalisis berkas-berkas yang telah lolos
mendapatkan legitimasi publik yang kuat Panitia Seleksi
seleksi untuk kemudian ditetapkan apakah
yang
harus melakukan tindakan afirmatif terhadap kelompok-
bersangkutan telah memenuhi kriteria-kriteria yang
kelompok yang secara sosial dan politik termarjinalkan,
diperlukan untuk menjadi anggora Komnas HAM atau belum.
khususnya kelompok perempuan. Sehingga, Komnas HAM
Di samping itu, tentunya, tidak ada catatan buruk calon
sebagai lembaga negara dapat mewakili dan
anggota yang terkait dengan masalah hukum dan
mengakomodasi berbagai kepentingan dan keragaman
pelanggaran hak asasi manusia yang dapat diperoleh, salah
masyarakat, bukan elite politik atau golongan tertentu.
satunya, dari masukan masyarakat.
EDISI: Januari-Februari 2007
Laporan Utama Tabel 1. Komposisi Calon Anggota Komnas HAM Lolos Seleksi Tahap II No
Nama (laki-laki)
No
Nama (Perempuan)
1.
A.A. Sudirman
1.
Antarini P. Arna
2.
Abdul Muhaimin
2.
Dian Kartika Sari
3.
Abdul Munir Mulkhan
3.
Hesti Armiwulan
4.
Abdul Rasal Rauf
4.
Ita Fatia Nadia
5.
Adrianus Eliasta Meliala
5.
Lily Dorianty Purba
6.
Agus Gunawan Wibisono
6.
Lily Zakiyah Munir
7.
Ahmad Sofian
7.
Mindawati Perangin-angin
8.
Ahmad Baso
8.
Miryam Saravasti Vinanta Nainggolan
9.
Ahmad Hambali
9.
Ratna Batara Munti
10.
Ahmad Suaedy
10.
Rita Serena Kalibonso
11.
Albert Rumbekwan
11.
Ruswiyati Suryasaputra
12.
Aloysius Renwarin
12.
Sandra Moniaga
13.
Amidhan
13.
Sarah Lery Mboeik Sulistijowati Sugondo
14.
Andik Hardiyanto
14.
15.
Antonio Pradjasto
15.
Tati Krisnawaty
16.
Asvi Warman Adam
16.
Zumrotin K. Susilo
17.
Azas Tigor Nainggolan
17.
18.
Bambang Budiono Mulyo Sugiarto
19.
Daniel Panjaitan
20.
Derem Contius Marbun
21.
Enny Soeprapto
22.
Hariyanto Ismi Sudharman
23.
Heppy Sebayang
24.
Hira Parsomal Jhamtani
25.
Ichsan Malik
26.
Ifdhal Kasim
27.
Imanuel Parasian Silalahi
28.
Irianto Subiakto
29.
Johnson S. Panjaitan
30.
Johny Nelson Simanjuntak
31.
Kabul Supriyadi
32.
Kartono Mohamad
33.
M. Farid
34.
M. Ridha Saleh
35.
M. Yusuf Ismail Pase
36.
Marzani Anwar
37.
MM Billah
38.
Mohammad Imam Aziz
39.
Muhammad Habib Chirzin
40.
Nur Kholis
41.
Ori Rahman
42.
Purwandono
43.
Raharja Waluya Jati
44.
Roy Tumpal Pakpahan
45.
Rudi Muhammad Rizki
46.
S.A. Supardi
47.
Saharuddin Daming
48.
Suma Mihardja
49.
Sumurung Parningotan Harianja
50.
Syafruddin Ngulma Simeulue
51.
Tedy Jusuf
52.
Yosep Adi Prasetyo
53.
Yulianus Rettoblaut
54.
Zainuddin Maliki
Data diolah dari Pengumuman Panitia Seleksi Calon Anggota Komnas HAM Periode 2007-2012
EDISI: Januari-Februari 2007
Laporan Utama Masalah lain adalah seoal kredibilitas pemberi rekomendasi. Sama seperti kanditat Komisioner haruslah orang yang berkomitmen dengan HAM dan tidak pernah terlibat kasus pelanggaran HAM, demikian juga seharusnya berlaku untuk pemberi rekomendasi. Berdasarkan pantauan kami, pemberi rekomendasi itu berasal dari pelbagai institusi yaitu lembaga negara atau pejabat publik, anggota Komnas HAM yang masih aktif, panitia seleksi dan partai politik. Prinsip Paris memang menekankan soal independensi. Namun, yang dimaksudkan bukan dalam arti tidak boleh ada “kedekatan” dengan pejabat atau lembaga tertentu, melainkan dalam arti profesionalitas. Artinya, sang rekomendator mengajukan kandidat bukan karena hendak mencecokinya dengan kepentingannya melainkan karena sang kandidat itu sendiri mumpuni dan kredibel, serta profesional. Tapi bagaimana dengan rekomendator itu sendiri? Ketentuan tentang penyeleksian yang dikeluarkan oleh Komnas HAM menegaskan bahwa sang rekomendator haruslah orang yang berkomitmen dan berkompeten dalam bidang hak asasi manusia.
Tidak ada masalah jika pejabat publik atau lembaga negara memberikan rekomendasi, terlepas dari kedekatan antara pemberi rekomendasi dan kandidat Komisioner HAM. Yang menjadi persoalan adalah bahwa apakah sang rekomendator itu memiliki komitmen dan berkompeten terhadap hak asasi manusia, dan jauh lebih penting, tidak pernah terlibat kasus pelanggaran HAM. Bagaimana mungkin seorang pelanggar HAM merekomendasikan seorang penegak HAM? Demikian juga sebaliknya. Di sini kami sajikan tabel yang memperlihatkan nama kandidat dan rekomendator berserta lembaganya atau jabatannya (Lihat Tabel 2.). Kiranya publik perlu mencermati kredibilitas bukan hanya sang kandidat melainkan juga rekomendator. Bisa saja kandidatnya memiliki rekam jejak yang baik, namun sang rekomendatornya tidak, atau tidak memperlihatkan komitmen terhadap HAM, atau malah justru pelaku pelanggaran HAM. Hal ini kiranya menjadi pertimbangan baik bagi panitia seleksi maupun publik yang mempunyai hak suara untuk mengajukan “protes”.
Tabel 2. Penerima dan Pemberi Rekomendasi No
C a lo n A n g g o ta
R ekom endasi
L o lo s S e le k s i T a h a p II A n g g o ta K o m n a s H A M 1.
S a h a ru d in D a m in g
2.
H e p p y S e b ay a n g
T a h e ri N o o r T a h e ri N o o r
3.
A d ria n u s M e lia la
K o e s p a rm o n o Irs a n
4.
S .A .S u p a rd i
K o e s p a rm o n o Irs a n
5.
Im a n u e l P a ra sia n S ila la h i
K o e s p a rm o n o Irs a n
6.
M a rz a n i A n w a r
M u h a m a d H a b ib C h irzin
7.
S u m a M ih a rja
L ie s S u g o n d o
8.
M . C h a b ib C h irz in
A n s y a ri T h a yib
9.
Z a in u d in M aliki
A n s y a ri T h a yib
10.
S A S u p a rd i
Z u m ro tin K S u s ilo
11.
S .A .S u p a rd i
R u s w iy a ti S u ry as a p u tra
12.
S u lis tija w a ti S u g o n d o
S a m s u din
13.
S a n d ra M o n ia g a
S a a fro e d in B a h a r
14.
M a rz a n i A n w a r
A m id h a n
15.
T e d y Y u su f
C h a n d ra S e tia w an P e ja b a t N e g a ra
16.
R u s w iy a ti S u ry a sa p u tra
17.
S A S u p a rd i
18.
H a riy a n to Is m i S u d h a rm a n
P ro f. D r. J im ly A ss h idd iq ie , S .H , K e tu a M a h k a m a h K o n s itus i J e n d . P ol. D rs . S u tan to , K a p olri M a n g as i S itum e a ng , J a k sa P a d a P e ra n H A M K e ja k sa a n A g u n g P a n itia S e le k s i
19.
A h m a d B a so
S iti M us d a h M u lia , M A
20.
D ia n K a rtika S a ri
S iti M us d a h M u lia , M A
Data diolah dari Rekapitulasi Calon Anggota Komnas HAM Periode 2007- 2012
EDISI: Januari-Februari 2007
Laporan Utama Banyak sekali faktor determinan yang mempengaruhi dapat bekerjanya secara optimal sebuah lembaga yang disebut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, sebuah institusi nasional yang dibentuk dalam rangka perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia. Independensi, imparsialitas, transparansi, accountability, dan keragaman merupakan prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan ketika suatu negara hendak membentuk lembaga ini. Hal ini merupakan prasyarat terbentuknya suatu lembaga yang kuat dan mandiri dalam pemajuan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Karena tanpa prinsip-prinsip ini, lembaga Komnas HAM hanya akan menjadi sebuah lembaga yang turut serta melegitimasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan negara dan aparatusnya terhadap warga-negaranya. Proses pembentukan Komnas HAM yang independen, imparsial, transparan, accountable dan mencerminkan keragaman ini dimulai ketika Panitia Seleksi memilih dan menetapkan calon-calon anggota yang dengan pengalaman dalam perlindungan dan penegakan hak asasi manusia telah memberikan kontribusi terhadap pemajuan demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. .
Dalam memilih dan menetapkan calon-calon anggota Komnas HAM mendatang Panitia Seleksi diharapkan mematuhi dan menjadikan prinsip-prinsip ini sebagai acuan dalam menetapkan calon-calon anggota Komnas HAM. Sehingga anggota-anggota yang terpilih hendaknya juga orang-orang profesional, berdedikasi, berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum, dan menghormati hak asasi manusia, terlibat aktif atau memiliki komitmen terhadap penghormatan dan perlindungan hak asasi. Dan yang paling penting dari semua itu, calon tidak pernah terkait pelanggaran HAM secara langsung atau tidak langsung; baik sebagai pelaku atau perancang pelanggaran hak asasi manusia. Sehingga ke depan, Indonesia akan memiliki Komnas HAM yang mampu melakukan pemajuan, penegakan dan perlindungan hak asasi manusia.(*)
EDISI: Januari-Februari 2007
NASIONAL Dicari Anggota Komnas HAM: Sebuah Catatan untuk Panitia Seleksi Oleh Amiruddin al Rahab (Staf Senior ELSAM) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas) saat ini telah menjadi aktor kunci dalam promosi dan perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hampir semua institusi negara, terutama institusi di bidang keamanan dan masyarakat luas selalu mencermati sepak terjang dan sikap Komnas terhadap sebuah peristiwa. Meskipun ada kalangan yang menilai kinerja Komnas merosot tajam dalam 5 tahun ini, berbagai kelompok yang mencari keadilan karena merasa haknya dirugikan oleh aparat negara tetap mendatangi Komnas setiap hari. Akankah tempat yang telah berhasil direbut oleh Komnas saat ini bisa bertahan di masa datang? Memang jawaban atas pertanyaan besar ini sangat tergantung pada kondisi atau arah laju dari sistem politik dan ekonomi masa depan Indonesia. Selain itu juga ditentukan oleh tingkat penerimaan institusi-institusi negara lainnya terhadap keberadaan dan hasil kerja Komnas. Namun jawaban atas pertanyaan itu juga sangat dipengaruhi oleh kualitas para anggota atau orang yang duduk dalam Komnas itu sendiri. Pentingnya peranan individual anggota dalam menentukan arah dan posisi Komnas dalam gelombang perubahan situasi politik dan ekonomi Indonesia telah tercatat dalam sejarah Komnas HAM itu sendiri. Cornelis Lay (2002) dalam penelitiannya tentang Komnas sepanjang tahun 1993 sampai 2001 mencatat bahwa keberhasilan yang diraih oleh Komnas HAM salah satunya sangat ditentukan oleh kapasitas dan reputasi, serta komitmen yang tinggi terhadap promosi, perlindungan dan penegakan HAM dari para individu anggotanya. Dari kesimpulan penelitian Cornelis Lay di atas dapat dikatakan ketika Komnas HAM secara institusional didesain sekadar menjadi lembaga embel-embel oleh rezim Orba, beberapa orang anggotanya – meskipun ditunjuk oleh Presiden Soeharto – tetap bisa menjadikan Komnas HAM sebagai tempat yang kokoh bagi para keluarga korban dan kelompok korban untuk mengantungkan harapan untuk mengapai keadilan. Para individu anggota Komnas yang pantas dicatat
sebagai figur yang independen, berdedikasi dan berintegritas itu adalah Baharuddin Lopa, Munawir Sjadzali, Asmara Nababan, Soetandyo Wignjosoebroto, dan juga Roekmini K.A., Albert Hasibuan, Marzuki Darusman serta H.S. Dillon dan Satjipto Raharjo. Perlu ditegaskan saat ini, Panitia seleksi adalah ujung tombak dalam menentukan komposisi anggota Komnas dan kualitas anggota Komnas. Sementara proses pemilihan di Sidang Pleno Komnas dan DPR tak lebih dari sekadar proses formalisme politik ketimbang proses penilaian kemampuan dan kualitas dari para calon komisioner secara terukur. Saat ini Panitia Seleksi telah menerima lamaran 170-an pelamar. Pansel harus bekerja ekstra hati-hati dalam menyeleksi pelamar sebanyak itu, karena di tangan Pansellah masa depan Komnas dipertaruhkan. Hasil kerja Panitia Seleksi menjadi sangat vital bagi menentukan kualitas anggota Komnas. Jika Pansel lalai dengan kevitalan fungsinya, maka di masa datang kita akan berhadapan dengan Komnas HAM yang kuat secara mandat tetapi diisi oleh individu yang kerdil, atau sosok individu yang sekadar mencari kerja untuk menghabiskan masa pensiun atau orang muda yang sedang merintis karier. Untuk mencari anggota Komnas yang tangguh itu, Pansel harus memperhatikan keragaman latar belakang calon anggota Komnas yang akan diusulkan, karena keragaman itu mencerminkan ketangguhan Komnas HAM dalam mengahadapi tantangan masa datang. Keragaman yang dituntut adalah baik dalam arti keahlian, maupun geografis. Keahlian yang dibutuhkan oleh Komnas ke depan adalah hukum, khususnya pidana, sosiologi dan sejarah, antropologi dan psikologi, penyelidik dan penyidik, serta keahlian spesifik tentang perempuan dan kekerasan. Sementara keragaman geografis adalah agar Komnas tidak didominasi oleh mereka yang berasal dari Jawa, tetapi juga diisi oleh tokoh-tokoh potensial dari luar Jawa. Khususnya dari Aceh dan Papua serta Kalimantan. Individu yang tangguh diperlukan Komnas, karena ada beberapa tantangan berat di depan mata. Pertama telah berkembangnya secara signifikan norma-
EDISI: Januari-Februari 2007
NASIONAL norma HAM dalam hukum positif nasional. Dengan kata lain seseorang yang menjadi anggota Komnas HAM, semestinya menjadi tokoh nasional yang mampu menelorkan alternatif value bagi masyarakat.(*) lain tuntutan atas perlindungan dan pemenuhan HAM di masa datang adalah tuntutan yang konstitusional. Kedua, berubahnya format politik nasional dari sentralis menjadi desentralis. Dalam format politik yang terdesentralisasi, instansi di daerah memainkan peran penting dalam perlindungan dan pemenuhan HAM khususnya hak EKOSOB. Ketiga, dianutnya sistem multipartai dan pemilihan langsung dalam politik nasional. Dalam sistem multipartai, rekruitmen para elite nasional dan lokal baik di jajaran eksekutif maupun legislatif didominasi oleh elite partai politik.
Berubahnya konfigurasi elite di tingkat nasional atau daerah akan mempengaruhi secara langsung kondisi perlindungan dan pemenuhan HAM secara nasional dan regional. Perpaduan faktor kedua dan ketiga di atas dalam 5 tahun ke depan berpotensi menimbulkan gejolak. Gejolak tersebut tidak menutup kemungkinan bisa menjadi amok terhadap orang atau harta milik orang lain. Seluruh tantangan yang terpapar di atas kian menuntut para anggota Komnas HAM yang jauh lebih cerdas, tangkas dan arif dalam menyikapi setiap perkembangan serta kemudian mampu mengkomunikasikannya secara arif kepada masyarakat dan instansi negara lainnya. Dengan kata lain seseorang yang menjadi anggota Komnas HAM, semestinya menjadi tokoh nasional yang mampu menelorkan alternatif value bagi masyarakat.(*)
? EDISI: Januari-Februari 2007
INTERNASIONAL Hidup Segan Mati Tak Mau, Akhirnya Mati Juga: Belajar dari Pengalaman Komnas HAM Thailand Oleh Emil Afandi (Peneliti Masalah Hak Asasi Manusia) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (NHRC) Thailand didirikan pada 13 Juli 2001 berdasarkan Undang-Undang Perlindungan HAM tahun 1999. Dalam dua tahun pertama setelah terbentuknya, institusi ini mencoba mengembangkan kapasitasnya untuk menegakkan hak asasi manusia di Thailand. Sayangnya, pemerintah Thai tampak enggan memberikan ruang bebas bagi NHRC dalam menerapkan Paris Principles. Hal itu mengundang keraguan pelbagai pihak terhadap institusi ini. NHRC sebenarnya lahir sebagai respon terhadap gugatan domestik terhadap peristiwa May 1992 di mana militer melakukan pembantaian terhadap para aktor demonstrasi pro-demokrasi di Bangkok. Pada September 1992, Kabinet Perdana Menteri Anand Panyarachun mengeluarkan sebuah resolusi yang menekankan supaya pemerintah membentuk sebuah mekanisme nasional untuk perlindungan dan promosi hak asasi manusia. Setelah dua tahun dalam ketidakmenentuan dan upaya lobi yang tak kenal menyerah dari para aktivis LSM, pendirian sebuah komisi nasional hak asasi manusia pun akhirnya dimandatkan dalam Pasal 199 dan 200 dari Konstitusi baru yang disahkan oleh pemerintah pada Oktober 1999. Pasal 199 dari Konstitusi yang baru itu menetapkan bahwa NHRC terdiri dari seorang Ketua dan sepuluh anggota yang ditunjuk oleh Raja berdasarkan nasihat dari Senat. Para Komisioner itu diangkat berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka dalam bidang perlindungan hak asasi manusia, dan juga mempertimbangkan keterlibatan para “wakil” dari LSM hak asasi manusia. Menurut UndangUndang Perlindungan HAM tahun 1999, setiap anggota memiliki masa tugas selama enam tahun sejak tanggal penunjukannya oleh Raja dan hanya bertugas untuk satu periode tersebut. Selama dua tahun pertama keberadaannya, meskipun terdapat pelbagai tindakan pemerintah yang mengancam dan mengganggu kinerjanya, NHRC memperlihatkan independensinya dari pemerintah antara lain dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan kritis atas kebijakan pemerintah.
.Pada 2002, NHRC mengeluarkan sebuah kebijakan tegas atas pertikaian berdarah antara polisi dan para penentang Thai Malaysian Gas Pipeline Project di Hat Yai, Provinsi Sangkhla, 20 Desember 2002. Pada 2003, NHRC menunjukkan keprihatinan yang mendalam atas pembunuhan lebih dari 1.000 orang yang dicurigai sebagai pengedar narkoba sebagai bagian dari kebijakan pemerintah yang dikenal dengan sebutan “perang melawan narkoba” yang diluncurkan oleh PM Thaksin Shinawatra pada Februari 2003. Koran The Nation memberitakan bahwa pada hari pertama “perang” itu, empat tersangka ditembak mati di tempat, 264 dijebloskan ke dalam tahanan dan 727.742 tablet methamphetamine yang dalam bahasa lokal disebut sebgai “yaa baa” atau obat gila disita. Pada 4 Maret 2003, hampir sebulan setelah perang melawan narkoba dimulai, jumlah tersangka yang mati sudah mencapai 1.100 orang. Di antara yang dibunuh itu terdapat seorang perempuan hamil delapan bulan, seorang bocah sembilan tahun, dan seorang ibu lansia berusia 75 tahun. Bagian 15 dari Undang-Undang Perlindungan HAM dalam kaitannya dengan Pasal 200(1) Konstitusi baru memberikan kewenangan kepada NHRC “untuk memeriksa tindakan atau kelalaian yang menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia atau yang tidak bersesuaian dengan kewajiban berdasarkan ketentuan internasional di mana Thailand merupakan pihak di dalamnya, dan mendesak adanya tindakan-tindakan hukum yang tepat terhadap orang atau badan yang melakukan tindakan atau kelalaian yang menyebabkan terlanggarnya hak asasi manusia.” Meski begitu, NHRC tetap saja menjumpai kendala berat dalam menjalankan tugasnya. PM Thanksin bahkan telah membuat pernyataan eksplisit yang mendiskreditkan NHRC dan para anggotanya. Komisioner Dr. Pradit Chareonthaitawee telah difitnah sebagai “non-patriot” dan seorang “pembocor rahasia” (whistleblower) dan dipersalahkan karena “menggadaikan kemerdekaan Thailand” karena telah mengekspresikan keprihatinan yang mendalam dalam sebuah konferensi PBB di Pakistan pada Maret 2003 tentang perang anti-narkoba yang terus berlangsung di negerinya,
EDISI: Januari-Februari 2007
Laporan Utama pembunuhan di luar proses hukum terhadap para tersangka pengedar dan pemakai narkoba, dan tentang kegagalan polisi untuk membawa para tersangka ke pengadilan. Pada Maret 2003, dalam siaran mingguannya di radio setempat, PM Thaksin menggelari Dr. Pradit sebagai “pesakitan”. Bahkan Dr. Pradit dituduh telah “membantu” para pengedar/penjual narkoba. Pada Maret 2003, ia menerima ancaman pembunuhan melalui telepon dari orang yang tidak dikenal, sebagai bagian dari upaya mencegahnya “berkomunikasi dengan PBB” tentang situasi hak asasi manusia di negerinya. Ancaman tersebut juga menyatakan bahwa “sebuah bom telah diletakkan di bawah mobilnya, tablet methamphetamine telah dikirim ke rumahnya dan bahwa rumahnya telah dibakar.” Pada Februari 2003, Dr. Pradit diancam dengan pemecatan (impeachment) karena telah membandingbandingkan PM Thaksin dengan seorang kuat dan diktator sebelumnya yaitu Jenderal Sarit Tanarat, yang menggalang dukungan rakyat atas rezimnya dengan kebijakannya tembat-sampai-mati para tersangka kriminal. Tentu saja NHRC menolak keputusan pemecatan tersebut, kendati tekanan terhadap Dr. Pradit datang dari mana-mana terutama dari pimpinan partai politik yang berkuasa saat itu, yaitu Thai Rak Thai Party. Para anggota NHRC memberikan pelbagai komentar yang antara lain menyatakan bahwa reaksi pemerintah seperti itu memperlihatkan bahwa pemerintah sangat anti-kritik dan tidak sadar akan tugas dan tanggung jawab NHRC yang memang harus melakukan monitoring dan pelaporan atas situasi hak asasi manusia, termasuk atas pelaksanaan kampanye perang anti-narkoba itu. Bahkan Amnesty International menanggapi tindakan PM Thaksin ini sebagai sikap memusuhi keprihatinan domestik dan internasional terhadap hak asasi manusia. Sementara Bagian 22-26 Undang-Undang Perlindungan HAM memberikan NHRC kewenangan yang jelas untuk melakukan investigasi, mediasi, kerja sama keamanan, dan mengajukan proses hukum, namun yang tidak jelas adalah bagaimana mengefektifkan upaya-upaya remedial atau upaya-upaya hukum itu. NHRC meminta pemerintah mempertanggungjawabkan secara transparan tentang kebijakan “perang anti-narkoba” itu yang menyebabkan ribuan orang mati tanpa melalui proses hukum dan terkesan asal comot itu. Masalah paling krusial yang dihadapi oleh NHRC adalah kurangnya sumber daya yang memadai. Pasal 75
INTERNASIONAL Undang-Undang Perlindungan HAM Thailand menetapkan bahwa pemerintah harus mengalokasikan “anggaran yang memadai” untuk “administrasi independen” dari NHRC Thailand. Namun, undang-undang tersebut tidak menetapkan secara tegas tentang bagaimana anggaran tersebut diatur sehingga memenuhi kriteria memadai itu, dan hanya menyerahkan hal tersebut pada pertimbangan arbitrer pemerintah, yang dengan demikian tergantung pada siapa yang memegang kekuasaan untuk memutuskannya. Juga tidak jelas seberapa besar anggaran yang harus dialokasikan untuk NHRC setiap tahun. Sekretaris Jenderal NHRC yang ditunjuk dan diangkat oleh pemerintah, yang menangani persoalan pengelolaan keuangan, tidak menyelesaikan apa pun atas pelbagai problem tersebut. Selanjutnya, meskipun Bagian 23 dari undangundang tersebut menyediakan bahwa sebuah laporan (complaint) boleh dilakukan secara lisan atau tertulis dan ditujukan ke Kantor NHRC, baik melalui email kantor atau langsung ke pribadi Komisioner tertentu, melalui LSM hak asasi manusia yang kemudian diteruskan ke Kantor NHRC, maupun melalui cara-cara lain yang telah ditentukan oleh NHRC, namun tak ada satu pun ketentuan dalam UndangUndang tersebut tentang pendirian kantor cabang dari NHRC di seluruh negeri itu. Di antara pelbagai keterbatasan lain dari UndangUndang tersebut adalah pembatasan jurisdiksi NHRC untuk melakukan investigasi – NHRC tidak memiliki otoritas untuk melakukan persidangan atau menjatuhkan hukuman pada pelanggar hak asasi manusia. NHRC juga tidak memiliki kekuasaan untuk memaksa orang atau institusi tertentu untuk mengambil langkah-langkah yang perlu. NHRC hanya bisa melaporkan temuannya dan memberikan saran untuk isuisu yang dilaporkan itu. Satu-satunya kewajibannya adalah, jika para pelaku itu tidak mematuhi hukum yang berlaku, melaporkan hal tersebut kepada Parlemen, dan selebihnya meninggalkan masalah tersebut pada tekanan publik. Di atas segala kendala dan permasalahan yang dihadapinya, tetap ada harapan, kendati sangat kecil, di antara banyak LSM, bahwa NHRC bisa menjalankan tugasnya memantau situasi dan pelanggaran hak asasi manusia di negeri tersebut. Keberanian Komisi tersebut berkonfrontasi dengan pemerintah menunjukkan bahwa NHRC memang menjalankan perannya secara serius. Jika NHRC bisa mengamankan kerja sama dan sumber daya yang diperlukannya untuk bisa bertindak secara independen terutama dalam melakukan investigasi, maka lembaga ini
EDISI: Januari-Februari 2007
INTERNASIONAL bisa diharapkan sebagai sebuah kekuatan positif untuk hak asasi manusia di Thailand. PM Thaksin Shinawatra telah memerintahkan para polisi untuk bekerja tujuh hari seminggu dan mengancam akan memecat atau menurunkan pangkat petugas yang tidak efektif dalam bekerja. Pada Maret 2003, ia muncul di hadapan publik untuk menjelaskan persoalan di balik semua aksi pembunuhan yang dilakukannya. “Para aktivis hak asasi manusia harus lebih peduli pada kehidupan para polisi ketimbang hidup para penghasil dan pengedar narkoba.” Meskipun ia telah mengumumkan kesediaannya untuk menerima kunjungan Pelapor Khusus PBB, namun ia kembali menegaskan bahwa kepedulian terhadap hak asasi manusia tidak akan mengubah garis kebijakannya terhadap narkoba. “Kami pikir hidup para penghasil dan pengedar narkoba tidaklah lebih penting daripada hidup para polisi,” demikian tegasnya. Karena itu, apa pun risikonya dan akibatnya, dan bagaimanapun caranya, ia akan tetap teguh memerangi narkoba dengan pelbagai cara. Pada 4 Maret 2003, surat kabar The Nation mengutip Thaksin yang mengatakan bahwa PBB “bukanlah bapak saya. Saya tidak khawatir sedikit pun tentang kunjungan PBB ke Thailand untuk masalah ini. Silahkan saja para petugas PBB itu datang kapan saja untuk melakukan observasi. Saya tidak khawatir, siapa pun yang ingin mengkritik, silahkan saja.” Menteri Dalam Negeri, Wan Muhammad Nor Matha, yang mengepalai operasi antinarkoba mendukung tindakan penghilangan dan kematian para pengedar narkoba itu dan mengatakan bahwa “memang lebih baik jika para penghasil dan pengedar narkoba itu mati. Mereka harus dijebloskan ke dalam penjara atau bahkan harus dilenyapkan tanpa jejak sedikit pun. Siapa peduli? Mereka telah menghancurkan negeri kita.” Nasib Komnas HAM Thailand yang “hidup segan mati tak mau” itu, pada 19 September 2006 menemui ajalnya seiring terjadinya kudeta militer terhadap pemerintahan Thaksin oleh tentara, Royal Thai Army, di bawah pimpinan Jenderal Sonthi Boonyaratglin. Junta baru ini menunda pemilihan umum yang sedianya tidak lama lagi akan dilangsungkan, membatalkan Konstitusi (baru) – yang di dalamnya terdapat dasar hukum pembentukan NHRC, membubarkan Parlemen, melarang semua aksi protes dan kegiatan-kegiatan politik dalam bentuk apa pun, membreidel dan menyensor media baik cetak maupun elektronik, mengumumkan pemberlakuan undang-undang darurat, dan menangkap para anggota Kabinet.
Meski demikian, dalam segala kesulitan yang dihadapinya, Komnas HAM Thailand ini sejak awal berdirinya hingga 31 Mei 2005 telah menerima total pengaduan sebanyak 2.148 di mana sebanyak 1.309 pengaduan telah diinvestigasi, 559 masih dalam proses investigasi sebelum terjadinya kudeta militer itu, 209 sedang dalam proses pengumpulan data dan bukti. Kasus-kasus yang diadu itu bukan semata-mata berkaitan dengan hak sipil dan politik, melainkan juga ekonomi, sosial, dan budaya. Apa pelajaran menarik yang bisa kita ambil untuk situasi Indonesia? Stabilitas politik Indonesia barangkali lebih baik ketimbang Thailand. Tapi, bukan itu persoalannya. Stabil atau tidak, persoalan utamanya: Pertama adalah komitmen politik pemerintah terhadap hak asasi manusia, dan bukan sekadar komitmen personal. Artinya, komitmen terhadap hak asasi manusia menjadi alat ukur kredibilitas politik dan kekuasaan. Kedua adalah soal independensi Komnas HAM dari kekuasaan politik. Independensi itu tercermin dalam aturan hukum yang jelas tentang hubungan institusional lembaga tersebut dengan lembaga negara lainnya, ketentuan tentang anggaran yang jelas dan tidak tergantung pada “niat baik” pemegang kekuasaan politik. Lebih dari itu, independensi itu terutama tercermin dalam ketentuan tentang perekruitan anggota atau para Komisioner yang transparan secara prosedural, Komisioner yang imparsial terhadap kepentingan politik apa pun serta memiliki keberanian dan komitmen yang tinggi terhadap hak asasi manusia. Barangkali, secara institusional Komnas HAM Indonesia sudah jauh lebih memadai dari Komnas HAM Thailand. Namun, posisi institusional yang lebih baik itu tidak berarti apa-apa tanpa “tindakan” para Komisionernya. Di tangan para Komisioner yang barulah pelbagai “catatan kurang” atas kinerja Komnas HAM selama ini dialamatkan.(*)
EDISI: Januari-Februari 2007
SUARA Kaum Waria Menuntut Pengakuan sebagai Warga Negara Bincang-Bincang Bersama Mbak Yulia Rettoblaut dan Mbak Nancy Iskandar Oleh Eddie Riyadi Mulai edisi ini, ASASI menyajikan satu kolom baru yaitu “Suara” yang berisi hasil bincang-bincang Eddie Riyadi dan reporter ASASI lainnya dengan tokoh-tokoh yang berkaitan dengan gerakan hak asasi manusia. Kali ini ASASI menurunkan dua hasil perbincangan kami dengan Mbak Yulia Rettoblaut (Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia) dan Mbak Nancy Iskandar (Ketua Forum Komunikasi Waria Cabang DKI Jakarta). Keduanya mencalonkan diri dan dicalonkan untuk menjadi anggota Komnas HAM periode 2007-2012. Keduanya telah lolos seleksi tahap pertama, namun pada tahap kedua yang diumumkan pada 24 Februari 2007, hanya Mbak Julia yang lolos. Meski demikian, hasil wawancara dengan Mbak Nancy tetap kami sertakan bersama dengan Mbak Yulia, untuk memperlihatkan kekayaan perspektif dan memperlihatkan bahwa perjuangan melalui Komnas HAM bukanlah menjadi satu-satunya tumpuan harapan mereka, melainkan hanya salah satu. Mari kita ikuti sajiannya. Salon itu tampak lengang. Belum ada pelanggan yang datang. Ya memang, jam kunjunganku memang jam-jam ngantuk, jam-jam siesta kalau mengikuti kebiasaan orang Italia, jam tidur siang. Saya berharap semoga Mbak Yulia masih berkenan menemui saya, kendati sudah sangat terlambat dari waktu yang dijanjikan. Dan semoga beliau juga tidak sedang siesta. Ternyata memang tidak, beliau hanya sedikit kurang sehat karena kecapean. Menunggu sekitar lima menit sambil menikmati teh hangat yang disajikan oleh salah satu karyawannya, Mbak Yulia muncul dengan dandanan ala kadarnya. Tampak anggun dalam kesederhanaannya. Berkulit hitam manis, rambut panjang disanggul. Ia orang Papua asli, demikian ia mengakui dirinya pada awal perkenalan sambil menebak dari mana saya berasal. Dan dia benar. Kebanyakan orang menebak saya berasal dari Batak atau Menado, tapi dia benar dengan mengatakan bahwa saya dari Flores Barat. Hal itu menambah kehangatan suasana ngobrol.
Jika orang sudah terlanjur memendam stereotip dan stigma terhadap waria, maka mungkin setelah bertemu Mbak Yulia, keduanya akan luruh. Betapa tidak. Terlepas dari masa lalu yang mungkin boleh dibilang hitam dalam jejak peradaban yang ditorehnya, bertemu Mbak Yulia yang sekarang sungguh menohok kita untuk meredefinisi tentang konsep antropologis konvensional selama ini. Tak ada kesan genit dalam sosoknya. Tampak lumrah. Sederhana. Dan kesederhanaan itu pulalah yang menjadi landasan perjuangannya memasuki bursa pencalonan anggota Komisi Hak Asasi Manusia. Dia memang waria. Tetapi, bukan ke-waria-an itu yang menjadi dasar utama dia ikut bermain, melainkan ke-warganegaraannya. “Bukan hak saya sebagai waria yang pertama-tama ingin saya perjuangkan,” tegasnya, “melainkan hak saya sebagai warga negara.” Kalimat ini pendek tapi lugas dan menggugat. Mengapa? Selama ini eksistensi waria sebagai manusia selalu dipertanyakan berdasarkan konsep antropologis konvensional yang didominasi oleh ajaran agama-agama dan filsafat tertentu. Hal ini kemudian berimplikasi pada eksistensi mereka di hadapan hukum, secara politis, sosiologis dan kultural. “Kami mengalami kesulitan,” demikian kembali ia berkata, “dengan model KTP yang hanya memungkinkan pencantuman jenis kelamin Pria/ Wanita. Kami tidak termasuk pada salah satu pun di antara kedua hal itu. Bahkan toilet sekalipun menolak kami.” Miris memang. Perjuangan waria untuk mendapat pengakuan sebagai manusia yang sama seperti yang lain dan sekaligus sebagai warga masyarakat dan negara memang tidak mudah. Tetapi, “Pasal 5 ayat 3 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan Komnas HAM,” demikian tegas Yulia, “merupakan pintu masuk bagi kami.” Ya, pasal itu memang mengatur tentang hak kelompok masyarakat yang rentan. Yulia memakai pasal itu sebagai salah satu pengukuh
EDISI: Januari-Februari 2007
SUARA Melalui Komnas HAM, Yulia percaya dan berharap perjuangannya untuk mendapatkan keadilan bagi kaum marginal dan rentan, termasuk para waria, gay, lesbi, bahwa dia bisa pelan-pelan mempengaruhi wacana, paradigma dan perspektif dominan dan konvensional homo, dsb. Mengapa harus terjun sendiri? Bukankah kaum masyarakat yang mendiskreditkan kaum waria dan kelompok aktivis dan pembela hak asasi manusia lain dapat diandalkan rentan sejenis. Terlepas dari catatan sejarah perjalanan untuk memperjuangkan hak-hak mereka? “Bukannya saya Komnas HAM Indonesia yang tidak memperlihatkan tidak percaya, Mas, tetapi alangkah lebih baik kalau orang komitmen yang signifikan dalam advokasi hak asasi yang mengalami sendiri, mengetahui persis, yang manusia, Yulia percaya bahwa jika lembaga itu diisi oleh orang-orang yang bukan sekadar mau tampil dan genit baik memperjuangkannya. Bantuan pihak lain sangat kita secara intelektual maupun politis, melainkan oleh orangharapkan dan kita terima bahkan kita gugah. Tetapi kami orang yang memang berkomitmen tinggi, maka niscaya sendiri perlu terlibat aktif di dalamnya.” lembaga itu akan menjadi wahana prima penegakan hak Tetapi, apakah Komnas HAM memang bisa asasi manusia di Indonesia. “Dan, kami kaum waria, dan dipercaya menjadi wahana perjuangan? Yulia percaya sekali kelompok masyarakat rentan lainnya, ada di sana,” demikian bahwa Komnas HAM bisa diandalkan, meski bukan satutegas Yulia yakin dan semangat. satunya wahana. Akan tiba saatnya kaum waria dan Namun, “sekali lagi, keberadaan saya di Komnas kelompok masyarakat rentan lainnya berjuang melalui HAM nanti kalau sukses, pertama-tama bukan sebagai waria, pelbagai institusi sosial Mbak Yulia lahir di Papua pada 30 April 1961 sebagai anak ke-7 dari 11 bersaudara. Saat terlahir, dianugerahi nama oleh orantuanya dengan nama yang dan politik yang hingga kini disandangnya, tidak diubah-ubahnya, yaitu Yulianus Rettoblaut. Hanya nama panggilannya saja barangkali yang disesuaikan, yaitu Yulia. ada di republik ini, baik itu Yulia sudah menyadari ke-wanita-an dalam dirinya sejak kelas 5 SD. Saat itu dia mengenakan atribut-atribut lelaki dalam hidupnya, tetapi jauh di dalam DPR, lembaga lubuk hatinya naluri kewanitaan menggedor-gedor eksistensinya. Secara umum Yulia tidak pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif atau kekerasan pemerintahan, karena keadaannya itu baik di sekolah maupun di keluarga. Bahkan oleh orang tuanya, dia diperlakukan secara istimewa karena mereka tahu bahwa dia tidak sekuat saudar-saudaranya yang lain. dsb. “Tetapi itu nanti, Mas, Atribut lelaki tetap melekat dalam dirinya hingga ia memasuki universitas Atma Jaya di Jakarta, Fakultas Ekonomi. Kuliah itu terpaksa ditinggalkannya nanti. Mungkin pada tahun 1984 karena Yulia mendapatkan kesempatan untuk bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Di perusahaan tersebut Yulia sempat 10-20 tahun mendapatkan penghargaan sebagai Top Produser karena prestasi yang diraihnya. Atribut lelaki tetap dikenakannya. Namun, “suara-suara” wanita dari lagi.” Yah, Yulia dalam lubuk jiwanya meminta untuk dilepaskan. t a m p a k Begitulah, akhirnya pada usianya yang ke-25 Yulia memutuskan untuk memenuhi panggilan jiwanya itu. Ia pun berdandan. Mengapa berdandan? Bukan v i s i o n e r , untuk tampil genit atau semacamnya, melainkan untuk “menunjukkan identitas” bahwa Yulia adalah seorang waria. Sebuah keberanian! Keberanian untuk optimis, tapi hidup menjadi diri sendiri! juga realistis. Karena itu, Yulia pernah menjadi ketua Karang Taruna di tempat tinggalnya dan ketua Mudika di sebuah Paroki Greja Katolik di Jakarta. Sekarang ini Yulia memiliki persekutuan doa para waria bernama “Eklesia”, memimpin Yayasan Pascalina, sebuah yayasan yang beranggotakan kaum waria sebagai relawan p r o g r a m kemanusiaan dalam pelbagai urusan dan masalah sosial, juga memimpin Pascalina Dancers, sebuah kelompok penari beranggotakan waria, yang kaderisasi dan melayani dan mengisi pelbagai kegiatan di republik ini. regenerasi m e l a l u i Yulia yang sempat mengalami kegelapan malam waria Jakarta dan menghirup debu jalan-jalan remang Jakarta, pada tahun 1997 melalukan pembalikan p e l b a g a i radikal. Remang malam dan jalan bukanlah tempatku, begitu katanya. Panggilan “suara wanita” dalam lubuk jiwanya tidak untuk menempatkannya di k e g i a t a n sana. Ada sesuatu yang lain yang harus dikerjakannya sebagai waria. Dan itu dimulainya dengan membuka salon. Lalu kemudian mulai mengumpulkan teman-teman sejenis, mengkoordinir mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial, tampil dalam pelbagai acara sosial, dsb. Tahun 2002 Yulia dan temanpelatihan, temannya menyelenggarakan kontes waria di Hotel Indonesia. Pelbagai kegiatan serupa pun kemudian merebak setelah itu, juga kegiatan-kegiatan s e m i n a r , olahraga, nyanyi, kebudayaan, dsb. Untuk lebih memantapkan regenerasi, maka pada tahun 2004, Meggy Megawati kemudian dipercaya untuk kontes, dll., berkonsentrasi mengurus entertainmen kaum waria. menjadi agenda utama kaum Berbekal pelbagai pengalaman dan keterampilannya memimpin dan mengelola pelbagai kegiatan sosial, Yulia kemudian dinobatkan oleh teman-teman waria seluruh Indonesia sebagai Ketua Forum Komunikasi Waria se-Indonesia. waria saat ini.
EDISI: Januari-Februari 2007
SUARA melainkan sebagai warga negara yang adalah waria, dan karena itu bukan terutama hak kami sebagai waria yang kami perjuangkan, melainkan hak kami sebagai warga negara. Dan, bukan hanya hak kami, melainkan hak semua kelompok masyarakat rentan pada khususnya, dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan pada umumnya.” Luar biasa. Hak yang dia perjuangkan melalui lembaga itu pun sederhana saja yaitu “hak atas hidup” sebagai warga masyarakat dan warganegara. Itu berarti adanya pengakuan hukum dalam segala bentuknya terhadap mereka, antara lain terterap dalam KTP. Hak lain yang sejajar dengan itu adalah “hak atas lapangan pekerjaan” baik di sektor formal maupun informal, serta “hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif”. Sederhana bukan? Tapi apakah dalam praktik politik hak asasi manusia negeri ini bisa sesederhana itu? Para Komisioner Komnas HAM yang akan datang ditantang untuk itu. Ketika saya memasuki halaman parkir klinik PKBI di belakang stasiun Jatinegara itu, dua orang waria tampak sedang duduk-duduk santai di teras. Di sampinya duduk seorang ibu yang mengenakan jilbab. Usianya kurang lebih 50-an. Ketika saya bersiap hendak menyapa salah seorang waria yang cantiknya sebanding Julia Perez, dan saya kira dia itulah Mbak Nancy, tiba-tiba HP saya berdering, ada telepon masuk dari Mbak Nancy. Lalu ibu berjilbab itu tiba-tiba menyapa saya dan memanggil nama saya. “Saya Nancy,” katanya. Alamak, kukira dia bukan waria. Dia tampak seperti seorang ibu tulen. Bahkan seorang temanku ketika melihat fotonya mengatakan bahwa ia tampak seperti seorang wanita pejabat di republik ini. Mbak Nancy tampak sederhana dan bijaksana. Kalimat-kalimat yang keluar dari hati dan pikirannya pun tampak sederhana dan mencerminkan komitmen yang besar terhadap kemanusiaan. Pelbagai kegiatan yang dilakukannya pun menjadi penutur tentang pengabdian dan komitmennya. Sebagai seorang aktivis di Yayasan Srikandi Sejati yang memang secara khusus menangani permasalahan kaum waria, Nancy yang pernah menjadi staf kontrak di Departemen Sosial, sekarang ini menjadi konselor kesehatan dan sekaligus trainer untuk para waria se-DKI Jakarta. Motivasinya mengikuti bursa pencalonan anggota Komisi Hak Asasi Manusia pun sangat sederhana. “Kami hanya hendak mengatakan kepada publik Indonesia melalui
keberadaan mereka itu. Pengakuan itu diharapkan bisa dituangkan dalam bentuk peraturan hukum yang berfungsi sebagai payung penegakan hak mereka sebagai warga negara dan sebagai waria secara khusus. Diharapkan melalui institusi Komnas HAM, perjuangan untuk mengembangkan wacana tentang perlunya legislasi yang mengatur hak kaum waria dapat terwujud. Nancy melihat bahwa Komnas HAM merupakan lembaga yang bisa diandalkan untuk memperjuangkan hakhak mereka. Hanya saja, sebagaimana juga diungkapkan oleh Yulia, tanpa keterlibatan “korban” sendiri di dalam perjuangan itu, alias hanya sebagai penonton dan “klien”, keberhasilannya sangat diragukan. Mengapa? Karena yang paling mengetahui situasi dan kondisi real di lapangan adalah kaum waria itu sendiri. Tampaknya, terobosan ini mencerminkan suatu perombakan paradigma “patron-klien” yang sudah mendarah daging dalam kultur feodal yang tak jua lenyap-lenyap di negeri ini, dan disanding dengan sebuah paradigma baru yaitu pendekatan victim-based. Dalam diskursus hak asasi manusia, pendekatan ini tampak mengental dalam diskursus transitional justice yang lebih terartikulasi dalam KKR yang nasibnya sudah dibungkam itu. Nancy melihat bahwa penegakan keadilan di Indonesia belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, terutama bagi kamu marginal dan kelompok rentan, termasuk kaum waria. “Kami hanya menginginkan keadilan. Keadilan untuk diperlakukan sama seperti warga negara yang lain, masyarakat umum.” Ya, tentu saja Nancy benar. Tidak ada satu alasan pun yang membuat mereka dibedakan secara diskriminatif misalnya dalam pekerjaan baik di sektor informal maupun formal. Nancy, seperti juga Yulia, menggugat praktikpraktik diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat kita. “Apakah seseorang dipekerjakan karena keahliannya atau karena statusnya sebagai perempuan, laki-laki, atau waria?” Ini sebuah pertanyaan yang menyentak dan membongkar. Pencalonan diri menjadi anggota Komnas HAM hanya merupakan salah satu langkah, langkah yang penting, dalam advokasi hak-hak mereka sebagai warga negara. Nancy berharap bahwa dengan keterlibatan kaum waria dalam institusi itu, maka kekurangan yang ada selama ini bisa diperbaiki, dan terutama bisa membuat Komnas HAM lebih menggigit, tegas dan independen, serta tidak bekerja dengan logika “keterwakilan”, melainkan dengan semangat kemanusiaan yang universal.
EDISI: Januari-Februari 2007
SUARA
Mba Yulia dan Mbak Nancy dalam salah satu acara bersama fraksi kebangkitan Bangsa, DPR-RI Sumber : Dok. pribadi Nancy Iskandar terlahir tahun 1954 di Bandung, dengan nama pemberian orang tua Nandy Iskandar. Nancy adalah anak pertama dari sembilan bersaudara. Ayahnya adalah seorang anggota ABRI dan dengan demikian dibesarkan dengan didikan ala militer dalam keluarga. Orang-tuanya menyadari karakter Nancy yang “kewanitawanitaan” sejak ia masih kecil. Karena itu, mereka berupaya mendidik Nandy kecil dengan keras ala militer agar sifat kewanitaannya itu hilang dan benar-benar tampil sebagai lelaki “tulen”. Salah satu cara yang ditempuh adalah menyekolahkan Nandy di perguruan tinggi teknik di Bandung. Memang, pada masa itu, jurusan teknik identik dengan pria, dalam arti kebanyakan peminatnya adalah pria. Namun, “suara wanita” yang memanggil-manggil dari dalam lubuk batinnya membuat Nandy tidak betah. Ia kemudian memilih keluar pada tahun keempat. Ia merasa tidak menemukan dirinya dengan memaksakan diri terus-menerus mengikuti kemauan orang-tuanya kuliah di jurusan teknik tersebut. Hasrat kewanitaan yang terpenjara dalam raga pria itu meronta-ronta meminta ekspresi bebas. Karena itu, ia kemudian mencari-cari komunitas waria sebagai bagian dari pencarian jati dirinya. Dari Bandung ia pindah ke Bogor kemudian ke Jakarta. “Kiprah saya dikalangan waria saya jalani,” demikian lanjutnya, dan “saya pernah mejalani kehidupan malam pada saat itu … tidak lama karena kesadaran diri bahwa langkah itu kurang baik, sehingga saya ikut beraktivitas di organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan segala macam. Oleh teman-teman saya ditua-kan, sehingga sekarang ini saya menjadi ketua Waria DKI Jakarta [sementara ketua Waria se-Indonesia adalah Mbak Yulia, penulis]. Sebelumnya saya bekerja di Dinas Bintalkesos, yang dulunya Dinas Sosial, selama 17 tahun. Status saya di sana adalah karyawan Dinas Sosial tapi kontrak. Saya memberikan pelatihan keterampilan kepada para waria; jadi tugas saya memberikan keterampilan pada waria dan PSK hasil razia dan anak-anak terlantar binaan Dinas Sosial. Saya sekarang bekerja di LSM Yayasan Srikandi Sejati yang bergerak di bidang kemanusiaan yaitu pendampingan kesehatan kepada waria se-DKI Jakarta, dan sekarang saya di LSM ini ditempatkan di klinik PKBI sebagai konselor kesehatan karena Yayasan Srikandi Sejati kerjasama dengan klinik PKBI bidang kesehatan yang notabene untuk waria se-DKI Jakarta.” “Mengapa ditempatkan satu klinik khusus karena bagaimana pun waria ingin berobat nyaman dan tidak mendapatkan diskriminasi. …Pada dasarnya kalau berobat di rumah sakit lain kadang-kadang waria suka dapat diskriminasi, dapat perlakuan yang kurang pas karena kewariaannya, sehingga kami pengurus-pengurus ini mempunyai satu kebijakan yaitu melalui LSM Yayasan Srikandi Sejati kami mempunyai tempat bekerja sama dengan PKBI di sini untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada waria di DKI Jakarta untuk bidang kesehatan. Untuk hal-hal saya mencalonkan diri ke Komnas HAM, kesempatan ini mengapa tidak.”
EDISI: Januari-Februari 2007
WACANA Tanggung Jawab Bisnis terhadap HAM: Dari Sosial-Etis ke Politik Oleh Eddie Riyadi (Staf ELSAM) Kata “tanggung jawab” (accountability) telah menjadi kata sakti dalam diskursus hak asasi manusia. Sayangnya, hingga sejauh ini, kata itu lebih banyak dicantelkan terhadap negara. Negaralah pengampu utama pertanggungjawaban atas pemenuhan, perlindungan, dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Secara konseptual-teoretis baik filosofis, politik, maupun hukum hal itu sangat logis. Negara memang “dimandatkan” oleh para pemberi kuasanya yaitu rakyat untuk mengurus kesejahteraan mereka. Legitimasi kekuasaannya berasal dari rakyat, dan karena itu kepada merekalah pertanggungjawaban diarahkan. Itulah logika internal dalam diskursus hak asasi manusia, yang berkelindan dengan logika demokrasi dan “kontrak sosial”. Tapi, perkembangan mutakhir memperlihatkan bahwa paradigma itu tidak efektif lagi. Mengapa? Pertama, paradigma itu mengandaikan bahwa lokus kekuasaan real politik hanya terletak pada negara. Kenyataannya, sentrasentra kekuasaan itu kini telah terpecah-pecah dan terbagibagi, baik kepada institusi ekonomi global dan nasional maupun kelompok-kelompok masyarakat sipil, dsb. Kedua, dampak lanjutan dari hal pertama itu adalah bahwa di satu sisi negara tidak sendirian dan “tidak bebas” dalam menjalankan kekuasaannya, dan di sisi lain keberadaan pihak-pihak non-negara itu secara real memiliki implikasi politis di lapangan. Ketiga, memang benar bahwa aktor-aktor non-negara itu tidak mendapatkan kekuasaan politik apa pun dari rakyat, tetapi kinerja mereka justru memperlihatkan bahwa bahkan mereka lebih dari lembaga politik yang paling kuat sekalipun. Pelbagai advokasi terhadap pelanggaran hak asasi manusia hanya akan menemui jalan buntu jika hanya diarahkan kepada negara saja tanpa melihat keterkaitannya dengan “pemegang kekuasaan lain” di balik itu yaitu pelaku bisnis berupa perusahaan-perusahaan internasional dan nasional. Bahkan, dalam beberapa kasus, pelanggaran itu jelas-jelas dilakukan oleh perusahaan. Modelnya bisa perusahaan dengan dukungan negara, bisa juga negara dengan dukungan perusahaan.
Dalam konteks seperti inilah tumbuh subur diskursus tentang “tanggung jawab perusahaan” terhadap masyarakat yang lazim disebut sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Bahkan, di tingkat internasional yang terwakili oleh PBB, persoalan kaitan antara bisnis dan hak asasi manusia menjadi agenda utama di milenium baru ini. UN Global Compact, the UN Human Rights Norms for Business (lengkapnya adalah: United Nations Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights) yang diadopsi oleh U.N. Sub-Commission on the Protection and Promotion of Human Rights pada Agustus 2003, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Guidelines on Multinational Enterprises, dan pelbagai kode-kode etik merupakan beberapa contoh keprihatian internasional yang hendak merespon kebutuhan untuk berubah dan membimbing perilaku perusahaan dalam kaitan dengan hak asasi manusia. Memang, hingga sekarang belum ada satu pun yang berlaku mengikat seperti layaknya sebuah treaty yang legally binding, namun diharapkan bahwa norma-norma itu akan menjadi soft law yang berlaku sebagai customary international law seiring praktiknya. Konsep CSR sendiri sebenarnya bukanlah baru sama sekali, dan pengertiannya tidaklah statis. Telusuran bibliografis akan membantu untuk itu. Tinjauan literatur (Caroll, 1999) dan analisis bibliometris (de Bakeer, dkk., 2005) mendukung kesimpulan bahwa asal muasal akademis konsep CSR dapat ditelusuri hingga ke tahun 1950-an. CSR pertama kali muncul dalam diskursus resmi-akademik sejak munculnya tulisan Howard Bowen, Social Responsibility of the Businessmen pada tahun 1953 (Harper & Row, New York, 1953). CSR yang dimaksudkan Bowen mengacu pada kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, keputusan, dan pelbagai tindakan-tindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Karena itulah, Caroll menggelari Howard R. Bowen sebagai “father of Corporate Responsibility”.
EDISI: Januari-Februari 2007
WACANA Sejak waktu itu banyak pakar mengikuti langkah Bowen. Pada tahun 1970-an, intuisi bahwa bisnis memiliki beberapa bentuk tanggung jawab sosial di luar dan di atas tanggung jawab semata pada aspek ekonominya telah ditekankan dalam sejumlah terbitan (Frederic, 1960; Davis & Blomstrom, 1966; Walton, 1967). Meskipun konsep CSR dalam publikasi ini masih terasa kasar, namun keprihatinan utamanya adalah menekankan bahwa CSR memang dihasrati. Dia dihasrati baik karena dari dalam dirinya sendiri memang pada galibnya bisnis memiliki dimensi sosial maupun karena pertimbangan jangka panjang demi kepentingan ekonomi (bisnis) itu sendiri (cf. Davis, 1960; Johnson, 1971). Pada dekade berikutnya, diskursus tentang CSR semakin mengalami diversifikasi dan proliferasi definisi. Namun, unsur-unsur umum yang tampak dari pelbagai tawaran pengertian itu mengarah pada pandangan bahwa bisnis memang bertanggung jawab “melampaui isu ekonomi yang sempit, teknis dan bahkan persoalan legal semata” (Davis, 1973). Namun, tetap saja kesimpangsiuran pengertian dan konsep dalam diskursus tentang CSR ini tidak reda. Baru pada akhir abad 20, konsep ini terbantu dan diperkaya oleh teori tentang stakeholder dan pengertian tentang kewargaan-korporasi. Kegamangan dalam diskursus ini disebabkan oleh kenyataan bahwa bidang bisnis dan masyarakat mengalami kekurangan fondasi konseptual dan tidak memiliki tradisi teori yang sistematik. Meski masih memiliki beban teoretis, konsep CSR telah menjadi “gerakan” yang fenomenal belakangan ini. Karena itu, terlepas dari pelbagai variasinya, namun secara umum konsep itu memiliki arti sebagai berikut: (1) perusahaan swasta memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat melampaui kepentingan produksi barang dan jasa yang hanya berorientasi pada keuntungan (laba); (ii) sebuah korporasi memiliki konstituten yang jauh lebih luas dari pada hanya sekadar para stakeholder-nya semata; (iii) korporasi berelasi dengan masyarakat melalui pelbagai aspek dan tidak melulu melalui pasar semata; (iv) bisnis mempunyai tugas melayani nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas cakupannya dan bukan sekadar nilai-nilai ekonomis tradisional yang mendominasi ranah pasar. Tanggung jawab sosial perusahaan berarti bahwa bisnis atau perusahaan lebih dari sekadar institusi ekonomi semata. Karena itu, bisnis mempunyai tanggung jawab untuk membantu masyarakat dalam memecahkan masalahmasalahnya yang paling berat (yang kebanyakan justru disebabkan oleh pelaku bisnis itu sendiri) dengan
mengalokasikan sumber daya dalam kualitas dan kuantitas tertentu. Konsep CSR pada dasarnya merupakan konsep etis. Konsep ini melibatkan pengertian yang berubah tentang kesejahteraan manusia dan menekankan perhatian tentang dimensi sosial dari kegiatan bisnis yang memiliki koneksi langsung dengan kualitas hidup masyarakat. Konsep ini menyediakan jalan bagi bisnis untuk melibatkan dirinya dengan dimensi sosial dan memberikan perhatian terhadap dampak-dampak sosial, terutama yang justru disebabkan oleh bisnis itu sendiri. Kata tanggung jawab mengandung implikasi bahwa organisasi-organisasi bisnis memiliki beberapa jenis kewajiban terhadap masyarakat di mana mereka harus ikut aktif menangani masalah-masalah sosial dan memberikan kontribusi lebih dari sekadar barang-barang dan jasa ekonomis. Singkatnya, konsep CSR mengandung makna bahwa perusahaan atau pelaku bisnis pada umumnya memiliki tanggung jawab yang meliputi tanggung jawab legal, ekonomi, etis, lingkungan. Lebih khusus lagi, CSR menekankan aspek etis dan sosial dari perilaku korporasi seperti etika bisnis, kepatuhan pada hukum, pencegahan penyalahgunaan kekuasaan dan pencaplokan hak milik masyarakat, praktik tenaga kerja yang manusiawi, hak asasi manusia, keamanan dan kesehatan, perlindungan konsumen, sumbangan sosial, standard-standard pelimpahan kerja dan barang, dan operasi antar-negara. Persoalannya, konsep CSR itu sendiri, sejak awal pemunculannya hingga sekarang, berkesan moralis. Kata “sosial” dalam kata CSR sendiri memiliki makna peyoratif yang berarti “suka rela”, lebih bermakna sebagai tindakan filantropi. Jadi bukan sebuah kewajiban. Padahal, dalam kaitan dengan advokasi hak asasi manusia, imbauan moralis serta semangat altruistik di balik kata “sosial” itu sama sekali tidak memadai. Konsep hak asasi manusia mengimplikasikan adanya “tanggung jawab” atau “kewajiban”, baik politik maupun hukum. Namun, sudah jamak juga bahwa hukum itu sendiri bukanlah hukum jika tanpa enforcement, atau dalam perspektif filsafat hukum sering disebut sebagai “faktisitas”, keterterimaan oleh masyarakat dan subjek hukum lainnya seperti pebisnis. Enforcement itu tidak bisa tidak pasti mengandaikan politik. Karena itu, kewajiban dan tanggung jawab yang terpenting dalam kaitan dengan CSR ini adalah tanggung jawab politik. Bagaimana menagih tanggung jawab politik dari para pelaku bisnis? Padahal, mereka bukanlah institusi politik dan malah sering di permukaan seolah “takut” dengan politik.
EDISI: Januari-Februari 2007
WACANA Paradigma konsep politik perlu diubah. Pertanggungjawaban politik tidak lagi semata bersifat diametris dalam arti institusi atau aktor politik dikatakan bertanggung jawab karena mendapatkan kekuasaan formal dari rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan, melainkan juga karena praktik penggunaan kekuasaan real di lapangan. Dengan begitu, sebuah perusahaan yang bukan merupakan institusi politik, namun kekuasaan ekonominya memiliki implikasi politik yang sangat signifikan bagi masyarakat – misalnya kehadirannya telah menyebabkan terampasnya hak-hak asasi manusia dari suatu komunitas tertentu di mana perusahaan itu beroperasi – apalagi jika perusahaan tersebut terlibat aktif dalam kampanye dan kegiatan politik baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, akan sah secara politik untuk dimintai pertanggungjawaban. Misalnya, masyarakat setempat sepakat untuk “mengusir” perusahaan tersebut dari wilayah mereka, atau meminta perusahaan tersebut membayar ganti rugi atau kompensasi, meminta perusahaan tersebut melibatkan para warga setempat sebagai tenaga kerja ketimbang orang-orang dari tempat atau negara lain, memaksa perusahaan tersebut bertanggung jawab secara hukum, dsb. Dengan demikian, dalam kaitan dengan advokasi hak asasi manusia, kewajiban yang diminta dari para pelaku bisnis bukan lagi semata moralis, sosial, filantropis, voluntary, melainkan politik. Kewajiban dalam konsep hak asasi manusia – di atas pengertian yang berlaku selama ini yang hanya mengedepankan kewajiban dalam pengertian hukum, yang hemat saya sudah saatnya perlu dikritik – adalah kewajiban politik. Artinya, hak asasi manusia telah menjadi suatu standard legitimasi kekuasaan.
Kewajiban dalam konsep hak asasi manusia – di atas pengertian yang berlaku selama ini yang hanya mengedepankan kewajiban dalam pengertian hukum, yang hemat saya sudah saatnya perlu dikritik – adalah kewajiban politik. Artinya, hak asasi manusia telah menjadi suatu standard legitimasi kekuasaan. Jika ia diabaikan, maka legitimasi suatu kekuasaan politik menjadi goyah. Pemerintah, perusahaan, dan aktoraktor lain yang tidak mempunyai perhatian terhadap, apalagi melanggar, hak asasi manusia dengan sendirinya berarti menggoyahkan legitimasinya sendiri. Bisnis mempunyai tanggung jawab politik bukan karena ia mendapatkan kekuasaannya dari rakyat, bukan juga karena ia memang mempunyai kekuasaan politik per defitionem, melainkan karena dalam operasinya ia seolaholah memiliki kekuasaan politik, yang bahkan lebih dari lembaga politik yang ada. Kekuasaan bisnis, apalagi dalam paradigma neoliberalisme, telah merontokkan pelbagai dimensi kekuasaan lain dalam kehidupan manusia, bahkan politik itu sendiri. Praktik kekuasaan ekonomi dari bisnis pada kenyataannya berimplikasi politik, bahkan kekuasaan ekonominya adalah kekuasaan politiknya. Dalam cengkeraman neoliberalisme, bukan lagi knowledge is power, melainkan economic is power. Bisnis ditagih pertanggungjawaban politiknya bukan dilihat dari segi sumber kekuasaannya, melainkan karena praktik kekuasaannya. Logika ini bisa juga dipakai untuk menangani kelompok-kelompok vigilante yang bertindak seolah-olah mereka adalah aparatus negara. Inilah sebuah tawaran yang kiranya perlu masih dikembangkan. (*)
EDISI: Januari-Februari 2007
Merebut Kembali Alam yang Terampas Judul
Penulis
Penerbit Tahun Terbit Tebal
Oleh Eddie Riyadi : Hak-Hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam : Rafael Edy Bosko (dengan Prolog: Eddie Riyadi; Epilog: Emil Ola Kleden) : ELSAM dan AMAN : Desember 2006 : 240 hlm. (xiv).
Dewasa ini masyarakat global menyaksikan bangkitnya
Keseluruhan yang dalam tingkat normatif tertuang
“masyarakat adat” baik pada tataran diskursus maupun pada
dalam pelbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia
tataran gerakan. Terlepas dari apakah mereka dinamakan
internasional. Sebuah tahap perjalanan roh kesadaran
“masyarakat adat” (indigenous peoples) lebih dilihat dari
tengah kita jalani.
perspektif politik, atau malah mungkin secara sosiologis
Namun, masih saja, kekhasan dan keunikan
mereka juga diakui sebagai sebuah masyarakat atau tidak,
mereka tetap tak sepenuhnya terakomodasi dalam bingkai
yang jelas mereka memang “manusia-yang-bermasyarakat”
diskursus hak asasi manusia internasional selama ini.
dan “masyarakat-manusia”. Hanya saja, corak
Mengapa mereka menekankan kekhasan mereka dalam
kemasyarakatan mereka memang khas dan unik, tapi juga beragam. Penyebutan khas dan unik tentu saja diteropong dari, dan sekaligus sebagai gugatan terhadap, paradigma modernisme. Modernisme telah menempatkan konsep antropologis secara sapu rata. Pandangan ini pada gilirannya berimplikasi pada praksis sosial, politik, dan bahkan pengetahuan itu sendiri. Epistemologi modernisme ini meragukan mereka sebagai sebuah entitas sosial persis
memperjuangkan penghargaan dan penghormatan terhadap martabat dan hak-hak mereka? Jawabannya sederhana: hanya dengan mengakui kelainan mereka, kita bisa melihat kesamaan kita dengan mereka. Artinya, kelainan itu berada pada tataran faktual empiris saja, pada tataran fenomenal, tetapi justru dari sanalah kita menyelam ke kedalaman mencari akar ontologis dan antropologis yang sama. Lalu
karena pandangan sosialitas modern berkelindan dengan
kita melihat mereka sebagai “diri kita yang lain” (alter ego).
pandangan antropologis yang “satu dimensi”. Tentu saja, ini
Ada hal lain lagi mengapa mereka memang harus dilihat
bukan murni kesalahan paradigma modernisme, melainkan
sebagai “yang lain” untuk dihargai sebagai “yang sama”, yaitu
lebih sebagai implikasi yang tak diperhitungkan sebelumnya.
bahwa pandangan tentang “hak”. Pandangan dominan hak
Karena itu, mereka dipandang sebagai “yang lain”.
asasi manusia dipahami dalam dimensi individual, namun
Pernah ada masanya “kelainan” mereka ini dipandang
masyarakat adat memahaminya dalam dimensi kolektif
secara rendah. Mereka dipandang tidak beradab. Bodoh.
(collective rights). Tentu saja, pandangan ini mempunyai akar
Barbar. Kafir. Tetapi, dialektika roh (kesadaran) terus
antropologis dan filosofisnya, tetapi bukan di pengantar ini
berdenyut. Lalu, kemudian, datang masanya “kelainan”
tempat kita mendiskusikannya.
mereka dipandang sebagai sesuatu yang berharga, karena
Buku ini, mengangkat salah satu isu penting
itu “harus” dihargai. Penghargaan terhadap “kelainan”
berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat, yaitu isu
mereka semakin artikulatif dan signifikan seiring penghargaan terhadap martabat manusia secara
EDISI: Januari-Februari 2007
tentang hak mereka dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, dalam buku ini kita bisa melihat kompleksitas dan keterkait-kelindannya problem masyarakat adat secara keseluruhan. Pembongkaran problem mereka semoga pada gilirannya akan menyentak nurani para pejuang hak asasi manusia dan masyarakat umum untuk menggandeng “yang lain” dalam kesamaan ini sebagai “yang sama” dalam kelainan, dalam perjalanan dialektika pemuliaan martabat manusia. Dengan demikian, melongok masalah masyarakat adat adalah melongok masalah kita sendiri. Juga sebaliknya, masyarakat adat dengan melongok masalahnya sendiri semestinya tidak berhenti di sana, melainkan mencoba keluar dari dirinya sendiri dan melihat problem kemanusiaan global. Di sana dia coba memetakan posisi masalahnya secara tepat. Sehingga, perjuangan mereka sebagai masyarakat adat juga akan menjadi perjuangan masyarakat dunia secara keseluruhan. Kali ini kita coba “menggalang” perjuangan bersama ini dengan mengetengahkan problem hak dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam buku ini penulis mendiskusikan dampak dari pembangunan sumber daya alam terhadap hak-hak masyarakat adat, dan menganalisis instrumen hukum internasional yang relevan berkenaan dengan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat terhadap tanah dan sumber daya alam mereka. Penulis membatasi analisisnya pada standard-standard yang berlaku universal yang tersedia. Uraian dilengkapi dengan contoh-contoh kasus dari beberapa negara, sehingga pembaca bisa memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat berkenaan dengan hak-hak mereka terhadap tanah dan sumber daya alam mereka ketika sumber daya tersebut dikembangkan atau dieksploitasi.
Struktur buku ini disusun sebagai berikut: Setelah pengantar singkat pada Bab 1, pada Bab 2 penulis memaparkan dan menganalisis perkembangan konsep masyarakat adat dalam hukum internasional, dan bagaimana istilah “masyarakat adat” didefinisikan. Pada Bab 3, penulis mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat sehubungan dengan hak-hak mereka terhadap tanah dan sumber daya alam mereka, diikuti oleh pemaparan tentang pembangunan skala besar sumber daya alam pada tanah-tanah masyarakat adat dan kemudian disusul dengan analisis mengenai hukum berkenaan dengan “aktor” utama yang menjalankan pembangunan tersebut. Pada Bab 4 penulis mengidentifikasi hak-hak masyarakat adat yang terkena dampak dan kemudian membahas kemungkinan penerapan norma-norma hak asasi manusia internasional dalam konteks perlindungan hak-hak masyarakat adat ini. Pada Bab 5, penulis mendiskusikan implikasi hukum di masa datang, di mana penulis mendiskusikan isi yang relevan dari draft Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan Forum Permanen untuk Isu-Isu Masyarakat Adat di PBB, yang kemudian ditutup dengan kesimpulan dalam Bab 6. Seperti telah dikemukakan di atas, membaca buku ini memang tidaklah berarti bahwa kita akan dengan sendirinya memahami isu tentang masyarakat adat dengan segala kompleksitasnya. Hal itu akan tampak dalam tulisan epilog oleh Emil Kleden. Namun, buku ini paling tidak, sebagaimana diartikulasikan oleh penulis prolog, Eddie Riyadi, memberikan gambaran tentang perkembangan gerakan dan diskursus masyarakat adat dalam kaitannya dengan gerakan hak asasi manusia global. Buku ini memang tidak menawarkan uraian komprehensif tentang masyarakat adat, namun ia menampilkan salah satu isu yang paling krusial yang dihadapi masyarakat adat yaitu hak mereka atas sumber daya alam yang meliputi tanah, hutan, dan segala isinya. (*)
EDISI: Januari-Februari 2007
Profil ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Mayarakat (Institute for Policy Research and Advocacy) yang disingkat ELSAM adalah organisasi advokasi kebijakan yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya – sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan BangsaBangsa. ELSAM mempunyai empat kegiatan utama sebagai berikut: (i) studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; (ii) advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; (iii) pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan (iv) penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia.
Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM Dewan Pengurus: Ketua: Asmara Nababan; Wakil Ketua: Hadimulyo; Sekretaris: Ifdhal Kasim; Bendahara: Yosep Adi Prasetyo; Anggota: Sandrayati Moniaga, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Maria Hartiningsih, Kamala Chandrakirana, Suraiya Kamaruzzaman, Johny Simanjuntak, Raharja Waluya Jati, Mustafsirah Marcoes, Ery Seda. Pelaksana Harian: Pelaksana Harian: Direktur Eksekutif:
Agung Putri
Deputir Direktur Program: A.H. Semendawai Deputir Direktur Internal: Otto Adi Yulianto Staf:
Atnike Nova Sigiro, Betty Yolanda, Elisabeth Maria Sagala, Ester Rini Pratsnawati, Adyani Hapsari Widowati, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Maria Ririhena, Siti Sumarni, Triana Dyah, Yuniarti, Agung Yudhawiranata, Amiruddin, Edisius Riyadi, Ignasius Prasetyo J., Khumaedi, Paijo, Sentot Setyosiswanto, Supriyadi Widodo Eddyono, Syahrial Wiryawan, Wahyu Wagiman, Zani, Kosim, Mariah.
Alamat: Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Tel.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519; Email:
[email protected], atau
[email protected]; Website: www.elsam.or.id