BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A.
Hasil Penelitian
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang
terkait
di
dalam
penanganan
kasus-kasus
kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut.
Kedua,
jaksa
dan
lembaga
pembebasan
bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dibebaskan
dalam sampai
pilihan-pilihan, dimasukkan
mulai
dalam
dari
institusi
penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman. Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali melakukan intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penangkapan, penahan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan kewenangan kepolisian untuk menegakkan sistem peradilan pidana anak. Dalam
menjalankan
tugasnya
kepolisian
diberikan kewenangan diskresi (discretionary power).
73
Kewenangan diskresi adalah kewenangan legal di mana kepolisian berhak untuk meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara. Berdasarkan kewenangan ini pula kepolisian dapat mengalihkan (diversion) terhadap suatu perkara anak sehingga anak tidak perlu berhadapan dengan penyelesaian pengadilan pidana secara formal. Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satuan Reserse Kriminal Resort Tegal menyatakan bahwa pada dasarnya kasus yang dilaporkan ke Polres Tegal
tidak
semua
berkasnya
dilimpahkan
ke
Kejaksaan. Ketika penyidikan dilakukan, terkadang antara
pihak
korban
dan
pelaku
melakukan
perdamaian seperti pada tahun 2013 dari beberapa kasus namun hanya sebagian kecil berkasnya yang disampaikan ke kejaksaan. Biasanya perdamaian ini terjadi karena bantuan pihak ketiga seperti tokoh adat atau tokoh masyarakat. Perdamaian itu biasanya disertai ganti rugi yang ditandai dengan kesepakatan antara korban dan pelaku. Terkadang pihak kepolisian dilibatkan dan tidak dilibatkan namun apabila perkara tersebut sudah diselesaikan secara damai biasanya pihak korban, pelaku dan tokoh masyarakat atau pihak-pihak yang terlibat datang melapor ke Polres Tegal. Namun apabila kasus pencabulan dimana korban
atau
melakukan
74
orang
tua
perdamaian
korban dengan
tidak adanya
bersedia surat
pernyataan yang ditandatangani oleh orang tua korban maka kasus ini akan diteruskan ke kejaksaan1. Pada
tahap
ini
kewenangan
polisi
dalam
mengalihkan (diversi) perkara anak demi keadilan restributif telah terjadi dimana terjadi penurunan kasus pada tahun 2013. Berarti ada beberapa kasus yang mengalami diversi. Dari beberapa kasus yang diteruskan ke kejaksaan dapat dikatakan kewenangan diskresi belum dipergunakan secara maksimal untuk menangani perkara anak. Fakta ini menunjukkan kepolisian
belum
menggunakan
kewenangan
diskresinya dalam menangani perkara anak. Alasan pihak kepolisian tidak menggunakan kewenangan
diskresi
mereka
secara
maksimal
dikarenakan ada beberapa kasus anak yang wajib mereka
teruskan
ke
kejaksaan
seperti
kasus
pencabulan (pemerkosaan) dan narkoba. Sedangkan untuk kasus tindak pidana ringan seperti kasus pencabulan
biasa,
penganiayaan
atau
pencurian
biasanya dilakukan diversi2. Sebagaimana dikemukakan Kanit PPA Polres Tegal, bahwa: “Untuk diversi biasanya dilakukan pada kasus tindak pidana ringan atau kasus penganiayaan atau pencurian. Namun untuk kasus pencabulan atau
Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 9 April 2014 2 Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 9 April 2014 1
75
narkoba semua dilimpahkan. Namun biasanya yang pelakunya
anak
Perdamaian
harus
biasanya
diupayakan
disarankan
perdamaian.
oleh
penyidik,
digelar dulu dengan pakar hukum di Polresta dan keputusannya
diambil
dalam
sidang
rapat
dan
biasanya tidak ada tenggang waktu berapa lama untuk proses perdamaian”3. Pendapat Kanit PPA Polres Tegal ini diperkuat dengan membaca Undang-undang
Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam konteks penanganan perkara anak, tidak ada pasal-pasal
yang
secara
khusus
mengatur
kewenangan diskresi. Bahkan dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur tindakan dan metode untuk menangani anak yang melanggar
hukum
pidana.
Pasal
16
ayat
(1)
menetapkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas dalam bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, mengadakan Pasal
18
kepentingan
penahanan, penghentian
ayat
(1)
umum
penggeledahan; penyidikan.
menyatakan pejabat
...
h.
Selanjutnya
bahwa
Kepolisian
untuk Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ketentuan tersebut dapat menjadi acuan bagi
Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 9 April 2014 3
76
polisi untuk mengambil tindakan diskresi, namun penggunaan kewenangan ini belum jelas ditujukan dalam menangani perkara apa. Beijing Rules mengatur kewenangan diskresi melalui
mekanisme
pengalihan.
Butir
11.1
menyatakan pertimbangan akan diberikan, bilamana layak, untuk menangani pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal oleh pihak berwenang yang berkompeten. Selanjutnya Butir 11.2 menetapkan polisi, penuntut umum atau badan-badan lain yang menangani perkara-perkara anak akan diberi kuasa untuk memutuskan perkaraperkara demikian, menurut kebijaksanaan mereka, tanpa menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan awal yang formal, sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masingmasing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung
di
dalam
peraturan-peraturan
ini.
Langkah ini diperlukan karena menurut Butir 13.1 dinyatakan bahwa penahanan sebelum pengadilan hanya
akan
digunakan
sebagai
pilihan
langkah
terakhir. Dan menurut Butir 13.2 dinyatakan di mana mungkin, penahanan sebelum pengadilan akan diganti dengan langkah-langkah alternatif, seperti pengawasan
secara
dekat,
perawatan
intensif
atau
penempatan pada sebuah keluarga atau pada suatu tempat atau rumah pendidikan. Ketentuan ini diatur oleh Konvensi Hak Anak Pasal 37 huruf b yang mewajibkan negara untuk 77
menjamin tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan Penangkapan,
sewenang-wenang.
penahanan
atau
pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat. Konstruksi hukum serupa dapat ditemukan pada Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 14 ayat (4) yang menyatakan dalam kasus orang di bawah
umur,
prosedur
yang
dipakai
harus
mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka. Berdasarkan
ketentuan
tersebut,
kepolisian
mempunyai kewenangan dan kebijakan tersendiri dalam menentukan apakah kasus anak tersebut dapat diselesaikan melalui pengalihan atau tidak seperti kasus
pencabulan
dan
narkoba
yang
biasanya
diteruskan ke penuntutan. Apabila diversi berhasil dilakukan maka akan dilakukan pemulihan. Namun jika diversi tidak berhasil atau kepolisian berdasarkan kewenangannya menyatakan bahwa kasus tersebut harus
diterukan
maka
proses
akan
dilanjutkan
dengan pelimpahan berkas ke kejaksaan. Namun
terkadang
dalam
melaksanakan
tugasnya, kepolisian bahkan tidak menawarkan diversi dan restorative justice. Selain itu pihak keluarga korban juga tidak bersedia melakukan perdamaian yang ditandai dengan adanya surat pernyataan diatas
78
materai yang meminta pelaku dihukum seberatberatnya. Berdasarkan
temuan
di
lapangan,
tidak
dilakukannya diversi dan restorative justice secara maksimal oleh kepolisian di Polres Tegal dikarenakan kemampuan pihak polisi sendiri dalam memahami konsep
ini
penerapannya keluarga
masih
kurang
jarang
dilakukan
korban
atau
sehingga
keluarga
kecuali
dalam pihak
pelaku
yang
melakukan perdamaian diluar kepolisian. Sehubungan dengan hal tersebut, Kapolres Tegal mengatakan bahwa: Memang dalam beberapa perkara yang melibatkan anak sebagai pelakunya, terutama kasus-kasus yang kerugian materiilnya kecil, antara korban dan pelaku lebih memilih penyelesaiannya melalui jalan perdamaian, karena mereka merasa lebih memperoleh kemudahan dan tidak berlarut-larut. Misalnya di dalam kasus perkara penganiayaan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh Tersangka anak yakni dalam Laporan Polisi Nomor LP/B/259/VIII/2013/Res.Tgl tertanggal 28 Agustus 2013,
di
mana
yang
melaporkan
adalah
Sarah
Matahelumual binti Warja, tanggal lahir 07 Oktober 1964 pekerjaan ibu rumah tangga agama Kristen, alamat Desa Dukuhsalam RT 02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal yang melaporkan bahwa pada hari Senin, tanggal 26 Agustus 2013 pukul 16.30 WIB di belakang rumah Sdri. Surip Desa Dukuhsalam RT 79
02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal terjadi tindak pidana melakukan kekerasan terhadap anak yakni korban Samuel Matahelumual bin Abraham Yosep Matahelumual umur 12 tahun pelajar SD, agama Kristen alamat desa Dukuhsalam RT 02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal yang dilakukan oleh Tersangka Panggi bin Rasman umur 17 tahun, pekerjaan pelajar, agama Islam, pelajar SMK, alamat desa Dukuhsalam RT 02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal. Kejadian yang dilaporkan Pelapor adalah bahwa pada saat korban sedang bermain bersama teman-temannya di belakang rumah Sdri Surip tiba-tiba korban didatangi oleh Tersangka dari arah
sungai
terjengkang
dan
langsung
kemudian
mendorong
ditendang
sehingga
perutnya
dan
ditampar hingga merasakan sakit. Dalam perkara penganiayaan yang tersangkanya adalah berusia anak, maka pihak kepolisian Resor
Tegal
mengadakan
pendekatan
Restorative
Justice yakni dengan melakukan pendekatan kepada keluarga korban dan keluarga pelaku. Usaha ini berhasil
dilaksanakan
dengan
adanya
surat
pernyataan dari kedua belah pihak yang isinya adalah sebagai berikut : Yang bertandatangan di bawah ini a. Nama Tempat tanggal lahir
80
:Sarah M.binti Warja : Tegal, 07 Oktober 1964
Pekerjaan
: Ibu rumah Tangga
Alamat
: Desa Dukuhsalam RT 02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal
Disebut sebagai pihak kesatu b.Nama
: Nursitin binti Sanusi
Tempat tanggal lahir : Tegal, 21 Januari 1961 Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Desa Dukuhsalam RT 02 RW 04 Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal
Disebut sebagai Pihak kedua merupakan orang tua dari tersangka Sdr. Panggi bin Rasman Pada hari Senin, tanggal 26 Agustus 2013 sekira pukul 16.30 WIB di belakang rumah Sdri Surip tepatnya
di
sekitar
sungai
Kaligung
turut
desa
Dukuhsalam Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal telah terjadi tindak pidana kekerasan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh anak dari pihak kedua yang bernama Sdr. Panggi bin Rasman terhadap korban/anak dari pihak kesatu yang bernama Sdr. Samuel Matahelumual bin Abraham Yosef dan atas kejadian ini antara kedua belah pihak telah sepakat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan jalan
kekeluargaan,
serta
kedua
belah
pihak
menyatakan: 81
1. Bahwa pihak kedua tidak akan mengulangi perbuatannya seperti tersebut di atas baik terhadap pihak kesatu maupun terhadap pihak lain kedua meminta maaf atas 2. Pihak perbuatannya tersebut di atas kepada Pihak kesatu dan Pihak kesatu menerima serta memberikan maaf kepada Pihak Kedua 3. Pihak kedua bersedia dilakukan proses hukum yang berlaku jika mengingkari surat pernyataan ini. 4. Pihak kedua dan pihak kesatu telah sepakat untuk tidak saling memprovokasi tentang permasalahan ini 5. Apabila di kemudian hari pihak kedua mengulangi perbuatan tersebut terhadap pihak kesatu maka pihak kedua bersedia diproses secara hukum Sesuai dengan tanggapan dari Kasat Reskrim Polres Tegal, yang mengatakan bahwa: Mengingat kasus yang ditangani oleh penyidik Polres Tegal cukup banyak,
maka
untuk
efisiensi
dan
kecepatan
penanganan perkara, memang ada beberapa kasus yang
melibatkan
anak
sebagai
pelaku,
penyidik
menerapkan konsep keadilan restoratif yang tentunya dengan mempertimbangkan dan memperhatikan dari berbagai aspek, misalnya kerugian yang ditimbulkan kecil, tidak me-nimbulkan korban jiwa, dan yang paling penting kedua belah pihak sepakat untuk diselesaiikan secara kekeluargaan4.
Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 9 April 2014 4
82
Hal yang sama juga dikemukakan para Penyidik, yang mengatakan bahwa: Dalam menangani kasus yang pelakunya anak-anak memang ada beberapa kasus yang kami selesaikan dengan kekeluargaan, itupun atas permintaan kedua belah pihak yang telah sepakat untuk menyelesaikannya secara damai, tapi tidak semua kasus anak yang kami tangani kami selesaikan
secara
kekeluargaan,
terutama
kasus-
kasus yang menjadi atensi pimpinan seperti curanmor, penganiayaan
berat
tetap
kami
proses
sesuai
ketentuan yang berlaku. Berdasarkan uraian dan fakta-fakta di atas tentunya
kenyataan
menjalani rakatan
di
pemidanaan (yang
lapangan pada
tujuannya
seseorang
lembaga
yang
pemasya-
memberikan
efek
jera),
ternyata setelah kembali ke masyarakat, orang yang bersangkutan justru terdidik menjadi pelaku tindak pidana jenis lain, bahkan dalam banyak kasus, orang yang
telah
menjalani
pemidanaan
tetap
saja
mengulangi perbuatan (pidana) atau recidive pada masa datang. Hal ini juga telah menjadi pertimbangan sendiri terhadap efektivitas pemidanaan dalam sistem hukum pidana, sehingga perlu dicari cara lain yang lebih dapat menjamin penyelesaian kasus pidana secara efektif dan efisien, serta lebih memenuhi prinsip keadilan. Cara penyelesaian perkara pidana dimaksud
adalah
dengan
pendekatan
keadilan
restoratif.
83
Dalam praktiknya penyidikan terhadap perkara pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku di Polres Tegal, banyak pihak yang terlibat (pelaku dan korban) serta masyarakat lebih cenderung memilih penerapan konsep keadilan restoratif, karena dianggap tidak memakan waktu yang lama dan prosesnya tidak berbelit-belit. Hal ini menjadi pertimbangan bagi pihak penyidik untuk memberikan ruang bagi kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara pidananya diluar pengadilan, namun kewenangan untuk melakukan penegakkan hukum tetap berada di pihak Kepolisian. Sebagaimana penegasan Pasal 13 huruf b Undangundang
Nomor 2 Tahun 2002 yang berbunyi Tugas
Pokok Polri adalah menegakkan hukum. Namun tidak menutup
kemungkinan
bagi
kepolisian
untuk
bertindak diluar ketentuan hukum yang berlaku demi kepentingan umum. Berdasarkan pasal 18 ayat (1) Undang-undang
Nomor
2
Tahun
2002
justru
kepolisan diberikan peluang untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri untuk kepentingan umum. Di bawah ini disajikan data perkara tindak pidana anak di Polres Tegal dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 dalam tabel sebagai berikut :
84
Tabel 3.1. Data Perkara Tindak Pidana Anak di Polres Tegal Tahun 2013 No 1
2
3
4
Jenis Tindakan
Pasal yang
Pidana
dilanggar
Penyelesaian
Keterangan
Kekerasan terhadap
Pasal 80
Restorative
Keluarga pelaku
anak
UUPA
Justice
meminta maaf
Pencurian HP olah
Pasal 362
diversi
kekeluargaan
anak 16th
KUHP
Perkelahian anak
Pasal 80
Restorative
damai
UUPA
justice
Pengrusakan sepeda
Pasal 406
Restorative
Korban
motor oleh anak 16
KUHP
justice
memaafkan
Pasal 80
Restorative
damai
UUPA Anak
Justice
Kekerasan sesama
Pasal 80
diversi
anak
UUPA
Perkelahian antar
Pasal 170
anak
KUHP
Pencurian oleh anak
th 5
6
7
8
9
10
11
Perkelahian anak
Korban memaafkan
Diversi
Mediasi
Pasal 362
Diteruskan ke
Mall menolak
KUHP
kejaksaan
damai
Pencabulan oleh
Pasal 81, 82
diproses
Ancaman 5 th
anak
UUPA
Pemerasan oleh
Pasal 368
Dilanjutkan
Kejahatan berat
anak
KUHP
peradilan
Pencurian helm oleh
Pasal 362
Dikembalikan
Orang tua pelaku
anak
KUHP
kepada orang
tergolong
tua
keluarga tidak mampu sehingga tidak mampu mengembalikan kerugian korban
Sumber: Unit PPA Polres Tegal
85
Pada kasus kejahatan anak di bawah umur tidak semuanya dapat didamaikan secara restorative justice (diversi). Dan sebagian kasus kejahatan yang dilakukan anak sebagian diteruskan ke kejaksaan sehingga kewenangan diskresi belum dipergunakan secara maksimal untuk menangani perkara anak yang bermasalah dengan hukum. Fakta ini menunjukkan bahwa kepolisian belum menggunakan
kewenangan
diskresinya
dalam
penanganan anak, dengan alasan pihak kepolisian tidak dapat menggunakan kewenangan diskresinya secara maksimal dikarenakan beberapa kasus anak yang
berhadapan
hukum
wajib
diteruskan
ke
kejaksaan seperti pemerkosan, pemerasan, Narkoba, curanmor, sedangkan untuk beberapa kasus yang ringan dapat dilakukan perdamaian secara restorative justice Retorative hukuman,
justice
balas
yang
dendam
berlandaskan terhadap
pada
pelaku,
pengasingan dan perusakan harus digantikan oleh keadilan
restorasi
yang
berlandaskan
pemulihan
terhadap korban. Teori hukum progresif berupa usaha untuk mengubah paradigma legalistic yang sudah terdogma dalam pemikiran aparat penegakan hukum untuk tidak hanya berpedoman pada teks hukum belaka.
86
Tabel 3.2. Data Kejahatan Anak Tahun 2010-2013 di Polres Tegal No
Saran Petugas
1
Diberikan hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku Diberikan pidana bersyarat Dilakukan restorative justice demi kepentingan masa depannya Dikembalikan kepada orang tua nya
2 3
4
Jumlah
Tahun 2012 2013 5 16
2010 8
2011 12
Jml 41
% 27.7
5
8
5
10
28
18,9
12
10
7
13
42
28,4
11
7
9
10
37
25
36
37
26
49
148
100
Sumber : diolah dari Unit PPA Polres Tegal Dari
data
tersebut
diuraikan
bahwa
ada
beberapa perkara anak yang diselesaikan melalui restorative justice, sebagian lagi diproses melalui proses litigasi dan sampai kepada penghukuman serta pidana bersyarat. Ada beberapa kasus juga yang mengembalikan pelaku tindak pidana anak yang dikembalikan
kepada
orang
tuanya
oleh
pihak
penyidik Kepolisian Resort Tegal melalui kewenangan diskresinya di mana di dalam tabel di atas mencapai 25%. Kasus anak yang diberikan hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku, dikenakan kepada tindak pidana berat yang ancaman hukumannya lebih dari
5
tahun
seperti
pencabulan,
pemerasan,
pencurian dengan pemberatan di mana di dalam tabel
87
prosentase anak yang berkonflik dengan hukum dan diproses sesuai dengan peraturan peradilan yang berlaku mendapai 27,7%. Pidana bersyarat dikenakan kepada anak pelaku tindak pidana apabila anak tersebut melakukan tindak pidana
namun
keluarga
korban
menolak
untuk
memaafkan dan menolak untuk berdamai, akhirnya pihak Polres Tegal melanjutkannya dengan proses litigasi
namun
pada
akhirnya
anak
tersebut
dijatuhkan pidana bersyarat di dalam tabel anak yang dikenakan
pidana
bersyarat
pada
Polres
Tegal
mencapai 18,9%. Sebagian
besar
kasus
di
Polres
Tegal
diselesaikan melalui pendekatan restorative justice dengan
mengundang
pihak
korban
untuk
dapat
berdamai dan memaafkan pelaku dan sebagian besar keluarga korban mau memahami dan hadir di Polres dengan mediasi pihak polisi. Apabila keluarga pelaku ternyata termasuk keluarga tidak mampu dan tindak pidana yang dilakukan termasuk kategoro tindak pidana
ringan
maka
mengembalikannya
pihak
kepada
Polres
orang
langsung
tuanya
tanpa
meminta ganti rugi dari keluarga pelaku. Namun apabila tindak pidana yang dilanggar termasuk tindak pidana berat seperti yang dilakukan oleh
tersangka
yang
melakukan
tindak
pidana
pencabulan, pemerasan dan narkoba, maka pihak Polres Tegal akan langsung memprosesnya dengan 88
proses
litigasi
tanpa
melakukan
diversi,
diskresi
maupun pendekatan restorative justice. Penerapan restorative justice terhadap anak yang melakukan tindak pidana di Polres Tegal apabila dikaitkan dengan model restorative justice dari John Braithwaite menurut penulis menggunakan model yang kedua di mana di dalam model kedua ini menggambarkan
model
alternatif.
Polres
Tegal
menggunakan pendekatan restorative justice dalam penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum hanya sebagai alternatif dengan catatan jika syarat-syarat untuk diterapkannya restorative justice ini
terpenuhi.
Di
dalam
model
kedua
ini
lebih
cenderung mengarah kepada kepuasan dari korban dan bukannya penghukuman bagi pelaku kejahatan. Pendekatan yang dilakukan pada model kedua ini memang dapat dilakukan di kepolisian maupun badan yang
berwenang
seperti
kejaksaan
atau
pun
pengadilan. Bentuk restorasi tersebut misalnya dengan cara pelaku kejahatan menyatakan permintaan maafnya kepada korban atau pun bentuk-bentuk perbaikan bagi korban yang disetujui oleh pelaku kejahatan dan korbannya. Bagi pelaku kejahatan yang rasional, ada kalanya pelaku kejahatan mempunyai niat yang tidak baik dalam bernegosiasi. Namun
John
Braithwaite
telah
meng-
antisipasinya dengan menggunakan prinsip active 89
deterrence. Prinsip ini pada intinya mengingatkan kepada pelaku kejahatan bahwa apabila negosiasi gagal, pelaku kejahatan tersebut akan kembali ke proses penahanan. Jalan keluar bagi pelaku kejahatan adalah penahanan. Misalnya dalam kasus pencurian di Mall yang dilakukan oleh anak, di mana pihak Mall menyatakan menolak untuk berdamai dikarenakan Mall menyatakan bahwa pihaknya sudah memberikan pengumuman penjualan
yang
bahwa
ditempel
setiap
di
bentuk
setiap
rak-rak
pencurian
akan
diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sehingga
kasus
ini
tetap
dilanjutkan
tanpa
menggunakan pendekatan restorative justice. B. Analisis 1. Alasan-alasan
Digunakannya
Pendekatan
Restorative Justice System dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak
Kasus anak yang berkonflik dengan hukum yang dibawa dalam proses peradilan adalah kasus kasus yang serius saja, itupun harus selalu mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, serta proses penghukuman adalah jalan terakhir dengan tetap tidak mengabaikan hak hak anak. Diluar itu kasus kasus anak dapat diselesaikan melalui mekanisme non formal yang didasarkan pada pedoman yang baku. Bentuk penanganan non formal dapat dilakukan dengan diversi atau restorative justice yang dapat diselesaikan berhadapan 90
dengan dengan
mewajibkan hukum
untuk
anak
yang
mengikuti
pendidikan atau pelatihan pada lembaga tertentu, ataupun jika terpaksa terjadi penghukuman hak hak anak tidak boleh diabaikan. Sehingga pada akhirnya penanganan nonformal dapat terlaksana dengan baik jika diimbangi dengan upaya menciptakan sistem peradilan yang kondusif. Satu hal yang juga penting adalah belum terdapat
mekanisme
evaluasi
terhadap
sistem
peradilan anak oleh lembaga independen di Indonesia, seperti
lembaga
swadaya
masyarakat
(Non
Governmental Organization), yang bersifat netral dan independen, sehingga potensi hancurnya masa depan anak sangat besar akibat sistem peradilan yang kurang tepat Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi
dan
mendapatkan
setiap
anak
hak
haknya
yang
terlahir
tanpa
anak
harus tersebut
meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) )yang diratifikasi
oleh
pemerintah
Indonesia
melalui
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak prinsip
yang
kesemuanya
umum
mengemukakan
perlindungan
anak,
prinsip-
yaitu
non 91
diskriminasi,
kepentingan
terbaik
bagi
anak,
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak. Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, seperti pencurian Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anaknnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan. Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik
bagi
anak
maka
diperlukan
proses
penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau
biasa
disebut
diversi,
karena
lembaga
pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam LP rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Oleh karena itulah mengapa diversi khususnya melalui konsep
Restorative
pertimbangan
Justice
menjadi
suatu
sangat
penting
dalam
yang
menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Sebelum membahas jauh tentang konsep diversi dan Restorative Justice, ada baiknya dipahami sistem peradilan
pidana
anak
dalam
perspektif
HAM
internasional sebagai komparasi. Sistem Peradilan 92
Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsure sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihanpilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk : (i) resosialisasi dan
rehabilitasi
pelaku
tindak
pidana;
(ii)
pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem
peradilan
pidana
anak
terpadu
lebih
ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Namun upaya lain diluar mekanisme pidana atau peradilan dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya metode Diversi dan Restorative Justice. Diversi adalah pengalihan penanganan kasus kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan diversi dapat diterapkan bagi penyelesaian 93
kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah untuk: a. menghindari anak dari penahanan; b. menghindari cap/label anak sebagai penjahat; c. mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak; d. anak bertanggung jawab atas perbuatannya e. melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal; f. menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan; g. menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan. Program diversi dapat menjadi bentuk restoratif justice jika: a. mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya; b. memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban; c. memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses; d. memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga e. memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana. Pelaksanaan metode sebagaimana telah dipaparkan
diatas
kesejahteraan 94
ditegakkannya
anak
dengan
demi
berdasar
mencapai prinsip
kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, diversi tersebut berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch). Deklarasi HakHak Anak tahun 1959 dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk anak. Prinsip kedua menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati perlindungan khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga mental,
memungkinkan moral,
spiritual
anak dan
terbangun sosialnya
fisik, dalam
mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak. Dalam kerangka hak sipil dan politik, prinsip ini dapat dijumpai dalam 2 (dua) Komentar Umum Komisi Hak Asasi Manusia (General Comments Human Rights Committee) khsususnya Komentar Umum Nomor 17 dan 19) sebagai upaya Komisi melakukan interpretasi hukum atas prinsip kepentingan terbaik anak dalam kasus terpisahnya anak dari lingkungan orang tua (parental separation or divorce).Dalam kerangka ini, pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar
filosofi
penanganan
terhadap
pelanggaran
hukum usia anak. Pada
prinsipnya
alasan
digunakannya
pendekatan Restorative Justice dalam penanganan
95
tindak pidana anak ini didasari 2 (dua) alasan sebagai berikut 5: a. Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat, sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa. b. Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina dan disadarkan Terkait permasalahan tersebut, terdapat 5 (lima) macam pendekatan yang biasanya digunakan untuk menangani pelaku pelanggaran hukum usia anak, yaitu: a. Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak b. Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum c. Pendekatan dengan menggunakan/ berpatokan pada sistem peradilan pidana semata d. Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman e. Pendekatan hukuman yang murni bersifat retributive Berdasarkan pemikiran di atas, maka tindakan hukum yang dilakukan terhadap mereka yang berusia di
bawah
18
tahun
harus
mempertimbangkan
kepentingan terbaik anak. Hal ini didasari asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan atau
Wawancara dengan Kanit PPA Reskrim Polres Tegal, tanggal 9 April 2014 5
96
doli
incapax
dan
tidak
dapat
secara
penuh
bertanggung jawab atas tindakannya6. Dengan
demikian,
pendekatan
yang
dapat
digunakan untuk penanganan anak yang berkonflik dengan hukum sesuai dengan nilai-nilai, prinsipprinsip, dan norma KHA adalah pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak (Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan pendekatan kesejahteraan dengan intervnesi hukum (Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40). Berangkat dari konsep ini, pendekatan dengan model penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut restorative justice saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelanggar hukum usia anak. Prinsip ini merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keadilan. Restorative justice berlandaskan pada prinsip-prinsip due
process
yang
sangat
menghormati
hak-hak
hukum tersangka, seperti hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah hingga vonis pengadilan
menetapkan
demikian,
hak
untuk
membela diri, dan mendapatkan hukuman yang proposional dengan kejahatan yang dilakukannya. Konsep Restorative Justice telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternative penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Wawancara dengan Kanit PPA Reskrim Polres Tegal, tanggal 9 April 2014 6
97
mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan datang. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan diversi,
yaitu
pengalihan
dari
proses
pengadilan
pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan
keseimbangan
atau
pemulihan
keadaan.
Dengan menggunakan metode restorative, hasil yang diharapkan ialah berkurangnya jumlah anak anak yang
ditangkap,
ditahan
dan
divonis
penjara,
menghapuskan stigma dan mengem-balikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari. Adapun sebagai mediator dalam musya-warah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan jika kejadiannya di sekolah, dapat dilakukan oleh kepala
sekolah
penyelesaian
atau
melalui
guru.
Syarat
musyawarah
utama
adalah
dari
adanya
pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku
98
beserta
keluarganya
dan
korban
untuk
menyelesaikan
perkara
melalui
muyawarah
pemulihan, proses peradilan baru berjalan. Dalam proses peradilan harus berjalan proses yang
diharapkan
adalah
proses
yang
dapat
memulihkan, artinya perkara betul betul ditangani oleh aparat penegak hukum yang mempunyaai niat, minat, dedikasi, memahami masalah anak dan telah mengikuti
pelatihan
restorative
justice
serta
penahanan dilakukan sebagai pilihan terakhir dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar dan konvensi tentang Hak-Hak Anak yang telah diadopsi kedalam undang-undang perlindungan anak. Apabila
anak
terpaksa
harus
ditahan,
penahanan tersebut harus di Rutan khusus anak, dan apabila
terpaksa
harus
dipenjara
maka
harus
ditempatkan di Lapas anak. Baik di Rutan maupun di Lapas, anak harus tetap bersekolah dan mendapatkan hak-hak asasinya sesuai dengan The Beijing Rules agar mereka dapat menyongsong masa depan yang cerah karena pengabaian terhadap hak-hak anak adalah juga pengabaian terhadap masa depan bangsa dan Negara. Salah satu standar dalam diversi adalah United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice yang kemudian lebih dikenal sebagai Beijing Rules yakni di dalam Artikel 5 Beijing Rules menyatakan “the juvenile justice system shall emphasize the well-being of the juvenile and shall 99
ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in proportion to the circumstances of both the offenders and the offence”. Artikel Beijing Rules tersebut menekankan bahwa sebagai remaja /anak yakni anak atau orang muda yang menurut sistem hukum
masing-masing,
dapat
diperlakukan
atas
suatu pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda dari perlakuan terhadap orang dewasa (Peraturan 2.2 huruf c). Pada
intinya
Beijing
Rules
memberikan
kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan pengalihan dari pemeriksaan formal kepada anak yang melakukan tindak pidana7. Pengalihan inilah yang pada proses hukum terutama di dalam proses penyidikan, pihak kepolisian mengarahkan
kepada
penyelesaian
restorative
justice
dengan tidak meneruskannya pada proses hukum selanjutnya, namun diselesaikan di luar pemeriksaan formal terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Model
restorative
justice
juga
berlandaskan
dengan due process model bekerjanya sistem peradilan pidana, yang sangat menghormati hak hak hukum setiap tersangka seperti, hak untuk diduga dan diperlakukannnya sebagai orang yang tidak bersalah jika pengadilan belum memvonisnya bersalah, hak 7 Defence for Children International, 2003, Kids Behind Bars: A Study on Children In Conflict With The Law: Towards Investing in Prevention, Stopping Incarceration and Meeting International Standard, Amsterdam, h. 22.
100
untuk membela diri dan hak untuk mendapatkan hukuman yang proposional dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Dalam kasus anak pelaku pelanggaran hukum, mereka
berhak
mendapatkan
pendampingan
dari
pengacaranya selama menjalani proses peradilan. Disamping itu adanya kepentingan korban yang juga tidak boleh diabaikan, namun demikian tetap harus memperhatikan hak hak asasi anak sebagai tersangka. Oleh karena itu, anak anak ini sebisa mungkin harus dijauhkan dari tindakan penghukuman sebagaimana yang biasa dilakukan kepada penjahat dewasa. Tindakan-tindakan yang dapat diambil anak anak
yang
pemberian
telah
divonis
hukuman
bersalah
bersyarat
ini
misalnya,
seperti
kerja
sosial/pelayanan sosial serta pembebasan bersyarat. Dengan demikian dengan model restorative justice, proposionalitas penghukuman terhadap anak sangat diutamakan.
Model
ini
sangat
terlihat
dalam
ketentuan ketentuan The Beijing Rules dan dalam peraturan peraturan PBB bagi perlindungan anak yang sebelumnya harus telah dilakukan dengan serius untuk menghindarkan anak anak dari proses hukum gagal dilakukan, anak anak yang berhadapan dengan proses peradilan harus dilindungi hak haknya sebagai tersangka, dan hak haknya sebagai anak. Misalnya kewenangan polisi untuk memberikan diskresi dapat diberikan untuk kasus kasus seperti apa atau dalam
101
kasus
seperti
apa
jaksa
dapat
menggunakan
kewenangannya untuk mengeluarkan anak. Oleh karena itu, diperlukan aturan yang baku tentang syarat dan pelaksanaan bagi diberikannya perlakuan non formal bagi kasus kasus anak yang berhadapan dengan hukum sehingga praktik praktik negatif dalam sistem peradilan yang merugikan anak dapat dibatasi. Kasus anak yang berkonflik dengan hukum yang dibawa dalam proses peradilan adalah kasus kasus yang serius saja, itupun harus selalu mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, serta proses penghukuman adalah jalan terakhir dengan tetap tidak mengabaikan hak hak anak. Diluar itu kasus kasus anak dapat diselesaikan melalui mekanisme non formal yang didasarkan pada pedoman yang baku. Bentuk penanganan non formal dapat dilakukan dengan diversi atau restorative justice yang dapat diselesaikan berhadapan
dengan dengan
mewajibkan hukum
untuk
anak
yang
mengikuti
pendidikan atau pelatihan pada lembaga tertentu, ataupun jika terpaksa terjadi penghukuman hak hak anak tidak boleh diabaikan. Sehingga pada akhirnya penanganan non formal dapat terlaksana dengan baik jika diimbangi dengan upaya menciptakan sistem peradilan yang kondusif. Satu hal yang juga penting adalah belum terdapat 102
mekanisme
evaluasi
terhadap
sistem
peradilan anak oleh lembaga independen di Indonesia. Sehingga potensi hancurnya masa depan anak sangat besar akibat sistem peradilan yang kurang tepat bagi anak, terlebih lagi di Indonesia sejumlah besar anak masih ditempatkan di lembaga bercampur dengan terpidana dewasa. Diasumsikan bahwa pelanggaran atas hak hak anak telah terjadi dalam penempatan anak di Lapas. Sehingga
metode
Diversi
dan
Restorative
Justice
agaknya menjadi suatu pilihan dan solusi yang tepat untuk menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak, karena didalamnya terdapat konsep yang mulia yaitu menempatkan kepentingan terbaik bagi anak dan tidak mengabaikan hak hak anak, terlebih lagi
di
Indonesia
sejumlah
besar
anak
masih
ditempatkan di lembaga bercampur dengan terpidana dewasa. Analisis justice
penerapan
dalam
pendekatan
penanganan
tindak
restorative
pidana
yang
dilakukan oleh anak dari sudut teori hukum kritis adalah memandang bahwa penegakan hukum yang tanpa didasari pemahamaman akan filosofi dari tujuan pembuatan terjadinya
hukum disorientasi
itu
sendiri
dalam
menyebabkan
penegakan
hukum.
Disorientasi ini tampak dalam sistem pemidanaan yang hanya mampu memenjarakan orang tetapi tidak mampu mengembalikan keseimbangan dan persatuan di tengah masyarakat yang terganggu akibat suatu tindak pidana. Sudah saatnya penegakan hukum 103
dikembalikan kepada orientasi yang benar. Orientasi yang didasarkan pada keseimbangan antara faktor keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Pengembalian penegakan hukum pada orientasi yang benar menurut hukum kritis dapat diawali dengan penerapan restorative justice atau prinsip keadilan restoratif ini. Prinsip keadilan restoratif merupakan keadilan yang berupaya mengembalikan keadaan pada kondisi semula, menguntungkan dan memenangkan semua pihak serta tidak terpenjara pada mekanisme yang kaku
dan
prosedural.
Secara
global,
penerapan
restorative justice juga telah direkomendasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2000. Dalam rekomendasi tersebut, PBB mengajak semua negara untuk mengadopsi restorative justice dalam sistem pemidanaannya. Dalam tataran teknis, penerapan restorative justice
dimulai
dengan
membuat
kategorisasi
kejahatan. Dalam kategorisasi tersebut, kejahatan dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu berat, sedang dan
ringan.
Restorative justice
hanya
diterapkan
terhadap kasus-kasus ringan karena pertimbangan kemanfaatan. Penerapan
restorative
justice
terhadap
jenis
kasus ini juga sesuai dengan perkembangan teori tujuan hukum modern yaitu teori tujuan hukum kasuistik. Teori hukum kasuistik ini menyatakan 104
bahwa
dalam
penegakan
hukum
harus
mengedepankan salah satu tujuan hukum karena sangat
susah
untuk
menerapkan
keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum secara sekaligus di era modern ini. Dalam penanganan dan penegakan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana, maka menurut teori hukum kasuistik ini, yang dikedepankan adalah dengan memprioritaskan tujuan hukum kemanfaatan, yakni kemanfaatan penegakan hukum terhadap masa depan anak, di mana anak merupakan aset untuk masa depan yang masih dapat diarahkan
menuju
perbaikan.
Sedangkan
tujuan
hukum yang lainnya yakni keadilan dapat diterapkan setelah tujuan penegakan hukum kemanfaatan tidak dapat diterapkan. Penerapan restorative justice dalam kasus ringan diperlukan karena rasio perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dan kerugian yang ditimbulkan tidak seimbang. Sebagai contoh, anak yang melakukan penganiayaan ringan atau pencurian mainan yang nilainya di bawah Rp.
100.000,- sedangkan biaya
yang dikeluarkan untuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam kasus ini jauh lebih tinggi dari kerugian yang ditimbulkan. Apalagi motif anak dalam melakukan tindak pidana yang demikian adalah karena ketidak tahunan anak tersebut akan akibat tindakan tersebut. Kasus demikian baik dipandang dari kerugian yang ditimbulkan maupun motifnya
105
harusnya
diselesaikan
secara
musyawarah
tanpa
harus diperkarakan di pengadilan. Kategorisasi
kejahatan
sebagaimana
yang
penulis kemukakan di atas membutuhkan sebuah landasan hukum atau diatur secara khusus di dalam pasal Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Oleh
karena
itu
perlu
kiranya
DPR
mempertimbangkan untuk memasukkan kategorisasi kejahatan
baik
dalam
rancangan
kitab
undang-
undang hukum acara pidana atau Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di dalam KUHAP tersebut juga dalam pasal-pasalnya harus mengatur mengenai
penerapan
restorative
justice.
Dengan
adanya pengaturan secara spesifik, jelas dan tegas mengenai restorative justice dalam KUHAP
maka
penerapannya tidak akan terhalang oleh asas legalitas dalam hukum pidana. Dimasukkannya restorative justice dalam sistem pemidanaan Indonesia menurut teori hukum kritis merupakan sebuah kemajuan dalam criminal justice system
yang dianut negeri ini. Kemajuan tersebut
tampak dalam dua hal yaitu diakomodasinya nilai kekeluargaan
dalam
penegakan
hukum
serta
menempatkan hukum sebagai ultimum remedium atau cara terakhir yang ditempuh dalam menyelesaikan suatu masalah. Dimasukkannya nilai-nilai kekeluargaan dalam sistem 106
pemidanaan
anak
merupakan
bentuk
transformasi penegakan hukum di negeri ini dari hukum
kolonial
berkarakter
menjadi
hukum
keindonesiaan.
nasional
Ini berarti,
yang
restorative
justice mampu mengem-balikan Indonesia dalam jati diri
kebang-saannya
yang
menjunjung
tinggi
musyawarah dan nilai-nilai kekeluargaan. Hal ini juga berfungsi mencegah masyarakat Indonesia menjadi masyarakat legalistik (rentan hukum) yang cenderung menyelesaikan semua masalah secara litigasi (melalui pengadilan) tetapi menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang didominasi oleh kultur sebagaimana masyarakat Jepang yang cenderung menggunakan
non
cara-cara
litigasi
dalam
justice
dalam
menyelesaikan suatu kasus. Kemampuan
restorative
menjadikan hukum pidana sebagai ultimum remedium akan menyebabkan berkurangnya perkara di lembaga peradilan. lembaga
Ditinjau peradilan,
dari
bertumpuknya
penegakan
kasus
restorative
di
justice
adalah suatu hal yang sangat mendesak dan tidak dapat dielakkan. Restorative justice juga akan membawa manfaat dalam hal menjaga kerukunan bangsa ini. Restorative justice yang melibatkan semua pihak baik pelaku, korban maupun pihak lain yang berkaitan dengan kasus anak akan mendamaikan para pihak atau mengubah
hubungan
mereka
yang
tadinya
bermusuhan secara emosional menjadi akur kembali. Fungsi rekonsiliasi dalam restorative justice inilah yang 107
nantinya
akan
kembali
menciptakan
kerukunan,
keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Dengan kata lain, penegakan restorative justice menurut hukum kritis dapat menciptakan kembali keseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang sempat terganggu dengan
terjadinya suatu tindak
pidana. Dampak
positif
lainnya
dari
penerapan
restorative justice adalah mengubah citra penegakan hukum di Indonesia menjadi lebih positif. Citra penegakan hukum di Indonesia saat ini sungguh memprihatinkan,
hukum
di
asosiasikan
sebagai
sesuatu yang menakutkan bagi masyarakat. Citra hukum yang demikian dalam mindset masyarakat perlu diubah dengan mendekatkan hukum kepada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat termasuk nilai kekeluargaan. Restorative untuk
justice
mendekatkan
dapat hukum
menjadi
jembatan
kepada
nilai-nilai
masyarakat tersebut. Dengan didekatkannya hukum kepada masyarakat melalui restorative justice maka partisipasi
masyarakat
dalam
proses
penegakan
hukum akan meningkat. Partisipasi masyarakat sangat penting dalam penegakan hukum di Indonesia karena tanpa adanya peran aktif masyarakat dalam penegakan hukum tidaklah mungkin hukum dapat ditegakkan secara baik 108
dan
proporsional.
Pentingnya
peran
serta
masyarakat
dalam
penegakan
hukum
ini
juga
tergambar dalam teori Lawrence Friedman tentang tiga unsur hukum yang salah satunya adalah legal culture (budaya hukum) masyarakat. Hal ini menandakan ketiadaan
partisipasi
penegakan
hukum
masyarakat akan
dalam
menyebabkan
proses hukum
kehilangan hakikatnya. Penerapan merupakan
restorative
sebuah
justice
konsep
di
Indonesia
perbaikan
secara
menyeluruh terhadap penegakan hukum di Indonesia baik dari sisi substansi, struktur maupun budaya hukum masyarakat. Menyadari besarnya manfaat dari penerapan restorative justice di Indonesia tersebut, penulis
berharap
agar
restorative
justice
segera
diadopsi dalam criminal justice system yang dianut bangsa ini demi terwujudnya penegakan hukum yang baik dan bernurani di negeri Indonesia tercinta. 2.
Kriteria
yang
Restorative
digunakan
Justice
dalam
dalam
pendekatan
penyelesaian
tindak
pidana anak
Banyak penulis menganggap restorative justice bukanlah
konsep
yang
baru.
Keberadaannya
barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri. Bahkan beribu tahun, upaya penanganan perkara
pidana,
pendekatan
justru
ditempatkan
sebagai mekanisme utama bagi penanganan tindak pidana. Marc Levin menyatakan bahwa pendekatan yang dulu dinyatakan sebagai hal yang usang, kuno
109
dan
tradisional
kini
justru
dinyatakan
sebagai
pendekatan yang progresif. Konsep hukum adat Indonesia sebagai wadah dari institusi peradilan adat juga memiliki konsep yang dapat digambarkan sebagai akar
dari
restorative
justice. Di Indonesia, karakteristik dari hukum adat di tiap
daerah
penerapan
pada
umumnya
restorative
justice.
amat
mendukung
Berkaitan
dengan
pelanggaran adat atau delik adat, dan mekanisme pemecahnya,
hukum
adat
memiliki
pandangan
tersendiri. Sebagaimana dikemukakan diatas, maka pengertian pelanggaran adat terkait dengan kondisi ketidak seimbangan kosmos dalam masyarakat. Hal ini mencakup tindakan-tindakan yang mengganggu kedamaian
hidup
atau
pelanggaran
terhadap
kepatutan dalam masyarakat. Disini pelanggaran hukum adat merupakan: a. Suatu peristiwa aksi dari para pihak dalam masyarakat; b. Aksi itu menimbulkan gangguan keseimbangan; c. Gangguan keseimbangan ini menimbulkan reaksi; d. Reaksi yang timbul menjadikan terpeliharanya kembali atas gangguan keseimbangan kepada keadaan semula. Konsep ini sangat berbeda dengan pengertian tindak pidana atau delik dalam arti hukum pidana. Berdasarkan
110
definisi
tersebut
maka
sifat-sifat
pelanggaran hukum adat dapat dikemukakan sebagai berikut: a.
Menyeluruh dan menyatu Sifat menyeluruh dan menyatu ini disebabkan
oleh latar belakang yang menjiwai hukum adat, yaitu bersifat kosmis, di mana yang satu dianggap bertautan atau dipertautkan dengan yang lain. Akibatnya yang satu tak dapat dipisahkan dari yang lainnya. Demikian juga dalam lapangan hukum. Tidak ada pemisahan antara pelanggaran pidana dan perdata, pelanggaran agama atau kesusilaan, demikian juga peradilannya. Kesemuanya itu dilaksanakan dalam konteks perkara yang mempunyai kesatuan sudut pandangan dari sisi agama, kesusilaan, pidana dan perdata. b.
Terbuka Ketentuan
pelanggaran
adat
bermaksud
mempertahankan rasa keadilan menurut kesadaran masyarakat
sesuai
dengan
waktu,
tempat,
dan
keadaan (”desa”), ”kala”, dan ”patra” masyarakat Bali). Tradisi menurut hukum adat yang berlaku memang merupakan
upaya
penyelesaian
dalam
kasus
pelanggaran adat, tetapi dalam cara penyelesaiannya senantiasa
bersifat
terbuka.
Berkembangnya
masyarakat, maka akan berkembang pula ketentuanketentuan penyelesaian dalam hukum adat karena dasarnya
adalah
musyawarah
secara
bulat
dan
mufakat.
111
c.
Membeda-bedakan masalah Penyelesaian
pelanggaran
adat
melihat
permasalah tidak hanya semata-mata dari perbuatan dan akibatnya, tetapi juga apa yang menjadi latar belakang serta siapa pelakunya. Akibat cara pandang yang demikian itu, maka penyelesaian dan tindakan hukum atas suatu tindak pidana akan berbeda-beda. d.
Peradilan atas permintaan Pelaksanaan
hukum
pemeriksaan
pelanggaran
adat
perkara didasarkan
dalam atas
ada/tidaknya permintaan dan pengaduan seseorang yang merasa dirugikan/diperlakukan tidak adil. e.
Tindakan reaksi atau koreksi Petugas hukum terhadap terjadinya reaksinya
reaksi adat dapat mengambil langkah penyelesaian atas perbuatan pidana tidak hanya terhadap pelaku semata-mata, tetapi tuntutan pertanggung jawaban dapat dibebankan kepada anggota keluarga di pelaku lainnya,
kepada
masyarakat
hukum
yang
bersangkutan, tetapi juga pengembalian keseimbangan dengan mengadakan upacara selamatan adat dan lainlain. Dalam pandangan adat, tidak ada ketentuan yang keberlakuannya disertai dengan syarat yang menjamin ketaatannya dengan jalan menggunakan paksaan.
Sanksi
adat
tidak
sama
pengertiannya
dengan pemidanaan sebagaimana yang dijabarkan 112
dalam teori-teori pemidanaan klasik karena tujuannya berbeda. Suatu penerapan sanksi adat adalah suatu upaya, untuk mengembalikan langkah yang berada diluar
garis
kosmos
demi
tidak
terganggunya
ketertiban kosmos. Jadi sanksi adat merupakan usaha mengembalikan Karenanya
pada
termasuk
sistem
keseimbangan masa
lalu
peradilan
yang
terganggu.
aktifitas
peradilan
pidana
tidak
dapat
dipisahkan dengan kegiatan keagamaan, budaya dan aktifitas pemerintahan, perekonomian dan kehidupan lainnya. Pendekatan
restorative
justice
yang
mulai
ditekankan di dalam Undang-undang Peradilan Anak yang baru yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memiliki beberapa kriteria pelaksanaan dilihat dari pelaksana baik dari lembaga musyawarah antar pelaku dan korban juga pada lembaga penegak hukum. a.
Lembaga Musyawarah antar Pihak Pelaku dan Korban Kenyataan
Indonesia
yang
mengenai
ada
dalam
masyarakat
fungsionalisasi
lembaga
musyawarah sebagai bagian dari mekanisme yang dipilih untuk menyelesaian perkara pidana. Musyawarah baik yang diselenggarakan oleh pelaku dan korban sendiri, atau dengan melibatkan institusi kepolisian atau kejaksaan, atau dengan melalui lembaga adat memperlihatkan pola pikir ma113
syarakat dalam melihat suatu permasalahan yang muncul. Penyelesaian masalah termasuk didalamnya adalah tindak pidana melalui musyawarah merupakan pola pikir yang terangkum dalam keadilan restorative sebagaimana didefinisikan diatas. Karenanya tanpa mengabaikan mekanisme yang bekerja dalam sistem hukum
formal,
mekanisme
penyelesaian
melalui
lembaga musyawarah pun bekerja dalam masyarakat. Dalam berbagai asas dan model pendekatan restorative justice, proses dialog antara pelaku dan korban merupakan moral dasar dan bagian terpenting dari penerapan keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku
dan
korban
mengungkapkan
menjadikan
apa
korban
yang
dapat
dirasakannya,
mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan
keinginan-keinginan
dari
suatu
penyelesaian
perkara pidana. Melalui proses dialog juga pelaku tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari kesalahannya dan menerima tanggung jawab sebagai konsekuensi
dari
tindak
pidana
yang
dilakukan
dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau pelaksanaannya. Di dalam kajian tentang restoratif, lembaga musyawarah ini dikenal sebagai mediasi yang sangat melembaga dalam sistem peradilan perdata. Dalam konsep mediasi proses dialog dikenal sebagai media komunikasi 114
yang
menjadi
modal
utama
penyelenggaraan lembaga mediasi. Keseluruhan proses itulah
yang
dapat
ditemui
baik
dalam
model
penyelenggaraan resto-rative justice seperti: (1) Victim Offender Mediation (VOM: Mediasi antara pelaku dan korban) yaitu suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai coordinator dan fasilitator dalam pertemuan tersebut; (2) Conferencing yaitu suatu forum yang sama dengan VOM, namun dalam bentuk ini terdapat perbedaan yaitu pelibatan penyelesaian bukan hanya melibatkan pelaku dan korban langsung (primary victim), tetapi juga korban tidak langsung (secondary victim), seperti keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku. Adapun alasan pelibatan para pihak tersebut adalah karena
mereka
mungkin
terkena
dampak
baik
langsung ataupun tidak langsung atas tindak pidana yang terjadi atau mereka memiliki keperdulian yang tinggi dan kepentingan akan hasil dari musyawarah serta
mereka
mengupayakan
juga
dapat
keberhasilan
berpartisipasi
dalam
proses
tujuan
dan
akhirnya; (3) Circles, suatu model penerapan restorative
justice
yang
pelibatannya
paling
luas
dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum yang bukan hanya korban, pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga anggota masyarakat yang merasa berke-pentingan dengan perkara tersebut. Ketiga model dasar dari bentuk penerapan pendekatan restoratif justice tersebut pada dasarnya 115
merupakan bentuk-bentuk yang menjadi variasi dari model
dialog
yang
merupakan
pelaksanaan
dari
bentuk musyawarah dan mufakat. Dari nilai dasar inilah restorative justice sebagai implementasi dari niali dasar yang ada dalam masyarakat Indonesia memiliki fondasi nilai yang kuat. Sayangnya penyelesaian model ini belum memiliki justifikasi perundang-undangan yang jelas. b.
Peran Lembaga Penegak Hukum Di dalam hasil penelitian di atas merupakan
salah satu contoh peran lembaga penegak hukum di dalam penanganan tindak pidana yang melibatkan pelaku
anak
di
mana
pihak
penyidik
melalui
wewenangnya melakukan pendekatan terhadap kedua belah pihak yakni pihak korban dan pihak pelaku untuk duduk dalam satu meja dan menyelesaikan melalui pendekatan resto-rative justice. Beranjak dari pemikiran tentang keung-gulan dan kelemahan dari penyelesaian perkara pidana diluar sistem yang tidak diakui oleh hukum formal yang berlaku, restorative justice telah menjadi suatu kebutuhan dalam masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang berbeda dengan sistem formal yang ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda. Meskipun dalam beberapa hal tersebut
diatas,
keberadaan
lembaga
ini
dalam
masyarakat masih tetap menjadi pilihan karena tujuan 116
akhir yang tidak dapat diperoleh bila suatu perkara diselesaikan melalui sistem peradilan pidana, seperti memberikan
suatu
keuntungan
yang
langsung
dirasakan baik korban, pelaku maupun masyarakat umum. Bentuk-bentuk ganti rugi yang nyata dalam bentuk pengembalian barang yang dicuri, perbaikan kendaraan,
santunan
kepada
luka-luka
karena
penganiayaan hingga pemberian uang duka dalam hal korban meninggal dunia, menjadi realita. Mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan
restorative
masyarakat
yang
penyelesaian
justice
lebih
perkara
memberikan
luas.
pidana
peran
Dalam
mekanisme
dengan
pendekatan
restorative justice, maka posisi masyarakat bukan hanya sebagai peserta pelaku atau peserta korban saja. Masyarakat dapat diberikan peran yang lebih luas untuk menjadi pemantau atas pelaksanaan suatu hasil kesepakatan sebagai bagian dari penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan ini. Pelaksanaan
kegiatan
ini
dapat
dilakukan
dengan berbagai cara misalnya memantau upaya rehabilitasi
korban
sebagaimana
contoh
dalam
penelitian ini, masyarakat di desa Dukuhsalam ikut berpartisipasi di dalam terlaksananya point-point yang telah disepakati di dalam surat pernyataan bersama seperti point ke-4 bahwa kedua belah pihak berjanji untuk
tidak
saling
memprovokasi
tentang 117
permasalahan yang diselesaikan dan juga point ke-5 bahwa apabila pihak ke-2 atau pelaku melakukan perbuatan penganiayaan lagi baik terhadap korban yang ada dalam surat pernyataan maupun kepada pihak lain, maka masyarakat akan mendorong agar pihak berwenang menindak pelaku dengan melalui prosedur
hukum
seterusnya.
formal
Kegiatan
yakni
penyidikan
memantau
dan
pelaksanaan
pertanggung jawaban pelaku, memang dapat berwujud barbagai bentuk seperti perbaikan sarana yang rusak, pengembalian barang, pemenuhan denda adat dan lain se-bagainya. Proses penanganan perkara dengan pendekatan restoratif justice dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Karena tidak melalui prosedur birokrasi yang berbelit-belit
maka
proses
penyelesaian
perkara
pidana terutama yang diselesaikan diluar lembaga pengadilan baik didalam sistem peradilan pidana maupun penyelesaian oleh masyarakat sendiri atau bahkan oleh lembaga adat dapat dilakukan dengan singkat. Suatu model penyederhanaan sistem penyelesaian suatu perkara pidana tertentu. Dalam memang
Hukum
dikenal
acara
beberapa
pidana model
di
Indonesia mekanisme
penyelesaian perkara pidana melalui peradilan biasa atau
118
peradilan
singkat.
Namun
terlihat
bahwa
mekanisme
itu
belum
menjawab
kebutuhan
masyarakat sebagaimana dalam paparan diatas. Terdapat 5 prinsip penerapan restorative justice di dalam penyelesaian perkara yang pelakunya adalah anak-anak menurut Kepala Bagian Reskrim Polres Tegal: a. Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya. b. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa ber-salahnya. c. Melibatkan para korban, orang tua, keluarga. d. Menciptakan forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah. e. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.
Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara. Sistem pertanggung jawaban pidana anak yang dianut oleh KUHP (yang berlaku sekarang ini) adalah sistem pertanggung jawaban yang menyatakan bahwa semua anak (berusia 1 tahun sampai dengan 16 tahun), anak yang jiwanya sehat, dianggap mampu bertanggung jawab dan dituntut. . Pendekatan
Restorative
Justice
dalam
penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak Polres Tegal di mana proses penyelesaian tindakan 119
pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersamasama duduk dalam satu pertemuan untuk bersamasama berbicara. Proses model keadilan restorative yang dimana peran polisi sebagai mediator, fasilitator, atau pengawas. Dalam hal ini polisi menunjukan pasal-pasal
dan
ketentuan
perundang-undangan
peradilan anak, lalu para pihak dipersilahkan mencari jalan keluar terbaik agar terjadi proses perbaikan, pemulihan
hubungan,
konsiliasi
dan
rekonsiliasi
antara korban dan pelaku, keluarga korban dan keluarga pelaku, dengan pene-rimaan masyarakat kembali
terhadap
pelaku
tanpa
stigma
apapun
terhadap pelaku. Menurut hasil Wawancara dengan KA Subnit 1 Unit VI Reskrim (unit PPA) Polres Tegal, ada Tiga kriteria kasus Anak yang melakukan Tindak Pidana yang dapat diselesaikan dengan model restorative justice. a.
b. c.
120
Kasus itu tidak mengorbankan kepentingan umum dan bukan pelanggaran lalu lintas. Anak itu baru pertama kali melakukan kenakalan dan bukan residivis. Kasus itu bukan kasus yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat, atau cacat seumur hidup, Namun, apabila seorang anak yang dilaporkan dan ditangkap untuk tindak pidana ringan, misalnya karena mengutil/pencurian ringan, perkelahian ringan, penganiyayaan ringan tidak usahlah dipenjara, cukup panggil orangtuanya dan dinasihati. Penegak
hukum seperti polisi, jaksa, dan Hakim pun tidak perlu menjatuhkan hukuman8.
Berdasarkan wawancara ada tahap tindakan polisi dalam menerapkan prinsip restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak di wilayah hukum Polres Tegal ada 3 yakni: a. Peringatan informal yakni dilakukan polisi dengan memberikan peringatan secara lisan terhadap anak dengan diberikan nasehatnasehat kepada anak sebagai pelaku tindak pidana. Contoh tindakan peringatan lisan ini dilakukan ringan
terhadap
seperti
tindak
pidana
pengeroyokan
dan
yang perke-
lahian. b. Peringatan formal yakni berupa peringatan yang mewajibkan pihak pelaku membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya. Tindakan peringatan formal ini
dilakukan
membawa
terhadap
lari
anak
tindak
pidana
dibawah
umur,
penganiayaan ringan. c. Tahap
perundingan tindakan yang ketiga
tindakan berdasarkan
yang
diambil
perundingan
oleh antara
polisi korban,
pelaku, dan polisi.
Wawancara dengan Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tegal, 9 April 2014 8
121
Berdasarkan
hasil
penelitian
metode
yang
digunakan dalam penyelesaian yang dilakukan dalam restorative justice di Polres Tegal khususnya pada unit PPA adalah proses mediasi sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah, dalam penerapan prinsip restorative justice di Kabupaten Tegal yang dilakukan oleh pihak kepolisian yaitu dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seperti Mediasi korban dengan pelaku /pelanggar; musyawarah
kelompok
keluarga,
yang
bersifat
pemulihan baik bagi korban maupun pelaku dimana keterlibatan dalam proses penyelesaian yakni korban dan pelaku serta pihak ketiga yakni pihak kepolisian yang
menjadi
mediator
dan
fasilitator
untuk
menjebatani kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan dan tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian
dan
luka
yang
telah
diakibatkan
oleh
peristiwa kenakalan anak tersebut Berangkat
dari
evaluasi
atas
penyelesaian
perkara pidana dengan menggunakan prinsip yang ada dalam restorative justice sebagai ukuran dalam menilai kasus-kasus tersebut, sedikit banyak nilainilai utama yang menjadi pilar dalam penyelesaian perkara pidana telah diterapkan meskipun dengan sejumlah kelemahan yang timbul atas pemahaman suatu
pendekatan
restorative
justice
yang
belum
menyeluruh seperti pelibatan pelaku dan korban, asas pra duga tak bersalah, persamaan dalam pencapaian proses 122
penyelesaian
dan
upaya
pencapaian
penyelesaian
yang
mengacu
kepada
tujuan
dari
restorative justice yaitu mengacu kepada kebutuhan pelaku, korban dan masyarakat dalam memperbaiki relasi sosial antara mereka. Dalam melihat kemungkinan penerapan keadian restoratif, di dalam
Basic Principle The Use Of
Restoratif Justice mengamanatkan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan dalam bingkai sistem hukum suatu negara. Hal ini menandakan bahwa bila di Indonesia pen-dekatan ini akan dipakai sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian perkara pidana, maka sistem peradilan pidana yang ada harus disesuaikan hingga bisa menjangkau dan mewadahi mekanisme penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan ini. Hal ini sudah tergambar di dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru yakni Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana
Anak.
Pasal
5
Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam ayat (1) juga meng-amanatkan bahwa
Sistem
Peradilan
Pidana
Anak
wajib
mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif Beberapa acuan yang dapat dipergunakan dalam melaksanakan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, khusunya sebagai pelaku adalah : a. Peraturan Internasional 1) Convention on the Rights (Konvensi Hak-Hak Anak)
of
The
Child
123
2) The United Nations Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile Justice the Beijing Rules (Peraturan Standar Minimum PBB untuk Pelak-sanaan Peradilan Anak Peraturan Beijing) 3) The United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty (Peraturan PBB untuk Perlindungan Anak yang Terampas kebebasannya). b. Peraturan Nasional 1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polisi Republik Indonesia 2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 4) TR Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan
Diversi
Bagi
Kepolisian Adapun beberapa kriteria tindak pidana yang melibatkan
anak
sebagai
diupayakan
penyelesaiannya
pelaku, dengan
yang
harus
pendekatan
prinsip diversi adalah: a. Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana sampai dengan 1 (satu) tahun harus diprioritaskan untuk diterapkan diversi, 124
b. c.
d.
e. f. g. h.
tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana di atas 1 (satu) tahun sampai dengan 5 tahun dapat dipertimbangkan untuk melakukan diversi, semua kasus pencurian harus diupayakan penerapan diversi kecuali menyebabkan atau menimbulkan kerugian yang terkait dengan tubuh dan jiwa. Memperhatikan usia pelaku, semakin muda usia pelaku, maka urgensi penerapan prinsip diversi semakin diperlukan. Hasil penelitian dari BAPAS, bila ditemukan faktor pendorong anak terlibat dalam kasus pidana adalah faktor yang ada di luar kendali anak maka urgenitas penerapan prinsip diversi semakin diperlukan. Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana anak, bila akibat yang ditimbulkan bersifat kebendaan dan tidak trekait dengan tubuh dan nyawa seseorang maka urgensitas penerapan diversi semakin diperlukan. Tingkat keresahan masyarakat yang diakibatkan oleh perbuatan anak Persetujuan korban/keluarga Kesediaan pelaku dan keluarganya Dalam hal anak melakukan tindak pidana bersama-sama orang dewasa maka orang dewasa harus diproses hukum sesuai dengan prosedur biasa Pada hakikatnya ketentuan KUHAP tentang
penyidikan didefenisikan sebagai berikut. Penyidikan adalah serangakaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang
tersangkanya.
terjadi Tindakan
dan itu
guna
menemukan
dapat
meliputi 125
pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi, penyitaan alat-alat
bukti,
pengeledahan,
pemanggilan
dan
pemeriksaan tersangka, mela-kukan penangkapan, melakukan
penahanan,
dan
lain
sebagainya.
Sementara penyidik sesuai Pasal 1 angka 1 KUHAP, adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus
oleh
Undang-Undang
untuk
melakukan penyidikan. Penyidikan yang dilakukan oleh pejabat kepolisian negara Republik Indonesia bertujuan
untuk
mengumpulkan
bukti
guna
menemukan apakah suatu peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa pidana, dengan penyidikan juga ditujukan
untuk
menemukan
pelakunya.
Setelah
adanya penyidikan tahapan selanjutnya dilakukan penyelidikan. Penyelidikan kasus pidana dilakukan oleh kepolisian sesuai dengan KUHAP dan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Polisi dalam melakukan penyelidikan terhadap anak pelaku tindak pidana harus memperhatikan berbagai ketentuan mengenai upaya penangan anak mulai dari penangkapan sampai proses penempatan. Secara umum berdasarkan ketentuan UndangUndang
nomor
11
tahun
2012
tentang
Sistem
Peradilan Pidana Anak bahwa penyidikan terhadap pelaku tindak pidana anak hanya dapat dilakukan 126
apabila pelaku tindak pidana telah berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, tarhadap anak dibawah umur delapan tahun yang
melakukan
tindak
pidana
akan
mendapat
pembinaan dan dikembalikan pada orang tua/wali. Namun dengan adanya Putusan No.1/PUU-VIII/2010; Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa 8 (delapan) tahun pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diganti menjadi 12 (dua belas tahun). Dikuatkan dengan disahkannya Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Anak. Akan tetapi sesuai pasal 108 dalam
tersebut
Undang-undang
baru
akan
diberlakukan dua tahun setelah disahkan pada Juli tahun 2012 yakni Juli 2014 ini. Penyidikan terhadap anak dalam hal anak nakal dilakukan
oleh
berdasarkan
Penyidik
Surat
Anak,
Keputusan
Republik Indonesia
yang
ditetapkan
Kepala
Kepolisian
atau Pejabat yang ditunjuk
olehnya. Dengan demikian Penyidik Umum tidak dapat melakukan penyidikan atas Perkara Anak Nakal, kecuali dalam hal tertentu, seperti belum ada Penyidik Anak di tempat tersebut. Penyidikan terhadap anak nakal berlangsung dalam suasana kekeluargaan, dan untuk itu penyidik wajib
meminta
pertimbangan
atau
saran
dari
Pembimbing Kemasyarakatan sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Diperiksa dalam suasana kekeluargaan,
berarti
pada
waktu
memeriksa 127
tersangka anak, penyidik tidak memakai pakaian seragam/dinas, dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik. Suasana kekeluargaan itu juga berarti tidak ada pemaksaan, intimidasi atau sejenisnya selama dalam penyidikan.
Salah
satu
jaminan
terlaksananya
suasana kekeluargaan ketika penyidikan dilakukan, adalah hadirnya Penasehat Hukum, disamping itu, karena
yang
sebenarnya
disidik sangat
tua/wali/orang
tua
adalah
anak,
penting asuhnya,
maka
kehadiran agar
tidak
juga orang timbul
ketakutan atau trauma pada diri si anak. Apabila dipandang perlu, penyidik juga dapat meminta
pertimbangan
atau
saran
dari
ahli
pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. Sementara untuk kepentingan si anak sendiri, maka proses penyidikan wajib dirahasiakan. Tindakan yang dapat dilakukan penyidik oleh seorang penyidik adalah penangkapan, penahanan, mengadakan melaksanakan
pemeriksaan
ditempat
penggeledahan,
kejadian,
peme-riksaan
tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan perkara dan melimpahkan perkara Sedangkan pandangan hukum progresif dalam menghadapi kasus anak yang berhadapan dengan hukum melalui pendekatan restorative justice yakni 128
bahwa awalnya gagasan hukum progresif bertolak dari dua komponen basis dalam hukum yaitu hukum dan perilaku. Jadi hukum sebagai peraturan dan hukum sebagai perilaku. Peraturan akan membangun suatu system
hukum
positif
sedangkan
perilaku
atau
manusia akan menggerakan peraturan dan system yang sudah dibangun. Sehingga dapat kita lihat ada peraturan yang tidak berlaku (black letter law, law on paper, law in the book), Hukum hanya menjadi janjijanji dan akan menjadi kenyataan (in action) apabila. ada
campur
tangan
manusia.
Hukum
progresif
berkehendak agar hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum progresif bertumpu pada manusia yang melakukan mobilisasi hukum, maka penegak hukum menjadi faktor penentu bagi lahirnya
hukum
yang
berpihak
pada
keadilan,
ketertiban, kemanfaatan perdamaian. Oleh karena itu perlu ada kebijakan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum untuk mendapatkan perlindungan hukum secara maksimal. Dalam artian apakah anak apabila berhadapan dengan hukum mesti diproses secara pidana atau tidak. Kalau diproses secara pidana apa yang menjadi parameternya. Kalau tidak juga perlu parametemya, sesungguhnya apabila ada suatu kasus maka Undangundang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia memberikan wewenang kepada
kepolisian
untuk
mengeluarkan
deskresi.
129
Nonet dan Selnick membedakan tiga keadaan dasar mengenai hukum dasar masyarakat yaitu: a. Hukum represif,
yaitu
hukum
sebagai
alat
kekuasaan represif; b. Hukum otonom, yaitu hukum sebagai suatu pranata yang mampu menetralisir represi dan melindungi integritas hukum itu sendiri. c. Hukum responsive, yaitu hukum sebagai suatu sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat. Hukum responsive
terbuka
terhadap
perubahan-
perubahan masyarakat dengan maksud untuk mengabdi
pada
usaha
meringankan
beban
kehidupan sosial dan mencapai sasaran-sasaran kebijakan
sosial,
emansipasi
seperti
keadilan
kelompok-kelompok
dikesam-pingkan
dan
sosial,
sosial
yang
diterlantarkan,
serta
perlin-dungan terhadap lingkungan hidup. Menurut penerapan
pandangan
restorative
justice
hukum pada
progresif, hakekatnya
merupakan ajaran yang menghendaki agar hukum yang
dibuat
oleh
manusia
diperuntukan
bagi
kebutuhan manusia. Pendekatan restorative justice merupakan koreksi terhadap produk hukum yang represif, hukum yang berpihak pada hukum ansich. Padahal hukum adalah buatan manusia diharapkan untuk mengabdi pada kepentingan yang terbaik bagi manusia. Hukum progresif dan hukum responsive 130
pada hakekatnya merupakan implementasi dari ajaran restorative justice. Pendekatan
restorative
justice
dalam
penanganan anak yang berkonflik dengan hukum menurut
hukum
berbagai
aspek
progresif, yang
ada
juga
memperhatikan
(stakeholders)
yaitu
memperhatikan terhadap pelaku perbuatan pidana, korban (victim), masyarakat, lingkungan dan penegak hukum dan penegakan hukum. Restorative justice apabila dilaksanakan ada kekhawatiran bagi semakin terbukanya hukum pidana (hukum public), padahal secara teori hukum publik adalah bersifat tertutup disebabkan aturan yang dilanggar adalah aturan negara, maka kepentingan masyarakat luas yang dilanggar. Agar
restorative
justice
bisa
dilaksanakan
dengan baik maka perlu pengkajian yang mendalam, legislasi yang baik dan benar, penegakan hukum yang baik
terhadap
berbagai
masalah
hukum
pidana
termasuk di dalamnya terhadap Sistem Peradilan Pidana Anak. Semoga tulisan singkat ini memberikan manfaat bagi pengabdian kita kepada bangsa dan negara.
131