Topik Utama BELAJAR PENGELOLAAN ENERGI DARI THAILAND Esti Rahayu Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan ESDM
[email protected]
SARI Pengelolaan energi oleh pemerintah merupakan hal penting dan bernilai strategis karena mempengaruhi segi kehidupan rakyat secara keseluruhan. Tidak mengherankan bila segala kebijakan yang terkait dengan pengelolaan energi acap kali menimbulkan konflik dari berbagai pihak. Thailand adalah salah satu negara yang memiliki keterbatasan sumber daya energi dan mineral. Sudah lebih dari 10 tahun terakhir, sumber daya energi yang dihasilkan Thailand tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, sehingga harus mengimpor setengah dari total konsumsi energinya. Untuk mengatasi masalah tersebut, Thailand memfokuskan pada konservasi energi dan pemanfaatan energi alternatif, di antaranya bahan bakar minyak non konvensional,bahan bakar fosil lainnya, biomassa, ethanol, BBN dari kelapa sawit, angin, tenaga matahari dan nuklir. Pemerintah Thailand juga melakukan pembenahan infrastruktur dan angkutan umum, guna mendorong masyarakatnya menggunakan transportasi publik. Kata kunci : energi alternatif, konservasi energi
1. PENDAHULUAN Setiap kali pemerintah mengusulkan opsi kebijakan mengenai pengelolaan energi seperti pembatasan kuota, kenaikan harga atau pengurangan pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas, selalu memicu perdebatan sengit dan pergolakan di badan legislatif dan berbagai lapisan masyarakat.Pro dan kontra pun mewarnai layar kaca, surat kabar, radio, portal berita, jejaring sosial hingga kehidupan sosial masyarakat, sebagai contohharga BBM belum naik, harga-harga bahan kebutuhan pokok sudah naik.Tak pelak lagi bila perbedaan pendapat atas kebijakan tersebut senantiasa menimbulkan keresahan dan dampak sosial di berbagai lapisan masyarakat.
Apa yang salah dengan pengelolaan energi kita? Sebenarnya pemerintah Indonesia telah memikirkan bahwa tidak mungkin selamanya menyandarkan pasokan energi hanya pada bahan bakar minyak. Meskipun di era 80-an Indonesia pernah mengalami masa kejayaan produksi minyak bumi dan menjadi negara pengekspor minyak, sebenarnya pemerintah telah menyadari risiko akan berkurangnya cadangan energi yang tidak terbarukan itu. Maka pemerintah pun mulai menyusun strategi untuk menyelamatkan cadangan energi nasional melalui Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan tentang Konservasi Energi. Sejak saat itu beragam kebijakan dibuat untuk mengamankan pasokan energi di tanah air. Sayangnya hampir semua kebijakan tentang energi tidak terlaksana dengan baik.
Belajar Pengelol aan Energi Dari Thailand ; Esti Rahayu
83
Topik Utama Dilema kebijakan tentang pengelolaan BBM sebenarnya tidak hanya dialami oleh Indonesia, negara besar dan maju seperti Amerika Serikat juga mengalami hal yang sama. Presiden Obama pun mengalami penurunan tingkat dukungan dan mengancam posisinya sebagai kandidat Presiden AS karena kebijakannya menaikkan harga BBM telah mengakibatkan inflasi dan gejolak di masyarakat AS. Obama dinilai tidak memiliki kebijakan energi yang masuk akal dan kurang intensif dalam memantau pasokan minyak dalam negeri. Kebijakannya mendorong penggunaan sumber energi terbarukan, telah mengakibatkan minyak bumi dalam kondisi yang tidak kompetitif (Kompas, 13 Maret 2012). Membandingkan pengelolaan energi di Indonesia dengan negara maju, tentunya kurang adil. Negara maju telah menerapkan kebijakan energi nasional jauh lebih lama dan baik dibandingkan Indonesia. Oleh karena itu, pada tulisan ini, penulis mencoba membandingkan pengelolaan energi dengan negara tetangga, Thailand yang kondisinya tidak jauh berbeda, yakni Thailand. Apakah pengelolaan energi Thailand lebih baik dibandingkan Indonesia? Berikut ini disajikan uraian pengelolaan energi di Thailand. 2. KEBIJAKAN ENERGI THAILAND Jika Indonesia sudah mulai merumuskan kebijakan energi nasional 30 tahun yang lalu, sebenarnya pemerintah Thailand jauh tertinggal. Negeri gajah putih ini baru memberikan perhatian serius terhadap manajemen energi 15 tahunkemudian.Secara garis besar, kebijakan energi yang diambil Thailand sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Indonesia, yaitu pembauran energi. Perbedaan mendasar di antara kedua negara ini hanyalah komitmen dan konsistensi dalam menerapkan kebijakan tersebut. Perhatian pemerintah Thailand terhadap energi ditandai dengan penyusunan "Strategies for the Energy Development during the Eighth National
84
Economic and Social Development Plan (19972001)" oleh The National Energy Policy Office (NEPO). Kebijakanyang ditandatangani oleh Dewan Energi Thailand (National Energy Council) pada tanggal 30 Juli 1997 ini merupakan implementasi rencana jangka pendek dari Manual on the Implementation of the Eighth National Plan yang ditetapkan oleh kabinet Thailand pada 1 Oktober 1996. Pokok kebijakan dari NEPO adalah menyusun target pengembangan energi dan menerapkan strategi pengembangan sektor energi. Target yang ditetapkan antara lain: a. meningkatkan produksi energi primer b. mengendalikan pertumbuhan konsumsi energi primer dalam negeri, c. mengurangi ketergantungan impor energi, d. meningkatkan target produksi gas alam, minyak bumi, kondesat dan batubara dalam negeri e. membatasi impor gas alam dan listrik f. membangun pembangkit listrik, meningkatkan kapasitas pembangkit, membeli listrik dari perusahaan swasta dan menggunakan pembangkit listrik dari energi non konvensional. g. Mengurangi konsumsi energi melalui demand side management dan konservasi energi, h. Menetapkan standar sistem ketenagalistrikan i. Pembatasan emisi gas dari penggunaan energi. Seiring dengan pesatnya pembangunan di Thailand, program jangka pendek ini tidak mampu lagi mengatasi kebutuhan energi yang meningkat cukup pesat, terutama di sektor transportasi. Pemerintah Thailand telah berusaha keras untuk menekan pertumbuhan konsumsi energi nasional karena negara ini tidak memiliki cadangan migas yang melimpah. Selama 10 tahun terakhir pemerintah Thailand harus berpikir keras untuk mengurangi konsumsi BBM di sektor transportasi agar konsumsi energi berkurang.
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama Meski masih memberikan kontribusi terbesar, pembenahan yang dilakukan di sektor transportasi mampu menekan konsumsi dari 68,20% menjadi sekitar 37,1% dari total konsumsi energi pada tahun 2004. (Pipon Boonchanta: 2005). Sayangnya keadaan tersebut tidak berlangsung lama. Pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan, terutama di sektor industri dan pariwisata, telah mendorong konsumsi energi yang besar. Sumber energi di Thailand tidak begitu besar, sehingga hanya mampu memenuhi 42% kebutuhan energi nasional, dan sisanya dipenuhi dari impor. Pada tahun 2009, Thailand terpaksa mengimpor listrik cukup besar dari Laos dan mengimpor bahan bakar minyak hingga mencapai USD 33,1 milyar. Guna mengendalikan pengelolaan energi di masa mendatang, Departemen Energi Thailand telah menyusun program Rencana Pembangunan Efisiensi Energi 20 Tahun (20112030) dan telah disetujui oleh Dewan Kebijakan Energi Nasional Thailand pada 30 November 2011 (http://www.energy.go.th). Melalui program ini, pemerintah Thailand berupaya mempromosikan konservasi energi secara intensif dan penghematan energi melalui kebijakan jangka pendek (5 tahun) dan jangka
panjang (20 tahun) untuk sektor transportasi, industri, sektor perumahan dan komersial. Kebijakan energi juga menjadi agenda utama Perdana Menteri Thailand,Yingluck Hinawatra. Saat menyampaikan paparan pada tanggal 23 Agustus 2011, Yingluck menguraikan rencananya terhadap kebijakan energi: 1) Mempromosikan dan mengarahkan sektor energi untuk meningkatkan pendapatan negara terutama mendorong investasi pada infrastruktur energi. 2) Mendorong ketahanan energi melalui pembangunan pembangkit listrik dan eksplorasi beragam sumber energi yang berkelanjutan. 3) Mengatur harga energi untuk menjamin biaya produksi dan stabilitas harga energi. Subsidi diberikan pada beberapa kelompok energi, gas alam untuk transportasi, gasohol dan biodiesel. 4) Memberikan dukungan terhadap produksi, penggunaan serta penelitian dan pengembangan energi alternatif dan energi baru terbarukan. 5) Mempromosikan dan mendorong konservasi energi. (http://www.cabinet.thaigov.go.th)
10.30% 16.00%
Pertanian Industri
3.20% 2.30% 68.20%
Rumah Tangga Komersial Transportasi
Gambar 1. Konsumsi BBM Thailand pada tahun 2004
Belajar Pengelolaan Energi Dari Thailand ; Esti Rahayu
85
Topik Utama Dalam rencana jangka panjang tersebut, pemerintah Thailand memprioritaskan beberapa energi alternatif, di antaranya: a. bahan bakar minyak non konvensional (gasohol, biodiesel dan bahan bakar berbasis hidrokarbon), b. bahan bakar fosil lainnya, yaitu batubara dan gas alam, gas alam terkompresi (compressed natural gas-CNG), dimethylether (DME), Fischer Tropsch diesel (FTD) atau methanol. c. Biomassa, ethanol, BBN dari kelapa sawit, angin dan tenaga matahari dan nuklir. 3. PENGALIHAN BBM KE GAS Penggunaan energi alternatif yang paling ekspansif untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumiadalah program pengalihan penggunaan bahan bakar minyak ke gas (Natural gas for vehicle-NGV) untuk kendaraan. Untuk mempelopori langkah ini, sejak tahun 2004 pemerintah Thailand mewajibkan kendaraan dinas milik instansi pemerintah dan perusahaan negara menggunakan bahan bakar gas.Secara bertahap Departemen Transportasi Thailand menetapkan izin operasi bagi taksi baru harus dilengkapi dengan konverter gas. Bagi para pengguna kendaraan pribadi, pemerintah memberikan insentif pajak kendaraan tahunan bagi kendaraan berbahan bakar gas. Para pengguna bahan bakar gas pun tidak kesulitan mendapatkan bahan bakar gas, karena Thailand telah membangun sedikitnya 60 stasiun pengisian bahan bakar gas pada tahun 2005. (Thaksin:2005) Pengalihan BBM ke gas dianggap mampu menekan konsumi BBM di Thailand secara signifikan. Sayangnya program pengalihan gas tersebut tidak terlepas dari kendala. Kenaikan harga minyak mentah dunia telah mendorong meroketnya harga gas alam. Pemerintah Thailand berusaha menyikapinya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan dampak inflasi berkepanjangan. Tidak mengherankan bila
86
selama tujuh tahun, harga NGV di Thailand dipatok sebesar 8,5 baht dan baru naik menjadi 9 baht per liter (sekitar Rp. 2550/liter) pada tanggal 16 Januari 2012 (http://www.eppo.go.th/ retail_NG_ prices.html). Meskipun mengalami kenaikan harga 5,9%, harga bahan bakar gasmasih terhitung murah, karena hanya seperempat harga bensin dengan kadar oktan 91, yangdipatok pada harga 38 baht per liter (sekitar Rp. 10.750). Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memulai program pengalihan BBM ke gas secara bertahap. Pengalihan awal ditujukan kepada bus Trans Jakarta, sebagian kecil taksi dan bajaj. Sayangnya kebijakan ini tidak diimbangi dengan sosialisasi secara terusmenerus dan pengembangan infrastruktur SPBG yang masih kecil. Sampai saat ini baru ada beberapa stasiun pengisian bahan bakar gas di Jakarta, sehingga kendaraan berbahan bakar gas masih harus mengantri cukup lama untuk mengisi bahan bakar tersebut. 4. PEMANFAATAN BAHAN BAKAR NABATI Prioritas kebijakan energi baru dan terbarukan kedua yang diterapkan oleh Thailand adalah memacu pemakaian gasohol dan biodiesel sebagai pengganti BBM. Gasohol merupakan bahan bakar campuran etanol anhidrat dari tebu (10%)dan bensin (90%). Ethanol dan gasohol lebih baik dibandingkan bensin premium di Indonesia, karena gasohol yang diperjualbelikan di Thailand memiliki angka oktan 91, lebih tinggi dibandingkan premium Pertamina, yang hanya memiliki angka oktan 88. (Darlis: 2012). Sebagai salah satu bahan bakar alternatif, kemampuan ethanol atau gasohol terhadap kinerja mesin tidak kalah dibanding bensin. Gasohol dinilai berkualitas, aman dan dapat digunakan pada mobil dan truk tanpa modifikasi mesin atau sistem pembakaran. Untuk mengenalkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pemakaian gasohol, pemerintah Thailand cukup aktif
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama mengkampanyekan gasohol dan mempermudah akses dengan terus membangun stasiun pengisian bahan bakar gasohol. Hingga tahun 2005, Thailand memiliki sedikitnya 700 stasiun pengisian gasohol (Gambar 2). Penggunaan gasohol terus meningkat karena harga yang lebih murah dibanding bensin. Keberhasilan program ini memang menggembirakan, karena mampu menurunkan volume impor BBM Thailand. Sayangnya tingginya konsumsi gasohol tidak diimbangi dengan kapasitas produksi gasohol dan tersedianya pasokan ethanol di Thailand. Produksi tebu dan singkong di dalam negeri sebagai bahan baku ethanol, tidak mampu mencukupi kebutuhan ethanol, meskipun telah mengimpor singkong dari Indonesia.Thailand pun terpaksa menunda pembangunan pabrik pengolahan ethanol baru guna memenuhi permintaan gasohol. Di sisi lain, harga gula dunia yang meroket, turut mendongkrak harga tebu, sehingga harga produksi ethanol tidak mampu bersaing dengan produsen gula dan makanan.
Selain gasohol, Thailand juga aktif mempromosikan penggunaan biodiesel sebagai substitusi solar. Untuk menjamin ketersediaan biodiesel, Kementerian Energi Thailand berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian dan Koperasi Thailand. Kementerian ini mendorong para pengusaha dan petani membuka perkebunan kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel secara berkesinambungan dan memberikan pendampingan dalam usaha perkebunan dan produksi biodiesel. Pemerintah juga mendorong kalangan perbankan guna memberikan kemudahanpembiayaan bagi usaha pertanian kelapa sawit.Pemerintah Thailand menargetkan penyediaan biodiesel dengan campuran minyak kelapa sawit sebanyak 5% (B5) dapat tercapai pada tahun 2011 dan biodiesel dengan campuran kelapa sawit sebesar 10% (B10) dapat dipenuhi pada tahun 2012. Pemanfaatan bahan bakar nabati juga telah diupayakan di Indonesia, dengan meluncurkan program bahan bakar nabati sejak 2006 dan
Gambar 2. Salah satu tempat pengisian gasohol di kota Bang Pa In, Provinsi Ayutthaya
Belajar Pengelolaan Energi Dari Thailand ; Esti Rahayu
87
Topik Utama regulasi pengembangan industri BBN, terutama biodiesel telah ditetapkan melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran. Euforia bodiesel sempat memanas di tanah air, bahkan untuk menarik minat investor mengembangkan biodiesel, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 tentang Fasilitas Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Tertentu serta Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu, Peraturan Menteri Energi danSumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu. Namun regulasi saja tidak cukup, karena kebijakan ini tidak didukung dengan tindakan nyata pemerintah dalam penyediaan biodiesel. Pada tahun 2006, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan program Desa Mandiri Energi melalui penanaman jarak. Pemerintah Daerah diminta mendorong para petani untuk menanam lahan yang kurang produktif menjadi perkebunan jarak. Sayangnya pemerintah seakan membiarkan program itu tanpa arah. Petani yang diminta menanam jarak tidak dapat menjual hasil panenannya, sementara investor yang berminat memproduksi biodiesel dari jarak juga ragu, karena tidak ada jaminan pasokan bahan baku dan jaminan pasar. Koordinasi antar instansi pemerintah sendiri juga kurang harmonis karena hingga kini belum ada kesepakatan tentang standar bahan baku mutu biodiesel.
88
Pembukaan lahan untuk penanaman kelapa sawit gencar digalakkan pemerintah di pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, bahkan kini Indonesia termasuk 5 negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Sayangnya koordinasi program tersebut juga tidak berjalan berkesinambungan dari hulu ke hilir. Kelapa sawit yang dihasilkan tidak diperuntukkan sebagai bahan baku industri biodiesel, justru lebih banyak digunakan untuk industri makanan. Walhasil industri pengolahan biodiesel tidak mampu berkembang dan implementasi pemanfaatan biodiesel lambat laut tak terdengar gaungnya. 5. PEMBENAHAN INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI Selain pengurangan pemakaian BBM, pemerintah Thailand pun berupaya mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan masyarakat didorong menggunakan transportasi publik. Sebagai langkah awal, pemerintah melakukan berbagai pembenahan infrastruktur transportasi. Pemerintah Thailand mengalokasikan investasi yang cukup besar guna membangun jalan raya, jalan tol dan rel kereta api serta pengembangan angkutan sungai dan sistem kanal. Pengelolaan fasilitas transportasi publik dibuat sebaik mungkin agar masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi mau beralih ke transportasi umum dan mass rapid transportation(MRT). Masyarakat Thailand sendiri terbiasa menggunakan angkutan umum karena moda transportasi ini mudah diakses dan frekuensinya cukup banyak sehingga pengguna tidak perlu menunggu terlalu lama. Di kota Bangkok saja, ada empat terminal bus besar (Northern, Northeastern Bus Terminal, Eastern Bus Terminal dan South Terminal), satu stasiun kereta utama (Hua Lampong) dan puluhan stasiun subway, dan puluhan pemberhentian perahu. Kendaraan umum di Thailand, terutama bus dalam kota dan antar kota diberikan beragam insentif, sehingga tarifnya cukup terjangkau. Tarif
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama bus kota ekonomi di Bangkok saat ini dipatok 10 baht (sekitar Rp. 3.000,-). Dengan tarif yang tidak berbeda jauh dengan tarif bus kota di Jakarta, layanan bus kota di Bangkok dianggap lebih nyaman dibanding angkutan umum di Jakarta. Tarif untuk angkutan antar kota dan antar provinsi disesuaikan dengan jarak tempuh tanpa meninggalkan faktor kenyamanan penumpang. Daya jangkau bus antar kota pun cukup baik, bahkan bus antar negara bukanlah hal yang aneh di Thailand (Gambar 3). Angkutan darat ini melayani rute ke Hat Yai di perbatasan Malaysia, Siam Reap (Kamboja), Pnom Penh (Kamboja), Ho Chi Minh (Vietnam), Luang Prabang (Myanmar). Angkutan bus yang ditawarkan pun cukup nyaman, sehingga para pelancong tidak ragu memanfaatkan fasilitas ini. Jika proyek MRT di Indonesia saat ini masih terkatung-katung, tidak demikian halnya dengan sistem transportasi massal di Thailand. Sejak tahun 1996 Pemerintah Thailand telah menghabiskan anggaran sekitar USD 14,4 milyar untuk pembangunan MRT. MRT Chaloem Ratchamongkhon atau yang lebih dikenal dengan blue line,mulai dibangun 1996 dan
beroperasi pada 2004. Transportasi massal yang dikelola oleh Mass Transit Authority (MRTA) Thailand ini memiliki 19 stasiun operasional sepanjang 27 kilometer dan mampu mengangkut 240.000 penumpang setiap hari.Moda transportasi ini cukup diminati penduduk kota dan telah menjadi tulang punggung transportasi masyarakat Thailand dalam mengatasi kemacetan kota yang parah.Jumlah penumpang MRT memang belum memenuhi harapan pemerintah, yang menargetkan 400.000 penumpang/hari. Namun demikian blue line diakui telah mampu mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di kota Bangkok. Untuk mengatasi kemacetan jalan rayakota Bangkok ke bandara Suwarna Bhumi, MRTA mulai mengoperasikan airport rail link mulai 4 Januari 2011 dan dapat mengangkut penumpang hingga 50.000 orang per hari. Saat ini jalur Purple Linesedang dibangun sepanjang 91 km, yang diharapkan selesai pada tahun 2015. Angkutan kereta antar kota dan provinsi di Thailand sendiri cukup baik dan bervariasi. Karena
Gambar 3. Layanan bus antar provinsi dan lintas negara yang cukup nyaman di Thailand
Belajar Pengelolaan Energi Dari Thailand ; Esti Rahayu
89
Topik Utama sebagian besar wilayah terdiri dari daratan, pemerintah Thailand pun mengandalkan angkutan ini sebagai tulang punggung alat transportasi yang menjangkau sebagian besar seluruh provinsi (Gambar 4).Jalur kereta di Thailand sendiri telah terkoneksi dengan jalur kereta api internasional ke Malaysia dan Singapura, perbatasan Kamboja (Ranchacani) dan Laos(Vientiane) (http://www.thailandbytrain. com).
Meski masih mengandalkan kereta tua, moda transportasi massal ini tidak mengabaikan kenyamanan bagi para penumpang. Pemeliharaan kereta mendapat perhatian serius, tidak kalah dengan pengelolaan manajemen secara keseluruhan, mulai dari variasi rute, jadwal pemberangkatan kereta yang cukup banyak, sistem pelayanan on line, jaminan ketepatan waktu keberangkatan serta jaminan keselamatan penumpang.
Gambar 4. Jalur kereta di Thailand
90
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012
Topik Utama Pemerintah Thailand juga serius dalam memberdayakan sungai sebagai sarana transportasi alternatif. Transportasi air ini merupakan solusi termurah dalam mengurangi beban jalan raya karena biaya pembangunan infrastruktur moda transportasi ini jauh lebih murah dibandingkan jenis transportasi lainnya. Walau frekuensi pemberangkatan angkutan ini tidak sebanyak bus dan MRT, angkutan sungai di Bangkok dapat ditemui setiap 20 menit sekali dan beroperasi dari pukul 06.00 hingga 19.45 (Gambar 5). Jalur penggunaan perahu tradisional yang melintasi sungai Mekong tidak hanya menjadi sarana transportasi masyaratakat, lokal, tetapi juga turut diminati kalangan wisatawan. Pemerintah Thailand pun mengalokasikan dana pemeliharaan sungai, kanal dan terminal keberangkatan guna mendongkrak sektor pariwisata Thailand.
lepas dari masalah energi, namun pengelolaan energi yang dilakukan pemerintah Thailand mulai dari kebijakan sampai dengan implementasi yang dilaksanakan secara konsisten dan terusmenerus mampu menyelesaikan sebagian permasalahan energi yang mereka alami. Usaha Thailand meningkatkan penggunaan energi baru, terbarukan dan konservasi patut diapresiasi. Meskipun mengalami banyak hambatan, setidaknya negeri Siam ini tetap bersikap konsisten dan mencari peluang terbaik dalam mengelola energi yang berkelanjutan. Kata kunci keberhasilan pengelolaan energi yang dicapai oleh negeri Siam ini adalah melaksanakan, menjalankan dan mengawal kebijakan yang telah ditetapkan secara bersungguh-sungguh dan bersinergi serta didukung oleh semua komponen bangsa dalam implementasinya. 7. DAFTAR PUSTAKA
6. KESIMPULAN Secara umum kondisi pengelolaan energi di Thailand sedikit lebih baik dibanding pengelolaan energi di Indonesia. Meskipun negara ini tidak
Boonchanta, Pipon. Thailand Experience in Alternative Transport Fuels: Successes and R&D Challanges, Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) New and Renewable
Gambar 5. Dermaga Thien adalah salah satu pemberhentian beragam angkutan sungai di sungai Chao Prhaya Bangkok
Belajar Pengelolaan Energi Dari Thailand ; Esti Rahayu
91
Topik Utama Energy Technologies Twenty-Fourth Meeeting, Honolulu, USA, 17-19 Mei 2005 Darlis,MT, Bio Ethanol Prospek dan Kendalanya, http://www.madina.co.id/index.php/opini/ 9790-bio-ethanol-prospek-dankendalanya.hml Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan tentang Konservasi Energi Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain Kementerian Energi Thailand, Energi Kebijakan Pemerintah, http://www.energy.go.th/?q=th/ energy_policy
den Nomor 71 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu Presiden Obama pun mengalami penurunan tingkat dukungan, Kompas, 13 Maret 2012 Pomlaktong, dkk. Road Transport in Thailand, The Impact and Benefits of Strukctural Reforms in the Transport, Energy and Telecommunication Sectors, Thailand Development Research Institute, 2009
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran.
Retail LPF Prices. http://www.eppo.go.th/ retail_LPG_prices.html
Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 tentang Fasilitas Penghasilan untuk Penaman Modal di Bidang Usaha Tertentu
Transportation in Thailand. http://www.asianinfo. org/asianinfo/thailand/pro-transportation.htm
Shinawatra, Yingluck. Policy Statement of The Council of Minister, The National Assembly, 23 Agustus 2011
Thailand by Train. http://www.thailandbytrain. com
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Presi-
92
M&E, Vol. 10, No.1, Maret 2012