BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
GAMBARAN UMUM HASIL PENELITIAN
4.1.1 Kondisi Geografis Dan Latar Historisnya 4.1.1.1 Kondisi Geografis Desa ini berbatasan dengan Kota Gorontalo yaitu Kelurahan Tanjung Kramat Kecamatan Hulonthalangi Kota Gorontalo. Perjalanan dari pusat kota Gorontalo bisa ditempuh dengan waktu ± 20 menit menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua, jalan yang berliku-liku dan melewati gunung di pesisir pantai Teluk Tomini membuat perjalanan setiap orang dipenuhi keindahan alam yang luar biasa. Sampai dengan tahun 80-an, akses ke Desa ini hanya dapat ditempuh melalui laut dari pelabuhan Gorontalo atau jalan kaki melewati Kelurahan Pohe, Kelurahan Donggala dan Kelurahan Potanga Kota Gorontalo. Pada tahun 2010 Desa Bongo dimekarkan menjadi dua Desa, dengan dua Dusun yang berada di wilayah pegunungan yakni Dusun Wapalo dan Tenilo menjadi Desa mekaran dari Desa Bongo. Dan berganti nama menjadi Desa Buhudaa. Desa Bongo terletak di Kecamatan Batudaa, Pantai Kabupaten Gorontalo. Dan merupakan salah satu wilayah yang berada dibagian pesisir Teluk Tomini. Jarak Desa dari ibu Kota Kecamatan 8 KM, dari ibu Kota Kabupaten 22 KM, dan 10 KM dari ibu Kota Provinsi. Desa ini terbagi atas 3 Dusun, yaitu : Dusun Timur, Dusun
35
Tengah, dan Dusun Barat. Dan memiliki luas wilayah 200 H dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
Utara berbatasan dengan Desa Buhudaa
Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini
Timur berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Kramat
Barat berbatasan dengan Desa Lopo
4.1.1.2 Latar Historis Pada awal mulanya Desa Bongo yang ada pada saat ini adalah kawasan pemukiman yang homogen dan religius yang wilayahnya terbagi dua, yaitu: wilayah dataran tinggi bernama Tapa Modelo dan wilayah dataran rendah bernama Tapa Huota atau Huwata. Pada umumnya penduduk pada saat itu sumber mata pencahariannya petani dan nelayan. Dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bersosialisasi, masyarakatnya mempunyai adat dan kebudayaan yang sangat tinggi yang berlandaskan pada ajaran agama Islam sebagai acuan dalam berkehidupan dan bermasyarakat. Pusat kegiatan keagamaan dan kebudayaan serta kegiatan lainnya dilakukan di Tudulio (dataran tinggi). Peran tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat pada waktu itu. Pada saat itu Desa Bongo masih merupakan salah satu bagian dari Linula Kerajaan Gorontalo. Menurut Nur (dalam Tamu, 2009:23) linula merupakan kelompok manusia dan
36
merupakan kesatuan-kesatuan masyarakat sendiri-sendiri; merupakan kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Dan sampai tahun 1959 Kampung Bongo masih tetap tergabung dengan distrik Kota Gorontalo. Setelah dikeluarkanya Undang-undang No. 29/1959 Tentang pembentukan Daerah Tingkat II Se Sulawesi, Kampung Bongo telah menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Daerah tingkat II Gorontalo pada tahun 1960. Hal ini dapat dilihat dari adat istiadat yang dipakai oleh masyarakat Desa Bongo yang menggunakan adat istiadat Gorontalo (hulanthalo), sedangkan wilayah Desa Bongo itu sendiri terletak di wilayah Kabupaten Gorontalo yang memakai adat Limboto (limutu).
4.1.2 Kondisi Demografis 4.1.2.1 Keadaan Penduduk Uraian tentang kependudukan berikut ini diambil dari buku Data Induk penduduk Desa Bongo 2012. Jumlah penduduk pada tahun 2012 adalah 2.420 jiwa, dengan komposisi penduduk Desa Bongo dirinci menurut jumlah Dusun yang dulunya terdiri atas 5 Dusun sebelum terjadinya pemekaran pada tahun 2010 dan hingga kini terbagi menjadi 3 Dusun. Berikut gambaran komposisi penduduk berdasarkan wilayah Dusun dan jenis kelamin secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut :
37
Tabel. 1 Distribusi Jumlah Penduduk Desa Bongo berdasarkan Dusun dan Jenis Kelamin, Tahun 2012 JUMLAH PENDUDUK NO
NAMA DUSUN
JUMLAH LAKI-LAKI
PEREMPUAN
1
TIMUR
433
443
878
2
TENGAH
376
371
747
3
BARAT
418
379
797
Jumla h
2.420
Sumber: Buku Data Induk Desa Bongo, 2012
Masyarakat Desa Bongo masih menjunjung tinggi nilai budaya lokal daerah Gorontalo. Dimana nilai-nilai budaya lokal ini merupakan implementasi dari nilainilai agama Islam. Nilai-nilai ini yang menjadi patokan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tidak melenceng dari norma-norma yang berlaku. Dan nilai-nilai yang ada pada Maulid Nabi merupakan salah satu dari nilai yang dipakai masyarakat yang ada di Desa Bongo. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Desa Bongo adalah nelayan. Hal ini sesuai dengan kondisi geografis wilayah dimana Desa Bongo merupakan salah satu wilayah Kabupaten Gorontalo yang berada di pesisir pantai. Selain letak geografis Desa, kondisi perikanan yang di Gorontalo memiliki daya jual yang tinggi.
38
Sehingga masyarakat memilih dan menjadikan profesi nelayan sebagai mata pencaharian mereka. Masyarakat nelayan Desa ini menjadi nelayan pemburu ikan tuna sampai ke NTB, NTT, dan sebahagian pulau-pulau di Sulawesi Utara dan Tengah. Juga wilayah-wilayah lain di Provinsi Gorontalo seperti Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Boalemo, Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Bone Bolango menjadi daerah buruan mereka secara turun-temurun bahkan banyak yang sudah menetap jadi penduduk daerah itu. Dan bagi masyrakat yang tidak berprofesi sebagi nelayan, memilih menjadi Pegawai Negeri Sipil, pedagang, dan lain sebagainya. Gambaran komposisi penduduk berdasarkan jenis pekerjaan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel. 2 Jumlah Penduduk Desa Bongo berdasarkan Jenis Pekerjaan, Tahun 2012. NO.
Jenis Pekerjaan
Jumlah
1
Nelayan
351
2
IRT
638
3
Dagang
100
4
PNS
37
5
Polisi
3
6
Angkutan
18
7
Wirausaha
67
Jumlah
1.214
Sumber: Buku Data Induk Desa Bongo, 2012
39
Selain jumlah penduduk yang tersebar ditiga dusun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Desa Bongo juga memiliki: Jumlah kepala keluarga sebanyak 638 jiwa Jumlah keluarga miskin 54 KKM Jumlah bangunan rumah masyarakat 521 buah Jumlah bangunan ibadah yaitu mesjid 4 buah Jumlah prasarana pemerintahan 4 buah Jumlah prasarana kesehatan 1 buah Jumlah prasarana pemasaran 1 buah dan Jumlah prasarana perhubungan 14 buah. Tingkat kesejahteraan sosial yang berada pada Desa Bongo. Secara langsung ataupun tidak langsung akan berdampak pada tingkat pendidikan anggota keluarga dari setiap rumah tangga. Fasilitas pendidikan yang ada di Desa Bongo, terhitung sudah memadai dengan bangunan PAUD 3 buah, TK 1 buah, SD 3 buah, SMP 1 buah, SMA 1 buah, dan SMK 1 buah.
Sebagian penduduk Desa Bongo telah
menyelesaikan pendidikan wajib belajar Sembilan Tahun. Gambaran komposisi penduduk berdasarkan jenis pendidikan secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut :
40
Tabel 3. Jumlah penduduk Desa Bongo berdasarkan tingkat Pendidikan, Tahun 2012 No
Tingkat Pendidikan
Jumlah (Orang)
1
PAUD
271
2
SD
316
3
SMP
134
4
SMA
63
5
SARJANA
83
TOTAL
867
Sumber: Buku Data Induk Desa Bongo, 2012
Masyarakat Desa Bongo pada umunya masih menjujung tinggi nilai budaya lokal daerah Gorontalo seperti unsur nilai adat Gorontalo dan nilai budaya lokal yang sebagai sendi dari syariat agama Islam. Nilai-nilai ini terimplementasikan dalam kehidupan masyarakat Desa Bongo dalam berkreativitas dan beraktivitas sehingga tidak melenceng dari norma-norma sosial dan syariat Islam. Hal ini sesuai dengan falsafah adat dan sumber hukum adat masyarakat Gorontalo: “Adati hulahulaa to syaraa, syaraa hulahulaa to Quruani”. Menurut S.R Nur (dalam Amin, 2012:18) prinsip ini ditetapkan pada masa Sultan Eato (16731679). Ditegaskan lebih lanjut oleh Amin (2012:15) Gorontalo sebagai “daerah contoh” yang berhasil menjadikan agama Islam sebagai identitas utama dari bangunan budaya dan perkembangan masyarakatnya. Dan Desa Bongo merupakan salah satu daerah yang ada di Gorontalo yang mengaplikasikannya.
41
4.1.2.2 Kondisi Objek Penelitian Bongo yang merupakan bagian dari Kecamatan Batudaa Pantai, yang awal terbentuknya memiliki sejarah panjang. Dari zaman Kerajaan Gorontalo, yang merupakan bagian (linula) dari Kerajaan Gorontalo itu sendiri. Mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, dan sebagiannya lagi memiliki mata pencaharian dagang dan lain-lain. Walima yang ada di Desa Bongo merupakan salah satu budaya khas Gorontalo yang menjadi salah satu penunjang pariwisata di Provinsi Gorontalo. Untuk mensosialisasikan nilai-nilai yang terkandung dari walima itu sendiri, maka didirikan tempat-tempat pembelajaran atau pengkajian tentang agama Islam terutama budaya walima, seperti, pondok pesantren alam Bubohu, mesjid walima emas, SMK pariwisata dan lain sebagainya. Dengan adanya pusat-pusat pengkajian agama Islam, masyarakat Desa Bongo menjadikannya tempat untuk memperdalam pengetahuannya tentang budaya dan tradisi yang sesuai dengan syairat agama Islam. karena banyak kegiatan-kegiatan keagamaan yang melibatkan masyarakat itu sendiri, seperti pengajian Al-Quran, pengkajian kitab kuning, dan pelatihan dikili (dzikir) untuk persiapan walima. Berkat kegiatan-kegiatan seperti ini masyarakat Desa Bongo menjadi lebih memaknai walima sebagai suatu tradisi keagamaan dalam menyambut dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
42
4.2
PEMBAHASAN
4.2.1 Proses Perayaan Walima di desa Bongo 4.2.1.1 Sejarah Awal Walima Desa Bongo merupakan Desa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Oleh karena itu, kehidupan di Desa Bongo lebih terasa nuansa keislamannya. Namun masyarakatnya tidak pernah lepas dengan namanya ritual, yang telah menjadi warisan budaya para leluhur. Sehingga perayaan Maulid Nabi di Desa ini dilaksanakan dengan secara tradisional dan dibarengi dengan upacara-upacara adat yakni walima dan dikili. Melihat fenomena di atas, ritual keagamaan di Desa Bongo relevan dengan pemikiran Durkheim tentang agama. Dimana menurut Durkheim agama merupakan suatu sistem yang terpadu mengenai kepercayaan-kepercayaan praktek-praktek yang berhubungan dengan benda-benda suci atau benda-benda khusus (set apart) atau terlarang kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatu dalam komunitas yang disebut umat (gereja), semuanya yang berhubungan dengan itu (dalam Johson, 1986: 196) Perayaan Maulid Nabi di Desa Bongo, tidak hanya dilaksanakan masyarakat pada tanggal 12 Rabiul Awal. Perayaan Maulid Nabi tidak berpatokan pada tanggal tersebut, bagi masyarakat Desa Bongo Maulid dapat diadakan setelah tanggal 12 Rabiul Awal selama bulan itu masih bulan Rabiul Awal. Walima yang dibuat masyarakat untuk ungkapan wujud nyata masyarakat terhadap kecintaan pada Nabi
43
Muhammad SAW dan merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rejeki kepada hambanya. Sejarah walima hampir bersamaan dengan terbentuknya pemerintahan di Desa Bongo. Perkembangan agama Islam mengalami kemajuan yang pesat dan ini dibarengi dengan tingkat penghidupan ekonomi masyarakat Gorontalo yang cukup baik, faktor ini yang mendorong masyarakat pada setiap perayaan Maulid Nabi berusaha membuat walima. Pada waktu itu pelaksanaan Maulid dilaksankan masyarakat di rumahnya masing-masing karena pada saat itu belum ada mesjid. Desa Bongo pada waktu itu masih merupakan salah satu bagian dari linula Kerajaan Gorontalo. Ini sesuai dengan penuturan dari bapak Nurdin Hamzah bahwa: “pelaksanaan walima di Desa Bongo hampir bersamaan dia dengan pembentukan pemerintahan desa Bongo, Desa Bongo pada waktu itu masih Bubohu kan. Rajanya pada waktu itu Raja Hilalumo Amay, jadi dia sebagai ulama dan sebagai kepala pemerintahan. Waktu itu walima masih dilaksanakan di rumahrumah penduduk kan belum ada mesjid waktu itu. Nanti pada tahun 70-an setelah ada masjid, terjadi perubahan tapi pada waktu itu belum kue, kebanyakan cuma nasi kuning, baru cuman isi kebun seperti pisang, hasil kebun semua yang dibawa kemesjid dan didoakan.” Artinya: Pelaksanaan walima di Desa Bongo hampir bersamaan dengan pembentukan pemerintahan Desa. Pada waktu itu Desa Bongo masih bernama Bubohu dan menganut sistem kerajaan. Rajanya pada waktu itu bernama Hilalumo Amay, dia menjadi pemimpin kerajaan dan sekaligus menjadi pemimpin agama atau ulama. Pada waktu itu walima masih dilaksanakan di rumah-rumah penduduk, karena pada waktu itu mesjid belum ada. Sekitar pada tahun 70-an, sejak berdirinya mesjid terjadi perubahan dalam pelaksanaan walima. Tapi pada waktu itu walima belum ada kukis atau kue, kebanyakan hanya nasi kuning dan hasil kebun. Dan itu yang dibawa ke mesjid untuk didoakan. (W.W.N H./ 16-06-2013 Jam 20.00 – 22.00 WITA di rumahnya) 44
Mudik bagi masyarakat Indonesia dilakukan pada saat perayaan Idul Fitri atau Idul Adha. Dimana hampir seluruh masyarakat yang di perantauan balik ke kampung halamanya. Bagi masyarakat Gorontalo mudik pada saat lebaran juga dilaksanakan, hal ini bisa dilihat dari banyaknya masyarakat perantauan menuju Gorontalo. Dan hal ini selalu terjadi setiap tahunnya. Tapi istilah mudik bagi masyarakat Desa Bongo tidak begitu identik dengan perayaan Idul fitri atau Idul Adha. Justru mudik bagi orang Bongo nanti dilaksanakan pada saat mendekati perayaan Maulid Nabi. Bagi masyarakat inilah peristiwa tahunan yang ditunggu-tunggu, maka siapapun dia yang merasa ada hubungan kekerabatan dengan orang Bongo akan melaksanakan mudik ala masyarakat Desa Bongo. Perayaan Maulid Nabi di Desa Bongo, pada awal mulanya sama seperti perayaan upacara Garebeg yang ada di pulau Jawa. Dimana upacara Garebeg ini terbagi atas tiga macam, Garebeg Maulud, Garebeg Puasa, dan Garebeg Besar. Unsur yang paling penting dalam upacara adalah pemberian gunungan. Gunungan tersebut merupakan sedekah raja atau sultan kepada sesamanya dan kepada rakyat agar mendapat pahala dari Gusti Allah (Abdullah, 2002:19). Hal ini sesuai dengan penuturan bapak Adam Gani bahwa: “dulu kan pada waktu itu di Desa Bongo belum dikenal ini walima. Dulunya nama walima tidak ada, orang dulu hanya tau walima itu dengan nama tolangga dan toyopo. Bongo pada waktu itu masih menggunakan sistem kerajaaan, jadi dulunya tolangga itu hanya dibuat oleh Raja. Pada saat itu masyarakat belum ada yang mampu mo bekeng tolangga atau walima, karena kondisi ekonomi masyarakat belum memungkinkan untuk membuat walima, beda dengan kondisi skarang. Tapi tolangga atau walima yang dibuat oleh raja itu tidak untuk dia 45
sandiri tapi dimakan bersama setelah didoakan dan sisanya dibagi-bagikan kepada masyarakat yang kurang mampu.” Artinya: Pada waktu itu nama walima belum dikenal oleh masyarakat Desa Bongo. Masyarakat pada waktu itu mengenal nama walima dengan nama tolangga atau toyopo. Pada masa itu pemerintahan desa Bongo masih menganut sistem kerajaan, jadi yang mampu membuat walima atau tolangga hanyalah pihak kerajaan atau Raja. Karena kondisi ekonomi masyarakat pada waktu itu belum mampu membuat tolangga. Tapi tolangga yang dibuat oleh raja tersebut dibagi-bagikan kepada rakyat setelah didoakan secara bersama-sama. (W.W.A G./ 15-05-2013 Jam 17.00 – 18.00 WITA di rumahnya)
4.2.1.2 Bentuk-Bentuk Walima Walima dalam bahasa Arab, berasal dari kata ‘aulim’ yang diartikan oleh bahasa Persia ‘Kanduri’ dalam bahasa Indonesia ‘Kenduri’ yang artinya adalah pesta makan setelah berdoa kepada Allah SWT (Hinta, 2011:230). Lebih lanjut Hinta (2011) memaparkan kata Al-walimah memiliki kata dasar ‘al-walmu – al-walam’, artinya tali pengikat atau pelana kuda’. Sehingga walima bisa diartikan sebagai perjamuan atau hidangan yang dihidangkan kepada para tamu atau undangan (pezikir dan pejabat) oleh tuan rumah (masyarakat Desa Bongo). Dengan tujuan untuk memperkuat tali persaudaraan antar sesama. Bentuk walima yang ada di Desa Bongo beraneka ragam dan ukuran, hal ini sesuai dengan temuan di lapangan. Ada yang berbentuk bujur sangkar menyerupai kaki meja, kapal, dan lain-lain. Dari ukuran kecil sampai yang besar. Pada awalnya walima yang dibuat masyarakat berukuran kecil atau yang dikenal oleh masyarakat
46
toyopo). Toyopo adalah sebuah wadah kecil yang terbuat dari daun pohon kelapa yang dianyam (lilingo). Dengan berkembangnya ekonomi masyarakat, walima mengalami perubahan dari ukuran kecil menjadi ukuran sedang dan besar. Jika pada ukuran kecil, walima hanya memiliki wadah yang kecil (lilingo). Maka pada ukuran sedang dan besar, walima sudah terbuat dari wadah yang lebih besar yang terbuat dari rotan atau balok. Wadah ini dinamakan tolangga, tolangga artinya toyopo molanggato. Hal ini sesuai dengan penuturan bapak Karim Pateda (Ketua Dewan Adat Provinsi Gorontalo) bahwa: “walima itu ada tingkatan, ada walima yang disebut dengan walima ukuran kecil, dan ada juga walima ukuran sedang dan ukuran besar. Tapi sesungguhnya secara keseluruhan itu di sebut walima. kalau yang kecil di sebut toyopo. Mengapa? Karena dia memang berukuran kecil (yoyopo) bentuknya, dan dia terbuat dari daun kelapa muda yang dianyam sedemikian rupa disebut lilingo. Lilingo menjadi tempat untuk ditaruh makanan, kue, dan lain-lain. Kemudian kalau dia sudah ada tempat yang besar itu sudah disebut dengan tolangga, … Tolangga artinya toyopo molanggato, sudah ada tempatnya yang besar dan terbuat dari rotan. tapi secara keseluruhan namanya itu tetap walima.” (W.W.K P./ 22-05-2013 Jam 18.30 – 20.00 WITA di rumahnya)
4.2.1.3 Nilai-Nilai Dalam Proses Perayaan Tradisi Walima Pemahaman masyarakat Desa Bongo mengenai walima merupakan implementasi masyarakat terhadap simbol-simbol yang terdapat pada ritual, mulai dari pelaku ritual, prosesi, benda-benda adat, dan tempat ritual dijalankan, maka para pejabat negeri harus dihadirkan. Walima bagi masyarakat bukan hanya sekedar ritual keagamaan dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, tetapi juga merupakan
47
sarana berkreativitas dan berekspresi masyarakat dalam berkesenian. Namun tidak terlepas dari syairat agama Islam. Ritual maulidan menurut Hinta (2011:257) merupakan salah satu ritual keagamaan yang digunakan sebagai moment untuk menghilangkan berbagai kepercayaan yang tidak sesuai dengan ajran Islam. Oleh karena itu dalam ritual ini terdapat pesan-pesan Islami yang mempunyai nilai-nilai religi yang menjadi kaidah masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai religi yang terdapat dalam ritual Maulidan di Desa Bongo tercerminkan pada proses perayaan tradisi walima. Dimana nilai-nilai itu diimplementasikan oleh masyarakat Desa Bongo dalam melaksankan tradisi walima tersebut. Adapun nilai-nilai itu dipaparkan menjadi beberapa nilai sebagai berikut: A. Nilai Ikhlas Bekerja Koentjaraningrat
(2009:67-68)
mengutip
pendapat
Robertson
Smith,
mengemukakan bahwa ada tiga gagasan penting tentang religi dan agama. Gagasan pertama selain sebagai sistem keyakinan, juga sebagai perwujudan religi atau agama, dia berpendapat bahwa dalam agama, ritual tetap ada sedangkan motivasi, keyakinan, maksud atau doktrin berubah. Gagasan kedua adalah ritual berfungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Motivasi mereka adalah berbakti kepada Tuhan sebagai suatu kewajiban sosial. Gagasan ketiga adalah fungsi ritual sesaji adalah aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas terhadap nenek moyang yang dianggap sebagai warga yang telah membangun tempat yang dulunya merupakan sawah/hutan menjadi tempat layak huni bagi masyarakat yang menempatinya. 48
Nilai
ikhlas
bekerja dalam tradsi
walima
relevan
dengan
pendapat
Koentjaraningrat di atas. Selain itu nilai ini menjadi landasan masyarakat dalam menjalankan tradisi walima. Dan hal ini sudah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat Desa Bongo. Ini terlihat dari semangat saling membantu atau menolong apabila ada masyarakat yang mengadakan hajatan atau ada warga masyarakat yang meninggal dunia. Maka masyarakat atau tetangga yang mengadakan hajatan atau berduka, mereka datang membantu bekerja tanpa mengharapkan imbalan. Hal ini sesuai dengan penuturan dari bapak Bahtiar Yunus (Tokoh Adat Desa Bongo) bahwa: “mengenai proses pembuatan walima ini, memang semua masyarakat yang ada di Desa Bongo dalam setiap rumah tangga itu memang dari hati mereka dan keikhlasan mereka membuat walima dan itu tanpa ada permintaan maupun himbauan dari pemerintah, tapi itu karena merupakan hal yang mereka anggap suatu amal, jadi dari keiklasan mereka membuat walima dalam merayakan Maulid Nabi dan merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rejeki kepada hambanya.” (W.W.B Y./ 03-06-2013 Jam 18.30 – 20.00 WITA di rumahnya) Dalam arti bahwa nilai ikhlas bekerja yang terkandung dalam proses pembuatan walima memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat Desa Bongo. Dimana masyarakat dalam membuat walima tidak ada paksaan dari manapun dan siapapun. Mereka membuatnya dengan ikhlas dan tulus. Dengan tujuan beramal saleh dan melestarikan budaya lokal, khususnya walima itu sendiri. Geertz
(dalam
Abdullah,
2002:3)
mengatakan
bahwa
upacara
selalu
mengingatkan manusia tentang eksistensi mereka dan hubungan mereka dengan lingkungan karena melalui upacara warga suatu masyarakat dibiasakan untuk
49
menggunkan simbol-simbol yang bersifat abstrak yang berada pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial yang ada dalam kehidupan mereka sehari-hari. Lewis (dalam Abdullah, 2002:4) juga mengungkapkan upacara merupakan sumber pengetahuan tentang bagaimana seseorang bertindak dan bersikap terhadap suatu gejala yang dipeolehnya
melalui proses belajar dari generasi sebelumnya dan
kemudian harus diturunkan kepada generasi berikutnya. Berdasarkan dua pengertian di atas, maka tradis walima yang di Desa Bongo merupakan suatu tradisi yang telah menjadi suatu kebiasaan atau tradisi. Walima yang dibuat oleh masyarakat merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan sebagai perwujudan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Dan telah menjadi warisan dari orang-orang yang terdahulu kepada generasi yang sekarang dan yang akan datang. Seperti yang diutarakan oleh bapak Anden Naiu bahwa: “walima adalah sebuah warisan budaya yang tak ternilai harganya yang di wariskan oleh orang-orang terdahulu. Hampir setiap kepala rumah tangga di Bongo menyimpan Tolangga, untuk dihias, dirangkai, dan dibawa ke mesjid untuk didoakan setiap tahunnya. Tolangga adalah sebuah wadah yang terbuat dari kayu yang kokoh dan dapat dipergunakan bertahun-tahun. Dan walima sudah mendarah daging pada masyarakat Desa Bongo. Kebanggan akan walima kini sudah tertanam pada setiap masyarakat dan menjadi suatu pendorong bagi masyarakat agar bekerja keras supaya bisa membuat walima setiap tahunnya” (W.W.A N./ 03-06-2013 Jam 18.30 – 20.00 WITA di rumahnya) B. Nilai Tanggung Jawab Menurut kamus besar Bahasa Indonesia tanggung jawab artinya keadaan wajib menanggung segala sesuatu. Jadi kalau terjadi apa-apa boleh dituntut atau dipersalahkan (Moeliono dalam Tamu, 2009:62). Tanggung jawab bisa juga diartikan 50
sebagai kewajiban. Kewajiban jika dilihat dari hukum Islam merupakan sesuatu yang harus dilakukan, jika tidak dilakukan akan mendapatkan konsekuensi dari Tuhan. Selain nilai ikhlas bekerja, salah satu nilai yang diimplementasikan masyarakat dalam perayaan tradisi walima adalah tanggung jawab. Dimana hal ini bukan berarti masyarakat harus wajib membuat walima pada saat perayaan Maulid Nabi. Ada juga masyarakat yang tidak bisa membuat walima karena berada di luar daerah ataupun tidak memiliki dana yang cukup untuk membuat satu walima. Mereka biasanya hanya menyumbang kepada keluarga mereka berupa uang atau bahan untuk pembuatan walima itu sendiri. Di dalam kehidupan keluarga selanjutnya, perkawinan yang telah membentuk rumah tangga baru itu menjadi terikat pada sebuah keluarga yang lebih besar baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak wanita. Waito, dila ta ngopohiya adalah katakata bermakna “bukan orang lain” dalam arti sama dengan diri sendiri, sehingga kadar saling mencintai dan mengasihi yang mengikat keluarga besar itu relatif sama. (Niode, 2007:236). Biasanya satu minggu sebelum pelaksanaan tradisi walima, warga yang ada di luar Desa mulai berdatangan. Dan bagi warga yang tidak berkesempatan untuk datang, hanya mengirim dana kepada keluarganya untuk dibuatkan walima. Jadi apapun keadaan dan kondisi masyarakat Desa Bongo, selagi mereka masih terikat dalam satu keluarga besar. Mereka tetap bisa bertanggung jawab dalam proses pembuatan walima. Hal ini sesuai dengan penuturan ibu Wahyuni Hamzah (Tokoh Wanita Desa Bongo) bahwa: 51
“biasanya keluarga yang ada di luar daerah dan tidak sempat datang. Dorang somo ba kirim kamari uang pa dorang pe keluarga yang ada di Bongo. Biasanya itu uang dorang mo suru bili kasana depe bahan lo kue. Misalnya, dorang kirim uang seratus ribu rupiah untuk mo tamba kasna bili gula, ataupun telur, nanti digabung dengan yang lain punya gula ataupun telur. Ada juga keluarga yang belum bisa membuat walima karena tidak ada doi untuk mo bekeng akan walima, dorang so mo baku bantu mo b hias tolangga atau mo b masa kolombengi ” Artinya: Biasanya keluarga yang ada di luar daerah dan tidak sempat datang. Mereke akan mengirimkan uang kepada keluarga mereka yang ada di Desa Bongo. Biasanya uang yang mereka kirimkan tersebut, digunakan untuk membeli bahan kue. Misalnya, mereke mengirim uang sebesar seratus ribu rupiah untuk ditambahkan membeli gula ataupun telur, nanti digabung dengan telur atau gula dari keluarga yang di Desa Bongo. Dan keluarga yang belum bisa membuat walima karena tidak memiliki dana untuk membuat walima, mereka akan membantu keluarga yang membuat walima dalam hal menghias wadah untuk menaruh kue (tolangga). Atau mereka membantu memasak kue khas walima (kolombengi) (W.W.W H./ 18-06-2013 Jam 19.00 – 20.00 WITA di rumahnya) C. Nilai Saling Membantu Komunitas masyarakat apapun levelnya dari keluarga maupun Negara, pada prinsipnya saling membantu satu sama lainnya. Manusia memerlukan kebersamaan sosial dan saling membantu untuk memperoleh keuntungan, kesempatan pendidikan, dan hidup yang lebih baik. Semangat bersosial dan saling membantu semacam ini adalah usaha untuk menjalin hubungan yang baik dengan dilandasi oleh nilai-nilai budaya. Selain kedua nilai yang sudah dijelaskan di atas, masih ada satu lagi nilai yang menjadi landasan masyarakat Desa Bongo dalam memebuat walima. Yakni, nilai saling membantu, dimana sifat ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat dalam 52
melakukan hubungan sosial. Ini dibuktikan dengan adanya sifat gotong royong pada masyarakat dalam menjalakan kehidupan sosial. Menurut Ibrahim (2003) kerabat/keluarga di Gorontalo disebut ngalaqa, tata cara berkeluarga disebut motolongalaqa dan sistem keluarga disebut ungalaa. Dalam hal ungalaa, pada umumnya orang Gorontalo mengambil prinsip bilateral dan parental, yaitu sistem yang mengikuti garis keturunan ibu dan ayah (mongoudulaqa mohualiya). Dengan sistem demikian ngalaqa meliputi hubungan keluarga menurut pertalian yang amat luas dimana seorang anak menjadi anggota keluarga ayah sekaligus adalah anggota keluarga ibunya. Soekanto (1985:61) mengemukakan bahwa hubungan sosial mengandung faktorfaktor komunalisasi dan agregasi. Komunalisasi hubungan sosial terjadi, apabila proses sosial itu didasarkan pada rasa solidaritas yang merupakan hasil keterikatan secara emosional atau tradisional. Agregasi hubungan sosial merupakan hasil rekonsiliasi dan keseimbangan kepentingan-kepentingan yang dimotivasikan oleh penilaian secara rasional atau kebiasaan. Proses saling membantu dalam pembuatan walima menandakan adanya hubungan sosial diantara masyarakat. Dan proses hubungan sosial yang pada masyarakat Desa Bongo, jika ditinjau dari teori diatas. Maka proses itu lebih condong ke arah hubungan sosial yang bersifat komunalisasi. Seperti yang dituturkan oleh bapak Irfan Nggilu (Kepala Desa) bahwa: “warga masyarakat yang ada di Desa Bongo masih memiliki sifat gotong royong. Ini bisa dibuktikan dengan keikut sertaan masyarakat dalam kerja bakti untuk membersihkan lingkungan. 53
Hampir setiap warga saling membantu dalam melakukan semua kegiatan sosial, contohnya dalam pembangunan pondasi rumah, orang yang akan mendirikan pondasi rumah meminta bantuan kepada orang-orang yang disekitar rumah mereka dan keluarga mereka dalam membuat pondasi tersebut. Dan orang-orang yang membantu membuat pondasi rumah itu tidak digaji, hanya diberi makan dan minum oleh orang mempunyai pondasi tersebut.” (W.W.I N./ 18-06-2013 Jam 08.30 - 09.00 WITA di kantor Desa Bongo) Hal yang disampaikan oleh informan di atas biasanya oleh orang Gorontalo disebut mo-tiayo. Ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Niode (2007:95) tiayo artinya permintaan bantuan seorang penduduk kepada tetangga, kenalan atau kaum kerabatnya untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak disanggupinya sendiri. Tidak dipungut biaya atas pekerjaan tersebut kecuali kewajiban memberi makan kepada mereka hingga pekerjaan tersebut selesai. Dalam proses kegiatan walima masyarakat saling bahu-membahu dalam melaksanakannya. Para pemuda juga ikut dilibatkan dalam proses ini, tidak pembatasan oleh orang-orang tua. Walima sekarang menjadi kebanggan bagi masyarakat khusunya bagi generasi muda. Hal ini sesuai yang dituturkan oleh Ramly Nasim, tokoh pemuda yang ada di Desa Bongo. “selain mo ba hias tolangga deng mo b cucu kue lo walima, biasanya torang rema muda yang ada di Desa Bongo. Baku bantu mo b karja di mesjid dengan orang-orang tua. Biasanya torang mo b bangun tenda, mo b bekeng jaramba dengan mo b pasang lale. Soalnya sebagai rema muda yang di Desa Bongo torang juga bertanggung jawab dalam melaksanakan walima dan itu menjadi suatu kebanggan bagi torang rema muda. Apalagi skarang walima sudah terkenal,” Artinya: Selain menghias wadah untuk walima (tolangga) dan menusuk atau memasukan kue dalam bambu yang sudah diraut. Biasanya para pemuda yang ada di Desa Bongo juga ikut membantu para 54
orang tua yang bekerja di mesjid. Kami membantu membangun tenda, membuat tempat untuk para pezikir yang terbuat dari bambu yang dihias dengan daun kelapa yang masih muda. Sudah menjadi tanggung jawab para pemuda yang di Desa Bongo dalam melaksankan tradsi walima. dan hal ini menjadi kebanggan bagi para pemuda yang di Desa Bongo, ditambah lagi tradisi walima sudah dikenal oleh orang banyak. (W.W.R N./ 18-06-2013 Jam 20.00 – 21.00 WITA di rumahnya) Proses saling membantu ini dapat menandakan bahwa hubungan kaum tua dan kuam muda sangat dekat. Dan menghilangkan pendapat yang berkembang dimasyarakat, dimana kaum muda dianggap belum mampu memikul suatu tanggung jawab atau sering disebut oleh masyarakat dipo mo’o odelo.
Bahkan dalam
kepanitiaan Maulid Nabi tidak jarang kaum muda yang menjadi ketua panitia.
4.2.2 Peran Masyarakat Dalam Perayaan Tradsi Walima 4.2.2.1 Pembentukan Panitia Pelaksanaan Pelaksanaan upacara adat di Gorontalo tidak lepas dari kesepakatan yang disebut ‘tiga serangkai adat’ yakni, (a) bubato ‘tokoh pembesar negeri’; (b) sara’a ‘tokoh agama’; dan (c) tula’ibala ‘tokoh keamanan adat’ (Hinta, 2011:205). Hal ini juga yang terjadi pada tradisi walima di Desa Bongo, dimana sebelum pelaksanaan walima tiga tokoh tersebut mengadakan musyawarah atau pertemuan. Menurut Tamu (2009:39) Upacara adat menjadi penting dilaksanakan karena upacara mewakili realitas yang pernah terjadi di dalam kultur masyarakat. Upacara adat merupakan sarana pengingat, yaitu mengingatkan seseorang pada kejadian yang pernah dialaminya dimasyarakat. Melalui pelaksanaan upacara adat, identitas setiap
55
kelompok masyarakat diharapkan tetap dipertahankan sebagai pembeda dari kelompok masyarakat lainnya. Pada awalnya perayaan Maulid Nabi di Desa Bongo diadakan di rumah-rumah penduduk, karena pada saat itu sarana ibadah belum ada. Nanti pada saat telah berdirinya sarana ibadah dan meningkatnya penghidupan ekonomi masyarakat, walima diadakan di mesjid. Perayaan Maulid diadakan dalam bentuk zikir (modikili) bersama semalam suntuk, dan pada siang harinya diadakan pembacaan sholawat Nabi kemudian dilanjutkan dengan pembagian walima kepada para pezikir. Perayaan Maulid Nabi yang di Desa Bongo dirayakan secara sakral, meriah dengan penuh hikmat yang dilandasi nilai budaya walima yang sangat melekat pada masyarakat. Hal ini dapat dilihat antusias masyarakat yang datang berzikir (modikili) berasal dari berbagai Kabupaten dan Kota yang berada di Provinsi Gorontalo. Dan juga keikut sertaan para pemimpin daerah baik dari Camat, Bupati dan Gubernur. Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas, maka masyarakat membentuk panitia pelaksanaan Maulid Nabi. Pembentukan panitia ini difasilitasi oleh pemerintah Desa khusunya Kepala Desa. Dan pembentukanya dilaksanakan di kantor Desa Bongo. Pembentukan panitia ini dilaksanakan satu minggu atau sebulan sebelum Maulid Nabi. Hal ini sesuai yang dituturkan oleh bapak Nurdin Hamzah (Tokoh masyarakat yang menulis sejarah Desa Bongo) bahwa: “biasanya pembentukan panitia ini dilaksanakan seminggu atau sebulan sebelum pelaksanaan walima. Waktu ti pak Abubakar Arbie yang menjadi kepala desa pada tahun 1974, pembentukan panitia dilaksanakan satu bulan sebelum walima. Pada waktu itu pengumuman pembentukan panitia disampaikan oleh Kepala 56
Desa pada saat hari pasar. Tapi sekarang ini pembentukan panitia walima sudah melalui surat undang yang dibuat oleh pemerintah Desa kepada tokoh-tokoh masyarakat dan seluruh masyarakat. Dan pembentukannya dilaksanakan satu minggu sebelum tradisi walima dilaksanakan dan kepanitian yang melaksanakan tradisi walima kini mulai di SK kan oleh pemerintah Desa Bongo.” (W.W.N H./ 16-06-2013 Jam 20.00 – 22.00 WITA di rumahnya) Sebagai mahkluk sosial manusia tidak dapat dipisahkan dari komunitasnya, setiap orang didunia ini tidak ada yang dapat berdiri sendiri melakukan segala sesuatu aktivitas. Semua orang pasti saling bekerja sama dalam melakukan aktivitasnya. Kerja sama dapat dilihat sebagi suatu startegi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keberuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan. Panitia pelaksanaan Maulid Nabi terdiri dari pemerintah Desa, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda. Kemudian panitia ini dibagi menjadi dua kelompok, ada kelompok yang khusus dalam mesjid dan di luar mesjid. Kelompok yang di dalam mesjid melayani para pezikir dan pejabat, sedangkan kelompok yang di luar mengatur mekanisme pembagian walima dan sedekah. Sedekah ini diambil dari uang yang diberikan oleh pemilik walima kepada panitia, uang itu disebut tunuhio. Hal ini sesuai dengan penuturan bapak Djafar Yunus, bahwa: “yang menjadi panitia maulid di desa bongo ini diambil dari berbagai kalangan, ada dari depe tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, pokoknya hampir semua golongan ada dalam kepanitian. Biasanya panitia ini ada yang ba tugas di dalam masjid dan ada yang di luar masjid. Kebanyakan panitia yang bertugas di dalam masjid itu dorang tokoh-tokoh adat dan 57
agama, soalnya karja yang ada di dalam itu biasanya berhubungan dengan adati. Sedangkan kami panitia yang diluar bertugas untuk mengatur pembagian walima dan sedekah untuk para penzikir. Untuk uang sedaka itu didapat dari uang yang diberikan oleh pemilik walima atau yang disebut tunuhio .” (W.W.D Y./ 05-06-2013 Jam 20.00 – 22.00 WITA di rumahnya)
4.2.2.2 Proses pembagian Walima Tradisi walima merupakan salah satu tradisi yang berasal dari proses asimilasi kebudayaan yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat Gorontalo dengan agama Islam. Seperti tradisi slametan yang ada di Jawa di mana tradisi ini sudah ada pada waktu masyarakat masih memeluk agama hindu. Begitu pula tradisi walima, dimana tradisi semacam ini sudah dilakukan masyarakat pada saat masih memeluk kepercayaan animisme dan dinamisme. Salah satunya tradisi meminta hujan atau yang disebut masyarakat dengan modayango. Namun setelah masuknya Islam pada zaman Sultan Eyato sudah disesuaikan dengan ajaran Islam. Selain menyesuaikan ritual adat dengan ajaran agama Islam, Eyato juga menjalankan kepimpinanya dengan demokrasi sesuai syairat Islam. Ciriciri demokrasi tersebut (Niode, 2007:30) antara lain: pertama, kedaulatan rakyat. Jika dalam musyawarah adat pelantikan Ilahudu dan raja-raja sebelum Eyato dikenal pernyataan huidu lo huntu datahu (gunung menjunjung dataran), maka pada Eyato menjadi datahu lo huntu huidu (dataran menjunjung gunung). Artinya rakyat yang memilih dan menentukan pimpinan/penguasa. Kedua, pembatasan kekuasaan. Dalam menjalankan u lipu (pemerintahan) kekuasaan terbatas dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) tugas maharaja adalah 58
membantu Tuhan dan Nabi untuk menciptakan segala-galanya bagi rakyat (moyiyo to Allah wolo Nabi mursala, loo wali u sagala). (2) Dalam memakmurkan rakyat, maharaja harus bertindak sesuai dengan sifat Tuhan yang Maha pengasih dan Maha penyayang seperti dicontohkan oleh Muhammad Rasulullah. Agama menjadi patokan utama dalam mengendalikan kerajaan (agama to taluu, lipu pei hulaluu). (3) Pemerintahan dipimpin oleh dewan permusyawaratan (oli ide olimbunga, oladiya poheluma). Dalam tradisi walima pimpinan atau pejabat merupakan bagian dari tradisi ini, sebab pimpinan merupakan perpanjangan tangan dari Allah dan Nabi. Sehingga dalam pembagian walima para pimpinan atau pejabat dimasukan dalam daftar orang yang akan menerima walima. Proses pembagian itu sendiri diatur oleh panitia pelaksana yang bertugas di luar mesjid. Sebelum dibagikan walima terlebih dahulu didata atau dicatat oleh panitia, biasanya pendataan dilakukan dalam bentuk pemberian nomor pada walima dan pencatatan siapa pemilik dari walima tersebut. Hal ini dilakukan agar supaya walima dapat dibagikan secara merata kepada pezikir, tokoh agama, pejabat, dan masyarakat. Dan memudahkan pemilik walima dalam menjaga tolangganya, agar tidak hilang. Hal ini sesuai dengan penuturan bapak Ibrahim Nasim, bahwa: “ walima yang dibagi kepada pezikir itu, sudah diberi nomor oleh panitia. Kenapa diberi nomor? Supaya walima dapat dibagi secara merata. Karena banyaknya walima ini disesuaikan dengan banyaknya pezikir, belum lagi pembagian untuk para imam dan pejabat. tetapi pada prinsipnya panitia itu memprioritaskan kelompok-kelompok yang berzikir itu dari malam sampai besok selesai zikir, itu yang di proritaskan untuk 59
diberikan. Sebelum diberikan nomor, walima dicatat terlebih dahulu oleh panitia siapa pemiliknya. Pencatatan ini dilakukan sebelum walima diantar ke mesjid, biasanya yang dicatat siapa pemiliknya dan berapa tusuk kue yang dibuat. Supaya pada saat pembagian, panitia bisa menyesuaikan satu walima dapat dibagi kepada berapa orang pezikir, karena ukuran dari walima itu berbeda-beda. Dan pemberian nomor dan pencatatan ini bisa memudahkan pemilik walima, untuk mengetahui walima-nya diberikan kepada siapa.” (W.W.I N./ 17-06-2013 Jam 19.00 – 20.00 WITA di rumahnya)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tradisi walima yang ada di Desa Bongo menyerupai tradisi garebeg yang ada di Jawa. Pada awalnya walima hanya dibuat oleh raja atau kepala pemerintahan dan namanya masih toyopo. Pada tahun 1937 pemerintah Desa Bongo membuat toyopo yang besar dan diberi nama tolangga lopuluto (walima lopuluto). Kemudian tolangga lopuluto tersebut diantar ke mesjid dengan diiringi tarian langga sampai ke mesjid. Walima lopuluto ini dibagikan kepada pezikir, masyarakat, dan pejabat atau pemimpin agama (kaddi) setelah selesai didoakan. Kalau pada tradisi garebeg, gunungan diperebutkan selesai didoakan, berbeda dengan tradisi walima yang di Desa Bongo. Dimana walima lopuluto ini diambil sedikit-sedikit (he pulutoliyo) dan diberikan kepada orang yang menerima, bukan diperebutkan (he po pupulutaliyo) seperti gunungan. Dalam kehidupan bermasyarkat, menurut Tamu (2009:28-29) masyarakat Gorontalo mempunyai beberapa sumber kaidah. Dan sumber dari semua kaidah adalah Butu To Payu yang kemudian menjadi Payu lo Lipu. Selanjutnya Tamu menjelaskan implementasi dari Payu lo lipu ini didasarkan pada lima sumber hukum 60
adat yang disebut Butuqo limo, yaitu wuudu, adati, tinepo, tombulungo dan butuo. Wuudu adalah aturan tingkah laku atau norma. Adati adalah kebiasaan yang dilanggar memperoleh sanksi. Tinepo adalah perhatian atasan terhadap bawahan. Tombulungo adalah penghargaan bawahan atas perhatian atasan. Sedang Butoo adalah hukum. Dalam proses pelaksanaan walima, Butoqo Limo merupakan patokan masyarakat Desa Bongo. Dimana hal ini terlihat dari proses pembagian walima itu sendiri. Selain walima dibagikan pada pezikir, ada juga walima yang diberikan pada pejabat. Hal ini memperlihatkan salah satu unsur Butoqo Limo, yaitu Tombulungo diimplementasikan masyarakat dalam proses pembagian walima. Dalam proses pembagian walima biasanya disampaikan dengan tujai oleh ketua adat, bunyinya sebagai berikut: “walima ma hidutuwa tayade aturua mulo-mulo de ta’uwa wawu diya pohehuwa” artinya walima sudah dihidangkan bagikan secara teratur, terlebih dahulu kepada pejabat atau pimpinan dan tidak boleh berebut. Hal ini sesuai dengan penuturan bapak Karim Pateda (Ketua Dewan Adat Provinsi Gorontalo) bahwa: “Kalimat puluto itu artinya mencicipi, mungkin dalam kalimat dalam bahasa Gorontalo molamito atau merasakan. Jadi di sebut walima puluto, sehingga begitu selesai doa, diharapkan rakyat itu antri untuk datang mengambil kue sesuai kebagiannya. sekarang dengan pergeseran nilai, kue yang ada di walima itu jadi rebutan, menjadi rusak bahkan menjadi mubajir itu sudah lari dari tradisi kita. Tetapi terkadang yang disoroti adalah proses pembagian yang mengistimewakn pejabat. orang yang berzikir itukan kebetulan profesinya, tetapi yang dinilai kepada seorang pejabat itu hidayahnya menjadi seorang pemimpin dan itu memang jadi hidayah jabatanya dan karena khalifahnya itu, sebagai pemimpin. Khalifah itu atiquulah waa ulil amri minkum, yang dimaksud ulil amrin minkum tersebut merupakan pemerintah.” (W.W.K P./ 22-05-2013 Jam 18.30 – 20.00 WITA di rumahnya) 61
Selain pembagian walima yang ada di mesjid-mesjid, masyarakat juga membagibagikan walima kepada masyarakat yang berkunjung dan keluarga yang telah ikut bersama-sama dalam tradisi walima. Hal ini dikarenakan oleh nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya walima sudah menjadi kepribadian masyarakat Desa Bongo. Ada satu sifat masyarakat dalam bermasyarakat, sifat ini disebut dengan mopo udaa to tawu artinya menghargai orang. Jadi setiap masyarakat yang ada di Desa Bongo begitu menghargai orang, ini bisa dilihat dari penghargaan masyarakat terhadap orang-orang yang datang berkunjung pada saat walima. Tradisi walima yang di Desa Bongo menjadi salah satu ciri khas tradsi Gorontalo, dimana tradisi Gorontalo yang mempunyai falsafah adat bersendikan syara, syara bersendikan kitabullah (ASQ). Walima menggambarkan bagaimana semestinya adat istiadat atau kebudayaan Gorontalo itu dijalankan, seperti yang telah dijalankan oleh para leluhur terdahulu. Dimana ritual keagamaan dibarengi dengan prosesi-prosesi adat yang menjadi kebiasaan masyarakat tradisional khususnya masyarakat Gorontalo.
62