Daftar Isi
Daftar Gambar dan Tabel Daftar Singkatan Abstrak Ringkasan Eksekutif
iii iv vi vii
Bagian 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan Penelitian 1.3. Perumusan Masalah 1.4. Limitasi Penelitian 1.5. Sistematika Penulisan
1 2 2 2 3
Bagian 2 Tinjauan Literatur dan Sistem Penganggaran Indonesia di Era Reformasi 2.1. Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) 2.2. Prinsip-Prinsip PBK 2.3. Beberapa Pengalaman Negara Lain dalam penerapan PBK 2.4. Teori Production Model 2.5. Desain PBK dalam Sistem Penganggaran Baru di Indonesia 2.5.1. Sejarah dan Konteks Pengesahaan UU Keuangan Negara 2.5.2. Perkembangan Terkini atas penerapan PBK 2.5.3. Surat Edaran Bersama sebagai Panduan Perencanaan PBK 2.6. Beberapa Tantangan Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja
3 4 5 9 10 10 11 17 19
Bagian 3 Metodologi Empiris 3.1. 3.2. 3.2.1. 3.2.2. 3.3.
Pertanyaan Penelitian Model Dasar Pengukuran Kinerja sebagai Variabel Terikat Pengukuran Kualitas Implementasi PBK sebagai Variabel Bebas Variabel, Dimensi dan Indikator
21 21 22 22 22
Bagian 4 Hasil Penelitian Empiris dan Analisis 4.1. 4.2. 4.2.1. 4.2.2. 4.2.3. 4.2.4. 4.2.4.1. 4.2.4.2. 4.2.5. 4.2.5.1. 4.2.5.2. 4.2.6.
Temuan dari Survei Korelasi antara Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja dan Kinerja Kementerian Uji Validitas Uji Reliabilitas Analisis Secara Keseluruhan Analisis Variabel dalam Surat Edaran Bersama terhadap Kinerja Efisiensi Analisis Koefisien Determinasi (R2 ) Analisis Variabel Analisis Variabel dalam Surat Edaran Bersama terhadap Kinerja Keefektifan Analisis Koefisien Determinasi (R2) Analisis Variabel Analisis Variabel dalam Surat Edaran Bersama terhadap Kinerja Akuntabilitas 4.2.6.1. Analisis Koefisien Determinasi (R2) 4.2.6.2. Analisis Variabel
25 28 28 29 30 31 31 31 32 32 32 34 34 34
i
4.3. 4.4.
Simpulan Hasil dan Diskusi Perbedaan di antara Kementerian
35 36
Bagian 5 Kesimpulan dan Rekomendasi 5.1. 5.2.1. 5.2.2.
Kesimpulan Penelitian Rekomendasi Kebijakan Penelitian Lanjutan
38 39 40
DAFTAR PUSTAKA
41
LAMPIRAN
43
ii
Daftar Gambar & Tabel Gambar Gambar 1. Kerangka Perencanaan PBK Gambar 2. Penyempurnaan Sistem Monitoring dan Evaluasi PBK Gambar 3. Jawaban Responden tentang Penerapan PBK Gambar 4. Jawaban Responden tentang Keterlibatan Pihak Ketiga Gambar 5. Jawaban Responden tentang Efisiensi Gambar 6. Jawaban Responden tentang Restrukturisasi Program Gambar 7. Jawaban Responden tentang Koordinasi Kerja Gambar 8. Kerangka Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Gambar 9. The Production Model of Performance Gambar 10. Tahapan Terbitnya Undang-undang dan Peraturan yang Memayungi Penganggaran Berbasis Kinerja Gambar 11. Delegasi Kewenangan dalam Pelaksanaan Anggaran Gambar 12. Alur Kerangka Implementasi PBK di Indonesia Gambar 13. Interdependensi Rekomendasi Kebijakan 3 Level
Tabel Tabel 1. Perbandingan Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Amerika, Taiwan dan Provinsi Guandong Tabel 2. Ringkasan Kerangka Hukum PBK Tabel 3. Perbandingan Format RKA-KL Tabel 4. Koefisien Mean Tabel 5. Persentasi Setuju dan Tidak Setuju Tabel 6. Uji Validitas Tabel 7. Uji Reliabilitas Tabel 8. Hasil Regresi Kinerja Efisiensi Tabel 9. Hasil Regresi Kinerja Keefektifan Tabel 10. Hasil Regresi Kinerja Akuntabilitas Tabel 11. Komparasi Persentase Jawaban Responden Terhadap Beberapa Pernyataan Survei Tabel 12. Komparasi Persentase Jawaban Responden Terhadap Beberapa Pernyataan Survei
iii
Daftar Singkatan
APBN
:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Banggar
:
Badan Anggaran
Bappenas
:
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BPK
:
Badan Pemeriksa Keuangan
BURT
:
Badan Urusan Rumah Tangga
DAU
:
Dana Alokasi Umum
DAK
:
Dana Alokasi Khusus
DJA
:
Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan
DPR
:
Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD
:
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
FGD
:
Focus Group Discussion
GDP
:
Gross Domestic Product
Inpres
:
Instruksi Presiden
K/L
:
Kementerian/Lembaga
KPJM
:
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM)
KN
:
Keuangan Negara
Kemenkeu
:
Kementerian Keuangan
Kemendikbud
:
Kementerian Pendidkan dan Kebudayaan
Kemenkumham :
Kementerian Hukum dan HAM
Kemensos
:
Kementerian Sosial
Kemenhub
:
Kementerian Perhubungan
LSM
:
Lembaga Swadaya Masyarakat
MD3
:
MPR, DPR, DPD dan DPRD
Meneg PPN
:
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional
MPR
:
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Musrenbang
:
Musyawarah Perencanaan Pembangunan
OECD
:
Organisation for Economic Co-operation and Development
iv
Panja
:
Panitia Kerja
PPPI
:
Paramadina Public Policy Institute
Rapimja
:
Rapat Pimpinan Kinerja
RDP
:
Rapat Dengar Pendapat
RKA-KL
:
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga
RKP
:
Rencana Kerja Pemerintah
RPJM
:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJP
:
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
UNPAN
:
United Nations Public Administration Network
UU
:
Undang-Undang
v
Abstrak Penelitian “Satu Dekade Penganggaran Berbasis Kinerja di Indonesia: Rekomendasi Kebijakan untuk Perbaikan” didorong oleh dua fakta penting yaitu: adanya peningkatan belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dari waktu ke waktu. Fakta lain bahwa usia UU Keuangan Negara telah memasuki masa sepuluh tahun, bukan masa singkat, telah mengamanatkan pengelolaan keuangan Negara perlu diselenggarakan secara professional, terbuka (transparan) dan bertanggung jawab. Penelitian ini difokuskan untuk menganalisis 1) kerangka kerja pelaksanaan anggaran berbasis kinerja di Indonesia; 2) implementasi PBK di Kementerian telah sejalan dengan kerangka kerja PBK (desired policy objectives); 3) dampak upaya pelaksanaan PBK diantara K/L yang berbeda tentang keberhasilan proses penerapan Anggaran Berbasis Kinerja dan pencapaian kinerja K/L setelah penerapan PBK ; 4) perbedaan pencapaian pada beberapa K/L baik selaku K/L percontohan maupun bukan percontohan. Setelah melakukan riset selama beberapa waktu, peneliti memperoleh hasil sebagai berikut. (1). Kerangka regulasi penerapan PBK telah cukup lengkap dari aspek kesiapan perangkat hukum PBK. Kelengkapan kerangka regulasi ini bermuara pada perubahan format dokumen anggaran yang telah mencantumkan Indikator Kinerja di dokumen RKA K/L, walaupun masih bersifat “administratif” ketimbang “substantif”, perubahan ini patut diberikan catatan khusus. Di sisi lain, penyempurnaan kerangka regulasi masih dapat dilakukan terutama aspek perbaikan kualitas informasi kinerja yang lebih berorientasi kepada outcome tidak hanya berujung pada output. Temuan lain dari riset kebijakan ini yaitu: (2). Penerapan PBK selama kurun waktu satu dekade ternyata belum dapat mencapai tingkat efisiensi yang diharapkan sebagai tujuan dari pelaksanaan PBK. Harus diakui, penerapan PBK baru memasuki babak baru setelah diterbitkannya Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan No.0142/MPN/06/2009 dan No. SE1848/MK/2009. Pada Juni 2009, Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menerbitkan buku panduan. SEB dan Buku panduan mengenai pelaksaaan PBK,
Restrukturisasi Program dan Kegiatan serta penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) adalah milestone penting bagi implementasi PBK secara berkesinambungan. Berdasarkan hasil survei kepada para pengelola program, sebanyak lebih dari 50 persen responden tidak setuju “Untuk kegiatan yang dianggarkan turun dari tahun sebelumnya, mampu menghasilkan kenaikan output.” Hanya sekitar 30 persen yang berpendapat setuju bahwa penerapan PBK telah membawa unit kerja menjadi lebih efisien. Selain itu, penelitian ini menemukan temuan lain: (3). Berdasarkan telaah regulasi serta analisis praktik PBK yang telah diterapkan K/L menunjukkan bahwa pihak legislatif – sebagai mitra pemerintah dalam pembahasan anggran – tidak sepenuhnya terikat dengan Penganggaran Berbasis Kinerja. Hal ini menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi pihak DPR dan pemerintah. Dari temuan-temuan studi ini, peneliti menyarankan beberapa rekomendasi kebijakan untuk perbaikan sebagai berikut. (1). Penyempurnaan kerangka regulasi penerapan PBK yang lebih mengikat pihak legislatif. (2). Perbaikan arsitektur dan informasi kinerja Kementerian/Lembaga kepada publk melalui jejaring sistem terintegrasi yang melibatkan publik mengawal agenda prioritas nasional. (3). Kualitas implementasi PBK perlu diperbaiki dari waktu ke waktu berdasarkan temuan survei penelitian. Yaitu melalui perbaikan keterkaitan antara program prioritas dan alokasi anggaran sesuai tugas pokok dan fungsi Unit Eselon Satu, guna mencapai tingkat efisiensi yang diharapkan (4). Integrasi fungsi perencanaan (Bappenas) dan penganggaran (Direktorat Jenderal Anggaran) di bawah Unit Kerja Presiden pasca 2014 akan semakin memantapkan sistem presidensial yang kita anut, disamping mempercepat efisiensi perencanaan dan penganggaran. Selain keempat poin terkait studi, guna mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif terhadap pelaksanaan PBK maka adanya kebutuhan evaluasi pelaksanaan PBK di tingkat Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota), momentum perubahan UU Pemerintah Daerah perlu diselaraskan dengan reformasi penganggaran Keuangan Daerah.
vi
Ringkasan Eksekutif Kejatuhan rezim Orde Baru telah menyediakan ruang bagi pertumbuhan demokrasi dalam konteks yang lebih luas, yaitu reformasi ekonomi khususnya reformasi manajemen keuangan publik. Demokrasi pasca Orba memunculkan tuntutan publik akan pelayanan publik yang semakin baik dari Pemerintah. Tuntutan publik yang kuat terhadap anggaran pemerintah yang mencerminkan konsep value for money serta sesuai dengan prioritas nasional bermuara pada kelahiran UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang ini menjadi payung hukum reformasi manajemen keuangan publik. Mekanisme perencanaan anggaran direformasi melalui 3 pendekatan sistem: (1). Penganggaran Terpadu (unified budget). (2). Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework). (3). Penganggaran Berbasis Kinerja (Performace-Based Budgeting). Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) ditetapkan pada pasal 14 ayat 2 UU 17/2003 yang menyebutkan “Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.” Yang dimaksud dengan prestasi kerja yang akan dicapai adalah kinerja. Dalam pelaksanaan UU 17/2003 telah didukung oleh regulasi pendukungnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri serta Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Regulasi pendukung terkini yang menjadi petunjuk teknis serta petunjuk pelaksanaan PBK melalui SEB No 0142/2009 & Surat Edaran No 848/2009 tentang Pedoman Reformasi Perencanaan Penganggaran. SEB menyatakan tujuan utama penerapan PBK adalah: pertama, keterkaitan antara pendanaan dan prestasi kerja yang akan dicapai (kinerja). Kedua, meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pelaksanaan. Ketiga, peningkatan fleksibilitas dan akuntabilitas pelaksana program dalam
melaksanakan tugas pokok fungsinya serta pengelolaan anggaran Paramadina Public Policy Institute (PPPI) telah menelaah penerapan PBK berserta capaian dan tantangan sejak diberlakukannya UU Keuangan Negara hingga kondisi mutakhir, dalam konteks Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Pemerintah Pusat. PPPI juga mengeksplorasi implementasi anggaran, terutama dari kerangka regulasi yang memayunginya serta kerangka kerja PBK selama kurun 10 tahun terakhir. Disamping itu, PPPI juga melakukan analisis pengaruh implementasi PBK di enam Kementerian. Berdasarkan hasil penelaahan, eksplorasi dan analisis, PPPI akan memaparkan rekomendasi kebijakan bagi perbaikan pada bagian akhir tulisan ini. Reformasi Keuangan Publik Indonesia Krisis ekonomi 1997/1998 menjadi pemicu utama Pemerintah Indonesia giat melaksanakan reformasi di bidang Keuangan Publik. Para ahli memakai istilah penemuan kembali penganggaran (reinventing budgeting) suatu upaya kritis mengatasi masalah krisis ekonomi melalui displin anggaran. Lingkungan politik Indonesia sesudah krisis juga mengalami perubahan drastis. Dimana pada tahun 2004, kita menyaksikan era baru pemlihan Presiden langsung oleh rakyat untuk masa kurun lima tahun jabatannya. Namun demikian, secara faktual Presiden tidak memiliki kemampuan untuk memilih langsung para pembantunya (para Menteri). Hal ini disebabkan dinamika sistem Presidensial serta dominasi kekuasaan politik Dewan Perwakilan Rakyat selaku pemegang mandat elektoral dari publik. Dalam hal ini, Presiden dituntut untuk berkoordinasi dengan partai pemenang pemilihan umum dalam pemilihan Menteri. Di sisi lain, tentang perencanaan anggaran berlaku pendekatan dari atas ke bawah (top-down budgeting) maupun pendekatan dari bawah ke atas (bottom up planning). Perubahan lingkungan strategis inilah yang menanungi reformasi keuangan publik di Indonesia.
vii
Perubahan mendasar dari kerangka regulasi pasca UU 17/2003 bermuara dari perubahan aturan main (rules of the game) dimana
perencanaan dari atas ke bawah mengikuti kerangka penerapan diilustrasikan pada Gambar berikut:
Gambar 1. Kerangka Perencanaan PBK
Dengan kerangka implementasi PBK diawali dengan beberapa aktivitas di antaranya: penyusunan RPJMN 2010-2014, penyusunan Renstra K/L 2010-2014, Uji coba format baru RKA-KL, Pilot project 6 K/L untuk Restrukturisasi Program dan Kegiatan, Restrukturisasi Program dan Kegiatan untuk seluruh K/L, Evaluasi pelaksanaan
Restrukturisasi Program dan Kegiatan, Penyempurnaan sistem costing, Penyusunan Sistem Pengukuran Kinerja, Penyempurnaan Sistem Monitoring dan Evaluasi, Pengembangan basis data terintegrasi serta Penyempurnaan PP No.21/2004. Secara ilustratif, kerangka implementasi PBK dapat disajikan sebagai berikut.
Gambar 2. Penyempurnaan Sistem Monitoring dan Evaluasi PBK
viii
Implementasi PBK di 6 Kementerian/Lembaga dalam Kerangka PBK PPPI melakukan survei terhadap individu yang bekerja sebagai perencanaan anggaran dan pelaksanaan anggaran (keuangan, satuan kerja dan pimpinan) pada Kementerian yang telah dipilih sebagai sampel survei. Pegawai Kementerian yang telah diwawancari berasal dari enam Kementerian/Lembaga sebagai berikut: (1). Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. (2). Kementerian Keuangan. (3). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (4). Kementerian Hukum dan HAM. (5). Kementerian Perhubungan. (6). Kementerian Sosial. Selain melakukan survei kepada pegawai K/L, PPPI juga melakukan wawancara mendalam kepada para informan studi ini diantaranya: para penggagas UU 17/2003 yang masih aktif berdinas di K/L maupun telah purna tugas, para eselon 2 dari 6 K/L yang berkenan menjadi informan studi ini guna memberikan gambaran yang lebih detail serta harapan-harapan para informan tentang perbaikan penerapan PBK di masa mendatang. Adapun elemen sebagai indikator dari kualitas implementasi PBK, PPPI menggunakan Surat
Edaran Bersama dari Menteri Keuangan dan Bappenas 2009 sebagai petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan. Terdapat sembilan elemen yang dijadikan variabel studi dikaitkan dengan kinerja pada kementerian. (1). Sosialisasi dan pelatihan. (2). Perencanaan strategis. (3). Implementasi format baru. (4). Program restrukturisasi. (5). Kerangka pengeluaran berjangka menengah (6). Sistem evaluasi kinerja. (7). Pengukuran efisiensi. (8). Pengukuran keefektifan. (9). Pengukuran akuntabilitas Temuan terpenting dari survei terhadap 147 responden yang berasal dari 6 K/L di atas, pada ringkasan ini disajikan sebagai berikut: o Mayoritas Perencana dan Pelaksana anggaran berpendapat Unit Kerja mereka telah menerapkan penganggaran berbasis kinerja sejalan antara teori dan praktik, walaupun demikian, terdapat sejumlah 26 persen responden yang tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Hal ini patut medapat atensi tentang proses sosialisasi dan pelatihan PBK yang telah berlangsung di masing-masing Unit Kerja K/L.
Grafik Survei Perencana dan Pelaksana Anggaran
o
Mayoritas responden berpendapat tingkat efisiensi melalui penurunan biaya yang dianggarkan, tidak mampu menghasilkan kenaikan keluaran
(output) sebesar 58 persen. Terhadap pernyataan “Untuk kegiatan yang dianggarkan turun dari tahun sebelumnya, mampu menghasilkan
ix
kenaikan output” hanya 33 persen reponden yang berpendapat setuju. Dari pernyataan survei ini memberikan
peringatan bahwa tingkat belum berhasil tercipta penerapan PBK.
efisiensi setelah
Grafik Jawaban Responden tentang Tingkat Efisiensi
o
Mayoritas responden berpendapat Unit Kerja mereka dapat berkoordinasi baik dengan unit kerja lainnya guna menghindari aktivitas ganda, walaupun demikian, terdapat sejumlah 33 persen
responden yang tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Masalah efektivitas koordinasi belum terselesaikan setelah Restrukturisasi Program dan Kegiatan di semua K/L.
Grafik Jawaban Responden tentang Koordinasi Kerja
x
Pencapaian Reformasi Keuangan Negara dan Tantangan masa mendatang Sebelum menyampaikan rekomendasi kebijakan guna perbaikan implementasi PBK sesuai pertanyaan penelitian, terdapat sejumlah catatan keberhasilan penerapan PBK setelah berlakunya UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Catatan keberhasilan tersebut adalah: 1. PBK merupakan pendekatan anggaran yang secara saksama mengaitkan antara pengelolaan keuangan dan sumberdaya yang lainnya dengan kinerja yang akan dicapai. UndangUndang No17/2003 bersama UU Pokok Keuangan Negara lainnya merupakan tonggak penting untuk mengenalkan konsepsi PBK, Penganggaran Terpadu,dan KPJM. 2. Ada suatu urgensi untuk menciptakan rerangka kerja pelaksanaan PBK untuk bisa dievaluasi dan dimonitor pelaksanaannya. Beberapa negara di dunia mendapatkan manfaat positif dari pelaksanaan PBK untuk reformasi pengelolaan negara. Studi OECD (2007) tentang Penganggaran Kinerja di Negara-Negara OECD telah mengingatkan bahwa tidak ada suatu model penerapan PBK yang universal sifatnya sehingga masingmasing negara perlu menemukan pendekatan yang cocok (relevant) dengan konteks politik dan institusi di masing-masing negara tersebut.
Selain catatan keberhasilan bila bisa disebut demikian, penerapan PBK menyisakan beberapa tantangan yang memerlukan solusi cerdas dan jawaban kongkrit dari Pemerintah diantaranya: 1.
Masalah klasik dalam setiap penyusunan anggaran di sejumlah negara telah menjadi isu yang paling sulit dalam pelaksanaannya karena melibatkan persuasi dengan para politisi, menteri dan anggota parlemen dalam membuat keputusannya (Blondal et al. 2009). Mereka berusaha untuk memfokuskan pada input dan mengabaikan kinerja dan informasi hasil. Untuk kasus Indonesia, adanya dokumentasi anggaran yang sangat detail menjadi penghalang dalam dalam partisipasi publik. Selain itu, dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Republik Indonesia masih perlu diperbaiki kualitas penyajian serta “meninggalkan” tradisi penyajian dominan belanja pegawai, dan seterusnya. Esensi PBK adalah Pemerintah membuat target kinerja yang ingin dicapai oleh K/L dalam satu tahun anggaran, sumber daya apa yang dipersiapkan untuk mendukung pencapaian kinerja, dan pihak mana yang bertanggung jawab terhadap evaluasi pencapaian. Pada intinya, belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bantuan sosial, belanja subisidi hanya merupakan instrumen anggaran incremental semata.
xi
2.
Struktur informasi kinerja mengikuti struktur organisasi karena masalah akuntabilitas menjadi dasar utama dalam pengelolaan. Ketumpangtindihan program antar kementerian diupayakan dieliminasi. Pengalaman yang menunjukkan usaha untuk menampilkan kinerja yang independen dari struktur organisasi belum menghasilkan prestasi yang optimal.
4.
Urgensi untuk mengintegrasikan inisiasi reformasi sudah menjadi sebuah prioritas utama. Reformasi menjanjikan sebuah ekspektasi yang berlebihan. Namun demikian, tiga pilar utama yaitu PT, PBK, dan KPJM diharapkan diintegrasikan dengan inisiasi reformasi lain misalnya reformasi birokratis, sistem integritas, reformasi pembangunan nasional dan reformasi anggaran. Presiden harus mendukung institusi dalam melaksanana PBK.
Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan temuan-temuan penelitian kebijakan yang telah dilakukan, PPPI mengusulkan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas implementasi PBK serta berdampak kepada perbaikan kinerja Pemerintah secara umum. Rekomendasi kebijakan yang kami usulkan meliputi kebijakan pada level mikro organisasi Kementerian/Lembaga, level meso antar organisasi K/L maupun level makro kebijakan yang bersifat institutional arrangement. 1) Kebijakan pada level mikro: Kualitas implementasi PBK perlu diperbaiki dari waktu ke waktu berdasarkan temuan survey penelitian. Sebagaimana disampaikan oleh para pengelola program di enam K/L bahwa implementasi PBK telah berjalan belum mampu mencapai level efisiensi sebagaimana desain awal, walaupun telah ada perbaikan dari sisi keterkaitan antara program prioritas dan alokasi anggaran sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing unit eselon satu. Akuntabilitas juga perlu
3.
Indikator-indikator kinerja memiliki makna apa buat publik? Bagaimana publik mendapatkan manfaat penggunaan indikator kinerja kementerian? Bagaimana mekanisme perencanaan kegiatan pada masingmasing kementerian? Pertanyaanpertanyaan ini merupakan perwujudan skeptisme mengenai reformasi finansial publik.
terus dibangun dengan mengedepankan prinsip fleksibilitas dalam kerangka akuntabilitas manajerial. 2) Kebijakan pada level meso: a. Perbaikan arsitektur dan informasi kinerja Kementerian/Lembaga kepada publk melalui jejaring sistem terintegrasi yang akan membantu publik mengawal agenda prioritas nasional. Usulan kongkrit dari studi misalnya dapat belajar dari Negara lain yang telah terlebih dahulu memulai keterlibatan publik dalam mengawal agenda prioritas nasional: New Zealand (http://www.ssc.govt.nz/pif), India (www.performance.gov.in) b. Penyempurnaan kerangka regulasi penerapan PBK yang lebih mengikat pihak legislatif. Perlu dipertimbangkan indikator kinerja yang telah dihasilkan secara terus menerus oleh pihak K/L dipergunakan dengan sungguhsungguh pula oleh pihak legislatif. Pengalaman reformasi anggaran di berbagai negara memang diperlukan suatu perangkat hukum tertentu selevel UU guna mengingat para pihak yang terlibat dalam pembahasan dan pelaksanaan APBN, misalnya AS melalui Government Performance and Results Acts (GPRA) tahun 1993.
xii
3.
Kebijakan pada level makro: Integrasi fungsi perencanaan (Bappenas) dan penganggaran (Direktorat Jenderal Anggaran) di bawah Unit Kerja Presiden pasca 2014 akan semakin memantapkan sistem presidensial yang dianut, di samping mempercepat efisiensi perencanaan dan penganggaran. Tentunya integrasi fungsi perencanaan dan penganggaran ini memerlukan persiapan dan masa transisi yang cukup, agar integrasi sistem sempurna dan memperbaiki situasi kondisi bukan malah menciptakan permasalahan. Salah satu pelajaran penting dari integrasi fungsi anggaran dan perencanaan berasal dari Kementerian Keuangan dan Strategi Korea Selatan. Kementerian Keuangan dan Strategi adalah organisasi payung yang dibentuk setelah penyatuan Kementerian Perencanaan dan Kementerian Keuangan pada tahun 2008.
4.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif terhadap pelaksanaan PBK maka adanya kebutuhan evaluasi pelaksanaan PBK di tingkat Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota), momentum perubahan UU Pemerintah Daerah perlu diselaraskan dengan reformasi penganggaran Keuangan Daerah.
xiii
xiv
Bagian 1 Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Kejatuhan rezim Orba Soeharto telah menyediakan ruang bagi pertumbuhan demokrasi, dalam konteks lebih luas reformasi ekonomi dan reformasi manajemen keuangan publik. Demokrasi pasca Orba ditandai dengan tuntutan publik yang semakin nyata guna menghadirkan pelayanan yang semakin baik dari Pemerintah. Guna mendorong hadirnya pelayanan yang berkualitas, Pemerintah telah melakukan reformasi manajemen belanja publik. Manajemen belanja publik sewajarnya dikelola melalui prinsip akuntabilitas, transparansi, semangat profesionalitas dan adanya audit eksternal (Depkeu, 2002). Untuk itu, keinginan publik terhadap anggaran pemerintah mencerminkan value for money dan seirama dengan prioritas nasional. Dorongan publik bermuara pada lahirnya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Secara umum, UU tersebut mencakup tujuan dan fungsi anggaran, peranan Parlemen dan Pemerintah dalam pembahasan dan pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), integrasi sistem akuntabilitas kinerja dalam penganggaran, perbaikan klasifikasi anggaran, anggaran terpadu, dan adaptasi Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah. Guna mencapai anggaran yang berfungsi sebagai sarana akuntabilitas, manajerial dan instrument kebijakan ekonomi sesuai penjelas UU tersebut maka adaptasi Penganggaran Berbasis Kinerja merupakan suatu keniscayaan. Penerapan penganggaran berbasis kinerja di Indonesia berawal dengan pengesahan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara1. Pasal 14 ayat 2 menyebutkan “Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.” Dalam penjelasan UU Keuangan 1
Selain UU 17/2003, Pemerintah Indonesia juga mengenalkan kerangka hukum baru terkait anggaran yaitu: UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara (BPK)
Negara2, dijelaskan bahwa sangat penting untuk melakukan upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik melalui penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Undang-Undang tersebut mengamanatkan penerapan tiga pendekatan dalam penganggaran yaitu: Penganggaran Terpadu (PT), Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM), dan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK). Penelitian ini membahas mengenai implementasi penganggaran berbasis kinerja dan capaian PBK hingga saat ini di Indonesia. Pada Juni 2009, Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menerbitkan buku panduan mengenai pelaksanaan Peraturan 17/2003. Kelengkapan panduan implementasi PBK ditandai dengan terbitnya Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan No.0142/MPN/06/2009 dan No. SE-1848/MK/2009 (selanjutnya disebut SEB). Sementara itu, implementasi secara penuh penganggaran berbasis kinerja baru terjadi pada tahun 2011. Hal ini dapat ditelusuri pada dokumen anggaran seperti Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) yang telah memuat format baru indikator kinerja. Selanjutnya, setiap tahun Menteri Keuangan menerbitkan peraturan terkait dengan petunjuk penyusunan dan penelaahan RKA-KL. Kelima buku panduan ini berkaitan dengan reformasi manajemen keuangan publik khususnya mengenai restrukturisasi program dan aktivitas, panduan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, kerangka kerja pengeluaran jangka menengah, format baru untuk perencanaan anggaran tahunan, jadwal waktu untuk pelaksanaan. Menurut panduan tersebut, perencanaan pelaksanaan panduan tersebut dilakukan pada 2010, 2011, 2012 dan selanjutnya. Pemerintah Indonesia sudah memiliki sejumlah kementerian untuk pilot project. Yang termasuk dalam kementerian pilot project adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Bappenas, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pekerjaan Umum Tiga tujuan utama penerapan penganggaran berbasis kinerja yang disebutkan oleh SEB adalah: pertama, menunjukan keterkaitan antara pendanaan dan prestasi 2
Penjelasan Atas UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Bagian I, nomor 6
1
kinerja yang akan dicapai (directly linkages between performance and budget). Kedua, meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pelaksanaan (operational efficiency). Ketiga, peningkatan fleksibilitas dan akuntabilitas unit dalam melaksanakan tugas dan pengelolaan anggaran (more flexibility and accountability). 1.2.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis implementasi anggaran berbasis kinerja. Selain itu, penelitian ini menganalisis hubungan implementasi PBK terhadap kinerja institusi, dan melakukan komparasi penerapannya pada masing-masing kementerian pilot project dan non-pilot project serta memberikan rekomendasi perbaikan. Penelitian ini melakukan pengujian hipotesis untuk analisis implementasi PBK di level eselon 1 Kementerian/Lembaga. Kinerja dianalisis melalui tiga ukuran kinerja yaitu efisiensi, keefektifan, dan akuntabilitas Penelitian dilakukan melalui pendekatan deskriptif. Pendekatan ini ditujukan untuk menjawab kerangka kerja pelaksanaan anggaran berbasis kinerja di Indonesia. Data untuk menganalisis hal ini diambil melalui penelusuran literatur maupun data sekunder berupa dokumen, buku, maupun kertas kerja. Penelitian ini juga didukung oleh data kualitatif melalui wawancara mendalam dengan masing-masing personil di kementerian/lembaga serta inisiator UU Keuangan Negara. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan rekomendasi dalam perbaikan implementasi PBK di masing-masing Kementerian. 1.3.
berbasis kinerja dan kinerja Kementerian? Analisis terfokus terutama pada keberhasilan adopsi proses PBK maupun pencapaian tujuan dari PBK 4) Menganalisis apakah ada perbedaan pengaruh penerapan PBK pada K/L yang berbeda.
Perumusan Masalah
Rumusan bertujuan untuk:
masalah
penelitian
ini
1) Menjelaskan bagaimana kerangka kerja (regulasi maupun implementasi) penerapan penganggaran berbasis kinerja di Indonesia? Kerangka regulasi serta kerangka implementasi adalah tujuan yang hendak dicapai dari kebijakan PBK ini. 2) Menjelaskan perihal implementasi PBK di Kementerian apakah sudah sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai dari kebijakan tersebut. 3) Menganalisis apakah terdapat pengaruh antara kualitas pelaksanaan anggaran
1.4.
Limitasi Penelitian
Beberapa keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Penelitian satu dekade PBK ini menggunakan data persepsi dari para pelaksana anggaran maka sangat mungkin terdapat perbedaan antara hasil aktual PBK (actual outcomes) dan persepsi terhadap hasil (perceptions of outcomes) PBK dari pelaksana anggaran3. b. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu sebagai pelaksana anggaran berada pada eselon 1 sebagai penanggung jawab program, yang terdiri atas pejabat eselon1, eselon 2, eselon 3 dan eselon 4 sehingga memungkinkan gambaran yang sangat detail terkait pelaksanaan PBK. Unit analisis dalam penelitian ini difokuskan pada level kementerian. c. Walaupun UU Keuangan Negara telah berusia satu dekade, pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja baru diawali sejak penandatanganan SEB 2009, maka tahapan pelaksanaan PBK masih di tahap awal yang bisa jadi membuat hasil penelitian ini terlalu dini dari sisi penerapan PBK. d. Keenam Kementerian/Lembaga yang dipilih sangat bervariasi dari aspek struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi serta besaran anggaran yang dialokasikan. Pemilihan sampel yang bervariasi ini menimbulkan keterbatasan dalam membahas detail bila sampel terbatas. e. Selain variasi Kementerian/Lembaga yang dipilih, Kementerian/Lembaga yang termasuk pilot project dengan 3
Limitasi penelitian ini disarankan oleh mentor peneliti Dr Jamie Boex, peneliti berterma kasih atas input berharga pada bagian ini.
2
tugas pokok dan fungsi yang lebih terukur sekaligus pelayanan yang diberikan lebih berdampak luas seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pelayanan Umum. Tidak seluruh Kementerian/Lembaga percontohan diteliti dikarenakan peneliti bermaksud melakukan komparasi antara Kementerian percontohan PBK (Pilot Ministries) dan Kementerian bukan percontohan PBK (Non-pilot Ministries). 1.5.
Sistematika Penulisan
Dokumen ini adalah laporan hasil penelitian yang disusun dalam lima bagian. Bagian pertama adalah pendahuluan yang membahas konteks penelitian, tujuan penelitian, limitasi penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian kedua membahas studi literature serta sistem penganggaran Indonesia di era Reformasi yang mencakup konsep PBK, prinsip-prinsip, Pengalaman Negara Lain, Teori Production Model, disain PBK dalam sistem penganggaran baru Indonesia serta Surat Edaran Bersama sebagai panduan perencaan penerapan PBK. Bagian ketiga membahas tentang metodologi empiris yang terdiri dari pertanyaan penelitian, model dasar, pengukuran kinerja dan pengukuran kualitas implementasi PBK, serta operasionalisasi konsep (variabel, dimensi dan indikator). Bagian keempat adalah pembahasan hasil temuan empiris yang dibagi menjadi dua bagian utama. Kedua bagian utama adalah (1). Temuan dari survei. (2). Simpulan hasil dan diskusi. Bagian Kelima menyampaikan kesimpulan dan saran tindak lanjut untuk permasalahan yang ditemui
Bagian 2 Tinjauan Literatur Dan Sistem Penganggaran Indonesia di Era Reformasi
2.1. Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) PBK memiliki sejarah yang panjang dalam bidang keuangan publik. Pada mulanya, PBK dimaksudkan untuk memberikan solusi pada sistem anggaran tradisional. Di Amerika misalnya, Kongres meloloskan Undang-Undang Chief Financial Officer pada tahun 1983 yang meletakkan dasar untuk kekuatan legislatif melakukan reformasi PBK (Rhee, 2009). Pengalaman pemerintah federal dalam menggunakan informasi kinerja untuk mengalokasikan sumber daya keuangan yang ada tidak cukup berhasil beberapa dekade lalu, sehingga hal ini menginisiasi untuk memperbaiki evaluasi kinerja. Inisiasi ini didorong oleh Komisi Hoover Pertama melalui Planning Programming Budgeting System, Zero Base Budgeting, dan Management by Objectives (Lee & Wang, 2009). Evolusi praktik dan reformasi anggaran dapat ditelusuri pada 1966 ketika Allen Schick, Profesor dari Universitas Maryland menulis buku yang berjudul “The Road to Programming Planning Budgeting System: The Stages of Budget Reform” yang akhirnya menjadi referensi utama. Pada tahun 1960-1980, perkembangan pengeluaran publik di negara-negara OECD membutuhkan alat yang lebih optimal untuk melakukan kontrol pengeluaran dan bukan hanya sekedar anggaran program perencanaan. Sesudah periode tersebut, pengukuran PBK mengalamai perkembangan. Sejak 1980, konsepsi performance-based budgeting sudah banyak diadopsi oleh banyak negara untuk meningkatkan aspek keefektifan dan akuntabilitas program pemerintah. Pada tahun 1990-an, antusiasme PBK mulai semakin optimal di banyak negara maju (Robinson & Denhart, 2003). Inisiasi penggunaan PBK khususnya telah menjadi bagian penting untuk reformasi pengelolaan sektor publik agar dikelola dengan lebih baik
3
dan optimal. Anggaran kinerja sedapat mungkin bisa digunakan untuk menilai kinerja kelembagaan pada sektor publik khususnya sektor anggaran dan manajemen keuangan yang tidak hanya ditujukan untuk perbaikan kinerja keuangan namun juga keberlanjutan fiskal dalam jangka panjang. Penerapan PBK mensyaratkan adanya partisipasi dari masyarakat yang aktif. Masyarakat aktif ini bermakna adanya keterlibatan dalam merumuskan perencanaan anggaran agar bisa menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat dan seluruh komponennya aktif terlibat dalam perkembangan dan pelaksanaan kebijakan publik. Selain itu, pemerintah dianggap sebagai aktor utama dalam memberikan pelayanan kepada publik meskipun belum optimal dalam implementasinya. Eksistensi teknologi juga telah memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengetahui proses publik (Denhart & Denhart, 2003). Alasan untuk melaksanakan PBK juga menjadi orientasi untuk memenuhi kebutuhan warga negara dengan baik. Pemerintah telah memperhatikan masukan warga negara dalam penyusunan kebijakan termasuk dalam PBK. Hal ini dikaitkan dengan tuntutan pelaksanaan PBK sebagai cara memberikan pelayanan kepada masyarakat (Denhart & Denhart, 2000) sebagai berikut. 1.
2.
3.
4.
5.
Peran utama pemerintah adalah membantu warga negara dalam mengartikulasi dan memenuhi kepentingannya. Pengelola publik harus menciptakan suatu mekanisme untuk memperhatikan tuntutan kebutuhan masyarakat sebagai pemenuhan kepentingan bersama. Kebijakan dan program diharapkan dapat memenuhi kebutuhan publik dan dikelola secara efektif dan bertanggungjawab melalui proses kolaboratif. Kepentingan publik merupakan hasil dialog dan komunikasi untuk berbagi kepentingan bersama bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Pengelola publik harus memberikan perhatian lebih pada kepentingan masyarakat, memberi respon pada nilai
6.
komunitas, nilai politik, norma, dan nilai profesional. Organisasi publik dan jaringan pemerintah lainnya akan menunjukkan kinerja yang sukses apabila mereka bersatu melalui proses kolaborasi dan memiliki kepemimpinan bersama berdasarkan prinsip saling menghormati satu sama lain.
2.2. Prinsip-Prinsip Penganggaran Berbasis Kinerja Ada banyak definisi mengenai PBK. International Monetary Fund (IMF) mendefinisikan PBK sebagai prosedur atau mekanisme yang ditujukan untuk menguatkan antara pendanaan yang ditujukan untuk entitas sektor publik dan outcome atau output melalui penggunaan informasi kinerja formal dalam pembuatan keputusan alokasi sumber daya. OECD juga mendefinisi PBK sebagai bentuk anggaran yang mengaitkan alokasi pendanaan dengan hasil yang mampu diukur. US General Accounting Office mendefinisi PBK sebagai konsep yang mengaitkan informasi kinerja dengan anggaran (International Monetary Fund, 2005). PBK adalah alat manajemen yang digunakan untuk mengalokasikan sumber daya sesuai dengan tingkat kinerja untuk target pelayanan yang sudah ditentukan sebelumnya. Tidak seperti pendekatan anggaran berbasis lini yang tradisional, PBK memfokuskan pada outcome, bukan pada input anggaran. Pendekatan baru ini membantu mendefinisi standard ukuran mengenai efisiensi dan keefektifan lebih baik, sekaligus ukuran akuntabilitas. Ketiga ukuran tersebut yaitu efisiensi, keefektifan, dan akuntabilitas merupakan elemen penting dalam politik anggaran (Lewis & Hildreth, 2010). Menurut Rodriguez (2003), metode anggaran menekankan identifikasi output atau outcome dari target pelayanan dan alokasi sumber daya yang didasarkan pada tingkat pencapaian target pelayanan. Pengukuran kinerja mendorong proses yang meliputi elemen yaitu 1) perkembangan perencanaan kinerja dan identifikasi tujuan pelayanan; 2) kumpulan data komparatif untuk mengukur pencapaian tujuan; dan 3) sistem yang melaporkan sejauh mana pencapaian tujuan untuk pemenuhan target pelayanan kepada publik. Sejalan dengan pernyataan Rodriguez, Young (2003)
4
berpendapat empat karakteristik. 1. 2.
3. 4.
bahwa
PBK
memiliki
4.
PBK menentukan tujuan atau sejumlah tujuan yang dengan mengaitkan alokasi anggaran. PBK menyediakan informasi dan data kinerja masa lalu dan mempertimbangkan pencapaian kinerja yang diharapkan dan kinerja aktual. Penyesuaian program disusun selama persiapan anggaran agar tidak terjadi kesenjangan kinerja. PBK memberikan ruang untuk penyesuaian.
2.3.
2.
3.
Beberapa Pengalaman Negara Lain dalam penerapan PBK
Beberapa hasil penelitian terkait dampak implementasi penganggaran berbasis kinerja di berbagai negara menunjukkan hasil yang beragam. Hasil implementasi penganggaran berbasis kinerja umumnya beragam tergantung pada komitmen pimpinan negara, keterlibatan legislatif, dukungan sistem manajemen, keterbukaan dan partisipasi publik, dan kemampuan manajerial aparatur birokrasi. Di tengah hasil implementasi yang beragam tersebut, umumnya, para peneliti menyebutkan bahwa investasi untuk pengembangan pengukuran dan informasi kinerja memberikan potensi peningkatan kualitas efisiensi alokasi dan produktivitasnya.
PBK mengikuti rerangka logis dengan empat prinsip utama sebagai berikut (Departemen Keuangan Republik Indonesia & Bappenas, 2009; Sancoko et al, 2008). 1.
Prinsip keempat-The Link between TopDown Planning & Bottom-Up Implementation. Ini berarti bahwa kebijakan dan perencanaan tujuan dicapai melalui delegasi otonomi aktivitas pada unit kerja.
Prinsip pertama-Money Follows Function, Function Follow Structure. Ini berarti bahwa anggaran dialokasikan untuk mendanai aktivitas yang didasarkan pada kewajiban dan fungsi dari unit kerja. Prinsip kedua-Let the Manager Manage. Ini berarti bahwa manajer unit kerja diharapkan memiliki fleksibilitas pada metode pelaksanaan supaya mencapai output dan outcome yang ditentukan pada unit kerja dan aktivitas. Prinsip ketiga-Accountability. Akuntabilitas merupakan aspek yang dimiliki unit kerja untuk bertanggung jawab pencapaian output dan pencapaian efisiensi dan keefektifan indikator.
Salah satu hasil penelitian yang perlu diperhatikan adalah hasil assessment penerapan PBK di Amerika, Taiwan, dan China (Lee dan Wang, 2009:S60). Lee dan Wang menemukan bahwa walaupun secara prinsip utama dan tujuan sama, implementasi PBK berbeda di masing-masing negara tersebut dalam banyak hal. Perbedaan implementasi di masing-masing negara tersebut sebagai berikut:
Tabel 1 Perbandingan Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Amerika, Taiwan dan Provinsi Guandong Amerika
Taiwan
Provinsi Guandong
Tujuan Utama
Akuntabilitas kinerja, pengendalian belanja
Efisiensi manajemen, pengendalian belanja
Efisiensi manajemen dan keefektifan
Dorongan Perubahan
Legislator dan administrator
Administrator
Eksekutif/ administrator
Perundangan
Ada
Ada
Tidak Ada
Lingkup
Semua agensi
Semua agensi
Sebagian agensi
Desain
5
Amerika
Taiwan
Provinsi Guandong
Pimpinan
Kuat
Kuat
Moderat
dan
Kuat
Kuat
Moderat
Sejak 1993
Sejak 2001
Sejak 2003
Hasil Kinerja Dikaitkan dengan Keputusan Pendanaan
Secara Terkait
Moderat
Secara Terkait
Kuat
Secara Terkait
Hasil Kinerja Dikaitkan dengan Perbaikan Manajemen dan Pelayaan
Secara Terkait
Kuat
Secara Terkait
Kuat
Secara Kuat Terkait
Implementasi Komitmen Eksekutif Pendidikan Training
Evaluasi Moderat
Sumber: Lee dan Wang (2009) Hasil penelitian Lee dan Wang juga menemukan bahwa PBK berhasil memengaruhi spending behavior masing-masing pengelola program. Di Amerika, PBK telah menjadi alat yang esensial dalam administrasi pemerintahan. Hingga saat penelitian dilakukan (2009), data yang diolah Lee dan Wang menunjukkan penerapan PBK belum mampu memangkas pertumbuhan anggaran belanja pemerintah. Walaupun demikian, PBK memungkinkan pemerintah federal membuat keputusan yang lebih hati-hati. Dari penelitian lainnya, upaya manajemen kinerja di Amerika mulai menunjukkan hasil penting. Pada tahun 2010, di masa Administrasi Presiden Barrack Obama, reformasi manajemen kinerja berhasil menghemat USD 17 Milyar dari program yang tidak bagus maupun yang gagal. Di tahun 2011, jumlah penghematan tersebut meningkat hingga USD 23 Milyar (Joyce, 2011). Di Taiwan, penerapan PBK telah mencapai tujuannya. Hasil penelitian Lee dan Wang menunjukkan adanya korelasi terbalik antara penerapan PBK dengan tingkat pertumbuhan anggaran belanja. PBK menempatkan batasan yang ketat pada belanja pemerintah. Di samping itu, PBK memberikan insentif pada upaya pembatasan pengeluaran.Di Guandong, PBK diterapkan sebagai bentuk pilot project di beberapa institusi. Hasil penelitian Lee dan Wang menunjukkan bahwa tidak ada dampak dari penerapan tersebut pada tingkat pertumbuhan anggaran belanja.
Penerapan penganggaran kinerja menurut Wahyuni (2006) dimulai dari Australia dan New Zealand pada akhir tahun 1980-an, diikuti oleh Canada, Denmark, Finlandia, Perancis, Belanda, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat pada awal sampai pertengahan decade 1990-an. Selanjutnya pada akhir tahun 1990-an sampai awal tahun 2000-an penganggaran kinerja mulai diterapkan di Austria, Jerman, dan Switzerland. Meskipun sebagian besar Negaranegara tersebut telah memasukkan informasi non keuangan dalam dokumen anggaranya, kenyataan hanya sedikit yang benar-benar melaksanakan anggaran kinerja dalam arti mengaitkan pengeluaran dan hasil, melaporkan kinerja atas target-target dan menggunakan informasi kinerja untuk pengambilan keputusan alokasi anggaran pada masa mendatang, seperti Australia dan New Zealand (Sancoko et al,2008)
6
sumber literatur yang lengkap dan dapat dibandingkan. (ii). Best practices Internasional. (iii). Kedekatan sistem administrasi pemerintahan dengan Indonesia. Tabel 2 merangkum komparasi penerapan PBK di Tiga Negara terpilih dari dimensi disain, implementasi dan evaluasi.
Guna melengkapi tabel 1 diatas, peneliti melakukan studi literature tentang pengalaman ke-3 Negara dalam pelaksanaan Penganggaran Kinerja (performance budgeting) – Korea Selatan, Australia dan Belanda- pemilihan ke-3 Negara tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan sebagai berikut: (i). Ketersediaan Tabel 2
Komparasi Desain, Implementasi dan Evaluasi PBK di 3 Negara (Korea Selatan, Australia dan Belanda) Dimensi Komparasi
Desain
Indikator
Korea Selatan
Australia
Belanda
Komparasi
Kim dan Park (2007)
Lewis Hawke (2007)
Van Nispen dan Posseth (2006)
Tujuan Utama
PBK mendorong akuntabilitas kinerja melalui informasi kinerja, Pengendalian belanja, dan keterkaitan antara kinerja dan keputusan anggaran
PBK sebagai strategi evaluasi pemerintahan as a whole, manajemen hasil dan keluaran sebagai prioritas dan platform kebijakan publik
PBK menjadi elemen penting untuk hubungan lebih kuat antara anggaran dan akun, keterkaitan anggaran dan kebijakan, serta wawasan lebih baik relasi tujuan, sumber daya dan kinerja
Dorongan Perubahan
Eksekutif
Eksekutif dan Legislatif
Eksekutif dan Legislatif
Perundangan
Belum tersedia hingga tahun 2007
Tersedia, misalnya melalui Financial Management and Accountability Act 1997 (FMA Act 1997)
Tersedia melalui the Financial Law (Comptabilitei tswet)
Lingkup
Semua K/L
Semua organ pemerintah (K/L dan Otoritas Pemerintah)
Semua K/L
Kuat sejak akhir tahun 1990-an (Presidensial)
Kuat sejak awal tahun 1980-an (Parlementer)
Kuat sejak pertengahan dekade 1970an (Parlementer)
Kuat melalui Pendidikan dan Training serta dukungan manual dari
Kuat yang mana proses penganggaran melalui proses market place of
Tidak tersedia informasi (Not
(39 institusi) Implementasi
Komitmen Pimpinan Eksekutif
Dukungan Pendidikan Pelatihan
dan
(16 portfolio Kabinet)
7
Evaluasi
Korea Institute of Public Finance
ideas
Available)
Hasil Kinerja Dikaitkan dengan Keputusan Alokasi anggaran
Kaitan antara hasil kinerja serta alokasi anggaran setiap Kementerian
Apropriasi anggaran didasarkan pada outcome yang dihasilkan
Alokasi anggaran didasarkan pada tujuan khsus (specific goals) masingmasing K/L (institusi)
Hasil Kinerja Dikaitkan dengan Perbaikan Manajemen dan Pelayaan
Birokrasi Korea Selatan mulai mengenal manajemen kinerja berorientasi hasil, sebagai bagian dari kultur birokrasi
Pendekatan hasil kinerja bagi perbaikan manajemen dan pelayanan model Australia suatu proses iteratif, perubahan radikal berisiko tinggi
Informasi kinerja telah mengalami perubahan dari hanya sebatas informasi tambahan (nice o know) menjadi lebih terintegrasi keuangan maupun kebijakan diambil (need to know)
Sumber: John M Kim dan Nowook Park (2007), Lewis Hawke (2007), Franks K.M. van Nispen dan Johan J.A.Posseth (2006), Bambang Sancoko, Djang Tjik A.S, Noor Cholis Madjid, Sumini dan Hery Triatmoko (2008)
Berdasarkan pengalaman Negara lain menerapkan Penganggaran Berbasis Kinerja dapat diperoleh pelajaran terpenting bahwa perubahan menuju penganggaran kinerja memang merupakan proses kompleks, karena berkaitan dengan perubahan yang mendasar dalam sistem, manajemen, maupun perilaku manusia pengelola anggaran. Selain itu, penganggaran kinerja membutuhkan dukungan sistem manajemen kinerja, sistem akuntanis pemerintahan dan perhitungan biaya. Sementara itu, tiga pendekatan untuk penyusunan anggaran berbasis kinerja (Sancoko et al, 2008:41-42) sebagai berikut:
1) Penyusunan anggaran berbasis kinerja yang bersifat langsung. Dalam pendekatan ini terdapat hubungan bersifat langsung dan sering kali didasarkan atas suatu formula. Sehingga alokasi anggaran untuk sebuah program didasarkan atas kinerja program yang diukur dari keluaran (output) dan hasil (outcome). Misalnya pendanaan universitas yang didasarkan atas jumlah lulusan dari setiap bidang keilmuan.
2) Penyusunan anggaran berbasis kinerja yang bersifat tidak langsung. Hal ini adalah bentuk umum dari penyusunan anggaran berbasis kinerja. Informasi pemantauan dan temua-temuan evaluasi tentang hasil-hasil program menjadi salah satu masukan, tetapi
hanya merupakan salah satu masukan bagi keputusan alokasi anggaran sebuah program. Prioritas kebijakan pemerintah juga mempengaruhi alokasi anggaran. 3) Penyusunan anggaran berbasis kinerja yang bersifat penyajian. Pemerintah
8
menggunakan informasi pemantauan dan temuan-temuan evaluasi untuk melaporkan kinerja aktual di masa lalu atau kinerja yang diharapkan pada masa mendatang dalam dokumen anggaran yang dikirimkan kepada Legislatif. Informasi ini mungkin saja tidak berpengaruh pada pembuatan keputusan menyangkut anggaran dan merupakan bentuk paling lemah dari penyusunan anggaran berbasis kinerja.
2.4.
Teori Production Model
Kerangka utama untuk menjelaskan Penganggaran Berbasis Kinerja adalah Production Model of Performance (dalam Van Dooren, Bouckaert, Halligan, 2010). Kinerja ini mengikuti skema logika produksi. Gambar 2.1. merupakan Production Model of Performance yang menggambarkan skema input, proses atau aktivitas dan ouput. Para pembuat keputusan diharapkan menampung aspirasi masyarakat baik dan mempertimbangkan kondisi ekonomi yang sedang terjadi (1). Dengan demikian, aspek eksternal ini menjadi pertimbangan bagi para pembuat keputusan untuk merumuskan hal tersebut sebagai kebutuhan yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk terpenuhi (2). Pemerintah seharusnya merumuskan
kebutuhan masyarakat sebagai agenda penting dengan mempertimbangkan semua masukan dari pemangku kepentingan termasuk masyarakat sipil, kelompok-kelompok tertentu bahkan media untuk menentukan sejumlah prioritas dan tujuan (3). Dalam merumuskan tujuan, proses ini tentunya akan membutuhkan pertimbangan yang bersifat tarik ulur kepentingan, sehingga menguatkan tujuan tersebut dapat memenuhi kebutuhan yang relevan (7). Dalam logika model produksi ini, juga dibutuhkan input yang berupa sumber daya baik manusia dan finansial (4) yang pada akhirnya dialokasikan dalam program dan aktivitas (5). Aktivitas dijalankan untuk menjalankan program-program yang sudah ditentukan dan menghasilkan output(6). Output ini merupakan rasio input terhadap output (9). Dalam sektor publik, penentuan tingkat efisiensi tidak berkaitan dengan maksimalisasi profit namun memaksimalkan pemenuhan kebutuhan masyarakat secara menyeluruh. Pencapaian efisiensi dalam sektor publik lebih sulit dan cenderung mendapatkan hasil yang tidak memuaskan. Artinya, tidak semua lapisan masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan dengan optimal. Jalur terakhir dalam logika produksi ini adalah outcome (14). Rasio antara output dan outcome merupakan bentuk pengukuran keefektifan.
Gambar The Production Model of Performance
9
Logika produksi pada Gambar di atas bisa digunakan untuk menganalisis elemen Surat Edaran Bersama dengan mengaitkan pada kinerja dalam hal ini efisiensi, keefektifan dan akuntabilitas. Berdasarkan skema tersebut, aspek input, aktivitas dan output bisa dijabarkan ke dalam masing-masing aspek Surat Edaran Bersama. Aspek input bisa dijelaskan dalam bentuk sosialisasi dan pelatihan. Sosialisasi dan pelatihan diharapkan dapat eefektifan, dan akuntabilitas.
2.5. Desain PBK dalam Sistem Penganggaran Baru di Indonesia Dalam hal Reformasi Anggaran Indonesia, Undang-Undang 17/2003 memfokuskan tiga isu utama: Penganggaran Terpadu, Penganggaran Berbasis Kinerja, dan Kerangka Pembangunan Jangka Menengah (KPJM). Buku putih yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan (2002) menjelaskan beberapa permasalahan berkaitan dengan manajemen keuangan publik Indonesia. Ada tiga hal dalam buku putih itu yang patut mendapat perhatian karena mendeskripsikan kelemahan mendasar kerangka institusi bagi manajemen kebijakan publik yang baik. Pertama, adanya kewenangan anggaran ganda antara Kementerian Keuangan dan Bappenas yang bermuara pada sulitnya koordinasi yang baik dalam perencanaan dan eksekusi anggaran. Bukti nyata pernyataan pertama adanya Daftar Isian Kegitan dan Daftar Isian Program dalam dokumen perencanaan dan penganggaran masa itu. Namun, setelah penerapan UU 17/2003, kewenangan anggaran sudah berada sepenuhnya di Kementerian Keuangan. Kedua, sistem informasi keuangan pemerintah yang terintegrasi dan handal saat itu masih dalam pengembangan. Ketiga, tumpang tindihnya fungsi anggaran dan perbendaharaan dalam tubuh Direktorat Jenderal Anggaran membawa akibat bagi tidak berkembangnya kompetensi anggaran dan manajemen perbedaharaan bersama-sama. Seturut dengan semangat perubahan medasar bagi perbaikan manajemen keuangan public, Blondal et al. (2009) menunjukkan adaptasi KPJM untuk pengelolaan anggaran. Tujuan adanya KPJM adalah untuk transparansi alokasi sumber daya anggaran yang lebih baik (allocative efficiency); meningkatkan kualitas
memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerapan PBK. Aspek kegiatan atau proses meliputi perencanaan strategis, program restrukturisasi, sistem pembiayaan, dan sistem evaluasi kinerja. Berkaitan dengan aspek output, implementasi format baru menjadi aspek output dalam Surat Edaran Bersama. Penerapan format baru diharapkan juga memberi implikasi pada pencapaian kinerja yang optimal. Kinerja optimal dalam hal ini diukur melalui efisiensi, k perencanaan penganggaran (Improving the quality of planning); fokus yang lebih baik terhadap kebijakan prioritas (best policyoption); meningkatkan disiplin fiskal (fiscal dicipline); menjamin adanya kesinambungan fiskal (fiscal sustainability); dan meningkatkan manfaat dana yang dianggarkan merupakan meningkatnya efisiensi alokasi(allocative efficiency) dalam proses penganggaran. 2.5.1. Sejarah dan Konteks Pengesahaan UU Keuangan Negara Beberapa dokumen yang diperoleh guna memberikan narasi sejarah dan kontes pengesahan UU Keuangan Negara antaranya: The White Paper Kementerian Keuangan (2002), Rancangan Undang-Undang Bidang Keuangan Negara (Mei 2001), Prinsip Keuangan Negara dalam Paket Rancangan Undang-Undang Bidang Keuangan Negara (Agustus 2001). Dari ketiga dokumen tersebut diketahui bahwa pemerintah sudah membentuk dua belas tim untuk reformasi hukum kolonial yang dikenal sebagai Indische Comptabiliteitswet (ICW-1925), Indische Bedrijvenwet (IBW-1925) dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB-1933) (Haryanto, 2004; Menteri Keuangan, 2001). Tantangan untuk merevisi ICW oleh tim tersebut diantarnya. Pertama, bukanlah hal mudah untuk menghasilkan hukum atau undang-undang yang komprehensif dan mampu untuk mengelola sejumlah keuangan anggara, manajemen bendahara, dan audit negara. Kedua, pengelolaan anggaran relatif cukup sensitif untuk pengelola kepentingan misalnya Presiden, parlemen, anggota kabinet, Kementerian Keuangan, Bapenas dan kementerian lainnya. Krisis ekonomi 1997/1998 menjadi pemicu pemerintah untuk melaksanakan reformasi di bidang hukum. Soesastro (2003) berpendapat bahwa krisis merupakan sebuah
10
bentuk “anugerah” yang menghasilkan urgensi untuk memperbaiki kondisi ekonomi. Blondal et al (2009) menyebut istilah reinventing budgeting untuk mengatasi masalah krisis politik dan ekonomi tersebut. Ada tiga transformasi utama sesudah krisis: 1. Penerbitan kerangka hukum dengan sejumlah perubahan yaitu UU 17/2003; Undang-Undang Perbendaharaan I/2004; Undang-Undang Perencanaan Negara 25/2004; Undang-Undang 15/2004 Pemeriksaan Keuangan. Detail perkembangan kerangka hukum pada Tabel 4 Ringkasan Kerangka Hukum Penganggaran Berbasis Kinerja Lingkungan politik Indonesia sesudah krisis juga mengalami perubahan. Pada tahun 2004, Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk kurun lima tahun mendatang. Hal ini merupakan bentuk reformasi. Namun demikian, Presiden tidak memiliki kemampuan untuk memilih langsung para menterinya. Dalam hal ini, Presiden dituntut untuk berkoordinasi dengan partai yang dominan untuk memilih menteri. Pada zaman Soeharto, penyusunan anggaran didasarkan pada perencanaan nasional yang sifatnya tersentralisasi. Penyusunan anggaran dengan menyesuaikan pada perencanaan nasional dianggap ideal karena anggaran menjadi lebih terarah untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan dalam perencanaan nasional. Selama kepemimpinan Soeharto, Indonesia mengadopsi Rencana Pembangunan Jangka Lima Tahun dan Pembangunan Jangka 25 tahun. Hal ini merupakan instrumen kebijakan untuk mencapai tujuan pembangunan.Anggaran baru dan perencanaan akhirnya berubah sesudah pemilihan langsung pada Presiden Indonesia. Perencanaan yang direncanakan dari atas ke bawah (top-down planning) merupakan permulaan disusunnya PBK. Pelaksanaan PBK sebenarnya sudah bisa dilaksanakan pada 2004, namun belum sepenuhnya berlangsung. Ada beberapa penjelasan terkait mengapa pada tahun 2004 belum sepenuhnya terimplementasi konsep PBK dan KPJM. Pertama, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan saat itu tidak secara sungguhsungguh mempersiapkan peraturan pendukung yang komprehensif guna segera mengoperasionalisasikan PBK dan KPJM. Kedua, sengketa kewenangan pra berlakunya UU Keuangan Negara antara Bappenas dan Kementerian Keuangan. Bappenas menganggap berlakunya UU 17/2003 beserta produk UU Pokok Keuangan Negara mengancam eksistensi
2. 3.
Anggaran komprehensif terpadu. Desentralisasi fiskal secara masif misalnya Undang-Undang No 17/2003; Undang-Undang Pemerintah Daerah 32/2004 dan Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah 33/2004. Penggunaan PBK ditandai dengan pengesahan UU Nomor 17/2003. Segera setelah UU tersebut disahkan, UU dan peraturan lainnya diterbitkan untuk melaksanakan amanat UU Nomor 17/2003 tersebut.
Kementerian Perencanaan Pembangunan. Lebih jauh, berdasarkan dokumen rancangan UU Keuangan Negara versi awal tim Depkeu, peranan Bappenas memang diubah secara drastis. Fungsi Perencanaan yang dahulu sangat dominan secara radikal dirubah menjadi Dewan Perencanaan Nasional (Depernas), yang tidak hanya berisikan para birokrat sebagai anggota Depernas melainkan perwakilan dari akademis/kampus, Organisasi Masyarakat Sipil, dan juha kalangan pengusaha. Depernas adalah advisory body dibawah kendali langsung Presiden Republik Indonesia. Namun perubahan radikal ini membawa reaksi Bappenas kemudian mempersiapkan RUU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (RUU SPPN), dengan misi utama adalah mempertahankan eksistensi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2.5.2. Perkembangan Terkini atas penerapan PBK Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2004 yang menegaskan bahwa rencana kerja dan anggaran yang disusun menggunakan tiga pendekatan, yaitu: (1) anggaran terpadu (unified budget); (2) kerangka pengeluaran jangka menengah biasa disebut KPJM (atau medium term expenditure framework); dan (3) penganggaran berbasis kinerja biasa disebut PBK (performance based budget). Secara ilustratif, kerangka reformasi perencanaan dan penganggaran yang digulirkan oleh Pemerintah dapat disajikan sebagai beriku
11
Gambar Kerangka Reformasi Perencanaan dan Penganggaran
Sumber: Basyir (2010) dalam Prosiding Implementasi PBK pada Sektor Hukum, Peradilan dan HAM
Berdasarkan kerangka reformasi di atas, KPJM dan PBK merupakan instrumen reformasi penganggaran maupun perencanaan guna meningkatkan manfaat dana yang dianggarkan ke sektor publik terhadap hasil suatu program (outcomes) dan keluaran suatu aktivitas (output), melalui informasi kinerja secara format yang terkait dengan tiga hal yaitu pengukuran kinerja, pengukuran biaya untuk menghasilkan output dan outcomes serta penilaian keefektifan dan efisiensi pengeluaran/belanja dengan berbagai alat analisis (Robinson & Brumby, 2005). Di satu sisi, KPJM adalah cara memperhitungkan konsekuensi putusan terhadap anggaran pada tahun berikutnya. Di sisi lain, PBK adalah pendekatan penganggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari rangkaian PT dan KPJM. PBK dimaksudkan untuk lebih memberikan hasil maksimal (outcome oriented) dalam efisiensi alokasi anggaran dari sumber daya yang terbatas. Dengan ketiga pendekatan tersebut di atas, satuan kerja dapat memilih dan memutuskan alokasi program/kegiatan terbaik (prioritas) dari berbagai alternatif program/kegiatan yang tersedia secara efisien yaitu mendapatkan tingkat keluaran (output) maksimal dari masukan (input) pada tingkat tertentu alokasi biaya atau input (Bappenas, 2009). Permasalahan-permasalahan yang ada dalam pelaksanaan tersebut menurut Sancoko et al (2008) adalah:
1) Tidak jelasnya keterkaitan antara kebijakan, perencanaan, dan penganggaran, karena sering kali kebijakan disusun tanpa mempertimbangkan sumber daya yang tersedia, dan pengalokasian anggaran tidak mencerminkan prioritas yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 2) Rendahnya kinerja penyediaan pelayanan masyarakat karena penekanan diberikan pada kontrol terhadap input bukan pada pencapaian output dan outcomes, serta kurang memperhatikan prediksi dan kesinambungan daripada pendanaannya. 3) Kurangnya disiplin fiskal, karena total belanja negara tidak disesuaikan dengan kemampuan penyediaan pembiayaannya, dan perumusan kebijakan fiskal hanya terfokus pada stabilitas ekonomi makro jangka pendek. Adapun permasalahan dalam penerapan PBK menurut Kementerian Keuangan dan Bappenas (2009) sebagai berikut: (i). Belum digunakannya resource envelope sebagai landasan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Renstra K/L. (ii). Program dan kegiatan belum dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat keefektifan pencapaian sasaran pembangunan nasional dan efisiensi belanja. (iii). Program dan kegiatan juga belum dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur akuntabilitas kinerja suatu unit kerja. (iv). Pada
12
tingkat operasional masih ada beberapa pertanyaan mendasar mengenai keterkaitan dokumen perencanaan dan anggarannya. Guna memperbaiki masalah-masalah yang diuraikan Sancoko et al (2008) maupun Kementerian Keuangan dan Bappenas (2009), Pemerintah telah mempersiapkan kerangka hukum reformasi penganggaran melalui UU,
Peraturan Pemerintah, Surat Edaran Bersama, Peraturan residen, serta Peraturan Menteri Keuangan Tabel 3 menjelaskan ringkasan dokumen kerangka hukum Penganggaran Berbasis Kinerja termasuk fokus bahasan dari masing-masing regulasi terkait PBK.
N o
Dokumen
Tabel 3. Ringkasan Kerangka Regulasi Penerapan PBK N o 1
Dokumen
Bahasan
PASAL 23 UUD 1945 (Amdemen KeIII 2001)
Mengamanatkan terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Memberikan dasar pendekatan penyusunan anggaran harus berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Memberikan arahan bahwa dokumen pelaksanaan anggaran berisi uraian sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program, dan rincian kegiatan, dan anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut. Memberikan arahan tentang Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Kerja Kementerian/Lembag a, Program, Progran Lintas Kementerian/Lembag a, serta tujuan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Memberikan panduan tentang program dan kegiatan yang disusun pemerintah disusun dengan berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka
2
UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara
3
UU No 1/2004 tentang Perbendaharaa n Negara
4
5
UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
PP 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah
6
PP 21/2004 tentang Rencana Kerja Anggaran Kementerian Lembaga (RKAKL)
7
PP 39/2006 Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan PP 40/2006 Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional PP 90/2010 tentang RKA-KL perubahan PP 21/2004
8
9
10
11
12
UU No 17/2007 tentang RPJPN 20052025 SEB MENEG PPN & MENKEU (0142/2009 & SE.1848/2009) Pedoman Reformasi Perencanaan Penganggaran PERPRES
Bahasan menengah, dan penganggaran terpadu. Memberikan panduan dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja diperlukan indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi kinerja dari setiap program dan jenis kegiatan. Memberikan panduanpanduan tentang kriteria efisiensi, kefektifan, kemanfaatan, keluaran (output), dan hasil (outcome). Memberikan panduan teknis penyusunan perencanaan pembangunan nasional yang berdasarkan kinerja. Memberikan panduan yang lebih fokus terhadap penerapan KPJM, penguatan proses penelaahan, evaluasi kebijakan, pengukuran dan evaluasi kinerja anggaran serta sistem informasi yang terintegrasi. Memberikan kerangka rencana pembangunan jangka panjang Panduan penerapan penganggaran berbasis kinerja, anggaran terpadu, dan kerangka pengeluaran jangka menengah. Memberikan
dasar
13
N o
Dokumen
Bahasan
70/2012 PBJP
13
N o
hukum pengadaan barang dan jasa dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Memberikan petunjuk teknis dan petunjuk
Berbagai Peraturan
Dokumen
Bahasan
Menteri Keuangan
pelaksanaan daripada penyusunan RKA-KL dsb Sumber: Telaah Tim PPPI (2013)
Dari tahapan terbitnya berbagai produk hukum pada Gambar Tahapan Terbitnya Undang-undang dan Peraturan yang Memayungi
Penganggaran Berbasis Kinerja terlihat bahwa kelengkapan kerangka kerja implementasi PBK baru terjadi pada tahun 2009.
Gambar Tahapan Terbitnya Undang-undang dan Peraturan yang Memayungi Penganggaran Berbasis Kinerja 2001
1999
• INPRES 7/1999 AKIP
2003
2004
2006
2007
2009
2010
2011
2012
UU No 17/2003 Keuangan Negara
Amandemen Ke-III UUD 1945 Ps. 23
• PP 90/2010 • PP 39/2006 Penyusunan RKA-KL Ttcr. Pengendalian Rcn. Pembangunan • PERPRES 70/2012 • UU No 1/2004 • PP 40/2006 PBJP Perbendaharaan Ttcr. Penyusunan • SEB MENEG PPN & • PMK Nomor Negara RPN MENKEU 112/PMK.02/2011 • UU 15/2004 (0142/2009 & Petunjuk Pemeriksaan Keu – SE.1848/2009) Penyusunan RKA-KL Neg Pedoman Reformasi • UU 25/2004 Perencanaan • PMK Nomor SPPN Penganggaran 93/PMK.02/2011 • PP 20/2004 Pedoman RKP • UU 17/2007 Penyusunan RKA-KL RPJPN 2005-2025
Sumber: Telaah Tim PPPI (2013)
Kelengkapan panduan implementasi penganggaran berbasis kinerja ditandai dengan terbitnya SEB tahun 2009 sebagai milestone terpenting dari reformasi keuangan negara. Bila pada paragraf sebelumnya, ada semacam penyajian institutional setting dari berlakunya UU 17/2003. Jelas bahwa SEB tahun 2009 merupakan bukti tidak terbantahkan bahwa saat itu (2009) ada kesadaran kolektif terutama dari Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzeta guna melanjutkan apa yang dahulu telah mereka mulai (reformasi penganggaran). Setelah hampir 6 tahun vakum tanpa suatu kebijakan kongkrit, SEB menandai babak baru kerjasama
Bappenas dan Kementerian Keuangan. Selanjutnya, setiap tahun Menteri Keuangan menerbitkan peraturan terkait dengan petunjuk penyusunan dan penelaahan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga.
Tahun 2009 hingga tahun 2010 diisi dengan berbagai kegiatan penyiapan panduan, pelatihan dan sosialisasi, uji coba, serta perubahan berbagai format dokumen. Sesuai dengan jadwal tersebut, tahun 2011
dicanangkan sebagai awal penerapan PBK secara penuh. Uji coba tersebut meliputi 3 Kementerian yang menjadi pilot project yaitu Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 620-640 program dalam Kementerian Negara dan mengalami penurunan hanya 422 program pada 2011 dan 426 program dalam 2012. Esensi
Selama program restrukturisasi dalam tahun 2010, Kementerian Keuangan menyusun
Berdasarkan panduan pada Buku 5, SEB tentang Jadwal Pelaksanaan dan Penerapan menyatakan bahwa penerapan PBK diterapkan pada tahun 2011. Buku 5 tersebut juga menjelaskan langkah-langkah penerapan agar pendekatan sebagaimana amanat UU Nomor 17/2003 dapat diwujudkan dengan benar.
14
restrukturisasi program sejalan dengan PBK. memungkinkan untuk satu program dilaksanakan oleh dua atau lebih eselon 1.
Oleh karena itu, tidak Masing-masing eselon 1 hanya memiliki tugas dan fungsi sesuai dengan program yang spesifik.
Pada dasarnya restrukturisasi program akan berkaitan erat dengan prinsip “value for money” mengapa demikian? Karena UU 17/2003 menganut peran kontekstual dan tanggung jawab Kementerian Negara Departemen/Non Departemen dan Kementerian Keuangan terpisah dengan delegasi kewenangan dan
pencairan anggaran. Hubungan antara masingmasing Kementerian Negara dan Kementerian Keuangan didesain dapat diasosiasikan dengan hubungan antara Chief Operating Officer (COO) dan Chief Financial Officer (CFO) yang bertanggung jawab kepada seorang Chief Executive Office Republik Indonesia yaitu Presiden (Kementerian Keuangan, 2002).
Gambar Delegasi Kewenangan dalam Pelaksanaan Anggaran
Presiden (CEO) Menteri (COO)
Menteri Keuangan (CFO)
Kepala Satuan Kerja (Proxy COO)
Kepala Kantor Perbendaharaan (Proxy CFO)
Delegasi kewenangan eksekusi program
Bendahara Satuan Kerja
Delegasi kewenangan fungsi perbedaharaan Sumber: Menteri Keuangan (2002, 28) Berdasarkan Gambar diatas, terlihat jelas bahwa Pemerintah Indonesia berusaha untuk meningkatkan akuntabilitas selama proses pelaksanaan anggaran berlangsung. Usaha ini juga didukung oleh Kementerian Keuangan dalam prosesnya. Pelaksanaan PBK di level nasional, sudah diupayakan juga mengenai perencanaan dan rerangka kerjanya sebagai berikut. 1) Pemerintah menargetkan tujuan dalam prioritas dalam periode tahunan yang dinyatakan dalam Perencanaan Pemerintah Tahunan. Hasil ini diharapkan sejalan dengan mandat konstitusional. 2) Berdasarkan tujuan tersebut, pemerintah menyusun aktivitas pada masing-masing Kementerian Negara didasarkan pada indikator kinerja dan output. Pemerintah menghitung jumlah
anggaran yang disesuaikan dengan kesediaan anggaran negara. 3) Pemerintah mendelegasikan perannya kepada Kementerian Negara dan Eselon 1 dan Eselon 2. Program Kementerian Negara diharapkan sejalan dengan tugas dan fungsinya. 4) Selain itu, pemerintah menyiapkan action plan untuk melaksanakan PBK di tingkat kementerian. Proses dimulai dari pengembangan perencanaan strategis pada masing-masing kementerian termasuk program, indikator kinerja untuk masing-masing program dan kegiatan. Alur kerangka implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja dapat diilustrasikan pada gambar dibawah ini:
15
Gambar Alur Kerangka Implementasi PBK di Indonesia
Masing-masing Kementerian/Lembaga memiliki sasara strategis sebagai ukuran kinerja Kementerian, Eselon 1 selaku pengelola dan penanggung jawab program memiliki indikator kinerja utama berupa outcome atau hasil program, Eselon 2 selaku pengelola dan penanggung jawab kegiatan memiliki indikator kinerja kegiatan berupa output dan suboutput. Satuan kerja (satker) memiliki tanggung jawab dan pelaksanaan komponen, sub-komponen, akun, dan detail belanja. Dari telaah dokumen yang dilakukan, diperoleh gambaran awal tentang pencapaian penerapan PBK hingga akhir tahun 2012. Beberapa capaian tersebut adalah sebagai berikut. o
Identifikasi Kelengkapan Dasar Hukum dan Petunjuk Teknis Analisis oleh tim peneliti PPPI menunjukkan bahwa ada identifikasi kelengkapan dasar hukum dan petunjuk teknis untuk implementasi penganggaran berbasis kinerja. Perundangan yang mengatur penganggaran berbasis kinerja yang telah disiapkan meliputi undang-
undang, peraturan pemerintah, surat edaran, hingga peraturan menteri keuangan. Dengan demikian, secara legal formal payung hukum pelaksanaan telah tersedia secara memadai. Namun demikian, secara substansi perlu dikaji lebih lanjut tentang harmonisasi antar masingmasing peraturan tersebut. o
Dari sisi dokumen APBN tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012, Tim Peneliti telah menemukan adanya perubahan format dokumen. Pada dokumen APBN 2009 dan 2010, informasi kinerja berupa indikator kinerja dan output dari kegiatan instansi belum dapat ditemukan. Pada dokumen APBN 2011 dan 2012 informasi kinerja tersebut telah tersedia. Perbandingan dokumen APBN tahun 2009-2010 dan 2011-2012 dapat dilihat sebagai berikut.
15
Tabel Perbandingan Format RKA-KL Deskripsi
RKA-KL 2009 and 2010 (Pra SEB)
RKA-KL 2011 and 2012 (Pasca SEB)
Format
Line Budget
Performance-Based Budget
Framework
Organisasi
Informasi
Informasi berdasarkan daya
Target, Indikator Kinerja, Output Informasi pengeluaran berdasarkan input/sumber daya
Jangka Waktu
pengeluaran input/sumber
Tersedia hanya satu tahun
Informasi Kinerja Tersedia: Output Volume Indikator Jangka waktu 3 tahun
Sumber: Telaah Tim Peneliti PPPI (2013) Adapun evaluasi PPPI terhadap 3 pilar reformasi anggaran yang diamanatkan UU Keuangan Negara adalah sebagai berikut: 1)
Pelaksanaan Anggaran (Unified Budget)
Terpadu
transaksi sehingga dipastikan duplikasi dalam pengunaannya. 2)
tidak
ada
Pelaksanaan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework)
Penyusunan anggaran terpadu sudah dilakukan sejak tahun 2005 yaitu dengan mengintegrasikan Dafitar Isian Program (DIP) yang adalah belanja pembangunan dan Daftar Isian Kegiatan (DIK) yang adalah belanja rutin. Pada satu sisi, Penyatuan DIP dan DIK telah menyelesaikan pelaksanaan anggaran terpadu secara sistem akuntansi. Di sisi lain, proses pelaksanaan penanggaran terpadu masih perlu memperoleh perhatian, karena secara proses kerapa masih dijumpai anggaran ganda (multibudget) untuk program/kegiatan lintas K/L. Dengan demikian, anggaran terpadu masih perlu diperbaiki dimasa mendatang sebagaimana penuturan dari Direktur Sistem Penganggaran pada Seminar Publik Evaluasi Satu Dekade PBK, bahwa anggaran terpadu masih belum tuntas diselesaikan.
Pendekatan ini adalah penyusunan anggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan yang menimbulkan implikasi anggaran dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran. Dalam kerangka penganggaran jangka menengah, tingkat ketidakpastian ketersediaan alokasi anggaran di masa mendatang dapat dikurangi, baik dari sisi penyediaan kebutuhan dana untuk membiayai pelaksanaan berbagai inisiatif kebijakan prioritas baru maupun untuk terjaminnya keberlangsungan kebijakan prioritas yang tengah berjalan. Dengan demikian, perancangan kebijakan dapat menyajikan perencanaan penganggaran yang berorientasi kepada pencapaian sasaran secara utuh, komprehensif dan dalam konteks yang tepat, sesuai dengan perencanaan kebijakan yang telah ditetapkan.
Maksud dari Integrasi DIP dan DIK agar tidak terjadi duplikasi dalam penyediaan dana untuk K/L, baik dana untuk investasi pembangunan maupun biaya operasional kegiatan Kementerian/Lembaga. Dengan pendekatan ini, kemudian Satuan Kerja menjadi satu-satunya entitas akuntansi yang bertanggung jawab terhadap aset dan kewajiban yang dimilikinya, serta adanya akun untuk satu
3)
Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja
Anggaran berbasis kinerja disusun berdasarkan program dan kegiatan yang mencerminkan tugas pokok dan fungsi Kementerian dan Lembaga atau penugasan tertentu dalam kerangka prioritas pembangunan nasional. Dalam format baru ini,
16
anggaran juga disusun berdasarkan rumusan indikator kinerja program dan indikator kinerja kegiatan. Indikator inilah yang menjadi tandatanda keberhasilan program/kegiatan yang telah dilaksanakan beserta output/outcome yang diharapkan. 17/2003 tentang Keuangan Negara. Capaian tersebut juga perlu dipandang sebagai suatu investasi besar dalam sistem pengelolaan keuangan negara. Semua capaian tersebut akan menjadi fondasi awal bagi penyempurnaan di masa-masa mendatang. Saat ini periode pelaksanaan PBK adalah tahap pemantapan mulai tahun 2010 sampai dengan tahun 2014, 2.5.3. Surat Edaran Bersama sebagai Panduan Perencanaan PBK4 Pada Juni 2009, Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menerbitkan buku panduan mengenai pelaksanaan Peraturan 17/2003. Kelengkapan panduan implementasi PBK tersebut ditandai dengan terbitnya Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan No.0142/MPN/06/2009 dan No. SE1848/MK/2009 (selanjutnya disebut SEB). Hal ini terdiri atas lima buku panduan berkaitan dengan reformasi manajemen keuangan publik khususnya mengenai restrukturisasi program dan aktivitas, panduan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, kerangka kerja pengeluaran jangka menengah, format baru untuk perencanaan anggaran tahunan, jadwal waktu untuk pelaksanaan. o
Restrukturisasi Program
Keterkaitan antara program dan perencanaan pembangunan diharapkan ada sebuah formulasi. Program restrukturisasi menyediakan keterkaitan antara program dan arahan institusi/kementerian. Dalam merumuskan program, prioritas program dipertimbangkan. Jika ada keterbatasan
4
Penggunaan SEB terutama 7 variabel bebas (independen) sebagai operasionalisasi konsep penerapan PBK dipilih dengan pertimbangan bahwa riset ini tidak murni bersifat akademis, melainkan suatu riset kebijakan yang sedapat mungkin memberikan rekomendasi kebijakan bersifat kongkrit. Guna menyajikan sisi lain penerapan PBK, dalam penelitian ini dilakukan analisis indikator kuantitatif anggaran sebagai metode penjelas implementasi PBK yang lain.
Capaian-capaian tersebut di atas, pada hemat peneliti, adalah suatu langkah maju dalam upaya reformasi keuangan negara dan dalam melaksanakan mandat UU Nomor mulai tahun 2015 dan selanjutnya adalah periode pemantapan. Dalam pada itu, hasil penelitian ini terutama hasil survei seyogyanya menjadi masukan penting bagi penanggungjawab reformasi penganggaran di Kementerian Keuangan. anggaran, program yang relatif kurang penting bisa ditunda. Alokasi anggaran diutamakan pada program yang diprioritaskan. Target yang ditentukan dalam tahun berjalan harus diinisiasi oleh setiap lapisan eselon. Dalam program restrukturisasi, tahapan selanjutnya adalah memeriksa secara detail mengenai ketersediaan anggaran. Semua program dipertimbangkan berdasarkan tingkat kepentingan dan “urgency”. Program ditampilkan dalam bentuk aktivitas, sub-aktivitas, prioritas, alokasi, dan kuantitas secara lebih terperinci.
o
Perencanaan Strategis
Perencanaan strategis adalah proses untuk mengembangkan perencanaan jangka panjang dan mengarahkan organisasi dengan berpedoman pada misi yang dinyatakan dengan jelas, tujuan, dan sasaran. PBK dikaitkan dengan perencanaan strategis menjadi sangat penting. Melalui perencanaan strategis, pengembangan kebijakan multi-year dapat dikaitkan dengan situasi saat ini yang berorientasi pada masa depan. Proses perencanaan strategis memudahkan pengelola atau unit di kementerian memahami dengan jelas kondisi kinerja. Perencanaan strategis menjelaskan tentang visi, misi, tujuan, sasaran, keluaran, dampak, dan implikasi, serta sumber daya yang digunakan termasuk manusia, uang, teknologi, fasilitas, data dan informasi. Dalam perencanaan strategis, perlu dilakukan pemetaan kebutuhan para pemangku kepentingan melalui mekanisme partisipatif. Pendekatan inovatif ini bertujuan untuk melibatkan partisipasi masyarakat. Kepemimpinan diharapkan mau menyampaikan misi, arah strategi, visi kepada karyawan.
17
o
Perbaikan Standar Biaya
Standar biaya dari PBK menerapkan sistem bergulir. Standar biaya termasuk memiliki standar biaya acuan dan parameter pengukuran. Ada mekanisme penyesuaian angka dasar dan anggaran tambahan untuk inisiatif baru. Selain itu, terdapat klasifikasi standar biaya umum dan khusus. Adanya baseline bagi standar biaya. Sebelum penerapan PBK, Kementerian dan Lembaga hanya mengenal pencatatan aktivitas berbasis input (input based costing) setelah penerapan PBK dimana Kementerian dan Lembaga didorong untuk mempunyai kriteria apa yang hendak dicapai (kinerja) maka aktivitas pencatatan pun berubah menjadi sistem pencatatan berbasis aktivitas (activity based costing). o
Kinerja
Pengukuran kinerja mendorong proses yang meliputi penyusunan rencana kinerja, identifikasi tujuan pelayanan, pengumpulan data komparatif untuk mengukur pencapaian tujuan dan sistem yang memberikan informasi mengenai sejauh mana tujuan yang ditetapkan tercapai. Efisiensi Efisiensi mengkur biaya unit dari output yang dihasilkan. Efisiensi juga merupakan rasio input per output. Input juga didefinisi sebagai sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan jasa. Output didefinisi sebagai hasil barang dan jasa yang dihasilkan oleh sebuah unit kerja. Keefektifan Keefektifan merupakan indikator yang mengukur apakah pelayanan yang ditargetkan tercapai atau tidak. Pengukuran yang baik memfokuskan pada hasil atau outcome dan berorientasi pada konsumen/pengguna. Ada keterkaitan antara pengukuran dan program. Keefektifan juga merupakan rasio antara output/outcome. Outcome didefinisi sebagai pengukuran dampak aktual, hasil atau manfaat publik.
indikator yang sudah ditentukan. Akuntabilitas terkait dengan otonomi dan tanggung jawab terhadap pelaksanaan program. Akuntabilitas mencerminkan pula aspek bottom up dari rencana kebijakan. o
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah
Kerangka Pengeluaran Jangka menengah (KPJM) dilakukan dengan menggunakan petunjuk atau arahan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan dan Badan Perencana Pembangunan Nasional. Hal ini penting untuk memperbaiki arsitektur program aktivitas sehingga memberikan keterkaitan antara struktur organisasi, sruktur anggaran, struktur perencanaan kebijakan, dan struktur manajemen kinerja. KPJM digunakan untuk mengelola anggaran pemerintah dan kebijakan selama periode beberapa tahun, biasanya 3 sampai 5 tahun. Mekanisme ini dimaksudkan untuk menunjukkan implikasi kebijakan dan pengeluaran pemerintah. Hal ini juga digunakan untuk menentukan efek penyesuaian kebijakan dan anggaran yang membutuhkan beberapa tahun dalam pelaksanaannya. Selain itu, KPJM ini juga mempertimbangkan adanya realitas makroekonomi, dan kebutuhan sejumlah sektor yang perlu disesuaikan. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan disiplin dalam perencanaan pengeluaran pemerintah dan mengurangi ketidakseimbangan antara pertimbangan makro ekeonomi, estimasi penerimaan, dan kewajiban pemerintah serta program sektor yang mencapai tujuan kebijakan. Anggaran berbasis kinerja diajukan untuk menciptakan keterkaitan antara pembiayaan sumber daya dan output serta outcome yang diharapkan sekaligus efisiensi dari output dan outcome yang dihasilkan. o
Sistem Evaluasi Kinerja
Ketersediaan kriteria kinerja dan review pencapaian program perlu dikelola. Ada identifikasi dan analisis kelemahan program dan rekomendasi untuk perbaikan. Evaluasi kinerja program adalah proses pencapaian tujuan yang menunjukkan bahwa perumusan dan pelaksanaan kebijakan mencapai efisiensi dan keefektifan.
Akuntabilitas Akuntabilitas menunjukkan bahwa unit kerja bertanggung jawab atas tercapainya output dan mencapai efisiensi dan keefektifan sesuai
18
o
Sosialisasi PBK
Sosialisasi adalah proses yang memberikan kesempatan kepada anggota dalam suatu sistem untuk mempelajari dan memahami pola atau nilai yang baru untuk dijalankan. Sosialisasi berkaitan dengan anggaran berbasis kinerja dan merupakan suatu nilai kerja bagi karyawan baru dan karyawan yang lama untuk mempelajari penerapan anggaran berbasis kinerja yang dianggap penting untuk untuk menjelaskan perubahan dan manfaat dalam penerapan anggaran. Sosialisasi ini berkaitan dengan cara, prosedur, evaluasi anggaran agar mencapai efisiensi pelaksanaan, keefektifan kerja dan tanggung jawab terhadap penggunaan anggaran. Sosialisasi anggaran berbasis kinerja dapat berkaitan dengan pelaksanaan program kerja yang dilaksanakan dalam unit kerja/kementerian. Program kerja ini membutuhkan penganggaran dan pencapaian kinerja. Karyawan dituntut untuk memahami cara pengelolaan anggaran dan evaluasi penerapan anggaran. Evaluasi ini juga menjelaskan mengenai perlu adanya reward dan consequences. Pelatihan mengenai pengelolaan program, penganggaran, dan pencapaian kinerja perlu dilakukan untuk memfasilitasi karyawan agar mampu merencanakan program, melaksanakan dan mengevaluasinya.
o
Format Baru
Berdasarkan buku petunjuk pelaksanaan anggaran berbasis kinerja yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, bentuk anggaran baru adalah dikategorikan berdasarkan informasi kinerja eselon 1. Informasi pengeluaran dan penerimaan ditempatkan pada lembar yang berbeda. Kinerja yang dicapai oleh kementerian didasarkan pada visi, misi, dan perencanaan kerja. Berdasarkan temuan studi awal, bentuk anggaran pemerintah pusat pada 2009 dan 2010 disusun dalam format anggaran lini. Oleh karena itu, dokumen anggaran untuk tahun berjalan tidak menggambarkan informasi kinerja. Sebaliknya, perubahan mendasar terjadi pada tahun 2011 dan 2012, dengan ditunjukkan pelaporan PBK. Anggaran 2011 dan 2012 sudah mengadopsi kerangka pengeluaran berjangka menengah dan ada estimasi aktivitas yang direncanakan ke depan.
2.6. Beberapa Catatan dan Tantangan Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja Sebelum menyampaikan tantangan penerapan PBK sesuai pertanyaan penelitian, terdapat sejumlah catatan – yang bisa saja dianggap suatu keberhasilan- penerapan PBK setelah berlakunya UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Catatan keberhasilan tersebut adalah: a. PBK merupakan pendekatan anggaran yang secara saksama mengaitkan antara pengelolaan keuangan dan sumberdaya yang lainnya dengan kinerja yang akan dicapai. UndangUndang No17/2003 bersama UU Pokok Keuangan Negara lainnya merupakan tonggak penting untuk mengenalkan konsepsi PBK, Penganggaran Terpadu,dan KPJM. b. Ada suatu urgensi untuk menciptakan rerangka kerja pelaksanaan PBK untuk bisa dievaluasi dan dimonitor pelaksanaannya. Beberapa negara di dunia mendapatkan manfaat positif dari pelaksanaan PBK untuk reformasi pengelolaan negara. Studi OECD (2007) tentang Penganggaran Kinerja di Negara-Negara OECD telah mengingatkan kita bahwa tidak ada suatu model penerapan PBK yang universal sifatnya sehingga masingmasing Negara perlu menemukan pendekatan yang cocok (relevant) dengan konteks politik dan institusi di masing-masing Nagara tersebut. Selain kedua catatan diatas, penerapan PBK menyisakan beberapa tantangan yang memerlukan solusi kongkrit Pemerintah dengan melibatkan DPR tentunya, diantaranya: a.
b.
Masalah klasik dalam setiap penyusunan anggaran di sejumlah negara adalah isu yang tersulit masalah pelaksanaannya karena melibatkan persuasi dengan para politisi, menteri dan anggota parlemen dalam membuat keputusannya (Blondal et al. 2009). Mereka berusaha untuk memfokuskan pada input dan mengabaikan kinerja dan informasi hasil. Untuk kasus Indonesia, adanya dokumentasi anggaran yang sangat detail menjadi penghalang dalam dalam pelaksanaan PBK. Struktur informasi kinerja mengikuti struktur organisasi karena masalah akuntabilitas menjadi dasar utama dalam pengelolaan. Ketumpangtindihan
19
program antar kementerian diupayakan dieliminasi. Pengalaman yang menunjukkan usaha untuk menampilkan kinerja yang independen dari struktur organisasi belum menghasilkan prestasi yang optimal. c. Indikator-indikator kinerja memiliki makna apa buat publik? Bagaimana publik mendapatkan manfaat penggunaan indikator kinerja kementerian? Bagaimana mekanisme perencanaan kegiatan pada masingmasing kementerian? Pertanyaanpertanyaan ini merupakan perwujudan skeptisme mengenai reformasi finansial publik. d. Urgensi untuk mengintegrasikan inisiasi reformasi sudah menjadi sebuah prioritas utama. Reformasi menjanjikan sebuah ekspektasi yang berlebihan. Namun demikian, tiga pilar utama yaitu PT, PBK, dan KPJM diharapkan diintegrasikan dengan inisiasi reformasi lain misalnya reformasi birokratis, sistem integritas, reformasi pembangunan nasional dan reformasi anggaran. Presiden harus mendukung institusi dalam melaksanana PBK. Selain itu, kami menyajikan pula catatan pihak internal Pemerintah dalam hal ini perencana an anggaran yang berada di Direktorat Jenderal Anggaran terutama Direktorat Sistem Penganggaran. Dua isu terpenting dalam proses penyusunan APBN – menurut Hadisudarmo (2013)- adalah: pertama, bias dalam pola alokasi anggaran sehingga alokasi pada sasaran kebijakan prioritas menjadi tidak optimal. Setiap tahun pemerintah menyusun RKP yang memiliki tema prioritas masing-masing tahun. Walaupun demikian dalam kenyataannya, tidak terintegrasinya pola alokasi serta beragam dan terpisahnya dokumen alokasi menurut kelompok Tugas Pokok dan Fungsi (Tusi) K/L, Kebijakan Prioritas Presiden, dan Pemenuhan Kewajiban Pemerintah Pusat. Bias kebijakan alokasi juga dikarenakan belum adanya usaha memadukan rencana kerja yang terpisah-pisah ke dalam satu dokumen perencanaan yang komprehensif. Sehingga anggaran dapat dialokasikan berdasarkan analisis kebutuhan dan prioritas anggaran yang rasional. Faktor bias dalam kebijakan alokasi juga karena posisi dilematis Pemerintah dalam proses penetapan anggaran. Sebagaimana diakui, saat ini terkesan demi kelancaran proses persetujuan anggaran, Pemerintah “rela”
melakukan politik akomodasi usulan penambahan postur anggaran dengan kebijakan alokasi berdasarkan kriteria khusus dimana sesuai ketentuan UU, tidak ada kewajiban selalu mengakomodasi. Mengapa dilemma politik akomodasi Pemerintah terhadap penambahan postur anggaran terjadi? Hal ini disebabkan belum adanya aturan pelaksanaan dari amanat konstitusi Pasar 23 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal 15 ayat 6 UU Keuangan Negara. Kebijakan alternative penetapan anggaran dalam hal Rancangan APBN tidak disetujui. Disamping itu, adanya ketentuan hukum yang dapat ditafsirnya banyak seperti ketentuan Pasal 15 ayat 5 UU Keuangan Negara dan Pasal 96 ayat 2c UU No 27/2009 tentang DPR, DPD dan DPRD (MD3). Isu kedua yaitu belum solidnya penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja yang diindikasi antara lain dari hal-hal berikut: 1.
Struktur rencana kerja dan mekanisme penyusunannya yang belum sepenuhnya terpadu mengakibatkan tidak adanya satu dokumen perencanaan yang holistik berfungsi sebagai acuan dan alat analisis kebijakan alokasi anggaran. 2. Informasi kinerja dalam RKP dan RKAKL/DIPA belum sepernuhnya berfungsi sebagai alat ukur capaian kinerja yang efektif, dan belum dapat dimonitor, dinilai, dan dievaluasi secara terukur dan transparan. Hal ini disebakan karena arsitektur informasi kinerja belum berdasarkan model hubungan logis (logic framework model) anatara dampak positif yang diinginkan dengan hasil atau perubahan yang diharapkan dari tercapainya sasaran program K/L. 3. Penggunaan KPJM sebagai alat kebijakan untuk menjamin terwujudnya perencanaan anggaran yang berkelanjutan dan prakiraan maju sebagai dasar perhitungan alokasi anggaran tahhunan belum efektif. Disamping ketiga indikasi belum solidnya penerapan sistem PBK, reformasi perencanan dan penganggaran memerlukan kesamaan persepsi antara pemangku kepentingan baik dari Pemerintah (K/L) seperti Kementerian Keuangan dan Bappenas yang lebih berperan sebagai policy advice Ministries serta Kementerian/Lembaga lainnya sebagai spending Ministries. Setelah penerapan PBK diharapkan fleksibilitas pengguna anggaran di K/L menjadi lebih tinggi dan orientasi pada hasil (outcome)
20
sehingga mempermudah pengawasan setelah pelaksanaan anggaran.
b.
c. d. Bagian 3 Metodologi Empiris 3.1.
e.
Pertanyaan Empiris
Empat pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui penelitian kebijakan ini sebagai berikut: 1) Bagaimana kerangka kerja pelaksanaan anggaran berbasis kinerja di Indonesia? 2) Apakah implementasi PBK di Kementerian sudah sejalan dengan kerangka kerja pelaksanaan PBK? 3) Apakah ada korelasi antara pelaksanaan anggaran berbasis kinerja dan kinerja Kementerian? 4) Apakah ada perbedaan pada kementerian yang menjadi pilot project dan non-pilot project? Pertanyaan penelitian 1 dan 2 memerlukan pengumpulan data melalui studi dokumen dan wawancara mendalam kepada narasumber, peneliti menyajikan jawaban pertanyaan 1 dan 2 pada Bagian 2 Makalah Kebijakan ini. Adapun pertanyaan 3 dan 4 memerlukan data kuantitatif melaui survei kepada responden yang berasal dari K/L yang menjadi sampel. Kerangka kerja pelaksanaan anggaran berbasis kinerja menjaid tujuan kebijakan yang diinginkan Pemerintah untuk dicapai oleh seluruh K/L (desired policy objective). Unit analisis dalam survei K/L adalah individu yang bekerja dalam perencanaan anggaran dan pelaksanaannya pada Kementerian yang dipilih sebagai sampel. Daftar kementerian memiliki informasi yang cukup untuk dijadikan pilihan sample, khususnya Kabinet Bersatu Kedua yang dilantik pada 22 Oktober 2009. Penelitian menggunakan nonprobability sampling melalui purposive sampling dalam memilih masingmasing kementerian. Sampel yang dipilih adalah: a. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional dipilih karena berperan dalam perencanaan pembangunan.
f.
3.2.
Kementerian Keuangan dipilih karena perannya dalam mengelola dan mengoordinasi anggaran negara dan keuangan publik. Kementerian Pendidikan dipilih karena memiliki alokasi anggaran negera sebesar 20%. Kementerian Kehakiman dan HAM dipilih karena perannya dalam pelayanan publik dan penegakan hukum. Kementerian Perhubungan berkaitan dengan pelayanannya pada publik. Kementerian Sosial berkaitan dengan pelayanannya pada publik.
Model Dasar
Untuk menjawab pertanyaan empiris ke-3, dipergunakan model regresi sebagai berikut: 𝐸𝑓𝑓𝑖𝑐𝑖𝑒𝑛𝑐𝑦 = 𝑓( 𝑄𝑢𝑎𝑙𝑖𝑡𝑦 𝑜𝑓 𝐼𝑚𝑝𝑙𝑒𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑜𝑓 𝑝𝑒𝑟𝑓𝑜𝑟𝑚𝑎𝑛𝑐𝑒 𝑏𝑢𝑑𝑔𝑒𝑡𝑖𝑛𝑔) ……… (1) 𝐸𝑓𝑓𝑒𝑐𝑡𝑖𝑣𝑒𝑛𝑒𝑠𝑠 = 𝑓 (𝑄𝑢𝑎𝑙𝑖𝑡𝑦 𝑜𝑓 𝐼𝑚𝑝𝑙𝑒𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑜𝑓 𝑝𝑒𝑟𝑓𝑜𝑟𝑚𝑎𝑛𝑐𝑒 𝑏𝑢𝑑𝑔𝑒𝑡𝑖𝑛𝑔) ….. (2) 𝐴𝑐𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡𝑎𝑏𝑙𝑖𝑡𝑦 = 𝑓 (𝑄𝑢𝑎𝑙𝑖𝑡𝑦 𝑜𝑓 𝐼𝑚𝑝𝑙𝑒𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑜𝑓 𝑝𝑒𝑟𝑓𝑜𝑟𝑚𝑎𝑛𝑐𝑒 𝑏𝑢𝑑𝑔𝑒𝑡𝑖𝑛𝑔) ….. (3) Sedangkan kualitas implementasi PBK sebagaimana diinginkan oleh Pemeintah melalui Petunjuk Teknis Pelaksanaan PBK dalam SEB Kemenkeu dan Bappenas (2009) terdiri dari serangkaian aktivitas sebagai berikut: 1) Sosialisasi dan Pelatihan tentang PBK. 2) Pengembangan Rencana Strategis K/L. 3) Pengembangan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM). 4) Restrukturisasi Program 5) Implementasi Format Baru 6) Perbaikan sistem pembiayaan (costing system) 7) Pengembangan Sistem Reviu Kinerja
21
3.2.1.
Pengukuran Kinerja Variabel Terikat
sebagai
Elemen indikator kinerja berdasarkan Surat Edaran Bersama dari Menteri Keuangan dan Bappenas pada Juni 2009 sebagai petunjuk teknis pelaksanaan UU 17/2003 yang terbaru dan aplikatif. Terdapat tiga pengukuran kinerja sebagai berikut: 1. 2. 3.
Efisiensi Keefektivan Akuntabilitas
Pengukuran indikator masing-masing elemen belum dikembangkan. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengembangan indikator berdasarkan literatur PBK yang dilakukan dengan wawancara mendalam oleh beberapa ahli pakar. Indikator menggunakan tipe data perseptual. Skala pengukuran menggunakan skala pengukuran mirip Likert, namun dengan adanya modifikasi. 1= tidak mengetahui; 2=sangat tidak setuju; 3=tidak setuju; 4=setuju; 5=sangat setuju6=tidak mengerjakan Kuesioner dilampirkan pada bagian akhir laporan ini. Prosedur statistik yang dipergunakan untuk memperoleh apakah terdapat pengaruh antara kualitas pelaksanaan anggaran berbasis kinerja dan kinerja Kementerian dengan uji F-statistik, Koefisien Determinasi dan t-statistik.
3.3.
3.2.2.
Pengukuran Kualitas Implementasi PBK sebagai Variabel Bebas
Elemen indikator didasarkan pada Surat Edaran Bersama dari Menteri Keuangan dan Bappenas pada Juni 2009 sebagai cara untuk melaksanakan Undang-Undang 17/2003. Ada sembilan elemen yang dijadikan variabel dalam penelitian untuk menganalisis korelasinya dengan kinerja pada kementerian. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sosialisasi dan pelatihan Perencanaan strategis Implementasi format baru Program restrukturisasi Kerja pengeluaran jangka menengah Sistem evaluasi kinerja
Pengukuran indikator masing-masing elemen belum dikembangkan. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengembangan indikator berdasarkan literatur PBK yang dilakukan dengan wawancara mendalam oleh beberapa ahli pakar. Indikator menggunakan tipe data perseptual. Skala pengukuran menggunakan skala pengukuran mirip Likert, namun dengan adanya modifikasi.
Variabel, Dimensi dan Indikator Untuk menjelaskan break-down dari variabel yang diukur , dimensi serta indikator yang ditanyakan kepada responden disajikan sebagai berikut:
22
23
24
Bagian 4 Hasil Penelitian Empiris dan Analisis 4.1.
Temuan Survei
Untuk memahami implementasi PBK, pelaksanaan survei diawali dengan melakukan audiensi pada kementerian untuk menjelaskan tujuan melakukan survei. Survei dilakukan dengan cara menyebar kuesioner. Dalam menyebarkan kuesioner, peneliti ikut serta membantu dalam menjelaskan cara mengisi agar memudahkan responden untuk mengisi. Beberapa pertanyaan diajukan karena responden membutuhkan pemahaman lebih lanjut mengenai makna pertanyaan. Durasi pengisian kuesioner kurang lebih sekitar 20 menit. Tabel 4. deskriptif berikut ini secara umum menyatakan persepsi para responden terhadap pelaksanaan PBK. Semua responden memberikan jawaban setuju pada semua pernyataan kuesioner. Kisaran skor adalah 2 sampai 5. Skor 2 menunjukkan sangat tidak setuju; 3 tidak setuju; 4 setuju dan 5 sangat setuju. Rerata partisipan menyampaikan argumen bahwa mereka memberikan kesepakatan mengenai pemahaman pelaksanaan PBK pada tahapan sikap atau persepsi. Hasil juga menunjukkan bahwa secara umum, partisipan penelitian mengetahui manfaat pelaksanaan anggaran berbasis kinerja sehingga pada tahap tertentu mampu meningkatkan efisiensi, keefektifan, dan akuntabilitas. Tabel 4. Koefisien Mean No 1 2
Variabel Rerata Sosialisasi 3,9007 Perencanaan 4,0782 Strategis 3 Penggunaan 3,8871 Format Baru 4 Restrukturisasi 4,0700 5 KPJM 3,9235 6 Sistem Biaya 4,1179 7 Evaluasi 3,9201 8 Efisiensi 3,7308 9 Keefektifan 4,0340 10 Akuntabilitas 3,8503 Sumber: Pengolahan Data PPPI (2013)
Pernyataan masing-masing responden mengenai pelaksanaan PBK secara lebih detail menunjukkan variasi jawaban responden. Meskipun koefisien mean atau rerata menunjukkan hampir sebagian responden menunjukkan pernyataan setuju pada setiap indikator dalam PBK, data mengenai jumlah persentase jawaban responden yang mengatakan tidak setuju mengenai pelaksanaan PBK cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua individu yang menjadi responden dari masing-masing kementerian menyatakan setuju dalam setiap pelaksanaan PBK. Keseluruhan 147 responden dalam penelitian ini memberikan jawaban berkisar antara sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Berkaitan dengan aspek sosialisasi PBK, sebanyak 16,3% responden menyatakan bahwa unit kerja tidak menetapkan seluruh proses PBK pada program atau kegiatan yang direncanakan. 25% responden menyatakan bahwa unit kerja dalam kementerian belum menerapkan PBK yang sejalan dengan teori dalam sosialisasi dan pelaksanaan. Perencanaan strategis juga menjadi aspek dalam penentu pelaksanaan PBK. Sebanyak 8%, unit kerja dalam kementerian tidak mengetahui renstra dari kementerian tempat responden bekerja bekerja. Sebanyak 15% responden berpendapat bahwa unit kerja dalam kementerian tidak mengidentifikasi kebutuhan pemangku kepentingan dalam penyusunan anggaran. Berkaitan dengan penggunaan format baru, sebanyak 16,3% responden berpendapat bahwa penyusunan format RKA-KL terbaru belum mencerminkan PBK. 15,3% responden menyatakan bahwa penyusunan RKA-KL belum memperhatikan KPJM serta 15,6% responden berpendapat bahwa penyusunan RKA-KL belum mengadopsi indikator kinerja utama untuk program. Restrukturisasi program diharapkan dapat memangkas kegiatan yang tidak memberikan implikasi positif pada kebutuhan masyarakat. Sebanyak 14,9% responden menyatakan bahwa setelah restrukturisasi program belum memiliki keterkaitan yang jelas antara program dan sasaran nasional. Selain itu, 10,8% responden juga berpendapat bahwa, dalam menyusun anggaran, unit kerja dalam kementeriannya belum menetapkan dampak yang diharapkan dari kegiatan yang diajukan.
25
KPJM diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan dana pada beberapa tahun ke depan agar bisa optimal dalam pelaksanaannya. Secara lebih detail, indikator-indikator dalam KPJM banyak memberikan informasi mengenai ketidaksepakatan jawaban responden terhadap pernyataan kuesioner. Sebanyak 15,6% responden berpendapat bahwa penyusunan anggaran di Unit Kerja kementerian belum memperhitungkan kebutuhan pendanaan dalam jangka waktu tiga tahun ke depan. Sebanyak 17,6% responden berpendapat bahwa, Unit Kerja kementerian belum mengajukan estimasi kebutuhan anggaran tiga tahun kepada Kementerian. Sebanyak 15,6% responden menyatakan bahwa dalam penyusunan anggaran Unit Kerja, belum pernah mengajukan usul tambahan anggaran untuk inisiatif baru. Sebanyak 14,2% responden berpendapat bahwa, unit kerja kementerian belum melakukan penyesuaian angka dasar dengan parameter ekonomi dalam penyusunan anggaran. Selain itu, sebanyak 17,6% responden berpendapat bahwa unit kerja kementerian belum melakukan penyesuaian angka dasar dengan parameter non-ekonomi dalam menyusun anggaran. Berkaitan dengan sistem pembiayaan, 20% responden menyatakan bahwa unit kerja belum menggunakan sistem pembiayaan berbasis input (input based costing) sekarang ini. Evaluasi atau review kegiatan sebagai bagian dari PBK juga penting dilakukan untuk memastikan pencapaian kinerja dengan baik. Hal ini perlu diupayakan agar menunjang pelaksanaan PBK berjalan dengan lancar. Namun, menurut 19,7% responden menyatakan bahwa unit kerja belum melakukan evaluasi pencapaian outcome anggaran dan unit kerja belum menggunakan hasil evaluasi sebagai umpan balik untuk perbaikan kinerja secara berkelanjutan. Kinerja yang dioperasionalisasikan ke dalam bentuk efisiensi, keefektifan, dan akuntabilitas memberikan informasi menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Indikator-indikator berkaitan dengan ketiga aspek kinerja tersebut, menunjukkan bahwa kinerja dalam masing-
masing kementerian belum sepenuhnya bisa dicapai dengan optimal. Terkait dengan aspek efisiensi, sebanyak 13,6% responden menyatakan bahwa biaya program yang dianggarkan belum mencapai outcome yang ditetapkan dalam perencanaan. Sejalan dengan hal tersebut, 29,9% responden menyatakan bahwa untuk kegiatan dengan biaya yang dianggarkan tetap seperti tahun sebelumnya, belum mampu menghasilkan kenaikan output. Sebanyak 27,8% responden menyatakan bahwa unit kerja belum membandingkan biaya dengan unit kerja lain pada kegiatan yang sejenis. Sebanyak 38% responden juga menyatakan bahwa, untuk kegiatan dengan biaya yang dianggarkan tetap seperti tahun sebelumnya, belum mampu menghasilkan kenaikan output Informasi paling menarik mengenai pernyataan efisiensi adalah 57,8% responden menyatakan bahwa untuk kegiatan dengan biaya yang dianggarkan turun dari tahun sebelumnya, ternyata belum mampu menghasilkan kenaikan output. Selain efisiensi sebagai ukuran kinerja, aspek keefektifan juga menjadi ukuran kinerja yang sama penting. Sebanyak 18,3% responden berpendapat bahwa unit kerja belum mampu merealisasikan semua rencana kegiatan yang terdapat dalam anggaran dan sebanyak 9% responden berpendapat bahwa kegiatan yang dilaksanakan belum dapat menghasilkan pelayanan publik yang berkualitas. Berkaitan dengan aspek akuntabilitas sebagai aspek tanggung jawab pelaksanaan PBK, sebanyak 13,6% unit kerja belum mengadopsi masukan-masukan dari Musyawarah Rencana Pembangunan dalam melakukan prioritasi kegiatan. Selain itu, sebanyak 9% responden menyatakan bahwa setiap program yang telah dilaksanakan, belum dievaluasi secara berkala oleh auditor eksternal dan sebanyak 10,2% responden menyatakan bahwa unit kerja belum menggunakan evaluasi kinerja untuk mengetahui konsistensi perencanaan dan implementasi.
26
Tabel 5. Persentasi Setuju dan Tidak Setuju No
1
2
3
4
5
Variabel
Sosialisasi
Renstra
Format Baru
Restrukturisasi Program & Kegiatan
KPJM
6
Sistem Pembiayaan
7
Review
Indikator
Unit kerja saya menetapkan seluruh proses penerapan berbasis kinerja pada program/kegiatan yang direncanakan. Unit kerja saya melaksanakan mekanisme anggaran berbasis kinerja pada program/kegatan. Unit kerja saya telah menerapkan PBK sejalan dengan teori dalam sosialisasi dan pelaksanaan. Unit kerja saya mengetahui renstra dari kementerian di mana saya bekerja. Unit kerja saya mengidentifikasi kebutuhan pemangku kepentingan dalam penyusunan anggaran. Unit kerja saya melibatkan pihak ketiga dalam penyusunan RKA-KL. Penyusunan format RKA-KL terbaru sudah mencerminkan PBK. Penyusunan RKA-KL sudah memperhatikan KPJM. Penyusunan RKA-KL sudah mengadopsi indikator kinerja utama untuk program. Setelah restrukturisasi program memiliki keterkaitan yang jelas antara program dan sasaran nasional. Dalam menyusun anggaran, unit kerja saya menetapkan dampak yang diharapkan dari kegiatan yang diajukan. Penyusunan anggaran di Unit Kerja saya memperhitungkan kebutuhan pendanaan dalam jangka waktu tiga tahun ke depan. Unit Kerja saya mengajukan estimasi kebutuhan anggaran tiga tahun kepada Kementerian. Dalam penyusunan anggaran Unit Kerja saya pernah mengajukan usul tambahan anggaran untuk inisiatif baru. Unit kerja saya melakukan penyesuaian angka dasar dengan parameter ekonomi dalam penyusunan anggaran. Unit kerja saya melakukan penyesuaian angka dasar dengan parameter nonekonomi dalam menyusun anggaran. Unit kerja saya menggunakan sistem pembiayaan berbasis input (input based costing) sekarang ini. Unit kerja saya telah melakukan evaluasi pencapaian outcome anggaran. Unit kerja saya telah menggunakan hasil
Jumlah Responden yang Sangat Tidak Setuju & Tidak Setuju 24
Persentase Sangat Tidak Setuju & Tidak Setuju
18
12,2%
38
25%
13
8%
22
15%
72
49%
19
16,3%
23
15,6%
21
15,6%
22
14,9%
16
10,8%
23
15,6%
26
17,6%
23
15,6%
21
14,2%
26
17,6%
30
20%
29
19,7%
21
14,2%
16,3%
27
No
8
9
10
Variabel
Efisiensi
Keefektifan
Akuntabilitas
Indikator
evaluasi sebagai umpan balik untuk perbaikan kinerja secara berkelanjutan. Biaya program yang dianggarkan dapat mencapai outcome yang ditetapkan dalam perencanaan. Untuk kegiatan dengan biaya yang dianggarkan tetap seperti tahun sebelumnya, mampu menghasilkan kenaikan output. Unit kerja saya membandingkan biaya dengan unit kerja lain pada kegiatan yang sejenis. Untuk kegiatan dengan biaya yang dianggarkan tetap seperti tahun sebelumnya, mampu menghasilkan kenaikan output Untuk kegiatan dengan biaya yang dianggarkan turun dari tahun sebelumnya, ternyata mampu menghasilkan kenaikan output. Unit Kerja saya mampu merealisasikan semua rencana kegiatan yang terdapat dalam anggaran. Kegiatan yang dilaksanakan dapat menghasilkan pelayanan publik yang berkualitas. Unit kerja saya mengadopsi masukanmasukan dari Musyawarah Rencana Pembangunan dalam melakukan prioritasi kegiatan. Setiap program yang telah dilaksanakan, telah dievaluasi secara berkala oleh auditor eksternal. Unit kerja saya telah menggunakan evaluasi kinerja untuk mengetahui konsistensi perencanaan dan implementasi. Sumber: Pengolahan Data PPPI (2013)
4.2. Korelasi antara Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja dan Kinerja Kementerian 4.2.1.
Jumlah Responden yang Sangat Tidak Setuju & Tidak Setuju
Uji Validitas
Sebelum melakukan analisis korelasi, analisis validitas dilakukan dalam penelitian ini dengan menggunakan exploratory factor analysis. Tujuan analisis validitas ini adalah untuk menguji masing-masing indikator memiliki korelasi kuat antar indikator dan mampu mengukur konsep yang akan diukur.
Persentase Sangat Tidak Setuju & Tidak Setuju
20
13,6%
44
29,9%
41
27,8%
56
38%
85
57,8%
27
18,3%
14
9%
20
13,6%
14
9%
15
10,2%
Pengukuran indikator-indikator ini belum memiliki pengukuran yang standard. Pengembangan indikator diperoleh dari hasil tinjauan pustaka dan wawancara dengan para ahli. Berdasarkan hasil uji validitas beberapa indikator setiap variabel tidak valid. Cut off dalam menentukan indikator dikatakan valid atau tidak adalah 0,03 (Hair et al., 2010). Indikator dengan angka tebal menunjukkan koefisien yang valid. Indikator yang tidak valid tidak digunakan lebih lanjut dalam analisis selanjutnya.
28
N o
Tabel 6. Uji Validitas N o 1
Variabel
Indikator
Sosialiasi
2
Renstra
sosial1 sosial2 sosial3 sosial4 sosial5 sosial6 renstra1 renstra2 renstra3 renstra4 renstra5 renstra6 renstra7 renstra8 renstra9 renstra1 0 renstra1 1 renstra1 2 format1 format2 format3 format4 format5 format6 restruktu r1 restruktu r2 restruktu r3 restruktu r4 restruktu r5 restruktu r6 restruktu r7 restruktu r8 restruktu r9
3
Format Baru
4
Restrukturis asi Program
5
KPJM
kpjm1 kpjm2 kpjm3
Koefisi en 0,155 0,366 0,346 0,774 0,777 0,631 0,360 0,518 0,801 0,750 0,841 0,852 0,401 0,096 0,449 0,672 0,441 0,185 0,614 0,781 0,618 0,634 0,263 0,717 0,342 0,412 0,206 0,467 0,713 0,626 0,638 0,531 0,238 0,735 0,309 0,657
Koefisi en kpjm4 0,348 kpjm5 -0,094 kpjm6 0,211 kpjm7 0,211 6 Sistem cost1 0,762 Biaya cost2 0,769 cost3 0,507 cost4 0,225 cost5 0,123 cost6 0,117 cost7 0,180 7 Evaluasi review1 0,235 review2 0,194 review3 0,522 review4 0,501 review5 0,492 review6 0,422 Sumber: Pengolahan Data PPPI (2013)
4.2.2.
Variabel
Indikator
Uji Reliabilitas
Hasil uji validitas dengan Cronbach Alpha menunjukkan bahwa masing-masing variabel dalam Surat Edaran Bersama memiliki koefisien lebih dari 0,07. Hal ini menunjukkan bahwa para responden penelitian yang melakukan pengisian kuesioner terbukti konsisten dalam menjawab setiap pertanyaan dalam kuesioner. Hasil pengujian reliabilitas variabel dalam penelitian sangat ditentukan oleh aspek situasional ketika responden mengisi kuesioner. Adapun strategi yang dilakukan dalam penelitian untuk mendukung uji reliabilitas yang baik sebagai berikut. 1) Dalam menyebarkan kuesioner, peneliti ikut turut serta menyebarkan kuesioner. Sebelum menyebarkan kuesioner, peneliti melakukan audiensi dengan para individu di setiap kementerian. Dengan demikian, informasi awal mengenai tujuan penelitian disampaikan dengan baik kepada para individu yang memiliki wewenang di masing-masing biro atau kementerian. 2) Sesudah melakukan audiensi, peneliti melakukan penyebaran kuesioner. Pada beberapa penyebaran kuesioner, peneliti diberikan kesempatan untuk menyebarkan kuesioner pada
29
waktu dan tempat yang telah disediakan oleh para individu di setiap kementerian. Peneliti menunggu pengisian kuesioner sekaligus memberikan penjelasan pengisian kuesioner apabila responden merasa kesulitan. Di samping itu, peneliti juga menitipkan kuesioner kepada individu yang sudah hadir pada audiensi. Tabel 7. Uji Reliabilitas N o 1 2
Variabel
Cronbac h Alpha 0,817 0,844
Sosialisasi Perencanaan Strategis 3 Penggunaan 0,901 Format Baru 4 Restrukturisas 0,887 i 5 KPJM 0,834 6 Sistem Biaya 0,750 7 Evaluasi 0,797 8 Efisiensi 0,789 9 Keefektifan 0,787 10 Akuntabilitas 0,805 Sumber: Pengolahan Data PPPI (2013)
4.2.3.
Analisis Secara Keseluruhan
Analisis data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa masing-masing individu memberikan pernyataan secara persepsional. Artinya, bahwa setiap individu sebagai responden memiliki keyakinan bahwa masing-masing variabel yang ada dalam Surat Edaran Bersama diyakini mampu menunjukkan korelasi atau pengaruh pada variabel kinerja yang terdiri atas efisiensi, keefektifan dan akuntabilitas. Meskipun dalam data deskriptif yang berupa persentase responden mengatakan tidak setuju terhadap sejumlah indikator dalam kuesioner, penjelasan berikut ini merupakan analisis bahwa masingmasing variabel diyakini mampu memberikan korelasi pada pencapaian masing-masing kinerja. Apabila masing-masing indikator dijalankan dengan baik dalam pelaksanaannya, maka kinerja yang akan dicapai benar-benar akan optimal tidak hanya pada tataran perseptual, namun juga dalam tataran realita yang ada.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar 9,091 dan nilai signifikansi (pvalue) sebesar 0,000, dengan menggunakan derajat signifikansi sebesar 10% (α = 0,1). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel sosialisasi, perencanaan strategis, penggunaan format baru, restrukturisasi program, KPJM, sistem biaya, evaluasi kinerja berkorelasi atau berpengaruh signifikan terhadap variabel efisien sebagai kinerja. Variabel-variabel dalam Surat Edaran Bersama dianggap oleh responden mampu memiliki korelasi atau pengaruh pada efisiensi sebagai variabel dependen secara bersama-sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar 19,151 dan nilai signifikansi (pvalue) sebesar 0,000, dengan menggunakan derajat signifikansi sebesar 10% (α = 0,1). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel sosialisasi, perencanaan strategis, penggunaan format baru, restrukturisasi program, KPJM, sistem biaya, evaluasi kinerja berkorelasi atau berpengaruh signifikan terhadap variabel keefektifan sebagai kinerja. Variabel-variabel dalam Surat Edaran Bersama dianggap oleh responden mampu memiliki korelasi atau pengaruh pada keefektifan sebagai variabel dependen secara bersama-sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar 7,428 dan nilai signifikansi (pvalue) sebesar 0,000, dengan menggunakan derajat signifikansi sebesar 10% (α = 0,1). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel sosialisasi, perencanaan strategis, penggunaan format baru, restrukturisasi program, KPJM, sistem biaya, evaluasi kinerja berkorelasi atau berpengaruh signifikan terhadap variabel akuntabilitas sebagai kinerja. Variabel-variabel dalam Surat Edaran Bersama dianggap oleh responden mampu memiliki korelasi atau pengaruh pada akuntabilitas sebagai variabel dependen secara bersamasama.
30
4.2.4.
4.2.4.1.
Analisis Variabel dalam Surat Edaran Bersama terhadap Kinerja Analisis R2
4.2.4.2. Analisis Variabel Hasil analisis R2 menunjukkan koefisien sebesar 0,314. Hal ini menunjukkan proporsi variabel Analisis per variabel ini menunjukkan informasi efisiensi sebagai variabel dependen mampu mengenai persepsi responden terhadap dijelaskan oleh variabel sosialisasi, perencanaan pernyataan dalam kuesioner. Masing-masing strategis, penggunaan format baru, variabel dipersepsi memiliki korelasi terhadap restrukturisasi program, KPJM, sistem biaya, kinerja efisiensi. evaluasi kinerja sebesar 31,4%. 68,6% variabel efisiensi dalam kinerja dipengaruhi oleh faktorfaktor lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini. Tabel 8. Hasil Regresi Kinerja Efisiensi No
1 2 3 4 5 6 7
Variabel
Sosialisasi* Perencanaan Strategis Format Baru Restrukturisasi* KPJM Standar Biaya* Evaluasi
Unstandardized
0,143 -0,120
Koefisien t
Partial Correlation
0,074 0,260
0,151 -0,096
0,053 0,729 0,467 0,203 2,039 0,043 0,159 1,614 0,109 0,195 2,350 0,020 -0,014 -0,161 0,872 Sumber: Pengolahan Data PPPI (2013)
0,062 0,170 0,136 0,195 -0,014
Variabel sosialisasi memiliki korelasi positif terhadap variabel efisiensi dengan koefisien sebesar 0,151 dan nilai signifikansi sebesar 0,074 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 1,803 menunjukkan pengaruh positif variabel sosialisasi terhadap variabel efisiensi secara signifikan. Sosialisasi berkaitan dengan anggaran berbasis kinerja dan merupakan suatu nilai kerja bagi karyawan baru dan karyawan yang lama untuk mempelajari penerapan anggaran berbasis kinerja yang dipersepsi penting untuk untuk menjelaskan perubahan dan manfaat dalam penerapan anggaran. Sosialisasi ini berkaitan dengan cara, prosedur, evaluasi anggaran agar mencapai efisiensi pelaksanaan, keefektifan kerja dan tanggung jawab terhadap penggunaan anggaran. Variabel perencanaan strategis memiliki korelasi negatif terhadap variabel efisiensi dengan koefisien sebesar -0,096 dan nilai signifikansi sebesar 0,260 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar -1,132 menunjukkan pengaruh negatif variabel perencanaan strategis
1,803 -1,132
Signifikansi
terhadap signifikan.
variabel efisiensi namun tidak
Variabel format baru memiliki korelasi positif terhadap variabel efisiensi dengan koefisien sebesar 0,062 dan nilai signifikansi sebesar 0,467. dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 0,729 menunjukkan pengaruh positif variabel format baru terhadap variabel efisiensi namun tidak signifikan. Variabel restrukturisasi program memiliki korelasi positif terhadap variabel efisiensi dengan koefisien sebesar 0,170 dan nilai signifikansi sebesar 0,043 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 2,039 menunjukkan pengaruh positif variabel restrukturisasi terhadap variabel efisiensi secara signifikan. Program restrukturisasi merupakan bentuk keterkaitan antara program dan arahan institusi/kementerian. Dalam merumuskan program, prioritas program dipertimbangkan sehingga diharapkan dapat menghemat biaya yang dikeluarkan dan tercipta efisiensi biaya.
31
Jika ada keterbatasan anggaran, program yang relatif kurang penting bisa ditunda. Alokasi anggaran diutamakan pada program yang diprioritaskan. Target yang ditentukan dalam tahun berjalan harus diinisiasi oleh setiap lapisan eselon. Dalam program restrukturisasi, tahapan selanjutnya adalah memeriksa secara detail mengenai ketersediaan anggaran. Semua program dipertimbangkan berdasarkan tingkat kepentingan dan “urgency”. Program variabel KPJM terhadap variabel efisiensi namun tidak signifikan.
ditampilkan dalam bentuk aktivitas, subaktivitas, prioritas, alokasi, dan kuantitas secara lebih terperinci. Variabel KPJM memiliki korelasi positif terhadap variabel efisiensi dengan koefisien sebesar 0,136 dan nilai signifikansi sebesar 0,109 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 1,614 menunjukkan pengaruh positif variabel evaluasi terhadap variabel efisiensi namun tidak signifikan.
Variabel standar biaya memiliki korelasi positif terhadap variabel efisiensi dengan koefisien sebesar 0,195 dan nilai signifikansi sebesar 0,020 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 2,350 menunjukkan pengaruh positif variabel standar biaya terhadap variabel efisiensi secara signifikan. Mengenai penerapan sistem biaya, di Indonesia tidak seperti dengan negara-negara OECD yang tidak menggunakan sistem biaya sebagai mekanisme penghubung. Namun kasus di Indonesia, sistem biaya (refinement cost) dipersepsi memiliki peran penting dalam penyusunan anggaran pada setiap kementerian. Pemerintah sudah menentukan sistem biaya sebagai alat untuk mengukur efisiensi selama dalam transisi dari anggaran berbasis input ke anggaran berbasis output. Selain sistem biaya berperan sebagai dalam alat ukur efisiensi, sistem biaya juga dipersepsi berperan sebagai standar pengukuran perbandingan input dan output.
4.2.5.
Analisis Variabel dalam Surat Edaran Bersama terhadap Kinerja Keefektifan
4.2.5.1.
Analisis R2
Hasil analisis R2 menunjukkan koefisien sebesar 0,491. Hal ini menunjukkan proporsi variabel keefektifan sebagai variabel dependen mampu dijelaskan oleh variabel sosialisasi, perencanaan strategis, penggunaan format baru, restrukturisasi program, KPJM, sistem biaya, evaluasi kinerja sebesar 49,1%. 50,9% variabel keefektifan dalam kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini. 4.2.5.2. Analisis Variabel
Analisis per variabel ini menunjukkan informasi Variabel evaluasi memiliki korelasi negatif mengenai persepsi responden terhadap terhadap variabel efisiensi dengan koefisien pernyataan dalam kuesioner. Masing-masing sebesar -0,014 dan nilai signifikansi sebesar variabel dipersepsi memiliki korelasi terhadap 0,872 dengan α 10%. Koefisien t hitung kinerja keefektifan. sebesar -0,161 menunjukkan pengaruh negatif Tabel 9. Hasil Regresi Kinerja Keefektifan No
1 2 3 4 5 6 7
Variabel
Sosialisasi* Perencanaan Strategis* Format Baru Restrukturisasi KPJM* Standar Biaya Evaluasi*
Unstandardized
0,099 0,153
Koefisien t
1,752 2,036
Signifikansi
0,082 0,044
-0,015 -0,297 0,767 0,071 1,013 0,313 0,177 2,533 0,012 0,036 0,605 0,546 0,214 3,545 0,580 Sumber: Pengolahan Data PPPI (2013)
Partial Correlation
0,147 0,170 -0,025 0,086 0,210 0,051 0,288
32
Variabel sosialisasi memiliki korelasi positif terhadap variabel keefektifan dengan koefisien sebesar 0,147 dan nilai signifikansi sebesar 0,082 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 1,752 menunjukkan pengaruh positif variabel sosialisasi terhadap variabel keefektifan secara signifikan.
dengan koefisien sebesar 0,170 dan nilai signifikansi sebesar 0,044 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 2,036 menunjukkan pengaruh positif variabel perencanaan strategis terhadap variabel keefektifan secara signifikan. Variabel format baru memiliki korelasi negatif terhadap variabel keefektifan dengan koefisien
Variabel perencanaan strategis memiliki korelasi positif terhadap variabel keefektifan sebesar -0,025 dan nilai signifikansi sebesar 0,767 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar -0,297 menunjukkan pengaruh negatif variabel format baru terhadap variabel keefektifan namun tidak signifikan. Variabel restrukturisasi memiliki korelasi positif terhadap variabel keefektifan dengan koefisien sebesar 0,086 dan nilai signifikansi sebesar 0,313 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 1,013 menunjukkan pengaruh positif variabel restrukturisasi terhadap variabel keefektifan namun tidak signifikan. Secara teoretis, isu pencapaian kinerja keefektifan berkaitan dengan restrukturisasi program, namun kenyataannya, restrukturisasi program tidak memiliki korelasi dengan kinerja keefektifan. Sebenarnya, restrukturisasi program sudah selesai 2010. Selain itu, variabel perencanaan strategis juga diprediksi memiliki korelasi, namun hasil menunjukkan lain. Basyir (2010) melakukan elaborasi mengenai road map pelaksanaan PBK dan pencapaiannya, mengenai kemungkinan belum tercapainya perencanaan strategis secara optimal. 1) Periode antara 2005-2009 merupakan fase perkenalan. Ada lima aktivitas dan prestasi termasuk urgensi pentingnya untuk memperbaiki program dan aktivitas di setiap kementerian agar sejalan dengan karakteristik PBK. 2) Periode 2010-2014 merupakan fase kelanjutan yang mengutamakan program dan aktivitas baru sesudah restrukturisasi. 3) Periode sesudah 2015 merupakan fase perbaikan. Fase ini dijadwalkan sesudah administrasi baru sesudah pemilihan presiden. Variabel KPJM memiliki korelasi positif terhadap variabel keefektifan dengan koefisien sebesar 0,210 dan nilai signifikansi sebesar 0,012 dengan α 10%. dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 2,533 menunjukkan pengaruh positif variabel KPJM terhadap variabel keefektifan secara signifikan. Meskipun KPJM
baru dikenalkan pada 2011, perencanaan mengenai penerapannya sudah digunakan dan dipersepsikan akan mampu memberikan korelasi pada kinerja keefektifan yaitu tercapainya semua program yang direncanakan secara optimal. Kerangka Pengeluaran Jangka menengah (KPJM) dilakukan dengan menggunakan petunjuk atau arahan yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan dan Badan Perencana Pembangunan Nasional. Hal ini penting untuk memperbaiki arsitektur program aktivitas sehingga memberikan keterkaitan antara struktur organisasi, sruktur anggaran, struktur perencanaan kebijakan, dan struktur manajemen kinerja. Dengan demikian, proses ini dipersepsi bisa menciptakan keefektifan kinerja. KPJM digunakan untuk mengelola anggaran pemerintah dan kebijakan selama periode beberapa tahun, biasanya 3 sampai 5 tahun. Mekanisme ini dimaksudkan untuk menunjukkan implikasi kebijakan dan pengeluaran pemerintah. Hal ini juga digunakan untuk menentukan efek penyesuaian kebijakan dan anggaran yang membutuhkan beberapa tahun dalam pelaksanaannya. Selain itu, KPJM ini juga mempertimbangkan adanya realitas makroekonomi, dan kebutuhan sejumlah sektor yang perlu disesuaikan. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan disiplin dalam perencanaan pengeluaran pemerintah dan mengurangi ketidakseimbangan antara pertimbangan makro ekeonomi, estimasi penerimaan, dan kewajiban pemerintah serta program sektor yang mencapai tujuan kebijakan. Anggaran berbasis kinerja diajukan untuk menciptakan keterkaitan antara pembiayaan sumber daya dan output serta outcome yang diharapkan sekaligus efisiensi dari output dan outcome yang dihasilkan. Variabel standar biaya memiliki korelasi positif terhadap variabel keefektifan dengan koefisien sebesar 0,051 dan nilai signifikansi sebesar 0,546 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 0,605 menunjukkan pengaruh positif
33
variabel standar biaya terhadap keefektifan namun tidak signifikan.
variabel
Variabel evaluasi memiliki korelasi positif terhadap variabel keefektifan dengan koefisien sebesar 0,288 dan nilai signifikansi sebesar 0,580 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 3,545 menunjukkan pengaruh positif variabel evaluasi terhadap variabel keefektifan secara signifikan. 4.2.6.
Analisis Variabel dalam Surat Edaran Bersama terhadap Kinerja Akuntabilitas
4.2.6.1 Analisis R2
akuntabilitas sebagai variabel dependen mampu dijelaskan oleh variabel sosialisasi, perencanaan strategis, penggunaan format baru, restrukturisasi program, KPJM, sistem biaya, evaluasi kinerja sebesar 27,2%. 72,8% variabel akuntabilitas dalam kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini. 4.2.6.2 Analisis Variabel Analisis per variabel ini menunjukkan informasi mengenai persepsi responden terhadap pernyataan dalam kuesioner. Masing-masing variabel dipersepsi memiliki korelasi terhadap kinerja akuntabilitas.
Hasil analisis R2 menunjukkan koefisien sebesar 0,272. Hal ini menunjukkan proporsi variabel Tabel 10. Hasil Regresi Kinerja Akuntabilitas No
1 2 3 4 5 6 7
Variabel
Sosialisasi Perencanaan Strategis* Format Baru* Restrukturisasi KPJM Standar Biaya Evaluasi*
Unstandardized
-0,029 0,200
Koefisien t
Partial Correlation
0,744 0,086
-0,028 0,145
0,165 2,080 0,039 0,035 0,317 0,751 0,050 0,459 0,647 -0,014 -0,152 0,879 0,272 2,904 0,004 Sumber: Pengolahan Data PPPI (2013)
0,174 0,027 0,039 -0,013 0,239
Variabel sosialisasi memiliki korelasi negatif terhadap variabel akuntabilitas dengan koefisien sebesar -0,028 dan nilai signifikansi sebesar 0,744 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar -0,327 menunjukkan pengaruh negatif variabel sosialisasi terhadap variabel akuntabilitas namun tidak signifikan. Variabel perencanaan strategis memiliki korelasi positif terhadap variabel akuntabilitas dengan koefisien sebesar 0,145 dan nilai signifikansi sebesar 0,086 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 1,728 menunjukkan pengaruh positif variabel perencanaan strategis terhadap variabel akuntabilitas secara signifikan. Variabel format baru memiliki korelasi positif terhadap variabel akuntabilitas dengan koefisien sebesar 0,174 dan nilai signifikansi
-0,327 1,728
Signifikansi
sebesar 0,039 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 2,080 menunjukkan pengaruh positif variabel format baru terhadap variabel akuntabilitas secara signifikan. Variabel restrukturisasi memiliki korelasi positif terhadap variabel akuntabilitas dengan koefisien sebesar 0,027 dan nilai signifikansi sebesar 0,751 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 0,317 menunjukkan pengaruh positif variabel restrukturisasi terhadap variabel akuntabilitas namun tidak signifikan. Variabel KPJM memiliki korelasi positif terhadap variabel akuntabilitas dengan koefisien sebesar 0,039 dan nilai signifikansi sebesar 0,647 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 0,459 menunjukkan pengaruh
34
positif variabel KPJM terhadap akuntabilitas namun tidak signifikan.
variabel
Variabel standar biaya memiliki korelasi negatif terhadap variabel akuntabilitas dengan koefisien sebesar -0,013 dan nilai signifikansi sebesar 0,879 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar -0,152 menunjukkan pengaruh negative variabel standar biaya terhadap variabel akuntabilitas namun tidak signifikan. 4.3 Simpulan Hasil Departemen Keuangan Republik Indonesia & Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2009) menyimpulkan implementasi penganggaran berbasis kinerja dan penganggaran dalam kerangka jangka menengah selama 5 tahun ini belum mencapai hasil yang optimal karena tidak ada keterkaitan antara dokumen perencanaan dan dokumen anggaran. Hal ini juga ditunjukkan dari hasil penelitian ini bahwa variabel restrukturisasi program tidak dipersepsikan memiliki korelasi dengan variabel kinerja keefektifan. Program-program yang ada dalam RKA-KL 2010 masih menggunakan line-item (rincian belanja) dan bukan dalam bentuk kegiatan yang berorientasi pada keluaran (output), sehingga kurang terlihat keterkaitan dengan hasil outcome) yang diharapkan. Program yang digunakan oleh beberapa K/L dilaksanakan tanpa pembagian kerja dan indikator yang jelas sehingga tidak dapat diukur pencapaian dan akuntabilitas kinerja program. Pendefinisian program terlalu sempit sehingga kinerja program (outcomes) sama dengan atau lebih rendah dari kinerja kegiatan (output). Program tidak terkait secara langsung dengan kegiatan-kegiatannya. Program untuk menampung biaya pengelolaan administrasi K/L (overhead cost) masih beragam. Sebagai langkah awal, diperlukan upaya penyempurnaan struktur Program dan Kegiatan Kementerian Negara/Lembaga. Hasil dari restrukturisasi Program dan Kegiatan tersebut diimplementasikan dalam penyusunan RPJMN 2010‐2014 dan Rencana Strategis K/L 2010‐ 2014. Pada tahun 2011, penyusunan rencana anggaran sudah menggunakan informasi kinerja lebih lengkap yaitu indikator output, volume output, dan indikator capaian termasuk indikator kinerja utama dan indikator kinerja kegiatan, dan jumlah biaya. Dengan demikian, diprediksi bahwa waktu dua tahun terhitung
Variabel evaluasi memiliki korelasi positif terhadap variabel akuntabilitas dengan koefisien sebesar 0,239 dan nilai signifikansi sebesar 0,004 dengan α 10%. Koefisien t hitung sebesar 2,904 menunjukkan pengaruh positif variabel evaluasi terhadap variabel akuntabilitas secara signifikan.
sejak 2011 sampai sekarang belum cukup menguatkan argumen bahwa restrukturisasi program dengan menampilkan informasi lebih detail belum cukup berkorelasi dengan kinerja yang meliputi efisiensi, keefektifan, dan akuntabilitas. Meskipun Departemen Keuangan Republik Indonesia & Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2009) berpendapat bahwa kebijakan prioritas yang ditetapkan oleh pemerintah melalui RKP tidak jelas kerangka waktu (timeframe) penyelesaiannya dan setiap tahun selalu berubah sesuai dengan tema yang ditetapkan sehingga mengakibatkan proses penganggaran selalu kembali ke nol seperti model zero based budgeting, dan penerapan KPJM pada saat ini baru sebatas mencantumkan prakiraan maju tiga tahun ke depan, namun hasil penelitian ini menunjukkan temuan yang berbeda. Penelitian ini juga menunjukkan hasil bahwa variabel KPJM dan standar biaya memiliki korelasi positif pada variabel kinerja keefektifan. Hasil studi ini mengonfirmasi argumen. Robinson & Brumby (2005) bahwa Perencanaan dan Penganggaran Berjangka Menengah dan Berbasis Kinerja merupakan mekanisme dalam meningkatkan manfaat dana yang dianggarkan ke sektor publik terhadap outcomes dan output, melalui informasi kinerja format yang terkait dengan tiga hal yaitu pengukuran kinerja, pengukuran biaya untuk menghasilkan output dan outcomes serta penilaian keefektifan dan efisiensi pengeluaran/belanja dengan berbagai alat analisis. KPJM merupakan cara memperhitungkan konsekuensi putusan terhadap anggaran pada tahun berikutnya sehingga bisa menciptakan PBK yang optimal. KPJM diyakini bisa memperhitungkan kebutuhan pendanaan dalam jangka waktu tiga tahun ke depan. Penyusunan anggaran dalam KPJM mampu membedakan kegiatan operasional dan non-operasional maupun prioritas nasional. Dengan adanya
35
pengajuan estimasi kebutuhan anggaran tiga tahun kepada Kementerian, diharapkan anggaran dapat berkorelasi pada pencapaian kinerja efisiensi dan keefektifan.
menilai tercapainya pelaksanaan anggaran, melakukan monitoring secara berkala terhadap pelaksanaan anggaran setiap triwulan, evaluasi pencapaian output anggaran, dan evaluasi pencapaian outcome anggaran serta menggunakan hasil evaluasi sebagai umpan balik untuk perbaikan kinerja secara berkelanjutan. Aspek-aspek tersebut berkorelasi dengan indikator kinerja akuntabilitas yang berkaitan dengan masalah tanggung jawab (responsibilitas) terhadap kesuksesan pelaksanaan kegiatan dan evaluasi kinerja untuk mengetahui konsistensi perencanaan dan implementasi.
Berkaitan dengan buku petunjuk pelaksanaan PBK yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, bentuk anggaran baru dikategorikan berdasarkan informasi kinerja eselon 1. Informasi pengeluaran dan penerimaan ditempatkan pada lembar yang berbeda dalam bentuk format baru. Kinerja yang dicapai oleh kementerian diharapkan disesuaikan dengan visi, misi, dan perencanaan kerja. Format baru sebagai bagian variabel penelitian ini, memiliki korelasi positif pada kinerja akuntabilitas. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa format baru memiliki kaitan dengan akuntabilitas karena dalam format baru menjelaskan peran personil yang bertanggung jawab pada setiap program dan kegiatan yang diajukan.
4.4 Analisis Perbandingan Kementerian/Lembaga Pilot dan NonPilot Untuk melengkapi analisis korelasi di atas, jawaban responden ditelaah terhadap pernyataan survey dengan analisis deskriptif melalui Tabel 12 Temuan komparasi melengkapi analisis korelasi variabel implementasi PBK terhadap kinerja Kementerian Lembaga (efisiensi, keefektifan, akuntabilitas). Pertimbangan komparasi antara pilot dan non-pilot kementerian adalah kecukupan sampel untuk dianalisis lebih lanjut. Jumlah sampel per-kementerian tidak proporsional sehingga dikhawatirkan hasil komparasi tidak optimal dalam menggambarkan representasi realita PBK.
Variabel evaluasi kinerja dalam penelitian memiliki korelasi positif dengan variabel kinerja akuntabilitas. Secara definitif, evaluasi kinerja adalah proses pencapaian tujuan yang menunjukkan bahwa perumusan dan pelaksanaan kebijakan mencapai efisiensi dan keefektifan. Penelitian ini menunjukkan bahwa variabel evaluasi tidak memiliki korelasi dengan variabel kinerja efisiensi namun berkorelasi dengan variabel kinerja keefektifan dan akuntabilitas. Dalam evaluasi kinerja berkaitan dengan kegiatan yaitu penentuan kriteria untuk
Tabel 12. Komparasi Persentase Jawaban Responden Terhadap Beberapa Pernyataan Survei Status Pelaksanaan PBK
Telah melakukan restrukturisasi program
Pilot Project o Kemenkeu o Kemdikbud o Bappenas
77
Non Pilot Project o Kemenkumham o Kemenhub
85
Setelah Dalam kurun Unit kerja restrukturisasi waktu 3 tahun pernah program terakhir, unit kerja mengajukan memiliki telah merubah usulan keterkaitan sistem pembiayaan tambahan yang jelas berbasis input anggaran dengan sasaran menjadi berbasis untuk inisiatif nasional aktivitas baru Persentase Jawaban Responden yang setuju dan sangat setuju 74 68 67
84
80
81
36
Status Pelaksanaan PBK
Telah melakukan restrukturisasi program
Setelah restrukturisasi program memiliki keterkaitan yang jelas dengan sasaran nasional
o Kemensos Δ (Perbedaan) 8 10 Sumber: Hasil pengolahan data riset PPPI (2013) Dari Tabel 12 di atas, beberapa analisis deskripsi yang bisa disajikan diantaranya:
Penilaian respoden berbeda cukup besar terkait keempat penyataan diantaranya “telah melakukan restrukturisasi program”, juga pembiayaan berbasis input menjadi pembiayaan berbasis aktivitas” Perbedaan persentase jawab berturutturut untuk keempat pernyataan pada poin di atas cenderung meningkat dari satu pernyataan ke pernyataan lainnya. Dengan tingkat perbedaan yang tentunya meningkat dari pernyataan pertama, kedua, ketiga dan keempat. PPPI memperoleh pernyataan konfirmasi dari salah satu penyusun anggaran dari K/L Pilot project PBK, narasumber hampir tidak pernah mengajukan inisiatif baru dalam
Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, unit kerja telah merubah sistem pembiayaan berbasis input menjadi berbasis aktivitas
Unit kerja pernah mengajukan usulan tambahan anggaran untuk inisiatif baru
12
14
pernyataan “setelah restrukturisasi program memiliki keterkaitan yang jelas dengan sasaran nasional”, maupun pernyataan “unit kerja pernah mengajukan usulan tambahan anggaran untuk inisiatif baru” dan pernyataan “Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, unit kerja telah merubah sistem konteks penambahan anggaran karena cukup sulit memenangkan persaingan (beauty contest) di rapat Kabinet untuk memperoleh tambahan anggaran. Hal lain yang pada hemat PPPI, K/L Pilot menganggap unit kerja mereka belum tuntas melakukan restrukturiasi program sehingga belum memiliki keterkaitan yang jelas dengan program nasional. Serta perubahan sistem costing belum tuntas ditransformasi dari input based costing menjadi activity based costing.
37
Bagian 5 Penutup
5.1.
Capaian Penerapan PBK dan Tantangan tentang Keuangan Negara. Capaian tersebut adalah: 1) PBK merupakan pendekatan anggaran yang secara saksama mengaitkan antara pengelolaan keuangan dan sumberdaya yang lainnya dengan kinerja yang akan dicapai. UndangUndang No17/2003 bersama UU Pokok Keuangan Negara lainnya merupakan tonggak penting untuk mengenalkan konsepsi PBK, Penganggaran Terpadu,dan KPJM. 2) Ada suatu urgensi untuk menciptakan rerangka kerja pelaksanaan PBK untuk bisa dievaluasi dan dimonitor pelaksanaannya. Beberapa negara di dunia mendapatkan manfaat positif dari pelaksanaan PBK untuk reformasi pengelolaan negara. Studi OECD (2007) tentang Penganggaran Kinerja di Negara-Negara OECD telah mengingatkan kita bahwa tidak ada suatu model penerapan PBK yang universal sifatnya sehingga masingmasing Negara perlu menemukan pendekatan yang cocok (relevant) dengan konteks politik dan institusi di masing-masing Nagara tersebut. 3) Berdasarkan analisis korelasi dengan kinerja efisiensi, hanya perbaikan standar biaya dan KPJM yang memiliki korelasi positif pada efisiensi. Dengan jumlah variabel independen yang sedikit maka pemerintah perlu mempercepat perbaikan standar biaya dan KPJM agar kinerja efisiensi semakin tercapai. 4) Berdasarkan analisis korelasi dengan kinerja keefektifan, penerapan evaluasi kinerja dan KPJM memiliki korelasi positif pada keefektifan. Guna meningkatkan keefektifan maka pemerintah perlu memperkuat penerapan evaluasi kinerja dan KPJM. 5) Berdasarkan analisis korelasi dengan kinerja akuntabilitas, format baru dan evaluasi memiliki korelasi positif pada 5) menjanjikan sebuah ekspektasi yang berlebihan. Namun demikian, tiga pilar utama yaitu PT, PBK, dan KPJM
Sebelum menyampaikan rekomendasi kebijakan guna perbaikan implementasi PBK sesuai pertanyaan penelitian, ada sejumlah catatan yang dapay dianggap suatu pencapaian penerapan PBK setelah berlakunya UU 17/2003 akuntabilitas. Agar akuntabilitas dapat semakin terbangun maka pemerintah dapat memfokuskan upaya pada format baru dan sistem evaluasi Selain catatan keberhasilan, penerapan PBK menyisakan beberapa tantangan yang memerlukan solusi cerdas dan jawaban kongkrit dari Pemerintah bersama dengan DPR diantaranya: 1) Masalah klasik dalam setiap penyusunan anggaran di sejumlah negara adalah isu yang tersulit masalah pelaksanaannya karena melibatkan persuasi dengan para politisi, menteri dan anggota parlemen dalam membuat keputusannya (Blondal et al. 2009). Mereka berusaha untuk memfokuskan pada input dan mengabaikan kinerja dan informasi hasil. Untuk kasus Indonesia, adanya dokumentasi anggaran yang sangat detail menjadi penghalang dalam dalam pelaksanaan PBK. 2) Struktur informasi kinerja mengikuti struktur organisasi karena masalah akuntabilitas menjadi dasar utama dalam pengelolaan. Ketumpangtindihan program antar kementerian diupayakan dieliminasi. Pengalaman yang menunjukkan usaha untuk menampilkan kinerja yang independen dari struktur organisasi belum menghasilkan prestasi yang optimal. 3) Indikator-indikator kinerja memiliki makna apa buat publik? Bagaimana publik mendapatkan manfaat penggunaan indikator kinerja kementerian? Bagaimana mekanisme perencanaan kegiatan pada masingmasing kementerian? Pertanyaanpertanyaan ini merupakan perwujudan skeptisme mengenai reformasi finansial publik. 4) Urgensi untuk mengintegrasikan inisiasi reformasi sudah menjadi sebuah prioritas utama. Reformasi diharapkan diintegrasikan dengan inisiasi reformasi lain misalnya reformasi birokratis, sistem integritas,
38
reformasi pembangunan nasional dan reformasi anggaran. Presiden harus mendukung institusi dalam melaksanana PBK. 5.2.
Rekomendasi Kebijakan:
Berdasarkan temuan-temuan penelitian kebijakan yang telah dilakukan, Tim peneliti mengusulkan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas implementasi PBK serta berdampak kepada perbaikan kinerja Pemerintah secara umum. Rekomendasi kebijakan yang kami usulkan meliputi kebijakan pada level mikro organisasi Kementerian/Lembaga, level meso antar organisasi K/L maupun level makro kebijakan yang bersifat institutional arrangement. 1) Kebijakan pada level mikro: Kualitas implementasi PBK perlu diperbaiki dari waktu ke waktu berdasarkan temuan survey penelitian. Sebagaimana disampaikan oleh para pengelola program di enam K/L bahwa implementasi PBK telah berjalan belum mampu mencapai level efisiensi sebagaimana desain awal, walaupun telah ada perbaikan dari sisi keterkaitan antara program prioritas dan alokasi anggaran sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing unit eselon satu. Akuntabilitas juga perlu terus dibangun dengan mengedepankan prinsip fleksibilitas dalam kerangka akuntabilitas manajerial. 2) Kebijakan pada level meso: a) Perbaikan arsitektur dan informasi kinerja Kementerian/Lembaga kepada publk melalui jejaring sistem terintegrasi yang akan membantu publik mengawal agenda prioritas nasional. Usulan kongkrit dari studi misalnya dapat belajar dari Negara lain yang telah terlebih dahulu memulai keterlibatan publik dalam mengawal agenda prioritas nasional: New Zealand (http://www.ssc.govt.nz/pif),
India (www.performance.gov.in). b) Penyempurnaan kerangka regulasi penerapan PBK yang lebih mengikat pihak legislatif. Perlu dipertimbangkan indikator kinerja yang telah dihasilkan secara terus menerus oleh pihak K/L dipergunakan dengan sungguhsungguh pula oleh pihak legislatif. Pengalaman reformasi anggaran di berbagai negara memang diperlukan suatu perangkat hukum tertentu selevel UU guna mengingat para pihak yang terlibat dalam pembahasan dan pelaksanaan APBN, misalnya di Amerika Serikat melalui Government Performance and Results Acts (GPRA) tahun 1993. 3) Kebijakan pada level makro: Integrasi fungsi perencanaan (Bappenas) dan penganggaran (Direktorat Jenderal Anggaran) di bawah Unit Kerja Presiden pasca 2014 akan semakin memantapkan sistem presidensial yang dianut, di samping mempercepat efisiensi perencanaan dan penganggaran. Tentunya integrasi fungsi perencanaan dan penganggaran ini memerlukan persiapan dan masa transisi yang cukup, agar integrasi sistem sempurna dan memperbaiki situasi kondisi bukan malah menciptakan permasalahan. Salah satu pelajaran penting dari integrasi fungsi anggaran dan perencanaan berasal dari Kementerian Keuangan dan Strategi Korea Selatan. Kementerian Keuangan dan Strategi adalah organisasi payung yang dibentuk setelah penyatuan Kementerian Perencanaan dan Kementerian Keuangan pada tahun 2008. 4) Penelitian selanjutnya perlu diarahkan kepada evaluasi pelaksanaan PBK di tingkat Pemerintah Daerah
39
5) (Provinsi/Kabupaten/Kota). Sebagai konsideran, dana transfer daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan lain-lain mencapai Rp. 592, 5 Trilyun (www.hukumonline.com). Besarnya dana transfer daerah perlu memperoleh perhatian serius dari publik dan pemangku kepentingan lainnya seperti
Lembaga Independen dan Organisasi Masyarakat Sipil. Keterkaitan antara rekomendasi kebijakan level mikro, meso, dan makro yang menjadi interdependensi atau kesalingtergantunagn di 3 level dapat digambarkan melalui Gambar di bawah ini:
Gambar 13. Interdependensi Rekomendasi Kebijakan 3 Level
Sumber: Walter von Dooren, G Bouckaert, J Halligan (2010). Performance Management in Public Sector, Routledge, New York Peneliti memandang capaian penerapan PBK perlu terus menerus dilanjutkan melalui perbaikan berawal dari perbaikan level mikro, selanjutnya perbaikan level meso, dan dibingkai dengan perbaikan level makro. Perbaikan seyogyanya dimulai dar level mikro di ranah masing-masing K/L, level meso pada ranah lintas K/L dan hubungan dengan lembaga legislatif serta level makro di ranah Pemerintahan secara keseluruhan.
40
DAFTAR PUSTAKA Agus, Puji. 2012. Bagaimana Penganggaran Berbasis Kinerja dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah mempengaruhi Efisiensi Operasional pada Satuan Kerja. [How Performance Based Budgeting and MTEF impact operational efficiency in working unit]. Paper Balai Diklat Keuangan, Cimahi. Basyir, Syafril. 2010. Konsep dan Roadmap Implementasi Sistem Perencanaan dan Penganggaran. [Concept and Roadmap Reform of Planning and Budgeting System]. Paper Proceeding Seminar Implementation of Performance Based Budgeting in Law, Judiciary and Human Right Sector. Jakarta. Basyir, Syafril. 2010. Konsep dan Roadmap Implementasi Reformasi Sistem Perencanaan dan Penganggaran. [Concept and Roadmap reform of planning and budgeting system]. Paper proceeding Public Seminar on Implementation of Performance Based Budgeting. Division of Child And Family Services. Departemen Keuangan Republik Indonesia & Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2009. Pedoman Penganggaran Berbasis Kinerja. Dose,J.J. 1997. Work values: An integrative framework and illustrative application to organization. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 70: 219. Hair, Jr., Anderson, R.E., Tatham, R.L., & Black, W.C. 2010. Multivariate Data Analysis. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. Hair, J.F., Bush, R.P and Ortinau, D.J. 2009. Marketing Research. McGraw-Hill. Indonesia Infrastructure Initiative and Australia Indonesia Partnership. 2010. Expenditure Planning and Performance-Based Budgeting: In The Directorate General Of Highways. Kaufmann, D., Kraay, A., Mastruzzi, M. 2010. The Worldwide Governance Indicators: Methodology and Analytical Issues. The World Bank Development Research Group Macroeconomics and Growth Team
Based Budgeting for Law, Judiciary and Human Right Sector. Jakarta Brinkerhoff, D. W. 2000. Democratic governance and sectoral policy reform: Tracing linkages and exploring synergies. World Development, 28(4): 601-615. Blondal, Jon R, Ian Hawkesworth and HyunDeok Choi. 2009. Budgeting in Indonesia. OECD Journal on Budgeting Volume 2/2009: 1-31. Denhardt, R,B. & Denhart, J.D. 2000. The new public service: Serving rather than steering. Public Administration Review 60(6): 249259. Denhardt, R.B. & Denhart, J.V. 2003. The new public service: An approach to reform. International Review of Public Administration 3. Department of Human Services. 1999. Office of the Legislative Fiscal Analyst. Performance Kelly, J. M. & Rivenbark, W. 2003. Performance Budgeting for State and Local Government. M.E. Sharpe. Joyce, Philip. 2010. Obama's Performance Measurement Agenda. Dalam http://www.governing.com/columns/mg mt-insights/obama-performancemeasurement-agenda.html, 1 Januari 2013 Lee, J. Y.J. & Wang, X. 2009. Assessing the Impact of Performance-Based Budgeting: A Comparative Analysis across the United States, Taiwan, and China. Public Administration Review, December. Lewis, Carol W & W Bartley Hildreth. 2010. Budgeting Politics and Power. Oxford University Press, North Carolina. Lewis, Carol W & W Bartley Hildreth. 2010. Budgeting Politics and Power. Oxford University Press, North Carolina. Ministry of Finance. 2001. Prinsip Keuangan Negara dalam Paket Rancangan UndangUndang Bidang Keuangan Negara. [State Finance Principle in the Bill of State Finance]. Jakarta. Ministry of Finance. 2002. The White Paper Reform of Public Financial Management System in Indonesia: Principles and Strategy.
41
Publication 2002/KPMK/VII/MK/003
Series
Ministry of Finance and Bappenas. 2009. Pedoman Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja. [Principles of Performance Based Budgeting Enactment]. Jakarta Ministry of Finance and Bappenas. 2009. Pedoman Restrukturisasi Program and Kegiatan. [Principles of Program and Activities Restructuring]. Jakarta Mercer, J. 2002. Performance Budgeting at Federal Agencies: A Framework. AMS, International Business and Technology Consultant. Nordiawan, Deddi. 2006. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Rhee, Dong-.Young. 2009. Performance-Based Budgeting: Reality Or Rhetoric? Dissertation submitted to the Graduate School Newark Rutgers, The State University of New Jersey. Dissertation submitted to Graduate School-Newark Rutgers, The State University of New Jersey. Robinson, M. & Brumby, J. 2005. Does performance budgeting work? An analytical review of the empirical literature. IMF Working Paper SeriesIMF Working Paper Series
Rodriguez, A. & Bijotat, F. 2003. Performance measurement, strategic planning, and performance-based budgeting in Illinois Local and Regional Public Airports. Public Works Management & Policy, 8: 132-145. Sancoko, Bambang, Djang Tjik A.S, Noor Cholis Madjid, Sumini dan Hery Triatmoko. 2008. Kajian Terhadap Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja di Indonesia. Hasil Riset Empiris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Jakarta Young, R.D. 2003. Performance-based budget systems. Public Policy & Practice, January 2003 17 The
Performance Based Management Handbook. 2001. Establishing and Maintaining a Performance Based Management Program. Training Resources and Data Exchange Performance-Based Management Special Interest Group.
Van, Doreen, Bouckaert, G., and Halligan, J. 2010.Performance Management in the Public Sector. Routledge, New York. Wahyuni, Trisacti. 2006. Penganggaran Berbasis Kinerja pada Kementerian/Lembaga: Masih Harus Banyak Berbenah. http://www.bpkp.go.id/warta
42
LAMPIRAN 1 Profil Responden Responden diklasifikasi ke dalam pria dan wanita. Jumlah responden pria adalah 102 orang; sementara jumlah responden wanita adalah 45 orang. Umur responden berkisar antara 25 tahun sampai 55. Umur responden yang kurang dari 25 adalah 1orang; umur yang berkisar antara 25-30 adalah 33 orang; umur yang berkisar antara 31-35 adalah 15 orang; umur yang berkisar 36-40 adalah 18 orang; umur yang berkisar 41-45 adalah 21 orang; umur yang berkisar antara 46-50 adalah 32 orang dan umur yang berkisar 51-55 adalah 22 orang dan lebih dari 55 tahun ada 5 orang. Kebanyakan responden berasal dari eselon IV. Masing-masing K/L diharapkan dapat disurvei masing-masing 50 responden. Pertimbangan jumlah sampel per kementerian adalah 1) variasi jumlah eselon 1 di enam kementerian tinggi; 2) kemudahan peneliti dalam mengumpulkan data di lapangan per kementerian. Dengan demikian, akan terkumpul sejumlah 300 responden Survei KAP. Jumlah sampel 300 adalah target maksimal riset ini. Namun tidak menutup kemungkinan ada penyesuaian jumlah responden berdasarkan target yang lebih realistis adalah lebih kurang separuh dari target maksimal. Penyesuaian jumlah responden juga telah didiskusikan dengan mentor riset ini dari Urban Insttute – Dr.Jamie Boex- yang menegaskan target separuh dari total target responden merupakan target yang realistis. Total responden yang berhasil diwawancarai berjumlah total 147 orang terdiri atas: o Kementerian Keuangan sejumlah 43 orang yang berasal dari 7 unit eselon 1 (Sekjen, Itjen, Bea Cukai, Pengelolaan Utang, Perimbangan Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, dan Dirjen Anggaran). o Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejumlah 26 orang responden yang berasal dari 10 unit
eselon 1 mencakup Sekjen, Itjen, Badan Pembinaan SDM, Pusat Pengembangan Bahasa, Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, Pendidikan Tinggi, Dirjen Kebudayaan dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud. o Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) sejumlah 8 responden yang terdiri dari Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan 3 orang dan Inspektorat Utama Bappenas 5 orang. o Kementerian Hukum dan HAM sejumlah 48 orang responden yang berasal dari 2 unit eselon 1 yaitu Dirjen Hak Asasi Manusia dan Dirjen Lembaga Pemasyarakatan o Kementerian Perhubungan sejumlah 22 orang responden yang terdiri dari 2 unit eselon 1 yaitu Sekjen Kemenhub dan Dirjen Perkeretaapian. o Kementerian Sosial sejumlah 7 orang responden yang terdiri dari 1 unit eselon 1 yaitu Dirjen Rehabilitasi Sosial. Survei KAP 1 melibatkan 34 orang responden dari 3 K/L (Kemenkeu, Kemdikbud dan Kemenkumham), survey KAP 2 awal melibatkan 108 responden dari 4 K/L (Kemenkeu, Kemdikbud, Kemenkumham dan Bappenas). Untuk survey KAP 2 akhir ini melibatkan 147 orang responden dari 6 K/L yang menjadi sampel riset ini.Periode survei adalah Maret – September 2013. Kementerian pertama yang diwawancari adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan cq Dirjen Kebudayaan. Untuk Kementerian terakhir yang diwawancarai adalah Kementerian Perhubungan cq. Dirjen Perkeretaapian. Metode survey KAP adalah survei satu-satu atau one-on-one survey interview.
43
Profil Responden No
Aspek
Dimensi
1.
Kementerian/Lembaga
o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o
Ditjen Kebudayaan Itjen Kemenkeu Dirjen HAM Dirjen Bea Cukai Sekjen Kemenkeu Dirjen Pendidikan Menengah Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan Itjen Bappenas Dirjen Pengelolaan Utang Dirjen Lembaga Pemasyarakatan Dirjen Pendidikan Tinggi Dirjen Pembinaan dan Pelayanan Bahasa Dirjen Perimbangan Keuangan Dirjen Pendidikan Dasar Badan Kebijakan Fiskal Dirjen Anggaran Itjen Kemdikbud BPSDM Kemdikbud Sekjen Kemdikbud Balitbang Kemdikbud Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini Sekjen Kemenhub Dirjen Rehabilitasi Sosial Dirjen Perkeretaapian
Jumlah responden 5 2 19 7 9 5 3 5 11 29 2 1 1 2 2 4 1 1 1 2 4 1 7 21
2.
Jenis Kelamin
o o
Laki-Laki Perempuan
102 45
3.
Usia Responden
o o o o o o o o
< 25 tahun 25 – 30 tahun 31 – 35 tahun 36 – 40 tahun 41 – 45 tahun 46 – 50 tahun 51 – 55 tahun > 55 tahun
1 33 15 18 21 32 22 5
4.
Eselon
o o o o o
Satu Dua Tiga Empat Non Eselon/Staf
0 5 22 58 62
5.
Bidang Tugas
o o o o o o
Manajer/Pimpinan Perencanaan Keuangan Anggaran Perencanaan dan Anggaran Unit Kerja
6 66 21 8 10 36
44
No
Aspek
6.
Pengalaman Kerja
Dimensi o o o o o
Tidak Menjawab 0 – 5 tahun 6 – 10 tahun 11- 15 tahun > 15 tahun
Jumlah responden 29 77 24 12 5
Sumber: Hasil pengolahan data riset PPPI (2013)
45
Berikut ini terdapat beberapa pernyataan untuk mengetahui seberapa jauh Bapak/Ibu –selaku
Kuesioner Penelitian
pengelola
Satu Dekade Penganggaran Berbasis Kinerja di Indonesia: Rekomendasi Kebijakan untuk Perbaikan
masing Kementerian/Lembaga. Berilah tanda (X)
No Kuesioner :…./……………/…/…/2013
Program/Kegiatan-
berpendapat
terhadap kondisi riil implementasi PBB di masingpada salah satu dari kelima kolom pada garis skala yang menyertai setiap pernyataan. Tidak ada jawaban
Paramadina Public Policy Institute (PPPI) merupakan
benar atau salah saat mengisi kuesioner ini. Kami
salah satu center pada Universitas Paramadina dengan
mengharapkan jawaban Bapak/Ibu mencerminkan
fokus perhatian pada kebijakan publik. PPPI saat ini
kondisi/persepsi/pendapat terkini di Unit Kerja
tengah melakukan penelitian tentang penganggaran
Bapak/Ibu. Setiap pernyataan dilengkapi dengan lima
berbasis
pilihan jawaban, yaitu:
kinerja
(performance-based
budgeting)
di
Indonesia. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
TT, bila Anda Tidak Tahu
menjadi masukan kepada DPR dan Pemerintah
STS, bila Anda Sangat Tidak Setuju
Indonesia untuk meningkatkan kualitas penganggaran
TS, bila Anda Tidak Setuju
berbasis kinerja di masa mendatang.
S, bila Anda Setuju SS, bila Anda Sangat Setuju Pilihlah hanya satu jawaban pada setiap pernyataan dan jawablah semua pernyataan.
46
47
48
49
50
51
Data Responden dan Pertanyaan Umum 1.
Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan* (pilih salah satu)
2.
Usia
: 46 Tahun
3.
Eselon
: Staf
4.
Bidang Tugas : A. Perencanaan B. Penganggaran C. Keuangan D. Satuan Kerja E. Pimpinan* (pilih salah satu)
5.
Pengalaman di bidang perencanaan/penganggaran/keuangan : 13 Tahun
6.
Apakah bapak/ibu mengetahui Parlementary Budget Office (PBO): A. Ya, bisa tolong sebutkan contoh PBO……………………… (lanjut ke no.7) B. Tidak (selesai)
7.
Menurut penilaian bapak/ibu, apakah Negeri kita memerlukan lembaga seperti PBO A. Ya, alasan ………………………………………………. B. Tidak, alasan …………………………………………….
Terimakasih atas kesediaan Bapak/Ibu menjadi responden dalam penelitian ini
52