BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Salah satu akibat dari kematian seorang manusia di dunia ini dalam bidang hukum adalah masalah status harta benda yang ditinggalkannya. Bila status ini dihubungkan dengan seorang manusia lain yang masih hidup, maka timbullah apa yang dinamakan masalah warisan. Hukum yang mengatur masalah warisan ini dinamakan hukum waris dan setiap lembaga hukum mempunyai hukum warisnya masing-masing. Akibat masih terdapatnya pluralisme hukum di Indonesia, maka dikenallah hukum waris Islam, hukum waris adat dan hukum waris Perdata Barat yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata/Burgerlijk Wetboek /BW). Permasalahan yang pertama-tama timbul bila seseorang meninggal dunia adalah hukum waris yang berhubungan erat dengan hukum apa yang berlaku bagi orang yang meninggal dunia tersebut. Di masa pemerintahan Hindia Belanda dan berdasarkan politik hukum pada masa itu, penggolongan penduduk melalui Indische Staatsregeling (IS), dalam Pasal 131 dan kemudian Pasal 163 secara normatif eksplisit mengatur tentang adanya pembagian golongan penduduk di Hindia Belanda ke dalam 3 (tiga) golongan yaitu golongan Bumiputera/Pribumi, golongan Eropa dan golongan Timur Asing.
1
Universitas Sumatera Utara
2
Pembedaan pada golongan tersebut membawa pula pembedaan dalam hukum keperdataan masing-masing golongan tersebut. Masing-masing golongan tersebut di atas memiliki hukum perdata waris sendirisendiri yang masing-masingnya tunduk kepada sistem tersendiri pula. Bagi golongan Eropah atau yang dipersamakan dan golongan Timur Asing Tionghoa berlaku hukum waris yang ditentukan dalam Buku-II dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa (seperti Arab, Pakistan, India, dan lain sebagainya) berlaku hukum waris adatnya masingmasing dan sepanjang pengaruh agama lebih dominan dalam kehidupan mereka sehari-hari maka diberlakukan hukum waris yang ditentukan oleh hukum agamanya tersebut. Bagi golongan Bumi Putera berlaku hukum waris adat menurut lingkungan hukum adatnya (adatrechtskring) masing-masing.1 Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang, secara tegas maupun diam-diam disadari ataupun tidak telah mewarisi sisa-sisa tertib hukum kolonial yang terdiri atas struktur serta substansinya. Berdasarkan Pasal II UndangUndang Dasar 1945 bagian Aturan Peralihan, maka segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. “Melalui Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 tanggal 27 Desember 1966, telah ditetapkan penghapusan pembedaan golongan penduduk di Indonesia dengan dasar pertimbangan bahwa demi tercapainya pembinaan kesatuan bangsa Indonesia yang bulat dan homogeen, serta adanya perasaan persamaan nasib di antara sesama bangsa Indonesia”.2 1
Edison, “Peran Notaris Dalam Pembagian Warisan Sebagai Penengah Dan Stabilisator, http://suratketeranganwaris.blogspot.com/2008/05/peran-notaris-dalam-pembagian-warisan. html?zx=27c5111b33f3b7c7, dipublikasikan tanggal 26 Mei 2008, diakses tanggal 3 Januari 2011 2 Herlien Budiono, Menuju Keterangan Hak Waris yang Uniform (Wacana Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris), Kongres XX-Pembekalan dan Penyegaran Pengetahuan Ikataan Notaris Indonesia, Royal Ballroom Hotel JW Marriot Surabaya, 29 Januari 2009, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
3
Berdasarkan Pasal 66 UU Perkawinan dinyatakan bahwa : Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undangundang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Untuk sebagian hukum keluarga dan hukum waris yang belum mendapat pengaturan dalam undang-undang khusus (UU No. 1 Tahun 1974) maka Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) masih diberlakukan yaitu bagi golongan Eropa dan Timur Asing Tionghoa. Walaupun penggolongan penduduk telah dihapuskan oleh Instruksi Presidium Kabinet tersebut, namun di dalam prakteknya “penggolongan penduduk” untuk bidang hukum tertentu tidak dapat dihindari. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 tersebut juga menyatakan, bahwa penghapusan golongan-golongan penduduk tersebut tidak mengurangi berlakunya ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan, warisan dan ketentuanketentuan hukum perdata lainnya. Dengan lain perkataan, dari Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Instruksi tersebut dapat disimpulkan, bahwa “mengenai sebagian ketentuan hukum perdata di
Universitas Sumatera Utara
4
bidang perkawinan (kecuali yang telah diatur dalam UU Perkawinan), dan warisan masih diberlakukan KUHPerdata bagi sebagian penduduk Indonesia”.3 Baik UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tidak ada mengatur tentang warisan/status harta benda karena kematian. Yang ada dalam Pasal 41 yaitu akibat putusnya perkawinan karena perceraian. Sehingga berdasarkan pasal 66 tetaplah terdapat pluralisme dalam hal hukum waris, maka Hukum Waris yang diatur
dalam
KUHPerdata
tetap
masih
berlaku
terhadap
mereka
yang
KUHPerdata/BW diperlakukan atasnya. Hal ini ditegaskan pula dalam Surat Edaran Mahkamah Agung kepada para Ketua/Hakim Pengadilan Negeri tertanggal 20 Agustus 1975 No. M.A/Penb/0807/75 tentang Petunjuk-petunjuk Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, dan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Hingga saat ini masih terdapat dualisme dalam bidang Hukum Perdata (khususnya bidang hukum perdata waris) yang berlaku bagi setiap Warga Negara Indonesia. Melalui ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 kita dapat meneropong kembali mengenai apa yang sebelumnya dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang merupakan warga (Nederlands onderdaan) di Hindia Belanda. Selanjutnya berdasarkan Stb. 1917 No. 129, seluruh Hukum Perdata Barat (B.W.), dengan sedikit kekecualian, berlaku bagi golongan Tionghoa. Maka berdasarkan Staatsblad tersebut terhitung mulai tanggal 1 Mei 1919, bagi golongan Tionghoa untuk daerah-daerah tertentu berlaku Hukum Perdata Barat 3
Sunarjati Hartono, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 1991, hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
5
(BW), termasuk di dalamnya Hukum Waris. Kemudian dengan Stb. 1924 No 557 dinyatakan berlaku untuk golongan Tionghoa di seluruh Indonesia. Ketentuan tersebut berlaku sejak 1 Maret 1925. Sebelum itu Stb. 1855 No. 79 menetapkan bahwa hukum waris Testamentair berlaku bagi golongan Timur Asing, dan sejak 1 Mei 1919 lembaran negara ini tidak berlaku lagi bagi golongan Tionghoa dan diganti dengan Stb. 1917 No. 129 tersebut di atas. Untuk golongan Timur Asing selain golongan Tionghoa, dengan Stb.1924: – 556, yang berlaku sejak 1 Maret 1925.4 Hukum Waris menurut para sarjana pada dasarnya adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain). Intinya adalah peraturann yang mengatur akibatakibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaanya, yang berwujud : perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga. 5 Dalam hukum perdata, mewarisi berarti menggantikan kedudukan orang yang meninggal terkait dengan hubungan hukum harta kekayaannya yang berkaitan erat dengan kehendak terakhir orang yang meninggal tersebut. Kehendak terakhir inilah yang akan diperhitungkan sebagai sumber hukum pembagian waris perdata. Berdasarkan kehendak terakhir tersebut, maka sumber hukum waris dalam hukum perdata dibedakan menjadi: 1.
Hukum waris menurut ketentuan undang-undang atau sering disebut dengan hukum waris ab intestate, artinya hukum waris tanpa testamen atau wasiat. Disebut hukum waris tanpa wasiat karena dasar pengaturan hukum waris berdasarkan undang-undang (KUHPerdata). Hukum waris testamenter, yaitu hukum waris menurut ketentuan wasiat atau testament.6
2.
4 5
J. Satrio, Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992, hal. 6 J. Satrio, Ibid, hal. 8
6
Badriyah Harun, Panduan Praktis Pembagian Waris, Cetakan Kedua, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010, hal. 16
Universitas Sumatera Utara
6
Dalam hukum waris perdata, berlaku suatu asas, yaitu apabila seseorang meninggal dunia (pewaris), maka demi hukum dan seketika itu juga hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya, sepanjang hak dan kewajiban tersebut termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau dengan kata lain hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Sistem hukum waris perdata memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem hukum waris lainnya, yaitu menghendaki agar harta peninggalan pewaris sesegera mungkin dapat dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Kalaupun harta peninggalan pewaris hendak dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi, maka harus melalui persetujuan oleh seluruh ahli waris, adapun perbedaan antara harta warisan dan harta peninggalan adalah harta warisan belum dikurangi hutang dan biaya-biaya lainnya, sedangkan harta peninggalan sudah dikurangi hutang dan telah siap untuk dibagi.7 “Pewaris sebagai pemilik harta mempunyai hak mutlak untuk mengatur apa saja yang dikehendaki atas hartanya. Ini merupakan konsekwensi dari hukum waris sebagai hukum yang bersifat mengatur”.8 Ahli waris yang mempunyai hak mutlak atas bagian yang tidak tersedia dari harta warisan, disebut ahli waris Legitimaris. Sedangkan bagian yang tidak tersedia dari harta warisan yang merupakan hak ahli waris Legitimaris, dinamakan Legitime Portie. “Jadi hak Legitime Portie adalah, hak ahli waris Legitimaris terhadap bagian yang tidak tersedia dari harta warisan disebut ahli waris legitimaris”.9 Bagian mutlak ini adalah bagian yang ditentukan berdasarkan Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata). Artinya para ahli waris yang berhak yaitu
7
Afandi Ali, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal.7 Ibid, hal. 2-3 9 Ibid, hal. 68 8
Universitas Sumatera Utara
7
ahli waris dalam garis lurus (yang disebut legitimaris) memiliki bagian dari harta peninggalan yang tidak dapat diganggugugat yang harus menjadi bagiannya dan telah ditentukan pula besar bagian tersebut berdasarkan KUHPerdata. Dalam ketentuan Pasal 911 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu ketetapan wasiat yang dibuat untuk keuntungan orang yang tidak cakap untuk mendapat warisan, adalah batal, sekalipun ketetapan itu dibuat dengan nama seorang perantara. Yang dianggap sebagai orangorang perantara ialah bapak dan ibunya, anak-anaknya dan keturunan mereka suami atau isteri. Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang-undang
atau
ahli
waris
ab
intestato
berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu: a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anakanak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi; b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersamasama saudara pewaris; c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris; d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.10
10
Djafar Ali, Suntingan Pokok-pokok (Pegangan Sementara) Hukum Waris Menurut Perdata BW, Fakultas Hukum USU, Medan, 1998, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
8
KUH Perdata tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya. Sedangkan ahli Waris menurut surat wasiat atau testament, jumlahnya tidak tentu sebab ahli waris bentuk ini tergantung pada kehendak si pembuat wasiat. Masalah waris ini sering menimbulkan sengketa atau masalah bagi ahli waris, karena langsung menyangkut harta benda seseorang, karena harta oleh manusia dianggap sebagai barang yang berharga. Sehingga sering menimbulkan sengketa ataupun perselisihan karena berebut untuk menguasai harta waris tersebut. Salah satu contoh kasus adalah sebagai berikut : Ngan Sim, Halidjah Gani, Ngang Seng Hin, dan Achmad Ghani merupakan ahli waris yang sah dari Almarhum Ngan Seng Mei, sesuai dengan Akta Surat Keterangan Hak Waris No : 04/ SKHW/MSM/ XII/ 2007 yang telah meninggal dunia pada tanggal 19 September 2007. Oleh karena kedua orang tua ahli waris telah terlebih dahulu meninggal dari Almarhum Ngan Seng Mei, maka secara hukum yang menjadi ahli waris golongan II dari Almarhum Ngan Seng Mei. Semasa hidupnya Alm. Ngan Seng Mei tidak pernah terikat dalam perkawinan yang sah menurut hukum dengan perempuan manapun serta tidak
Universitas Sumatera Utara
9
pernah terdaftar dan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil yang berwenang untuk itu. Tanpa sepengetahuan para ahli waris ternyata Ramping Husen telah mengajukan permohonan Penetapan Pengesahan Perkawinan pada Pengadilan Negeri Medan, dan atas permohonan tersebut ternyata Pengadilan Negeri Medan
telah
mengabulkan
permohonan
Tergugat
tersebut
dengan
menetapkan: “menyatakan sah secara hukum perkawinan RAMPING HUSEN (ic. Tergugat) dengan seorang laki-laki yang bernama NGAN SENG MEI, sebagaimana dictum dari Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 15/Pdt. P/ 2008/ PN. Mdn tanggal 26 Februari 2008. Ramping Husen mengaku telah melakukan perkawinan dengan Alm. Ngan Seng Mei pada tanggal 28 Juni 2007 sesuai dengan Surat Pernyataan yang ditanda tangani KI TONG SUMARAK dengan saksi Aisim dan Lia. Bahwa Penggugat sangat merasa keberatan serta telah dirugikan atas terbitnya Penetapan Pengadilan Negeri Medan tersebut yang telah menetapkan sah Perkawinan tersebut antara Tergugat dengan Alm. NGAN SENG MEI, karena Penetapan Pengadilan Negeri Medan tersebut adalah nyata-nyata merupakan suatu produk hukum yang salah dan keliru serta bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Menurut Pasal 834 KUH Perdata seorang ahli waris berhak untuk menuntut supaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan pewaris diserahkan padanya
Universitas Sumatera Utara
10
berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Hak penuntutan ini menyerupai hak penuntutan seorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan itu harus ditujukan pada orang yang menguasai satu benda warisan dengan maksud untuk memilikinya. Oleh karena itu, penuntutan tersebut tidak boleh ditujukan pada orang yang menguasai benda tersebut berdasarkan hubungan hukum dengan pewaris, misalnya menyewa. Surat Keterangan Hak Waris sangat diperlukan untuk membuktikan siapa-siapa yang merupakan ahli waris atas harta peninggalan yang telah terbuka menurut hukum dan berapa porsi atau bahagian masing-masing ahli waris terhadap harta peninggalan yang telah terbuka itu. Besarnya porsi dari masing-masing ahli waris dalam Surat Keterangan Hak Waris tersebut sangat bergantung kepada Hukum Waris apa yang digunakan atau diterapkan dalam menentukan hak dari pada ahli waris tersebut.11 B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana kedudukan hukum ahli waris golongan II setelah terbitnya penetapan pengesahan yang dilakukan setelah pewaris meninggal dunia ?
2.
Bagaimana akibat hukum penetapan pengesahan perkawinan yang dilakukan setelah pewaris meninggal dunia ?
3.
Bagaimana kekuatan pembuktian surat keterangan ahli waris yang dibuatkan oleh Notaris ?
11
Edison, Op cit, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
11
C. Tujuan Penelitian Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kedudukan hukum ahli waris golongan II setelah terbitnya penetapan pengesahan yang dilakukan setelah pewaris meninggal dunia. 2. Untuk akibat hukum penetapan pengesahan perkawinan yang dilakukan setelah pewaris meninggal dunia. 3. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian surat keterangan ahli waris yang dibuatkan oleh Notaris. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang Hukum Waris serta menambah khasanah perpustakaan. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan pada masyarakat khususnya yang akan melaksanakan pembagian warisan, sehingga lebih mengetahui apa dan bagaimana kedudukan ahli waris golongan kedua itu. Selain itu juga dapat memberi masukan bagi para notaris, akademisi, pengacara, mahasiswa.
Universitas Sumatera Utara
12
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan, baik di Magister Ilmu Hukum maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang menyangkut masalah “Hak Mewaris Bagi Ahli Waris Golongan Kedua (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor Perkara 127/PDt.G/2008/PN.Mdn)”. Dengan demikian penelitian ini adalah asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori “Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.12 “Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gajala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran”.13 Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perjanjian dan hukum perkawinan, yang menjadi bahan perbandingan,
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 6 J.J.J. M.Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, M. Hisyam, Fakultas Ekonomi, Univesitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 203. 13
Universitas Sumatera Utara
13
pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan bagi penulisan tesis ini. Dalam penelitian ini, teori hukum yang dipakai adalah teori kedaulatan hukum. Tokoh dari teori kedaulatan hukum adalah H. Krabbe dan Leon Duguit. Menurut Krabbe : Hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan orang terbanyak yang ditundukan kepadanya. Karena sifatnya yang berusaha mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, maka hukum itu wajib ditaati oleh manusia. Hukum itu ada, karena anggota masyarakat mempunyai perasaan bagaimana seharusnya hukum itu. Hanyalah kaidah yang timbul dari perasaan hukum anggota suatu masyarakat, mempunyai kewibawaan/ kekuasaan.14 Definisi hukum kewarisan KUH Perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dimuat secara tegas, tetapi para ahli hukum memberikan atau mengemukakan tentang pengertian hukum kewarisan KUHPerdata. Menurut para ahli hukum, khususnya mengenai hukum kewarisan Perdata sebagai berikut : 1. Pitlo mengemukakan Hukum Waris adalah : “Kumpulan peraturan yng mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai perpindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari hubungan
14
“Teori Hukum”, http://tubiwityu.typepad.com/blog/2010/02/teori-hukum.html, dipublikasikan tanggal 10 Februari 2010, diakses tanggal 3 Januari 2011
Universitas Sumatera Utara
14
antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.15 2. M. Idris Ramulyo mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro yang mengemukakan bahwa hukum waris adalah “Hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.16 3. Dalam bukunya Sudarsono memuat beberapa pengertian hukum waris menurut ahli hukum antara lain yaitu : a. H.D.M.Knol, mengatakan bahwa Hukum waris mengatur ketentuan-ketentuan tentang perpindahan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal kepada seorang ahli waris atau lebih b. A. Winkler Prins, mengemukakan bahwa Hukum waris ialah seluruh peraturan yang mengatur pewarisan, menetukan sejauh mana dan dengan cara bagaimana hubungan-hubungan hukum dari seorang yang telah meninggal dunia pindah kepada orang lain, dan dengan demikian hal itu dapat diteruskan oleh keturunannya. c. Vollmar berpendapat bahwa Hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi keseluruhan hak-hak dan kewajibankewajiban, dari orang yang mewariskan kepada warisnya.17 Hukum waris (erfrecht) yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban (harta kekayaan) dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada orang yang masih hidup (ahli waris) yang berhak menerimanya. Atau dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang 15 A.Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Diterjemahkan oleh M.Isa Arief, PT.Intermasa, Jakarta, 1986, hal 1 16 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 85 17 Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, PT.Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal 12-13
Universitas Sumatera Utara
15
mengatur perpindahan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Menurut A. Pitlo, “hukum waris yaitu suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana berhubungan dengan meninggalnya seorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga”.18 Oemar Salim mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro yang memberikan batasan-batasan mengenai warisan antara lain: 1. 2. 3.
Seorang yang meninggalkan warisan (erflater) pada saat orang tersebut meninggal dunia Seorang atau beberapa orang ahli waris (erfnaam), yang mempunyai hak menerima kekayaan yang ditinggalkannya itu Harta warisan (nalaten schap) yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan selalu beralih kepada para ahli waris tersebut.19 Tiap-tiap masyarakat memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda. Oleh
karena itu keadaan warisan pada masing-masing masyarakat tergantung pada kondisi kekeluargaan serta berdampak pada kekayaan dalam masyarakat tersebut. Oemar Salim mengutip pula Meyer yang mengatakan bahwa : Pada mulanya Negara-negara di dunia ini tidak mengenal hak milik perseorangan (individual eigendom) atas barang-barang kekayaan melainkan hanya mengenai milik bersama dari suatu suku bangsa dan suatu keluarga (stem of familieergendom). Meninggalnya seseorang bukan berarti harta miliknya yang
18
A. Pitlo, Op cit, hal. 3 Oemar Salim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Cetakan Ketiga, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 4 19
Universitas Sumatera Utara
16
meninggal, melainkan hanya hal mengurus harta itu saja yang harus dilanjutkan oleh orang lain yang masih hidup. 20 Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanya hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Oleh karena itu, hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau pada umumnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepribadian, misalnya hak dan kewajibann sebagai seorang suami atau seorang ayah tidak dapat diwariskan. Sebaliknya ada juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terletak dalam lapangan hukum perbendaan atau perjanjian tetapi tidak beralih pada para ahli waris misalnya perjanjian perburuhan. Dalam hukum waris apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi le mort saisit le vif sedangkan pengalihan segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan saisine (Pasal 955 KUH Perdata).21 Adapun syarat untuk menjadi ahli waris adalah sebagi berikut : a. Mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris yang dapat diperoleh secara ab intestato maupun testamener. Atau terkadang seorang ahli waris memiliki hak yang diperoleh keduanya secara bersamaan. b. Telah ada pada saat pewaris meninggal. Dalam Pasal 2 KUHPerdata, dinyatakan bahwa bayi yang masih dalam kandungan dianggap telah ada jika mempunyai kepentingan dengan syarat ia lahir hidup. Perkecualian kedua syarat tersebut tidak berlaku bagi orang yang mewarisi karena kedudukannya digantikan oleh keturunannya karena ia telah meninggal dunia namun telah ada ahli warisnya. Dalam Pasal 348 KUH Perdata ditentukan bahwa: Apabila seorang suami meninggal dunia, istri menerangkan atau setelah dipanggil secara sah untuk itu, mengakui bahwa ia sedang mengandung, maka Balai 20 21
Oemar Salim, Ibid, hal. 5 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan XXIX, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal.96
Universitas Sumatera Utara
17
Harta Peninggalan (BHP) harus menjadi pengampu atas buah kandungannya dan wajib mengadakan tindakan yang perlu yang mendesak guna menyelamatkan dan mengurus harta kekayannya baik demi kebaikan anak bila ia lahir hidup maupun demi kebaikan semua orang yang berkepentingan. Selanjutnya dalam ketentuan Stb. 1872 Nomor 166, dalam ketentuan Pasal 44 – 46 ditentukan bahwa : Keterangan istri tersebut tidak dapat diterima bila telah lewat waktu 300 (tiga ratus) hari setelah kematian suaminya. Atas keterangan atau pengakuan adanya kehamilan dan penerimaan pengampuan tersebut maka BHP membuatkan akta dan diberitahukan kepada pegawai penuntut umum. Bagian/warisan bagi anak yang belum dilahirkan tersebut meliputi barang-barang yang akan menjadi milik anak tersebut apabila anak tersebut lahir hidup. c. Dinyatakan cakap menerima warisan. d. Tidak dinyatakan sebagai orang yang tidak cakap dan tidak patut . 1) Tidak cakap menerima warisan, yaitu apabila melakukan tindakan tercela seperti telah memfitnah pewaris sehingga pewaris dijatuhi hukuman pidana 2) Tidak patut, yaitu apabila seseorang membunuh pewaris untuk segera mendapatkan harta waris; dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena memfitnah pewaris atas tuduhan suatu kejahatan yang hu-kumannya lebih dari lima tahun atau lebih; yang diancam dengan kekerasan pewaris lain untuk membuat atau mencabut waris; mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.22 Hak-hak utama ahli waris adalah : a. Hak untuk menuntut pemecahan harta peninggalan. Diatur dalam Pasal 1066 KUHPerdata. “Tidak seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi”. Meskipun demikian, bila para ahli waris sepakat untuk tidak membagikan harta waris tersebut, maka diberikan tempo 5 (lima) tahun harta tersebut untuk dapat dibagikan. Terhadap hal ini golongan Timur Asing yakni Tionghoa menganggap pasal ini adalah bencana, sebab harta dianggap sebagai unit ekonomis. b. Hak saisine. Diatur dalam Pasal 955 KUHPerdata, yaitu pemindahan hak dan kewajiban dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini terjadi secara otomatis tanpa si ahli waris melakukan perbuatan tertentu. Hak ini berasal dari adagium Prancis yang berbunyi “le mart saisin le vif (orang yang mati berpegangan kepada orang yang hidup). Namun karena terjadinya secara otomatis, orang yang hidup (dalam hal ini ahli waris) sering kali merasa keberatan karena harus menanggung segala utang pewaris yang bisa jadi sedemikian besar melebihi harta yang 22
Badriyah Harun, Op cit, hal. 19-20
Universitas Sumatera Utara
18
ditinggalkan, sehingga dalam KUHPerdata diperbolehkan bagi seseorang untuk menolak hak warisnya. Penolakan harus dilakukan dengan tegas dengan suatu pernyataan yang dibuat di Kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum terbukanya warisan tersebut. Dengan adanya penolakan, maka si ahli waris secara hukum dianggap tidak pernah menjadi ahli waris. c. Hak heriditatis petitio, yaitu hak untuk mengajukan gugatan guna mempertahankan hak warisnya. Dengan demikian orang tersebut harus membuktikan bahwa dirinya adalah ahli waris yang sah. Hak ini akan gugur dalam jangka waktu 30 tahun sejak terbukanya warisan.23 Pewarisan dapat dilakukan dengan dua jalan, yaitu karena hubungan darah, baik sah maupun tidak sah (di luar perkawinan yang sah) dam karena perkawinan. “Pewarisan yang terjadi karena hubungan darah didasarkan oleh adagium yang berbunyi “het bloed erfhedgoed” (yang mempunyai hubungan darah terdekatlah yang memiliki hak untuk mewarisi barang-barangnya)”.24 Tidak semua bentuk hubungan darah dapat menjadi ahli waris. Terdapat klasifikasi tertentu yang mengukur jarak jauh dan dekatnya hubungan tersebut. Jauh dan dekatnya hubungan darah dikelompokkan ke dalam golongan-golongan ahli waris, yaitu : a.
Ahlis waris Golongan I Ahli waris golongan I adalah anak-anak beserta keturunannya dalam garis lurus ke bawah tanpa batas dan suami atau istri yang hidup lebih lama. Dalam ahli waris ini tidak terdapat perbedaan jenis kelamin bagi ahli waris sehingga antara anak yang satu dengan yang lainnya tidak terdapat pembedaan bagian waris.
23 24
Badriyah Harun, Opc cit, hal. 20-21 Ibid, hal. 22
Universitas Sumatera Utara
19
Anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian yang sama dari orangtuanya. Dalam golongan I terdapat juga kemungkinan terjadinya kewarisan berdasarkan haknya sendiri atau karena pergantian tempat. Pergantian tempat di sini misalnya cucu menggantikan kedudukan anak yang telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum pewaris. b. Ahli waris Golongan II Diatur dalam Pasal 854, 855, 856, 857 KUHPerdata. Menurut Pasal 854, warisan golongan II diperoleh karena haknya sendiri, sedangkan menurut Pasal 855 sampai 857 diperoleh karena pergantian tempat. Golongan II terdiri dari ayah, ibu, serta saudara-saudara si pewaris. Hal ini terjadi apabila si mati tidak memiliki anak, suami, atau istri. 1) Ayah, ibu mendapat 1/3 bagian sedangkan sisanya untuk satu saudara, baik laki-laki maupun perempuan; 2) Ayah, ibu mendapat 1/4 bagian jika si mati meninggalkan lebih dari satu saudara. Sisanya (3/4) dibagikan kepada saudaranya; 3) Ayah atau ibu (salah satunya telah tiada) dan pewaris meninggalkan satu orang saudara, maka bagian ayah atau ibu adalah ½ bagian; 4) Ayah atau ibu (salah satunya telah tiada) dan pewaris meninggalkan 2 orang saudara, balk laki-laki maupun perempuan, maka ayah atau ibu mendapat 1/3 bagian;
Universitas Sumatera Utara
20
5) Ayah atau ibu (salah satunya telah tiada), pewaris meninggalkan lebih dari 2 saudara laki-laki atau perempuan, maka bagian ayah atau ibu adalah ¼ bagian; 6) Bila tidak memiliki ayah atau ibu, maka seluruh harta peninggalannya menjadi hak seluruh saudara-saudara si pewaris. Dalam hal ayah dan ibu, kedua-duanya mewaris dari warisan anaknya, maka dalam Pasal 854 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa : Apabila seorang meninggal dunia dengan tak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka mereka masing-masig mendapat 1/3 (sepertiga) dari warisan, jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan yang mendapat 1/3 (sepertiga) selebihnya. “Syarat berlakunya Pasal 854 KUH Perdata adalah tidak ada keturunan maupun suami atau istri, dengan kata lain tidak ada ahli waris golongan pertama”.25 Adapun bagian dari masing-masing ayah dan ibu adalah : 1) Dalam hal bapak atau ibu mewaris sendiri, artinya tidak ada saudara-saudara yang mewaris bersama-sama dengannya, maka ia mewaris seluruh harta (Pasal 859 KUH Perdata) 2) Apabila bapak dan ibu sama-sama mewaris dengan tidak ada saudara-saudara yang mewaris bersama dengan mereka, maka masing-masing mendapat ½ (setengah) warisan.
25
J. Satrio, Op cit, hal. 126
Universitas Sumatera Utara
21
3) Dalam hal bapak dan ibu mewaris bersama-masa dengan seorang sudara lakilaki atau perempuan, maka ibu dan bapak masing-masing mendapat 1/3 sedangkan saudara mendapat sisa warisannya yaitu 1/3 (sepertiga). Apabila si pewaris meninggalkan lebih dari seorang saudara laki-laki atau perempuan dan mewaris bersama dengan bapak dan ibu pewaris, maka bapak dan ibu pewaris masing-masing memperoleh ¼ (seperempat) dari warisan, sedangkan 2/3 (dua per tiga) bagian sisanya adalah untuk saudara si pewaris tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 854 ayat (2) KUH Perdata. c.
Ahli waris Golongan III Sesudah Golongan I dan Golongan II tidak ada lagi, maka muncullah ahli waris Golongan III yang terdiri dari sekalian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ayah maupun ibu (Pasal 853 KUH Perdata). Yang dimaksud dengan keluarga dalam garis ayah dan ibu lurus ke atas adalah kakek dan nenek, yaitu ayah dan ibu dari ayah ibu pewaris, ayat dan ibu dari kakek maupun nenek, baik dari ayah maupun ibu dan seterusnya.
d.
Ahli waris Golongan IV Dalam Pasal 858 ayat (1) KUH Perdata ditentukan bahwa : Dalam hal tidak ada saudara (golongan II) dan sanak saudara dalam salah satu garis lurus ke atas (golongan II) maka ½ (setengah) bagian warisan (kloving) menjadi bagian sekalian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas yang masih hidup (kelompok ahli waris dalam garis yang satu), sedangkan ½ bagian lainnya menjadi bagian sanak saudara dalam garis yang lain.
Universitas Sumatera Utara
22
“Sanak saudara dalam garis yang lain adalah para paman dan bibi sekalian keturunan dari paman-paman dan bibi dan sekalian keturunan dari paman-paman dan bibi-bibi yang telah meninggal lebih dahulu dari pewaris”.26 Mewaris menurut undang-undang (ab intestate) dapat dibedakan antara orangorang yang mewarisi "uit eigen hoofde" dan mereka yang mewarisi "bij plaatsvervulling." Seorang dikatakan mewarisi "uit eigen hoofde" jika ia mendapat warisan itu berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap si pewaris. Seseorang dikatakan mewarisi "bij plaatsvervuling" jika sebenarnya seorang lain yang berhak atas suatu bagian warisan, tetapi orang itu telah meninggal lebih dahulu daripada orang yang meninggalkan warisan. Apabila beberapa orang bersama-sama menggantikan seseorang, maka dikatakan mereka itu mewarisi "bij staken," karena mereka itu bersama-sama merupakan suatu "staak" atau cabang. 27 Dalam golongan kedua dimasukkan orang tua dan saudara-saudara dari si meninggal. Pada asasnya orang tua itu dipersamakan dengan saudara, tetapi bagi orang tua diadakan peraturan-peraturan yang menjamin bahwa ia pasti mendapat bagian yang tidak kurang dari ¼ (seperempat) harta peninggalan pertama dan kedua, harta peninggalan itu dipecah menjadi dua bagian yang sama. Satu untuk para anggota keluarga pihak ayah dan yang lainnya untuk para anggota keluarga pihak ibu si meninggal. Dalam masing-masing golongan ini, lalu diadakan pembagian seolah-olah di situ telah terbuka suatu warisan sendiri. Hanya saja tidak mungkin terjadi suatu pemecahan (kloving) lagi, karena pemecahan hanya mungkin terjadi satu kali saja Jika dari pihak salah satu orang tua tiada terdapat ahli waris lagi maka seluruh warisan jatuh pada keluarga pihak orang tua yang lain. 26 27
J. Satrio, Ibid, hal. 146 Subekti, Op cit, hal. 98
Universitas Sumatera Utara
23
2. Konsepsi Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.28 “Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum”.29 “Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut definisi operational (operational definition)”.30 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghidarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut : Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan lain perkataan mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat-akibatnya bagi ahli waris.
28
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 397 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Seuatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7 30 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 10 29
Universitas Sumatera Utara
24
“Ahli Waris adalah mereka yang mempunyai hak atas harta untuk sebagian dari si peninggal warisan”.31 Golongan kedua adalah golongan ahli waris yang warisannya diperoleh karena haknya sendiri ataupun karena pergantian tempat. Timur Asing adalah warga negara asing yang menjadi penduduk Hindia Belanda yang memegang paspor dari negara asing non Eropa, misalnya dari negeranegara Arab, Cina, Jepang dan lain-lain. G. Metode Penelitian 1.
Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang
dititikberatkan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif. “Penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.”32 Dalam penelitian ini penelitian hukum yuridis normatif bertujuan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan dan hukum waris bagi masyarakat golongan Timur Asing Cina. “Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejalagejala lainnya”.33
31
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Catakan Kedua, Sinar Grafika, 2004, hal. 74 32 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op cit, hal. 13 33 Soerjono Soekanto, Op cit, hal. 10
Universitas Sumatera Utara
25
Oleh karena tipe penelitiaan yang akan digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundangundangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya berlaku bagi golongan Timur Asing Cina terutama dalam masalah perkawinan dan hukum waris. 2.
Sumber Data Data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang
dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup : a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum tentang hukum waris. c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahann hukum primer dan sekunder; misalnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.34 3.
Teknik dan Alat Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara
penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan studi dokumen, untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data sekunder yang berkaitan dengan penelitian, studi dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini.
34
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Loc cit
Universitas Sumatera Utara
26
4.
Analisis Data “Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”. 35 Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder maupun tersier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.36 “Analisis data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif karena penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar”.37
35
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung , 2002, hal. 101. Bambang Sunggono, Meto d e Pen eli tian Huku m, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, hal. 106 37 Soerjono Soekanto, Op cit, hal. 69 36
Universitas Sumatera Utara