BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Semenjak awal, perdebatan mengenai internet dan hak asasi manusia mengerucut pada isu kesenjangan akses dan upaya penciptaan regulasi untuk membatasi atau mengontrol penggunaan internet. Dengan pertumbuhan internet yang eksponensial serta meningkatnya jumlah pengguna secara pesat, pemerintah menjadi semakin khawatir dengan berbagai jenis konten online yang tidak bisa mereka kendalikan. Praktik pemblokiran dan penyaringan internet merupakan praktik yang dilakukan untuk menutup akses pengguna terhadap konten yang tersaji di internet. Beberapa alasan umum praktik pemblokiran antara lain terkait dengan kontrol terhadap ekspresi politik, baik berupa ekspresi yang dilakukan oleh warga negara, maupun sebagai upaya untuk menghalangi pengaruh dari luar negeri terhadap negara. Selain itu, praktik pemblokiran sering pula didasarkan pada alasan yang terkait dengan pencegahan pornografi serta melindungi moralitas masyarakat. Penggunaan teknologi penyaringan dan pemblokiran oleh negara merupakan pelanggaran atas kewajiban negara untuk menjamin kebebasan berekspresi jika tidak memenuhi prinsip-prinsip umum terkait dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pembatasan itu harus mengacu pada salah satu tujuan yang dijelaskan dalam Pasal 19 ayat (3) Kovenan HakHak Sipil, yaitu untuk menjaga hak-hak atau reputasi pihak lain, menjaga keamanan nasional, ketertiban masyarakat, kesehatan atau moral publik (prinsip legitimasi); dan pembatasan yang dilakukan seminimal mungkin (prinsip kepentingan dan keseimbangan). Dalam konteks pemblokiran di Indonesia, Kementrian Komunikasi dan Informatika pada pelaksanaannya menggunakan Trust+ Positif sebagai medium yang digunakan dalam menerapkan kebijakan terkait pengontrolan dan pembatasan terhadap akses internet. Ini memperlihatkan dualisme posisi Keminfo yang menjadi regulator dan kemudian bermain sebagai operator lewat progam Trust+ Positif yang dikelolanya.
100
Padahal, dalam undang–undang secara lebih spesifik peran yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 Undangundang No.36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang berbunyi, “Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia.” Artinya, sebagai kepala Departemen, meskipun oleh negara dia diberi tanggung jawab sebagai pembina, bukan berarti dia akan menjalankan sendiri berbagai kebijakan yang berkaitan dengan telekomunikasi. Menteri hanya difungsikan sebagai penanggung jawab administrasi, yang dalam hal ini lebih banyak sebagai regulatornya daripada operator. Sedangkan operator, sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang adalah mereka yang disebut sebagai penyelenggara telekomunikasi. Dalam
Pasal
1
Undang-undang
Telekomunikasi
disebutkan,
penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara. Dengan demikian, operator dalam aktivitas telekomunikasi seharusnya dilimpahkan kepada lembaga-lembaga yang sudah disebutkan dalam perundang-undangan, bukan oleh pemerintah. Sedangkan Trust+ Positif sendiri pun masih menyisakan banyak persoalan. Kebijakan yang menyangkut dengan kepentingan publik sudah semestinya didasari oleh aspek legal yang jelas, dan mengedepankan transparansi dalam pelaksanaannya. Penulis akan menjabarkan beberapa kesimpulan yang diambil dalam penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan posisi Trust+ Positif sebagai mekanisme kontrol dan filterisasi situs internet yang dimiliki oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Pertama, tidak adanya legitimasi atas keberadaan Trust+ Positif. Ketika ICT Watch meminta informasi (dokumen resmi) yang dapat menunjukkan catatan pembentukan dan legitimasi kewenangan Trust+ Positif, pihak Kominfo hanya memberikan Surat Edaran Ditjen Postel No. 1598/SE/DJPT.1/KOMINFO/7/2010 tentang “Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan yang Terkait Pornografi”. Surat tersebut ditunjukan
101
kepada para ISP (Internet Service Provider). Keberadaan Trust+ Positif bahkan sama sekali tidak disebutkan dalam surat edaran tersebut. Begitu juga dengan yang terkait dengan pembentukan dan legitimasi kewenangannya. Kedua, Standar Operasi Prosedur (SOP) ilegal. Ketika ICT Watch meminta informasi (dokumen resmi) tentang Standar Operasi Prosedur (SOP) yang digunakan Trust+Positif sejak 2011, pihak Kominfo hanya memberikan dokumen berjudul “SOP Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif” alias SOP Blokir. Dalam dokumen tersebut sama sekali tidak ada penanda ataupun bukti pengesahan sebagai sebuah dokumen resmi. Seperti atribut cap/stempel, nomor surat, tanda tangan pejabat berwenang, tanggal dan nomor surat, maupun kop surat dari Kominfo. Menjadi menarik jika keberadaan SOP tanpa ada tanda atau bukti pengesahan tersebut, kemudian diacukan pada Peraturan Menteri (Permen) Kominfo No. 27/2013 tentang “Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur” (Permen SOP). Dalam pasal 2 di dalam Permen SOP tersebut ditegaskan bahwa: SOP masing-masing satuan kerja disahkan oleh Pimpinan Satuan Kerja / Eselon II yang bersangkutan, 2). SOP masing-masing UPT (Unit Pelaksana Teknis) pada tingkat eselon III, IV dan V disahkan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal atau Sekretaris Badan.
Kemudian pasal 4 dari Permen SOP tersebut, juga ditegaskan bahwa SOP yang berhubungan dengan perijinan dan pelayanan kepada masyarakat wajib
diinformasikan
kepada
masyarakat
dan
pihak-pihak
yang
berkepentingan agar terwujud transparansi. Dengan tidak adanya tanda atau bukti pengesahan apapun, maka dapat diindikasikan bahwa SOP Blokir yang menjadi landasan Trust+ Positif tersebut adalah SOP “ilegal” yang melanggar aturan Permen SOP. Jika kemudian Permen Situs Negatif yang baru saja ditandatangani Menkominfo didalamnya tetap menggunakan Trust+Positif yang dikelola pemerintah sebagai database wajib, Maka dapat dikatakan bahwa Permen Situs Negatif melanggar Permen SOP. Padahal kedua Permen tersebut adalah sama-sama produk hukum dari Kementerian Kominfo.
102
Ketiga, tidak mempunyai landasan legal sejak 2011. Alasan ICT Watch meminta informasi/dokumen SOP untuk Trust+ Positif per tahun 2011 dilatarbelakangi oleh keberadaan Trust+ Positif yang telah disebut dalam surat resmi yang dikeluarkan oleh Direktur e-Bisnis, a/n Dirjen Aplikasi Informatika, Kemkominfo, No. 70/DJAI/KOMINFO/02/2011 per tanggal 11 Februari 2011, perihal “Penerapan Internet Sehat dan Aman oleh Para Penyelenggara Jasa Akses Internet (ISP)”. Jika ternyata Trust+Positif selama ini memang tidak memiliki legitimasi dan/atau SOP yang sah, maka dapat dikatakan bahwa perintah Kominfo untuk menggunakan Trust+Positif sebagai database acuan pemblokiran situs Internet oleh ISP (setidaknya terhitung sejak 2011) dapat dipertanyakan keabsahan dan aspek legalitasnya. Jika itu yang terjadi, atas nama hukum, perintah pemblokiran dari Kementerian Kominfo yang telah dilakukan selama ini mempunyai kemungkinan untuk dapat dibatalkan. Keempat, tidak memiliki audit yang akuntabel. Berdasarkan tanggapan pertama Kominfo atas permintaan informasi tentang Trust+Positif yang diajukan oleh ICT Watch, dijelaskan bahwa, “Trust+Positif diaudit oleh lembaga pelaksana audit program kerja dan pelaksanaan kegiatan anggaran”. Berdasarkan jawaban tersebut, ICT Watch kemudian meminta untuk diberikan berkas dokumen hasil audit kinerja tersebut. Menurut ICT Watch, hal dokumen tersebut tidaklah termasuk klasifikasi rahasia sebagaimana diatur oleh UU KIP. Berdasarkan permintaan dokumen hasil audit kinerja tersebut, Kominfo kemudian memberikan 1 (satu) lembar dokumen berjudul “Pencapaian Situs Tertangani” (Dokumen Terlampir). Dokumen tersebut hanyalah tabel berisi data kategori situs dan jumlah situs. Dokumen ini menurut ICT Watch tidak dapat dianggap sebagai dokumen audit kinerja dari Trust+Positif. Acuan ICT Watch adalah sebagaimana Peraturan Menteri Negara, Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Nomor 35 Tahun 2011, tentang Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Untuk itulah maka dokumen 1 (satu) lembar dari
103
Kementerian Kominfo tersebut, tidak menunjukan bahwa prosedur dan kinerja Trust+Positif telah dilakukan proses audit yang akuntabel. B. Saran Berbagai uraian yang telah dijelaskan memberikan gambaran mendasar mengenai aspek-aspek yang terkait dengan kebijakan atas pembatasan/pemblokiran terhadap akses internet dan korelasinya dengan hak asasi manusia. Persoalan-persoalan dan kasus yang diuraikan memperlihatkan proses pembentukan standar pelindungan hak asasi manusia melalui penyusunan sistem tata kelola yang baik masih jauh dari ideal. Berbagai ketentuan lama yang berpotensi menghalangi kebebasan berkespresi juga masih dipergunakan dalam pengaturan kebijakan publik. Sensor yang dilakukan pada level ISP seperti yang dilakukan Trust+ Positif merupakan sensor yang bersifat tersentral. Sensor ini tidak menyediakan opsi apapun bagi para penggunanya. Apalagi sensor yang dikelola oleh otoritas yang tidak memiliki transparansi atau prosedur pemilahan yang jelas, hanya akan membatasi hak masyarakat untuk mengakses informasi. Sensor-sensor yang dijalankan sepihak oleh sebuah otoritas sangat rawan berujung pada kesalahan seperti yang telah terjadi dalam kasus Trust+ Positif. Seperti ketidakjelian klasifikasi situs ke dalam kategori pornografi, atau penilaian konten tanpa standar baku sehingga menimbulkan keputusan sensor yang tidak konsisten. Selain
itu,
masalah-masalah
yang
muncul
secara
jelas
mengindikasikan belum terdapatnya suatu posisi dan standar jelas yang dapat diterapkan dan dipergunakan pemerintah dalam mengembangkan kebijakan terkait dengan internet. Pemerintah perlu mengadakan diskusi yang luas dan terbuka dalam proses pembentukan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan internet, dengan pelibatan aktif multi-stakeholder (pemerintah, swasta, masyarakat sipil) sehingga dapat menghasilkan kebijakan yang lebih baik, patuh hukum dan menghormati hak asasi manusia.
104