daftar isi editorial.............................................................................04 Internet Sebagai Hak Asasi Manusia: Segenggam Harapan dengan Segudang Tantangan
Persidangan Aparat Kepolisian Terdakwa Penyiksaan Erik Alamsyah di Pengadilan Negeri Bukittinggi, Sumatera Barat
Hukuman yang dijatuhkan terhadap 6 (enam) Terdakwa sangat ringan, dan tidak memberikan efek jera terhadap para terdakwa yang notabene adalah aparat kepolisian yang seharusnya dapat menjadi contoh bagi masyarakat. Hukuman ringan tersebut menambah rentetan kasus penyiksaan yang melibatkan aparat kepolisian yang dihukum secara tidak maksimal, sehingga mengakibatkan perilaku penyiksaan dan merendahkan martabat kerap terjadi di institusi Kepolisian.
Kolom nasional ................................ 21-23 Minggu Pagi di Jejalen Jaya Syiar kebencian (hate speech) dan tindakan kekerasan belakangan ini, tidak hanya berkembang karena kelompok intoleran menjadi ancaman terhadap keberagaman. Salah satu faktor yang harus dicermati juga adalah peran negara sebagai pemegang kekuasan.
Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing dalam Perspektif HAM Pada 3 Oktober 2012, kaum buruh Indonesia yang dipelopori oleh Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) melancarkan aksi Mogok Nasional. Salah satu slogan mereka adalah penghapusan outsourcing. Menurut salah seorang pimpinan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang tergabung dalam MPBI, sejak gerakan Hostum dimulai sampai menjelang Mogok Nasional, ada lebih dari 50.000 buruh outsourcing yang berhasil diubah statusnya menjadi hubungan kerja langsung dengan perusahaan.
RESENSI ......................................... 23 Menuju Keadilan Global: Pengertian, Mandat dan Pentingnya Statuta Roma Prof. Soetandyo meninjau pertarungan paradigma [hukum] mengenai manusia dalam sejarah pembentukan pengadilan pidana internasional permanen. Dari Prof. Soetandyo, bisa disimpulkan bahwa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) merupakan pengejawantahan dari pergeseran paradigmatik yang melihat manusia sebagai warga umat yang berdaulat sekaligus warga yang menghadapi ancaman kekerasan dari negara.
profil elsam .................................24
Seperti dua sisi mata uang, pada sisi lain, kita menghadapi kegagapan negara menghadapi perkembangan yang terkait dengan internet. Dalam soal ini, dikotomi negara maju dan berkembang sepertinya tak berlaku, semuanya seperti gagap untuk mengambil arah yang tepat dalam pengembangan regulasi yang tepat, yang tak hanya mampu menjamin hak atas akses terhadap kebebasan berinternet, namun juga melindungi baik dari kecenderungan pembatasan atas nama keamanan nasional maupun ancaman pihak ketiga seperti korporasi.
laporan utama ................................................. 05-13 Hak atas Akses Internet dan Tantangan atas Penikmatan Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Pembatasan apapun terhadap hak akan kebebasan berekspresi harus memenuhi kriteria yang ketat di bawah hukum hak asasi manusia internasional. Dalam beberapa kasus pembatasan, pengawasan, manipulasi dan sensor isi internet yang dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum. Atau dasar hukumnya terlalu luas atau ambigu.
Internet dan Kebebasan Berekspresi di Indonesia Pesatnya pertumbuhan pengguna internet di Indonesia tersebut menimbulkan banyak persoalan baru. Salah satunya adalah tentang kebijakan pengendalian konten internet yang dilarang. Pemblokiran konten internet atau secara global lebih dikenal dengan internet censorship di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir menjadi sorotan banyak pihak.
Divonis Setelah Atheis Alexander Aan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama dan disidangkan di Pengadilan Negeri Sijunjung. Dia disangka dan didakwa dengan Pasal 28 ayat (2) UU nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
monitoring sidang ...................14-15 Menghukum Rendah, Mewajarkan Penyiksaan Tahanan: Monitoring Persidangan Aparat Kepolisian Terdakwa Penyiksaan Erik Alamsyah di Pengadilan Negeri Bukittinggi, Sumatera Barat Erik Alamsyah, warga Sumatera Barat dinyatakan meninggal akibat penyiksaan yang dialaminya saat diinterogasi di Polsekta Bukittinggi pada 30 Maret 2012. Demikian kesimpulan Laporan Pemantauan Komnas HAM perwakilan Sumbar dan LBH Padang. Selain itu, Komnas HAM juga menyatakan bahwa dalam kematian Erik, diduga terjadi pelanggaran HAM.
dari redaksi DEKLARASI KEBEBASAN INTERNET
Redaksional Penanggung Jawab: Indriaswati Dyah Saptaningrum Pemimpin Redaksi: Otto Adi Yulianto
Kami berikrar untuk Internet yang bebas dan terbuka. Kami mendukung berbagai proses yang transparan dan partisipatif guna mewujudkan kebijakan tata kelola Internet (Internet Governance), secara global pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, berdasarkan penegakan 5 (lima) prinsip dasar berikut ini:
* Ekspresi: Jangan sensor Internet yang bertujuan dan/atau dapat membatasi hak asasi manusia.
Redaktur Pelaksana: Widiyanto
* Akses: Tingkatkan pemerataan akses universal untuk jaringan
Dewan Redaksi: Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Zainal Abidin, Wahyu Wagiman
* Keterbukaan: Biarkan Internet menjadi sebuah jaringan
Redaktur: Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyu Wagiman,Wahyudi Djafar, Andi Muttaqien
* Inovasi: Lindungi kebebasan berinovasi dan berkarya di
Sekretaris Redaksi: Triana Dyah Sirkulasi/Distribusi: Khumaedy Desain & Tata Letak: alang-alang Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Penerbitan didukung oleh:
Internet yang cepat dan terjangkau. terbuka dimana semua orang secara bebas dan bertanggungjawab dapat berkomunikasi, belajar, berkarya, dan berinovasi. Internet, jangan menghambat teknologi baru dan menghukum sang inovator karena hal-hal yang dilakukan oleh penggunanya.
* Privasi: Lindungi privasi di Internet dan pertahankan hak setiap orang untuk mengontrol bagaimana ia menggunakan data dan piranti miliknya. 14 (empat belas) organisasi masyarakat sipil Indonesia yang pertama kali sepakat untuk mendukung dan/atau mendeklarasikan kebebasan Internet ini pada tanggal 2 Oktober 2012 adalah: ICT Watch, Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (RTIK), Center for Innovation, Policy and Governance (CIPG), Yayasan Air Putih, Indonesian Center for Deradicalisation and Wisdom (ICDW), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Arus Pelangi, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Combine Resource Institution (CRI), Indonesia Online Advocacy (IDOLA), Satu Dunia, Common Room Networks Foundation dan Suara Komunitas. Untuk memberikan dukungan atas deklarasi ini, silakan akses di http://suarablogger.org/
Alamat Redaksi: Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510, Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519
salam, Redaksi
E-mail:
[email protected],
[email protected] Website: www.elsam.or.id. Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening
Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat dikirimkan via email di bawah ini:
[email protected]
ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu No. 127.00.0412864-9
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012
3
editorial Internet Sebagai Hak Asasi Manusia: Segenggam Harapan dengan Segudang Tantangan
S
elama sepuluh tahun belakangan, perkembangan teknologi komunikasi, khususnya melalui internet telah secara substansial mengubah lanskap dinamika sosial masyarakat. Tak hanya mampu meretas batas ruang dan waktu, kemajuan teknologi komunikasi diakui telah memberikan perubahan besar dalam mobilisasi gerakan sosial seperti dalam fenomena Arab Spring, mulai dari ‘jasminerevolution’ di Tunisia, Mesir, dan Yordania. Tak hanya mempercepat persebaran informasi, perkembangan teknologi informasi memungkinkan penggunaan sosial media seperti facebook dan twitter memungkinkan mobilisasi semakin banyak orang untuk mendukung aksi-aksi protest langsung. Dalam konteks Indonesia, hal ini berulang kali terbukti memberi dampak positif, seperti kampanye ‘cicak-buaya’ atau dukungan terhadap KPK atas penyelidikan kasus simulator di Kepolisian beberapa saat lalu. Perkembangan ini segera memperoleh penguatan di badan PBB melalui pengadopsian resolusi Dewan Ham yang mengakui akses terhadap internet sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (A/HRC/20/L.13). Resolusi ini memberikan penegasan pada laporan Pelapor khusus promosi dan perlindungan atas hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat (A/66/290) yang mencoba mengangkat isu yang sama. Resolusi badan ham ini, meski tak secara hukum mengikat jelas menunjukkan arah yang tepat dalam perlindungan terhadap ha katas akses terhadap internet sebagai bagian utuh dari hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat. Meskipun demikian, seperti dua sisi mata uang, pada sisi lain, kita menghadapi kegagapan negara menghadapi perkembangan yang terkait dengan internet ini. Dalam soal ini, dikotomi negara maju dan berkembang sepertinya tak berlaku, semuanya seperti gagap untuk mengambil arah yang tepat dalam pengembangan regulasi yang tepat, yang tak hanya mampu menjamin hak atas akses terhadap kebebasan berinternet, namun juga melindungi baik dari kecenderungan pembatasan atas nama keamanan nasional maupun ancaman pihak ketiga seperti korporasi. Perkembangan di dunia maya ini memunculkan kembali ketegangan antara keamanan dan kebebasan, diskursus lama yang dulu sangat dekat dengan penikmatan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat di dunia nyata. Perkembangan terkait kebebasan atas akses terhadap internet membawa sejumlah tantangan baru seperti perlindungan data pribadi, privasi. Hal ini muncul terkait dengan semakin banyaknya aksi-
4
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISISEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
aksi pengintaian baik yang dilakukan perangkat negara atas nama keamanan nasional dan perang melawan terorisme, maupun oleh entitas swasta untuk mendeteksi perilaku netizen untuk kepentingan pemasaran. Sebagian bentuk control negara atas akses terhadap internet ini juga muncul dalam uraian mengenai mekanisme filtering, dan bloking ( seperti dilakukan beberapa negara seperti Cina). Persoalannya, sampai saat ini belum terbentuk suatu regulasi yang jelas mengenai hal ini, dan bahkan mungkin para netizen masih sangat sedikit juga yang menyadari berlangsungnya praktek seperti ini. Kesemuanya ini memunculkan tantangan baru dalam menggagas model tata kelola internet yang sesuai, proses yang sampai saat ini masih terus berlangsung dan membutuhkan keterlibatan penuh dari masyarakat. Selain itu, perkembangan ini pun memunculkan pertanyaan mengenai kesetaraan akses yang disebabkan oleh ketimpangan infrastruktur yang mendukung adanya kualitas akses terhadap internet. Sebab, perbedaan kualitas akses berpengaruh terhadap adanya keterasingan suatu kelompok secara digital dibandingkan dengan satu kelompok masyarakat yang lain, fenomena yang sering dirujuk dengan istilah ‘digital-divide’. Dalam fase yang masih sangat dini inilah justru keterlibatan dan pemantauan terus menerus atas perkembangan kebijakan yang ada sangat diperlukan, agar perkembangan teknologi informasi, khususnya terkait dengan akses terhadap internet, bukan jadi pedang yang membunuh kebebasan itu sendiri. Secara khusus, sejumlah tantangan tersebut akan menjadi perbincangan penting dalam perhelatan forum internasional Internet Governance Forum di tahun 2013, di mana Indonesia akan menjadi tuan rumahnya. Oleh karenanya, mari bersiap dan terus mengkonsolidasikan gagasan masyarakat sipil atas berbagai tantangan ini.
.
Indriaswati Dyah Saptaningrum Direktur Elsam
laporan utama Hak atas Akses Internet dan Tantangan atas Penikmatan Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Oleh Triana Dyah (Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi ELSAM)
“The Internet has become a key means by which individuals can exercise their right to freedom of opinion and expression.” -UN Special Rapporteur Frank La Rue-
I
nternet telah menjadi alat untuk mewujudkan sejumlah hak manusia, memerangi ketidaksetaraan dan mempercepat pembangunan dan kemajuan manusia. Internet dikenal sebagai teknologi multiguna dan broadband (jaringan ‘pita lebar’) sebagai infrastrukturnya telah dianggap seperti listrik, air, dan jalan, sehingga akses internet telah ditetapkan menjadi hal mendasar bagi warga negara di banyak negara. Berdasarkan white paper1 yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Keminfo), Indonesia menargetkan 100% desa akan mendapatkan akses telekomunikasi dan 80%-nya akan terlayani akses internet pada tahun 2014. Target ini sejalan dengan tujuan ke-8 Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan pada tahun 2000, yaitu mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan dengan target kerjasama dengan
Internet telah menjadi sarana seseorang untuk dapat menggunakan hak mereka sebagai kebebasan berpendapat dan berekspresi.
sektor swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan teknologi informasi telah membentuk suatu tatanan warga negara yang semakin melek terhadap informasi (well-informed society), menciptakan dunia sendiri dan memunculkan terminologi baru yaitu ‘demokrasi digital’. Perbedaan persepsi kemudian muncul di antara pemangku kepentingan dalam pengelolaan internet, yaitu Pemerintah, kalangan bisnis dan masyarakat sipil. Sehingga tata kelola internet2 menjadi sesuatu yang krusial dalam era di mana internet menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern saat ini. Semakin masyarakat modern bergantung pada internet, semakin relevan pula tata kelola internet bagi kehidupan sehari-hari. Merujuk pada data ITU (International Telecommunication Unions), di akhir 2011 ada 65 juta pengguna internet di seluruh Indonesia, atau 26% dari total populasi. Data ICTWatch mengatakan pengguna facebook 40,6 juta dan pengguna twitter sebanyak 29,4 juta. Jakarta bahkan dinobatkan sebagai the most active twitter city di dunia. Selain itu ada 3,3 juta blogger dan 33 komunitas blogger lokal. Dari sisi infrastruktur Internet, Indonesia memiliki 150 Internet Service Provider (ISP), 35 Network Access Provider (NAP), dan 5 operator selular 3G. Untuk melakukan interkoneksi data di dalam Indonesia, terdapat sekitar 5 node Indonesian Internet eXchange (IIX) yang dikelola Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).3 Sejalan dengan pertumbuhan yang pesat tersebut, pembuat kebijakan membuat peraturan yang mengatur internet. Satu aturan yang dibuat adalah UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU ini mengesahkan sensor terhadap internet (Pasal 40 ayat (2)), berpotensi mengkriminalisasi kebebasan berekspresi dan mengancam perlindungan privasi dalam konteks penyadapan. Di luar UU tersebut, pasal-pasal pembatasan kebebasan bereskpresi di Indonesia sebenarnya tersebar di berbagai perundang-undangan. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012
5
Kebijakan yang menghambat kebebasan berekspresi di Indonesia:
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang KUHP 2. Undang-undang No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan agama 3. Undang-undang No. 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap keamanan negara 4. Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran 5. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah 6. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum 7. Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Transaksi dan informasi elektronik 8. Undang-undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan presiden 9. Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 10. Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, bahasa resmi, lambang negara dan lagu kebangsaan 11. Undang-undang No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen 12. RUU Rahasia negara 13. RUU Ormas Potensi dan banyaknya keuntungan dari internet berada pada karakternya yang unik, seperti kecepatannya dalam penyebaran informasi, daya jangkaunya yang bisa meliputi seluruh dunia dan kemungkinan kerahasiaan untuk penggunanya (anonymous). Pada sisi lain karakter tersebut menciptakan ketakutan bagi pemerintah dan penguasa. Hal ini mendorong meningkatnya pembatasan penggunaan internet melalui penggunaan teknologi canggih untuk memblokir isi, memonitor dan mengidentifikasi para aktivis dan kritikus. Dalam hal pembatasan, penekanan adanya standar hak asasi manusia internasional khususnya pasal 19, paragraf 3 dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik bisa digunakan dalam menentukan jenisjenis pembatasan-pembatasan yang merupakan pelanggaran kewajiban negara dalam menjamin hak kemerdekaan berekspresi. Seperti yang dijelaskan pada pasal 19, paragraf 3 dari Kovenan tersebut, ada beberapa jenis ekspresi tertentu yang bisa secara sah dibatasi di bawah hukum hak asasi manusia internasional, yang secara mendasar berperan sebagai pelindung hak asasi dari pihak lainnya.
6
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISISEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
Jenis-jenis informasi yang dilarang meliputi pornografi anak (untuk menjaga hak-hak anak), ujaran kebencian (hate speech), fitnah (untuk menjaga hak dan reputasi orang lain dari serangan pihakpihak yang tidak bertanggungjawab) hasutan publik, ajakan langsung untuk melakukan genosida, dan ujaran kebencian pada agama atau ras tertentu yang menimbulkan hasutan diskriminasi, serta kekerasan atau perwujudan permusuhan (untuk menjaga hakhak orang lain, seperti hak untuk hidup). Pembatasan apapun terhadap hak akan kebebasan berekspresi harus memenuhi kriteria yang ketat di bawah hukum hak asasi manusia internasional. Dalam beberapa kasus pembatasan, pengawasan, manipulasi dan sensor isi internet yang dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum. Atau dasar hukumnya terlalu luas atau ambigu; tidak ada pembenaran tujuan dari tindakan yang dilakukan; atau dengan cara yang jelas-jelas tidak perlu dan atau tidak seimbang dalam mencapai tujuan yang direncanakan. Tindakan-tindakan tertentu benar-benar tidak sesuai dengan kewajiban negara di bawah hukum hak asasi international, dan sering hanya menimbulkan “chilling effect” (efek menakut-nakuti) pada hak akan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Pembatasan melalui internet bisa dilakukan dalam berbagai bentuk. Dari tindakan teknis untuk mencegah akses ke konten tertentu, seperti pemblokiran dan penyaringan (filtering), kurangnya jaminan akan hak atas privasi dan perlindungan terhadap data pribadi, sampai yang menghambat penyebaran pendapat dan informasi. Pelapor khusus PBB mengenai promosi dan perlindungan kebebasan berekspresi, Frank La Rue berpendapat, penggunaan hukum pidana secara semena-mena pada pengungkapan ekspresi menimbulkan salah satu bentuk pembatasan yang paling keras pada hak ini, karena tidak hanya menciptakan efek menakut-nakuti (chilling effect), tapi juga menjurus pada pelanggaran hak asasi manusia yang lain seperti penahanan dan penyiksaan yang semena-mena serta bentuk-bentuk kejahatan yang lain. Intimidasi, penahanan, dan penyiksaan saat ini banyak menimpa blogger, web master, jurnalis online yang menyuarakan kondisi sosial politik dan pemerintahan. Di Vietnam, terhitung hingga September 2012, terdapat 19 kasus pemenjaraan terhadap netizen/blogger karena menyuarakan kritik terhadap pemerintahannya. Terdapat tiga syarat yang ditetapkan Pasal 18 dan 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang harus terpenuhi sebelum pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi dilakukan, yaitu: (1) harus diatur menurut hukum; (2) harus untuk suatu tujuan yang sah/memiliki legitimasi; (3) harus dianggap perlu untuk dilakukan (proporsional). Terkait dengan syarat kedua, pembatasan hanya dapat dilakukan untuk tujuan “melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak
laporan utama dan kebebasan dasar orang lain” (Pasal 18) atau untuk “menghormati hak dan reputasi orang lain atau untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan atau moral masyarakat” (Pasal 19). Selain itu, peraturan yang membatasi hak akan kebebasan berekspresi harus diaplikasikan oleh sebuah badan yang bebas dari pengaruh politik, komersil, atau pihak lain yang tidak diskriminatif dan semena-mena, dan dilakukan dengan perlindungan yang cukup terhadap kemungkinan penyalahgunaan dari pembatasan itu. Pemahaman yang kurang mendalam dan kegagapan dalam menyikapi perkembangan internet akan berujung pada problematika di ranah dunia maya, baik antara Pemerintah dan masyarakat maupun di antara masyarakat itu sendiri. Perkembangan yang terjadi saat ini di Indonesia telah menunjukkan indikasi timbulnya gesekan-gesekan karena kurangnya pemahaman tentang hal ini. Masih segar dalam ingatan Indonesia, pada tahun 2009 Prita Mulyasari, seorang ibu, dipidana karena menuliskan keluhan tentang pelayanan rumah sakit swasta di email pribadi. Seorang selebritas ibukota terjerat pasal penyebaran pornografi melalui internet pada pertengahan 2010. Peristiwa terakhir ini menjadi momentum bagi Pemerintah untuk melakukan pemblokiran situs yang ditengarai mengandung konten pornografi. Gesekan sosial yang disebabkan aktivitas di dunia maya juga mulai banyak terjadi, seperti kasus pemecatan seorang pegawai negeri sipil di Padang yang terang-terangan mengaku atheis di akun jaring sosial facebook; kasus pencemaran nama baik yang melibatkan seorang guru yang menulis tentang dugaan korupsi di blog-nya; dan masih banyak lagi. Data terbaru didapat dari Polda Metro Jaya, sejak Januari hingga Oktober 2012 kasus ‘cyber-crime’ yang masuk ke Polda mencapai 489 laporan,4 belum termasuk laporan dari polsek dan polres. Kejahatan di dunia maya tersebut berupa kasus penipuan, penghinaan dan pencemaran nama baik. Hak akan kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan sebuah hak dasar di wilayahnya karena hak tersebut menjadi hak yang bisa mewujudkan hak-hak lainnya (“enabler”) meliputi hak ekonomi, sosial, dan budaya, seperti hak akan pendidikan dan hak untuk berperan serta dalam kehidupan budaya dan menikmati keuntungan perkembangan ilmu pengetahuan dan penerapannya, seperti juga halnya dengan hak sipil dan politik contohnya hak akan kebebasan dalam berorganisasi dan berkumpul. Sehingga, dengan berperan sebagai katalisator untuk para individu dalam menggunakan hak akan kebebasan berpendapat dan berekspresi, internet juga memfasilitasi perwujudan sejumlah hak-hak asasi manusia.
Supriyadi W. Eddyono (ed.). 2000-2010 kebebasan internet Indonesia: perjuangan meretas batas. Jakarta: Indonesia Media Defense Litigation Network, Institute for Criminal Justice Reform, 2011 Jovan Kurbalija. Tata Kelola Internet: sebuah pengantar. Jakarta: APJII, 2012 Konsultasi publik: white paper penggunaan pita frekuensi 2300-2360 MHz untuk layanan pita lebar nirkabel (wireless broadband). Jakarta: Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Januari 2012. http://www.freedomhouse.org/report/freedomnet/2012/indonesia akses tanggal 15 Oktober 2012 United Nations Special Rapporteur Frank La Rue. Special Rapporteur on the promotion and Protection of the Right to Freedom of Opinion and Expression. ELSAM. Hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia serta tantangan UU Informasi dan Transaksi Elektronik: pengantar singkat. Jakarta: ELSAM, 2012. www.megapolitan.kompas.com. Sehari, 10 kasus ‘cyber crime” diterima Polda Metro. Akses 7 November 2012. http://suarablogger.org/category/petisi/akses 27 September 2012
Keterangan 1
Dokumen ini merupakan draft kebijakan pemerintah yang disusun dalam rangka memberikan deskripsi potensi layanan wireless broadband.
2
Tata kelola internet diperkenalkan dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Dunia Masyarakat Informasi (World Summit of Information Society/WSIS) yang diselenggarakan di Jenewa pada 2003. Pertemuan tersebut menghasilkan Kelompok Kerja tentang Tata Kelola Internet (Working Group on Internet Governance/WGIG) yang bertugas menyiapkan laporan yang digunakan sebagai landasan perundingan WSIS Kedua di Tunisia (November 2005). Agenda WSIS di Tunisia adalah mengadopsi batasan, menyusun daftar isu dan membentuk Forum Tata Kelola Internet (Internet Governance Forum/IGF). IGF terdiri dari sejumlah pemangku kepentingan (stakeholder) dalam pertemuanpertemuan dengan Sekretaris Jenderal PBB. Pemangku kepentingan IGF adalah pemerintah, sektor bisnis/korporasi dan masyarakat sipil.
3
Catatan kecil pertemuan dengan APJII, Agustus 2012
4
www.megapolitan.kompas.com. Sehari, 10 kasus ‘cyber crime” diterima Polda Metro. Akses 7 November 2012.
Daftar Bacaan Donny BU. Catatan kecil pertemuan APJII, blogger dan civil society. Jakarta: Agustus 2012. (sirkulasi terbatas) ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012
7
Internet dan Kebebasan Berekspresi di Indonesia Oleh Teguh Arifiyadi (Ketua Indonesia Cyber Law Community/ICLC) Kebijakan Internet Censorship di Indonesia enetrasi pertumbuhan internet di Indonesia dapat dikatakan luar biasa. Data dari www.internetwroldstats.com menunjukkan pada awal tahun 2000-an hanya dua juta pengguna dan pada akhir tahun 2011 mengalami kenaikan signifikan menjadi lebih dari 55 juta pengguna atau users. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar keempat di Asia dengan jumlah pengguna internet terbanyak di bawah China, India, dan Jepang. (Lihat Grafik 1.0)
P
Grafik 1.0 Lima Besar Negara Pengguna Internet di Asia per 31 Desember 2011
per juta pengguna, sumber: www.internetworldstats.com
Pesatnya pertumbuhan pengguna internet di Indonesia tersebut menimbulkan banyak persoalan baru. Salah satunya adalah tentang kebijakan pengendalian konten internet yang dilarang. Pemblokiran konten internet atau secara global lebih dikenal dengan internet censorship di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir menjadi sorotan banyak pihak. Sensor terhadap internet merupakan isu sensitif di negara manapun di dunia karena berkaitan dengan pembatasan hak atas informasi warga negara. Secara normatif belum ada ketentuan spesifik yang mengamanatkan Pemerintah untuk melakukan pembatasan hak atas informasi dalam bentuk sensor terhadap konten internet. Kebijakan eksplisit sensor internet tertuang dalam Pasal 40 ayat (2) UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyebutkan bahwa “Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi
8
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISISEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.” Pasal 27 UU ITE lebih kongkret lagi mengatur larangan atas seseorang untuk mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, dan pemerasan/pengancaman (Illegal Content). Pasal tersebut merupakan cermin kebijakan yang merujuk pada Convention on Cyber Crime1 yang digagas oleh Council of Europe sejak tahun 2001 di Budapest. Khusus terkait sensor konten pornografi, Pemerintah berlandaskan pada pasal 17 UU No. 44 tahun 2009 tentang Pornografi yang memberi porsi tentang kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Selain itu, Pemerintah juga berpegang pada Pasal 7 UU Pornografi yang melarang setiap orang untuk memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat, persenggamaan, kekerasan seksual, mastrubasi, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin atau pornografi anak. Secara kelembagaan, pemblokiran konten internet di Indonesia tidak pernah ditetapkan di bawah pengawasan suatu institusi tertentu. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tidak memiliki kewenangan struktural yang diamanatkan undang-undang untuk melakukan pembatasan atas akses informasi/konten internet di Indonesia. Alhasil, kebijakan sensor internet di Indonesia secara sistematis tidak pernah diberlakukan. Praktik sensor internet di Indonesia terbatas pada isu-isu berskala nasional seperti SARA maupun kesusilaan karena dianggap dapat mengganggu ketertiban umum dan keamanan nasional. Hal ini berkaitan dengan Prinsip-prinsip Siracusa (Siracusa Principles) yang menyebutkan bahwa
laporan utama pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hakhak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait. Sebagai contoh, selain kebijakan pemblokiran konten pornografi, Kementerian Kominfo juga telah melakukan pemblokiran atas konten yang berisi “kartun nabi Fitna” pada tahun 2010, video penyerangan penganut Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang Banten pada tahun 2011, dan yang terbaru adalah pemblokiran konten video “Innocents of Moslems”. Alasan pemblokiran adalah karena konten-konten tersebut dianggap berpotensi menimbulkan gangguan sosial dan keamanan. Indikator lain suatu negara dikatakan telah cukup memberikan kebebasan internet terhadap warganya adalah dengan tidak termasuknya Indonesia sebagai bagian dari musuh internet (enemies of internet) yang dirilis oleh Reporters Without Borders (RWB).2 RWB merilis 12 negara di dunia yang menurut kriteria mereka sebagai musuh atas kebebasan berekspresi di Internet,3 seperti China, Bahrain, Kuba, Belarusia, dan beberapa negara otoriter lainnya. Kebijakan internet censorship di Indonesia sebagaimana negara-negara lain bergantung pada rezim kekuasaan yang berlaku saat ini. Reformasi di Indonesia yang melahirkan demokrasi dan kebebasan pers turut mempengaruhi arah kebijakan internet censorship di Indonesia. Fakta di atas menunjukan bahwa iklim kebebasan berkespresi dan memperoleh akses informasi melalui media internet di Indonesia masih cukup moderat. Pembatasan Akses Informasi/Konten yang Dilarang Secara teknis, banyak metode yang bisa digunakan Pemerintah sebuah negara termasuk di Indonesia untuk melakukan pembatasan/sensor terhadap konten yang dilarang. Namun, permasalahannya di Indonesia tidaklah semudah yang dibayangkan dengan melihat kembali bagaimana sejarah hadirnya internet di Indonesia. Internet di Indonesia lahir dari masyarakat melalui komunitas telekomunikasi dan teknologi informasi, awal tahun 1990-an. Pemerintah memfasilitasinya dengan memberi dukungan dalam bentuk regulasi. Pada periode berikutnya sampai saat ini swasta tampil lebih dominan membangun infrastruktur internet di Indonesia. Sementara pemerintah melanjutkan dengan terus menyiapkan regulasi pendukung. Hal ini berbeda dengan negara-negara penganut sensor ketat terhadap konten internet seperi Arab Saudi, Iran, Tunisia maupun negara lainnya yang
secara institusional menempatkan negara sebagai institusi dominan yang membidani ‘lahir’nya internet. Negara-negara tersebut membangun hampir sebagian besar infrastrukur internet yang disediakan untuk kebutuhan warga negaranya. Dengan mengintegrasikan pembangunan infrastruktur internet, negara tersebut dapat mengendalikan internet melalui model single gateway. Artinya, seluruh saluran internet bersumber pada satu pipa utama yang memungkinkan negara mengendalikan internet secara leluasa. Melihat sejarah lahirnya internet di Indonesia, dapat dikatakan bahwa infrastruktur internet di indonesia menganut model multiple gateway, karena masing-masing internet gateway secara mandiri dibangun oleh sektor privat melalui Internet Service Provider (ISP). Jumlah ISP tercatat di Indonesia menurut data Kementerian Kominfo saat ini lebih dari 180-an. ISP secara otomatis berfungsi sebagai gateway atas seluruh konten yang ada di Internet. Konsekuensinya adalah tidak mudah menerapkan kebijakan internet censorship dengan model mulitiple gateway seperti di Indonesia. Pornografi sebagai Informasi/Konten yang Dilarang Kebijakan internet censorship di Indonesia yang bersifat sangat spesifik adalah terkait konten pornografi yang merupakan wujud perlindungan negara terhadap warga negara dari bahaya pornografi. Kebijakan serupa juga diterapkan dibanyak negara di dunia dan bukan merupakan sebuah kebijakan yang dianggap membatasi kebebasan berekspresi di internet. Memang sampai sejauh ini tidak ada protes masyarakat atas upaya pemerintah untuk melakukan pemblokiran terhadap konten pornografi di Indonesia. Namun permasalahan tentang pemblokiran konten pornografi internet di Indonesia justru adalah tentang bagaimana mendefinisikan batasan pornografi yang menurut banyak ahli bahasa masih bersifat relatif. Pemerintah tidak pernah memiliki keberanian untuk mendefinisikan pornografi internet secara kongret dalam regulasi termasuk pengecualian atas batasan akses konten tersebut. Alhasil semua konten yang menurut pendapat subyektif pemerintah bermuatan pornografi dilarang! Untuk memerangi pornografi, Pemerintah melalui Kementerian Kominfo secara tegas mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 1598/SE/ DJPT.1/KOMINFO/7/2010 tanggal 21 Juli 2010 tentang Kepatuhan Terhadap Peraturan PerundangUndangan yang Terkait dengan Pornografi. Inti dari surat edaran tersebut adalah agar penyelenggara ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012
9
Jasa Akses Internet (Internet Service Provider) dan penyelenggara Jasa Interkoneksi Internet (Network Access Point/NAP) untuk turut memerangi pornografi sesuai ketentuan perundang-undangan. Surat edaran ini merupakan bentuk nyata perlawanan pemerintah terhadap pornografi yang sesuai dengan Pasal 18 UU Pornografi dimana pemerintah berwenang melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet. Di periode yang sama, Pemerintah juga merilis aplikasi “Trust Positif” yang merupakan aplikasi filtering konten pornografi di Indonesia. Metode yang digunakan adalah dengan penyaringan daftar hitam (black list filtering) dan penyaringan daftar putih (white list filtering). Blacklist filtering mengacu pada nama URL dan domain yang masuk kategori negatif yang ditengarai memuat konten pornografi, sedangkan white list filtering berisi URL atau nama domain yang dapat dipastikan aman (terpercaya) dari konten pornografi untuk dapat diakses oleh pengguna internet. Menurut data Kementerian Kominfo, sampai dengan semester pertama tahun 2012, jumlah URL maupun domain bermuatan pornografi yang sudah diblokir adalah sebanyak 835.494 dengan rincian sebagai berikut:4 Periode
Pengaduan Masyarakat
Kajian Tim Kominfo
31 Desember 2011
444
30 Juni 2012
2302
Total
Keterangan
181
833.107
1.
729
835.494
Konvensi ini merupakan perjanjian internasional pertama pada kejahatan yang dilakukan lewat internet dan jaringan komputer lainnya.
2.
RWB merupakan LSM internasional yang bergerak dalam bidang kebebasan pers dan informasi yang berbasis di Perancis
3.
Internet Enemies, Reporters Without Borders (Paris), 12 March 2012
4.
Siaran Pers No. 63/PIH/KOMINFO/7/2012 tentang Evaluasi Pemblokiran Konten Pornografi tanggal 18 Juli 2012
Jika diamati dengan baik, maka kita dapat mengambil kesimpulan sementara bahwa kesadaran masyarakat di Indonesia untuk mengadukan URL atau domain yang bermuatan pornografi semakin baik. Terjadi lonjakan pengaduan lebih dari 500% hanya dalam tempo enam bulan terakhir. Angka tersebut dapat mengindikasikan bahwa masyarakat di Indonesia sepakat menjadikan pornografi internet sebagai musuh bersama. Kebebasan Berkeyakinan di Dunia Siber Selain isu tentang pornografi, dampak kebebasan berekspresi di internet memunculkan fenomena baru tentang cara berekspresi dan berpendapat. Hadirnya jejaring sosial, pemanfaatan blog, maupun media komunikasi online interaktif (chatting) telah mengubah gaya komunikasi masyarakat, dari yang bersifat individu dan terbatas menjadi bersifat publik. Ekspresi berkeyakinan pun menjadi salah satu topik paling sering diungkapkan oleh pengguna internet.
10
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISISEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
Keyakinan individu bisa diekspresikan secara lebih luas dengan maksud sengaja atau tidak sengaja mempengaruhi keyakinan pengguna lain. Meskipun demikian, banyak juga pengguna internet yang mengekspresikan keyakinan sebagai bentuk euforia kebebasan berbicara di dunia siber. Pemerintah saat ini tidak pernah melarang masyarakat untuk mengekspresikan keyakinan apapun di internet sesuai dengan norma yang ada. Ekspresi atas pemikiran maupun keyakinan bukan merupakan sebuah tindak pidana berdasarkan UU ITE, terkecuali jika ekspresi tersebut berisi fitnah, atau hasutan untuk berbuat kriminal, serta menyinggung SARA. Sayangnya ketentuan normatif tersebut tidak sepenuhnya diikuti oleh faktanya. Kasus Alexander, seorang PNS penganut atheis di Padang yang dipecat akibat menuliskan keyakinannya melalui jejaring sosial menunjukan bahwa masih banyak masyarakat yang belum bisa menerima ekspresi sebuah keyakinan sebagai bagian dari hak asasi manusia dengan dalih hal tersebut dianggap mengganggu keyakinan orang lain. Jika kasus-kasus serupa bermunculan, maka tidak ada lagi persamaan hak untuk mengekspresikan keyakinan di dunia siber. Pada akhirnya hukum dikuasai dan menjadi milik golongan tertentu.
laporan utama Divonis Setelah Atheis Oleh Harry Kurniawan (Staf Perkumpulan Q-Bar Padang)
A
lexander Aan panggilan Aan adalah seorang calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang bekerja di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Dharmasraya. Dia lahir dari pasangan Armas, seorang guru SD, dan ibunya bernama Nuraini, ibu rumah tangga. Alexander Aan dikenal sebagai anak yang cerdas. Dia menamatkan studi Strata-1 di Jurusan Statistik Universitas Padjajaran, Bandung. Menurut data LBH Padang, berkat kecerdasannya itu, Aan berhasil lolos menjadi CPNS di Dharmasraya. Alexander Aan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama dan disidangkan di Pengadilan Negeri Sijunjung. Kasus yang menimpa Alexander Aan bermula dari kedatangan warga Pulau Punjung ke kantor Bappeda Kabupaten Dharmasraya pada 18 Januari 2012. Mereka mencari Alexander Aan. Aan dituduh melakukan penghinaan terhadap Agama Islam karena tulisan di halaman Facebooknya yang berjudul “Nabi Muhammad tertarik kepada menantunya sendiri” dan sebuah komik yang diambilnya dari grup Facebook “Atheis Minang” dan di-posting di dinding “Alex Aan” dengan judul “Nabi Muhammad bersetubuh dengan pembantu istrinya”. Dengan alasan keamanan, Aan kemudian dibawa ke kantor Polsek Sijunjung. Di kantor Polsek Sijunjung Aan mengaku bahwa dia seorang atheis sejak tahun 2008. Dia sempat diminta bertobat, namun Aan menolak karena menurutnya itu merupakan bagian dari hak kebebasannya. Alexander Aan kemudian ditahan oleh Polres Dharmasraya. Dia ditetapkan sebagai tersangka pelaku penodaan agama. Alexander Aan disangka dan didakwa dengan Pasal 28 ayat (2) UU nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, antargolongan (SARA)” dengan ancaman hukuman paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Selain itu, Alexander Aan juga didakwa dengan Pasal 156 huruf a KUHP yang berbunyi “Dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dan Pasal 156 a huruf b KUHP yang berbunyi “dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ketuhanan yang maha esa”. Dalam hal ini diancam dengan hukuman selama-lamanya 5 (lima) tahun. Pada waktu di Polres Dharmasraya Alexander Aan secara sadar dan tanpa paksaan juga menyatakan permintaan maaf kepada umat Islam, keluarga, dan pihak Pemerintahan Dharmasraya. Karena posting-an dengan judul “Nabi Muhammad tertarik kepada menantunya sendiri” yang ada dalam Facebook “Aan Aan” bukan bertujuan untuk menyudutkan dan atau menghina Agama Islam, dan gambar yang bertuliskan kisah “Nabi Muhammad bersetubuh dengan pembantu istrinya” bukan merupakan karya/tulisannya, melainkan diambil dari tautan Facebook “Atheis Minang” yang diduga dikelola oleh Jusfiq Hadjar. Jusfiq Hadjar adalah pria yang berumur 70 Tahun yang berasal dari Cingkariang, Banuhampu, Agam, Sumatera Barat, yang sekarang menetap di Leiden, Belanda. Sebelum berada di Belanda yang bersangkutan tinggal di Prancis sejak tahun 1960 dan menjadi dosen di salah satu universitas di Prancis. Sejak tinggal di Belanda, Jusfiq Hadjar aktif menulis di berbagai milis dan sering menyerang ajaran Islam dan menonjolkan sisi-sisi buruk dari Islam dan Nabi Muhammad. Jusfiq Hadjar mengaku sebagai penganut Islam Mu’tazillah, yang bertujuan memanusiawikan ajaran Islam.1 Aan sendiri tidak pernah bertemu dan berbicara langsung dengan Jusfiq Hadjar. Aan diundang sebagai pengelola akun “Atheis Minang”. Alexander Aan kemudian dituntut 3 tahun 6 bulan penjara dengan Pasal 28 UU ITE. Hakim memvonis Aan bersalah dengan hukuman 2 tahun 6 bulan penjara. Putusan ini sangat disayangkan karena pada dasarnya unsur pasal yang didakwakan terhadap Alexander Aan tidak terbukti di persidangan. Permusuhan dan kebencian yang timbul di masyarakat bukanlah akibat perbuatan Alexander Aan mem-posting komentar-komentarnya di Facebook akan tetapi akibat perbuatan rekan sekantornya yang meng-capture dinding Facebook grup Atheis Minang dan Facebook Alexander Aan ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012
11
untuk kemudian dicetak dan dibagi-bagikan kepada masyarakat. Atas putusan majelis hakim baik jaksa penuntut umum maupun penasihat hukum samasama mengajukan banding. Bermula dari posting tersebut kemudian Aan mendapat perhatian dari berbagai pihak yang sejalan dengan pemahaman Aan, baik dari nasional maupun internasional. Semakin gencarnya Aan berdinamika di jejaring sosial sehingga kemudian Aan dipercaya untuk menjadi administrator grup “Atheis Minang” yang dimotori oleh Jusfiq Hadjar. Aktivitas ini sudah Aan lakukan semenjak tahun 2011, dengan grup “Atheis Minang” ini kemudian Aan berhasil menggaet kurang lebih 1.200 orang anggota yang memiliki pemahaman yang sama. Dengan adanya pernyataannya di dunia maya itu, sekelompok pemuda Sungai Kambuik Pulau Punjung yang dipimpin Ketua Pemudanya Os, mendatangi Kantor Bupati Dharmasraya untuk mendesak bupati Dharmasraya/Pemerintah Kabupaten Dharmasraya menindak tegas Aan yang merupakan CPNS di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Dharmasraya. Setelah ditemui, Alexander Aan bersikeras bahwa apa yang ia sampaikan itu benar menurutnya dan karena itu merupakan pendapat pribadinya. “Hal itu sudah saya pikirkan semenjak SD dulu. Saya juga sudah mempelajari berbagai agama dan saya menyimpulkan bahwa Tuhan itu tidak ada. Jika ada Tuhan, mengapa masih banyak orang yang menderita dan kejahatan-kejahatan. Jika Tuhan itu ada, maka tidak akan ada kesenjangan terjadi di dunia ini,” kata Alexander beralasan mengapa ia atheis.2 Dampak dari Group “Atheis Minang” ini mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk tokoh-tokoh Islam di Sumatera Barat. Sebelumnya tidak diketahui siapa yang menjadi motor dari grup tersebut. Secara tidak sengaja, akun jejaring sosial Facebook milik Aan diketahui oleh salah seorang CPNS yang juga bekerja di BAPPEDA Kabupaten Dharmasraya dan kemudian membongkar siapa yang selama ini menjadi admin grup “Atheis Minang”. Dengan telah terungkapnya Alexander Aan sebagai penganut paham Atheis serta “berkicau” di jejaring sosial Facebook sebagai Atheis Minang, maka hal ini menyulut kemarahan kelompok pemuda di Kabupaten Dharmasraya yang ingin menghakimi Aan karena dianggap telah menyebarkan ajaran sesat di Sumatera Barat umumnya dan Dharmasraya khususnya. Proses hukum terhadap Alexander Aan terus berlanjut sampai ke meja hijau. Para penentang Aan mendesak supaya Aan diberhentikan sebagai CPNS di BAPPEDA Kabupaten Dharmasraya, walaupun sampai saat ini status Aan sebagai CPNS BAPPEDA Dharmasraya belum dicabut karena menunggu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun
12
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISISEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
tidak menutup kemungkinan nantinya Aan dapat diberhentikan secara tidak hormat. Kebebasan beragama memang dilindungi dalam Konstitusi, yaitu Pasal 29 Ayat (1) dan (2) yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya serta kepercayaannya itu, namun tetap berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai3 dengan butir pertama Pancasila. Kasus yang terjadi terhadap Alexander Aan ini memperlihatkan terjadinya pertentangan antara Kebebasan beragama dan berpendapat dengan nilai-nilai agama di tengahtengah masyarakat, sehingga perlu didudukkan bagaimana sikap atau langkah yang dapat menyelesaikan problem ini tanpa harus ada yang dilanggar hak asasinya. DAFTAR BACAAN: Anwar, Chairul. Hukum Adat Minangkabau. Jakarta: Segara, 1967. Little, David. Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Navis, A.A. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers, 1966. Tahir Azhary, Muhammad. Negara Hukum suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Kencana, 2004. Perundang-undangan dan Lain-lain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 29 Ayat (1) dan (2). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 156a Huruf (a) dan (b). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, sebagai Kuasa Hukum Alexander Aan.
Keterangan 1
Lihat:www.opensubscriber.com//message//zamanku@ yahoogroups.com//10229086.html
2
Harian Haluan Padang, Jum’at/15 Juni 2012
3
Baca Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
monitoring sidang Menghukum Rendah, Mewajarkan Penyiksaan Tahanan1 Monitoring Persidangan Aparat Kepolisian Terdakwa Penyiksaan Erik Alamsyah di Pengadilan Negeri Bukittinggi, Sumatera Barat
Oleh Andi Muttaqien
(Staf Pelaksana Program Bidang Advokasi Hukum ELSAM)
Erik Alamsyah, Tahanan Yang Alami Kekejian Aparat
E
rik Alamsyah, warga Sumatera Barat dinyatakan meninggal akibat penyiksaan yang dialaminya saat diinterogasi di Polsekta Bukittinggi pada 30 Maret 2012. Demikian kesimpulan Laporan Pemantauan Komnas HAM perwakilan Sumbar dan LBH Padang. Selain itu, Komnas HAM juga menyatakan bahwa dalam kematian Erik, diduga terjadi pelanggaran HAM, yakni pelanggaran terhadap hak hidup, hak bebas dari penyiksaan dan hak atas perlakuan hukum yang adil, yang diduga dilakukan oleh anggota Polri Polsek Bukittinggi.2 Erik bersama 2 (dua) rekannya, Nasution Setiawan dan Marjoni ditangkap Kepolisian karena dituduh mencuri sepeda motor. Dalam tahanan Polsekta Bukittinggi itulah ketiganya mengalami penyiksaan ketika interogasi, dan berakibat pada kematian Erik. Diawali tatkala Polisi menangkap Marjoni pada 22 Maret 2012 di Madina, Sumatera Utara. Polisi kemudian membawa Marjoni ke Polsek Bukittinggi pada 23 Maret 2012. Marjoni diinterogasi di Polsekta Bukittinggi dan dipaksa berbicara terkait kasusnya. Dalam interogasi tersebut, sebagaimana laporan Komnas HAM, Marjoni kerap mengalami kekerasan. Dari Marjoni, Kepolisian akhirnya tahu keberadaan Erik dan Nasution Setiawan. Akhirnya, siang hari tanggal 30 Maret 2012, Erik dan Nasution Setiawan ditangkap di sekitar rumah kontrakannya. Mereka disergap 6 anggota Polsekta Bukittinggi. Awalnya, keduanya hendak melarikan diri dengan sepeda motor, namun karena Polisi lebih banyak, keduanya tertangkap bahkan sempat terjatuh motornya. Keduanya pun dibawa ke Polsekta Bukittinggi, dan diperiksa di ruang Subnit Opsnal Reskrim.3 Di ruang itu mereka berkali-kali mendapat kekerasan, dipukul dengan gitar kecil (ukulele), balok besar + 4 Cm X 6 Cm, sapu, sabuk/ikat pinggang, potongan bambu besar, dijepit dengan pena, bahkan Nasution sempat dipukul dengan martil pada bagian lututnya. Keduanya berada di ruang itu sekitar 10 menit sampai akhirnya dipisahkan. Nasution mengaku, dari ruangan terpisah dirinya berkali-kali mendengar Erik berteriak. Sekitar pukul 16.00 WIB, Nasution dan Marjoni dipertemukan dengan Erik Alamsyah di Ruang Subnit Opsnal Reskrim. Mereka melihat banyak luka
di tubuh Erik yang saat itu tertelungkup, di lantai pun terdapat ceceran darah. Erik juga mengeluh sakit perut. Akhirnya, Erik tak sadarkan diri dan dibawa ke RS. Ahmad Muchtar. Setiba di Rumah Sakit, Erik dinyatakan sudah meninggal dunia. Kematian Erik Alamsyah baru terungkap ke publik pada 1 April 2012, saat dilakukan otopsi jenazah di RS. M. Jamil, Padang.4 Awalnya, pihak Kepolisian menyatakan kepada keluarga bahwa Erik meninggal akibat kecelakaan saat penangkapan, sehingga keluarga awalnya menerima kematian Erik dan tak bersedia jenazah Erik diotopsi. Namun Polres Bukittinggi tetap otopsi korban. Karena itulah jenazah Erik akhirnya diotopsi di RS. M. Jamil, Padang. Pada jenazah Erik akhirnya ditemukan5: 2 luka robek di kepala bagian belakang sebelah atas; luka memar di bagian pelipis mata, hidung, dahi, bibir, dagu sebelah kiri dan luka goresan di bagian dahi sebelah kiri; luka memar di bagian bahu kanan dan bahu kiri, serta beberapa bagian dari bahu kanan dan kiri tersebut terdapat trauma yang mengakibatkan lukanya membengkak, sehingga seperti luka sayatan, namun memar tersebut tidak terbuka; luka memar di beberapa bagian punggung, dan satu luka memar yang membengkak di sebelah kanan dari punggung tersebut; luka memar di bagian paha kanan dan kiri, tungkai kiri dan kanan; memar di bagian paha kanan dan kiri, tungkai kiri dan kanan; dan luka memar di bagian kepala dalam lebih dari satu.
Persidangan Para Pelaku Pada 3 April 2012, penyidik Polda Sumbar menetapkan 6 orang anggota Polsekta Bukittinggi sebagai Tersangka, yakni AM. Muntarizal, Riwanto Manurung, Deki Masriko, Fitria Yohanda, Boby Hertanto, Dodi Hariandi, dengan sangkaan melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Pengadilan Negeri Bukittinggi menyidangkan kasus dengan perkara nomor 75/PID.B/2012/ PN.BKT ini pertama kali pada 26 Juni 2012. Para Terdakwa didakwa Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan alternatif, yaitu Pertama, Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP, yakni tindak pidana kekerasan terhadap orang dan/atau barang yang mengakibatkan kematian, dengan ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara; Kedua, Pasal 351 ayat (3) jo Pasal 55 KUHP ayat (1) ke-1, yakni turut serta melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012
13
kematian, dengan ancaman pidana maksimal 7 tahun penjara; Ketiga, Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, yakni tindak pidana ppenganiayaan, dengan ancaman pidana maksimal 2 tahun 8 bulan penjara; dan Keempat, Pasal 358 ayat (2) KUHP, yakni tindak pidana penyerangan atau perkelahian yang mengakibatkan kematian, dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara. Dalam persidangan, para Terdakwa didampingi 3 orang Penasehat Hukum dari Kepolisian Daerah Sumatera Barat Republik Indonesia6, yakni Zulfia, SH., Hafnizal, SH., dan Hamrizal, SH. Berdasarkan surat dakwaan, JPU menyatakan para Terdakwa pada 30 Maret 2012, setelah menangkap Erik dan Nasution, di dalam ruang Opsnal Polsekta Bukittinggi, mereka secara bersamasama melakukan pemukulan terhadap korban Erik. Terdakwa I memukul kening korban menggunakan tangan, serta menendang dengan kaki ke arah kaki korban Erik; Terdakwa II memukul punggung Erik sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan tangan; Terdakwa III memukul korban dengan menggunakan bambu sebanyak 5 (lima) kali sehingga korban menjerit kesakitan, selain itu Terdakwa III juga memukul korban menggunakan ikat pinggang yang diambil dari saksi Nasution ke kepala korban. Sedangkan Terdakwa IV menendang korban dengan menggunakan kakinya sembari menyerukan agar Erik jujur; Terdakwa V menampar kepala korban serta menendang kaki korban sebanyak 1 (satu) kali; Terdakwa VI memukul korban dengan menggunakan balok kayu sebanyak 2 (dua) kali ke arah kaki serta bahu korban dan juga memukul korban dengan tangkai sapu sebanyak 5 (lima) kali ke arah tubuh korban, sehingga korban berteriak “ampun pak, sakit pak”. Akibat perbuatan Para Terdakwa tersebut, Erik mengalami luka memar pada bagian kepala serta anggota tubuh lainnya. Pada pukul 17.00 WIB korban mengeluh sakit pada bagian perutnya dan tak lama kemudian korban jatuh pingsan dan dilarikan ke RSAM Bukittinggi. Sesampainya di RSAM, Dokter Rumah sakit menyatakan bahwa korban telah meninggal dunia. Bahwa setelah dilakukan pemeriksaan terhadap jenazah korban atau visum et repertum tanggal 1 April 2012 oleh Dr. Rika Susanti Sp.F di RSUP Djamil, Padang, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat luka terbuka pada belakang kepala kiri, luka memar pada punggung, lengan, tungkai serta luka lecet pada dahi, pelipis, bibir, dagu, lengan dan jari akibat kekerasan benda tumpul. Hal yang mengakibatkan kematian korban adalah kekerasan benda tumpul pada kepala.
Saksi Cabut BAP di Persidangan, Jaksa Tak Serius Sidang mendengarkan keterangan Saksi digelar pertama kali pada 17 Juli 2012. Ada hal yang sangat mengejutkan pada sidang tersebut, di mana Saksi (kunci) Nasution Setiawan yang sebelumnya pada investigasi LBH Padang dan Komnas HAM
14
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISISEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
mengatakan bahwa Erik mengalami pemukulan, dan dirinya juga mengalami pemukulan, serta keterangan bahwasanya Erik tidak terjatuh saat penangkapan, mencabut keterangannya di BAP dengan alasan bahwa saat proses BAP, dirinya stress karena terlalu banyak pertanyaan dari Polisi serta dirinya sakit hari kepada Polisi yang telah menangkap dirinya. Hal ini melemahkan tuntutan Jaksa dan akhirnya keterangan-keterangan di persidangan pun mengarah bahwa kematian Erik utamanya disebabkan karena terjatuhnya Erik saat penangkapan, bukan dikarenakan pemukulan yang dilakukan Polisi saat interogasi. Pencabutan BAP ini, dicurigai akibat tidak berjalannya perlindungan yang diberikan LPSK. Padahal, Permohonan perlindungan Saksi yang diajukan melalui LBH Padang ini telah diterima LPSK sebagaimana surat Nomor: R–0576/1.3/ LPSK/06/2012, perihal: Pemberitahuan Diterimanya Perlindungan an. Nasution Setiawan, tertanggal 1 Juni 20127. Namun, kenyataannya Saksi Nasution Setiawan dan Marjoni tidak mendapatkan perlindungan, hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa Nasution Setiawan dan Marjoni ditahan di Lapas Biaro, Baso, Kab. Agam, Sumatera Barat, yakni Lapas yang sama dengan para Terdakwa penyiksaan. Meskipun menurut JPU ditempatkan pada blok yang berbeda8. Selain itu, Nasution Setiawan dan Marjoni yang juga sedang menjalani sidang perkara pencurian di PN Bukittinggi, beberapa kali berada dalam satu mobil tahanan dengan para Terdakwa penyiksaan. Padahal kendaraan tahanan Kejari Bukittinggi tersebut sangat kecil, yakni hanya muat mungkin 12 penumpang. Atas pencabutan BAP ini, Komnas HAM melalui surat bernomor 1.938/K/PMT/X/2012, tertanggal 1 Oktober 2012 (terlampir) menerangkan kepada Ketua PN Bukittinggi bahwa dicurigai pencabutan itu adalah akibat intimidasi dari Terdakwa. Pada 24 September 2012, Jaksa Penuntut Umum pun akhirnya hanya menuntut 1 tahun penjara terhadap Terdakwa AM. Muntarizal; Riwanto Manurung; Fitria Yohanda; dan Boby Hertanto. Sedangkan terhadap Deky Masriko dan Dodi Hariandi, Jaksa menuntut 1 tahun 2 bulan penjara, karena dianggap etrbukti melakukan penganiayaan, sebagaimana diatur Pasal 351 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. Padahal, awalnya para Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana kekerasan yang mengakibatkan maut; penganiayaan yang mengakibatkan kematian; penganiayaan ringan; serta pengeroyokan yang mengakibatkan kematian. Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum mengesampingkan pasal-pasal dan fakta-fakta persidangan. Luka-luka tak wajar, adanya darah saat di proses penyidikan, dan visum et repertum tidak dipertimbangkan dan dilihat secara baik oleh Jaksa untuk mengaitkannya dengan perbuatan para Terdakwa. Bahkan Jaksa Penuntut Umum tidak melihat perbuatan pelaku sebagai pengeroyokan.
monitoring sidang Putusan Hakim Mewajarkan Penyiksaan Setelah berjalan persidangan sejak Juni 2012, Majelis Hakim perkara Putusan No. 75/PID.B/2012/ PN.BKT pada Senin, 22 Oktober 2012 akhirnya membacakan putusan terhadap 6 (enam) orang Polisi Polsekta Bukittinggi, yang melakukan penyiksaan terhadap Erik Alamsyah. Majelis Hakim menyatakan para Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yakni turut serta melakukan penganiayaan. Terdakwa a.n 1) AM. Muntarizal; 2) Riwanto Manurung; 3) Fitria Yohanda; da 4) Boby Heryanto dihukum dengan hukuman 10 bulan penjara. Sedangkan Terdakwa a.n 5) Deky Masriko; dan Dody Hariandi dihukum dengan hukuman 1 tahun penjara. Hukuman ini dipotong masa tahanan. Masing-masing hukuman ini 2 bulan lebih rendah dibandingkan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Hukuman yang dijatuhkan terhadap 6 (enam) Terdakwa sangat ringan, dan tidak memberikan efek jera terhadap para terdakwa yang notabene adalah aparat kepolisian yang seharusnya dapat menjadi contoh bagi masyarakat. Hukuman ringan tersebut menambah rentetan kasus penyiksaan yang melibatkan aparat kepolisian yang dihukum secara tidak maksimal, sehingga mengakibatkan perilaku penyiksaan dan merendahkan martabat kerap terjadi di institusi Kepolisian. Dalam pertimbangan putusannya, Majelis Hakim hampir sepenuhnya mengikuti logika-logika yang dibangun Penasehat Hukum Terdakwa dan argumentasi-argumentasi JPU, yakni bahwasanya adalah benar para Terdakwa melakukan penganiayaan terhadap Erik Alamsyah, namun penganiayaan tersebut bukanlah menjadi sebab yang mengakibatkan kematian Erik. Padahal seharusnya, Majelis Hakim seharusnya bisa menggali sendiri fakta-fakta selama di persidangan, terutama ketika saksi Nasution Setiawan yang mencabut keterangannya di BAP. Ketika saksi mencabut BAP-nya ini, seharusnya hakim memperhatikan kondisi psikologis saksi Nasution, yang juga menjadi Terdakwa dalam kasus pencurian motor. Selain itu, ketika dihadirkan sebagai saksi, Nasution dibawa menggunakan mobil tahanan yang sama dengan para terdakwa dan ditempatkan di dalam ruang tahanan PN yang sama. Kemudian, dalam pertimbangan “hal meringankan” Terdakwa, Majelis Hakim menyatakan beberapa hal, yang salah satunya adalah: tindakan para Terdakwa adalah dalam rangka mengungkap kasus pencurian sepeda motor yang sedang marak di Bukittinggi. Kami melihat pertimbangan Hakim ini tidak tepat, karena secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa Majelis Hakim mewajarkan pemukulanpemukulan yang dilakukan para Terdakwa, karena dalam aktivitas pekerjaannya. Selain itu, Hakim juga menolak permohonan restitusi yang diajukan keluarga Erik melalui LPSK dengan alasan tidak terpenuhinya syarat formil sebagaimana diatur PP No. 44 tahun 2008 tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (Pasal 20 s.d Pasal 33). Majelis Hakim berpendapat, karena permohonan tersebut tidak melampirkan kwitansi atau bukti biaya yang dikeluarkan korban atau keluarganya paska meninggalnya Erik, sehingga Restitusi tidak dikabulkan. Seharusnya, demi memenuhi hak korban, Hakim dapat mengabaikan syarat formil tersebut sepanjang dia meyakini benar adanya tindak pidana itu dan ada korban yang mengalami kerugian. Melihat perjalanan kasus Erik, bisa dilihat bahwa Pengadilan tidak dapat digunakan sebagai salah satu sarana untuk menghalangi merebaknya praktek penyiksaan. Apalagi untuk memenuhi keadilan dan hak-hak korban. Situasi ini akan mendorong dan memberikan pembenaran diam-diam bagi aparat penegak hukum atau mewajarkan praktek penyiksaan atau penganiayaan yang dilakukan pada saat penyidikan di Kepolisian. Oleh karenanya Pemerintah dan DPR harus segera memasukkan dan menyesuaikan pengertian penyiksaan sebagaimana didefinisikan dalam Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Anti Penyiksaan), karena KUHP yang selama ini menjadi landasan penghukuman bagi kejahatan penyiksaan, masih mendasarkan pada delik penganiayaan dan delik-delik lainnya, sehingga penghukumannya pun seringkali sangat lemah.
Keterangan 1
Berdasarkan Pemantauan Persidangan Aparat Kepolisian Terdakwa Penyiksaan Erik Alamsyah Perkara Nomor 75/ PID.B.2012.PN/BKT Juni – Oktober 2012
2
Laporan Pemantauan, Kasus Kematian Tersangka di Mapolsek Kota Bukittinggi. Komnas HAM RI, 4 April 2012, hal 9.
3
Pihak kepolisian sedari awal menekankan bahwa dalam penyergapan tersebut, Erik Alamsyah dan Nasution Setiawan mengalami benturan akibat terjatuh dan menabrak pagar pada saat hendak melarikan diri dengan sepeda motornya (Satria FU Warna Hitam Putih). Namun, berdasarkan hasil investigasi LBH Padang bersama Komnas HAM saat mewawancarai Nasution Setiawan, Erik dan rekannya Nasution tidak pernah terjatuh dan mengalami benturan apalagi menabrak pagar.
4
LBH Padang mengetahui kejadian ini karena ditelpon oleh pihak keluarga korban. Pada saat itu pihak keluarga menginformasikan bahwa jenazah Erik Alamsyah akan di Otopsi di Rumah Sakit M. Jamil dan meminta LBH Padang untuk ikut menyaksikan proses otopsi.
5
Keterangan Dokter Forensik sesuai dengan pemeriksaan pihak kepolisian terhadap jenazah.
6
Kop Surat dari Naskah Eksepsi Tim Penasehat Hukum Para Terdakwa bertuliskan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
7
Keterangan ini juga bisa dilihat dalam Pers Release Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Nomor: 32/ PR/LPSK/V/2012, LPSK Menerima Perlindungan Saksi Kunci Tewasnya Erik Alamsyah, http://www.lpsk.go.id/ page/4fb38b6d378c3
8
Hal ini dikemukakan juga oleh Jaksa Penuntut Umum pada 5 September 2012
photo
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012
15
nasional Minggu Pagi di Jejalen Jaya Oleh Daywin Prayogo (Staf ELSAM)
Rombongan jemaat berkumpul kurang dari tigapuluh orang pagi itu. Beriringan, mereka bergerak menuju sebuah bangunan yang belum rampung. Tempat yang dituju berjarak sekitar 300 meter dari lokasi berkumpul. Berkaus putih-putih dan beberapa mengenakan topi, mereka berjalan dikawal para polisi dan Satpol PP. Para aparat berjaga sepanjang rute menuju gereja HKBP Filadelfia, Jejalen Jaya, Tambun Utara. Hari itu mereka hendak berangkat beribadah, ritual yang seharusnya biasa mereka lakukan tiap minggu. Tujuan ibadah itu mungkin mencari kesejukan rohani, namun yang tampak adalah deretan wajah lesu dan tertunduk. Belum sampai di depan gereja, mereka dihadang sekelompok orang yang mengatasnamakan warga desa Jejalen Jaya. Di jarak yang tinggal 200 meter lagi, warga menyuruh mereka pulang. Dengan tegas mereka menolak aktivitas peribadatan minggu pagi yang belum lagi terlaksana. “Pulang loe, dasar gak tahu diri! Sudah tahu gak dikasih ibadah, masih aja kesini!”, teriak seorang warga. Di tengah keributan itu, beberapa jemaah diam tak bergeming.
***
C
erita di atas hanya sebuah ilustrasi singkat bagaimana sikap intoleransi terus merebak. Tidak hanya kisah desa kecil di Tambun Utara itu, tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia. Dalam kurun waktu lima bulan di tahun 2012, tercatat beberapa kelompok agama terpaksa berhenti beribadah. Beberapa kelompok tersebut adalah HKBP Filadelfia, kelompok Syiah di Sampang, serta dua kelompok Ahmadiyah di Singaparna dan Tasikmalaya, Jawa Barat.
Semuanya berhenti beribadah akibat serangan kelompok yang lebih populer disebut sebagai kelompok intoleran. Selain tidak mentolerir agama lain beribadah, mereka juga tidak bisa menerima suara yang mengkritisi. Bahkan ketika suara kritis itu hanya tertera di selembar kaos. Tulisan kaos itu singkat, padat dan mengena: “Lawan Tirani Mayoritas”. Dari pesan singkat itu, salah satu kelompok intoleran menjadi berang seketika. Seorang yang memakai kaos itu adalah aktivis yang bertugas meliput penolakan ibadah HKBP Filadelfia. Seketika kelompok intoleran menyeretnya untuk dihakimi bersama. Lalu kalimat itu bertransformasi sebagai simbol. Sebuah simbol penolakan atas penindasan terhadap kelompok yang tidak sepakat dengan kehidupan toleransi di Indonesia. Tetapi apakah benar kelompok ini hanya menjadi satu-satunya pendorong maraknya kasus kekerasan belakangan ini? Toleransi dalam “Tangan Besi”
Pemimpin jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, Bekasi, Jawa Barat, Pendeta Palti Panjaitan berharap negara melindungi kebebasan kaum minoritas dalam menjalankan ibadahnya masing-masing. (dok:okezone.com)
16
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISISEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
Noam Chomsky pernah mengatakan, “If we don’t believe in freedom of expression for people we despise, we don’t believe in it at all..” Kata-kata Chomsky tersebut benar adanya. Syiar kebencian (hate speech) dan tindakan kekerasan belakangan ini, tidak hanya berkembang karena kelompok intoleran menjadi ancaman terhadap keberagaman. Salah satu faktor yang harus dicermati juga adalah peran negara sebagai pemegang kekuasan. Negara harusnya mampu mempengaruhi tingkah laku orang sesuai dengan cita – cita negara yang berkeadilan. Juga lewat perangkat hukum untuk menindak tegas aksi – aksi tersebut.
nasional Kasus penyerangan di atas merupakan bukti nyata bahwa hukum tidak lagi mampu memfasilitasi toleransi kehidupan umat beragama di Indonesia. Di luar konteks keagamaan, tindakan yang bertentangan dengan hukum harus diselesaikan dengan peraturan yang berlaku. Tetapi apa yang sudah terjadi justru berseberangan. Negara yang memiliki peran penegakan hukum melalui institusi-institusi seperti kepolisian, malah melakukan pembangkangan terhadap peraturan yang mereka buat sendiri. Dalam kasus HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin, putusan hukum yang mendukung pendirian gedung ibadah, “diabaikan” oleh pemerintah. Seolah– olah ada kolaborasi disengaja dengan kelompok intoleran, dan terus melakukan penolakan ibadah para jemaat. Toleransi kemudian hanya jadi poster usang di pinggir jalan. Setiap hari dilihat namun tanpa makna dalam keseharian. Masyarakat awam pun tak ubahnya penonton yang hanya memuntahkan sinisme kepada yang tiran. Hampir tak ada yang sadar bahwa ada yang salah dalam tanggung jawab negara memfasilitasi kebebasan dalam beragama. Dalam era komunikasi dan informasi digital, pesan–pesan kebencian lewat media sosial bergerak dalam hitungan detik. Berulang–ulang pesan kebencian dibaca oleh para pengguna media sosial, menjadikannya semakin mudah mengendap di kepala. Ide dan gagasan toleransi dengan mudah terabaikan, termasuk dalam kasus yang terjadi belakangan ini. Semangat perubahan menuju toleransi umat beragama makin lama makin terkubur. Gagasan itu tergantikan oleh provokasi murahan yang menempatkan kita dalam pusaran kebencian tanpa ujung. Toleransi pun seperti terkurung dalam sebuah tangan besi. Katakan Lawan! kepada “Tirani Mayoritas” Serangan oleh kelompok tirani mayoritas semakin menegaskan bahwa toleransi dalam kehidupan berdemokrasi berada dalam ancaman. Kesempatan untuk siapapun mengekspresikan ide dan gagasan masing–masing seakan tak terjamin. Namun sering muncul kebingungan ketika kita berada di antara kelompok intoleran dengan penonton yang semangat mengutuk tindakan kekerasan. Lalu kepada siapa seharusnya perlawanan dialamatkan? Tirani mayoritaskah? Mungkin kita bisa tidak sepakat bahwa slogan “Lawan Tirani Mayoritas” hanya ditujukan kepada kelompok intoleran. Sekali lagi, negara juga bisa dibilang berada di balik tumbuh pesatnya kelompok yang bertindak vigilan. Menjadikan mereka imun terhadap hukum. Dan kasus seperti di Jejalen akan kembali terulang di wilayah lain di Indonesia. Selain abai, negara juga menunjukkan pemahaman toleransi yang banal. Seperti halnya ketika Menteri Agama Suryadharma Ali
jemaat HKBP Filadelfia kembali gagal menjalankan ibadah di gerejanya. Para jemaat dihalang-halangi massa intoleran yang sejak pagi sudah menempati halaman gereja dalam hal ini Negara tunduk pada tekanan massa dan membiarkan praktik-praktik intoleransi berkembang. http://icrp-online.org
menanggapi isu diskriminasi dalam pembangunan rumah ibadah, pada 21 September 2012. Dengan picik dia mengatakan bahwa pembangunan masjid di Indonesia mencapai 64%, sedangkan Gereja 152%, maka tidak ada diskriminasi. Kebanalan pemahaman negara tampak ketika menakar kebebasan beribadah hanya lewat banyaknya jumlah rumah ibadat. Dalam Konstitusi jelas tertulis bahwa perlindungan warga terhadap tindakan melawan hukum merupakan domain negara. Apalagi terhadap tindakan yang sengaja merusak bangunan toleransi keberagaman atas nama suatu kelompok. Dengan demikian, menjamin kebebasan beribadah warga negara adalah harga mati dalam sebuah republik demokratis. Pendiaman negara atas tindak kekerasan adalah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan landasan negara. Artikel ini pernah dimuat di Sorge Magazine. http://www.sorgemagz.com/?p=1490.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012
17
nasional Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing dalam Perspektif HAM Oleh Mohamad Zaki Hussein (Staf Biro Litbang ELSAM)
P
ada 3 Oktober 2012, kaum buruh Indonesia yang dipelopori oleh Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) melancarkan aksi Mogok Nasional. Salah satu slogan mereka adalah penghapusan outsourcing. Mogok Nasional ini sendiri bisa dikatakan sebagai salah satu puncak dari gerakan Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah (Hostum) yang digulirkan sejak Mei 2012. Sejak itu, mereka sudah melakukan aksi-aksi pengepungan pabrik untuk memaksa pengusaha mengubah status buruhnya yang outsourcing menjadi hubungan kerja langsung dengan perusahaan tempat ia bekerja. Menurut Roni Febrianto, salah seorang pimpinan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), salah satu elemen MPBI, sejak gerakan Hostum dimulai sampai menjelang Mogok Nasional, ada lebih dari 50.000 buruh outsourcing yang berhasil diubah statusnya menjadi hubungan kerja langsung dengan perusahaan.1 Outsourcing memang merupakan momok bagi buruh. Bersama-sama dengan sistem kerja kontrak, outsourcing adalah cara untuk membuat hubungan kerja buruh-pengusaha menjadi fleksibel. Fleksibel atau biasa disebut market labour flexibility di sini bermakna hubungan kerja menjadi lebih mudah untuk diubah atau ditiadakan, tanpa konsekuensi yang berat bagi pengusaha, sesuai dengan kondisi bisnis yang berubah-ubah. Perjanjian kerja dibuat hanya untuk sementara atau jangka waktu tertentu. Inilah yang disebut dengan sistem kerja kontrak yang biasa dibedakan dengan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu atau kerja tetap. Cara fleksibel lainnya adalah dengan menggunakan buruh dari perusahaan penyalur tenaga kerja, di mana urusan rekrutmen dan administrasi ketenagakerjaan serta pemenuhan hak-hak buruh dilimpahkan kepada perusahaan penyalur tersebut. Inilah yang disebut dengan sistem outsourcing tenaga kerja. Dalam sistem outsourcing, hubungan kerja resmi si buruh adalah dengan perusahaan penyalur tenaga kerja, tetapi si buruh bekerja untuk dan menerima perintah dari perusahaan pengguna tenaga kerja. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) sebenarnya menetapkan pembatasanpembatasan atas kerja kontrak dan outsourcing. Kerja kontrak, misalnya, hanya boleh untuk ”pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu” dan ”tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.” Kerja kontrak hanya “dapat diadakan
18
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISISEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.” Pembaruan perjanjian kerja kontrak juga hanya dapat “dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.” Kemudian, untuk outsourcing, dinyatakan bahwa outsourcing hanya bisa diterapkan pada pekerjaan yang ”dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama” dan ”merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan.” Outsourcing ”tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan secara langsung dengan proses produksi.” Perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi buruh outsourcing harus ”sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”2 Namun, nyaris semua peraturan ini dilanggar di lapangan. Outsourcing, misalnya, banyak diterapkan pada pekerjaan yang merupakan core-business dari sebuah perusahaan. Ini bisa dilihat dari jenis-jenis buruh yang disalurkan oleh berbagai perusahaan penyalur ini. PT FBP, misalnya, menyediakan buruh setingkat operator yang bekerja di bidang produksi. Lalu, PT TKI menyalurkan buruh kontrak untuk operator telepon, operator komputer, kasir, dan sebagainya. PT QSM menyediakan buruh untuk programmer, call center, dan sebagainya. Di antara buruh yang disalurkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut, memang ada yang disalurkan untuk memiliki hubungan kerja langsung dengan perusahaan pengguna tenaga kerja. Tetapi, ini biasanya hanya berlaku untuk buruh setingkat manajer dan jumlahnya hanya satu dua orang. Untuk sisanya, yang disalurkan secara masif, biasanya memiliki status sebagai buruh outsourcing.3 Hal serupa terjadi juga pada aturan mengenai perpanjangan kerja kontrak. Riset Indrasari Tjandraningsih, Rina Herawati dan Suhadmadi yang melakukan survei terhadap 600 responden buruh di sektor metal di tiga provinsi dan tujuh kota, yakni Provinsi Kepulauan Riau (Kota Batam), Jawa Barat (Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Karawang), serta Jawa Timur (Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Mojokerto) menemukan fakta mencengangkan. Banyak buruh yang disurvei ternyata mengalami kontrak lebih dari empat kali.
nasional Berikut ini tabel hasil surveinya: KUANTITAS KONTRAK
PROSENTASE
1 kali
31,60%
2 kali
28,60%
3 kali
10,70%
4 - 15 kali
29,10%
TOTAL
100,00%
Temuan lain dari riset mereka adalah, di Kepulauan Riau ada buruh yang dikontrak sampai 9 kali, di Jawa Timur ada yang dikontrak sampai 11 kali, dan di Jawa Barat ada yang dikontrak sampai 15 kali.4 Mengenai perlindungan dan syarat-syarat kerja buruh outsourcing sebagaimana diatur dalam UUK yang harus sekurang-kurangnya sama dengan buruh bukan outsourcing, riset Indrasari et al. Justru menemukan adanya diskriminasi antara tiga jenis buruh, yaitu buruh tetap, buruh kontrak dan buruh outsourcing, untuk jenis pekerjaan yang sama di tempat yang sama dengan jam kerja yang sama. Untuk upah pokok, misalnya, rata-rata upah pokok buruh kontrak lebih rendah 14% dari upah pokok buruh tetap, sementara upah pokok buruh outsourcing lebih rendah 17,45% dari upah pokok buruh tetap. Lalu, terkait upah total, rata-rata upah total buruh kontrak 16,71% lebih rendah dari upah total buruh tetap, sementara upah total buruh otusourcing 26% lebih rendah dari upah total buruh tetap.5 Dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM), tentu diskriminasi ini bertentangan dengan Pasal 38 ayat (3) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, di mana dinyatakan bahwa, “Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.” Diskriminasi ini juga bertentangan dengan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) yang disahkan dengan UU No. 11 Tahun 2005, di mana pekerja memiliki hak untuk mendapatkan “remunerasi yang setara untuk pekerjaan yang nilainya setara tanpa pembedaan apapun.” Diskriminasi ini bisa terjadi karena posisi tawar buruh kontrak dan outsourcing yang lemah. Hubungan kerja mereka yang sementara dan rentan membuat pengorganisiran buruh kontrak dan outsourcing menjadi sulit. Masalah ini ditambah lagi dengan hubungan kerja buruh outsourcing yang bukan dengan perusahaan tempat mereka kerja, tetapi dengan perusahaan penyalur. Riset Indrasari et al. menemukan bahwa dari keanggotaan serikat buruh yang ada, 75,1% berasal dari buruh tetap dan 24,90% berasal dari buruh kontrak, tetapi tidak ada yang berasal dari buruh outsourcing. Adapun dari buruh-buruh yang tidak berserikat, 28% menyatakan bahwa alasan mereka tidak berserikat adalah karena status mereka yang outsourcing dan takut kehilangan pekerjaan.6 Dengan demikian, hubungan kerja kontrak dan outsourcing telah menghambat buruh kontrak dan
outsourcing untuk berserikat. Hal ini bertentangan dengan Pasal 39 UU HAM, di mana dinyatakan ”Setiap orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.” Hal itu juga bertentangan dengan Pasal 22 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang sudah disahkan oleh UU No. 12 Tahun 2005, dan Pasal 8 Kovenan Ekosob tentang hak pekerja untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh. Saat ini, karena kegigihan kaum buruh, persoalan outsourcing telah menjadi perdebatan publik. Wacana yang dominan mengarah kepada pembatasan outsourcing sesuai dengan penafsiran atas UUK yang menyatakan bahwa outsourcing hanya bisa diterapkan di lima jenis pekerjaan, yakni cleaning service, usaha penyediaan makanan (catering) bagi buruh, tenaga pengaman (satpam), usaha penyediaan angkutan buruh dan usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan. Asumsi di balik pandangan ini, UUK tidak bermasalah, masalahnya ada pada penafsiran, pengawasan dan penegakannya. Ada problem dalam pandangan ini. Sebagai target jangka pendek, pembatasan outsourcing bisa saja diperjuangkan. Namun, sistem outsourcing dan kerja kontrak itu sendiri bertentangan dengan HAM dan tidak bisa diterapkan pada siapa pun tanpa kecuali. Buruh cleaning service, catering, satpam, buruh usaha angkutan pekerja dan buruh jasa penunjang di pertambangan serta perminyakan juga memiliki hak yang sama dengan buruh-buruh di bagian corebusiness. Karenanya, sebagai tujuan jangka panjang, UUK No. 13 Tahun 2003 sudah selayaknya dicabut dan diganti dengan UU Ketenagakerjaan yang menghormati HAM dan melarang praktek kerja kontrak serta outsourcing.
Keterangan 1
Wawancara dengan Roni Febrianto, “Buruh Indonesia Wajib Menang Lewat Mogok Nasional.” Diunduh 5 November 2012 dari http://www.prp-indonesia.org/2012/buruh-indonesiawajib-menang-lewat-mogok-nasional.
2
Lihat UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 pasal 59 ayat ayat (1), (2), (4), (6); pasal 65 ayat (2) dan (4), serta pasal 66 ayat (1) dan (2).
3
Indrasari Tjandraningsih, Rina Herawati dan Suhadmadi, Diskriminatif dan Eksploitatif: Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di Indonesia (Akatiga, FSPMI dan FES, 2010), hlm. 28-30. Diunduh 5 November 2012 dari http://library.fes.de/pdf-files/bueros/ indonesien/07846.pdf.
4
Ibid., hlm. 8 dan 41.
5
Ibid., hlm. 43-45.
6
Ibid., hlm. 52-53.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012
19
resensi Menuju Keadilan Global: Pengertian, Mandat dan Pentingnya Statuta Roma Oleh Antonius Pradjasto (Aktivis HAM dan Demokrasi)
Judul buku : Menuju Keadilan Global: Pengertian, Mandat dan Pentingnya Statuta Roma Penulis : Soetandyo Wignjosoebroto, dkk Impresum : Jakarta: ICTJ dan Indonesian Civil Society Coalition for the International Criminal Court, 2012 Kolasi : xxiv + 220 halaman; 23cm. ISBN : 978-602-97558-2-4 Catatan : Daftar istilah dan Kata Pengantar Menteri Hukum dan HAM RI
J
ika sembilan penulis dengan berbagai latar belakang keahlian mengupas Statuta Roma dan Keadilan Global dalam satu buku tentu bukan tanpa alasan. Akan tetapi apakah itu Statuta Roma sehingga menarik perhatian begitu besar? Dilihat dari kata generiknya ‘Statuta’ ‘Roma’ seperti hukum dasar (statuta) mengenai (kota) Roma? Dan apakah kaitannya dengan keadilan (global)? Apa pula relevansinya dengan Indonesia? Roma – Italia, 17 Juli 1998, 148 negara berkumpul untuk mengambil keputusan atas sebuah perjanjian internasional untuk terbentuknya International Criminal Court (sering diterjemahkan dengan Mahkamah Pidana Internasional. Selanjutnya disebut MPI). Kesepakatan itu diadopsi dengan 120 negara setuju, 7 menolak dan 21 abstein. Dalam hukum internasional mengadopsi sebuah perjanjian tidak serta merta membuat perjanjian itu berlaku secara efektif. Seperti umumnya perjanjan internasional lain – keberlakuannya digantungkan pada banyaknya negara yang meratifikasi yang mengindikasikan keberlakuan perjanjian internasional tersebut pada negara-negara yang bersangkutan. Dalam hal ini syarat keberlakuannya adalah 60 negara meratifikasinya. Dalam empat tahun, tepatnya 1 Juli 2002 perjanjian itu sudah menjadi hukum internasional. Namun, meski sudah 121 negara yang menjadi bagian dari statuta, Indonesia bukan salah satunya. Di titik inilah pokok persoalannya. Polemik akan penting tidaknya statuta tersebut menjadi bagian dari hukum Indonesia merupakan pangkal penerbitan buku ini. Di titik ini pula buku ini hendak berkontribusi – dengan menjernihkan pemikiran yang keliru mengenai MPI (Abdulkadir Jailani) mulai dari aspek filosofis sosiologis hingga praktis politik – legalistik.
20
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISISEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
Problem paradigmatik Prof. Soetandyo meninjau pertarungan paradigma [hukum] mengenai manusia dalam sejarah pembentukan pengadilan pidana internasional permanen. Paradigma pertama memaknakan manusia sebagai warga-bangsa yang berada dalam batas-batas yurisdiksi suatu negara. Sedangkan yang kedua mengidentifikasi manusia secara lebih universal, dan berada dalam yurisdiksi hukum yang melampaui aturan-aturan hukum. Benturan dua paradigma itu tercermin dalam sejarah Eropa terutama Jerman. [hal. 1-19] Kubu paradigma ‘manusia sebagai wargabangsa’ tercermin dalam peraturan di Jerman (das Gesetz zum Schutz des deutschen Blutes und der deutschen Ehre), pada paruh pertama abad 20, yang mensahkan perlakuan diskriminasi dan penyingkiran manusia yang dianggap bukan warganegara. Kebijakan ini dilanjutkan dengan pembantaian besar-besaran umat manusia di Eropa. Paradigma ini merasuk dalam praktek bernegara – di mana negara tidak lebih dari pemegang kekuasaan terorganisir yang melakukan kejahatan. Karena hanya keturunan Arya yang dianggap wargabangsa, di luar itu tidak memperoleh perlindungan dari negara. Seiring dengan kalahnya pemerintahan Hitler terjadi pergeseran paradigmatik tentang manusia. Persaingan paradigma ini kemudian ‘dimenangkan’ oleh ‘paradigma universalis’ – yang ditandai dengan Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Nuremberg principles. Di dalamnya manusia tidak lagi dipahami atas dasar ras, latar belakang sosial-ekonomi, maupun agama melainkan sebagai manusia utuh yang bermartabat. Disamping itu diterima
resensi
sejumlah prinsip bahwa individu yang melakukan kejahatan tertentu seperti kejahatan kemanusiaan harus dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan hukum internasional. Dengan ini pula didorong hadirnya badan pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen. Dari Prof. Soetandyo bisa disimpulkan bahwa MPI merupakan pengejawantahan dari pergeseran paradigmatik yang melihat manusia sebagai warga umat yang berdaulat sekaligus warga yang menghadapi ancaman kekerasan dari negara. Tanpa perubahan paradigma menuju humanisme universal [hl 19] dan menerapkan kebijakan yang melulu berdasarkan ‘kepentingan nasional’ akan terus terjadi de-humanisasi dan diskriminasi. Mahkamah Pidana Internasional Kehendak untuk mendirikan pengadilan pidana internasional yang dapat memproses secara legal sebuah kejahatan sudah lama berlangsung. Sedikitnya Konvensi Genosida 1948, menyebutkan tentang pengadilan pidana internasional untuk menghukum pelaku kejahatan genosida. Kehendak ini begitu kuat karena meski telah banyak aturan atau norma yang mengkategorikan tindak-tindak tertentu sebagai kejahatan internasional – seperti genosida, kejahatan perang, perbudakan, penyiksaan – tindakan kejahatan itu terus berlangsung tanpa hukuman. Bahkan sejumlah pejabat negara yang diketahui terlibat dalam salah satu atau beberapa kejahatan itu dapat lalu lalang mengunjungi negara lain dan memperoleh impunitas. Terciptalah suasana “kalau seseorang melakukan pembunuhan pada orang lain akan dikenakan hukuman. Namun ketika puluhan atau bahkan ratusan orang mati oleh pemangku kekuasaan, maka pelakunya akan bebas.” Ketergantungan pada sistem hukum masingmasing negara sementara organ-organ yang
seharusnya mengadili dan menghukum pelaku dikuasai oleh pelaku kejahatan adalah salah satu sebabnya. Ketika sistem hukum nasional ‘mati suri’ sistem hukum internasional menyediakan ruang untuk menghukum pelaku. Seperti yang dikatakan Prof. Muladi, ahli hukum pidana, dengan melembaganya pengadilan permanen untuk kejahatan internasional maka penegakan hukum humaniter internasional tidak lagi berlaku secara tidak langsung melainkan secara langsung (direct enforcement). Ada tidak berarti berfungsi efektif. Untuk itu Muladi beranggapan bahwa penting bagi MPI untuk menjaga ‘transitional legal spirit’ yaitu semangat universal untuk mengamankan penghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar, dan sejumlah semangat yang lebih spesifik. Semangat itu antara lain semangat untuk mengakhiri impunity, untuk menciptakan keadilan bagi semua dan mencegah timbulnya kejadian serupa di masa datang. Dengan menjabarkan kembali sejarah singkat pembentukan Statuta Roma Prof. Martino mengungkapkan problematika masyarakat internasional mengenai penyelesaian konflik bersenjata secara adil. Menjaga keluruhan manusia adalah prima facie bagi penyelesaian konflik bersenjata. Dan kuncinya terletak pada pembebasan dunia dari impunitas dan pencegahan terulangnya kembali kejahatan serius. Statuta roma adalah payung hukum internasionalnya. [hal. 61] Fajrul Falaakh, ahli hukum tatanegara menunjukan bahwa MPI bukan merupakan organ utama PBB. Oleh karena itu MPI merupakan extended national jurisdiction dari negara-negara pihak untuk menjangkau pelaku kejahatan. Dengan mendederkan sejumlah aturan dan praktik hukum berkenaan proses hukum terhadap pelanggaran hak asasi sebagaimana Statuta Roma dan hukum nasional penulis kemudian mengusulkan berbagai tindakan harmonisasi hukum nasional yang bisa dilakukan. Dari berbagai pilihan yang ada penulis mengusulkan agar Indonesia mengaksesi statuta roma dengan mengakomodasi keseluruhan aturan hukum dan kelembagaan di dalamnya. [hal.83] Artidjo Alkotsar, seorang hakim Agung, menekankan aspek penegakan hukum. Persis karena sifat kejahatan hak asasi merusak martabat bangsa manusia maka penegakan hukumnya pun harus luar biasa. Dalam upaya tersebut tidak bisa dilepaskan bahwa pihak yang dipertaruhkan (stakeholder) dari kejahatan kemanusiaan ini melampaui batas-batas keluarga, etnis, ras, agama, bangsa dan negara. Diadopsinya Statuta Roma dalam sejumlah aturan pengadilan hak asasi di Indonesia merupakan lompatan paradigma bangsa Indonesia yang harus terus dijaga dari yang semula alergi terhadap HAM dan demokrasi menjadi penegak hak asasi manusia. Hal yang sama dikatakan oleh Fuad yang melihat secara filosofis-teologis bahwa Statuta Roma merupakan basis kultural untuk mengembalikan ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012
21
martabat manusia yang telah dinistakan oleh para penjahat kemanusiaan dunia itu sendiri. Mengapa ‘mengembalikan’? Karena nilai-nilai asasi kemanusiaan, masih menurut Fuad, rusak akibat dipaksakannya ideologi kesatuan – ideologi yang menyeragamkan pluralitas bangsa dalam sebuah doktrin politik. Oleh karenanya tidak ada alasan bagi siapapun untuk menolaknya [hal. 105]. Andi Widjajanto, ahli militer, menempatkan MPI dalam perspektif pengembangan sistem pertahanan keamanan nasional – yang menurut penulis harus didasarkan pada doktrin ius bellum. Persis karena itu maka MPI yang antara lain mengadili kejahatan perang merupakan konsekuensi logis dari penerapan doktrin tersebut. Karena peradilan ini akan memungkinkan adanya akuntabilitas dari sebuah tindakan militer. Dari banyak pengalaman, asal usul kekerasan bersumber pada doktrin ‘keamanan nasional’. Doktrin ini menempatkan supremasi militer atas sipil, mengembangkan aparat represif bagi penerapan ‘perang permanen’, dan menganggap kekuatan bersenjata sebagai satu-satunya institusi yang mampu menjaga kekuatan ideologis – sembari merusak sistem-sistem peradilan, politik, budaya maupun ekonomi. [Nunca Mas, hal. 442]. Bahaya penerapan doktrin ini harus dicegah dari awal. Doktrin yang harus menjadi dasar pengembangan strategi pertahanan keamanan Indonesia adalah ius ad bellum. Berbeda dengan doktrin ‘keamanan nasional’ doktrin ini mengharuskan negara menerapkan prinsip diskriminasi dan proporsional dalam strategi dan operasi militer. Diskriminasi karena sasaran, metode dan strategi bertempur hanya boleh terarah pada kelompok tempur dan bukan pada non tempur (prajurit terluka, pengungsi, unit medis, masyarakat sipil terutama perempuan dan anak) dan juga bukan pada zona imunitas (seperti fasilitas sipil, zona netral, zona demiliterisasi). Sedangkan prinsip proporsional mengharuskan semua biaya dan kerusakan yang timbul diperhitungkan dengan seksama, sedemikian sehingga ‘kebaikan’ yang muncul dari perang lebih besar daripada kerusakan dan biaya yang dikeluarkan. [hl. 128] Disamping itu doktrin ini memperlakukan tindakan militer sebagai pilihan terakhir. Semua upaya non perang harus dilakukan lebih dahulu dengan maksimal sebelum memutuskan untuk perang; juga jika harus berhadapan dengan kelompok separatis. Tindakan militer hanya bisa didasarkan pada maksud untuk mempertahankan diri dan menciptakan kembali perdamaian yang dilakukan pemerintah yang sah. Doktrin ius ad bellum ini sangat penting diterapkan persis karena besarnya potensi instrumen perang digunakan secara tidak bertanggung jawab atau imoral. Ketika itu terjadi jatuhnya korban sipil akan sangat besar, ruang untuk resolusi konflik alternatif semakin sempit. Sebaliknya dengan mendasarkan pada doktrin ini tindakan militer akan lebih terkendali dan dapat dipertanggungjawabkan [hal. 137-145].
22
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASIEDISI EDISISEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 ASASI 2012
Pilihan ini membawa konsekuensi pembentukan peradilan kejahatan perang dengan kapasitas yang memadai. Ketika terdapat dua sistem yang bekerja untuk persoalan yang sama timbul kekhawatiran bahwa keduanya akan saling bertabrakan. Fadillah Agus mencoba meyakinkan bahwa antara MPI dengan Pengadilan Militer di Indonesia tidak terjadi yurisdiksi yang saling tumpang tindih dengan cara membandingkan keduanya. Perbandingan itu mencakup aspek legitimasi, struktur pengadilan, kompetensi auditor dan sebagainya. Penulis yang merupakan seorang ahli hukum militer juga mengulas persoalan yang paling sering diresahkan militer dalam misi perdamaian. Diingatkan bahwa MPI bersifat pelengkap dari pengadilan nasional. Abdulkadi Jailani, seorang diplomat senior, berupaya menjernihkan kekuatiran yang ada dengan mengupas kesalahpahaman-kesalahpahaman di benak mereka yang menolak ratifikasi. Sebagai contoh kesalahpahaman bahwa MPI mencakup pula wewenang mengadili pelanggaran HAM masa lalu, bahwa kewenangan MPI lebih ditentukan melalui proses politik daripada hukum, dan berkenaan dengan perlunya kesiapan hukum nasional. Ia menunjukan bahwa ratifikasi justru bermanfaat bagi kepentingan nasional baik dalam rangka mewujudkan keamanan dan ketertiban dunia, mencegah terjadinya impunitas, dan meningkatkan citra Indonesia dalam perlindungan HAM. Keadilan Global Jika bicara mengenai keadilan global pada umumnya merujuk pada gerakan akan perlunya pluralisme dalam tatanan global yang sedang berlangsung. Lebih spesifik lagi suatu gerakan untuk menciptakan alternatif dari perdagangan bebas dan pasar bebas. Perjuangan keadilan yang digerakkan oleh perlawanan terhadap penunggalan pola hubungan baik dalam hidup ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Dalam hal ini sistem pasar yang hendak ‘dipaksakan’ untuk diterapkan bukan hanya di bidang ekonomi tapi juga di luar itu. Dalam buku ini bukan hal itu yang pembaca temukan. Menyimak tulisan-tulisan di buku ini, pembaca dibatasi pengertian ‘keadilan’ sebagai ‘pertanggungjawaban individu atas kejahatan yang dilakukan’. Segera terasa bahwa hal itu bukan hal baru. Namun, ‘hal yang tidak baru’ ini memang harus dikedepankan kembali persis karena hal tersebut tidak terjadi dalam kesetaraan. Prinsip ‘semua manusia sama di hadapan hukum’ disandera oleh sistem politik. Gejala seperti ini adalah gejala impunitas. Sub-Komisi HAM PBB mendefinisikan impunitas sebagai: “the impossibility, de jure or de facto, of bringing the perpetrators of human rights violations to account - whether in criminal, civil, administrative or disciplinary proceedings - since they are not subject to any inquiry that might lead to their being accused, arrested, tried and, if found guilty, convicted, and to
resensi reparations being made to their victims.”1 Dengan kata lain impunitas adalah bebasnya pelaku kejahatan dari pertanggungjawaban yang sudah terstruktur dalam hubungan kekuasaan. Secara menjijikkan para pembunuh massal, penyiksa atau penculik bersembunyi di dalam istana negara dan mengklaim dirinya bersih dari kejahatan; yang artinya pula bebas dari pertanggungjawaban. Martino, Muladi, Falaakh, dan Jailani memberi garis bawah tegas akan peran MPI dalam memerangi impunitas itu. Bila gagal melawan impunitas defisit penegakan hukum akan tetap menganga di Indonesia. Banyak cara pelaku untuk lari dari pertangungjawaban atas tindakan keji. Penulis Soetandyo W. dan Andi menunjukkan klaim ‘kepentingan nasional’ sebagai rasionalisasi atas tindakan keji tersebut. Lugasnya, tanpa perubahan cara berpikir dan kebijakan dari doktrin ‘kepentingan nasional’ ke ‘kepentingan kemanusiaan yang beradab’ ketidakadilan yang dialami oleh warga Indonesia tidak akan banyak berubah. Di sini pula titik taut pertama antara pengertian ‘keadilan global’ tersebut di atas dengan yang diulas dalam buku ini, yaitu adanya pihak-pihak yang hilang dari radar pertanggungjawaban. Tautan berikutnya adalah gerakan mencari alternatif. Dalam hal ini alternatif akan mekanisme pertanggungjawaban pelanggaran hak asasi manusia. Alternatif dari pingsannya sistem pertanggungjawab hukum (nasional) itu adalah sebuah pengadilan pidana yang melampaui yurisdiksi batas-batas negara terhadap pelaku kejahatan serius. Saat ini alternatif itu tidak lagi perlu dicari karena ICC telah terbentuk. Indonesia tinggal ikut menjadi negara pihak di dalamnya. Buku ini berisi kumpulan tulisan tentang urgensi Mahkamah Pidana Internasional dari berbagai perspektif serta isyarat agar Indonesia meratifikasi Statuta Roma. Melihat beragamnya latar belakang
keahlian dari penulis sulit dielakan pembaca menemukan beberapa pengulangan informasi dari satu tulisan ke tulisan lain. Meskipun sejumlah penulisan mengandung catatan kaki yang sangat kuat, yang akan berguna bagi mereka yang ingin terus menelusuri kajian mengenai aspek-aspek yang ada di dalamnya, namun sayang tidak ada daftar pustaka. Buku ini juga dibekali instrumen yang dibutuhkan untuk memudahkan ratifikasi Statua Roma berupa kertas posisi dari Komnas HAM dan Naskah Akademik beserta Konsep Awal RUU Pengesahan Statuta Roma dari Kementerian Hukum dan HAM; dua lembaga negara yang sangat relevan di bidang ini. ICC telah dikupas dari berbagai sudut dengan cukup lugas dalam satu buku ini, dari yang sifatnya filosofis bahkan teologis hingga praktis politis. Buku ini dapat menjadi rujukan untuk mengambil kebijakan yang tepat terhadap Statuta Roma. Yang dibutuhkan saat ini hanyalah kehendak untuk meratifikasi Statuta Roma. Selebihnya, buku ini perlu dibaca para anggota parlemen, pejabat publik, mahasiswa maupun dosen.
Keterangan 1. United Nations Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities, “Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights Through Action to Combat Impunity”, (E/CN.4/Sub.2/1997/20) disitir dari Law and Contemporary Problems, Accountability for International Crimes and Serious Violations of Fundamental Human Rights, Vol. 59 No. 4, Autumn 1996, 171
PROFIL ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya – sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil lewat advokasi dan promosi hak asasi manusia (HAM). VISI Terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan menghormati hak asasi manusia. MISI Sebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) yang memperjuangkan hak asasi manusia, baik hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan. KEGIATAN UTAMA: 1. Studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; 2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; 3. Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan 4. Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia PROGRAM KERJA: 1. Meniadakan kekerasan atas HAM, termasuk kekerasan atas HAM yang terjadi di masa lalu dengan aktivitas dan kegiatan yang berkelanjutan bersama lembaga-lembaga seperjuangan lainnya. 2. Penguatan Perlindungan HAM dari Ancaman Fundamentalisme Pasar, Fundamentalisme Agama, dan Komunalisme dalam Berbagai Bentuknya. 3. Pembangunan Organisasi ELSAM melalui Pengembangan Kelembagaan, Penguatan Kapasitas dan Akuntabilitas Lembaga. STRUKTUR ORGANISASI: Badan Pengurus: Ketua : Sandra Moniaga, SH. Wakil Ketua : Ifdhal Kasim, SH. Sekretaris : Roichatul Aswidah, Msc. Bendahara I : Ir. Suraiya Kamaruzzaman, LLM Bendahara II : Abdul Haris Semendawai SH, LLM Anggota Perkumpulan: Abdul Hakim G. Nusantara, SH, LLM; Asmara Nababan; I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA; Ir. Agustinus Rumansara, M.Sc.; Hadimulyo; Lies Marcoes, MA; Johni Simanjuntak, SH; Kamala Chandrakirana, MA; Maria Hartiningsih; E. Rini Pratsnawati; Ir. Yosep Adi Prasetyo; Francisia Saveria Sika Ery Seda, PhD; Raharja Waluya Jati; Sentot Setyasiswanto S.Sos; Tugiran S.Pd; Herlambang Perdana SH, MA Badan Pelaksana: Direktur Eksekutif: Indriaswati Dyah Saptaningrum, S.H. LLM; Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan , dan Plt Kepala Divisi Advokasi Hukum: Wahyu Wagiman, SH. Deputi Direktur Pengembangan sumber daya HAM ( PSDHAM), dan Plt Kepala Divisi Monitoring Kebijakan dan Pengembangan Jaringan: Zainal Abidin, SH. Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Kelembagaan: Otto Adi Yulianto, SE; Staf: Ahmad Muzani; Andi Muttaqien SH; Elisabet Maria Sagala, SE; Elly F. Pangemanan; Ester Rini Pratsnawati; Ikhana Indah Barnasaputri, SH; Khumaedy; Kosim; Maria Ririhena, SE; Paijo; Rina Erayanti; Triana Dyah, SS; Siti Mariatul Qibtiyah; Sukadi; Wahyudi Djafar; Yohanna Kuncup Alamat Jl. Siaga II No.31, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, INDONESIA - 12510 Tel: +62 21 7972662, 79192564, Fax: +62 21 79192519 E-mail :
[email protected], Web page: www.elsam.or.id