BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Gorontalo memiliki letak yang sangat strategis sebagai pusat
akses lintas daerah karena posisinya berada di titik tengah wilayah Provinsi Gorontalo. Terdiri dari 18 Kecamatan, 191 Desa, dan 14 Kelurahan. Letak geografis berada diantara 0°30’ - 0°54’ Lintang Utara dan 122°07’ - 123°44’ Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah : -
Sebelah utara berdasarkan dengan Kabupaten Gorontalo Utara (Gorut)
-
Sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Tomini
-
Sebelah timur berbatasan dengan Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Boalemo Sebelum dimekarkan menjadi 5 kabupaten, luas wilayah Kabupaten
Gorontalo mencapai 99.47% dari luas Provinsi Gorontalo (12.215,44 Km2). Sampai dengan tahun 2011 luas Kabupaten Gorontalo tinggal ±1.806,68 Km2 atau hanya tinggal 14,79% dari luas wilayah sebelum pemekaran (17,34% dari luas wilayah provinsi gorontalo). Bila dibandingkan dengan wilayah Indonesia, maka wilayah Kabupaten Gorontalo hanya 0,32%. Kabupaten Gorontalo memiliki 52 buah sungai besar dan kecil yang bermuara pada 1 danau(danau limboto). Sumber air untuk keperluan penduduk disuplai melalui PDAM, namun sebagian besar masyarakat masih menggunakan air tanah dangkal dan sumur serta sebagian yang lainnya masih menggunakan air sungai.
22
Gambar 2. Peta Kabupaten Gorontalo Pertanian masih meruapakn penggerak utama perekonomian Kabupaten Gorontalo. Tanaman bahan makanan dan perkebunan rakyat menjadi andalan sektor ini. Pada tahun 2011, luas panen tanaman jagung menurun hingga 10.000 hektar lebih. Di sisi lain, luas panen padi sawah meningkat 4.000 hektar. Dengan begitu, produksi jagung diperkirakan mencapai 92 ribu ton dan padi sawah sebnayak 125 ribu ton. Potensi peternakan di Kabupaten Gorontalo ditunjang dengan ketersediaan padang penggembalaan yang cukup memadai baik dari segi ketersediaan rumput alam dan hijauan pakan ternak yang tumbuh disekitar areal kehutanan dan perkebunan, maupun limbah pertanian dan perkebunan. Adapun populasi ternak sapi potong di Kabupaten Gorontalo berdasarkan data statistik Kabupaten tahun 2011 adalah 73.712 ekor.
23
B.
Keadaan Umum Responden Dari hasil penyebaran kuesioner diperoleh data bahwa responden dalam
penelitian ini sebanyak 32 orang, sebagaimana dalam Tabel berikut : Tabel 2. Jumlah Responden Penerima Bantuan Sosial Ternak Sapi di Kabupaten Gorontalo No Nama Kelompok Jumlah Anggota Proporsional Responden (orang) (%) (Orang) 1. Kelompok Tiga Berlian 10 40 4 2. Kelompok Mawar 10 40 4 3. Kelompok harapan 10 40 4 4. Kelompok Angin segar 10 40 4 5. Kelompok Mohuyula 10 40 4 6. Kelompok karya baru 10 40 4 7. Karya Bersama 10 40 4 8. Agro Jaya 10 40 4 Total Responden 80 32 Sumber : Data Olahan, 2013 a. Karakteristik Peternak 1. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan peternak penerima bantuan sosial sapi potong tersaji pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Total Sumber : Data Olahan, 2013
Peternak (orang) 24 6 2 32
Presentase (%) 75,00 18,75 6,25 100
Berdasarkan tabel tersebut, sebagian besar peternak memiliki pendidikan setingkat SD sebanyak 75% dan tingkat pendidikan terendah ada pada kategori SMA sebanyak 6,25%. Data ini menunjukkan bahwa dengan tingkat pendidikan
24
peternak hanya berada pada tingkat terendah akan sangat menyulitkan peternak dalam hal mengadopsi teknologi di lapangan. Tingkat pendidikan peternak akan mempengaruhi pola berpikir, kemampuan belajar, dan taraf intelektual. Dengan pendidikan formal maupun informal maka peternak akan memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas sehingga lebih mudah merespon suatu inovasi yang menguntungkan bagi usahanya. 2. Umur Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Umur merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kerja dan pola pikir peternak. Sejalan dengan meningkatnya umur, maka semakin tinggi pula pengalaman orang tersebut. Klasifikasi umur peternak tersaji pada Tabel 4 berikut : Tabel 4. Umur Peternak Umur (tahun) 29 – 40 41 – 52 53 – 64 65 – 76 Total Sumber : Data Olahan, 2013
Peternak (orang) 17 11 3 1 32
Presentase (%) 53,13 34,37 9,37 3,13 100
Berdasarkan tabel di atas, sebagian besar umur peternak berada pada kategori 29 – 40 tahun sebanyak 53,13%. Hal ini sesuai dengan batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15-64 tahun yang merupakan usia produktif (Mantra,1985).
25
3. Pengalaman Beternak Pengalaman beternak pada kelompok penerima bantuan sosial dapat dilihat pada Tabel 5 berikut: Tabel 5. Pengalaman beternak Pengalaman Beternak ≤ 3 tahun 4 tahun ≥ 5 tahun Total Sumber : Data Olahan, 2013
Peternak (orang) 3 2 27 32
Presentase (%) 9,37 6,25 84,38 100
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa pengalaman beternak anggota penerima bantuan sosial terbanyak berada pada kategori lima tahun atau lebih dari lima tahun sebanyak 84,38% sedangkan yang paling sedikit terdapat pada kategori 4 tahun sekitar 6,25%. Pengalaman beternak tiga tahun atau kurang dari tiga tahun sekitar 9,37%. Pengalaman beternak dalam memelihara ternak dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan peternak dalam mengembangkan usahanya. Semakin lama pengalaman beternak sapi potong maka tingkat keterampilan dan pengetahuan peternak dalam menerapkan teknologi akan semakin mudah dan cepat. Peternak pada kelompok penerima bantuan sosial diberi pembekalan dengan pengetahuan praktis beternak sapi melalui penyuluhan dan bimbingan langsung yang dilaksanakan oleh dinas terkait dalam hal ini Dinas Kelautan, Perikanan, dan Peternakan Kabupaten Gorontalo.
26
b. Sistem Pemeliharaan Ternak Usaha peternakan yang dijalankan oleh kelompok ini adalah usaha pembibitan sehingga sistem pemeliharaan ternak yang dilakukan oleh anggota kelompok adalah sistem pemeliaharaan secara semi intensif dimana ternak dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari. Selain itu juga dilakukan dengan cara ekstensif yaitu ternak di lepas bebas atau tidak dikandangkan. Dengan pemeliharaan ternak yang baik maka perkembangbiakan dan kesehatan juga baik. Menurut Susilorini (2008), Sistem pemeliharaan ternak dikategorikan dalam tiga cara yaitu sistem pemeliharaan secara intensif yaitu ternak dikandangkan secara terus menerus, sistem pemeliharaan semi intensif yaitu ternak dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari, dan sistem pemeliharaan secara ekstensif yaitu sistem pemeliharaan ternak dengan cara ternak dilepaskan begitu saja di padang penggembalaan atau tidak dikandangkan. Pakan yang diberikan pada ternak yaitu berupa pakan hijauan. Pakan hijauan yang diberikan berupa rumput lapangan, rumput gajah dan hasil limbah pertanian. Dengan menggunakan sistem pemeliharaan secara semi intensif maka untuk pemberian pakan pada pagi hari cukup diberikan pakan hijauan yang ada di padang penggembalaan yang disesuaikan dengan daya tampung padang penggembalaan tersebut untuk mencukupi kebutuhan penggembalaan setiap unit ternak.
27
C.
Tingkat Keberhasilan Program Bantuan Sosial Sapi Potong Tingkat keberhasilan suatu program pengembangan sapi potong dapat
diketahui melalui peningkatan populasi dan pendapatan peternak.
a.
Peningkatan Populasi Ternak Peningkatan populasi ternak kelompok penerima bantuan dapat dilihat pada
Tabel 6 berikut : Tabel 6. Peningkatan Populasi Ternak Nama Jumlah Induk Jumlah kelahiran Kelompok (Ekor) (Ekor) Tiga Berlian 11 9 Angin Segar 11 8 Karya Bersama 11 8 Mawar 11 7 Harapan 11 9 Karya baru 11 8 Mohuyula 11 2 Agro jaya 11 1 Total 88 52 Sumber: Data Olahan, 2013
Presentase Kelahiran (%) 17,31 15,38 15,38 13,47 17,31 15,38 3,85 1,92 100
Berdasarkan Tabel di atas, masing-masing kelompok penerima bantuan sosial mendapatkan induk sapi 10 ekor dan pejantan 1 ekor dengan presentase sejumlah 12,5% dari total populasi ternak kelompok penerima bantuan sosial. Selama berjalannya program, angka kelahiran sapi bertambah sejumlah 52 ekor dari masing-masing kelompok dengan presentase tertinggi 17,31% pada Kelompok Tiga Berlian dan Kelompok Harapan. Kelompok Angin Segar, Karya Bersama, dan Karya Baru sejumlah 15,38%, Kelompok Mawar 13,47%, Kelompok Mohuyula 3,83% dan terendah populasinya 1,92% pada Kelompok Agro Jaya. Kelompok Mohuyula dan Agro jaya termasuk dalam kategori
28
peningkatan populasi terendah. Hal ini disebabkan oleh manajemen pemeliharaan yang kurang sehingga sapi induk yang diberikan oleh pemerintah tersebut tidak berproduksi dengan baik. Permasalahan ini tidak lepas perannya peternak dan lembaga terkait dalam menyediakan informasi-informasi mengenai usaha ternak sapi potong, baik itu teknologi pakan, reproduksi, pemeliharaan, penyakit yang dapat meningkatkan produksi sapi. Tersedianya berbagai sumber informasi yang dapat diperoleh oleh seseorang, tergantung pada karakteristik peternak meliputi umur, pendidikan, lamanya beternak. Manajemen pemeliharaan yang dilaksanakan peternak tidak lepas bagaimana kondisi perbedaan karakteristik sosial ekonomi peternak tersebut. Pemeliharaan yang baik dapat memperhatikan pengelolaan reproduksi, pemberian pakan/minum, sanitasi lingkungan, sanitasi ternak sapi, dan pengendalian penyakit.
b. Peningkatan Pendapatan Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penyebaran kuisioner di lapangan, diperoleh pendapatan rata-rata anggota kelompok sebelum diadakan program pengembangan sapi potong sebesar Rp 500.000,-/bulan. Pada tahun 2010 masingmasing kelompok mendapatkan bantuan induk sebanyak 10 ekor. Seiring berjalannya program, pada tahun 2012 masing-masing kelompok menghasilkan sebanyak 52 ekor sapi. Dengan asumsi bahwa pada waktu 24 bulan mendapatkan 1 ekor induk dengan perhitungan harga per ekor adalah Rp 7.000.000. Untuk mengetahui peningkatan pendapatan masing-masing kelompok dapat dilihat pada tabel 7 berikut :
29
Tabel 7. Peningkatan Pendapatan Nama Kelompok Angka Kelahiran (ekor) Tiga Berlian 9 Angin Segar 8 Karya Bersama 8 Mawar 7 Harapan 9 Karya Baru 8 Mohuyula 2 Agro Jaya 1 Sumber : Data Olahan,2013
Pendapatan Kelompok (Rp) 2.625.000 2.333.000 2.333.000 2.041.600 2.625.000 2.333.000 583.000 291.600
Pendapatan Anggota (Rp) 262.500,233.300,233.300,204.160,262.500,233.300,58.300,29.160,-
Berdasarkan Tabel di atas, terlihat bahwa pendapatan tertinggi pada Kelompok Tiga Berlian dan Kelompok Harapan sejumlah Rp 262.500,/orang/bulan. Sedangkan terendah pendapatannya pada Kelompok Mohuyula dan Agro jaya sejumlah Rp.58.300/orang/bulan dan Rp.29.160,-/orang/bulan. Hal ini disebabkan oleh angka kelahiran sapi pada kelompok Mohuyula dan Agrojaya lebih sedikit dibanding dengan kelompok-kelompok lainnya sehingga pendapatan yang dihasilkan juga sangat sedikit untuk masing-masing anggota kelompok.
D.
Analisis Finansial Usaha Pengembangan Sapi Potong Kelompok penerima bantuan sosial di Kabupaten Gorontalo menjalankan
usaha pembibitan, sehingga untuk menghasilkan keuntungan atau profit dalam usaha pengembangan sapi potong ini akan membutuhkan waktu yang relatif lama. Dalam menganalisa kelayakan usaha secara finansial digunakan asumsi pengeluaran dan pendapatan selama jangka waktu 5 tahun untuk menguji kelayakan usaha pengembangan sapi potong.
30
Untuk mengetahui kelayakan usaha pengembangan sapi potong Kelompok penerima Bantuan Sosial tersaji pada Tabel 8 berikut : Tabel 8. Analisis Finansial Pengembangan Sapi Potong Program Bantuan Sosial Di Kabupaten Gorontalo Analisis Finansial Nama Kelompok BCR NPV IRR Tiga Berlian 3,386 150.253,7 78,89 Angin Segar 3,203 138.729,7 74,09 Karya Bersama 3,203 138.729,7 74,09 Mawar 3,020 127.205,7 68,83 Harapan 3,386 150.253,7 78,89 Karya Baru 3,203 138.729,7 74,09 Mohuyula 2,105 69.585,7 42,55 Agro Jaya 1,922 58.061,7 37,25 Sumber : Data Olahan,2013 Berdasarkan Tabel di atas, nilai BCR tertinggi 3,386 (Kelompok Tiga Berlian dan Kelompok Harapan), Kelompok Angin Segar, Karya Bersama dan Karya Baru sebesar (3,203), Kelompok Mawar (3,020), sedangkan terendah pada kelompok Mohuyula (2,105) dan Kelompok Agro Jaya (1,922). Karena nilai BCR pada
masing-masing
kelompok
lebih
besar
dari
satu
maka
program
pengembangan sapi potong melalui bantuan sosial layak untuk dilanjutkan (go). Artinya bahwa setiap Rp. 1,- yang dikeluarkan dalam menjalankan usaha pengembangan sapi potong melalui program bantuan sosial akan menghasilkan keuntungan sebesar nilai BCR pada masing-masing kelompok tersebut. BCR merupakan perbandingan antara total net benefit positif yang telah didiscount dengan total net benefit negatif yang telah didiscount. Dari Analisis finansial di atas diperoleh nilai NPV terbesar pada kelompok Tiga Berlian dan Harapan (150.253,7) dan terendah pada Kelompok Mohuyula
31
dan Agro Jaya masing-masing 69.585,7 dan 58.061,7. Karena nilai NPV masingmasing kelompok lebih besar dari nol (> 0) maka program pengembangan sapi potong melalui bantuan sosial layak untuk dilanjutkan (go). Perhitungan NPV adalah menghitung net benefit yang telah didiscount dengan menggunakan sosial opportunity cost of capital (SOCC) sebagai discount faktor. Nilai IRR pada tabel di atas diperoleh nilai tertinggi (78,89), (74,09), (68,83) dan terendah (42,55 dan 37,25). Nilai SOCC = 10%. Karena nilai IRR masing-masing kelompok lebih besar dari SOCC maka program pengembangan sapi potong melalui bantuan sosial layak untuk dilanjutkan (go). IRR menunjukkan besarnya tingkat discount rate pada saat NPV sama dengan nol. Cara mencari tingkat discount faktor yang menghasilkan NPV = 0 adalah dengan cara mencoba-coba yaitu mencari tingkat discount faktor (i1) yang menghasilkan nilai NPV positif mendekati nol serta tingkat discount faktor (i2) yang menghasilkan nilai NPV negatif mendekati nol.
32