BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR itu dikelola. Lebih dari itu dalam setiap institusi/aktor tersebut, masih menyimpan agenda persoalan besar yakni belum terwujud pemahaman yang sama tentang program CSR antar aktor di dalamnya. Dalam negara, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, seolah saling berebut dan belum terintegrasinya pemikiran yang sama,
meskipun
sudah
ada
kemajuan
kebijakan
yang
mengatur
tanggungjawab sosial perusahaan. Dalam perusahaan, hal ini dapat ditunjukkan oleh sikap diskriminatif antara devisi satu dengan yang lain, devisi ke-CSR-an tidak dilihat sebagai sebuah profesi yang memiliki peran penting, akan tetapi sebagai pekerjaan sukender bahkan tersier. Dalam organisasi sosial/LSM juga belum sama antara mereka, apakah aktivitas mereka sebagian besar memiliki visi moral untuk membangun atau hanya untuk kepentingan pribadi untuk mencari proyek. Relasi antara Pemerintah Daerah, pihak perusahaan dan masyarakat lokal pada pengelolaan program CSR sebagaimana yang telah diuraikan diatas sudah bisa samakan pemahaman masing-masing aktor dengan menggunakan konsepsi “Governance” dimana tercipta keseimbangan peran masing-masing
aktor
antara
Pemerintah
Daerah,
perusahaan
dan
masyarakat dalam pengelolaan program CSR di Kabupaten Pohuwato. Pemerintah Daerah harus menerapkan kebijakan program CSR secara bottom-up atau masyarakat mempunyai hak untuk mengakses hak politik dan kesempatan untuk menyuarakan aspirasi mengenai hal yang berkaitan dengan program corporate social responsibility. Pihak perusahaan harus siap menyediakan sumberdaya berupa anggaran untuk menunjang program CSR. Kerjasama antara aktor dalam hal ini sangat penting dalam menciptakan
relasi yang seimbang antara pemangku kepentingan dalam pengelolaan program CSR. Namun
penerapan
konsep
“Governance”
pada
pemberdayaan
masyarakat melalui progam CSR di Kabupaten Pohuwato, bila dilihat dari perspektif ilmu politik tidaklah berada dalam ruang hampa melainkan terdapat intervensi nilai, kepentingan, sumberdaya antara berbagai aktor yang terlibat. Dalam hal ini pengelolaan CSR di Kabupaten Pohuwato, terdapat fenomena unik dimana institusi informal yaitu perusahaan/BUMN yang tergabung dalam Forum CSR mau diajak oleh institusi formal (Pemerintah Daerah) untuk bergabung dalam Forum CSR, padahal beberapa perusahaan baru melakukan eksplorasi, belum sampai pada tahap eksploitasi. Realitas ini menunjukan bahwa aktor informal telah melakukan fungsi yang semestinya dilakukan oleh institusi formal yaitu pemberdayaan masyarakat dengan tujuan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan hadirnya aktor informal yaitu perusahaan yang tergabung dalam Forum CSR dalam melakukan pelayanan publik kepada masyarakat, hal ini tentu saja akan banyak bersinggungan dengan aktor lain yaitu aktor formal (negara) yaitu oleh Pemerintah Daerah. Dengan adanya dua aktor yang berbeda ini, terciptalah sebuah relasi kuasa antara aktor informal dalam hal ini perusahaan yang tergabung dalam Forum CSR dan aktor formal yaitu Pemerintah Daerah Kabupaten Pohuwato. Struktur kuasa yang terjadi disini adalah Pemerintah Daerah memiliki alokasi dana pembangunan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), perusahaan yang beroperasi pun juga memiliki alokasi dana melalui mekanisme CSR, dan masyarakat yang diwadahi oleh Koperasi Unit Desa (KUD) Dharma Tani Marisa, merupakan obyek sekaligus subyek dalam pembangunan daerah Pohuwato. Oleh karena antara Pemerintah Daerah dan pihak perusahaan memiliki landasan masing-masing yang berbeda dalam pembangunan, namun memiliki tujuan yang sama untuk meningkatkan
derajat
kesejahteraan
masyararakat
Pohuwato,
maka
terciptalah relasi yang saling “mengisi” yaitu relasi yang bersifat saling bersinergi dan koordinasi dibawah naungan Forum Tanggug Jawab Sosial
Dunia Usaha (Forum CSR – Kesejahteraan) Kabupaten Pohuwato Periode 2014-2017. Masyarakat yang tergabung dalam Forum CSR yang diwakili oleh KUD Dharma Tani Marisa turut merasakan manfaat dari adanya relasi antara kedua aktor tersebut, dalam hal ini misalnya masyarakat menerima bantuan rumah ibadah, bantuan bagi tokoh agama kurang mampu, bantuan kaum dhuafa, bantuan panti asuhan, bantuan bahan bangunan rumah, bantuan modal usaha ekonomi produktif dan bantuan untuk Komunitas Adat Terpencil Lomuli. Dengan adanya bantuan-bantuan tersebut melalui program CSR, masyarakat menjadi klien sekaligus menjadi aktor yang dikuasai. Dengan demikian pola relasi kuasa yang terjadi antara Pemerintah Daerah, perusahaan/BUMN yang tergabung dalam Forum CSR dan masyarakat penerima bantuan dana melalui program CSR, bila direfleksikan dalam teori informal institutions and comparative politics oleh Helmke dan Levitsky dapat dikategorikan kedalam tipologi complementary. Pola relasi kuasa ini terjadi apabila relasi institusi informal terhadap negara mendekat, sedangkan institusi formal belum berjalan efektif maka yang terjadi adalah institusi informal melengkapi institusi formal atau mengisi “lubang kosong” yang belum diisi oleh negara (Pemerintah Daerah).
B. Refleksi Teoritis Seiring dengan perkembangan konsep welfare pluralism, berbagai aktor melakukan banyak program peningkatan kesejahteraan masyarakat. Negara tidak lagi menjadi aktor tunggal, melainkan muncul lima aktor yang terdiri dari public sector, private sector, voluntary sector, mutual aid, dan informal sector.1 Sektor publik identik dengan kewajiban negara sebagai penanggungjawab utama pencapaian kesejahteraan masyarakat, sektor privat berarti peran swasta yang didorong kuatnya promosi tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), serta peran serta masyarakat yang mencakup voluntary sector, mutual aid dan informal sector.
1
Paul Spicker, Sosial Policy: Themes and Approaches, Prentice Hall, London, 1995.
Di Indonesia, khususnya di era Orde Baru, posisi pemerintah sangat kuat dengan tidak memberi peluang aktor lain, yaitu khususnya masyarakat. Tetapi seiring dengan globalisasi demokrasi, orientasi pemerintah Indonesia telah berubah. Era Reformasi di Indonesia sejak tahun 1997 menjadi titik tolak proses transisi dari sebuah sistem yang otoriter menjadi demokratis. Negara telah berkehendak mengurangi kekuasaannya dan kemudian mendistribusikan atau membagikannya kepada aktor lain di luar negara (swasta dan masyarakat). Dalam konsepsi “Governance” ada keseimbangan peran masingmasing aktor antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat dalam pengelolaan program CSR di Kabupaten Pohuwato. Pemerintah Daerah harus menerapkan kebijakan program CSR secara bottom-up atau masyarakat mempunyai hak untuk mengakses hak politik dan kesempatan untuk menyuarakan aspirasi mengenai hal yang berkaitan dengan program CSR. Perlu ada kerjasama antara aktor dan Pemerintah Daerah memberikan peluang yang sama kepada masyarakat dalam pengelolaan CSR. Namun dalam realitasnya Forum CSR yang dibentuk hanya menguntungkan pihak elit dan perusahaan saja sedangkan masyarakat hanya menjadi aktor yang pasif atau penerima kebijakan Forum CSR, pengelolaan CSR masih didominasi oleh Pemerintah Daerah dan perusahaan. Perusahaan mampu mendikte kebijakan program CSR dengan bergabungnya mereka kedalam Forum CSR. Selama ini partisipasi masyarakat Pohuwato pada pengelolaan program CSR masih pasif, padahal keterlibatan masyarakat dalam penyediaan layanan publik membawa manfaat besar sebagaimana yang dikemukakan oleh Osborne dan Gaebler,2 bahwa keunggulan partisipasi, pertama masyarakat memiliki komitmen yang lebih besar kepada para anggotanya daripada komitmen sistem penyediaan layanan kepada kliennya; kedua, masyarakat lebih baik dalam memahami persoalannya sendiri
2
David Osborne dan Ted Gaebler. “Mewirausahakan Birokrasi: Mentransformasi Semangat Wirausaha Kedalam Sektor Publik, Reinventing Government (terjemahan). Jakarta: CV Teruna Grafica. 1996
daripada para profesional penyedia layanan. Prinsip masyarakat sebagai obyek dan subyek pembangunan juga mesti diimplementasikan melalui pengembangan partisipasi aktif mereka dalam memikul beban dan tanggung jawab pelaksanaan pembangunan maupun dalam menerima hasil-hasil pembangunan yang dijalankan. Dalam konsepsinya masyarakat terkandung hak dan kewajibannya yang selalu melekat. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang sudah berlangsung, diperlukan pihak diluar Pemerintah Daerah sebagai pendukung. Masyarakat tidak lagi didudukan sebagai aktor yang pasif yang hanya dijadikan obyek dalam penyelenggaraan pemerintahan. Masyarakat sekarang dianggap mampu dan bisa menentukan kebutuhannya, serta dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses penyelenggaraan negara. Proses demokrasi yang diharapkan muncul seiring dengan bergulirnya konsep “Governance” dalam pengelolaan kepentingan masyarakat, dimana Pemerintah hanya menjadi fasilitator dalam mengartikulasikan kebutuhan masyarakatnya. Bukan Pemerintah
malah
sebaliknya
menjadi
dominan
dalam
pengelolaan
kepentingan publik dan tidak mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada perusahaan. Menurut penulis bahwa konsep
“Governance” sangat penting
diterapkan dalam pengelolaan program corporate social resposibility (CSR) di Kabupaten Pohuwato. Pemerintah Daerah harus menjadi domain yang paling memegang peranan penting di antara pihak perusahaan dan masyarakat
dalam
mewujudkan
“Good
Governance”
dalam
praktek
pengelolaan program CSR. Memegang peran penting yang dimaksud bukan berarti Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dan mendominasi diantara domain pihak swasta dan masyarakat, melainkan pentingnya fungsi pengaturan yang memfasilitasi bekerjanya sektor swasta dan masyarakat. Peran Pemerintah Daerah melalui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dapat dihindari.
Dengan demikian pengelolaan program corporate social responsibility (CSR) yang berlandaskan pada konsepsi “Governance” belum bisa diwujudkan atau dengan kata lain konsep “Governance” belum bisa diterapkan atau belum maksimal dalam pengelolaan program CSR di Bumi Panua karena posisi Pemerintah Daerah Pohuwato lebih mendominasi atau usulan pembentukan Forum Tanggungjawab Sosial Dunia Usaha (Forum Corporate Social Responsibility – Kesejahteraan Sosial) berasal dari elit bukan aspirasi langsung dari masyarakat dan perusahaan memfaatkan/siap bergabung kedalam forum tersebut, karena mereka memiliki tujuan untuk mendongkrak citra perusahaan mereka dimata masyarakat. Bila direfleksikan pada pengelolaan program CSR di Kabupaten Pohuwato, bekerjanya konsep “Governance” gagal, karena hanya tercipta relasi kuasa antara aktor informal (perusahaan/BUMN) dan aktor formal (Pemerintah Daerah) serta masyarakat menjadi pihak yang dikuasai. Sementara perkembangan konsep welfare pluralism, berbagai aktor melakukan banyak program peningkatan kesejahteraan masyarakat. Negara tidak lagi menjadi aktor tunggal, melainkan muncul lima aktor yang terdiri dari public sector, private sector, voluntary sector, mutual aid, dan informal sector. Sektor publik identik dengan kewajiban negara sebagai penanggung jawab utama pencapaian kesejahteraan masyarakat, sektor privat berarti peran swasta yang didorong kuatnya promosi tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), serta peran masyarakat yang mencakup voluntary sector, mutual aid dan informal sector.