BAB V PENUTUP
V.1 Kesimpulan Pemahaman tentang konsep gender di kalangan masyarakat tradisional telah menempatkan kaum perempuan pada kondisi yang kurang menguntungkan apabila dibandingkan dengan kaum laki-laki. Pelekatan konstruksi sosial bahwa kaum perempuan itu feminin dan bertanggungjawab hanya pada sektor domestik telah menyebabkan pembangunan bagi perempuan kurang mendapat perhatian serius. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak kaum perempuan di Indonesia terutama mereka yang tinggal di wilayah perdesaan masih belum mampu bersaing dengan kaum laki-laki. Hal ini disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan perempuan serta adanya marginalisasi bagi kaum perempuan di segala sektor kehidupan. Dalam bidang sosial-ekonomi misalnya, kaum perempuan sangat jarang mendapatkan peran dalam organisasi sosial-ekonomi / kemasyarakatan karena dianggap tidak mampu ataupun tidak mendapatkan izin dari suaminya. Demikian halnya di bidang ekonomi, seringkali kaum perempuan tidak mendapat kesempatan yang setara dengan kaum laki-laki terutama dalam hal penguasaan faktor produksi, teknologi dan informasi, jaringan pemasaran serta linkages dengan berbagai instansi / industri lain. Hal inilah yang menyebabkan pemiskinan bagi kaum perempuan, sehingga membuat mereka menjadi lemah dan tidak berdaya. Padahal, perempuan memiliki banyak potensi sosial-ekonomi yang dapat dikembangkan apabila mereka telah berdaya / mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Perempuan yang yang berdaya secara sosial-ekonomi merupakan aset bagi keluarga, karena mereka dapat menjadi safety net bagi keluarga di saat mengalami goncangan (shock) sosial-ekonomi. Kondisi sosial-ekonomi yang kurang menguntungkan ini juga dialami oleh sebagian besar kaum perempuan di Desa Argomulyo. Meskipun demikian, di Dusun Watu dan Sengon Karang, para kaum perempuannya (terutama ibu-ibu) memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam bentuk Industri Rumah Tangga (IRT) jamu tradisional. Sebagian dari kaum perempuan di kedua dusun ini tergabung kedalam kelompok Seruni Putih I dan II (JHM). Menangkap adanya potensi tersebut, maka PT Pertamina TBBM Rewulu melalui program CSR perusahaan, melaksanakan pemberdayaan kepada para perempuan pelaku IRT jamu tradisional yang tergabung dalam kedua 196
kelompok melalui payung Program Pengembangan IRT Jamu Tradisional Berbasis Masyarakat. Dengan adanya program ini diharapkan mampu meningkatkan kapasitas individu dan kelompok jamu sekaligus meningkatkan pendapatan ekonomi para anggota kelompok melalui aktualisasi / pembaharuan tampilan usaha. Selain itu, program ini juga sekaligus menjadi momentum untuk revitalisasi serta perluasan keanggotaan kelompok, sehingga semakin banyak perempuan pelaku IRT jamu tradisional lain yang bergabung dengan kelompok dan mendapat manfaat dari adanya kelompok yang menaungi mereka. Harus diakui pula bahwa tanpa ada intervensi pemberdayaan dari perusahaan, maka kesempatan perempuan pelaku IRT jamu tradisional lain untuk ikut dalam keanggotaan kelompok dapat dikatakan hampir mustahil karena selama ini tidak ada mekanisme dan keinginan dari anggota / pengurus kelompok untuk merekrut anggota baru. Untuk mendapatkan gambaran secara jelas mengenai potensi serta permasalahan yang ada di kedua kelompok jamu, pihak perusahaan yang bekerjasama dengan tim Jurusan PSdK Fisipol UGM melaksanakan kegiatan social mapping. Dari hasil rekomendasi kegiatan social mapping ini kemudian disusun jenis program dan bantuan sekaligus skema intervensi pemberdayaan yang sesuai dengan kebutuhan kelompok jamu berdasarkan skala prioritas. Penentuan skala prioritas program pemberdayaan yang akan diberikan ini atas dasar pertimbangan kemampuan perusahaan (alokasi resources dan batasan waktu pelaksanaan program) serta kemampuan masyarakat dalam menyerap program yang akan diberikan. Bentuk dan jenis program / bantuan yang nantinya akan diberikan kepada masyarakat (perempuan anggota kedua kelompok jamu) kemudian dirangkum dalam sebuah rencana strategis pemberdayaan kelompok jamu. Metode pendekatan implementasi program pemberdayaan tentu juga harus memperhatikan karakteristik dari sasaran pemberdayaan serta kemampuan perusahaan dalam menyalurkan program pada masyarakat yang diberdayakan. Oleh karena sasaran pemberdayaan adalah kelompok / komunitas pelaku IRT jamu tradisional, maka pendekatan pemberdayaan yang paling sesuai (appropriate) untuk diaplikasikan oleh pihak perusahaan adalah pendekatan pemberdayaan yang berbasis masyarakat. Skema pemberdayaan IRT jamu tradisional yang tergabung di kedua kelompok jamu (JHM dan Seruni Putih) secara garis besar terbagi kedalam tiga tahapan utama, yaitu tahap penguatan kapasitas dan revitalisasi kelembagaan kelompok, tahap penguatan kapasitas individu dan tahap aktualisasi tampilan usaha melalui bantuan peralatan berjualan jamu. Pada tahap pertama, yaitu 197
penguatan kapasitas dan revitalisasi kelompok dilakukan penambahan jumlah anggota kelompok dari masing-masing 10 orang menjadi 30 orang anggota di tiap kelompok. Selain itu, perusahaan juga melakukan pelatihan penguatan kelembagaan dan motivasi usaha. Dalam kesempatan yang sama juga dilakukan penyegaran kepengurusan, pergantian nama kelompok jamu Seruni Putih II menjadi JHM serta revitalisasi aktivitas kelompok. Sayangnya, dalam pelatihan ini masih belum menyentuh materi terkait pengelolaan, sistem administrasi dan keuangan serta edukasi pada para pengurus (terutama JHM) terkait tupoksi masing-masing. Hal ini berakibat pada lemahnya aspek pemahaman dan tanggung jawab masing-masing pengurus terkait tupoksinya dalam pengelolaan kelompok sehingga masih sering ditemui adanya overlaping peran, fungsi serta wewenang antar pengurus kelompok. Tahap pemberdayaan yang berikutnya adalah penguatan kapasitas individu anggota kedua kelompok melalui serangkaian pelatihan higienitas produk jamu serta diskusi dengan pengusaha industri jamu lain yang telah sukses. Secara umum memang telah ada peningkatan pengetahuan dan kesadaran para anggota di kedua kelompok dalam hal proses produksi jamu secara baik dan benar, namun karena keterbatasan resources (ruang produksi serta peralatan stainless steel) yang mereka miliki, maka standarisasi proses produksi jamu yang memenuhi persyaratan higienitas / kesehatan produk masih belum dapat terlaksana secara optimal. Meski kesadaran terkait standar kesehatan dan higienitas produk jamu (terutama bagi anggota baru) telah meningkat, akan tetapi masih juga terdapat beberapa anggota yang menggunakan zat aditif berbahaya ke dalam produk jamunya. Ini semata-mata lebih dikarenakan untuk mengejar margin keuntungan penjualan yang besar. Kegiatan diskusi serta sharing dengan pengusaha industri jamu lain yang sukses juga telah menambah motivasi dan pengetahuan anggota kelompok untuk memajukan usaha jamu sehingga mampu menjangkau pasar yang lebih luas sekaligus sebagai ajang benchmarking guna mengukur potensi, kelebihan dan kekurangan usaha jamu anggota kelompok dibanding dengan usaha jamu lain yang telah maju dan dikelola secara profesional. Tahap pemberdayaan yang terakhir adalah aktualisasi tampilan usaha jamu para anggota kelompok dengan pemberian bantuan peralatan usaha seperti kronjot, gelas, jirigen serta ember. Secara tidak langsung upaya ini telah mampu memberikan dampak bagi para anggota kelompok dengan adanya peningkatan pendapatan ekonomi, meskipun untuk beberapa aspek masih banyak 198
yang harus dibenahi terutama untuk desain dan material kronjot agar dapat dipergunakan secara lebih efektif oleh anggota kelompok. Bahkan bagi beberapa anggota kelompok kronjot bantuan ini sama sekali tidak dipergunakan untuk berjualan dan lebih difungsikan untuk lemari / kandang hewan ternak / peliharaan. Selain itu, paska pelaksanaan rangkaian program pemberdayaan, tim CDO dari perusahaan juga melaksanakan pendampingan rutin, plangisasi dan asistensi dalam hal pengurusan izin PIRT bagi kedua kelompok meskipun proses perizinannya berjalan lambat. Terbatasnya waktu pelaksanaan rangkaian program pemberdayaan tentu membuat eksekusi setiap kegiatan / program harus disesuaikan dengan matriks program yang telah disusun oleh tim CDO perusahaan. Hal ini tentu saja berdampak pada terbatasnya waktu yang dimiliki perusahaan untuk memberikan pemahaman dan penyadaran bagi para anggota kelompok akan esensi, tujuan serta manfaat dari pemberdayaan bagi mereka. Pemahaman / kesadaran para anggota kelompok terkait aspek pemberdayaan yang dangkal membuat pola keterlibatan mereka dalam program dan kegiatan pemberdayaan cenderung bersifat mobilitatif. Pola partisipasi semacam ini tentu akan berdampak pada ketidakmaksimalan penyerapan program dan materi pelatihan kepada penerima manfaat pemberdayaan (anggota kelompok). Pemberdayaan pada kelompok jamu yang telah lama eksis tentunya juga akan berdampak pada banyaknya aktor sosial yang terlibat dalam pemberdayaan kelompok. Aktor sosial ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu aktor eksternal dan aktor internal. Aktor eksternal dapat berbentuk instansi pemberdaya yang telah bekerjasama dengan kelompok maupun mereka yang terlibat di dalam pemberdayaan kelompok namun tidak termasuk dalam list anggota kelompok. Pelibatan multi-aktor dalam pemberdayaan tentu saja akan memperkaya informasi / pengetahuan anggota kelompok, namun hal ini juga akan berimbas pada konflik antar aktor (saling klaim keberhasilan memberdayakan kelompok) apabila tidak dikelola dengan baik. Pemberian edukasi bagi seluruh anggota kelompok terkait aspek kemandirian serta kedaulatan kelompok menjadi penting supaya mereka dapat memposisikan diri secara tepat di depan para pihak pemberdaya. Sedangkan aktor internal adalah mereka yang aktif memajukan kelompok sekaligus berada dalam keanggotaan kelompok. Aktor sosial di dalam kelompok ini dapat berasal dari pengurus ataupun anggota aktif yang lain. Aktor yang berada di dalam kepengurusan kelompok ini tentu akan bermanfaat bagi kelompok karena dia akan berusaha untuk memajukan kelompok sekaligus mengelola konflik 199
yang mungkin timbul diantara para anggota kelompok lain. Akan tetapi di sisi lain, aktor yang menjabat sebagai pengurus kelompok ternyata juga rentan menggunakan kelompok sebagai alat untuk kepentingan pribadinya. Hal ini tentu juga akan memicu konflik kepentingan di internal kelompok yang akan melemahkan kelompok itu sendiri. Secara keseluruhan program pemberdayaan IRT jamu tradisional yang dilaksanakan oleh PT Pertamina TBBM Rewulu bagi kedua kelompok jamu (Seruni Putih dan JHM) telah memberi manfaat bagi para perempuan anggota kedua kelompok. Dengan adanya program ini maka akan semakin banyak perempuan pelaku IRT jamu yang diberdayakan, mendapatkan pengetahuan dan informasi baru serta menambah penghasilan ekonomi bagi perempuan anggota kelompok pelaku IRT jamu tradisional. Meskipun program pemberdayaan ini masih jauh dari pemberdayaan yang ideal karena baru pada tahap intervensi awal, namun dengan adanya program pemberdayaan ini, aspek kemandirian sosial-ekonomi bagi perempuan anggota kelompok telah dapat diwujudkan. Dengan kemandirian ekonomi perempuan maka akan tercipta safety net bagi keluarga sehingga jika sewaktu-waktu pencari nafkah utama di keluarga (pihak suami) kehilangan pekerjaan, maka ada pemasukan ekonomi tambahan dari perempuan (pihak istri) untuk menunjang kebutuhan di keluarga. Dalam konteks yang lebih luas, tambahan penghasilan bagi keluarga juga dapat berarti ada pertumbuhan pengeluaran serta tabungan keluarga. Hal ini tentu akan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dusun karena perputaran uang juga akan tinggi. V.2 Saran Meskipun secara umum program pemberdayaan IRT jamu tradisional yang dilaksanakan oleh PT Pertamina TBBM Rewulu dapat dikatakan telah berjalan dengan baik, namun terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perusahaan agar pelaksanaan program pemberdayaan di masa yang akan datang menjadi lebih baik, antara lain yaitu : 1. Pihak perusahaan perlu melembagakan saluran komunikasi dua arah antara masyarakat sebagai mitra pemberdayaan dan perusahaan sebagai pelaksana pemberdayaan. Dalam konteks yang lebih luas pelembagaan sluran komunikasi ini merupakan sebuah bentuk good practices di dalam pelaksanaan CSR perusahaan. Selam ini mayoritas masyarakat tidak mengetahui bagaimana mekanisme penyaluran aspirasi kepada perusahaan terkait permasalahan yang mungkin muncul sebagai dampak operasionalisasi perusahaan. Dari 200
pihak perusahaan meskipun telah membentuk unit CDO sebagai jembatan komunikasi antara masyarakat dan perusahaan, namun efektifitasnya masih belum optimal. Hal ini dikarenakan pengenalan tim CDO di masyarakat tidak disertai dengan pemahaman dari segi fungsi dan tujuan utama adanya tim CDO sebagai jembatan komunikasi antar dua pihak (perusahaan dan masyarakat). Akan jauh lebih baik jika pihak masyarakat juga di jelaskan mekanisme penyaluran pendapat kepada perusahaan, karena tentu problem di masyarakat dapat terjadi sewaktu-waktu ketika tim CDO tidak berada di tengah-tengah masyarakat. Pelembagaan saluran komunikasi dua arah ini juga penting terutama untuk menjelaskan tentang hakikat CSR yang tentunya berkaitan dengan kewajiban, hak serta tanggung jawab masing-masing pihak. Hal ini akan dapat meminimalissasi sikap saling curiga antara kedua belah pihak. 2. Perlu ada upaya perluasan jangkauan program, tidak hanya bagi mereka yang menjadi anggota kelompok tetapi juga mereka yang berada diluar anggota kelompok. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan membentuk kelompok baru karena jika pelaku IRT jamu tradisional ini digabung lagi kedalam kelompok maka postur kelompok akan terlalu besar dan membuat efektifitas kelompok menjadi menurun. Banyaknya jumlah anggota kelompok juga akan berdampak pada sulitnya kordinasi serta pengelolaan dari kelompok itu sendiri sehingga rawan memicu konflik internal. Setiap kelompok harus memiliki keunggulan komparatif antara satu dengan yang dalam bentuk ciri serta jenis produk unggulan yang berbeda. Tentu akan sangat tidak bijak apabila kelompok yang memiliki kedekatan emosi serta wilayah tempat tinggal diposisikan untuk bersaing satu sama lain dengan jenis produk yang identik. Selain itu, di masa yang akan datang pihak perusahaan juga perlu untuk membentuk koperasi di tingkat desa yang beranggotakan kelompok-kelompok binaan perusahaan. Kegiatan koperasi ini dapat dibagi ke dalam dua bidang, yaitu unit simpan pinjam dan unit usaha. Unit simpan pinjam merupakan solusi efektif dalam memecahkan masalah permodalan anggota kelompok dan sebagai bentuk jaminan sosial bagi para anggota kelompok yang mengalami goncangan sosialekonomi, sedangkan unit usaha merupakan saluran distribusi pemasaran hasil produksi kelompok. Tentu saja produk yang di pasarkan oleh koperasi tidak hanya dalam bentuk jamu, namun juga produk lain hasil usaha masyarakat dan kelompok binaan perusahaan 201
yang lain. Apabila memungkinkan sekretariat kelompok ditempatkan di pinggir jalan besar (Jalan Wates), sehingga akan memudahkan display hasil produk kelompok pada pengendara / wisatawan yang lewat di jalan tersebut. Pihak koperasi inilah yang fokus untuk memasarkan produk melalui kerjasama dengan pihak swalayan / distributor lain baik distributor daerah maupun luar daerah. 3. Masing-masing perempuan produsen / penjual jamu anggota di kedua kelompok telah memiliki pangsa pasar sendiri (produk yang ditawarkan, langganan dan rute yang tetap) sehingga sangat sulit untuk mengharapkan peningkatan konsumen ataupun pendapatan ekonomi secara signifikan. Apabila ada intervensi pemberdayaan ekonomi di kemudian hari (dalam bentuk diversifikasi atau ekspansi usaha), hendaknya juga memperhatikan pangsa pasar yang ingin dibidik serta trend permintaan pasar. Implementasi koperasi / unit usaha bersama seperti pada poin 2 diatas hendaknya juga diawali oleh kajian pasar secara komprehensif. Hal ini penting untuk menjaga kontinuitas produksi, karena jika pangsa pasar tidak ada / tidak terbentuk akan sangat rawan terjadi stagnasi. 4. Perlu adanya penyadaran bagi perempuan anggota kelompok, bahwa pemberdayaan itu tidaklah semata-mata hanya berkutat pada upaya peningkatan pendapatan ekonomi atau produktivitas semata. Pemberdayaan haruslah dipandang sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan kapabilitas dan pola pikir anggota kelompok, sehingga apabila ada suatu program pemberdayaan di masa yang akan datang, mereka tidak mengharapkan hanya untuk sekedar mendapat bantuan alat usaha atau bantuan karitatif lain. 5. Setiap akan melaksanakan suatu program pemberdayaan kepada kelompok, terutama di kelompok yang telah eksis akan jauh lebih baik jika sebelumnya dilakukan profiling / pemetaan kelompok sekaligus instansi pemberdaya dan pihak-pihak yang bekerjasama dengan kelompok. Hal ini penting untuk menghindari tumpang tindih program yang di laksanakan. Selain itu, dengan memetakan aktor pemberdaya lain yang terlibat dalam pemberdayaan tentu akan meminimalisir mispersepsi dan konflik akibat adanya saling klaim sebagai kelompok binaan antar pihak pemberdaya. Kordinasi dengan masyarakat serta pihak pemberdaya lain begitu penting untuk menyatukan visi / misi terkait arah dan tujuan akhir pemberdayaan bagi kelompok. 202
1
Pengarus-utamaan gender (PUG) adalah suatu strategi untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan kepentingan laki-laki dan perempuan secara seimbang mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Sasongko, Sri Sundari. 2009. Modul 2 : Konsep dan Teori Gender. Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan, BKKBN
2
Upaya mempercepat pelaksanaan PUG dilakukan melalui uji coba pelaksanaan anggaran responsif gender (ARG) pada tahun anggaran 20102014. ARG diujicobakan pada 7 kementerian dan lembaga pilot, yaitu pada 3 kementerian/lembaga sebagai motor / driver (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Departemen Keuangan) dan 4 kementerian sebagai pelaksana / service delivery (Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Pekerjaan Umum), Bappenas : Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium di Indonesia 2010 3
Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Sasongko, Sri Sundari. 2009. Modul 2 : Konsep dan Teori Gender. Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan, BKKBN. Jakarta. Hal. 7 4
Baca Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 : Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women)
5 Berbagai hasil observasi menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan hampir 90 persen dari total keseluruhan pekerjaan dalam rumah tangga sehari-hari. Sasongko, Sri Sundari. 2009. Modul 2 : Konsep dan Teori Gender. Pusat Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan, BKKBN. Jakarta. Hal. 11 6
Data dari BPS (Badan Pusat Statistik) 2010 memperkirakan terdapat 14% keluarga di Indonesia dikepalai oleh perempuan dan sekitar 55 % perempuan kepala keluarga ini hidup di bawah garis kemiskinan
7 Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) : CSR merupakan komitmen yang berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberikan kontribusinya bagi pembangunan ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas kehidupan di internal perusahaan yang terdiri dari para karyawan beserta keluarganya baik secara komunitas lokal maupun masyarakat luas pada umumnya. Sumber : http://www.wbcsd.org/work-program/business-role/previous-work/corporate-social-responsibility.aspx 8
Koefisien Gini merupakan indikator tingkat ketimpangan yang paling umum digunakan dan diumumkan oleh negara-negara di dunia. Adapun interval nilai koefisien Gini adalah dari 0 sampai dengan 1. Nilai koefisien Gini yang semakin mendekati 0 menunjukkan perekonomian yang tingkat ketimpangannya semakin rendah atau semakin merata; sementara nilai yang semakin mendekati 1 menunjukkan tingkat ketimpangan yang semakin tinggi. Adapun nilai koefisien Gini yang menembus tingkat 0.4 secara internasional dipandang sebagai batas peringatan, yang artinya tingkat ketimpangan dinilai mulai membahayakan dan berpotensi meningkatkan kecemburuan sosial yang dapat memicu konflik sehingga mengancam stabilitas nasional (Fair Institute, 2012).
203