BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Dengan melihat karakteristik Kabupaten Garut bagian selatan dapat dilihat bagaimana sifat ketertinggalan memang melekat pada wilayah ini. Wilayah Garut bagian selatan sesuai dengan kriteria wilayah tertinggal karena memenuhi ciri daerah tertinggal yang diberikan oleh kementrian percepatan pembangunan kawasan tertinggal. Hal ini dilihat dari : −
Daya dukung sumberdaya alam sangat rendah, rawan longsor, rawan banjir, dan merupakan daerah dengan topografi yang terjal. Hal ini menyulitkan untuk pengembangan potensi sumber daya alam karena hambatan yang datang dari kondisi geografis wilayah tersebut sendiri.
−
Terjadi keterbatasan dukungan prasarana teknologi. Hal ini disimpulkan mengingat masih terdapatnya daerah-daerah yang tidak terjangkau listrik, serta sedikitnya daerah yang sudah memiliki jaringan telekomunikasi.
−
Ketersediaan atau keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, kesehatan, pendidikan dan pelayanan lainnya menyebabkan komunitas di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial. Masyarakat di berbagai desa harus seringkali menempuh jarak dan waktu yang jauh untuk mencapai pusat kecamatan terdekat. Jika pusat kecamatan yang terdekat memang tidak memiliki pelayanan yang memadai, maka masyarakat harus menempuh jarak jauh untuk tiba di pusatpusat pertumbuhan.
−
Rendahnya
akses
ke
pusat-pusat
pertumbuhan
lokal
sehingga
biaya
transportasi menjadi lebih tinggi dibanding dengan nilai jual komoditi. −
Sebaran kampung penduduk yang terpencar dan pada daerah dengan topografi berat menyebabkan banyak daerah yang sulit dijangkau.
Dari sisi keterkaitannya, dapat dilihat ruwetnya permasalahan yang timbul yang mengakibatkan ketertinggalan Kabupaten Garut. Dengan topografi yang curam jaringan jalan pada Kabupaten Garut bagian selatan dibuat melalui gunung dan
97
lembah, yang otomatis menjadikan lamanya waktu tempuh antar wilayah. Lama waktu tempuh
ini memiliki banyak dampak. Pertama yaitu berdampak pada
besarnya ongkos transportasi, yang menyebabkan meningkatnya rendahnya keuntungan atas aktivitas ekonomi yang dilakukan antar wilayah. Hal ini juga turut mengurangi potensi investasi dari pihak luar. Kedua, menyebabkan
rendahnya
tingkat mobilitas dan interaksi penduduk. Rendahnya interaksi ini mengakibatkan rendahnya rasa kesatuan masyarakat secara sosial. Ketiga, menyebabkan ketidak efektivan pelayanan. Dengan jumlah yang sedikit dan jarak yang jauh akan berat bagi penduduk untuk bisa menikmati pelayanan, terlebih lagi dengan minimnya sarana transportasi yang ada, hal ini mengurangi produktivitas masyarakat dalam penggunaan waktunya. Sementara itu dengan sisi ekonomi sebagai awalan, terdapat keterkaitan antara pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya sebagai titik pemasaran, dan tidak terdapat keterkaitan lain seperti misalnya dalam bentuk produksi. Setiap kecamatan memiliki hasil produksinya masing-masing, untuk konsumsi masing-masing, dan menjualnya masing-masing dengan melalui pusat-pusat pertumbuhan terkait dengan penyediaan pelayanan perekonomian yang ada. Dari segi keterkaitan fisik timbul kendala-kendala. Besarnya potensi sumber daya alam ini berbanding lurus dengan besarnya pula hambatan ekologis yang ada dalam bentuk rawannya bencana
alam,
ditambah
lagi
dengan
peraturan
yang
menginstruksikan
dipertahankannya fungsi perhutanan. Hal ini menghambat pemanfaatan sumber daya secara maksimal. Disisi lain, rendahnya sumber daya yang diperkenankan untuk dimanfaatkan ternyata tidak dapat menimbulkan kreatifitas dan inovasi perekonomian. Dengan jumlah seadanya, Kabupaten Garut bagian selatan menjual mentah-mentah sumber daya alamnya yang mayoritas berupa produksi pertanian. Menurut Rondinelli, kota di wilayah perdesaan berfungsi sebagai market center yang berlevel lebih tinggi atas komoditas agrikultur dan perdesaan untuk distribusi intra ataupun luar wilayah itu sendiri. Dalam wilayah yang didominasi sektor pertanian, fungsi utama market town adalah untuk mengakomodir pelayanan terkait pengembangan perdesaan, seperti input pertanian, pemasaran, barang rumah tangga, extensi pertanian, pelayanan berkaitan dengan kesejahteraan (kesehatan dan pendidikan), pusat difusi inovasi ide dan teknologi, tenaga kerja off-farm, dan lain-lain (Douglass, 1996). Terdapat dua jenis market center dalam hubungan intra
98
Garut selatan maupun eksternalnya. Kedua pusat pertumbuhan yaitu Cikajang dan Pameungpeuk sudah menjadi market center bagi kecamatan di sekitarnya. Hal ini dinilai dari keberadaan pasar yang mengakibatkan kedua kecamatan ini terlalui oleh berbagai produk dari dan ke kecamatan-kecamatan di Kabupaten Garut bagian selatan. Fungsi pemasaran pada suatu market center tidak dapat terjadi tanpa kelebihan produk pertanian yang diproduksi di wilayah tersebut. Kecamatan Bungbulang tidak memiliki peran besar sebagai market center mengingat ketiadaan pasar dan fungsinya yang hanya sebagai tempat singgah barang-barang hasil produksi keluar. Bungbulang tidak menjadi suatu pasar bagi penjualan hasil produksi wilayah sekitarnya. Untuk kecamatan sekitarnya Bungbulang berperan besar dari segi penyediaan pelayanan, berupa pelayanan kesehatan dan perhubungan. Hal ini menunjukkan hubungan yang saling menguntungkan antar daerah perkotaan pada pusat-pusat pertumbuhan dan wilayah perdesaan disekitarnya tidak hanya dari sisi perekonomian saja. Konsep rural-urban linkages Douglass menggambarkan bagaimana perkembangan kota-kota kecil sebenarnya justru bisa didorong oleh perkembangan wilayahnya. Kondisi ini menjadikan suatu keadaan timbal balik dalam hubungan desa-kota. Pusat pertumbuhan menarik manfaat dari ketersediaan pelayanan-pelayanan serta transaksi-transaksi yang dilakukan dengan wilayah hinterland-nya. Sebaliknya, dari sudut pandang
wilayah perdesaan sekitarnya besar manfaat dari keberadaan
pusat pertumbuhan ini tidak terlalu dapat dikenali. Hal ini mengingat masih banyaknya aktivitas besar yang langsung dilakukan dengan wilayah di luar Garut bagian selatan. Untuk aktivitas kecil terjadi keterkaitan dengan pusat pertumbuhan, namun untuk skala besarnya masyarakat justru lebih memilih untuk melakukannya dengan Garut Kota, atau bahkan Bandung. Dalam lingkup luas Kabupaten Garut bagian selatan terjadi keterkaitan dengan kota-kota menengah dan besar seperti Garut kota, Kota Bandung, dan Jakarta, serta Tasikmalaya yang merupakan pusat kegiatan wilayah. Keterkaitan ekonomi yang terjadi pada ketiga pusat pertumbuhan yaitu sebagai sarana penyaluran hasil produksi yang kebanyakan mentah dari kecamatannya sendiri dan sedikit dari kecamatan sekitarnya. Dari segi penduduk Kabupaten Garut bagian selatan banyak terjadi migrasi keluar, yang mengindikasikan masih besarnya paradigma bahwa kemakmuran akan lebih mudah dicapai di kota besar. Selain Garut kota, kota-kota
99
besar yang menjadi tujuan migrasi adalah Bandung dan Jakarta. Ditinjau dari tata ruang yang lebih luas, Kabupaten Garut merupakan bagian dari kawasan andalan Priangan Timur dengan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) Tasikmalaya. Hubungan yang lebih kuat justru terjadi dengan Kota Bandung yang merupakan Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh besarnya kinerja aksesibilitas paling tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya. Kondisi ini didukung oleh adanya jaringan jalan arteri yang menghubungkan PKN Bandung dengan wilayah sekitarnya. Hal ini juga mempengaruhi tingginya tingkat mobilitas penduduk dari dan ke PKN Bandung. Keterkaitan utara-selatan dalam hubungan antar pusat pertumbuhan dengan wilayah di luarnya sesuai dengan konsep utara-selatan yang diutarakan oleh Fu Chen-Lo. Menurut model keterkaitan desa kota yang dibuat Fu-Chen Lo pada tahun 1981, terdapat keterkaitan erat antara wilayah perdesaan Indonesia yang terletak di selatan dengan wilayah perkotaan yang terletak di utaranya. Wilayah utara disini bersifat menyerap hasil primer dari perdesaan, sementara wilayah perdesaaan mendapat keuntungan dari remittance dan penjualan bahan mentah semata. Meskipun demikian model ini tidak secara mutlak sesuai dengan kondisi pada wilayah Garut selatan. Perbedaan dengan model ini terjadi pada fakta bahwa tidak adanya investasi skala besar yang terjadi. Prinsip yang digunakan dalam model ini ternyata masih sesuai dengan kondisi keterkaitan eksternal wilayah Garut bagian selatan yang banyak bergantung pada wilayah utara yang terdiri dari Garut Kota, Kota Bandung, bahkan Jakarta. Terdapat keterkaitan dengan bagian utara dalam bentuk modal asing dan teknologi modern, dimana dalam kasus ini rendahnya investasi dan aliran modal menjadikan wilayah ini kurang berkembang. Wilayah ini tidak mampu memproduksi barang jadi dan yang dipakai sehari-hari seperti pakaian dan hasil teknologi. Dari sisi pelayanan, wilayah di utara menyediakan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik. Keterkaitan ini terjadi dua arah, kota-kota yang terletak di wilayah utara Kabupaten Garut bagian selatan ini membutuhkan hasil produksi barang mentah yang dihasilkan disini. Secara sederhana, keterkaitan-keterkaitan yang terjadi di lingkup wilayah Garut bagian selatan terjadi seperti pada gambar 5.1 berikut.
100
Gambar 5.1 Keterkaitan Intern dan Ekstern Garut Selatan wilayah perdesaan
Pusat pertumbuhan terdekat
5.2
Kota besar atau menengah diluar Kabupaten Garut (Bandung, Jakarta, Tasikmalaya)
Garut Kota
Cikajang
Rekomendasi
Ketimpangan perkembangan antara pusat pertumbuhan dan hinterland-nya tentunya tidak diinginkan, melainkan perkembangan yang bersifat continuum dan timbal balik. Beragam teori sudah diutarakan terkait dengan pengembangan kota kecil untuk mendorong wilayah sekitarnya, namun perkembangan wilayah perdesaan juga hendaknya bisa mendorong perkembangan pusat pertumbuhannya. Masalah yang terjadi dalam keterkaitan wilayah pada Garut bagian selatan adalah belum munculnya keterkaitan yang timbal balik. Menurut Douglass (1996), agar terjadi keterkaitan desa-kota yang timbal balik, hendaknya dijalankan dengan kebijakan yang tepat. Banyaknya keterkaitan yang langsung terjadi dengan kota di luar wilayah Garut selatan mengindikasikan belum mampunya pusat-pusat pertumbuhan untuk mendorong
perkembangan
dan
mendukung
kehidupan
masyarakatnya
sepenuhnya. Untuk itu dibutuhkan pengoptimalan peran pusat pertumbuhan ini sebagai penyedia pelayanan yang bersifat kekotaan untuk wilayah Garut bagian selatan. Pendorongan perkembangan ini dapat dimulai dari mengatasi hambatan yang
paling
mendasari
isu-isu
yang
mengakibatkan
ketertinggalan
dan
ketimpangan wilayah Kabupaten Garut bagian selatan. Dengan kondisi fisik sedemikian, akan sulit bagi Kabupaten Garut bagian selatan untuk mengoptimalkan potensi-potensi ekonominya untuk mendorong perkembangan wilayah. Kendala lanjutan adalah bahwa kondisi fisik tersebut harus dipertahankan mengingat fungsi kawasan lindung yang diembannya. Sektor pertanian adalah sektor paling dominan
101
di wilayah ini, maka dalam jangka pendeknya pengoptimalan sektor ini akan sedikit banyaknya mendorong perkembangan ekonomi wilayah. Perkembangan ekonomi ini akan mendorong kondisi pelayanan, sosial, dan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat. Penguatan keterkaitan desa-kota yang terdapat di Garut bagian selatan dengan pusat pertumbuhan sebagai wilayah yang memiliki fungsi pelayanan perkotaan hendaknya dilakukan untuk memperkuat nilai ekonomi Garut selatan serta mengurangi penyerapan bahan mentah yang bernilai rendah bagi pertumbuhan perekonomian. Terkait dengan sulitnya akses sebagai penyebab mendasar masalah dalam hubungan desa kota yang terjadi di Kabupaten Garut bagian selatan, terdapat prospek pembukaan wilayah melalui penyelesaian pembangunan jalur lintas selatan. Dengan pembukaan wilayah Garut bagian selatan keberadaan jalur ini juga diharapkan akan dapat mendorong investasi perekonomian. Namun masalah lain mungkin terjadi seandainya yang terjadi justru bukan investasi, melainkan eksploitasi sumber daya alam dan rusaknya fungsi lindung. Untuk itu harus dilakukan penguatan regulasi dan penguatan perekonomian masyarakat lokal. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah penguatan peran pusat pertumbuhan itu sendiri, dan pembentukan distrik-distrik spesialisasi dan spesifikasi hasil produksi sektoral agar hasil sumberdaya yang dimiliki Kabupaten Garut bagian selatan kembali pada masyarakatnya. Pemberian kewenangan pada tingkat kecamatan atau distrik diperlukan untuk mengelola perekonomiannya dibutuhkan untuk mempermudah koordinasi multisektor dan aktivitas rural-urban. Untuk mencegah terjadinya eksploitasi diperlukan regulasi dan koordinasi yang kuat dengan pihak pemereintahan baik Kabupaten, Provinsi, maupun nasional. Hal yang harus ditakutkan dari penggunaan kata pusat pertumbuhan ini adalah keidentikkannya dengan teori growth pole yang dikenal berdampak buruk yaitu urban bias akibat kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan sehingga timbul efek backwash effect yang justru merugikan wilayah hinterlandnya. Untuk mencegah terjadinya hal ini, pengembangan
wilayah
yang
dilakukan
hendaknya
berpegang
pada
pengintegrasian perdesaan dengan pembangunan perkotaan pada skala lokal, sehingga pusat pertumbuhan tidak menimbulkan ketimpangan baru yaitu antara pusat pertumbuhan dan wilayah hinterlandnya.
102
5.3
Kelemahan Studi
Terdapat kelemahan-kelemahan dalam studi yang telah dilakukan ini, yaitu:
Penetapan orde perkotaan adalah batas kota yang didasarkan batas administrasi, dimana dalam rangka memetakan orde perkotaan maka batas kota harus didasarkan atas batas fisik atau batas fungsi. Hal ini berarti kota yang sebenarnya bisa lebih kecil dari batas kota administrasi karena ada bagian kota yang masih memiliki ciri pertanian tetapi bisa juga melampaui batas administrasi karena telah menyatu sebagai kota dengan wilayah tetangga. Hal ini merupakan kekurangan dalam mengevaluasi kota kecil seperti ibukota kecamatan, data yang dianalisis adalah data seluruh kecamatan dan bukan ibukota kecamatan yang telah memiliki fisik sebagai kota ataupun berfungsi sebagai kota. Walaupun di kecamatan itu terdapat jumlah penduduk yang banyak, begitu juga jumlah fasilitas banyak tersedia tetapi lokasinya tersebar di berbagai tempat dan saling berjauhan (Tarigan, 2004 hal 127).
Wawancara dilakukan pada pihak yang berkaitan erat dengan ketiga pusat pertumbuhan dan diasumsikan sebagai orang yang paling memahami kondisi daerahnya, yaitu para camat. Oleh karena itu sudut pandang yang diambil hanya berasal dari ketiga pusat pertumbuhan saja. Bagaimana sudut pandang masyarakat wilayah hinterland, yaitu penduduk ketiga belas kecamatan lain di Kabupaten Garut bagian selatan tidak tergali dengan dalam. Pengambilan data juga dilakukan dengan survey sekunder yang dilakukan ke beberapa instansi terkait. Pada instansi ini juga dilakukan wawancara untuk mencari informasiinformasi yang tidak tertulis. Informasi dari para camat ini kemudian dipadukan dengan data-data yang didapat dari survey sekunder sebagai bahan analisis dan pembanding. Sejauh ini tidak ditemukan pertentangan dalam informasi yang didapat dari kedua jenis sumber tersebut, namun memang terjadi banyak ketidak sinkronan data yang terkait dengan jumlah.
Keterkaitan ekonomi hanya diukur dari segi pemasaran dan fungsi distribusi yang terjadi antar wilayah, dalam hal ini yaitu antara wilayah perdesaan sebagai hinterland dan kota pusat pertumbuhannya. Fungsi distribusi dan pemasaran ini lebih ditekankan pada sektor pertanian saja. Sektor pertanian diasumsikan sebagai sektor dominan mengingat sektor inilah yang paling banyak menyerap
103
tenaga kerja dan memberikan penghasilan terbesar bagi wilayah Garut bagian selatan. Bagaimana besar potensi ekonomi lain yang dimiliki wilayah selatan Garut ini tidak tereksplor secara mendalam.
Besar keterkaitan yang terjadi antara ketiga pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya tidak terukur. Karena keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, kedalaman data yang dibutuhkan untuk melakukan pengukuran tidak bisa didapat. Data yang dibutuhkan untuk pengukuran besar keterkaitan ini bisa didapat dengan survey langsung ke pihak-pihak yang terlibat berupa masyarakat, pedagang, dan penghitungan langsung untuk setiap indikator keterkaitan.
5.4
Studi Lanjutan
Untuk memperkaya informasi tentang interaksi desa-kota di wilayah Garut bagian selatan ini, diperlukan penelitian lanjutan dengan tingkat kedalaman yang lebih. Dari sisi ekonomi, mengingat belum tergalinya potensi ekonomi perlu diadakan penelaahan tiap komoditas agar dapat dijabarkan secara spesifik prospek pengembangan sektor ekonomi unggulan di wilayah ini. Dengan diketahuinya sektor-sektor unggulan secara spesifik, diharapkan akan dapat diformulasikan intervensi yang tepat untuk menggerakkan pembangunan. Perlu dilakukan pengukuran besar keterkaitan desa-kota untuk pengembangan wilayah. Dengan mengetahui kuat keterkaitan diharapkan dapat dilihat apa sebenarnya peran utama dari suatu pusat pertumbuhan terhadap wilayah. Untuk mendapatkan data yang sesuai, bisa dilakukan survey sekunder secara lebih mendalam yaitu hingga satuan desa atau kecamatan, atau bahkan survey primer ke masyarakat di wilayah studi.
104