55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe merupakan Rumah Sakit Umum (RSU) terbesar yang ada di Wilayah Provinsi Gorontalo dengan tipe B yang terletak di Jalan Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kelurahan Wongkaditi, Kecamatan Kota Utara, Kota Gorontalo. Rumah Sakit ini juga merupakan merupakan salah satu Rumah Sakit alternatif dan rujukan utama untuk berobat bagi masyarakat di Provinsi Gorontalo serta sebagian masyarakat dari luar Provinsi Gorontalo, seperti masyarakat dari Provinsi Sulawesi Tengah (Kab. Buol dan Kab. Parigi Moutong) dan masyarakat Provinsi Sulawesi Utara (Kab. Bolaang Mongondow Utara). Dimana daerah-daerah tersebut berbatasan langsung dengan wilayah Provinsi Gorontalo. Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 1 Oktober sampai dengan 1 November 2012 di ruangan bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo. Hasil penelitian ini diperoleh melalui observasi langsung dengan cara memperlihatkan lembar observasi kepada responden.
2.
Gambaran Umum Responden Jumlah sampel yang diperoleh selama satu bulan penelitian sebanyak 45 responden (pasien). Setelah data terkumpul, selanjutnya akan diolah menggunakan analisis statistik Uji Wilcoxon Signed Ranks 55
56
Test. Hasil dari pengolahan data, akan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi yang meliputi karakteristik responden pada pre dan post perlakuan teknik relaksasi nafas dalam yang tergambar sebagai berikut: 2.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakterisrik Responden Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Pasien Post Operasi Appendisitis di Ruangan Bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo Karakteristik Usia 20 – 27
Frekuensi
Persentase (%)
19
42.2
28 – 35
12
26.7
36 – 43
6
13.3
44 – 51
3
6.7
52 – 60
3
6.7
61 – 67
2
4.4
Laki-Laki
15
33.33
Perempuan
30
66.67
SD
10
22.22
SMP
7
15.56
SMA
15
33.33
PT
13
28.89
Ketorolac 30 mg/ml
5
11.11
Asam Mefenamat 500 mg
40
88.89
Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan
Jenis Obat
Sumber : Data Primer 2012 Berdasarkan Tabel 4.1, menunjukkan bahwa dari 45 jumlah responden yang diteliti dilihat dari segi usia, ternyata usia terbanyak
57
adalah
20 – 27 tahun sebanyak 19 orang (42,2%), sedangkan usia
terendah adalah 60 – 67 tahun sebanyak 2 orang (4,4%). Untuk jenis kelamin jumlah responden terbanyak adalah responden yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 30 orang atau sekitar (66,67%). Sedangkan untuk tingkat pendidikan jumlah responden terbanyak adalah SMA sebanyak 15 orang (33,33%). Untuk tingkat pendidikan terendah adalah SMP sebanyak 7 orang (15,56%). Serta untuk jenis obat analgetik yang digunakan oleh responden, ternyata jenis obat terbanyak adalah asam mefenamat sebanyak 40 orang (88,89%). 2.2. Penurunan Tingkat Nyeri Berdasarkan Usia Responden Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Penurunan Tingkat Nyeri Berdasarkan Usia (n=45) Usia
Penurunan Nyeri Pre dan Post Berat – Ringan
Sedang – Ringan
Jumlah
%
20 - 27
2
17
19
42.2
28 - 35
2
10
12
26.7
36 - 43
0
6
6
13.3
44 - 51
1
2
3
6.7
52 - 60
0
3
3
6.7
61 - 67
1
1
2
4.4
Total
6
39
45
100
Sumber : Data Primer 2012 Berdasarkan hasil penelitian seperti pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dari 45 jumlah responden dilihat dari usia diperoleh sebanyak 39 orang (86,67%) mengalami penurunan nyeri dari nyeri sedang menjadi
58
nyeri ringan. Masing-masing usia 20 - 27 tahun sebanyak 17 orang, usia 28 - 35 tahun sebanyak 10 orang, usia 36 - 43 tahun sebanyak 6 orang, usia 44 - 51 tahun sebanyak 2 orang, usia 52 - 60 tahun sebanyak 3 orang dan usia 61 - 67 tahun sebanyak 1 orang. Sedangkan yang lainnya sebanyak 6 responden (13,33%) mengalami penurunan nyeri dari nyeri berat menjadi nyeri ringan. Masing-masing usia 20 - 27 tahun sebanyak 2 orang, usia 28 - 35 tahun sebanyak 2 orang, usia 44 - 51 tahun sebanyak 1 orang dan usia 61 - 67 tahun sebanyak 1 orang. 2.3. Penurunan Tingkat Nyeri Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Penurunan Tingkat Nyeri Berdasarkan Jenis Kelamin (n=45) Penurunan Nyeri Pre dan Post
Jenis Kelamin
Berat – Ringan
Laki-Laki
0
15
15
33.33
Perempuan
6
24
30
66.67
Total
6
39
45
100
Sedang – Ringan Jumlah
%
Sumber : Data Primer 2012 Berdasarkan hasil penelitian seperti pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa dari 45 jumlah responden dilihat dari jenis kelamin diperoleh sebanyak 39 responden (86,67%) mengalami penurunan nyeri dari nyeri sedang menjadi nyeri ringan. Masing-masing laki-laki sebanyak 15 orang dan perempuan sebanyak 24 orang. Sedangkan yang lainnya sebanyak 6 responden (13,33%) mengalami penurunan nyeri dari nyeri berat menjadi nyeri ringan. Semuanya berjenis kelamin perempuan.
59
2.4. Penurunan Tingkat Nyeri Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Penurunan Tingkat Nyeri Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan (n=45) Tingkat
Penurunan Nyeri Pre dan Post
Pendidikan
Berat – Ringan
Sedang – Ringan Jumlah
SD
1
9
10
22.22
SMP
1
6
7
15.56
SMA
3
12
15
33.33
PT
1
12
13
28.89
Total
6
39
45
100
%
Sumber : Data Primer 2012 Berdasarkan hasil penelitian seperti pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa dari 45 jumlah responden dilihat dari tingkat pendidikan diperoleh sebanyak 39 responden (86,67%) mengalami penurunan nyeri dari nyeri sedang menjadi nyeri ringan. Masing-masing SD sebanyak 9 orang, SMP sebanyak 6 orang, SMA sebanyak 12 orang dan PT sebanyak 1 orang. Sedangkan yang lainnya sebanyak 6 responden (13,33%) mengalami penurunan nyeri dari nyeri berat menjadi nyeri ringan. Masing-masing SD sebanyak 1 orang, SMP sebanyak 1 orang, SMA sebanyak 3 orang dan PT sebanyak 1 orang.
60
2.5. Penurunan Tingkat Nyeri Berdasarkan Jenis Obat Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Penurunan Tingkat Nyeri Responden Berdasarkan Jenis Obat Analgetik yang di Minum (n=45) Jenis Obat Analgetik
Penurunan Nyeri Pre dan Post Berat – Ringan
Sedang – Ringan Jumlah
%
Ketorolac 30 mg/ml
4
1
5
11.11
Asam Mefenamat 500 mg
2
38
40
88.89
Total
6
39
45
100
Sumber : Data Primer 2012 Berdasarkan hasil penelitian seperti pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa dari 45 jumlah responden dilihat dari jenis obat analgetik yang diminum diperoleh sebanyak 39 responden (86,67%) mengalami penurunan nyeri dari nyeri sedang menjadi nyeri ringan. Masing-masing Asam Mefenamat sebanyak 38 orang dan Ketorolac sebanyak 1 orang. Sedangkan yang lainnya sebanyak 6 orang responden (13,33%) mengalami penurunan nyeri dari nyeri berat menjadi nyeri ringan. Masing-masing Ketorolac sebanyak 4 orang dan Asam Mefenamat sebanyak 2 orang.
61
2.6. Perbandingan Skala Nyeri Pre dan Post Perlakuan Tabel 2.6. Distribusi Perbandingan Skala Nyeri Sebelum dan Setelah Perlakuan Teknik Relaksasi Nafas Dalam (n=45) Kategori Skala Nyeri
Sebelum (Pre)
Setelah (Post)
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
Nyeri Ringan (Skala 1 – 3)
0
0
45
100
Nyeri Sedang (Skala 4 – 6)
39
86.7
0
0
Nyeri Berat (Skala 7 – 9)
6
13.3
0
0
Total
45
100
45
100
Sumber : Data Primer 2012 Berdasarkan hasil penelitian seperti pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebelum perlakuan teknik relaksasi nafas dalam mayoritas responden atau sebanyak 39 orang (86,7%) menyatakan mengalami nyeri sedang (skala 4 – 6) dan 6 orang (13,3%) menyatakan mengalami nyeri berat (skala 7 – 9). Sedangkan setelah perlakuan semua reseponden menyatakan mengalami nyeri ringan (skala 1 – 3). 2.7. Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Penurunan Nyeri Sebelum dan Setelah Perlakuan Tabel 4.7. Tingkat Penurunan Nyeri Sebelum dan Setelah Perlakuan (n=45) Tingkat Penurunan Nyeri
N
%
Nyeri Ringan
6
13.33
Nyeri Sedang Nyeri Ringan Total Sumber : Data Primer 2012
39
86.67
45
100
Pre
Post
Nyeri Berat
62
Berdasarkan hasil penelitian seperti pada Tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 45 responden yang diteliti mayoritas mengalami tingkat penurunan nyeri dari nyeri sedang menjadi nyeri ringan. Jumlah reponden yang termasuk dalam kategori tersebut sebanyak 39 orang (86,67%). Sedangkan sisanya sebanyak 6 orang (13,33%) mengalami tingkat penurunan nyeri dari nyeri berat menjadi nyeri ringan. 2.8. Rataan Skala Nyeri Pre dan Post Perlakuan Tabel 4.8. Rataan Skala Nyeri Sebelum (Pre) dan Setelah (Post) Intervensi (n=45) Mean
n
SD
Nyeri Pre Intervensi
5.8222
45
0.64979
Nyeri Post Intervensi
1.9333
45
0.61791
Sumber : Data Primer 2012 Berdasarkan uji normalitas seperti pada Tabel 4.7 menunjukkan bahwa rataan intensitas nyeri sebelum (Pre ) perlakuan diperoleh hasil sebesar 5.82 ± 0.65. Sedangkan setelah (Post) perlakuan menunjukkan bahwa rataan intensitas nyeri diperoleh hasil sebesar 1.93 ± 0.62. 2.9. HubunganTingkat Nyeri Pre dan Post Perlakuan Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Nyeri Sebelum dan Setelah Perlakuan (n=45)
Nyeri Pre dan Post Intervensi
Mean Rank
Sum Of Ranks
Z
p
23.00
1035.00
-6.243
0.000
Sumber : Data Primer 2012
63
Pada Tabel 4.8 menunjukkan bahwa tingkat nyeri responden sebelum dan setelah perlakuan diperoleh hasil rata-rata (mean) 3.89 ± 0.44. Berdasarkan analisis statistik Uji Wilcoxon Signed Ranks Test seperti pada Tabel 4.9 yang menunjukkan bahwa besarnya nilai Z (based of positive ranks) - 6.243 dengan signifikansi (p=value) sebesar 0.000 dan nilai α<0.05. Dengan demikian nilai probabilitas 0.000 lebih kecil daripada α <0.05 maka dengan ini H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya ada pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri pada pasien post operasi appendisitis di ruangan bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo. B. Pembahasan 1.
Tingkat Nyeri Sebelum dan Setelah Perlakuan Teknik Relaksasi Nafas Dalam. Derajat dan kualitas nyeri yang dirasakan oleh setiap responden sangat subjektif dan berbeda, hal ini disebabkan karena nyeri merupakan sesuatu yang kompleks dan banyak faktor yang mempengaruhi tingkat nyeri seseorang. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat persepsi dan reaksi individu terhadap nyeri seperti yang dinyatakan oleh Smeltzer & Bare (2002), diantaranya adalah usia, jenis kelamin, ansietas, pengalaman nyeri masa lalu, perhatian dan dukungan keluarga. Berdasarkan karekteristik responden seperti pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 45 responden terdapat 19 orang (42,2%) yang berusia 20 - 27 tahun dan 12 orang (26,67%) yang berusia 28 - 35 tahun.
64
Sesuai pengamatan yang telah dilakukan bahwa rentang usia tersebut rata-rata mempersepsikan nyeri lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang berusia lanjut. Selanjutnya pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa terdapat 6 orang responden yang mengalami penurunan nyeri dari nyeri berat menjadi nyeri ringan. Masing-masing 2 orang yang berusia 20 - 27 tahun, 2 orang berusia 28 - 35 tahun, 1 orang berusia 44 - 51 tahun
dan 1 orang lagi
berusia 61 - 67 tahun. Sedangkan untuk
responden yang mengalami penurunan nyeri dari nyeri sedang menjadi nyeri ringan sebanyak 39 orang. Masing-masing 17 orang yang berusia 20 - 27 tahun, 10 orang berusia 28 - 35 tahun, 6 orang berusia 36 - 43 tahun, 2 orang berusia 44 - 51 tahun, 3 orang berusia 52 - 60 tahun dan 1 orang berusia 61 - 67 tahun. Berdasarkan hasil penelitian tampaknya faktor usia dapat mempengaruhi tingkat nyeri yang dirasakan oleh seseorang. Hal ini sesuai dengan peryataan Potter & Perry (2006) bahwa usia merupakan variabel penting yang dapat mempengaruhi tingkat nyeri terutama pada anak, remaja dan orang dewasa. Selain hal tersebut diatas, persepsi dan reaksi nyeri individu juga dipengaruhi oleh jenis kelamin dimana individu yang berjenis kelamin perempuan lebih mengartikan atau mempersepsikan nyeri ke arah yang lebih negatif. Berdasarkan karakteristik responden seperti pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 45 jumlah responden yang diteliti sebanyak 30 orang (66,67%) berjenis kelamin perempuan. Sesuai pengamatan yang telah dilakukan bahwa responden perempuan mempersepsikan nyeri
65
lebih tinggi dibandingkan responden laki-laki. Selanjutnya pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa terdapat 6 orang responden yang mengalami penurunan nyeri dari nyeri berat menjadi nyeri ringan, dan semuanya berjenis kelamin perempuan. Sedangkan dari 39 orang responden yang mengalami penurunan nyeri dari nyeri sedang menjadi nyeri ringan, terdapat 24 orang berjenis kelamin perempuan dan 15 orang berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor jenis kelamin dapat mempengaruhi tingkat nyeri yang dirasakan seseorang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hidayat (2006) bahwa seorang yang
berjenis
kelamin
perempuan
lebih
mengartikan
dan
mempersepsikan nyeri sebagai suatu hal yang bersifat negatif seperti membahayakan dan merusak. Pernyataan yang lain menyebutkan bahwa kebutuhan narkotik post operasi pada wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria (Burn, dkk. (1989) dikutip dalam Potter dan Perry (2006). Selain kedua faktor yang telah disebutkan di atas, McCaffery dan Pasero yang dikutip dalam Prasetyo (2010) menyebutkan bahwa persepsi nyeri individu hanya klienlah yang paling mengerti dan memahami tentang nyeri yang ia rasakan. Oleh karena itu klien dikatakan sebagai expert tentang nyeri yang dirasakan. Selanjutnya dinyatakan bahwa nyeri pasien mencakup dimensi psikis, emosional dan kognitif (pendidikan). Pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 45 jumlah responden yang telah diteliti, terdapat 15 orang (33,34%) berpendidikan SMA, 13 orang
66
(28,9%) berpendidikan PT, 10 orang (22,2%) berpendidikan SD dan 7 orang (15,56%) berpendidikan SMP. Selanjutnya pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa terdapat 6 orang responden yang mengalami penurunan nyeri, dari nyeri berat menjadi nyeri ringan. Masing-masing 3 orang berpendidikan SMA, dan yang lainnya masing-masing 1 orang berpendidikan SD, SMP dan PT. Sedangkan yang mengalami penurunan nyeri dari nyeri sedang menjadi nyeri ringan sebanyak 39 orang. Masingmasing 12 orang berpendidikan SMA, 12 orang berpendidikan PT, 9 orang berpendidikan SD dan 6 orang berpendidikan SMP. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa tingkat kognitif atau pendidikan responden dapat mempengaruhi persepsi nyeri yang dirasakan. Pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 45 jumlah responden yang diteliti, terdapat 5 orang yang menggunakan obat analgetik jenis ketoralac dan 40 orang yang menggunakan asam mefenamat. Selanjutnya pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa terdapat 6 orang responden yang mengalami penurunan nyeri dari nyeri berat menjadi nyeri ringan. Masing-masing 4 orang menggunakan analgetik jenis ketorolac dan 2 orang dengan asam mefenamat. Sedangkan yang mengalami penurunan nyeri dari nyeri sedang menjadi nyeri ringan sebanyak 39 orang. Masingmasing 1 orang menggunakan analgetik jenis ketorolac dan 38 orang responden yang menggunakan asam mefenamat. Tabel 4.6 memperlihatkan perbandingan penurunan skala intensitas nyeri sebelum dan setelah perlakuan. Hasil penelitian
menunjukkan
67
bahwa dari 45 jumlah responden yang diteliti, mayoritas responden menyatakan bahwa sebelum perlakuan teknik relaksasi nafas dalam, intensitas nyeri yang dirasakan pasien berada pada rentang skala 4 - 6 (nyeri sedang) yaitu sebanyak 39 orang (86,7%). Sedangkan 6 orang (13,3%) lainnya menyatakan intensitas nyeri yang dirasakan berada pada rentang skala 7 - 9 (nyeri berat). Sedangkan setelah perlakuan teknik relaksasi nafas dalam, semua responden menyatakan bahwa tingkat nyeri yang dirasakan berada pada rentang skala 1 - 3 (nyeri ringan). Selanjutnya pada Tabel 4.6 menunjukkan bahwa dari 45 orang responden yang diteliti, terdapat 39 orang (86,67%) responden yang mengalami penurunan nyeri dari nyeri sedang menjadi nyeri ringan. Sedangkan 6 orang (13,33%) lainnya mengalami penurunan nyeri dari nyeri berat menjadi nyeri ringan. Hasil uji normalitas (Tabel 4.7) dengan jumlah responden sebanyak 45 orang (n = 45) menunjukkan bahwa skala nyeri yang dirasakan oleh pasien sebelum perlakuan teknik relaksasi nafas dalam rata-rata 5.82 ± 0.65 (kategori nyeri sedang). Namun demikian setelah perlakuan teknik relaksasi nafas dalam mengalami penurunan rata-rata 1.93 ± 0.62 (kategori nyeri ringan). Tampaknya perlakuan teknik relaksasi nafas dalam berpengaruh terhadap penurunan intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien post-operasi appendisitis. Hasil penelitian yang diperoleh sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Zees (2012) bahwa pengaruh relaksasi terhadap
68
respon adaptasi nyeri pada 30 pasien apendektomi dapat menurunkan skala nyeri dengan rata-rata 5.53 ± 1.41 (nyeri sedang) menjadi rata-rata 3.53 ± 1.96 (nyeri ringan). Selanjutnya Dewi dkk, (2009) menyatakan bahwa pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan persepsi nyeri pada lansia dengan artritis reumatoid, dapat menurunkan skala nyeri dari rata-rata 4.3 ± 1.2 (nyeri sedang) menjadi rata-rata 3.1 ± 0.99 (nyeri ringan). Pengukuran intensitas skala nyeri yang dilakukan menggunakan skala Numeric Rating Scale (NRS) yang merupakan teknik pengukuran nyeri, dimana klien diperlihatkan skala NRS kemudian diminta untuk menyatakan tingkat nyeri yang dirasakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setiyohadi (2006) bahwa pengukuran intensitas nyeri menggunakan skala NRS lebih mudah dipahami klien, baik pemberian secara lisan maupun dengan mengisi lembar kuesioner. 2.
Hubungan Intensitas Nyeri Sebelum dan Setelah Intervensi Teknik Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien Post-Operasi Appendisitis Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa semua pasein yang dijadikan sampel penelitian, menyatakan bahwa setelah perlakuan teknik relaksasi nafas dalam merasakan adanya penuruan intensitas nyeri. Hasil analisis statistik Uji Wilcoxon Signed Ranks Test seperti pada Tabel 4.9 yang menunjukkan bahwa besar nilai Z (based of positive ranks) - 6.243 dengan signifikansi (p=value) sebesar 0.000 dan nilai α<0.05. Dengan demikian nilai probabilitas 0.000 lebih kecil daripada
69
α<0.05 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya perlakuan teknik relaksasi nafas dalam memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan nyeri pada pasien post-operasi appendisitis. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa intensitas nyeri sebelum perlakuan teknik relaksasi nafas dalam diperoleh skala nyeri dengan rata-rata 5.82 ± 0.65 (nyeri sedang). Sedangkan setelah perlakuan teknik relaksasi nafas dalam diperoleh skala nyeri dengan rata-rata 1.93 ± 0.62 (nyeri ringan). Adanya penurunan intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien disebabkan karena pasien melakukan latihan teknik relaksasi nafas dalam dengan baik dan benar dengan waktu latihan kurang lebih 15 menit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Indiarti (2009) bahwa dengan melakukan teknik relaksasi nafas dalam dengan induksi latihan selama 15 – 20 menit secara teratur dapat mengurangi rasa nyeri. Pernyataan lain menyebutkan bahwa teknik relaksasi nafas dalam dapat berhasil jika pasien kooperatif (Perry dan Potter, 2006). Beberapa teori yang mendasari terjadinya penurunan nyeri setelah perlakuan teknik relaksasi nafas dalam antara lain : Huges dkk, yang dikutip dalam Ernawati dkk, (2010) menyebutkan bahwa dalam keadaan tertentu tubuh mampu mengeluarkan opioid endogen yaitu endorphin dan enkefalin. Zat-zat tersebut memiliki sifat mirip morfin dengan efek analgetik yang membentuk suatu sistem penekanan nyeri. Teknik relaksasi nafas dalam merupakan salah satu keadaan yang mampu
70
merangsang tubuh untuk mengeluarkan opioid endogen sehingga terbentuk sistem penekan nyeri yang akhirnya akan menyebabkan penurunan intensitas nyeri. Smeltzer & Bare (2002) menyebutkan teorinya
bahwa periode
relaksasi nafas dalam yang teratur dan relaksasi otot progresif dapat menurunkan nyeri dengan merileksasikan ketegangan otot-otot akibat meningkatnya stimulasi nyeri. Selanjutnya Handerson (2005) bahwa ketika seseorang melakukan relaksasi nafas dalam untuk mengendalikan nyeri yang dirasakan, maka tubuh akan meningkatkan komponen saraf parasimpatik secara stimulan, maka ini menyebabkan terjadinya penurunan kadar hormon kortisol dan adrenalin dalam tubuh yang mempengaruhi tingkat stress seseorang sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dan membuat klien merasa tenang untuk mengatur ritme pernafasan menjadi teratur. Hal ini akan mendorong terjadinya peningkatan kadar PaCO2 dan akan menurunkan kadar pH sehingga terjadi peningkatan kadar oksigen (O2) dalam darah. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa perlakuan teknik relaksasi nafas dalam yang dilakukan secara berulang akan menimbulkan rasa nyaman bagi pasien. Adanya rasa nyaman tersebut akan meningkatkan toleransi pasien terhadap rasa nyeri dari nyeri sedang menjadi nyeri ringan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kozier (2004) yang dikutip dalam Ernawati (2010) bahwa teknik relaksasi nafas dalam dapat menimbulkan rasa nyaman dan meningkatkan toleransi terhadap nyeri.
71
Selanjutnya dinyatakan bahwa selain meningkatkan toleransi nyeri, rasa nyaman yang dirasakan setelah melakukan nafas dalam juga dapat meningkatkan ambang nyeri sehingga dengan adanya peningkatan ambang nyeri tersebut maka nyeri yang berada pada skala sedang dapat menjadi nyeri ringan. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa responden yang melakukan teknik relaksasi nafas dalam dengan baik dan didukung dengan lingkungan yang tenang akan memberikan efek penurunan intensitas nyeri secara nyata. Penurunan intensitas nyeri yang terjadi tersebut tidak hanya disebabkan oleh teknik relaksasi nafas dalam saja tetapi didukung oleh beberapa faktor lain seperti pernyataan Priharjo (2003), yang menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga hal penting yang menjadikan tindakan relaksasi bermakna secara signifikan terhadap skala nyeri yaitu posisi yang tepat, pikiran yang tenang dan lingkungan yang tenang. Kondisi tersebut juga terjadi pada pasien post-operasi appendisitis di RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo, dimana perlakuan teknik relaksasi nafas dalam, dilakukan secara baik ditambah dengan pikiran yang
tenang dan kondisi lingkungan yang tenang, sangat
memberikan kontribusi yang berarti dalam proses penunuran skala nyeri. Hasil penelitian yang diperoleh sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Maulana (2003) yang meneliti tentang pengaruh pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap tingkat nyeri post partum di RSUD Bantul, menyatakan bahwa ada pengaruh yang
72
bermakna terhadap penurunan tingkat nyeri post partum setelah pemberian teknik relaksasi nafas dalam. Penelitian lain yang menyebutkan adanya penurunan nyeri setelah perlakuan teknik relaksasi nafas dalam seperti yang telah dilakukan oleh Ayudianingsih (2009) pada pasien pasca operasi fraktur femur di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta, menyebutkan bahwa sekitar 60 sampai 70% pasien dengan ketegangan nyeri dapat mengurangi nyerinya minimal 50% dengan melakukan relaksasi nafas dalam.
Selanjutnya
Dewi dkk (2009) juga meneliti pengaruh teknik relaksasi nafas dalam pada lansia dengan artritis reumatoid, menyatakan bahwa terjadi penurunan tingkat nyeri dari nyeri sedang menjadi nyeri ringan setelah pemberian relaksasi nafas dalam.