BAB IV HASIL PENGAMATAN DAN ANALISIS
Pada bab ini akan diuraikan pembahasan yang dimulai dengan hasil pengamatan selama pengujian dan dilanjutkan dengan analisis mengenai perilaku kinerja spesimen link dan sambungannya berupa baut-pelat ujung tipe flush.
IV.1.
Spesimen Link
Dalam sub bab ini pembahasan masalah mengenai beberapa parameter yang menunjukkan karakteristik perilaku benda uji dibawah pengaruh beban siklik yang merupakan interaksi respon antara elemen link dan elemen sambungannya. Diantara parameter yang berfungsi sebagai indikator perilaku adalah hubungan bebanperpindahan (kurva histeretik), perilaku material baja dari elemen link dalam zona elastik dan plastik baik pada pelat badan maupun pada pelat sayap dan ragam keruntuhan (mode failure) yang terjadi sebagai indikator tercapainya kapasitas ultimit spesimen pada akhir percobaan.
IV.1.1. Pengamatan Pada Zona Elastik
Sebelum membahas perilaku kurva histeretik yang merepresentasikan perilaku spesimen secara utuh (link dan elemen sambungan) maka terlebih dahulu akan diuraikan perilaku bagian-bagian elemen tertentu secara lebih spesifik. Hal ini bisa dilakukan melalui kurva beban–regangan uniaksial hasil bacaan uniaxial strain gauge atau melalui kurva beban–regangan geser hasil bacaan rosette. Dalam penelitian ini perilaku pelat sayap dalam zona elastik diamati dari sejumlah data bacaan uniaxial strain gauge, sedangkan perilaku pelat badan diamati dari data bacaan rosette. Untuk selanjutnya istilah setengah siklus perpindahan arah keatas dari aktuator disebut siklus tarik dan setengah siklus perpindahan arah kebawah disebut siklus tekan.
53
a.
Pelat Badan Panel Ujung
Spesimen 1 merupakan link tanpa Side Extended Plate (SEP), untuk pengecekan perilaku elastik amplitudo perpindahan yang diberikan sebesar 3mm untuk tarik (atas) dan 4mm untuk tekan (bawah) masing-masing sebanyak ½ siklus. Saat mencapai perpindahan sebesar 4mm angka beban geser dari aktuator sebesar V1=111,60 kN, regangan geser pada rosette kiri (R11) dan rosette kanan (R12) berturut – turut sebesar γxy11=1.69μ, γxy12=1.60μ. Sedangkan tegangan Von Misses yang terjadi sebesar fvm11=265,96 MPa untuk rosette kiri dan sebesar fvm12=250,38 MPa untuk rosette kanan, berarti nilai ini masih jauh lebih kecil dari tegangan leleh Von Misses sebesar fyw=516 MPa. Melihat bentuk kurva yang masih berupa garis lurus seperti pada Gambar IV.1.(a) ini membuktikan kondisi material pelat badan profil WF masih berada dalam zona perilaku elastik. Hasil ini juga mengindikasikan bekerjanya perangkat dan instrumen strain gauge dengan baik.
200.0
200.0
150.0
100.0
100.0
50.0
50.0
0.0 -3,000
-2,000
-1,000
0 -50.0
-100.0
1,000
2,000
3,000
B e b a n A k tu a to r (k N )
B e b a n A k tu a to r (k N )
150.0
-3,000
0.0 -2,000
-1,000
0
1,000
2,000
3,000
-50.0
-100.0
-150.0 -150.0
-200.0
Reg γ 1 Spec 1
(a)
-200.0
Reg γ 1 Spec 2
(b)
Gambar IV.1. Kurva beban-regangan geser elastik pada pelat badan : (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2
Pada spesimen 2 yang merupakan link dengan SEP perpindahan yang diberikan sebesar 4,5mm untuk tarik dan 5,5mm untuk tekan masing-masing ½ siklus. Pada perpindahan 5,5mm gaya geser aktuator maksimum didapatkan sebesar V2=163,67 kN. Perpindahan tersebut berpadanan dengan regangan geser pada rosette kiri (R21) dan rosette kanan (R22) berturut–turut sebesar γxy21=2.498μ, γxy22=2.411μ. Tegangan 54
Von Misses yang terjadi sebesar fvm21=370,59 MPa untuk rosette kiri dan sebesar fvm22=357,41 MPa untuk rosette kanan, kondisi ini juga mengindikasikan kelelehan belum terjadi.
Untuk mengidentifikasi kemiripan perilaku spesimen, dilakukan dengan menghitung nilai tegangan Von Misses yang ada untuk setiap satuan perpindahan yang terjadi diantara kedua spesimen tersebut (tegangan satuan Von Misses). Pada spesimen 1 nilai tegangan satuan Von Misses yang terjadi didapatkan sebesar Svm1 = 265,96Mpa/4mm = 66,49MPa/mm, sedangkan untuk spesimen 2 sebesar Svm2 = 370,59Mpa/5.5mm = 67,38MPa/mm.
Rasio Svm2/Svm1 sebesar 1,0134 atau lebih besar 1,34% menunjukkan bahwa dalam rentang zona elastik kedua spesimen menunjukkan nilai besaran tegangan satuan Von Misses yang hampir sama meskipun mendapatkan perlakuan berbeda dalam hal penambahan SEP.
b. Pelat Sayap Panel Ujung
Data regangan pada pelat sayap panel ujung diambil dalam waktu dan besaran perpindahan
yang sama dengan regangan pada pelat badan hasil bacaan dari
rossette. Pada spesimen 1, perpindahan sebesar 4mm menyebabkan regangan yang terjadi sebesar εx=626μ, nilai ini berpadanan dengan tegangan uniaksial sebesar σx=137,72 MPa. Tegangan tersebut masih jauh dari nilai tegangan leleh hasil uji kupon sebesar fyf =490 MPa. Sedangkan pada spesimen 2 untuk perpindahan sebesar 5,5mm regangan yang terjadi sebesar εx=580μ, nilai ini berpadanan dengan tegangan uniaksial sebesar σx=127,6 MPa. Tegangan tersebut mengindikasikan pelat sayap belum mengalami kelelehan.
55
Dari hasil bacaan uniaxial strain gauge pada pelat sayap yang di plot seperti Gambar IV.2 untuk kedua spesimen tersebut terlihat grafik beban–regangan masih berbentuk garis lurus pada kondisi beban bolak-balik, fakta ini memastikan kondisi seluruh
200.0
200.0
150.0
150.0
100.0
100.0
50.0
50.0
0.0 -800
-600
-400
-200
0
200
400
600
-50.0
-100.0
-150.0
-200.0
Regangan 1 0 (Spec1)
(a)
800
Beban Aktu ato r (kN)
Beban Aktuator (kN)
bagian elemen profil WF masih berada dalam zona perilaku elastik.
0.0 -800
-600
-400
-200
0
200
400
600
800
-50.0
-100.0
-150.0
-200.0
Regangan 9 (Spec2)
(b)
Gambar IV.2. Kurva beban-regangan uniaksial elastik pelat sayap : (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2
Meskipun dengan perpindahan aktuator (displacement) dan gaya yang lebih besar pada spesimen 2, terlihat tegangan pelat sayap yang dihasilkan lebih kecil. Jika di perhitungkan nilai tegangan setiap satuan perpindahan yang diberikan untuk spesimen 1 diperoleh sebesar Svm1 = 137,72Mpa/4mm = 34,25 MPa/mm. Sedangkan untuk spesimen 2 sebesar Svm2 = 127,6Mpa/5.5mm = 23,2 MPa/mm. Rasio Svm2/Svm1 yang terjadi sebesar 0,677 yang berarti lebih kecil 32,26%. Angka ini mengindikasikan dengan penambahan SEP intensitas tegangan satuan Von Misses jadi semakin kecil, luasan yang bekerja pada pelat sayap untuk menahan tarikan (tension) dan tekanan (compression) menjadi semakin besar sehingga dihasilkan tambahan tegangan yang lebih kecil.
Intensitas tegangan satuan yang kecil ini menyebabkan terjadinya penundaan fraktur pada ragam keruntuhan pelat sayap akibat penambahan SEP. Untuk memperoleh nilai tegangan fraktur yang sama pada spesimen 1 maka spesimen 2 harus menerima perpindahan yang lebih besar sehingga konsekuensinya tentu akan membutuhkan siklus pembebanan yang lebih banyak. 56
IV.1.2. Pengamatan Pada Zona Inelastik
Pembahasan perilaku zona inelastik terfokus kepada riwayat kelelehan pada posisi pelat badan dan pelat sayap dari kedua spesimen. Selanjutnya untuk rentang zona inelastik pasca kelelehan dan fully plastic pembahasan lebih banyak kepada perilaku visual dari spesimen pada setiap siklus pembebanan.
a.
Riwayat Kelelehan Spesimen
Pada spesimen 1 untuk gaya geser dalam arah tarik diperoleh regangan geser berdasarkan data hasil bacaan rosette pada pelat badan sebesar γxy1=2.529μ, regangan utama 1 εw11 =1.397,55μ dan regangan utama 2 εw21=2.074,55μ. Nilai regangan tersebut berpadanan dengan tegangan Von Misses sebesar fvm1=519,866 MPa. Tegangan tersebut merupakan tegangan leleh dan terjadi pada gaya geser aktuator sebesar Vyw1=158,16 kN dan perpindahan sebesar δy1=8,01 mm. Nilai ini ditetapkan sebagai beban leleh spesimen 1 dalam arah tarik. Sedangkan untuk gaya geser dalam arah tekan didapatkan regangan geser sebesar γxy1’=3.470μ, regangan utama 1 εw11’=2.011,22μ dan regangan utama 2 εw21’=1.461.22μ. Pada regangan itu tegangan Von Misses yang terjadi sebesar fvm1’=516,20 MPa. Tegangan leleh tersebut terjadi pada gaya geser sebesar Vyw1’=207,23 kN dan perpindahan δy1’=8,1 mm yang ditetapkan sebagai beban leleh spesimen 1 dalam arah tekan.
Kelelehan berikutnya terjadi pada pelat sayap saat gaya geser dalam arah tarik sebesar Vyf1=179,36 kN dan perpindahan sebesar δyf1=10,12mm, regangan uniaksial pada saat itu sebesar εf1=2.221μ yang menghasilkan tegangan sebesar fyf1=488,62 MPa. Nilai tersebut relatif hampir sama dengan besaran tegangan leleh hasil uji kupon pelat sayap sebesar 490 MPa. Urutan kelelehan tersebut dapat dilihat pada kurva histeretik (kurva beban aktuator vs perpindahan) Gambar IV.3 dibawah. Titik merah menandakan kelelehan pelat badan telah terjadi terlebih dahulu dan titik kuning menunjukkan kelelehan pelat sayap yang terjadi pada tahap berikutnya.
57
400
300
300
200
200
100
0 -80
-60
-40
-20
0
20
-100
40
60
80
100
B eban A ktuator (kN )
B e b a n A k tu a to r (k N )
-100
400
-100
100
0 -80
-60
-40
-20
0
-200
-300
-300
-400
(a)
40
60
80
100
-100
-200
PerpindahanΔ (mm)
20
-400
Perpindahan Δ (mm)
(b)
Gambar IV.3 Riwayat kelelehan pada kurva histeretik untuk : (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2
Saat gaya geser arah tarik pada spesimen 2 sebesar Vyw2=156,35 kN dan perpindahan sebesar δy2=8,08 mm, diperoleh tegangan leleh Von Misses sebesar fvm2=527,939 Mpa. Tegangan tersebut berpadanan dengan besaran regangan geser γxy2=2.449μ, regangan utama 1 εw12=1.772,36μ dan regangan utama 2 εw22=1.829,36μ. Untuk gaya geser dalam arah tekan sebesar Vyw2’=203,48 kN dan perpindahan δy2’=8,16 mm didapatkan tegangan leleh saat tercapainya tegangan Von Misses sebesar fvm2’=527,25 Mpa. Saat itu nilai regangan geser γxy2’=3.518μ, regangan utama 1 εw12’=2.108,43μ dan regangan utama 2 εw22’=1.410,43μ.
Selanjutnya kelelehan terjadi pada pelat sayap saat beban tarik sebesar Vyf2=174,49 kN dan perpindahan sebesar δyf2=10,4mm, regangan uniaksial pada pelat sayap saat itu sebesar εf2=2.232μ yang menghasilkan tegangan sebesar fyf2=491,04 MPa. Nilai tersebut telah melewati besaran tegangan leleh hasil uji kupon pelat sayap sebesar 490 MPa.
Hubungan beban–regangan geser pada pelat badan untuk spesimen 1 dan spesimen 2 diplot dalam bentuk kurva hasil olahan data bacaan rosette seperti dalam Gambar IV.4 dibawah. Pada masing-masing kurva tersebut terlihat kelelehan pelat badan terjadi pada titik warna merah dan biru. Setelah titik tersebut kurva yang semula
58
masih cenderung berupa garis lurus menjadi lebih landai sebagai indikasi kelelehan dan plastifikasi telah terjadi pada pelat badan.
-20,000
400
300
300
200
200
fy
100
0 -15,000
-10,000
-5,000
0
5,000
-100
-200
fy’
10,000
15,000
20,000
B e b a n A k tu a to r (k N )
B eb an A ktu ato r (kN )
fy
400
-20,000
-300
-400
Regangan γ2 (Spec 1)
(a)
100
0 -15,000
-10,000
-5,000
0
5,000
10,000
15,000
20,000
-100
fy’ -200
-300
-400
Regangan γ1 (Spec 2)
(b)
Gambar IV.4. Kurva beban-regangan geser inelastik pelat badan sampai siklus 3δy (perhitungan pada lampiran E): (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2
Kurva hubungan beban–regangan pelat sayap dapat dilihat pada Gambar IV.5. Pada kurva tersebut besaran titik kelelehan pelat sayap ditandai dengan titik warna merah dan biru. Pelat sayap yang mengalami kelelehan sewaktu gaya geser tarik diberikan kepada spesimen adalah yang mengalami gaya tekanan (compression), hal ini terlihat dengan nilai regangan yang berharga negatif.
Pada kurva Gambar IV.5 terlihat posisi titik leleh (merah dan biru) terletak pada posisi kemiringan landai bukan pada titik merah jambu yang merupakan peralihan kemiringan curam (elastik) ke kemiringan landai (plastik) sebagaimana lazimnya titik leleh terjadi. Ini terjadi karena pelat sayap berada dalam kondisi pembebanan tekan sehingga kecenderungan tekuk lokal pelat sayap walaupun dalam nilai yang masih kecil langsung mempengaruhi regangan uniaksial. Distorsi regangan ini semakin signifikan dengan adanya ketidak sempurnaan pemasangan perekat adhesive CN, sehingga tekukan pelat sayap menjadi tidak kompatibel dengan perpendekan regangan strain gauge.
59
-6,000
400.0
300.0
300.0
200.0
200.0
fy
fy 100.0 0.0
-4,000
-2,000
0
2,000
4,000
6,000
-100.0
-200.0
-300.0
-400.0
Reg 11 (Spec 1)
Beban A ktuator (k N )
Beban Aktuator (kN)
fy
400.0
fy 100.0 0.0
-6,000
-4,000
-2,000
0
2,000
4,000
6,000
-100.0
-200.0
-300.0
-400.0
Regangan 12 (Spec 2)
(a)
(b)
Gambar IV.5. Kurva beban-regangan uniaksial pelat sayap sampai siklus 3δy: (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2
Dari data-data terukur berupa angka dan bentuk geometri kurva beban–regangan yang ada terlihat perilaku kelelehan, urutan kelelehan, besar beban leleh dan regangan geser inelastik pasca leleh untuk kedua spesimen cenderung sama. Dari sini dapat disimpulkan penambahan SEP tidak mempengaruhi sifat fisik dan perilaku spesimen pada zona elastik. Dengan demikian semua kriteria disain yang diberlakukan terhadap spesimen 1 dapat diterapkan langsung pada spesimen 2.
b. Perilaku Inelastik Pelat badan
Perilaku spesimen dalam rentang inelastik lebih banyak di fokuskan pada perilaku secara visual, hal ini karena sejumlah data yang diperoleh dari rosette dan uniaxial strain gauge tidak lagi akurat. Berikut akan diberikan rinciannya dalam bentuk deskripsi untuk setiap siklus perpindahan :
Pelat Badan Spesimen 1: Ö Siklus 1.δy (γp=0.018 rad) ; Belum terlihat adanya perubahan geometri elemen link secara visual dibandingkan dari kondisi awal, belum ada terlihat pengelupasan cat yang menandakan adanya deformasi titik yang cukup signifikan. 60
Ö Siklus 2.δy (γp=0.036 rad) ; Sedikit terlihat goresan-goresan kecil pada cat di bagian pelat badan panel bagian tepi kiri dan kanan, ini mengindikasikan mulai terjadinya deformasi (regangan) yang cukup signifikan sebagai tanda semakin besarnya regangan geser yang terjadi. Sementara pada pelat badan panel bagian tengah belum terlihat adanya perubahan. Ö Siklus 3.δy (γp=0.054 rad) ; Goresan-goresan kecil pada cat semakin memanjang di bagian tengah pelat badan pada panel bagian tepi kiri dan kanan, goresan yang terjadi dalam arah atas dan bawah juga semakin bertambah banyak. Pada pelat badan panel bagian tengah belum terlihat perubahan yang berarti. Ö Siklus 4.δy (γp=0.072 rad) ; Goresan–goresan cat pada pelat badan bagian tepi kiri dan kanan berubah menjadi garis tonjolan yang menandakan permukaan cat mulai terkelupas, hal ini menandakan semakin membesarnya regangan geser yang terjadi. Sedangkan pada pelat badan panel bagian tengah mulai terbentuk goresan-goresan halus yang menandakan mulainya terbentuk deformasi yang agak signifikan. Ö Siklus 5.δy (γp=0.09 rad) ; Cat yang sudah menonjol sewaktu siklus sebelumnya sudah banyak sisinya yang mengelupas namun belum lepas dari pelat badan panel bagian tepi, tonjolan yang ada semakin menjalar. Pada pelat badan panel bagian tengah semakin banyaknya goresan–goresan kecil dan makin bertambah panjang, sebagian mulai menonjol menandakan adanya inisiasi pengelupasan. Ö Siklus 6.δy (γp=0.108 rad) ; Pengelupasan cat bertambah banyak walaupun sedikit yang terlepas pada pelat badan panel bagian tepi kiri dan kanan sebagai tanda regangan geser yang terbentuk semakin signifikan. Serbuk karbon pada pelat badan yang ada dibawah cat mulai berjatuhan. Tonjolan–tonjolan cat pada pelat badan panel bagian tengah semakin terbentuk terutama pada bagian keliling las intermediate stiffener.
61
Ö Siklus 7.δy (γp=0.126 rad) ; Banyaknya cat pada pelat badan panel bagian tepi yang berjatuhan beserta serbuk karbonnya, tonjolan cat terjadi hampir disemua permukaan dan hampir semuanya mengelupas. Pada pelat badan panel bagian tengah juga sudah meratanya tonjolan-tonjolan cat, terutama di sekeliling intermediate stiffener.
Pelat Badan Spesimen 2: Ö Siklus 1.δy (γp=0.018 rad) ; Identik dengan spesimen 1, belum terlihat adanya perubahan geometri elemen link secara visual dibandingkan dari kondisi awal. Belum ada terlihat pengelupasan cat yang menandakan adanya deformasi titik yang cukup signifikan. Ö Siklus 2.δy (γp=0.036 rad) ; Goresan-goresan kecil mulai terbentuk pada pelat badan panel bagian tepi dan tengah dengan jumlah dan panjang yang terlihat hampir sama. Berarti telah terjadi regangan geser yang hampir sama besar di kedua panel. Ö Siklus 3.δy (γp=0.054 rad) ; Goresan kecil mulai bertambah panjang dan bertambah banyak arah ke atas dan bawah pelat badan dengan kuantitas dan intensitas yang sama antara pelat badan panel bagian tepi dan tengah. Berarti penyebaran regangan geser hampir sama besar terjadi pada kedua panel tersebut. Ö Siklus 4.δy (γp=0.072 rad) ; Pada pelat badan panel bagian tepi dan tengah mulai terjadi tonjolan cat terutama pada sekeliling panel hubungan las antara pelat badan dengan intermediate stiffener. Hal ini menandakan adanya cat yang sudah mulai mengelupas, berarti regangan geser semakin signifikan besarnya. Goresan– goresan yang terjadi juga semakin banyak dan merata di kedua panel. Ö Siklus 5.δy (γp=0.09 rad) ; Pada pelat badan panel bagian tengah dan tepi semakin banyak tonjolan cat yang menandakan berkembangnya cat yang terkelupas namun belum lepas dari pelat badannya. Intensitas dan kuantitas yang ada pada kedua panel terlihat hampir sama besar. Regangan geser semakin besar pada kedua panel. 62
Ö Siklus 6.δy (γp=0.108 rad) ; Pengelupasan cat pada pelat badan terjadi dimana-mana dan hampir merata pada kedua panel ini ditandai dengan banyak dan meratanya tonjolan cat yang ada. Berarti disipsi energi yang ada bekerja penuh pada kedua panel pelat badan. Lapisan serbuk karbon pada setiap panel pelat badan mulai berjatuhan. Ö Siklus 7.δy (γp=0.126 rad) ; Makin banyak cat dan serbuk karbon yang berjatuhan dan menyebarnya pengelupasan cat pada kedua panel bagian tepi dan tengah. Plastifikasi dalam skala besar telah terjadi di kedua panel sebagai bagian yang mendisipasikan energi secara efektif. Ö Siklus 8.δy (γp=0.144 rad) ; Pelepasan cat dan jatuhnya serbuk karbon pada kedua pelat badan semakin merata, terbentuk garis-garis putih halus yang banyak pada permukaan baja pelat badan (tidak pada cat). Ö Siklus 9.δy (γp=0.162 rad) ; Semua cat sudah terkelupas pada kedua panel pelat badan hanya saja masih ada yang belum jatuh. Serbuk karbon juga semakin berjatuhan di kedua panel. Serat–serat berbentuk garis putih pada panel pelat badan semakin jelas terlihat, hal ini mengindikasikan gejala necking pada material. Ada retak kecil di sudut las sambungan pelat badan dengan intermediate stiffener. Ö Siklus 10.δy (γp=0.18 rad) ; Semakin banyak dan memanjangnya serat–serat putih pada baja pelat badan berarti makin dalamnya zona necking yang dimasuki. Terjadi fraktur pada sambungan las pelat badan dengan intermediate stiffener.
c.
Perilaku Inelastik Pelat Sayap
Seperti halnya pada perilaku pelat badan, maka perilaku pelat sayap dalam rentang zona inelastik di deskripsikan untuk setiap siklus perpindahannya sebagai berikut :
63
Pelat Sayap Spesimen 1: Ö Siklus 1.δy (γp=0.018 rad) ; Belum terlihat adanya perubahan geometri elemen link secara visual dibandingkan dari kondisi awal, belum ada terlihat pengelupasan cat yang menandakan adanya deformasi uniaksial titik yang cukup signifikan dan belum adanya tekuk pada pelat sayap tekan. Ö Siklus 2.δy (γp=0.036 rad) ; Terlihat sedikit adanya garis-garis tipis pada cat di bagian pelat sayap yang tertekan sebagai tanda inisiasi tekuk pada pelat sayap. Sedangkan pada pelat sayap sewaktu tarik belum memperlihatkan perubahan yang berarti. Ö Siklus 3.δy (γp=0.054 rad) ; Garis-garis tipis pada cat semakin bertambah panjang dan banyak, mulai terlihat inisiasi tekuk (mild buckling) sewaktu pelat sayap tertekan. Ö Siklus 4.δy (γp=0.072 rad) ; Tekuk pada pelat sayap mulai terlihat membesar dan cat di permukaannya mulai menonjol menandakan mulai terkelupasnya cat. Ö Siklus 5.δy (γp=0.09 rad) ; Tekuk sangat terlihat jelas berbentuk huruf S antara pangkal link dengan stiffener panel 1 saat tekan terjadi pada pelat sayap. Gejala retak rambut terlihat pada las sambungan pelat sayap dengan pelat ujung saat terjadi tarikan pelat sayap namun hanya pada sisi terluar. Ö Siklus 6.δy (γp=0.108 rad) ; Tekuk yang terjadi pada pelat sayap saat tekan semakin signifikan pada panel terluar, mulai terjadi penjalaran retak las pada sambungan pelat sayap dengan pelat ujung ke arah memanjang las saat bekerja beban tarik. Ö Siklus 7.δy (γp=0.126 rad) ; Tekuk yang besar terjadi saat pelat sayap panel terluar mengalami tekan dan saat pelat sayap tersebut tertarik terjadilah fraktur pada las sambungan pelat sayap dengan pelat ujung yang sebelumnya sudah mengalami penjalaran retak. Saat mulai memasuki siklus 8.δy seluruh pelat sayap yang mengalami tarik putus dengan diiringi habisnya kekuatan link.
64
Pelat Sayap Spesimen 2: Ö Siklus 1.δy (γp=0.018 rad) ; Identik dengan spesimen 1 belum terlihat adanya perubahan geometri elemen link secara visual dibandingkan dari kondisi awal. Belum ada terlihat pengelupasan cat yang menandakan adanya deformasi titik yang cukup signifikan dan belum adanya tekuk pada pelat sayap yang tertekan. Ö Siklus 2.δy (γp=0.036 rad) ; Goresan kecil pada cat pelat sayap panel tepi mulai terbentuk saat pelat sayap mengalami tekan, belum terlihat adanya tekuk (flange buckling) yang signifikan terjadi. Ö Siklus 3.δy (γp=0.054 rad) ; Goresan kecil pada cat makin bertambah banyak sewaktu pelat sayap panel tepi tertekan namun gejala tekuk masih belum terlihat. Ö Siklus 4.δy (γp=0.072 rad) ; Semakin banyaknya goresan saat pelat sayap panel bagian tepi mengalami tekan namun tetap belum adanya gejala inisiasi tekuk saat pelat sayap tertekan. Hal ini menandakan dengan adanya SEP inisiasi tekuk pada pelat sayap dapat ditunda (delay). Ö Siklus 5.δy (γp=0.09 rad) ; Gejala tekuk pelat sayap bagian tepi mulai terlihat walaupun masih kecil (mild buckling) saat pelat sayap tertekan. Pelat sayap panel bagian tengah juga mulai menunjukkan adanya gejala tekuk yang diindikasikan dengan bergelombangnya pelat sayap tersebut. Namun belum terlihat adanya inisiasi retak pada sambungan las pelat sayap dengan pelat ujung maupun dengan SEP. Ö Siklus 6.δy (γp=0.108 rad) ; Inisiasi tekuk pada pelat sayap panel bagian tepi mulai agak membesar begitu juga dengan pelat sayap panel bagian tengah saat pelat sayap tertekan. Goresan cat mulai menjadi tonjolan sebagai tanda terkelupasnya cat pada pelat sayap, ini berarti tekuk yang makin signifikan juga telah terjadi.
65
Ö Siklus 7.δy (γp=0.126 rad) ; Inisiasi retak pada las antara pelat sayap dengan SEP mulai terjadi. Tekuk pada pelat sayap panel bagian tepi dan tengah juga semakin besar walaupun belum bergelombang secara signifikan. Ö Siklus 8.δy (γp=0.144 rad) ; Terjadi penjalaran retak memanjang pada las sambungan pelat sayap dengan SEP, inisiasi retak melintang pada las sambungan pelat sayap dengan pelat ujung mulai terbentuk. Tekuk pada pelat sayap di panel tengah dan tepi mulai membesar (bergelombang). Ö Siklus 9.δy (γp=0.162 rad) ; Retak bukaan memanjang terjadi pada las sambungan pelat sayap dengan SEP, namun kekuatan link belum terpengaruh. Terjadi penjalaran retak melintang pada las sambungan pelat sayap dengan pelat ujung saat beban tarik, tekuk semakin tampak bergelombang pada pelat sayap di kedua panel saat tekan terjadi. Ö Siklus 10.δy (γp=0.18 rad) ; Tekuk yang besar terjadi pada pelat sayap panel bagian tepi dan tekuk medium pada pelat sayap panel tengah. Fraktur terjadi bersamaan pada las memanjang sambungan pelat sayap dengan SEP dan pada las melintang sambungan pelat sayap dengan pelat ujung.
IV.1.3. Kurva Beban-Perpindahan (Hysteretic Curve)
Kurva histeretik merupakan kurva yang menunjukkan hubungan antara besaran beban (load) dengan besaran perpindahan (displacement) yang diberikan sepanjang siklus tertentu. Kurva tersebut dibentuk dari output data yang berasal dari bacaan load cell dan LVDT aktuator Dartec atau dari bacaan LVDT Data Logger.
Dari data kurva histeretik ini banyak informasi yang diperoleh sebagai refleksi perilaku spesimen secara utuh terutama kinerjanya dibawah beban siklik baik berupa data kekakuan, daktilitas, kekuatan dan besaran dari disipasi energi yang terjadi untuk setiap siklus pembebanannya.
66
Kurva histeretik ideal yang harus dimiliki oleh setiap spesimen adalah kurva yang mempunyai geometri gemuk, tidak memiliki pinching, daktilitas yang besar dan efek bausschinger minimal. Spesimen yang kurvanya memenuhi sejumlah kriteria diatas secara garis besar akan berperilaku stabil (tidak terjadi tekuk lokal dan tekuk elemen dalam zona elastik) dan memiliki kemampuan mendisipasi energi yang besar dalam rentang zona inelastik dibawah beban siklik. Kurva ideal tersebut seperti diilustrasikan dalam Gambar IV.6.
Gambar IV.6 Kurva histeretik ideal[5]
Deskripsi kurva histeretik dapat dijelaskan dari Gambar IV.7. Kurva dimulai dari titik asal koordinat o pada saat beban dan perpindahan bernilai 0. Setiap siklus histeretik berdasarkan protokol pembebanan dengan kontrol perpindahan dimulai dari nilai amplitudo 2.δy, 3.δy, 4.δy dan seterusnya akan jelas terlihat terwakili dalam kurva tersebut.
Untuk amplitudo sebesar 1.δy material masih berada dalam zona elastik, bentuk ini diwakili titik o-a-o dalam kurva untuk siklus loading (o-a)–unloding (a-o) dalam ½ siklus tarik, jika ½ siklus lagi dilanjutkan maka grafik akan membentuk garis lurus putus-putus o-a1-o untuk loading–unloading dalam arah bawah (siklus tekan). Dalam eksperimen ini siklus penuh elastik tidak ditampilkan dalam kurva histeretik namun di plot secara terpisah untuk pembahasan dalam perilaku elastik tersendiri.
67
400
300
b’
200
Beban (kN)
h’
a
100
h
g’
0 -40
-30
-20
b
-10
g
0
o
c10
20
c’
30
40
-100
d a1 f’
f
e
-200
d’
e’ -300
-400
Perpindahan Δ (mm)
Gambar IV.7 Deskripsi kurva histeretik
Amplitudo sebesar 2.δy dilakukan sebanyak 1 siklus penuh loading–unloading (siklus tarik) dan loading – unloading (siklus tekan) yang di dalam kurva diwakili oleh titik-titik o-b-c-d-f-g-h. Jika 1.δy bernilai 8,1 mm maka berarti perpindahan sebesar 16,2 mm (atas) dan -16,2 mm (bawah) dari aktuator diberlakukan kepada spesimen dalam 1 siklus saja. Setengah siklus berupa siklus tarik diwakili oleh titik o-b-c-d dan setengah siklus berikutnya berupa siklus tekan diwakili oleh titik d-f-g-h.
Selanjutnya sama seperti siklus 2.δy, maka untuk amplitudo sebesar 3.δy 1 siklus penuh diwakili oleh titik h-b’-c’-d’-f’-g’-h’. Untuk siklus tarik loading-unloading diwakili oleh titik h-b’-c’-d’ sedangkan untuk siklus tekan diwakili oleh titik d’-f’-g’h’.
Dari hasil eksperimen untuk spesimen 1 dan spesimen 2 plotting kurva histeretik dapat dilihat seperti pada Gambar.IV.8. Kurva (a) dari gambar mewakili spesimen 1 berupa link yang tanpa menggunakan SEP sebagai perkuatan pelat sayap sedangkan kurva (b) mewakili spesimen 2 berupa link dengan SEP sebagai perkuatan pelat sayap.
68
400
300
300
200
200
100
0 -80
-60
-40
-20
0
20
-100
40
60
80
100
B e b a n A k tu a to r (k N )
B eb a n A k t u a t o r ( k N )
-100
400
-100
100
0 -80
-60
-40
-20
0
-200
-300
-300
-400
(a)
40
60
80
100
-100
-200
Perpindahan Δ (mm)
20
-400
Perpindahan Δ (mm)
(b)
Gambar IV.8 Kurva histeretik : (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2 (SEP)
Pada spesimen 1 kurva yang terbentuk sudah memuaskan dengan bentuk yang gemuk dan tanpa terjadinya pinching. Kemiringan kurva yang ada pada setiap siklusnya juga tidak terlalu landai yang mengindikasikan kekakuan yang cukup baik secara kualitatif. Jumlah siklus yang bisa dicapai sampai terjadi keruntuhan (failure) sebanyak 7.δy, sedangkan keruntuhan terjadi saat pencapaian puncak awal siklus 8.δy.
Dengan adanya penambahan SEP pada spesimen 2 kurva yang terbentuk cenderung hampir sama secara kualitatif dengan spesimen 1, namun perbedaan yang paling signifikan terjadi pada jumlah siklus total yang bisa dicapai yaitu sebanyak 10.δy. Keruntuhan terjadi saat proses loading awal memasuki siklus 11.δy.
a. Kurva Beban-Perpindahan Elastik (Elastic Hysteretic Curve)
Pembebanan dalam beberapa siklus dengan besaran amplitudo yang kecil pada zona elastik ini dimaksudkan untuk beberapa tujuan diantaranya selain perhitungan untuk mengetahui angka kekakuan elastik spesimen juga untuk mengecek kesiapan dan kesempurnaan kerja dari instalasi instrumentasi LVDT dan strain gauge yang terpasang. Dalam rentang beban ini dengan sejumlah siklus yang diberikan dapat
69
diklarifikasikan keakurasian instrumentasi yang terpasang karena perilaku elastik material tidak akan pernah berubah besarannya berapapun jumlah repetisi siklus yang diberikan.
Tujuan lain dari pembebanan dalam zona elastik adalah untuk melakukan inspeksi dan monitoring kekuatan dan kekakuan dari setiap elemen sambungan spesimen serta loading frame. Dari rentang pembebanan elastik ini dapat diketahui intensitas pengencangan sambungan baut spesimen dan kesempurnaan pengangkuran baut dari loading frame untuk mencegah terjadinya pengangkatan frame sewaktu bekerja beban dalam siklus tarik (arah atas).
Kurva beban-perpindahan elastik dari spesimen 1 dibentuk dengan memberikan perpindahan sebanyak 2 siklus dengan masing-masing sebesar 4mm sebanyak satu siklus dan 6mm juga satu siklus, hasilnya dapat dilihat seperti Gambar IV.9.
Untuk perpindahan sebesar 4mm dalam arah tarik didapatkan kekakuan sebesar Ke1=23,73 kN/mm dan dalam arah tekan sebesar Ke1’=27,51 kN/mm. Sedangkan untuk perpindahan sebesar 6mm didapatkan kekakuan dalam arah tarik sebesar Ke1=21,50 kN/mm dan dalam arah tekan sebesar Ke1’=29,31 kN/mm. Kurva pada Gambar IV.9. yang terbentuk dari kedua perpindahan yang diberikan berupa garis lurus dalam kondisi siklik, hal ini membuktikan indikasi spesimen masih berperilaku elastik dalam zona amplitudo tersebut.
Dari kedua data diatas nilai kekakuan rata-rata dalam arah tarik sebesar Keav1=22,61 kN/mm dan dalam arah tekan sebesar Keav1’=28,41 kN/mm. Perbedaan kekakuan dalam kedua arah disebabkan masih ada pengaruh terangkatnya loading frame sewaktu beban tarik.
Perpindahan absolut spesimen dalam arah tarik bernilai lebih kecil daripada arah tekan karena terangkatnya loading frame saat perpindahan maksimum aktuator diberikan. Konsekuensinya kapasitas spesimen yang seharusnya terjadi tidak bisa dicapai. Perbedaan ini tetap terjadi meskipun koreksi terhadap besaran terangkatnya
70
frame sudah dilakukan dalam pengolahan data. Oleh karena itu sebagai indikator
400
400
300
300
200
200
100
0 -100
-80
-60
-40
-20
0
20
-100
40
60
80
100
Beban Aktuator (kN)
Beban Aktuator (kN)
kinerja spesimen data-data yang dipakai diambil dari perpindahan dalam arah tekan.
100
0 -100
-80
-60
-40
-20
-200
-200
-300
-300
-400 Pe rpindahan Δ (mm)
(a)
0
20
40
60
80
100
-100
-400 Perpindahan Δ (mm)
(b)
Gambar IV.9. Kurva beban-perpindahan elastik spesimen 1: (a) 4 mm (b) 6 mm
Kurva beban-perpindahan pada spesimen 2 yang dibentuk seperti pada Gambar IV.10 berasal dari 2 siklus, yaitu sebesar 4 mm dan 5.5 mm. Dari perpindahan 4 mm didapatkan kekakuan dalam arah tarik sebesar Ke2=26,91 kN/mm dan kekakuan dalam arah tekan sebesar Ke2’=26,63 kN/mm. Sedangkan untuk perpindahan 5 mm kekakuan dalam arak tarik sebesar Ke2=21,43 kN/mm dan dalam arah tekan sebesar Ke2’=29,76 kN/mm. Nilai rata-rata dari data diatas untuk kekakuan tarik sebesar Keav2=24,17 kN/mm dan kekakuan tekan sebesar Keav2’=28,19 kN/mm. Berdasarkan kekakuan dari kedua spesimen terlihat untuk kekakuan tekan nilai yang didapatkan tidak terlalu berbeda yaitu sebesar Keav1’=28,41 kN/mm untuk spesimen 1 dan untuk spesimen 2 sebesar Keav2’=28,19 kN/mm. Rasio Keav1’/ Keav2’ diperoleh sebesar 1,0078 (berbeda 0,78%). Hal ini mengindikasikan penambahan SEP tidak mempengaruhi nilai kekakuan spesimen secara keseluruhan dalam zona elastik, bisa diasumsikan perilaku setiap bagian elemen link dan sambungannya tidak akan berbeda jauh. Fakta ini bisa dijadikan dasar sementara untuk menerapkan secara langsung kriteria disain link dan sambungannya yang ditetapkan dalam peraturan tanpa perlu ada faktor koreksi tertentu untuk kasus penambahan perkuatan SEP. 71
Namun kesimpulan final baru bisa ditetapkan jika tinjauan analisis secara
400
400
300
300
200
200
100
0 -100
-80
-60
-40
-20
0
20
-100
40
60
80
100
Beban A ktuator (kN )
Beban A ktuator (kN )
menyeluruh sudah selesai dilakukan.
100
0 -100
-80
-60
-40
-20
0
-200
-200
-300
-300
-400
Perpindahan Δ (mm)
(b)
20
40
60
80
100
-100
-400
Perpindahan Δ (mm)
(b)
Gambar IV.10. Kurva beban-perpindahan elastik spesimen 2 : (a) 4 mm (b) 5,5 mm
Kasus ini berbeda dengan kriteria disain sambungan baut dengan menggunakan Extended End Plate (EEP). Perilaku pada sambungan EEP tanpa Flange Extended Stiffener (FES) sangat berbeda jika dibandingkan dengan sambungan EEP yang memakai FES. Dari segi kinerja EEP dengan FES jauh lebih kaku, lebih kuat dan lebih stabil terhadap inisiasi tekuk pelat sayap jika dibandingkan dengan EEP tanpa FES. Gaya dalam dan tegangan yang terjadi akan berbeda sangat jauh karena perbedaan kekakuan yang juga sangat signifikan. Berkurangnya tegangan pada posisi panel tepi dekat sambungan yang sangat kaku mengakibatkan panel yang berfungsi sebagai bagian pendisipasi energipun bergeser semakin menjauhi sambungan pada kasus EEP dengan FES.
Untuk kekakuan tarik terlihat seolah-olah terjadi peningkatan nilai dari sebesar Keav1=22,61 kN/mm untuk spesimen 1 menjadi Keav2=24,17 kN/mm untuk spesimen 2. Hal ini bisa terjadi karena pada spesimen 2 besaran terangkatnya loading frame dapat direduksi dengan memaksimalkan pengencangan baut angkur, memperbaiki lubang baut kaki frame dan memperkaku kaki loading frame dengan balok kanal. Walaupun demikian nilai kekakuan tarik ini masih belum bisa dijadikan referensi, 72
dikarenakan nilai yang dicapai masih berada dibawah nilai kekakuan tekannya akibat lendutan balok kanal pengaku yang tidak bisa dihilangkan.
b. Kurva Beban-Perpindahan Inelastik (Inelastic Hysteretic Curve)
Gambar IV.11 mengilustrasikan proses kelelehan spesimen baik untuk spesimen 1 maupun spesimen 2. Pada spesimen 1 kelelehan dalam arah tarik ditandai dengan tercapainya titik y1 seperti pada gambar, titik tersebut ekivalen dengan nilai beban leleh sebesar Vy1=158,16 kN dan perpindahan sebesar δy1=8,01 mm. Pada kondisi ini tegangan Von Misses yang terjadi pada pelat badan sebesar fvm1=519,86 MPa yang berarti melampaui kriteria kelelehan sebesar fy=516 MPa berdasarkan uji kupon. Sedangkan untuk kondisi tekan pada titik y1’ kelelehan berada pada besaran beban Vy1’=207,23 kN dan perpindahan δy1’=8,1 mm. Tegangan Von Misses pada kondisi tersebut di pelat badan sebesar fvm1’= 516,20 MPa Kelelehan pada spesimen 2 pada kondisi arah tarik ditandai dengan tercapainya titik y2 yang berpadanan dengan nilai beban leleh sebesar Vy2=156,35 kN dan perpindahan leleh sebesar δy2=8,08 mm. Pada kondisi tersebut tegangan Von Misses yang terjadi sebesar fvm2=527,93 Mpa, ini berarti juga melampaui kriteria kelelehan berdasarkan uji kupon. Sedangkan untuk kondisi arah tekan pada titik y2’ seperti pada gambar IV.11, kelelehan terjadi saat beban sebesar Vy2’=203,48 kN dan perpindahan δy2’=8,16 mm. Nilai ini sepadan dengan tegangan Von Misses sebesar fvm2’=527,25 MPa. Dari kedua data diatas terlihat rasio beban leleh pada kondisi tekan diantara kedua spesimen sebesar 1,018 atau berbeda 1,84%. Nilai ini relatif kecil untuk disebut sebagai suatu perbedaan. Untuk sejumlah siklus dan amplitudo perpindahan, perilaku geometris kurva dan besaran gaya geser yang terjadi antara spesimen 1 dan spesimen 2 relatif sama. Perbedaan signifikan yang terjadi ada pada jumlah total siklus yang dibutuhkan untuk tercapainya keruntuhan spesimen, fakta ini membuktikan penambahan SEP tidak mempengaruhi besaran gaya geser leleh titik pertama (first yield) dari spesimen.
73
400
400
300
300
y1
-60
100
0 -40
-20
0 -100
’
y1
-200
-300
-400
Perpindahan Δ (mm)
(a)
y2
200
20
40
60
Beban Aktuator (kN)
B e b a n A k tu a to r (k N )
200
100
0 -60
-40
-20
0
20
40
60
-100
y2’
-200
-300
-400
Perpindahan Δ (mm)
(b)
Gambar IV.11 Titik leleh pertama: (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2
Pada spesimen 1 keruntuhan terjadi di siklus awal pencapaian puncak 8.δy (64,8mm). Sedangkan kapasitas gaya geser maksimum terjadi di siklus 7.δy (56,8mm) atau setara dengan γu1=0,126 rad yaitu sebesar Vuc1=351,82 kN dalam arah siklus tekan dan sebesar Vut1=306,27 kN dalam arah tarik. Adapun ragam keruntuhan (mode failure) yang terjadi berupa fraktur pada material pelat sayap yang dilas sebagai penghubung profil WF dengan pelat ujung. Ragam keruntuhan seperti ini merupakan tipe keruntuhan yang bersifat getas (brittle) dan selalu dihindari dalam kasus spesimen berdaktilitas rendah. Dalam percobaan ini karena spesimen sendiri sudah melewati nilai kapasitas rotasi γp=0,08 rad dan berarti sudah berperilaku sangat daktail, maka keruntuhan ini diperbolehkan dan dapat diterima oleh peraturan[2].
Inisiasi fraktur spesimen 1 terjadi dan mulai terlihat pada siklus 6.δy (48,8mm) yang ditandai dengan terbentuknya retak awal dalam arah melintang pelat sayap pada sambungan profil WF dengan pelat ujung. Pada saat ini walaupun sudah ada inisiasi retak namun kapasitas penampang masih tetap meningkat dan belum mengalami penurunan. Kejadian fraktur spesimen 1 ini dapat dilihat pada Gambar IV.12.
74
(a)
(b)
Gambar IV.12. Ragam keruntuhan fraktur las spesimen 1 pada pelat sayap-pelat ujung : (a) Tampak bawah (b) Tampak atas
Dengan adanya penambahan SEP pada spesimen 2, fraktur yang seharusnya terjadi pada siklus 8.δy bisa di tunda lebih lambat sampai tercapai siklus 10.δy (81mm) atau setara dengan γu2=0,180 rad. Pada akhir siklus tersebut gaya geser ultimit yang bisa dicapai sebesar Vuc2=392,98 kN untuk siklus tekan dan sebesar Vut2=342,52 kN untuk siklus tarik. Rasio Vuc2/ Vuc1 dan Vut2/ Vut1 masing–masing sebesar 1,117 dan 1,118, berarti gaya geser ultimit spesimen 2 lebih besar sekitar 11,70% dan 11,83% dari spesimen 1.
Ragam keruntuhan yang terjadi semakin bertambah, yang pertama berupa fraktur pada sambungan las pelat sayap dengan pelat ujung, yang kedua fraktur sambungan las antara pelat Side Extended Plate (SEP) dengan pelat sayap profil dan yang ketiga terjadinya fraktur pada sambungan las pelat badan profil dengan intermediate stiffener.
Fraktur yang semula terjadi pada spesimen 1 dapat ditunda pada spesimen 2 dikarenakan bertambahnya luasan penahan tegangan tarik pada pelat sayap dengan adanya SEP, sehingga tegangan yang semula seharusnya sama dengan spesimen 1 pada siklus 7.δy bisa direduksi. Dengan tertundanya fraktur pada pelat sayap maka kapasitas penampang bisa ditingkatkan lagi sampai mencapai nilai Vuc2=392,98 kN, konsekuensinya redistribusi tegangan dan plastifikasi semakin banyak tersalurkan 75
dari panel terluar (tepi) ke hampir seluruh panel di dalam link. Dengan demikian bagian link yang berfungsi sebagai pendisipasi energi semakin banyak, ini berarti energi kumulatif yang bisa didisipasikan juga semakin banyak.
Pada lokasi las di titik pelat badan yang disambung dengan intermediate stiffener terjadi tambahan tegangan dalam arah tegak lurus pelat badan akibat proses pengelasan. Tambahan tegangan tarik merupakan efek dari proses susut (shrinkage) daerah fusi (fusion zone) yang tertahan oleh kedua sisi material yang dilas, sehingga pelat badan yang dilas tersebut juga mengalami tegangan tarik tambahan (σ3). Dengan adanya tegangan tambahan tersebut (σ3) maka pelat badan yang sudah mengalami kombinasi tegangan geser dan tegangan aksial akan lebih cepat mencapai tegangan fraktur jika dibandingkan dengan pelat badan pada posisi yang lain[8]. Ilustrasi fenomena ini seperti terlihat pada Gambar IV.13 dibawah.
σfl
HAZ τw Stiffener
Stiffener
σ3
σ3 τw
Pelat badan Daerah fusi
(a)
σfl
(b)
Gambar IV.13. Fraktur pada pelat badan : (a) Efek kegetasan HAZ pada pelat badan (b) Tegangan tarik tambahan pada pelat badan akibat kekangan susut daerah fusi pada las.
Berdasarkan referensi dari Bruneau, M disebutkan efek pemanasan dan pendinginan mendadak saat pengelasan berlangsung pada daerah Heat affected Zone (HAZ) menjadikan susunan kristal material baja berubah menjadi lebih keras dan bersifat getas sehingga mudah mengalami fraktur[8]. Efek kegetasan bertambah diperoleh dari prosedur penggepengan (flattened) senyawa selain metal (non metallic) sewaktu proses rolling pabrikasi profil WF. Prosedur penggepengan menyebabkan senyawa 76
selain metal tersebut berperilaku sebagai retak mikro, posisi retak mikro ini tersebar diseluruh material baja.
Kombinasi dari kegetasan dan retak mikro ini jika dikenai tegangan tambahan yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penjalaran retak sehingga memudahkan terjadinya sobekan lamella pada pelat badan tersebut. Kejadian fraktur pada spesimen 2 ini dapat dilihat pada Gambar IV.14. dibawah.
1 2
(a)
3
(b)
Gambar IV.14. Ragam keruntuhan fraktur las spesimen 2 : (a) Las pelat sayap-pelat ujung dan las pelat sayap-SEP (b) Las intermediate stiffener-pelat badan link
Dari kurva histeretik pada Gambar IV.8 juga bisa dibuat kurva back bone perpindahan monotonik dan kurva envelope histeretik, seperti terlihat dalam Gambar IV.15. (a) dan (b). Kurva envelope histeretik merupakan kurva yang dibuat dengan menghubungkan titik-titik terluar dari kurva histeretik tersebut sehingga membentuk suatu kurva tertutup. Sedangkan kurva backbone monotonik merupakan kurva yang dibentuk dengan menghubungkan sejumlah titik-titik beban maksimum pada setiap siklus perpindahan.
Kurva envelope histeretik memperlihatkan bentuk, kemiringan dan struktur geometrik kurva antara spesimen 1 dan spesimen 2 yang cenderung tipikal, hal ini berarti kedua spesimen mempunyai perilaku yang sama dalam setiap siklus pembebanan siklik. Namun pada spesimen 2 dengan jumlah siklus yang lebih banyak
77
maka kurva envelope yang terbentuk menjadi lebih luas, ini berarti energi yang mampu didisipasikan secara total menjadi lebih besar.
Begitu juga dengan indikator kekakuan (stiffness) dan kekuatan (strength) yang dapat terlihat dari kurva monotonik, kecenderungan kekakuan dan kekuatan yang hampir sama antara spesimen 1 dan spesimen 2 terlihat dengan hampir berimpitnya kurva pada siklus dibawah 5.δy. Secara detail tentang kekuatan, kekakuan, daktilitas dan disipasi energi akan dibahas dalam sub bab kinerja spesimen.
Dari kedua kurva histeretik yang terbentuk dapat dikatakan tidak ada gejala pinching sebagai akumulasi sejumlah kelemahan seperti efek kinking pada pelat ujung ataupun telah terjadinya plastifikasi baut (tekuk lentur baut) secara signifikan. Kurva pada kedua spesimen tersebut selalu meningkat kapasitasnya untuk setiap siklus dan berbentuk gemuk. Jadi tujuan eksperimen untuk mencapai pendekatan perilaku
400.0
400
300.0
300
200.0
200
100.0
100
0.0 -100
-80
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
-100.0
-200.0
0 -100
-80
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
100
-100
-200
-300.0 Spc2 Spc1 -400.0
Perpindahan (mm)
(a)
100
Beban Aktuator (kN)
Beban Aktuator (kN)
elemen sambungan las dalam memikul beban siklik bisa dikatakan sudah tercapai.
Spc2 Spc1
Spc2
-300
Spc1 -400
Perpindahan Δ (mm)
(b)
Gambar IV.15. (a) Kurva back bone (b) Kurva envelope histeretik
78
IV.2.
Sambungan
Dalam penelitian ini tinjauan terhadap perilaku elemen sambungan di fokuskan terhadap baut dan pelat ujung. Parameter yang diamati terhadap peninjauan baut hanya berupa perpanjangan (elongasi) bukan regangan yang terjadi di dalam baut. Hal ini dikarenakan terbatasnya peralatan dan sumber daya untuk membuat baut yang dilengkapi dengan strain gauge di dalamnya. Perpanjangan baut ini diamati dengan menggunakan LVDT kapasitas 50 mm yang di instalasi seperti dalam gambar setup dan instrumentasi pada bab sebelumnya.
Oleh karena itu kriteria kelelehan baut tidak bisa di dapatkan secara pasti dalam sejarah siklus pembebanannya, indikator yang bisa dijadikan sebagai kriteria kelelehan adalah berupa pendekatan bentuk geometri kurva hubungan Bebanperpanjangan baut. Jika kurva yang terjadi sudah mengalami perubahan kelandaian yang signifikan maka kriteria asumsi terjadinya kelelehan dan plastifikasi bisa ditetapkan terjadi pada titik perubahan tersebut.
Pengamatan terhadap pelat ujung yang dilakukan juga difokuskan hanya pada parameter besaran deformasi ujung teratas dari pelat ujung yang diukur dengan menggunakan LVDT seperti yang telah dijelaskan dalam bab setup dan instrumentasi. Keterbatasan sumber daya juga menjadi alasan utama tidak dipakainya strain gauge pada sisi–sisi pelat ujung dalam pengukuran regangan untuk penentuan kriteria kelelehan. Dalam penentuan kondisi kelelehan dan plastifikasi pada pelat ujung digunakan metode yang sama dengan baut, yaitu dengan pendekatan melalui pengamatan kurva beban–deformasi. Kelelehan bisa dikatakan terjadi jika telah ada perubahan kemiringan yang signifikan dari kurva tersebut.
79
IV.2.1. Baut
Data hubungan antara perpanjangan baut dan beban aktuator yang diberikan pada spesimen 1 tersaji dalam Tabel IV.1 dan grafik Gambar IV.16. Pada tabel tersebut tercantum nilai perpanjangan baut untuk kondisi beban aktuator dalam keadaan tekan. Pemilihan ini dilakukan karena beban dalam arah tekan merupakan kondisi yang lebih tinggi tingkat akurasi kebenarannya, disamping karena terbatasnya jumlah LVDT yang ada sehingga dipilih hanya baut sisi atas untuk diamati.
Tabel IV.1 Perpanjangan baut spesimen 1
No Siklus
Rotasi (rad)
1 2 3 4 5 6 7
elastik elastik elastik elastik elastik elastik elastik 0,036 0,054 0,072 0,09 0,108 0,126 0,144
Beban Aktuator V1 (kN) 0 26,34 47,05 82,91 123,81 145,61 173,60 208,99 271,49 304,75 323,78 336,68 346,18 351,82
Perpanjangan Baut δb1 (mm) 0 0,10 0,21 0,41 0,62 0,70 0,81 0,98 1,37 1,71 1,86 2,00 2,08 2,20
Kurva pada Gambar IV.16 menggambarkan hubungan beban–perpanjangan baut memperlihatkan mulai dari kondisi beban 0 kN sampai kepada nilai beban V1=346,18 kN dengan elongasi δb1=2,08 mm. Kemiringan kurva yang terjadi cenderung berbentuk garis lurus tanpa adanya perubahan kemiringan yang signifikan pada tahap pembebanan tertentu. Secara visual hal ini mengindikasikan kondisi baut secara keseluruhan sampai nilai beban tersebut masih berada dalam fase perilaku elastik. Walaupun demikian tetap tidak bisa dikatakan baut masih berada dalam kondisi fully elastic, bisa jadi dalam tingkatan ukuran titik material elemen sudah ada bagian terkecil dari baut yang mengalami kelelehan. Karena itu idealnya sangat
80
diperlukan kontribusi strain gauge yang ditanam dalam baut untuk kepentingan observasi kriteria kelelehan baut tersebut.
Perubahan kemiringan grafik mulai terlihat pada saat beban ultimate Vu1= 351.82 kN tercapai. Perpanjangan baut maksimum yang terjadi pada beban ultimit tersebut sebesar δb1=2,2 mm. Posisi ini diasumsikan sebagai titik terjadinya kelelehan pertama baut (first yield). 450 400
Beban Aktuator (kN)
350 300 250 200 150 100 50 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
Perpanjangan Baut δ b (mm)
Gambar IV.16 Kurva beban-perpanjangan baut spesimen 1
Asumsi kelelehan juga dikuatkan oleh fakta-fakta visual dari kondisi real baut yang ada di lapangan selama dan setelah pengujian selesai. Dari foto-foto pada Gambar IV.17 terlihat secara geometrik pada saat akhir percobaan kondisi baut masih seperti pada kondisi awal percobaan. Tidak terjadi sedikitpun retak, tekuk, perubahan panjang, maupun stripping pada drat (thread) baut.
Sepanjang siklus pembebanan yang diberlakukan pun terlihat dalam pengamatan baut yang semula mengalami perpanjangan akan selalu kembali ke ukuran semula sebagaimana teramati melalui LVDT. Proses ini berlangsung sampai kondisi loading selesai, berganti dengan unloading serta dilanjutkan dengan pembebanan dalam arah berlawanan (reverse loading).
81
Dari data-data visual diatas yang menggambarkan tidak adanya perubahan bentuk dan geometrik baut secara signifikan dapat disimpulkan sepanjang siklus pembebanan sampai tercapainya rotasi inelastik γp1= 0,126rad baut masih berperilaku dalam zona elastik. Plastifikasi mulai terjadi saat tercapainya beban ultimate tanpa adanya kegagalan fraktur baut.
(a) (b) Gambar IV.17 Kondisi baut spesimen 1 di akhir siklus : (a) Terpasang (b) Setelah dilepas
Pada spesimen 2 rekaman hubungan beban–perpanjangan baut yang terjadi tercantum pada Tabel IV.2 dan grafik Gambar IV.18. Dapat dilihat kurva yang terbentuk secara geometrik cenderung berbentuk garis lurus mulai dari awal pembebanan sampai tercapainya beban siklus ke 7 atau 8.δy sebesar V2=385,78 kN (perpanjangan 1,66 mm). Selanjutnya pada siklus ke-8 atau 9.δy yang merupakan beban ultimit dengan Vu2=390,73 kN terjadi perubahan kemiringan, kurva yang terbentuk menjadi lebih landai dari sebelumnya dengan perpanjangan maksimum yang terjadi sebesar δb2=1,73 mm.
Seperti halnya dengan spesimen 1 dapat ditetapkan pada titik terjadinya perubahan kemiringan kurva telah terjadi pelelehan atau plastifikasi dari baut. Akan tetapi secara exact tetap masih perlu peninjauan yang lebih akurat dengan menggunakan strain gauge yang tertanam pada baut.
82
Tabel IV.2 Perpanjangan baut spesimen 2
No Siklus
Rotasi (rad)
1 2 3 4 5 6 7 8
elastik elastik elastik elastik elastik elastik elastik 0,036 0,054 0,072 0,09 0,108 0,126 0,144 0,162
Beban Aktuator (V2) (kN) 0,00 31,75 60,81 130,04 187,85 223,66 245,60 276,99 315,94 336,01 353,31 366,15 377,06 385,78 390,73
Perpanjangan Baut (δb2) (mm) 0,00 0,10 0,22 0,51 0,76 0,90 1,00 1,14 1,34 1,43 1,48 1,55 1,58 1,65 1,73
Dari pengamatan selama berlangsungnya siklus pembebanan, unloading, reverse loading dan sampai terjadinya kegagalan struktur (kapasitas ultimit) terlihat secara visual perpanjangan yang semula dialami baut juga akan kembali ke kondisi panjang awal sebelum pembebanan. Tapi setelah tercapainya beban ultimit bukaan pelat ujung yang terjadi terlihat sedikit agak permanen walaupun besarannya sangat kecil. Fakta ini bisa dijadikan argumentasi terjadinya plastifikasi pada baut. Besaran bukaan ini juga akan dibahas dalam sub bab perilaku pelat ujung. 450
400
Beban Aktuator (kN)
350 300
250
200
150 100
50
0 0
0.5
1 1.5 Perpanjangan Baut δb (mm)
2
2.5
Gambar IV.18 Kurva beban-perpanjangan baut spesimen 2
83
Setelah proses pengujian selesai pada baut tetap tidak terdapat adanya retak, tekuk, perpanjangan dan stripping yang berarti pada ulir (thread). Dari sejumlah ulir (drat) yang ada ditemukan cuma sedikit serpihan pecahan–pecahan kecil mata drat yang tidak besar kontribusinya terhadap kekuatan baut. Dokumentasi kondisi ini terlihat pada Gambar IV.19.
(a) (b) Gambar IV.19 Kondisi baut spesimen 2 akhir siklus : (a) Terpasang (b) Setelah dilepas
Dari data perpanjangan baut untuk kedua spesimen diatas dapat diperbandingkan perbedaan perilaku yang terjadi, untuk lebih jelasnya kurva beban-perpanjangan kedua spesimen diplot menjadi satu seperti pada Gambar IV.20. Dari kurva tersebut terlihat pada spesimen 2 untuk setiap siklus dengan perpindahan aktuator yang sama pada siklus awalnya menghasilkan perpanjangan baut yang lebih besar, namun untuk siklus selanjutnya justru spesimen 1 menghasilkan perpanjangan yang lebih besar.
Besarnya perbedaan perpanjangan yang terjadi untuk siklus dan perpindahan yang sama pada kedua spesimen dicantumkan dalam Tabel IV.3 dan grafik Gambar IV.21. Dari data tersebut terlihat untuk siklus-siklus selanjutnya perpanjangan yang lebih besar dimiliki oleh spesimen 1 dalam rentang 19% sampai dengan 33%, sedangkan beban yang lebih besar justru diterima spesimen 2.
84
450 400 350
Beban Aktuator (kN)
300 250 200 150 100 Spc-1
50
Spc-2
0 0
0.5
1 1.5 Perpanjangan Baut δ b (mm)
2
2.5
Gambar IV.20 Kurva beban-perpanjangan baut gabungan kedua spesimen
Perbedaan perpanjangan baut antara kedua spesimen disebabkan masalah faktor besaran tegangan tarik awal (proof load) yang timbul akibat perbedaan torsi dalam proses pengencangan baut. Karena baut pada spesimen 2 mengalami pengencangan torsi yang lebih besar daripada baut pada spesimen 1, sehingga baut tersebut memperoleh gaya jepit (clamping) yang lebih besar pula. Sebagai konsekuensinya perpanjangan (elongasi) yang terjadi menjadi lebih kecil walaupun baut spesimen 2 menerima gaya tarik lebih besar akibat momen yang timbul.
Karena mengalami gaya jepit (clamping) yang lebih besar akibat tegangan tarik awal yang juga lebih besar, baut pada spesimen 2 telah mengalami pelelehan (plastifikasi) pada perpanjangan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan baut pada spesimen 1. Terlihat pada tabel jika baut pada spesimen 1 dengan elongasi δb1=2,2 mm masih elastik sedangkan baut pada spesimen 2 dengan elongasi sebesar δb2=1,73 mm sudah berperilaku inelastik. Jadi tambahan tegangan tarik awal yang lebih besar semakin mempercepat proses kelelehan baut namun dengan perpanjangan yang lebih kecil.
85
Tabel IV.3 Rasio perpanjangan baut δb1/δb2
Siklus 0 1 2 3 4 5 6 7 8
δb1 (mm) 0 0,98 1,37 1,71 1,86 2,00 2,08 2,20 -
Rotasi (rad) 0 0,036 0,054 0,072 0,09 0,108 0,126 0,144 0,162
δb2 (mm) 0 1,14 1,34 1,43 1,48 1,55 1,58 1,66 1,73
Rasio δb1/δb2 0 0,86 1,02 1,19 1,26 1,29 1,31 1,33 -
1.4
1.2
1
Ratio
0.8
0.6
0.4
0.2
0 1
2
3
4
5
6
7
Siklus Pembebanan
Gambar IV.21 Diagram batang rasio perpanjangan baut δb1/δb2
IV.2.2. Pelat Ujung
Perilaku pelat ujung diamati dengan cara memonitor besaran defleksi dari sisi atas dan bawah pelat ujung dengan menggunakan LVDT. Kriteria perilaku inelastik dan kelelehan yang terjadi ditentukan melalui pendekatan pengamatan bentuk geometrik dari kurva hubungan beban aktuator–defleksi bacaan LVDT. Kriteria leleh ditetapkan pada suatu titik terjadinya perubahan kemiringan kurva dari kemiringan yang sebelumnya curam menjadi lebih landai.
86
Seperti pada pengamatan perilaku baut, idealnya pada pengamatan perilaku pelat ujung ini untuk memperoleh data yang lebih akurat dalam penetapan kriteria kelelehan dan perilaku inelastik harus diperoleh data regangan dari pemasangan strain gauge pada sisi–sisi atas dan bawah pelat ujung. Dengan demikian kelelehan titik sebagai awal kelelehan material dapat ditentukan.
Dengan metode pengamatan kurva beban aktuator–defleksi yang dilakukan ini peristiwa kelelehan material dalam level titik tidak bisa diketahui secara pasti, kelelehan yang diperoleh besar kemungkinan bukan lagi merupakan kelelehan titik namun sudah terjadi pada sejumlah titik sepanjang pelat ujung sehingga bisa memperlihatkan besaran defleksi secara signifikan.
Pada spesimen 1 rekaman data beban aktuator dan defleksi yang terjadi pada pelat ujung sisi atas dan bawah diberikan pada Tabel IV.4 dan grafik Gambar IV.22. Data tersebut disusun berdasarkan kondisi defleksi pelat ujung sisi atas sewaktu beban tekan (bawah) diberikan pada spesimen, sedangkan defleksi pelat ujung sisi bawah diamati sewaktu beban tarik (atas).
Berdasarkan data dari Tabel IV.4 terlihat terjadi perbedaan bentuk kurva untuk pelat ujung sisi atas dan bawah, seperti pada kasus perpanjangan baut faktor terangkatnya loading frame membuat data pelat ujung sisi bawah kurang bisa mewakili analisis perilaku. Karena itu selanjutnya yang dibahas hanya perilaku defleksi pelat ujung sisi atas akibat beban tekan.
Dari grafik Gambar IV.22 terlihat terjadi perubahan kemiringan kurva pada titik plotting ke-7 dengan besar defleksi sebesar δ’ep1=1,36 mm saat beban V’1=271,50 kN. Kejadian ini diindikasikan sebagai kondisi terjadinya kelelehan pelat ujung dan perilaku yang terjadi sudah memasuki zona inelastik. Untuk siklus beban selanjutnya kemiringan yang terjadi tetap stabil. Sedangkan pada saat beban ultimit tercapai sebesar V’u1=351,82 kN defleksi pelat ujung yang terjadi sebesar δ’ep1= 2,49 mm.
87
Tabel IV.4 Tabel defleksi pelat ujung spesimen 1
Siklus 1 2 3 4 5 6
Sisi Atas (Beban Tekan) V’1 δ’ep1 (kN) (mm) 5,73 0,02 52,88 0,27 101,52 0,51 151,28 0,69 0,0177 208,99 0,96 0,036 271,50 1,36 0,054 304,75 1,81 0,072 323,78 2,12 0,09 336,68 2,31 0,108 346,18 2,44 0,126 351,82 2,49
Sisi Bawah (Beban Tarik) V1 δep1 (kN) (mm) 10,79 0,036 50,19 0,42 75,98 0,232 100,93 0,286 132,88 0,346 202,43 0,544 238,35 0,866 264,44 1,441 281,34 1,747 294,83 1,946 306,27 2,120
Rotasi (rad)
450
400
350
Beban Aktuator (kN)
300
250
200
150
100
50 Bawah
Atas
0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Defleksi (mm)
Gambar IV.22 Kurva beban-defleksi pelat ujung spesimen 1
Berdasarkan hasil pengamatan visual terhadap defleksi pelat ujung sepanjang dilakukannya siklus percobaan, meskipun sudah mengalami kelelehan pada beban V’1=271,50 kN namun celah yang terjadi akibat menekuknya pelat ujung saat berperilaku inelastik cenderung kembali menutup saat proses unloading dan reverse loading diberlakukan. Hal ini dikarenakan disamping kecilnya defleksi yang terjadi sehingga seolah-olah tidak terlihat secara kasat mata, juga dikarenakan baut yang ada
88
masih berperilaku elastik sehingga tarikan baut kembali ke posisi semula ikut mempengaruhi pelat ujung.
(a)
(b) Gambar IV.23 Kondisi pelat ujung spesimen 1 di akhir siklus
Pada saat akhir pembebanan dengan tercapainya beban ultimit, secara visual pelat ujung hanya sedikit mengalami kinking (tekuk plastik) dan bisa dianggap tidak cukup signifikan. Akhir proses kejadiannya dapat dilihat pada Gambar IV.23 diatas.
Spesimen 2 berdasarkan data-data dari Tabel IV.5 dan grafik Gambar IV.24 memperlihatkan kurva defleksi pelat ujung cenderung membentuk garis linier mulai dari pembebanan 0 kN sampai tercapainya plotting beban ke-6 dengan besar V’2=277,87 kN dan defleksi yang terjadi sebesar δ’ep2=1,56 mm. Titik plotting inilah yang ditetapkan sebagai kriteria kelelehan untuk pelat ujung pada spesimen 2. Setelah itu pada tahap pembebanan selanjutnya kurva mulai menunjukkan perubahan kemiringan yang lebih landai dan konstan sampai tercapainya beban ultimit yang menandakan kegagalan struktur dengan V’u2=392,98 kN dan defleksi sebesar δ’ep2=4,53 mm.
89
Tabel IV.5 Tabel defleksi pelat ujung spesimen 2
Siklus
Rotasi (rad)
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 0,036 0,054 0,072 0,09 0,108 0,126 0,144 0,162
Sisi Atas (Beban Tekan) Sisi Bawah (Beban Tarik) V’2 V2 δ’ep2 δep2 (kN) (kN) (mm) (mm) 0 0 0 0 27,35 0,01 40,18 0,17 50,54 0,14 101,33 0,38 101,66 0,43 130,83 0,43 201,31 0,92 170,93 0,57 190,65 0,7 277,87 1,56 315,94 1,98 234,76 1,07 337,60 2,43 264,75 1,67 353,31 2,81 284,81 2,19 366,15 3,22 301,38 2,67 377,06 3,55 315,53 3,08 385,78 3,85 327,68 3,43 392,98 4,54 337,10 3,59
Dari pengamatan visual sepanjang percobaan berlangsung sama seperti pada spesimen 1 meskipun pelat ujung telah leleh pada saat tercapainya beban V’2=277,87 kN namun setelah mengalami unloading dan reverse loading pelat ujung cenderung terlihat seolah-olah kembali menutup, hal ini dikarenakan baut yang ada masih berada dalam zona perilaku elastik.
450 400
350
Beban Aktuator (kN)
300 250
200 150 100
50 Atas
Bawah
0 0
1
2
3
4
5
Defleksi (mm)
Gambar IV.24 Kurva beban-defleksi pelat ujung spesimen 2
90
Kondisi pelat ujung setelah percobaan berakhir dengan tercapainya beban ultimit terlihat mengalami kinking yang cukup tertangkap secara visual dan lebih besar jika dibandingkan dengan spesimen 1. Akhir proses kejadiannya terlihat seperti pada foto Gambar IV.25 dibawah.
(a)
(b) Gambar IV.25 Kondisi pelat ujung spesimen 2 di akhir siklus
Untuk membandingkan perilaku defleksi sisi atas pelat ujung dari kedua spesimen secara langsung pada kondisi beban tekan maka disusun dan diperlihatkan datanya dalam Tabel IV.6 dan grafik Gambar IV.26. Defleksi yang diperbandingkan hanya untuk besaran yang berada dalam zona inelastik (pasca leleh), dari tabel terlihat rasio δ’ep2/δ’ep1 berada dalam rentang 1,35 (35%) sampai dengan 1,62 (62%) dengan ratarata sebesar 45%. Tabel IV.6 Tabel rasio defleksi pelat ujung δ’ep2/δ’ep1
Siklus 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Rotasi (rad) 0 0,036 0,054 0,072 0,09 0,108 0,126 0,144 0,162
δ’ep2 (mm) 0 1,56 1,98 2,43 2,81 3,22 3,55 3,85 4,54
δ’ep1 (mm) 0 0,96 1,36 1,81 2,12 2,31 2,44 2,49
δ’ep2/δ’ep1 0 1,62 1,45 1,35 1,33 1,39 1,46 1,54
91
Untuk setiap siklus beban yang sama tabel diatas mengindikasikan pelat ujung pada spesimen 2 mengalami defleksi yang lebih besar jika dibandingkan dengan pelat ujung pada spesimen 1. Lebih besarnya gaya tarik awal (proof load) pada baut spesimen 2 yang berakibat terhadap besarnya gaya jepit (clamping force) tidak mempengaruhi besaran defleksi pelat ujung. Hal ini dikarenakan adanya penambahan SEP pada pelat sayap spesimen 2 yang terletak diatas posisi baut akan memberikan
450
1.8
400
1.6
350
1.4
300
1.2
R a tio
Beban Aktuator (kN)
tarikan lebih merata pada pelat ujung.
250
1
200
0.8
150
0.6
100
0.4
50
Spc-2
0.2
Spc-1
0
0 0
1
2
3
Defleksi (mm)
4
5
1
2
3
4
5
6
7
Siklus
(a)
(b)
Gambar IV.26 : (a) Kurva beban-defleksi gabungan spesimen 1 dan 2 (b) Kurva rasio defleksi pelat ujung δ’ep2/δ’ep1
Karena mengalami proof load baut yang lebih besar dan mempunyai tambahan SEP pada pelat ujung-nya maka spesimen 2 akan mempunyai kekakuan yang lebih besar jika dibandingkan dengan spesimen 1. Dengan lebih besarnya kekakuan yang dimiliki spesimen 2 secara pasti berdasarkan teorema kekakuan akan memiliki momen yang lebih besar pada saat besaran defleksi yang sama dengan spesimen 1. Konsekuensi logis dari momen lebih besar yang terjadi maka gaya kopel yang terjadi pada pelat sayap link akan lebih besar sehingga menghasilkan defleksi yang lebih besar juga, ilustrasi ini seperti terlihat pada Gambar IV.27.(a)-(b).
92
Penjelasan yang merupakan argumentasi tambahan yaitu seperti dalam Gambar IV.27.(c). Posisi beban dan tegangan dari pelat sayap spesimen 1 yang terkonsentrasi pada zona tengah pelat ujung cenderung menimbulkan defleksi yang juga terkonsentrasi pada zona tengah. Sedangkan pada spesimen 2 akibat pemerataan beban tadi oleh SEP mempunyai dampak terhadap homogenitas defleksi yang terjadi. Peristiwa ini menyebabkan defleksi yang terukur oleh LVDT lebih besar pada sisi luar pelat ujung bagian atas tanpa adanya sumbangan yang berarti dari clamping force baut.
Walaupun demikian secara pasti pengaruh penambahan SEP terhadap defleksi pelat ujung akan menghasilkan defleksi yang lebih besar sebagai konsekuensi dari penambahan nilai kekakuan seperti penjelasan sebelumnya.
δ1
P1
δ1
δ2
σ2
P2 σ1 P
P1 =
M1 h1
M2 > M1
P2 =
M2 h2
δ1’
P2 > P1
(a)
P
δ2
(b)
(c)
(d)
Gambar IV.27 : Defleksi pelat ujung, Samping : (a) Gaya kopel spesimen 1 (b) Gaya kopel spesimen 2, Atas : (c) Defleksi pelat ujung spesimen 1 (d) Defleksi pelat ujung spesimen 2
IV.3.
Kinerja Spesimen
Data-data primer pembentuk kurva histeretik bisa dijadikan referensi untuk menentukan sejumlah parameter yang merefleksikan kinerja spesimen yang diuji. Sejumlah parameter tersebut adalah kekakuan (Stiffeness), kekuatan (strength), daktilitas (ductility) dan energi disipasi (Dissipation Energy). Hasil evaluasi terhadap sejumlah parameter kinerja tersebut yang akan menentukan tingkat penerimaan (acceptability) perilaku suatu link berdasarkan peraturan[2][3] yang berlaku. Bahasan untuk masing-masing parameter tersebut sebagaimana uraian berikut ini :
93
IV.3.1. Kekakuan
Permasalahan kekakuan spesimen yang dianalisis adalah mengenai besaran reduksi kekakuan inelastik terhadap kekakuan elastik selama bekerjanya beban siklik untuk setiap siklus. Parameter kekakuan elastik yang diamati berupa kekakuan tangen, yaitu rasio antara selisih beban dengan selisih deformasi elastik yang terjadi dengan mengambil garis singgung terluar kurva. Sedangkan kekakuan inelastik yang diamati merupakan kekakuan secant, yaitu rasio antara selisih beban dengan selisih deformasi inelastik dengan mengambil kemiringan garis lurus antara 2 titik beban yang dihitung jadi bukan merupakan garis singgung kurvanya. Ilustrasi tentang kedua kekakuan tersebut seperti terlihat pada Gambar IV.28.
P
P
a
Δp
a Δp d Δd (a)
d
Δd (b)
Gambar IV.28 Tipe kekakuan (a) Tangen (b) Secant
Pada spesimen 1 kekakuan elastik seperti yang sudah dibahas sebelumnya diperoleh sebesar Keav1=22,61 kN/mm untuk tarik dan Keav1’=28,41 kN/mm untuk tekan. Dengan terjadinya proses plastifikasi pada pelat badan dan pelat sayap profil link maka penambahan perpindahan yang diberikan tidak diikuti dengan penambahan beban yang signifikan. Beban yang ada bertambah dengan peningkatan yang jauh lebih kecil. Perambatan (propagation) atau redistribusi plastifikasi di setiap titik pelat badan dan pelat sayap pada link menjadi penyebab utama tidak signifikannya penambahan beban, hal ini terjadi karena zona plastisitas material melalui daerah plato yang mempunyai intensitas tegangan konstan.
94
Sebagai konsekuensi peristiwa diatas kemiringan kurva yang terbentuk pada setiap beban puncak di akhir siklus pembebanan menjadi semakin landai. Semakin landai kurva menandakan semakin menurunnya kekakuan yang ada pada spesimen. Sebagai ilustrasi proses perambatan plastifikasi tersebut dapat dilihat pada Gambar IV.29 dibawah.
My
Mp
My
Mp
My
Mp
Mp Mp
Mp
Msh My
Vpii > Vpi
Vpi > Vp
Vp > Vy
(a)
My
Msh
My
My Vy
My
(b)
(c)
(d)
Gambar IV.29 Penjalaran plastifikasi : (a) Kelelehan awal (b) Plastifikasi di panel tepi (c) Penjalaran plastifikasi ke panel tengah (d) Plastifikasi memasuki strain hardening
Untuk menilai secara kuantitatif dan kualitatif besaran kekakuan pada setiap siklus pembebanan tersebut disajikan dalam Tabel IV.7 dan grafik Gambar IV.30 seperti dibawah. Tabel IV.7 Kekakuan spesimen 1
Siklus 0 1 2 3 4 5 6
Arah Tarik Beban δv (mm) (kN) 0 0 16,2 202,43 24,3 238,35 32,4 264,44 40,5 281,34 48,6 294,83 56,7 306,27
Arah Tekan Beban δ’v (mm) (kN) 0 0 -16,2 -271,50 -24,3 -304,75 -32,4 -323,79 -40,5 -336,68 -48,6 -346,18 -56,7 -351,82
Ks1’
Ks1
(kN/mm)
(kN/mm)
0 16,76 12,54 9,99 8,31 7,12 6,21
0 12,50 9,81 8,16 6,95 6,07 5,40
Dari Tabel IV.7 dan grafik Gambar IV.30 terlihat trend kekakuan inelastik yang terjadi sepanjang siklus pembebaban semakin menurun secara parabolik baik untuk pembebanan
tarik
maupun
tekan.
Deskripsi
geometrik
parabolik
berarti
95
mengindikasikan dengan sedikit intensitas pertambahan deformasi maka intensitas reduksi kekuatan yang terjadi menjadi lebih besar. 20.0 18.0 16.0
Kekakuan (kN /mm)
14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 Tekan
2.0
Tarik
0.0 0
20
40
60
80
100
Perpindahan Spes-1 (mm)
Gambar IV.30 Kurva kekakuan vs perpindahan spesimen 1
Pada Gambar IV.30 juga terlihat trend kekakuan yang terbentuk untuk kondisi pembebanan tarik dan tekan cenderung sama kelengkungan kurvanya, hal ini mengindikasikan perilaku reduksi kekakuan yang ada cenderung sama walaupun karena gangguan terangkatnya loading frame mempengaruhi besaran kekakuan yang ada antara beban tarik dan tekan.
Sedangkan untuk spesimen 2 kekakuan elastik diperoleh sebesar Keav2=24,17 kN/mm untuk tarik dan Keav2’=28,19 kN/mm untuk tekan. Rekaman kekakuan yang terjadi sepanjang siklus pembebanan dapat dilihat pada Tabel IV.8 dan Gambar IV.31.
Dari Gambar IV.31 terlihat grafik menunjukkan trend dan perilaku kekakuan inelastik spesimen 2 cenderung sama dengan spesimen 1. Degradasi kekakuan yang terjadi juga berbentuk parabolik baik untuk kondisi pembebanan tarik dan tekan. Tetapi dengan bertambahnya siklus pembebanan menjadi 9 siklus pada spesimen 2, terlihat semakin kecil kekakuan dengan bertambahnya deformasi maka kurva yang terbentuk saling mendekati. Ini berarti semakin besar deformasi spesimen yang diberikan semakin kecil pengaruh pengangkatan loading frame terhadap spesimen.
96
Argumennya adalah dengan semakin besar deformasi spesimen maka baut skor loading frame mengalami slip dengan dratnya sampai mencapai batas maksimum, sehingga pada saat beban puncak baut sudah tidak berdeformasi lagi.
Sama kasusnya dengan spesimen 1 degradasi kekakuan pada spesimen 2 identik dengan perambatan atau redistribusi plastifikasi seperti yang diilustrasikan pada Gambar IV.29. Menurunnya derajat degradasi ditandai dengan semakin landainya kurva pada siklus-siklus akhir, berarti semakin banyak panel dan bagian elemen link lainnya memasuki zona regangan plato. Tabel IV.8 Kekakuan spesimen 2
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Arah Tarik Beban δv (mm) (kN) 0 0 16,2 190,65 24,3 234,76 32,4 264,75 40,5 284,81 48,6 301,38 56,7 315,53 64,8 327,68 72,9 337,10 81,0 342,52
Arah Tekan Beban δ’v (mm) (kN) 0 0 -16,2 -277,87 -24,3 -315,94 -32,0 -337,60 -40,5 -353,31 -48,6 -366,15 -56,7 -377,06 -64,8 -385,78 -72,9 -392,98 -81,0 -392,13
Ks2’
Ks2
(kN/mm)
(kN/mm)
0 17,15 13,00 10,42 8,72 7,53 6,65 5,95 5,39 4,84
0 11,77 9,66 8,17 7,03 6,20 5,57 5,06 4,62 4,23
20.0 18.0 16.0 14.0
Kekakuan (kN/mm)
Siklus
12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 Tekan
2.0
Tarik
0.0 0
20
40
60
80
100
Perpindahan Spes-2 (mm)
Gambar IV.31 Kurva kekakuan vs perpindahan spesimen 2
97
Untuk mengetahui besar degradasi kekakuan inelastik terhadap kekakuan elastik yang terjadi pada kedua spesimen untuk setiap siklus maka dilakukan perhitungan yang hasilnya diberikan dalam Tabel IV.9. Hasil dalam tabel tersebut tersebut diplot berupa grafik batang (bar chart) dalam Gambar IV.32 dan Gambar IV.33. Tabel IV.9 Besaran reduksi kekakuan inelastik terhadap kekakuan elastik
Siklus
Rotasi (rad)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0,036 0,054 0,072 0,09 0,108 0,126 0,144 0,162 0,18
Spesimen 1 (%) Ks1’/Keav1’ Ks1/Keav1 58,99 55,26 44,14 43,38 35,17 36,09 29,26 30,72 25,07 26,83 21,84 23,89 -
Spesimen 2 (%) Ks2’/Keav2’ Ks2/Keav2 60,84 48,69 46,12 39,97 36,96 33,81 30,4 29,09 26,72 25,66 23,59 23,02 21,12 20,92 19,12 19,13 17,17 17,49
Gambar IV.32 disusun berdasarkan jenis spesimennya, untuk setiap spesimen yang ada (1 dan 2) grafik diplot dalam setiap siklus yang menggambarkan besaran degradasi kekakuan dalam arah tarik (atas) dan tekan (bawah). Sebagai standar penganalisisan data yang dipertimbangkan hasil dari pembebanan tekan. Saat siklus 1 sebesar 2.δy untuk spesimen 1 kekakuan yang ada tinggal 58,99% sedangkan untuk spesimen 2 tinggal 60,84%. Perbedaan yang ada antara kedua spesimen cuma sebesar 3,14%, ini berarti tidak hanya dalam kondisi elastik saja kedua spesimen berperilaku tipikal namun sampai tahap awal inelastikpun masih cenderung sama.
Untuk pembebanan sampai siklus 6 sebesar 7.δy kekakuan pada spesimen 1 tinggal 21,84% dan pada spesimen 2 tinggal 23,59%, perbedaan yang ada sebesar 8,01%. Meskipun perbedaan yang ada lebih besar jika dibandingkan saat siklus 1 namun masih dibawah angka 10%, ini juga mengindikasikan masih tipikalnya perilaku yang didapatkan.
98
Khusus untuk spesimen 2 dengan adanya penambahan SEP kekakuan yang ada pada siklus yang sama (siklus 6) dengan akhir kapasitas spesimen 1 masih bisa direduksi lagi sampai akhir siklus ke-9. Pada saat tercapainya beban ultimit tersebut kekakuan semula pada siklus 6 sebesar 23,59% masih bisa diturunkan lagi sampai sebesar 17,17% pada siklus ke-9, besarnya penurunan kapasitas tersebut sebesar 27,21%. Jadi spesimen 2 masih bisa terus memberikan sumbangan kekuatan sebelum hancur sampai kekakuannya turun sebesar 21,38% lebih dari posisi kehancuran spesimen 1.
0.70
0.70 Tekan
0.60
0.60
0.50
0.50
Rasio Reduksi
Rasio Reduksi
Tarik
0.40
0.30
Tekan
8
9
0.40
0.30
0.20
0.20
0.10
0.10
0.00
Tarik
0.00
1
2
3
4
Siklus Spesimen-1
(a)
5
6
1
2
3
4
5
6
7
Siklus Spesimen-2
(b)
Gambar IV.32 Diagram batang reduksi kekakuan (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2
Untuk membandingkan langsung kekakuan antara spesimen 1 dan spesimen 2 maka Gambar IV.33 dibuat dengan mengelompokkan grafik berdasarkan arah pembebanan (tarik/atas dan tekan/bawah). Jelas terlihat trend terdegradasinya kekakuan untuk kedua spesimen cenderung tipikal dengan pola reduksi berbentuk parabolik.
Jadi dengan adanya peningkatan kekakuan secara parsial akibat penambahan SEP pada panel tepi spesimen 2 membuktikan terjadinya pengaruh peningkatan kekakuan spesimen secara keseluruhan. Ini dipertegas dengan nilai reduksi kekakuan spesimen 2 yang selalu lebih besar dari spesimen 1 namun dengan selisih yang relatif kecil.
99
0.70
0.60 Spc2
Spc1
Spc2
Spc1
0.60
0.50
0.50
Rasio Reduksi Tekan
Rasio Reduksi Tarik
0.40
0.30
0.20
0.10
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
0.00 1
2
3
4
Siklus
(a)
5
6
1
2
3
4
5
6
Siklus
(b)
Gambar IV.33 Diagram batang reduksi kekakuan (a) Arah tarik (b) Arah tekan
IV.3.2. Kekuatan
Seperti halnya dengan parameter kekakuan, parameter kekuatan menjadi bagian penting dari refleksifitas kinerja suatu spesimen. Seberapa besar kemampuan spesimen meningkatkan kapasitasnya untuk setiap peningkatan besaran rotasi atau perpindahan dan seberapa besar beban ultimit yang mampu dikembangkan oleh spesimen akan sangat menentukan kinerja struktur secara keseluruhan dalam memenuhi setiap persyaratan kriteria kinerja dalam konsep performance based.
Untuk analisis lebih lanjut besarnya gaya yang ada pada setiap siklus pembebanan ditampilkan dalam Tabel IV.10 sampai Tabel IV.11 dan Gambar IV.34 sampai Gambar IV.36. Dari kurva kekuatan berupa grafik back bone histeretik yang berbentuk parabola terlihat dengan semakin besarnya rotasi inelastik intensitas peningkatan kekuatan penampang untuk setiap siklus tidak terlalu besar.
100
Tabel IV.10 Besaran gaya setiap siklus spesimen 1
Siklus
Rotasi (rad)
1 2 3 4 5 6
0,036 0,054 0,072 0,09 0,108 0,126
Beban (kN) Tarik Tekan (V1) (V1’) 202,43 -271,5 238,35 -304,75 264,44 -323,79 281,34 -336,68 294,83 -346,18 306,27 -351,82
V1’/V1 1,34 1,28 1,22 1,20 1,17 1,15
Tabel IV.11 Besaran gaya setiap siklus spesimen 2
Siklus
Rotasi (rad)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0,036 0,054 0,072 0,09 0,108 0,126 0,144 0,162 0,18
Beban (kN) Tarik Tekan (V2) (V2’) 190,65 -277,87 234,75 -315,94 264,75 -337,60 284,81 -353,31 301,38 -366,15 315,53 -377,06 327,68 -385,78 337,10 -392,98 342,52 -392,13
V2’/V2 1,46 1,36 1,28 1,24 1,21 1,20 1,18 1,17 1,14
Besar perbedaan gaya yang terjadi dalam 1 siklus antara beban dalam arah tarik dengan beban dalam arah tekan akan dibahas terlebih dahulu. Pada spesimen 1 mulai dari siklus ke-1 (2.δy atau γp=0,036 rad) sampai siklus ke-6 (7.δy atau γp=0,126 rad) perbedaan yang ada mulai dari rentang 34% s/d 15%. Semakin banyak siklus dan semakin besarnya rotasi yang diberikan perbedaan gaya yang terjadi semakin kecil. Identik dengan penjelasan dalam pembahasan kekakuan, saat rotasi atau perpindahan besar diberikan pada spesimen maka baut angkur yang semula terangkat diawal pembebanan di tengah siklus mencapai batas deformasi slipnya dengan drat sehingga kapasitas link bisa dimaksimalkan lagi.
101
400.0
300.0
Beban Aktuator (kN)
200.0
100.0
0.0 -100
-80
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
100
-100.0
-200.0
-300.0 Spc2 Spc1
Spc2 Spc1
-400.0
Perpindahan (mm)
Gambar IV.34 Kurva back bone kapasitas link
Begitu juga pada spesimen 2 mulai dari siklus ke-1 (2.δy atau γp=0,036 rad) sampai siklus ke-9 (10.δy atau γp=0,18 rad) perbedaan yang terjadi antara beban tarik dan tekan mulai dari rentang 46% s/d 14%. Sesuai dengan grafik Gambar IV.35 terlihat kecenderungan perbedaan beban arah tarik dan tekan yang terjadi untuk masingmasing spesimen tidak terlalu berbeda.
1.60
1.40
1.40
1.20
1.20
R a s io (V 1 '/V 1 )
1.60
1.00
R a sio (V 2 '/V 2 )
1.00
0.80 0.60
0.80
0.60
0.40
0.40
0.20
0.20
0.00
0.00
1
2
3
4
Siklus Spesimen 1
(a)
5
6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Siklus Spesimen 2
(b)
Gambar IV.35 Diagram batang rasio beban tekan/tarik : (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2 102
Peningkatan beban persiklus untuk setiap spesimen terlihat pada Tabel IV.12 dan grafik Gambar IV.36.(a). Untuk spesimen 1 besarnya peningkatan beban dari beban sebelumnya untuk setiap siklus berada dalam rentang 131,01% s/d 101,63% untuk tekan, karena tingkat akurasi yang lebih baik dalam pembebanan tekan jadi analisis dibatasi untuk beban tersebut.
Peningkatan setiap siklus yang signifikan berada dalam rentang siklus ke-1 dan ke-2 atau sebesar 3.δy (31% dan 12%), untuk siklus selanjutnya sampai beban ultimit peningkatan yang terjadi berada dalam rentang dibawah 10%. Hal ini berarti spesimen sedang mengalami plastifikasi di daerah regangan plato terutama pada panel tepi. Selanjutnya terjadi redistribusi plastifikasi ke pelat sayap dan panel tengah. Pada saat panel tengah memasuki daerah regangan plato maka panel tepi secara perlahan memasuki fase awal regangan strain hardening.
Walaupun ada segmen yang memasuki zona regangan plato namun karena sebagian segmen tetap meningkatkan regangan elastiknya dan ada juga yang memasuki zona regangan strain hardening maka secara kumulatif tetap menyebabkan terjadinya peningkatan gaya geser spesimen. Jika tidak terjadi mekanisme fraktur pada sambungan las sehingga perpindahan aktuator bisa ditingkatkan lagi maka ada kemungkinan peningkatan gaya geser akan lebih signifikan dikarenakan semakin banyaknya segmen yang dikondisikan memasuki zona regangan strain hardening. Ilustrasi dari peristiwa ini sebagaimana terlihat dalam Gambar IV.29 sebelumnya.
Tabel IV.12 Persentase peningkatan gaya setiap siklus spesimen 1
Rotasi Siklus (rad) 0 1 2 3 4 5 6
Vy1 0,036 0,054 0,072 0,09 0,108 0,126
V1 (kN) 156,35 202,43 238,35 264,44 281,34 294,83 306,27
V1/Vy1 (%) 100,00 129,47 152,45 169,13 179,94 188,57 195,89
Beban Spesimen 1 V1(i)/V1(i-1) V1’ V1’/Vy1’ V1(i)’/V1(i-1)’ (%) (kN) (%) (%) 0 -207,23 100,00 0 129,47 -271,50 131,01 131,01 117,75 -304,75 147,06 112,25 110,94 -323,79 156,24 106,24 106,39 -336,68 162,47 103,98 104,80 -346,18 167,05 102,82 103,88 -351,82 169,77 101,63
103
Tabel IV.13 Persentase peningkatan gaya setiap siklus spesimen 2
Siklus
Rotasi (rad)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0,036 0,054 0,072 0,09 0,108 0,126 0,144 0,162 0,18
V2 (kN) 158,16 190,65 234,75 264,75 284,81 301,38 315,53 327,68 337,10 342,52
V2/Vy2 (%) 100,00 120,54 148,43 167,40 180,08 190,55 199,50 207,18 213,14 216.56
Beban Spesimen 2 V2(i)/V2(i-1) V2’ V2’/Vy2’ V2(i)’/V2(i-1)’ (%) (kN) (%) (%) 0,00 -203,48 100,00 0 120,54 -277,87 136,56 136,56 123,13 -315,94 155,27 113,70 112,78 -337,60 165,91 106,86 107,58 -353,31 173,63 104,65 105,82 -366,15 179,95 103,64 104,70 -377,06 185,31 102,98 103,85 -385,78 189,59 102,31 102,88 -392,98 193,13 101,86 101.61 -392,13 192,71 99,78
Spesimen 2 yang mempunyai siklus lebih banyak berdasarkan Tabel IV.13 dan grafik Gambar IV.36(b) mengalami rentang peningkatan beban yang terjadi sebesar 136,56% s/d 101,86% untuk beban tekan. Sama seperti spesimen 1 kenaikan yang signifikan cuma terjadi sampai pada siklus ke-2 atau 3.δy, sedangkan untuk siklus selanjutnya sampai beban ultimit peningkatan yang terjadi semua masih dibawah 10%, berarti argumen adanya sebagian segmen yang memasuki zona regangan plato dan sebagiannya lagi memasuki regangan strain hardening bisa diterima. 3.00
3.00 Tarik
Tarik
Tekan
2.50
Rasio P eningkatan kapasitas
R a sio Pening ka ta n ka pa sita s
2.50
Tekan
2.00
1.50
1.00
0.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0.00 1
2
3
4
Siklus Spesimen 1
(a)
5
6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Siklus Spesimen 2
(b)
Gambar IV.36 Rasio peningkatan kapasitas setiap siklus: (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2
104
Peningkatan beban ultimit yang terjadi pada spesimen 1 Vu1=351,82kN terhadap beban leleh Vy1=207,23 kN mencapai nilai 169,77%. Sedangkan pada spesimen 2 besar peningkatan beban ultimit Vu2=392,97 kN terhadap beban leleh Vy2=203,48 kN yang terjadi sebesar 193,13%. Nilai ini menunjukkan bahwa penambahan SEP akan meningkatkan kapasitas ultimit penampang hampir dua kali lipat dari kondisi tanpa SEP.
Perbandingan kekuatan antara kedua spesimen baik untuk beban tarik dan tekan angkanya ditampilkan dalan Tabel IV.14 dan Gambar IV.37. Dari data tersebut terlihat untuk kedua arah pembebanan perbedaan kekuatan setiap siklus yang terjadi berada dalam rentang 0,1% sampai dengan 7,2%.
Semua nilai berada dibawah angka 10%, hal ini mengindikasikan juga kalau penambahan Side Extended Plate (SEP) tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap perilaku kekuatan. Perbedaan yang ada cuma berupa penambah jumlah siklus yang dibutuhkan, daktilitas dan beban ultimit yang terjadi. Tabel IV.14 Rasio beban spesimen 2/spesimen 1
Siklus 1 2 3 4 5 6
Beban Tarik (kN) V1 V2 202.427 190.649 238.351 234.755 264.435 264.754 281.338 284.814 294.834 301.378 306.273 315.534
Beban Tekan (kN) V1’ V2’ -271.498 -277.871 -304.754 -315.943 -323.785 -337.602 -336.682 -353.306 -346.183 -366.153 -351.817 -377.062
Rasio V2/V1 V2’/V1’ 0.942 1.023 0.985 1.037 1.001 1.043 1.012 1.049 1.022 1.058 1.030 1.072
105
1.10
Rasio Beban Aktuator Spc2/Spc1
Atas
Baw ah
1.05
1.00
0.95
0.90
0.85 1
2
3
4
5
6
Siklus
Gambar IV.37 Rasio beban aktuator spesimen 2/spesimen 1
IV.3.3. Daktilitas
Daktilitas yang terjadi pada spesimen link akan diperbandingkan terhadap daktilitas yang terjadi pada materialnya. Untuk material yang berasal dari uji kupon pelat badan daktilitas yang diperoleh sebesar μ w =
εu 0.257 = = 81,07 seperti pada ε y 0.00317
gambar IV.38.(a). Dari hasil uji kupon untuk pelat sayap didapatkan nilai daktilitas sebesar μ f =
εu 0.3 = = 130,43 seperti pada gambar IV.38 (b). Sedangkan untuk ε y 0.0023
pelat ujung nilai daktilitasnya sebesar μ ep =
ε u 0.2772 = = 154 seperti pada gambar ε y 0.0018
IV.38.(c). Angka-angka daktilitas hasil uji kupon diatas menunjukkan kalau material baja spesimen link mempunyai kemampuan mengembangkan regangan ultimit yang sangat baik.
106
700
700
fu
fu 600
600
fy
fy 500
Tegangan (MPa)
Tegangan (MPa)
500
400
300
200
300
200
100
100
εy 0 0.00
400
εu 0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
εy
0 0.00
0.40
εu 0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
Regangan
Regangan
(a)
(b)
700.0
fu 600.0
500.0
Tegangan (MPa)
fy 400.0
300.0
200.0
100.0
εy 0.0 0.000
εu 0.050
0.100
0.150
0.200
0.250
0.300
0.350
0.400
0.450
Regangan
(c) Gambar IV.38 Daktilitas material (a) Pelat badan (b) Pelat sayap (c) Pelat ujung
Daktilitas link pada spesimen 1 diperoleh nilai sebesar μ1= 7 pada beban ultimit Vu1=351,817 kN dan pada spesimen 2 diperoleh nilai sebesar μ2= 9 pada beban ultimit Vu2=392,97 kN. Karena nilai 1.δy yang terdapat pada kedua spesimen bernilai sama sebesar 8,1mm, maka sepanjang siklus pembebanan yang diberikan daktilitas yang ada juga sama cuma dengan nilai beban yang berbeda, ilustrasinya seperti terlihat dalam Gambar IV.39.
Dari hasil tersebut terlihat dengan perbedaan nilai beban maksimum yang cuma sebesar 11,46%, didapatkan perbedaan nilai daktilitas antara spesimen 2 dengan spesimen 1 sebesar 28,57%. Jadi penambahan SEP tidak terlalu berpengaruh 107
terhadap beban ultimit namun signifikan pengaruhnya dalam penambahan nilai daktilitas. 400
350
Beban Aktuator (kN)
300
250
200
150
100
50
Spc2
Spc1
0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Daktilitas Link
Gambar IV.39 Kurva daktilitas link vs beban aktuator
Sesuai dengan klasifikasi penampang yang dibahas dalam dasar teori sebelumnya kedua jenis link spesimen 1 dan 2 ini dapat dikelompokkan kedalam kelas Plastic Section karena memiliki karakteristik berupa kemampuan membentuk sendi plastis
dengan kapasitas rotasi yang besar melebihi persyaratan γp=0,08 rad tanpa mengalami
kegagalan.
Sedangkan
untuk
level
klasifikasi
elemen
dapat
dikelompokkan ke dalam kelas High Ductility (HD). Nilai daktilitas elemen link yang baik ini tidak terlepas dari nilai daktilitas material yang dimiliki.
IV.3.4. Energi Disipasi
Nilai besaran energi baik energi input maupun energi disipasi dihitung sebagai luasan bagian dalam dari kurva histeretik tertutup pada setiap spesimen. Dari metode yang sudah diterangkan sebelumnya pada setiap spesimen besar energi tersebut untuk setiap siklus dan nilai kumulatifnya disajikan dalam Tabel IV.15 dan Tabel IV.16 serta Gambar IV.40.
108
Tabel IV.15 Energi input-disipasi tiap siklus dan kumulatif spesimen 1
Siklus 1 2 3 4 5 6
Energi Disipasi Spec-1 (kN.m) Eh1 Ehk1 4,35 4,35 10,57 14,92 18,22 33,15 27,07 60,22 37,08 97,30 46,51 143,81
Rotasi (rad) 0,036 0,054 0,072 0,09 0,108 0,126
Energi Input Spec-1 (kN.m) Ei1 Eik1 6,47 6,47 13,39 19,87 21,61 41,48 30,86 72,34 40,92 113,26 51,16 164,42
Rasio Eh1/Ei1 0,67 0,79 0,84 0,88 0,91 0,91
Ehk1/Eik1 0,67 0,75 0,80 0,83 0,86 0,88
Tabel IV.16 Energi input-disipasi tiap siklus dan kumulatif spesimen 2
Energi Disipasi Spec-2 (kN.m) Eh2 Ehk2 4,58 4,58 10,62 15,20 18,27 33,46 27,20 60,66 36,85 97,51 47,37 144,88 57,69 202,58 68,38 270,96
Rotasi (rad)
Siklus 1 2 3 4 5 6 7 8
0,036 0,054 0,072 0,09 0,108 0,126 0,144 0,162
Energi Input Spec-2 (kN.m) Ei2 Eik2 6,61 6,61 13,48 20,09 21,73 41,82 31,17 72,99 41,27 114,27 52,16 166,43 62,84 229,27 74,03 303,30
80,000
350,000
70,000
300,000
Rasio Eh2/Ei2 0,69 0,79 0,84 0,87 0,89 0,91 0,92 0,92
Ehk2/Eik2 0,69 0,76 0,80 0,83 0,85 0,87 0,88 0,89
60,000
T o tal E n erg i (kN .m m )
E n e rg i/ S i k l u s (k N . m m )
250,000
50,000
40,000
30,000
200,000
150,000
100,000
20,000
10,000
Eh2
Eh1
Ei2
Ei1
50,000
0
Eh2
Eh1
Ei2
Ei1
0
0
2
4
6
Siklus
(a)
8
10
0
2
4
6
8
10
Siklus
(b)
Gambar IV.40 Energi disipasi : (a) Energi tiap siklus (b) Energi kumulatif
109
Dari informasi tabel dan grafik diatas terlihat untuk setiap siklus kurva energi kumulatif input dan disipasi dari kedua spesimen saling berimpitan mulai dari siklus ke-1 sampai siklus ke-6. Secara kualitatif hal tersebut menggambarkan besar energi disipasi yang dimiliki oleh kedua spesimen pada selang daktilitas yang sama cenderung sama besar. Namun secara kuantitatif perbedaan detail yang ada dari kapasitas energi disipasi tersebut untuk setiap siklusnya dicantumkan pada Tabel IV.17 dan Gambar IV.42. Dari data tersebut terlihat perbedaan yang ada berada dalam rentang 0,22% sampai 5,3% dengan nilai rata-rata sebesar 1,48%. Nilai ini relatif kecil untuk disebut sebagai indikator adanya perbedaan.
Perbedaan yang ada cuma pada energi total kumulatif yang mampu dihasilkan oleh kedua spesimen. Spesimen 1 mampu mendisipasikan energi total sebesar Ehk1=143,81 kN.m dan menerima energi input total sebesar Eik1=164,42 kN.m, sedangkan spesimen 2 mendisipasikan energi total sebesar Ehk2=270,96 kN.m dan menerima energi input total sebesar Eik2=303,30 kN.m. Rasio yang ada antara spesimen 2 dan spesimen 1 untuk energi disipasi sebesar 188,42% dan untuk energi input sebesar 184,46%. Hal ini menunjukkan kapasitas energi total yang tersedia pada spesimen 2 akibat penambahan SEP hampir 2 kali lipat kapasitas energi total spesimen 1.
Penambahan kapasitas disipasi energi kumulatif pada spesimen 2 lebih dikarenakan meningkatnya nilai daktilitas penampang. Dengan semakin bertambahnya jumlah siklus pembebanan dan nilai kekuatan yang masih bisa meningkat tanpa adanya degradasi akibat fraktur prematur seperti pada spesimen 1 maka tegangan pelat badan di panel tepi semakin di redistribusi ke panel tengah. Dengan semakin banyaknya panel pelat badan yang mendisipasikan energi maka semakin besar kapasitas disipasi energi kumulatifnya.
Tinjauan terhadap efisiensi energi kumulatif (rasio energi disipasi kumulatif terhadap input kumulatif) pada spesimen 1 sebagaimana terlihat pada Tabel IV.15 adalah sebesar 88%, namun pada setiap siklusnya ada beberapa siklus yang mempunyai efisiensi sebesar 91%. Sedangkan pada spesimen 2 sebagaimana terlihat pada Tabel
110
IV.16 efisiensi kumulatif yang ada sebesar 89% dan pada setiap siklusnya ada yang menunjukkan angka sebesar 92%. Nilai efisiensi yang diperoleh dengan besaran diatas 85% pada kedua spesimen menunjukkan kemampuan yang sangat baik dalam menyerap energi inersia akibat beban gempa. Angka rasio ini secara grafik dapat dilihat pada Gambar IV.41 dibawah. 1.000
1.000 Kumltf
per siklus
0.900
0.900
0.800
0.800
0.700
0.700
0.600
0.600
Rasio (E h /E i )
Rasio (Eh /Ei )
per siklus
0.500
0.400
Kum ltf
0.500
0.400
0.300
0.300
0.200
0.200
0.100
0.100
0.000
0.000 1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
7
8
Siklus
Siklus
(a)
(b)
Gambar IV.41 Efisiensi energi (Rasio Eh/Ei) : (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2
Jadi tidak ada perbedaan signifikan dari perilaku antara kedua spesimen dalam mendisipasikan energi serta nilai efisiensi dalam setiap siklus inelastiknya. Yang ada cuma perbedaan kapasitas total yang hampir sebesar 2 kali lipat jika tidak adanya pembatasan besaran rotasi yang diijinkan. Oleh karena itu penambahan SEP berhasil mempertahankan perilaku yang sama dalam kemampuan disipasi energi per siklus namun dengan nilai disipasi kumulatif yang lebih tinggi. Tabel IV.17 Rasio energi disipasi spesimen2/spesimen1 (Eh2/Eh1)
Siklus 1 2 3 4 5 6
Rotasi (rad) 0,036 0,054 0,072 0,09 0,108 0,126
Energi Disipasi (kN.m) Eh1 Eh2 4,35 4,58 10,57 10,62 18,22 18,27 27,07 27,20 37,08 36,85 46,51 47,37
Eh2/Eh1 1,05 1,00 1,00 1,00 0,99 1,02
111
1.06 1.05 1.04 1.03
R asio (E h 2 /E h 1 )
1.02 1.01 1.00 0.99 0.98 0.97 0.96 1
2
3
4
5
6
Siklus
Gambar IV.42 : Rasio energi disipasi (Eh2/Eh1) setiap siklus
IV.4.
Kajian Numerik Terhadap Hasil Eksperimental
Kajian dan analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan penjelasan dan justifikasi perilaku link hasil percobaan di laboratorium dalam hubungannya dengan persyaratan pada peraturan[3] yang berlaku. Perhitungan dilakukan dengan membuat empat buah model yang mewakili link geser dengan L = 450 mm dan mewakili link lentur dengan L = 700 mm. Kedua jenis link tersebut dimodelkan dengan memakai SEP dan tidak memakai SEP. Analisis dilakukan terbatas dalam perilaku zona elastik karena terbatasnya kemampuan analisis non linier program SAP 2000 v.11, namun diharapkan perilaku yang tidak jauh berbeda pada zona inelastik (plastik) bisa diidentifikasi.
IV.4.1. Proses dan Hasil Perhitungan Numerik
Dalam perhitungan mekanika diasumsikan link berupa balok (beam) dengan perletakan jepit-jepit sempurna (fully rigid connection) dan perpindahan ujung perletakan dalam rentang 0,5 mm s/d 8,5 mm pada satu sisi. Peningkatan besaran perpindahan yang diberikan sebesar 0,5 mm untuk setiap selang pembebanannya.
112
Berikut Gambar IV.43 dan Tabel IV.18 untuk mengilustrasikan model yang dianalisis dengan menggunakan SAP 2000 v.11 :
Tabel IV.18 Tipe link yang dianalisis
Tanpa
Dengan
Perpindahan Ujung
SEP
SEP
(mm)
Geser = 450 mm
1
1
0,5 s/d 8,5 increment = 0,5
Lentur = 700 mm
1
1
0,5 s/d 8,5 increment = 0,5
Tipe Link
M M
M
M
450
700
V+
V-
V+
V-
(a)
(b)
Gambar IV.43 Link yang dianalisis : (a) Link geser L=450 mm (b) Link lentur L=700 mm
Perhitungan analisis tegangan Von Misses dilakukan terhadap panel tepi (pp) dan panel tengah (pt), serat yang ditinjau pada kedua panel tersebut pada posisi serat atas pelat badan (sa) dan serat tengah pelat badan (st). Ilustrasi posisi tersebut terlihat pada Gambar IV.44 dibawah. Pada serat atas (sa) tegangan yang ada merupakan kombinasi tegangan lentur dan tegangan geser sedangkan untuk serat tengah (st) hanya merupakan sumbangan tegangan geser saja.
450
sa
sa
sa
sa
st
st
st
st
sa
sa
sa
sa
pp
pt
pt
pp
9 7 .5
9 7 .5
9 7 .5
9 7 .5 30
σl
τv
30
Gambar IV.44 Ilustrasi posisi perhitungan tegangan Von Misses
113
Perhitungan yang lengkap ditampilkan dalam lampiran C berupa tabel nomor C.1 sampai dengan C.8. Hasil dari tabel tersebut diilustrasikan berupa grafik-grafik yang diwakili oleh warna biru untuk model link dengan SEP dan warna merah untuk model link tanpa SEP.
Grafik yang ada ditampilkan pada Gambar IV.45 sampai Gambar IV.50 untuk masing-masing link geser L=450 mm dan link lentur L=700 mm. Sajian grafik yang merupakan hubungan tegangan Von Misses vs perpindahan ditampilkan pada posisi panel tepi (pp), panel tengah (pt), serat atas (sa) dan serat tengah (st) penampang link. Dengan format sajian demikian diharapkan dapat terlihat kecenderungan efek perubahan tegangan Von Misses pada sejumlah posisi tersebut sebagai akibat
2,500
2,500
2,000
2,000 Von Misses (Mpa) - Panel Teng ah
Vo n Misses (Mpa ) - Pa nel Tepi
penambahan SEP untuk setiap siklus perpindahan.
1,500
1,000
500 SEP(sa)
SEP(st)
Non.(sa)
Non.(st)
1,500
1,000
500 SEP(sa)
SEP(st)
Non.(sa)
Non.(st)
0
0 0
2
4 6 Perpindahan Δ (mm)
(a)
8
10
0
2
4 6 Perpindahan Δ (mm)
8
10
(b)
Gambar IV.45 Tegangan Von Misses pelat badan link L=450 mm : (a) Panel tepi (b) Panel tengah
114
2,500
2,000
2,000
V o n Misses (Mpa ) - Sera t Teng a h
Von Misses (Mpa) - Serat Atas
2,500
1,500
1,000
500 SEP.(pp)
SEP.(pt)
Non.(pp)
Non.(pt)
1,500
1,000
500
SEP.(pp)
SEP.(pt)
Non.(pp)
Non.(pt)
0
0 0
2
4 6 Perpindahan Δ (mm)
8
0
10
2
(a)
4 6 Perpindahan Δ (mm)
8
10
(b)
Gambar IV.46 Tegangan Von Misses pelat badan link L=450 mm : (a) Serat atas (b) Serat tengah
2,500
2,500 SEP
SEP
Non
Non
2,000 Von Misses (Mpa) - FlensTengah
Von Misses (Mpa) - Flens Tepi
2,000
1,500
1,000
500
0
1,500
1,000
500
0 0
2
4 6 Perpindahan Δ (mm)
(a)
8
10
0
2
4 6 Perpindahan Δ (mm)
8
10
(b)
Gambar IV.47 Tegangan Von Misses pelat sayap link L=450 mm : (a) Panel tepi (b) Panel tengah
Dari tabel perhitungan pada lampiran C.3 sampai C.6 dan dari grafik Gambar IV.45 sampai Gambar IV.47 diatas dapat disimpulkan untuk link tipe geser L=450 mm sebagai berikut : a.
Link dengan SEP mencapai nilai tegangan Von Misses (fvm1) yang sedikit lebih besar jika dibandingkan dengan link tanpa SEP baik untuk panel tengah (pt) (rasio=5,2%) maupun panel tepi (pp) (rasio=3,91%). Bukti perhitungan ini menunjukkan kesesuaian perilaku dari hasil eksperimen tentang pencapaian
115
beban dan perpindahan kelelehan antara link dengan SEP dan tanpa SEP yang tidak jauh berbeda. b. Rasio tegangan Von Misses serat tengah (st) terhadap serat atas (sa) pada panel tepi (pp) penampang link tanpa SEP sebesar 0.99, sedangkan pada link dengan SEP sebesar 1,04. Data ini mengindikasikan penambahan SEP meningkatkan tegangan fvm1 pada serat tengah (st) di panel tepi (pp) yang berarti berkontribusi memastikan kelelehan geser. c. Rasio tegangan Von Misses serat tengah (st) terhadap serat atas (sa) pada panel tengah (pt) penampang link tanpa SEP dan dengan SEP sebesar 1,2. Data ini mengindikasikan penambahan SEP tidak mempengaruhi kontribusinya dalam kelelehan geser pada serat tengah (st) di panel tengah (pt). d. Penambahan SEP memperkecil rasio tegangan fvm1 panel tepi (pp) terhadap panel tengah (pt) pada serat atas (sa) penampang dari 1,21 menjadi 1,13. Data ini mengindikasikan pendistribusian tegangan terjadi dari panel tepi (pp) ke panel tengah (pt). e. Penambahan SEP memperkecil rasio tegangan fvm1 panel tepi (pp) terhadap panel tengah (pt) pada serat tengah (st) penampang dari 1 menjadi 0,98. Data ini juga mengindikasikan pendistribusian tegangan terjadi dari panel tepi (pp) ke panel tengah (pt). f.
Dari kesimpulan point (d) dan (e) menunjukkan penambahan SEP dalam kondisi elastik telah menyebabkan terjadi peningkatan distribusi tegangan dari panel tepi (pp) ke panel tengah (pt). Hal ini juga berlanjut dalam kondisi inelastik (plastik), dari hasil eksperimen terlihat terjadinya kelelehan dan regangan geser yang sama besar antar panel tepi (pp) dengan panel tengah (pt) link.
g. Peningkatan nilai beban (gaya geser) dalam setiap siklus dari link dengan SEP terhadap link tanpa SEP sebesar 5,2%. h. Kekakuan untuk model tanpa SEP didapatkan sebesar Ke1=133,79 kN/mm dan untuk model dengan SEP sebesar Ke2=140,75 kN/mm. Perbedaan yang terjadi sebesar 4,94 %. i.
Dari grafik Gambar IV.47 terlihat penambahan SEP menurunkan pencapaian tegangan Von Misses pada pelat sayap panel tepi (pp) sebesar 75% dengan perpindahan yang sama.
116
2,500
2,500 SEP(sa)
SEP(st)
Non.(sa)
Non.(st)
SEP(st)
Non.(sa)
Non.(st)
2,000
Vo n Misses (Mpa ) - P a nel Teng ah
2,000
Von Misses (Mpa) - Panel Tepi
SEP(sa)
1,500
1,000
500
0
1,500
1,000
500
0
0
2
4 6 Perpindahan Δ (mm)
8
10
0
2
(a)
4 6 Perpindahan Δ (mm)
8
10
(b)
Gambar IV.48 Tegangan Von Misses pelat badan link L=700 mm : (a) Panel tepi (b) Panel tengah
2,500
2,500 SEP.(pp) Non.(pp)
SEP.(pt)
SEP.(pt)
Non.(pp)
Non.(pt)
Non.(pt)
2,000
2,000
Von Misses (Mpa) - Serat Tengah
V on M isses (M p a) - S erat A tas
SEP.(pp)
1,500
1,000
500
1,500
1,000
500
0
0 0
2
4 6 Perpindahan Δ (mm)
(a)
8
10
0
2
4 6 Perpindahan Δ (mm)
8
10
(b)
Gambar IV.49 Tegangan Von Misses pelat badan link L=700 mm : (a) Serat atas (b) Serat tengah
117
2,500
2,500 SEP
SEP
Non
Non
2,000
Von Misses (Mpa) - Flens Tengah
Von Misses (Mpa) - Flens Pinggir
2,000
1,500
1,000
500
1,500
1,000
500
0
0
0
2
4 6 Perpindahan Δ (mm)
8
10
(a)
0
2
4 6 Pe rpindahan Δ (mm)
8
10
(b)
Gambar IV.50 Tegangan Von Misses pelat sayap link L=700 mm: (a) Panel tepi (b) Panel tengah
Dari tabel perhitungan pada lampiran C.7 sampai dengan C.10 dan dari grafik Gambar IV.48 sampai Gambar IV.50 diatas dapat disimpulkan untuk link tipe lentur L=700 mm sebagai berikut : a.
Link dengan SEP mencapai nilai Von Misses (fvm2) yang sedikit lebih besar jika dibandingkan dengan link tanpa SEP baik untuk panel tengah (rasio=9,27%) maupun panel tepi (rasio=7,93%). Nilai ini memperlihatkan persentase yang lebih besar jika dibandingkan dengan link geser, hal ini berarti SEP lebih berkontribusi pada link lentur dan penambahan SEP akan memberikan nilai perpindahan dan beban leleh yang berbeda.
b. Rasio tegangan Von Misses serat tengah (st) terhadap serat atas (sa) pada panel tepi (pp) penampang link tanpa SEP sebesar 0,783, sedangkan untuk link dengan SEP sebesar 0,9. Data ini juga mengindikasikan seperti pada link geser penambahan SEP meningkatkan tegangan fvm2 pada serat tengah (st) di panel tepi (pp) yang berarti berkontribusi meningkatkan pencapaian kelelehan geser. c.
Rasio tegangan Von Misses serat tengah (st) terhadap serat atas (sa) pada panel tengah (pt) penampang link tanpa SEP dan dengan SEP sebesar 1,08. Data ini juga mengindikasikan penambahan SEP tidak mempengaruhi kontribusinya dalam kelelehan geser pada serat tengah (st) di panel tengah (pt).
d. Penambahan SEP memperkecil rasio tegangan fvm2 panel tepi (pp) terhadap panel tengah (pt) pada serat atas (sa) penampang dari 1,38 menjadi 1,19. Data ini juga 118
mengindikasikan pendistribusian tegangan terjadi dari panel tepi ke panel tengah. e.
Penambahan SEP memperkecil rasio tegangan fvm2 panel tepi (pp) terhadap panel tengah (pt) pada serat tengah (st) penampang dari 1 menjadi 0,98. Data ini juga mengindikasikan pendistribusian tegangan terjadi dari panel tepi ke panel tengah.
f.
Peningkatan nilai beban dalam setiap siklus dari link dengan SEP terhadap link tanpa SEP sebesar 9,3%.
g. Kekakuan untuk model tanpa SEP didapatkan sebesar Ke1=61,02kN/mm dan untuk model dengan SEP sebesar Ke2=66,67 kN/mm. Perbedaan yang terjadi sebesar 8,48 %. h. Dari grafik Gambar IV.50 terlihat penambahan SEP menurunkan pencapaian tegangan Von Misses pada pelat sayap panel tepi (pp) sebesar 78% dengan perpindahan yang sama. Nilai ini lebih besar 3 % jika dibandingkan dengan link geser yang sebesar 75%.
Berdasarkan semua perhitungan yang dilakukan pada lampiran C untuk kedua jenis link lentur (L=700 mm) dan geser (L=450 mm) dapat di tarik kesimpulan umum sebagai berikut : a.
Pada link geser L=450 mm tanpa SEP diperoleh tegangan leleh Von Misses pelat badan sebesar fvm=516 MPa pada perpindahan sebesar δvy=2,25 mm. Sedangkan untuk link yang dengan SEP didapatkan sebesar δvsy=2,16 mm, perbedaan yang terjadi 4%. Sementara itu kelelehan Von Misses pelat sayap (fvml=490 MPa) untuk link tanpa SEP terjadi pada perpindahan δvy=3 mm dan sebesar δvsy=3,98 mm untuk link dengan SEP. Dari data ini terbukti link geser mengalami leleh pelat sayap yang lebih lambat dibandingkan dengan leleh pelat badan. Penambahan SEP semakin mempercepat leleh pelat badan serta memperlambat leleh pelat sayap sehingga memiliki konsekuensi semakin terjaminnya kelelehan geser.
b.
Pada link lentur L=700 mm tanpa SEP diperoleh tegangan leleh Von Misses sebesar fvm=516 MPa pada perpindahan sebesar δly=4,93 mm sedangkan untuk yang dengan SEP didapatkan sebesar δlsy=4,57 mm, perbedaan yang terjadi 119
sebesar 7,3%. Sementara itu kelelehan Von Misses pada pelat sayap (fvml=490 MPa) terjadi untuk link tanpa SEP pada perpindahan δly=4,22 mm dan sebesar δlsy=5,41 mm untuk link dengan SEP. Sama seperti link geser penambahan SEP pada link lentur juga semakin mempercepat leleh pelat badan dan memperlambat leleh pelat sayap. c.
Untuk panel tepi (pp) terlihat pada grafik tegangan Von Misses link lentur (L=700mm) pada serat atas (sa) lebih dominan daripada serat tengah (st). Sebaliknya pada link geser (L=450mm) tegangan Von Misses pada serat tengah (st) lebih dominan dari serat atas (sa). Hal ini mengindikasikan dominannya pengaruh tegangan lentur pada link lentur jika dibandingkan dengan link geser.
d.
Penambahan SEP pada link lentur mempunyai kecenderungan perubahan perilaku yang relatif sama dengan link geser yaitu menambah kontribusi dalam mendistribusikan tegangan dari panel tepi ke panel tengah.
IV.4.2. Penjelasan Terhadap Hasil Eksperimental
Perhitungan numerik yang dilakukan terhadap link geser dan link lentur memberikan penjelasan riil beberapa hal yang diamati selama pengujian siklik spesimen link sebagai berikut : a.
Penambahan SEP pada link : Ö Tidak mempengaruhi besaran perpindahan leleh dan beban leleh secara
signifikan. Meskipun dengan penambahan SEP kekakuan total spesimen sedikit meningkat sehingga menghasilkan gaya dalam yang sedikit lebih besar dari spesimen yang tanpa SEP, namun pada panel tepi (pp) momen inersia yang ada juga lebih besar. Akibat momen yang sedikit lebih besar dibagi dengan inersia yang juga besar maka akan menghasilkan tegangan yang hampir sama dengan spesimen tanpa SEP, ilustrasi ini terlihat pada Gambar IV.51.(a)-(b). Ö Menyebabkan terjadinya redistribusi tegangan dari panel tepi (pp) ke panel
tengah (pt). Hal ini menjelaskan fenomena hasil eksperimen tentang deformasi geser inelastik yang hampir sama besar antara panel tengah (pt) dengan panel tepi (pp) pada link sewaktu ditambahkan elemen SEP. Seperti
120
terlihat pada Gambar IV.51.(a)-(b) gaya geser akan meningkat untuk siklus perpindahan yang sama pada spesimen dengan SEP sebagai akibat penambahan kekakuan, namun nilai momen inersia pada panel tengah (pt) sama besar dengan spesimen tanpa SEP. Gaya geser yang lebih besar dibagi dengan momen inersia yang tidak berbeda akan meningkatkan tegangan pada panel tengah pelat badan (pt). Sedangkan pada panel tepi (pp) spesimen dengan SEP gaya geser yang lebih besar tadi dibagi dengan momen inersia yang juga lebih besar akan menghasilkan tegangan yang hampir sama dengan spesimen tanpa SEP. Argumen ini menjelaskan proses redistribusi tegangan dari panel tepi (pp) ke panel tengah (pt) pada spesimen dengan SEP. Ö Menyebabkan terjadinya redistribusi tegangan dari serat atas (sa) ke serat
tengah (st) penampang, hal ini semakin menjamin kelelehan geser. Ö Sedikit menambah kekakuan elastik model sebesar 4,94%, hasil sebesar ini
bukan suatu indikasi perbedaan. Jadi mendukung hasil eksperimen yang mengindikasikan penambahan SEP tidak akan terlalu mempengaruhi kekakuan elastik link. Ö Meningkatkan gaya geser dalam setiap siklus elastiknya, dari hasil numerik
menunjukkan angka sebesar 5,2%. Nilai ini tentunya tidak akan terlalu berbeda untuk siklus inelastik (plastik). Prediksi ini mempunyai sinkronisasi dengan hasil eksperimen, rasio gaya geser spesimen yang memakai SEP dengan tanpa SEP seperti pada Tabel IV.14 menunjukkan nilai yang diperoleh antara 2,3% sampai dengan 7,2% dengan rata-rata sebesar 4,7%. Ö Menjamin terjadinya kelelehan geser pelat badan dibandingkan kelelehan
lentur pelat sayap pada rentang perilaku elastik, kecenderungan ini berlaku sama dalam perilaku inelastik untuk menjamin deformasi geser pelat badan yang besar dalam kontribusi disipasi energi. b.
Perpindahan leleh link geser yang didapatkan dari hasil perhitungan numerik lebih kecil yaitu δvsy=2,25 mm jika dibandingkan dengan hasil eksperimental sebesar δy=8,1mm. Hal ini disebabkan karena perhitungan numerik memasukkan nilai kekakuan sambungan yang sangat ideal (full rigidity) jika dibandingkan dengan kekakuan spesimen yang sebenarnya pada proses eksperimental.
121
Semakin kaku sambungan semakin besar gaya-gaya dalam yang dihasilkan sehingga lebih cepat mengalami kelelehan pada perpindahan yang lebih kecil.
I1pp = I1pt
pp
pt
I2pp> I1pp
pt
pp
pp
M1pp
I2pt = I1pt
pt
I2pp> I1pp
pt
pp
M1pp M2pp V1
V1
M1pp
M2pp
M1pt
M2pp> M1pp M1pt
V2
V2
M2pt> M1pt
M1pp M2pt> M1pt
V1
M2pp> M1pp
V1 V2>V1
(a)
V2>V1
(b)
I1pp = Inersia panel tepi spesimen 1
I2pp = Inersia panel tepi spesimen 2
I1pt = Inersia panel tengah spesimen 1
I2pt = Inersia panel tengah spesimen 2
M1pp = Momen ujung spesimen 1
M2pp = Momen ujung spesimen 2
M1pt = Momen tengah spesimen 1
M2pt = Momen tengah spesimen 2
V1 = Gaya geser ujung spesimen 1
V2 = Gaya geser ujung spesimen 2
Gambar IV.51 Kekakuan dan gaya dalam link : (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2 (SEP)
IV.5.
Kesesuaian Terhadap Peraturan
IV.5.1. Persyaratan Sambungan Link
Dalam Seismic Provision for Structural Steel Building (AISC), ditetapkan sejumlah persyaratan yang berhubungan dengan sambungan link-kolom atau link-beam outside link sebagai berikut : Ö
Sambungan harus mampu melewati sudut rotasi maksimum yang berdasarkan panjang maksimum link.
Ö
Kekuatan sambungan minimal sama dengan kuat geser nominal link Vn.
Ö
Adanya hasil pengujian siklik dengan protokol pembebanan sesuai appendiks S, AISC Seismic Provision for Structural Steel Building[2]. 122
Perbandingan hasil pengujian dari kedua spesimen dengan persyaratan dalam AISC terlihat dalam Tabel IV.19 Dibawah ini :
Tabel IV.19 Perbandingan persyaratan AISC dengan hasil eksperimen.
Syarat
AISC
Spesimen 1
Spesimen 2
Keterangan
θp(rad)
0,08
0,126
0,18
Ok
Vn (kN)
313,32(*)
351,82
392,13
Ok
1
1,12
1,25
Ok
-
Ok
Ok
Normalisasi Vn (Overstrength) Siklik
(*) Dihitung berdasarkan Rumus II.1.(a)
Dari hasil pengujian laboratorium spesimen link dan perhitungan berdasarkan rumus II.1.(a) didapatkan nilai overstrength untuk spesimen 1 sebesar Ov1=1,12 dan untuk spesimen 2 sebesar Ov2=1,25. Hal ini menuntut adanya koefisien keamanan terhadap aksi perkuatan lebih dari material spesimen sebagai antisipasi terpenuhinya persyaratan sambungan yang lebih kuat dari gaya geser nominal link. Dengan demikian dipakainya nilai overstrength sebesar 1,25 pada perhitungan perencanaan elemen sambungan baut dan pelat ujung dalam lampiran A sangat akurat.
Dari tabel diatas terlihat hasil pengujian untuk kedua spesimen memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Sesimic Provision for Structural Steel Building (AISC)[2].
IV.5.2. Faktor Koreksi Disain Spesimen
Mutu baja dari hasil uji kupon material link menunjukkan nilai yang jauh berbeda dari mutu baja standar manufaktur (Bj-41) sebagaimana tercantum dalam SNI031729-2002. Perbandingan nilai ini terlihat dalam Tabel III.1 sampai Tabel III.3. Perbedaan mutu baja yang cukup signifikan tersebut mengharuskan dilakukannya koreksi perhitungan melalui review disain terhadap hasil disain elemen sambungan
123
link (lampiran A.1. dan A.2.). Hasil koreksi dari review disain yang dilakukan seperti tercantum pada Tabel IV.20. Tabel IV.20 Perbandingan hasil disain elemen sambungan
Mutu Standar
Elemen
fy = 250 MPa
Mutu Uji Kupon fyw=516 Mpa (Pelat badan) fyf=490 MPa (Pelat sayap)
Diameter Baut (mm)
19
25
Tebal Pelat ujung (mm)
22
25 atau 30
Penerapan konsep disain dalam perencanaan struktur dan elemen sambungan berdasarkan data mutu baja standar manufaktur di Indonesia perlu dilakukan penyesuaian disain dengan menggunakan koefisien pengali (multiplier) terhadap nilai kelelehan (fy) dan nilai ultimit (fu) material. Koefisien yang disarankan tersebut seperti terlihat pada Tabel IV.21. Tabel IV.21 Koefisien pengali (multiplier) mutu baja
Lokasi
Koefisien Pengali
Koefisien Pengali
Material
Kelelehan
Ultimit
Pelat sayap
2,0
1,5
Pelat badan
2,1
1,5
Pelat ujung
1,5
1,45
Koefisien ini dalam standar AISC di kenal dengan nama koefisien RY, akan tetapi perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam secara statistik dan probabilistik dalam penetapan nilai koefisien yang lebih eksak berdasarkan sejumlah data dari berbagai industri manufaktur yang tersebar di seluruh Indonesia.
124
125