Buku: Health Financing in Indonesia A Reform Road Map Penulis: Claudia Rokx; George Schieber; Pandu Harimurti; Ajay Tandon; Aparnaa Somanathan Publikasi World Bank
BAB 6 Pilihan-Pilihan Kebijakan: Penemuan Sumber Daya Untuk Kesehatan Beberapa pilihan yang diajukan untuk memperoleh cakupan universal cenderung memerlukan peningkatan yang besar dalam belanja pemerintah untuk kesehatan. Bab ini menguraikan sebuah kerangka pilihan dan alternatif untuk menciptakan ruang fiskal bagi peningkatan pembiayaan yang direncanakan dalam cakupan kesehatan di Indonesia sehingga dapat dinilai. Dapatkah pemerintah Indonesia meningkatkan belanja kesehatan dalam jangka pendek hingga jangka menengah untuk memenuhi kebutuhan cakupan universal? Jika begitu, pilihan dan pengalaman apa yang dapat dipertimbangkan dari negara lain? Menceri sumber daya pemerintah tambahan-ruang fiskal-memerlukan sebuah penilaian kemampuan pemerintah untuk meningkatkan belanja demi tujuan yang dikehendaki tanpa membahayakan kesanggupan finansial jangka panjang (Heller 2005). Meskipun ruang fiskal biasanya dinilai secara agregat, tanpa mengabaikan sektor tertentu, kerangka kerja analitik dalam ruang fiskal yang dinilai dapat disesuaikan dengan memperhitungkan prospek untuk meningkatkan belanja pemerintah khususnya untuk kesehatan. Salah satu cara menilai ruang fiskal untuk kesehatan adalah menguji pilihan-pilihan yang berbeda untuk menambah sumbersumber pembiayaan pemerintah yang baru dan juga meningkatkan dampak dari sumber-sumber saat ini melalui peningkatan efisiensi belanja publik pada kesehatan. Hal ini meliputi • • • • •
Kondisi makroekonomi yang baik/Favorable macroeconomic conditions seperi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan dalam seluruh pendapatan pemerintah yang, pada gilirannya, memunculkan peningkatan dalam belanja pemerintah untuk kesehatan; Repriorisasi/reprioritization kesehatan dalam anggaran pemerintah; Peningkatan dalam bantuan dan hibah asing tertentu dalam kesehatan/health-specific foreign aid and grants; Peningkatan sumber daya kesehatan tertentu/health-specific resources, misalnya, melalui pemungutan pajak atau pengenalan premi-premi asuransi kesehatan wajib/yang diperintahkan; dan Peningkatan Efisiensi pengeluaran dalam kesehatan pemerintah
Kondisi Makroekonomi Yang Baik Dua pilihan yang pertama disebutkan diatas sebagian besar diluar domain dari sektor kesehatan; mereka melibatkan kebijakan-kebijakan dan kondisi-kondisi makroekonomi yang umum dan juga pertukaran lintas sektoral politik dan ekonomi. Akan tetapi, meskipun eksogenus/diluar
sektor kesehatan, hal ini tetap penting untuk menganalisis implikasi belanja kesehatan pemerintah terhadap perubahan-perubahan dalam lingkungan makroekonomi dan politik yang digeneralisasi dalam sektor yang sedang beroperasi. Tersisa tiga pilihan dalam domain yang langsung dari sektor kesehatan dan perhatian khusus yang layak diberikan bahwa mereka menyediakan sumber daya yang potensial adalah sektor tertentu. Lihat kotak 6.1 untuk representasi visual dari dimensi ruang fiskal. Kotak 6.1 Visualisasi Ruang Fiskal Untuk Kesehatan: Skenario Hipotesis Untuk Indonesia Salah satu alat visualisasi ruang fiskal yang sangat berguna untuk kesehatan adalah menggunakan “spider plot”. Dapat dilihat dalam gambar dibawah, ada lima aksis yang berbedabeda, setiapnya mewakili sebuah alat yang berbeda tentang belanja pemerintah dalam kesehatan yang secara potensial dapat meningkat. Gambar ini menunjukkan persentase belanja kesehatan pemerintah yang riil yang meningkat terhadap belanja yang diberikan setiap tahun melalui setiap pilihan yang berbeda. Gambar ini menunjukan sebuah skenario hipotesis untuk Indonesia dimana belanja kesehatan pemerintah meningkat 4% dapat diharapkan dari kondisi makroekonomi yang tepat (contohnya, sebuah hasil dari petumbuhan ekonomi). Dengan cara yang sama, peningkatan 5% dapat datang dari repriorisasi program pemerintah dan peningkatan 1% dari sumber sektor tertentu seperti pengenalan dari pemungutan pajak untuk kesehatan. Gambaran ruang fiskal untuk kesehatan Sumber: penulis Salah satu prediktor yang paling kuat terhadap ruang fiskal dan peningkatan belanja pemerintah (termasuk untuk kesehatan) adalah pendapatan nasional. Diantara faktor-faktor lain, pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan penghasilan pendapatan yang lebih tinggi-di semua tingkat dan sebuah persentase dari ekonomi-dan ini cenderung untuk berkaitan dengan belanja pemerintah yang lebih tinggi. Catatan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah benar-benar sehat dan kuat. Di tahun 2007, GDP Indonesia tumbuh dengan angka kesehatan 6,3% (World Bank 2008a). berikutnya kemunduran signifikan yang dihadapi selama periode krisis ekonomi 19972000, Negara telah pulih dengan baik, menempatkan angka pertumbuhan GDP dalam kisaran 46% per tahun semenjak pergantian milenium. Sebelum ekonomi global meleleh/jatuh yang dimulai tahun 2008, prospek makroekonomi nampak kuat. Meskipun ini sulit untuk memprediksikan dampak secara tepat dari kecenderungan penurun saat ini, kemungkinan dari dampak negative pada makroekonomi dan proyeksi pertumbuhan Indonesia tidak dapat diabaikan, khususnya jika permintaan eksport, investasi asing, dan aliran modal berpengaruh buruk (IMF 2008). Seperti ditunjukkan dalam gambar 6.1, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi yang perlahan-lahan turun sekitar 5,5% di tahun 2009, pemulihan seperti tingkat sebelum krisis diramalkan pada tahun 2013. Karena diskusi sebelumnya, beberapa penurunan secara perlahan-lahan pertumbuhan ekonomi mungkin menempatkan ruang fiskal dalam resiko potensi penurunan yang signifikan dengan peningkatan seluruh belanja pemerintah secara perlahan-lahan dan belanja pemerintah pada kesehatan. Gambar 6.1 Peninjauan Kembali Peramalan Pertumbuhan Ekonomi Untuk Indonesia (2008-2013)
Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap belanja pemerintah dalam kesehatan, meskipun penting, bukan hanya sebuah produk dari ketersediaan penghasilan yang meningkat tetapi dari faktor-faktor yang lain yang sama baiknya. Elastisitas dari belanja kesehatan pemerintah terhadap GDP cenderung lebih besar dari salah satunya, berarti bahwa belanja kesehatan pemerintah cenderung meningkat dengan nilai yang lebih cepat dari pada angka pertumbuhan GDP. Ada banyak alasan mengapa sebuah tren seperti itu diamati, termasuk sebuah perubahan dalam preferensi sosial ke penentuan pemerintah terhadap layanan sosial secara umumnya. Berdasarkan sebuah analisis trend data untuk periode 1995-2006, elastisitas nominal dari total belanja kesehatan untuk Indonesia adalah 1,05, dan dari belanja kesehatan public adalah 1,11.2 Gambar 6.2 menunjukkan tren pada periode 1979-2007 dalam belanja kesehatan pemerintah pusat dan, desentralisasi yang menyertainya, total belanja kesehatan pemerintah. Meskipun tidak Nampak dari gambar, belanja kesehatan pemerintah cenderung meningkat sebagai bagian dari GDP di Indonesian dari waktu ke waktu melalui kedua seri. Meskipun bagian dari daya tanggap belanja kesehatan nominal terhadap GDP nominal mungkin juga hasil dari diferensial harga yang beruba-ubah dalam kesehatan terhadap harga untuk seluruh ekonomi, analisis komponen kesehatan dari indeks harga konsumen untuk Indonesia 1996-2005 menyarankan bahwa indeks harga kesehatan dan indeks harga umum tumbuh dengan angka rata-rata tahunan yang sama sebesar 15% dalam periode ini (World Bank 2009a).
Gambar 6.2 Tren Jangka Panjang Dalam Belanja Kesehatan Pemerintah di Indonesia (1979-2007) Belanja kesehatan pemerintah secara potensial dapat naik dari 0,99% GDP di tahun 2007 menjadi 1,07 % dari GDP di tahun 2013 jika elastisitas belanja kesehatan pemerintah terhadap GDP di Indonesia tetap pada tingkat 1,11 % tahun 1995-2006 dan pertumbuhan ekonomi pada angka yang diproyeksikan oleh IMF saat ini. Table 6.1 melaporkan tren yang diproyeksikan untuk belanja kesehatan pemerintah, dalam tingkat ini dan sebagai sebuah persentasi dari GDP, menggunakan peramalan pertumbuhan IMF dan nominal GDP untuk Indonesia hingga tahun 2013. Dapat dilihat dalam tabel, berdasarkan pertumbuhan ekonomi-berkaitan dengan proyeksi, tingkat belanja kesehatan nominal Indonesia akan lebih dari dua kali pada periode 2007-13, menegaskan pentingnya pertumbuhan ekonomi untuk menghasilkan ruang fiskal untuk kesehatan. Table 6.1 Belanja Kesehatan Pemerintah: yang sebenarnya (2004-07) dan yang diproyeksikan (2008-13) Repriorisasi Anggaran Kesehatan Sumber yang kedua dari ruang fiskal untuk kesehatan di Indonesia dapat menjadi repriorisasi kesehatan dalam anggaran. Beberapa faktor yang mengindikasikan bahwa kesehatan disampaikan dengan prioritas yang relative rendah dalam anggaran. WHO memperkirakan bahwa pemerintah Indonesia mengalokasikan sekitar 5,3% dari anggarannya untuk kesehatan di tahun 2006.3 Angka ini adalah jauh lebih rendah daripada rata-rata untuk kawasan asia timur dan
pasifik (EAP) dan juga rata-rata untuk negara berpenghasilan lebih rendah-menengah secara umum, dengan Negara-negara di kelompok ini membelanjakan sekitar dua kali jumlahnya-ratarata sekitar 10% -pada kesehatan sebagai sebuah bagian dari anggaran pemerintah di tahun 2006. Alokasi anggaran yang lebih rendah tidak perlu menjadi pembatas penentuan layanan kesehatan, khususnya jika jumlah belanja lebih rendah are off set dengan tingkat yang lebih rendah dari efisiensi di beberapa Negara. Bagaimanapun, seperti didiskusikan diatas, ini tidak muncul menjadi kasus untuk Indonesia. Salah satu indikasi dari prioritas yang rendah disampaikan untuk kesehatan di Indonesia datang dari pembandingan total belanja pemerintah sebagai bagian dari pendapatan dengan belanja kesehatan pemerintah sebagai bagian dari pendapatan (gambar 6.3). seluruh belanja pemerintah Indonesia adalah rata-rata untuk tingkat pendapatannya sebagai bagian dari GDP.4 bagaimanapun, belanja kesehatan pemerintah jauh lebih rendah daripada apa yang mungkin diprediksikan untuk tingkatnya dari pendapatan. Gambaran 6.3 Pendapatan dan Belanja Kesehatan dan Total Pemerintah (2006) Sumber daya Tertentu-Untuk Kesehatan Cara lain untuk menghasikan ruang fiskal kesehatan adalah pemerintah mencari bantuan dan hibah asing/luar negeri tertentu untuk kesehatan dari donor internasional. Pinjaman dan hibah dari organisasi internasional seperti dana global/Global Fund untuk melawan AIDS,Tuberculosis, dan Malaria dan aliansi global/Global Alliance untuk vaksin dan imunisasi dapat menyediakan pembiayaan tertentu-untuk kesehatan. WHO memperkirakan bahwa sekitar 2.3% dari total belanja kesehatan di Indonesia untuk tahun 2006 dibiayai oleh sumber-sumber eksternal. Proporsi ini-mengikuti sebuah peningkatan dalam periode pasca krisis 1997-2000-secara umum telah menurun dari waktu kewaktu(gambar 6.4) proporsi 2006 untuk Indonesia adalah agak lebih rendah daripada rata-rata unutk Negara-negara berpenghasilan lebih rendah-menengah (7.7%)dan untuk kawasan EAP secara keseluruhan (17,5%), meskipun rata-rata yang akhir dalam keadaan tertentu adalah bias dikarenakan inclusi dari Negara-negara kecil di pasifik. Gambar 6.4 Sumber Daya Eksternal Sebagai Bagian Dari Belanja kesehatan di Indonesia (1995-2006) Karena tren penurunan dan status indonesia saat ini sebagai Negara berpenghasilan lebih rendahmenengah, ini tidak Nampak meskipun bantuan asing akan menjadi sebuah pilihan yang viable/yang dapat berjalan untuk menghasilkan ruang fiskal kesehatan. Tidak seperti krisis Indonesia sebelumnya, krisis saat ini berasal dari Amerika serikat dan berpengaruh pada kebanyakan Negara-negara donor. Anggaran bantuan asing yang diharapkan menghadapi beberapa pengetatan dalam setahun atau dua tahun yang akan datang dengan jumlah yang sangat sedikit. Pada saat itu keuangan global runtuh akibat pembatasan fiskal yang sangat signifikan. Indonesia mungkin butuh untuk mempertimbangkan beberapa langkah-langkah pembiayan gapstop untuk memastikan bahwa kesehatan tidak bertahan terhadap pukulan dari goncangan makroekonomi.
Sektor kesehatan adalah agak unik dalam artian, internal sektor, ada sejumlah cara yang memungkinkan, termasuk memperuntukan pajak, dimana ruang fiskal dapat dihasilkan. Misalnya penarikan pajak “dosa” untuk tembakau dan alkohol adalah cara yang popular untuk menghasilkan ruang fiskal untuk kesehatan. Salah satu manfaat dari pajak seperti itu adalah bahwa, bahkan jika mereka ternyata adalah bukan sumber utama dari pendapatan, mereka dapat membantu mengurangi konsumsi dan berikut morbiditas dan kematian berkaitan dengan penggunan tembakau dan alkohol. Sebaliknya penarikan digunakan sebagai sebuah alat untuk memperbanyak sumber daya-sumber daya yang mungkin terus memindahkan pembiayaan yang ada dan dengan demikian tidak mempunyai dampak bersih yang signifikan pada seluruh sumber daya kesehatan (McIntyre 2007). Halangan politik dapat muncul dalam pemajakan tembakau di Indonesia. Indonesia adalah satusatunya Negara di Asia yang tidak menandatangani Konvensi Kerangka Kerja WHO untuk Kontrol Tembakau. Salah satu alasan yang disebutkan adalah bahwa penghilangan pajak produksi tembakau, menghilangkan hampir 10% dari pendapatan pemerintah, dan perkiraan mengindikasikan bahwa sektor ini memperkerjakan hampir 7 juta orang (Economist 2007). Pajak rokok di Indonesia adalah paling rendah, hanya 31% dari harga rokok. Studi telah menyarankan bahwa peningkatan 10% dalam harga rokok dapat menurunkan konsumsi dari 3,5% hingga 6,1 % dan meningkatkan pendapatan pemerintah dari pajak rokok sebesar 6,7 hingga 9,0% (Achadi, Soerodo, and Barber2005). Bagaimanapun, pajak rokok dan alcohol seringkali regresif/dipungut dan mungkin akan menimbulkan penghindaran dan pengembangan pasar gelap. Meskipun para ekonom berargumen bahwa penarikan pajak tanpa memerlukan pembatasan dan dapat muncul untuk mendukung melalui- atau pembiayaan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat dari penarikan pajak, mereka secara ekstrem popular dalam perspektif politik. Thailand secara sukses mengimplementasikan sebuah penarikan pajak langsung untuk mendanai aktivitas promosi kesehatan. Di tahun 2001, Thailand mendirikan Thai Health Promotion Foundation (ThaiHealth), dananya berasal dari penarikan pajak sebesar 2% pada konsumsi tembakau dan alkohol yang diperkirakan menyediakan arus pendapatan tahunan sebesar US$50 juta (WHOSEARO 2006). Thailand juag tetap meningkatkan pajak rokok dari tahun ke tahun dari 55% di tahun 1993 hingga 73% di tahun 2001-akibatnya angka konsumsi yang menurun tetapi meningkatkan pendapatan pemerintah dari pajak tembakau. Mekanisme tertentu- sektor kesehatan lainnya yang potensial untuk menghasilkan ruang fiskal adalah pengenalan asuransi kesehatan mandatory. Strategi ini memfasilitasi “penangkapan” oleh sektor public dari pembayaran Out Of Pocket (OOP) yang tinggi dengan mengumpulkan premipremi yang diperlukan dalam asuransi kesehatan mandatory untuk kelompok yang tidak mendapatkan manfaat. Dasar-dasar ekonomi mengiringi beberapa mekanisme asuransi adalah ide yang individu lebih menyukai pembayaran dari suatu pajak atau premi yang diberikan yang dapat diprediksi (dan relative kecil) dan menghindari pembayaran yang tidak dapat diprediksi (dan biasanya besar) ketika sebuah guncangan kesehatan atau lainnya terjadi. Ada beberapa bukti bahwa individu mungkin menjadi lebih berkeinginan untuk membayar pajak dan premi sepanjang ada manfaat yang jelas untuk pembayaran seperti pajak atau prremi (Buchanan 1963).5 Penciptaan ruang fiskal yang sukses melalui asuransi kesehatan mandatory tergantung pada ukuran penduduk dan kemampuan untuk mendaftar segmen/bagian yang mampu membayar
premi dari penduduk. Indonesia sukses dalam menghasilkan ruang fiskal dari asuransi mandatory yang tergantung pada luasan penduduk yang tersisa yang dapat didorong untuk mendaftar dalam program asuransi nasional dengan begitu itu beberapa dari sumber daya tambahan yang dikumpulkan dapat digunakan untuk mensubsidi penduduk yang tidak mampu membayar premi, persoalan penting di Indonesia adalah besarnya sektor informal; lebih dari 60% dari angkatan kerja. besaran Ini tetap besar dari periode ke periode pertumbuhan ekonomi yang dipertahankan(Sugiyarto, Oey-Gardiner, and Triaswati 2006). Dengan bagian besar pekerjaan di sektor informal seperti itu, dan jadi memperoleh kontribusi premi yang akan menghasilka ruang fiskal, mungkin secara ekstrim menjadi menantang. Efisiensi dalam Belanja Kesehatan Selain peningkatan jumlah anggaran untuk kesehatan, ruang fiskal yang efektif mungkin dihasilkan dengan meningkatkan efisiensi dari belanja. Perbaikan dalam efiseinsi sistem kesehatan dapat menjadi sumber penting ruang fiskal. Sri lanka telah mampu untuk memperoleh hasil-hasil kesehatan yang unggul dengan sumber daya yang relative rrendah, sebagian dikarenakan efisiensi yang mendasari sistem kesehatannya (kotak 4.1) Mengikuti desentralisasi di tahun 2001, hingga satu-setangah dari semua belanja kesehatan di indoensia terjadi pada tingkat kabupaten. Di tahun 2006, pemerintah pusat berkontribusi sekitar 39% dari semua belanja publik dalam kesehatan dan provinsi berkontribusi terhadap sisanya (World Bank 2008c). bagaimanapun, belanja kesehatan kabupaten tetap, bagian yang terbesar, belanja tetap atau rutin, sebagian besar mencakup gaji bagi angkatan kerja kesehatan yang bekerja untuk publik. Selain itu, beberapa keraguan tersisa seputar akuntabilitas dan kemampuan memberi tanggapan terhadap tingkat pemerintahan yang berbeda-beda. Klarifikasi dari persoalan-persoalan ini dapat secara potensial membantu memperbaiki efisiensi dari sistem kesehtan di Indonesia. Seperti didiskusikan diawal, output berubah-ubah secara signifikan pada tingkat kabupatenkabupaten di Indonesia, menyarankan bahwa pelajaran dapat dipelajari dari kabupaten dengan perrforma yang lebih baik. Salah satu kesempatan untuk memperbaik ruang fiskal yang efektif dalam sebuah konteks terdesentralisasi adalah mendesain transfer interfiskal sehingga mereka sanggup untuk memperoleh output dan hasil. Mekanisme seperti itu telah ditemukan benar-benar sukses di Argentina (lihat kotak 6.2) dan Rwanda dan dapat dipertimbangkan dalam konteks Indonesia karena hanya persentase kecil dari transfer yang terikat dengan sektor tertentu dan bahkan mereka itu tidak terkait dengan perolehan output atau hasil tertentu. Selain perolehan efisiensi dari koordinasi yang lebih baik dalam semua tingkatan pemerintah, beberapa studi mengindikasikan kesempatan yang lain melalui perolehan efisiensi yang mungkin disadari di Indonesia. Misalnya sebuah analisis IMF berpendapat bahwa Indonesia –dengan rasionalisasi belanjanya dan mengurangi subsidi-subsidi energy-dapat memperluas seluruh ruang fiskal hampir sebesar 1.5% dari GDP. Usaha Ini akan memerlukan pemindahan pembengkakan belanja jauh dari kategori-kategori personal, pembayaran bunga, subsidi, dan aparat pemerintah saat ini (yang memberikan ruang kecil untuk investasi infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan; IMF 2008). Selain itu, laporan belanja publik/ Public Expenditure Review (World Bank 2007b) saat ini menunjukkan bahwa belanja kesehatan public didominasi oleh belanja untuk gaji
personel dan manfaat terutama semata bagi quintile/kelompok yang paling kaya: beberapa perolehan efisiensi mungkin diaktualisasikan dengan penargetan yang lebih baik dan peningkatan elemen –elemen belanja kesehatan dengan bebas memilih.
Kotak 6.2 Pendesainan Transfer Interfiskal untuk Memperolah Hasil-hasil Kesehatan di Argentina Plan Nacer Argentina dimulai tahun 2004 untuk menyediakan cakupan pada orang miskin di provinsi-provinsi yang berlokasi di bagaian utara Negara. Program ini didesain untuk menyediakan pembiayaan berbasis hasil untuk pemerintah provinsi berdasarkan jumlah pendaftar dalam program dan juga performa pada set/serangkaian dari indikator kesehatan dasar. Sekitar 60% dari transfer interfiskal dari pemerintah pusat ke pemerintah propinsi berdasarkan jumlah pendaftar dan sisanya 40 % terikat pada pencapaian 10 indikator pelacak, seperti angka imunisasi dan berat rata-rata bayi yang baru lahir. Penyampaian layanan diselenggarakan oleh pemerintah provinsi untuk menjamin para penyedia publik dan swasta dan pasien bebas untuk memilih diantara para penyedia. Program ini membiayai sebuah bantuan yang sesuai dengan kondisi dari pemerintah pusat ke provinsi, yang membayar setengah dari rata-rata biaya perkapita dari paket manfaat dasar (BBP) mencakup 80 intervensi kesehatan ibu dan anak yang efektif untuk ibu yang tanpa asuransi dan anak hingga berumur 6 tahun. Progam ini telah membangun insentif untuk peningkatan angka pendaftaran dan penetapan layanan yang berkualitas. Pembayaran berdasarkan kapitasi dan beban biaya unit mendorong negosiasi dengan para penyedia dan efisiensi dalam penyampaian layanan. Hasil-hasilnya secara independen diaudit dan telah mendorong. sumber: Johannes 2007. Indikasi yang lain bahwa ruang untuk perolehan efisiensi tersedia datang dari studi ketidakadaan pekerja kesehatan di Indonesia, studi menemukan ada 40% angka ketidak-adaan diantara pekerja medis (Chaudhury et al. 2006). Angka ketidakadaan cenderung lebih tinggi untuk dokter daripada tipe lain dari pekerja kesehatan. Jelasnya, ada sebuah kebutuhan untuk mengevaluasi kembali persoalan insentif dan penguasaan berkaitan dengan penyampaian layanan kesehatan yang diberikan itu-dalam istilah “riil”-pengeluaran belanja mungkin tidak diterjemahkan secara efektif kedalam input-input sumber daya manusia dalam sistem kesehatan di Indonesia.
BAB 7 Kesimpulan dan langkah-langkah selanjutnya Indonesia sedang berada pada persimpangan jalan dalam pencarian untuk cakupan asuransi kesehatan universal bagi penduduknya. Pencapaian cakupan universal telah terbukti menjadi tantangan yang besar bahkan untuk negara-negara berpendapatan tinggi. Tidak mengejutkan, hanya sedikit negara berkembang secara sukses telah mencapai cakupan universal dengan hasilhasil kesehatan yang baik dan tingkat yang tinggi dalam perlindungan finansial, dan telah mampu untuk mencapai dan mempertahankan reformasi mereka. Seperti Thailand, mereka ditantang secara terus-menerus dengan tekanan biaya dari transisi demografi, epidemiologi dan nutrisi; mahalnya teknologi-teknologi medis yang baru; pasar inheren gagal dalam sistem kesehatan dan asuransi; dan permintaan yang tidak pernah puas dari penduduk mereka. Buku ini berusaha untuk menyediakan panduan substantif bagi pemerintah Indonesia tentang bagaimana buku ini mungkin meneruskan reformasi cakupan asuransi kesehatan universal. Laporan ini akan menguji realitas-realitas demografi, sosioekonomi, geografi, dan politik di Indonesia; kekuatan dan kelemahan sistem kesehatan Indonesia dan program asuransi kesehatan saat ini; bukti-bukti global berdasarkan “praktek yang baik” dalam reformasi pembiayaan kesehatan; dan realitas makroekonomi Indonesia saat ini. Buku ini berusaha untuk membangun literatur kesehatan spesifik –indonesia yang luas dan menyediakan saran yang tepat waktu tentang parameter-parameter reformasi dan pilihan kunci untuk pertimbangan bagi pemerintah dan dewan keamanan sosial. Buku ini fokus pada (i) kerja analitis melalui koleksi data yang baru dan analisa dan melalui ringkasan pengalaman-pengalaman Indonesia dan global yang sebelumnya dan (ii) menyediakan pilihan untuk pertimbangan bagi pembuat keputusan politik yang menghadapi persoalan kebijakan dan kebutuhan akan informasi yang besar dalam menetapkan konfigurasi sistem cakupan universal (UC) akhir dan langkah-langkah transisi untuk mencapainya. Bab ini meringkas beberapa kebijaksanaan konvensional global dan memunculkan beberapa persoalan penting yang perlu untuk disampaikan secara komprehensif sebagai proses reformasi yang bergerak maju. Kebijaksanaan Dari Usaha-Usaha Reformasi Pembiayaan Kesehatan Global Sejumlah wawasan telah berkembang dari “kesuksesan” dan “kegagalan” negara-negara lain dalam reformasi yang berhubungan erat dengan Indonesia: • •
lebih mudah untuk mmperluas cakupan dan manfaat daripada menguranginya. ketika sebuah program universal yang seragam diciptakan dari beberapa program yang ada, paket manfaat umumnya bertahan menjadi program yang paling banyak memberi manfaat.
• • • • • • •
•
Ekspansi yang besar dari cakupan seharusnya tidak dikerjakan dengan sistem yang tidak efisien. sangat sulit untuk membiayai sebuah reformasi jangka pendek melalui perolehan efisiensi Besarnya sisi permintaan adalah penting tetapi, dari prespektif individu, biaya seringkali tidak relevan ketika biaya diperuntukkan bagi layanan kesehatan; jadi para dokter umumnya yang menentukan permintaan. Besarnya sisi penawaran (regulatory and reimbursement) adalah benar-benar penting untuk mengontrol biaya dalam beberapa sistem yang pluralistik Kegagalan pasar substansial dalam layanan kesehatan membatasi efisiensi-efisiensi inheren yang mendasari kompetisi, baik di antara penjamin atau penyedia, yang memerlukan mekanisme pengaturan yang kompleks Reformasi utama dalam perencanaan penyampaian dan praktek medis yang memakan waktu, khususnya jika sejumlah besar dokter dan tipe dokter spesialis perlu untuk dilatih. Pemerintah perlu mempertimbangkan pembiayaan swasta dan penyampaian swasta, jika diberikan rujukan pribadi yang potensial oleh penyedia publik, kemampuan penjamin asuransi dan para penyedia untuk menstranfer resiko kesehatan yang paling rendah ke dalam sistem publik, dan kemungkinan biaya investasi di sektor swasta yang tidak efisien (the “medical arms race”) yang dapat menghasilkan hilangnya pertumbuhan dan pekerjaan. Rasionalisasi dari sistem penyampaian kesehatan perlu untuk menjadi aspek yang implisit atau eksplisit dari perluasan cakupan dan dari pengaturan, jaminan kualitas, dan mekanisme pembayaran (IMF 2007).
Semua persoalan ini adalah relavan dengan Indonesia, yang menghadapi sistem asuransi kesehatan yang terfragmentasi, ketidakefisienan dan keterbatasan sisi supply yang serius, sistem penyampaian pluralistik, dan paket manfaat yang luas dan berbeda-beda dari program-program. Sementara buku ini fokus pada pembiayaan kesehatan, banyaknya persoalan sistem kesehatan dan kesehatan publik lainnya juga harus disampaikan dengan pendekatan reformasi di indonesia. Pemerintah seharusnya, melalui proses kebijakan yang terus-menerus dan pembangunan dengan rencana pembangunan lima tahun kedepannya, memastikan sebuah fokus terkoordinasi pada kisaran penuh terhadap persoalan-persoalan reformasi kesehatan dan mengkoordinasikan kerja dari badan jaminan sosial dengan proses kebijakan kesehatan dari agen-agen publik lainnya pada semua tingkatan pemerintah.
Jalan Maju Indonesia telah menerapkan dasar legislatif yang luas untuk maju ke cakupan universal, dan badan jaminan sosial telah menfokuskan pada persoalan-persoalan implementasi tertentu. Kenyataannya, undang-undang 40/2004 mensyaratkan bahwa sebuah undang-undang tentang badan administrasi jaminan sosial dan mengimplementasikan peraturan dari undang-undang keamanan sosial yang didrafkan dan disahkan pada tanggal 28 Oktober 2009. Khususnya, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Sosial telah mencurahkan usaha-usaha substantial untuk mengembangkan draf undang-undang dalam sejumlah area reformasi kritis, termasuk sebagai berikut:
• • •
Draft undang-undang untuk badan administrasi jaminan sosial (Carriers), yang menjelaskan peranan dan fungsi dari Carriers jaminan sosial yang ada dan yang menjadi dasar hukum untuk organisasi itu beroperasi dalam reformasi jaminan sosial. Draft Peraturan Pemerintah untuk penerima asuransi jaminan sosial, yang fokus pada identifikasi penerima asuransi, mekanisme penargetan, kriteria yang memenuhi syarat, dan registrasi penerima, dan juga premi dan kontribusi Draft konsep bagi Peraturan Presiden untuk Program Asuransi Kesehatan Nasional, yang menyampaikan persoalan cakupan penerima, termasuk BBP dan pekerja sektor formal dan informal yang tidak tercakupi; seting premi; dan tingkat kontribusi dan pembagian di antara pekerja, majikan, dan tingkat pemerintah.
Usaha-usaha ini, secara mendetail yang ditunjukan pada website dari Menteri Koordinasi Kesejahteraan Sosial, semua menyampaikan, pada berbagai macam tingkatan secara mendetail, banyak persoalan kunci yang muncul di bab 5. Sementara mereka mewakili sebuah usaha serius unyuk terus maju dalam reformasi asuransi kesehatan, masih ada sejumlah kerja yang perlu dijalankan dengan cara bertahap secara terpadu dan tepat. Hal ini termasuk pengembangan lebih jauh dari kebijakan yang mendetail dalam banyak area penting dan studi analitis dari program dan biaya administratif, hasil-hasil kesehatan, perlindungan finansial, kesetaraan, efisiensi dan dampak berkelanjutan dari pilihan kebijakan alternatif. Kerja selanjutnya juga diperlukan untuk memperhalus visi yang terakhir, dan juga langkah-langkah strategi dan penetapan waktu. Selain itu, sejumlah studi yang dijalankan oleh pemerintah, donor, dan stakeholder lainnya menyediakan kontribusi yang relevan untuk pengambilan keputusan sebagaimana pemerintah meneruskan dengan pengembangan dan implementasi dari reformasi. Sementara semua usaha ini berguna untuk menanam pohon-pohon individu dalam hutan yang kompleks dari reformasi layanan kesehatan, apa yang telah tidak terbukti adalah konfigurasi akhir untuk mendiami hutan dan peta jalan untuk menanam pohon agar secepatnya sampai disana. Singkatnya, pemerintah perlu untuk memutuskan sistem asuransi kesehatan nasional akhir yang telah terpikiran dan kemudian secara hati-hati menetapkan langkah-langkah transisi.
Dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan besar seperti itu, Indonesia, sama dengan kebanyakan Negara lain, kekurangan informasi kritis-tentang desain kebijakan, implementasi yang mendetail, dan data-yang diperlukan untuk pembuat keputusan yang diinformasikan. Selain itu, gambaran besar dalam pemilihan kebijakan pada sistem asuransi kesehatan nasional akhir dan langkah-langkah transisi hanya dapat dibuat secara berpasangan dengan pilihan kebijakan spesifik pada persoalan-persoaIan yang lebih kecil, seperti kelompok yang memenuhi syarat untuk cakupan dengan setiap program, mekanisme penargetan, persyaratan kontribusi (untuk individu, perusahaan,dan pemerintah), mekanisme pembayaran penyedia dan tingkatannya, dan lingkungan makroekonomi masa depan. Pemilihan-pemilihan kebijakan yang rasional perlu didasarkan pada dampak kuantitatif dan kualitatif dari kebijakan seperti itu, seperti hasil-hasil kesehatan, perlindungan finansial, daya tanggap konsumen, akses, kesetaraan, efisiensi, biaya (publik dan swasta), dan macroekonomi yang berkelanjutan. Berdasarkan pengalaman global, persoalan-persoalan kebijakan penting berikut seharusnya membentuk kerangka kerja untuk implementasi dari cakupan universal:
1. Pengembangan yang lebih jauh lagi diperlukan seperti data untuk meng-update pembuatan keputusan laporan kesehatan nasional; informasi klaim asuransi; dan biaya, kesetaraan, dan analisis insidensi manfaat untuk mengevaluasi pilihan kebijakan. Hal ini penting untuk memberikan prioritas yang tinggi dalam pengembangan berdasarkan actuarial/statistic asuransi dari program asuransi kesehatan saat ini dan masa depan yang dimaksudkan dan mendapatkan perkiraan yang lebih baik dari tanggapan perilaku konsumen dan penyuplai untuk mengubah cakupan asuransi. Analisis-analisis ini seharusnya menjadi penilaian terhadap paket manfaat dasar saat ini dan juga proposal dari badan jaminan sosial, yang diukur dengan keefektifan biaya dan perlindungan finansial terhadap belanja out of pocket (OOP) yang berlebihan, untuk memampukan pilihan rasional dari BBP dalam reformasi asuransi kesehatan nasional. 2. Penilaian awal dari keterbatasan sisi supply pada sumber daya manusia dan infrastruktur yang menyoroti sejumlah area penting dimana ketidak-efektifan perlu untuk disampaikan dan juga area yang akan datang dibawah tekanan lebih yang diberikan dari realitasrealitas demografi, nutrisional, dan epidemiologi. 3. Membangun penilaian sektor farmasi dan identifikasi awal dari kesempatan-kesempatan potensial dalam memperluas asuransi kesehatan mandatory, pemerintah didorong untuk lebih jauh lagi mengevaluasi kebijakan-kebijakan sektor farmasi dan diperlukan perubahan-perubahan untuk membantu implementasi reformasi asuransi kesehatan nasional. 4. Desentralisasi dan reformasi asuransi kesehatan yang terus menerus mengharuskan klarifikasi peranan residual dari Kementrian Kesehatan (MoH) yang berkaitan dengan sistem asuransi publik. Dalam peranan pelayanan yang lebih luas, menilai efek kebijakan dalam sektor yang lain (seperti air dan pendidikan) pada kesehatan juga harus menjadi prioritas tinggi, menilai kebutuhan untuk kebijakan sisi-permintaan tambahan seperti transfer tunai bersyarat. 5. Sekali keputusan tentang pilihan pembiayaan telah dibuat sesuai dengan peta untuk cakupan asuransi kesehatan universial, akan menjadi penting untuk mengembangkan, ekperimen dengan, dan mengevaluasi dampak dari mekanisme pembayaran penyedia alternatif terhadap biaya, kualitas, dan akses 6. Cakupan struktur administratif yang penting untuk mengimplementasikan reformasi perlu dikembangkan lebih jauh lagi, termasuk penilaian biaya administrative dan sistem pengembangan untuk memastikan kualitas, ukuran efisiensi, dan mengevaluasi dampak reformasi. 7. Pengalaman lokal yang kaya dalam menyediakan cakupan asuransi kesehatan seharusnya dinilai secara hati-hati karena eksperimen alami ini adalah sumber penting untuk informasi pada usaha reformasi asuransi kesehatan tingkat nasional. 8. Untuk Mencapai cakupan asuransi kesehatan universial sangat mungkin memerlukan peningkatan-peningkatan yang besar dalam belanja pemerintah, tidak masalah yang mana pilihan yang dipilih. Jadi, perhatian terus-menerus untuk mengevaluasi situasi makro Indonesia di masa depan, termasuk prioritas-prioritas yang saling bersaing untuk
memecahkan masalah krisis financial dan ekonomi global saat ini, adalah penting menilai kebutuhan untuk perubahan dalam struktur fiskal inter-pemerintah saat ini. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (Medium-Term Development Plan) lima tahun, atau RPJM, dan proses badan jaminan sosial seharusnya distrukturisasi untuk menyampaikan ini dan persoalan terkain lainnya. Untuk menyelesaikan persoalan yang banyak, Indonesia (seperti Negara-negara lain lakukan) mungkin perlu menciptakan kelompok kerja tambahan tertentu untuk menyampaikan area topik yang berbeda ini dengan dewan yang menyediakan seluruh manajemen dari seluruh set persoalan, termasuk kordinasi dengan agen-agen pemerintah, yang berkaitan dengan interaksi efek melalui kebijakan-kebijakan dan persoalan pembiayaan, dan mengatur stakeholder rekanan seperti donor dan sektor swasta. Contohnya, presiden Clinton dengan pasukannya yang bertugas untuk reformasi kesehatan tersusun dari 24 kelompok kerja yang berbeda-beda, setiap kelompok berkaitan dengan salah satu area reformasi kesehatan (misalnya, pembiayaan, paket manfaat dasar, asuransi malpraktek, angkatan kerja kesehatan, kesehatan mental, penahanan biaya). Untuk penetapan waktu, meskipun seperti didiskusikan diatas dewan telah melengkapi studi-studi institusional dasar yang penting, pendekatan komprehensif ini, sejalan dengan banyaknya input teknis yang dibutuhkan (internal dan eksternal), telah mengalami kekurangan. Kesimpulan
Indonesia adalah salah satu dari sedikit Negara berkembang yang meluluskan undang-undang dan mulai membuat tahapan dalam cakupan universal, yang pertama dengan mencakupi semua orang miskin dan mendekati miskin. Sementara pemerintah dengan kuat merekomendasikan fokus pada kebijakan pembangunan manusia dan pro-orang miskin, implementasi reformasi cakupan universal yang sukses akan memerlukan implementasi yang urut secara hati-hati dari kebijakan yang ditargetkan, efektif dan secara fiskal aman. Untuk dicatat, hal ini bukanlah kasusnya, sebagian dikarenakan kurangnya data yang mendasari, tetapi juga karena sebuah set komprehensif yang diurutkan secara hati-hati dari kebijakan yang berjalan dengan baik melebihi sebuah ekspansi cakupan asuransi kesehatan untuk orang miskin perlu dikembangkan. Badan jaminan sosial dan Kementrian Kesehatan telah mengambil langkah-langkah pertama yang penting. RPJM; usaha perencanaan internal oleh Kementrian Kesehatan dalam mengembangkan Rencana Strategi (StrategicPlan) selanjutnya, atau Renstra; dan potensi yang besar dan kemungkinan untuk tidak berhasil (singkatnya dikarenakan krisis ekonomi global saat ini) implikasi belanja dari perluasann asuransi kesehatan untuk 76 juta orang miskin dan mendekati miskin, membuatnya sebuah waktu yang ideal untuk memfokuskan kembali usahausaha pada set komprehensif dari kebijakan yang diperlukan untuk implementasi secara efektif reformasi jangkauan universal. Dengan data baru yang tersedia (informasi klaim asuransi berdasarkan penggunaan aktual dari pembawa-pembawa yang ada), ketersediaan dukungan teknis internal dan eksternal, dan pengembangan dari RPJM baru, ini akan menjadi waktu yang ideal untuk menyesuaikan proses reformasi kesehatan. Karena krisis ekonomi saat ini dan pemilihan presiden yang akan datang, banyak dari analisis ini dapat diawali sekarang dengan beberapa hal yang perlu dilengkapi untuk
penggunaanya dengan administrasi yang akan datang. Persoalan lain yang lebih kompleks, seperti pengembangan, pengujian dan implementasi dari sistem pembayaran penyedia yang baru, merupakan usaha keras jangka panjang dan seharusnya diawali dengan segera, yang dapat dikerjakan dengan mudah, kemungkinan berhubungan dengan ekperimen lokal sebagai proyek percontohan.