BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe
Merupakan Rumah Sakit Umum (RSU) terbesar yang ada di Wilayah Provinsi Gorontalo dengan tipe B yang terletak di jalan Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kelurahan Wongkaditi, Kecamatan Kota Utara, Kota Gorontalo. Rumah Sakit ini juga merupakan salah satu Rumah Sakit alternatif dan rujukan utama untuk berobat bagi masyarakat di Provinsi Gorontalo serta sebagian masyarakat dari luar Provinsi Gorontalo, seperti masyarakat dari Provinsi Sulawesi Tengah (Kab. Buol dan Kab. Parigi Moutong) dan masyarakat Provinsi Sulawesi Utara (Kab. Bolaang Mongondow Utara). Dimana daerah-daerah tersebut berbatasan langsung dengan wilayah Provinsi Gorontalo. Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 16 Mei sampai dengan 31 Mei di Ruang Perawatan Bedah RSUD. Prof. Dr. Hi. Aloe Saboe Kota Gorontalo. Hasil penelitian ini diperoleh dari pembagian kuisioner kepada responden. 4.2.
Hasil Penelitian Berdasarkan hasil pengumpulan data yang telah dilakukan oleh peneliti,
di dapatkan secara accidental jumlah responden yang di rencanakan untuk operasi yakni sebanyak 51 responden. Namun, dari 51 responden ditentukan secara purposive dengan melihat kriteria, terdapat 7 responden yang telah memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien telah direncanakan operasi dan bersedia menjadi 47
48
responden tetapi dalam kondisi yang lemah ditempat tidur. Sehingga responden yang memenuhi kriteria inklusi yang di berikan kuesioner yaitu sebanyak 44 responden. Hasilnya disajikan melalui analisa univariat dan bivariat dengan menggunakan program SPSS. 4.2.1. Hasil Analisa Univariat Analisis
univariat
atau
analisis
deskriptif
dilakukan
untuk
mendskripsikan dan melihat distribusi dari umur, jenis kelamin, pendidikan, , pendapatan (status ekonomi), diagnosa penyakit, dan pengalaman operasi sebelumnya. Analis data univariat dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS dan disajikan dalam bentuk tabel. 4.2.1.1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Pendidikan, dan Pendapatan (Status Ekonomi)
Jenis
Kelamin,
Umur responden menurut Depkes RI (2009) dibagi menjadi kelompok remaja yang terdiri 12-25 tahun, dewasa terdiri dari umur 26-45 tahun dan lansia yaitu umur dari 46-65 tahun yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan tingkat pendidikan responden yaitu SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi serta dengan pendapatan responden baik pendapatan rendah maupun tinggi yang di kategorikan berdasarkan standar UMR Provinsi Gorontalo Tahun 2013 yaitu sebesar Rp. 1.175.000,00. Distribusi respondennya dapat dilihat pada tabel 4.1.
49
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan Pendidikan, Jaminan Kesehatan, dan Pendapatan (Status Ekonomi) di Ruang Perawatan Bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Tahun 2013 n = 44 Karakteristik Umur 1) Remaja : 12-25 Tahun 2) Dewasa : 26-45 Tahun 3) Lansia : 46-65 Tahun Jenis Kelamin 1) Laki-laki 2) Perempuan Pendidikan 1) SD 2) SMP 3) SMA 4) Perguruan Tinggi Pendapatan 1) Penghasilan Rendah < Rp. 1.175.000,00 2) Penghasilan Tinggi > atau = Rp. 1.175.000,00 Sumber : data primer
Jumlah
%
19 10 15
43.2 22.2 34.1
17 27
38.6 61.4
14 8 13 9
31.8 18.2 29.5 20.5
16
36.4
28
63.6
Dari hasil analisis tentang distribusi responden berdasarkan umur terdapat responden yang diteliti berusia 17 – 65 tahun yang terdiri dari remaja, dewasa dan lansia, dan jumlah responden terbanyak terdapat pada kelumpok umur remaja yaitu sebanyak 19 orang (43.2 %), sedangkan kelompok umur yang paling sedikit terdapat pada kelompok umur dewasa yaitu sebanyak 10 orang (22.2 %). Sementara responden perempuan lebih banyak yaitu 27 orang (61.4 %) daripada laki-laki sebanyak 17 orang (38.6 %). Sedangkan dalam kategori pendidikan, dengan jumlah pendidikan SD yang terbanyak yaitu 14 orang (31.8 %), kemudian
50
SMA sebanyak 13 orang (29.5 %), Perguruan Tinggi sebanyak 9 orang (20.5 %) dan yang berpendidikan SMP sebanyak 8 orang (18.2 %). Adapun responden yang memiliki pendapatan tinggi lebih banyak yaitu 28 orang (63.6 %) dibandingkan dengan yang memiliki pendapatan rendah yaitu 16 orang (36.4 %). 4.2.1.2. Distribusi Responden Berdasarkan Penyakit Distribusi penyakit responden yang akan menjalani operasi dapat dilihat pada tabel 4.2 Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Penyakit di Ruang Perawatan Bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Tahun 2013 Penyakit App (Appendisitis) Hernia DM (Diabetes Melitus) Tumor Payudara Tumor Patella Faringioma Luka Tusuk Benjolan bawah tulang Iga Benjolan Leher Kanan Combutio Fraktur Vesikolitiasis BPH Hematuria Total Sumber : data primer
Jumlah
%
18 5 6 4 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 44
40.9 11.4 13.6 9.1 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 4.5 2.3 2.3 2.3 100
Dari hasil analisis di dapatkan bahwa responden yang paling banyak direncanakan melakukan operasi dengan penyakit App (Appendisitis) yaitu 18 orang (40.9 %), sedangkan responden yang paling sedikit direncanakan untuk
51
melakukan operasi adalah Tumor Payudara, Tumor Patella, Faringioma, Luka Tusuk, Benjolan bawah tulang iga, Benjolan Leher Kanan, Combutio, Vesikolitiasis, BPH dan Hematuria yaitu masing-masing berjumlah 1 orang (2.3 %). 4.2.1.3. Distribusi Responden Sebelumnya
Berdasarkan
Pengalaman
Operasi
Distribusi pengalaman responden baik yang pernah maupun belum pernah melakukan operasi sebelumnya dapat dilihat pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pengalaman Operasi Sebelumnya di Ruang Perawatan Bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Tahun 2013 Pengalaman Operasi Sebelumnya Pernah Belum Pernah Total Sumber : data primer
Jumlah
%
18 26 44
40.9 59.1 100
Dari hasil analisis responden yang belum pernah melakukan operasi lebih banyak yaitu 26 orang (59.1 %) daripada yang pernah mempunyai pengalaman operasi sebanyak 18 orang (40.9 %). 4.2.1.4. Distribusi Responden Berdasarkan Mekanisme Koping Distribusi responden berdasarkan mekanisme kopingnya dibagi menjadi dua kategori yaitu koping adaptif dan koping maladaptif dapat dilihat pada tabel 4.4.
52
Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Mekanisme Koping di Ruang Perawatan Bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Tahun 2013 Mekanisme Koping
Jumlah
%
27 17 44
61.4 38.6 100
Koping adaptif Koping maladaptif Total Sumber : data primer
Dari hasil analisis didapatkan jumlah responden dengan koping yang adaptif adalah 27 orang (61.4 %) dan koping maladaptif sebanyak 17 orang (38.6 %). 4.2.1.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kecemasan Distribusi responden berdasarkan kecemasan dibagi menjadi lima kategori yaitu tidak cemas, kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat, dan panik (sangat berat). Namun, dari hasil yang didapatkan tidak terdapat responden yang tidak cemas dan mengalami kepanikan. Distribusinya dapat dilihat pada tabel 4.5. Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kecemasan di Ruang Perawatan Bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Tahun 2013 Kecemasan Kecemasan Ringan Kecemasan Sedang Kecemasan Berat Total Sumber : data primer
Jumlah 13 13 18 44
% 29.5 29.5 40.9 100
53
Dari hasil analisis didapatkan bahwa responden yang mengalami cemas ringan sebanyak 13 orang (29.5 %), cemas sedang sebanyak 13 orang (29.5 %) dan cemas berat sebanyak 18 orang (40.9 %). 4.2.1.6. Distribusi Karakteristik Responden Dengan Kecemasan Distribusi Karakterisrik responden seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan dan pengalaman operasi sebelumnya dengan kecemasan dapat dilihat pada tabel 4.6 yaitu sebagai berikut.
54
Tabel 4.6 Distribusi Karakteristik Responden dengan Kecemasan di Ruang Perawatan Bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Tahun 2013 n cemas ringan = 13 (29.5 %)
n cemas sedang = 13 (29.5 %)
n cemas berat = 18 (40.9 %) Karakteristik
Cemas Ringan
n Umur 1) Remaja : 12-25 Tahun 4 2) Dewasa : 26-45 Tahun 4 3) Lansia : 46-65 Tahun 5 Jenis Kelamin 1) Laki-laki 8 2) Perempuan 5 Pendidikan 1) SD 2 2) SMP 3 3) SMA 6 4) Perguruan Tinggi 2 Pendapatan 1) Penghasilan Rendah 3 2) < Rp. 1.175.000,00 3) Penghasilan Tinggi 4) > atau = Rp. 10 1.175.000,00 Pengalaman Operasi Sebelumnya 10 1) Pernah 3 2) Belum Pernah Sumber : data primer
Cemas Sedang
Cemas Berat
%
n
%
n
%
21.1 40 33.3
4 2 7
21.1 20 46.7
11 4 3
57.9 40 20
47.1 18.5
5 8
29.4 29.6
4 14
23.5 51.9
14.3 37.5 46.2 22.2
5 1 3 4
35.7 12.5 23.1 44.4
7 4 4 3
50 50 30.8 33.3
18.8
8
50
5
31.2
35.7
5
17.9
13
46.4
55.6 11.5
7 6
38.9 23.1
1 17
5.6 65.4
Keterangan : n = jumlah Dari hasil analisis didapatkan bahwa responden yang paling banyak menunjukkan kecemasan terdapat pada kelompok remaja dengan tingkat
55
kecemasan berat yaitu 11 orang (57.9 %), berdasarkan jenis kelamin perempuan paling banyak mengalami kecemasan berat yaitu 14 orang (51.9 %), dengan tingkat pendidikan SD yaitu sebanyak 7 orang (50 %) dan SMP sebanyak 4 orang (50 %). Sementara berdasarkan pendapatan responden yang paling banyak cemas berat terdapat pada responden yang memiliki pendapatan tinggi adalah 13 orang (46.4 %), dengan belum pernah memiliki pengalaman operasi sebelumnya sebanyak 17 orang (65.4 %). 4.2.2. Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk melihat ada tidaknya hubungan mekanisme koping dengan kecemasan pada pasien pre operasi di ruang bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Analisis data secara statistik yaitu melalui uji pearson chi-square dengan nilai p value = 0.05. 4.2.2.1. Hubungan Mekanisme Koping dengan Kecemasan pada Pasien Pre Operasi Hubungan mekanisme koping dengan kecemasan pada pasien pre operasi di Ruang Perawatan Bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe disajikan pada tabel 4.7.
56
Tabel 4.7 Hubungan Mekanisme Koping dengan Kecemasan pada Pasien Pre Operasi di Ruang Perawatan Bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Tahun 2013 Kecemasan Total
Cemas Ringan
Cemas Sedang
Cemas Berat
n
%
N
%
n
%
n
%
Koping adaptif
13
48.1
10
37.0
4
14.8
27
61.4
Koping maladaptive
0
0
3
17.6
14
82.4
17
38.6
13
29.5
13
29.5
28
40.9
44
100
Mekanisme Koping
Jumlah
p value
Sumber : data primer Dari hasil analisis hubungan mekanisme koping dengan kecemasan pada pasien pre operasi diperoleh bahwa responden yang kopingnya adaptif, 13 orang (48.1 %) yang mengalami kecemasan ringan, 10 orang (37.0 %) yang mengalami kecemasan sedang, dan responden yang mengalami kecemasan berat sebanyak 4 orang (14.8 %) sementara responden yang koping maladaptif, tidak terdapat responden yang mengalami kecemasan ringan tetapi yang mengalami kecemasan sedang terdapat 3 orang (17.6 %) sementara yang mengalami kecemasan berat terdapat 14 orang (82.4 %). Berdasarkan hasil uji statistik pearson chi-square didapatkan nilai p value = 0.000 (p < 0,05) maka dapat disimpulkan ada hubungan antara mekanisme koping dengan kecemasan pada pasien pre operasi.
0.000
57
4.3.
Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya hubungan antara
mekanisme koping dengan kecemasan pada pasien pre operasi di Ruang Perawatan Bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Sampel pada penelitian ini berjumlah 44 sampel yang ditentukan dengan teknik purposive sampling melalui pertimbangan peneliti berdasarkan kriteria inklusi yaitu pasien yang telah direncanakan untuk operasi sesuai prosedur di Ruang Perawatan Bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe dan bersedia menjadi responden yang sudah dipilih dari 51 sampel yang sebelumnya ditentukan secara accidental sampling. Adapun 7 sampel yang tidak dijadikan responden adalah sampel yang telah termasuk dalam kriteria inklusi namun kondisi pasien masih dalam keadaan lemah untuk dijadikan responden dalam penelitian maka telah menjadi kriteria eksklusi.. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa responden dengan koping maladaptif paling banyak menunjukkan adanya kecemasan berat yaitu sebanyak 14 orang (82.4 %), kecemasan sedang sebanyak 3 orang (17.6 %) dan kecemasan ringan 0 %. Hal ini menunjukkan bahwa individu masih belum bisa mengatasi perasaan kecemasan yang dirasakannya. Menurut asumsi peneliti, kecemasan tersebut
dikarenakan
adanya
ketidakmampuan
dari
responden
untuk
menyesuaikan diri ataupun beradaptasi terhadap masalah operasi yang dihadapinya saat ini. sehingga mekanisme koping menjadi maladaptif dan kecemasan menjadi tidak teratasi. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi kecemasan dimana sebagian responden yang akan melakukan operasi selalu mudah terkejut, sering mengalami gangguan tidurnya, sering sulit untuk berkonsentrasi, bahkan
58
responden sering murung dan merasa kurang bergairah dalam melakukan aktivitas apapun karena sering memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan operasi serta sering merasakan ketegangan (Dilihat pada lampiran jawaban kuesioner). Sedangkan responden dengan koping adaptif, paling banyak menunjukkan kecemasan ringan sebanyak 13 orang (48.1 %), kecemasan sedang sebanyak 10 orang (37.0 %) dan kecemasan berat sebanyak 4 orang (14.8 %). Sehingga individu dengan koping yang adaptif lebih banyak merasakan kecemasan ringan daripada kecemasan berat. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi kecemasan dimana sebagian besar responden tidak pernah merasa takut untuk melakukan operasi ataupun takut ditinggal sendirian, tidak pernah merasa gemetaran, dan tidak penah mengalami gejala mual/muntah, nafas terasa cepat dan pendek, serta tidak pernah mengalami gangguan pada pendengaran bahkan sangat jarang merasa tersinggung, tegang, gelisah dan tidak tenang, mimpi buruk dan jarang mengalami gejala seperti nyeri pada otot-otot, denyut nadi cepat, dada tertekan, sering BAK ataupun mulut terasa kering, pusing atau sakit kepala. Meskipun dengan koping yang adaptif individu masih merasakan cemas, maka kecemasan individu tersebut bisa saja karena faktor lainnya seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, status ekonomi dan pengalaman menjalani operasi sebelumnya (Dilihat pada lampiran jawaban kuesioner). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa mekanisme koping ada hubungan yang bermakna dengan kecemasan pada pasien pre operasi di Ruang Perawatan Bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Dari hasil uji
59
bivariat diperoleh nilai p value = 0.000 (p < 0.05) sehingga ada hubungan yang bermakna antara mekanisme koping dengan kecemasan pada pasien pre operasi. Penggunaan koping yang maladaptif dapat menimbulkan respon negatif dengan munculnya reaksi mekanisme pertahanan tubuh dan respon verbal yang tidak efektif (Suryani dan Widyasih (2008) dalam P. Rini (2012). Sedangkan menurut Miller (dalam P.Rini, 2012), koping merujuk kepada mengatasi suatu situasi yang menimbulkan ancaman terhadap individu sehingga individu dapat mengatasi perasaan tidak nyaman seperti ansietas (kecemasan), rasa takut, berduka dan rasa bersalah. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian P. Rini (2012) tentang Hubungan Mekanisme Koping Dengan Kecemasan Pasien Pre Operasi Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Cilandak Jakarta Selatan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan mekanisme koping dengan kecemasan pada pasien pre operasi dengan nilai p value = 0.016 (< 0.05). Adapun hasil penelitian yang didapatkan pada kelompok remaja paling banyak mengalami kecemasan dimana dengan tingkat kecemasan berat yaitu 11 orang (57.9 %), berdasarkan jenis kelamin perempuan paling banyak mengalami kecemasan berat yaitu 14 orang (51.9 %), dengan tingkat pendidikan SD yaitu sebanyak 7 orang (50 %) dan SMP sebanyak 4 orang (50 %). Sementara berdasarkan pendapatan responden yang paling banyak cemas berat terdapat pada responden yang memiliki pendapatan tinggi adalah 13 orang (46.4 %), dengan
60
belum pernah memiliki pengalaman operasi sebelumnya sebanyak 17 orang (65.4 %). Dilihat dari karakteristik umur responden, hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa usia muda lebih banyak mengalami kecemasan dari pada usia yang sudah lanjut. Menurut peneliti, umur lebih muda belum memiliki banyak pengalaman dan berpikir secara matang dalam menghadapi setiap masalah. Sehingga sulit bagi orang dengan usia yang masih sangat muda untuk bisa beradaptasi dalam berbagai situasi. Sedangkan pada usia yang dewasa memiliki tingkat adaptasi yang adekuat dan mulai mampu mengatasi segala bentuk masalah, terutama masalah operasi yang dihadapi saat ini dan pada lanjut usia, memiliki pemikiran yang matang dan pengalaman yang lebih sehingga mampu untuk mengatasi masalah yang ada secara bijaksana sesuai dengan kondisi yang dilaminya. Hasil analisis ini sejalan dengan penelitian P. Rini
(2012) tentang
Hubungan Mekanisme Koping Dengan Kecemasan Pasien Pre Operasi Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Cilandak Jakarta Selatan, menyimpulkan bahwa usia < 30 tahun rata-rata dari 28 responden mengalami tigkat kecemasan paling tinggi yaitu 38.79 dibandingkan dengan usia > atau = 30 tahun rata-rata dari 19 responden yaitu 34.29. Menurut Hawari (2006) bahwa faktor umur muda lebih mudah mengalami stres atau kecemasan daripada yang berumur lebih tua, dimana terlalu banyak masalah yang sering dialami oleh seseorang pada usia muda. Walau umur sukar ditentukan karena sebagain besar pasien melaporkan bahwa mereka mengalami kecemasan selama yang dapat mereka ingat. Sedangkan
61
menurut Haryanto (2001) dalam Kurasein (2009) bahwa umur menunjukkan ukuran waktu pertumbuhan dan perkembangan seorang individu. Umur berkolerasi dengan pengalaman, pengalaman berkolerasi dengan pengetahuan, pemahaman dan pandangan terhadap suatu penyakit atau kejadian sehingga akan membentuk suatu persepsi dan sikap. Kemudian kecemasan dilihat dari karakteristik jenis kelamin responden dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami kecemasan daripada laki-laki. Menurut peneliti, perempuan seringkali sensitif terhadap hal-hal yang bisa mengancam dirinya, baik dari segi fisik maupun psikis. Sedangkan laki-laki, mampu mengatasi berbagai masalah secara santai dan lebih menginginkan masalah tersebut diselesaikan dengan cepat. Apabila terdapat lakilaki yang mengalami kecemasan, apalagi pada tingkat kecemasan berat, hal tersebut dikarenakan adanya faktor lain yang mempengaruhi pria tersebut mengalami kecemasan. Misalnya, selama sakit pasien sering memikirkan hal-hal tentang tanggung jawabnya waktu dirinya masih merasakan sehat seperti pekerjaan, kehilangan peran, tidak dapat berbuat apa-apa untuk keluarga bahkan terus memikirkan masalah pembiayaan selama di rawat dan melakukan tindakan operasi. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian P. Rini (2012) tentang Hubungan Mekanisme Koping Dengan Kecemasan Pasien Pre Operasi Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Cilandak Jakarta Selatan, menjelaskan bahwa rata-rata dari 20 rasponden laki-laki yang mengalami kecemasan adalah 31.4 sedangkan dari 27 responden perempuan rata-rata mengalami kecemasan yaitu 39.9. sehingga
62
dapat disimpulkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami kecemasan daripada laki-laki. Myers (1983) dalam Kurasein (2009) mengatakan bahwa perempuan lebih cemas akan ketidakmampuannya daripada laki-laki. Laki-laki lebih aktif dan rileks sedangkan perempuan lebih sensitif. Sedangkan berdasarkan penjelasan Kaplan dan Shaddock dalam P.Rini (2012) bahwa jumlah mereka yang menderita kecemasan baik akut maupun kronik dengan perbandingan wanita dan laki-laki yaitu 2:1, selain itu umumnya perempuan dalam merespon stimulus atau rangsangan yang berasal dari luar lebih kuat dan lebih sensitif daripada laki-laki. Apabila dipandang dari status pendidikan responden, hasil analisis menunjukkan bahwa yang memiliki pendidikan SD dan SMP paling banyak mengalami kecemasan. Menurut peneliti, hal ini dikarenakan bahwa individu tidak mampu mengingat, memahami dan menyerap informasi tentang persiapan operasi atau informasi kesehatan lainnya, baik yang disampaikan oleh dokter, perawat ataupun petugas kesehatan lainnya. Individu lebih memfokuskan pemikirannya pada hal-hal yang akan terjadi setelah operasi nanti. Seperti, adanya rasa nyeri, takut mengalami kecacatan atau kematian dan takut dengan peralatan yang digunakan pada saat melakukan pembedahan. Hasil analisis yang didapatkan mendukung penelitian Bahiroh (2008) tentang Hubungan Karakteristik Dengan Kecemasan Pada Pasien Pre Operasi Elektif di Ruang Boegenvil RSUD Dr. Raden Soedjati Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan yang paling banyak mengalami kecemasan berada pada
63
tingkat SD yaitu sebanyak 75.8 %. Notoatmodjo (2002) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan tentang pra operasi yang mereka peroleh. Dari kepentingan keluarga pendidikan itu sendiri amat diperlukan seseorang agar lebih tanggap dengan adanya masalah kesehatan dan bisa mengambil tindakan secepatnya. Status pendidikan yang kurang pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut lebih mudah mengalami cemas atau stress dibanding dengan mereka yang status pendidikannya lebih tinggi. Sedangkan hasil analisis dari tingkat pendapatan (status ekonomi) responden, menunjukkan bahwa yang memiliki pendapatan tinggi lebih banyak mengalami kecemasan daripada yang memiliki pendapatan rendah. Hal ini terjadi karena, adanya biaya yang sangat banyak dibutuhkan untuk memenuhi segala bentuk pembayaran yang berkaitan dengan proses operasi, baik dari segi pelayanan, kebutuhan nutrisi, cairan, obat-obatan, fasilitas yang digunakan dan lain-lain. Kondisi status ekonomi seseorang yang meningkat belum tentu dapat membuat kondisi kesehatannya menjadi baik. Bisa saja terdapat hal lain yang selalu dipikirkan oleh pasien selama kondisi kesehatannya kurang baik, seperti adanya kehilangan peran atau tidak dapat bekerja, memikirkan segala bentuk aktifitas yang biasanya dilakukan setiap hari, bahkan mulai merasa selalu bergantung kepada orang lain dengan kondisi setelah operasi nanti. Dari hasil analisis yang didapatkan berbeda dengan hasil penelitian P. Rini (2012) menunjukkan bahwa responden yang cemas dengan penghasilan yang tidak mencukupi rata-rata mencapai 42.23 dari pada responden yang memiliki
64
penghasilan mencukupi yaitu rata-rata 33.76. Jadi, disimpulkan bahwa yang memiliki penghasilan tidak mencukupi, tingkat kecemasannya lebih tinggi daripada yang penghasilannya mencukupi. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas maupun kualitas kesehatan sehingga ada hubungan yang erat antara pendapatan dengan keadaan kesehatan seseorang. Pendapatan yang meningkat tidak merupakan kondisi yang menunjang bagi keadaan kesehatan seseorang menjadi memadai (BPS (2005) dalam Bahiroh (2008)). Sementara hasil analisis kecemasan berdasarkan pengalaman operasi sebelumnya menunjukkan bahwa responden yang belum pernah memiliki pengalaman operasi sebelumnya paling banyak mengalami kecemasan. Hal ini berhubungan dengan kurangnya informasi tentang segala bentuk proses pembedahan, baik tidak disampaikan oleh petugas pelayanan maupun adanya ketidakpahaman terhadap informasi yang diberitahukan dan tidak menanyakan kembali tentang informasi tersebut baik itu tentang penyakitnya, persiapan sebelum operasi dan setelah operasi apa-apa yang harus dilakukan oleh responden. Sedangkan yang pernah melakukan pembedahan sebelumnya, telah mengetahui berbagai prosedur baik positif maupun negatif dalam pembedahan. Sehingga, dengan pengalaman tersebut bisa saja seseorang mampu mengatasi kecemasan karena sudah pernah merasakan pembedahan sebelumnya. Hasil penelitian ini, sejalan dengan penelitian Kurasein (2009) tentang Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kecemasan Pasien yang akan Menjalani Operasi Mayor elektif di ruang Rawat Bedah RSUP Fatmawati – Jakarta Selatan, menunjukkan nilai OR=1.429 dimana pasien yang memiliki
65
pengalaman operasi sebelumnya 1.429 kali memiliki kecemasan ringan daripada yang tidak pernah melakukan operasi sebelumnya atau memiliki pengalaman operasi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan yang di ungkapkan oleh Robby (2009) dalam Kurasein (2009) yaitu pengalaman masa lalu operasi baik yang positif maupun negative dapat mempengaruhi perkembangan keterampilan menggunakan koping yang baik, sebaliknya jika terjadi kegagalan pada operasi sebelumnya menimbulkan reaksi emosional menyebabkan adanya koping yang maladaptif terhadap ansietas atau stressor tertentu.