BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Apabila dalam Uraian diatas dalam BAB II Penulis telah melakukan suatu tinjauan pustaka yang tidak lain tujuannya adalah untuk menjawab perumusan masalah: bagaimanakah kompetensi absolut PTUN dalam memutus obyek sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta, maka dalam Bab III ini pembahasan tentang jawaban atas pertanyaan yang sama akan dikemukakan melalui deskripsi hasil penelitian terhadap dua Putusan Pengadilan. Adapun kedua Putusan Pengadilan yang dikemukakan dalam bagian hasil penelitian ini adalah Putusan No: 48/G/2009/PTUN.SMG dan Putusan No: 10/G/2010/PTUN-SMD. Bab III ini otomatis memuat analisis atas kedua Putusan Pengadilan tersebut dengan tujuan yang sama yaitu untuk menjawab perumusan masalah: bagaimanakah kompetensi absolut PTUN dalam memutus obyek sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta.
63
3.1. Penguasa Eksekutif (Ambtenaar/Priyayi) Hasil Imajinasi Putusan yang pertama melibatkan Penggugat yaitu Drs. Aloysius Lukas Soenarjo Soesilo, MA dengan Tergugat yaitu Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Penggugat merupakan Dosen Tetap Fakultas Psikologi UKSW Salatiga, terhitung
tanggal
3
Pebruari
1988
sesuai
SK
Rektor
UKSW
Salatiga
Nomor:280/UP?T.Ed./II/1988 tentang Pengangkatan Penggugat sebagai Pegawai Edukatif Tetap pada Pusat Bimbingan UKSW. Sengketa antara Penggugat Drs. Aloysius Lukas Soenarjo Soesilo, MA dengan Tergugat Rektor UKSW Salatiga bermula dari terbitnya Surat Keputusan Rektor Nomor: 098/Kep./Rek/1991 tanggal 4 Juli 1991 tentang Studi Lanjut Drs. Aloysius Lukas Soenarjo Soesilo, MA pada program Ph.D di Fuller Theologycal Seminary USA. Dalam Surat itu, Rektor UKSW menugaskan Penggugat untuk berangkat ke USA untuk Studi Lanjut. Menyusul tibanya di Indonesia di awal Januari 2009, tanggal 12 Januari 2009 Penggugat membuat surat memohon untuk dapat aktif kembali sebagai Dosen Tetap di UKSW Salatiga. Berdasarkan surat permohonan Penggugat tanggal 12 Januari 2009 tersebut, Dekan Fakultas Psikologi UKSW membuat surat No: 007/DEAN/I/2009 tanggal 16 Januari 2009, menindaklanjuti permohonan Penggugat untuk menjadi staf pengajar di Fakultas Psikologi UKSW. Atas dasar Surat Dekan Fakultas Psikologi itu, terbit dua Surat Keputusan Rektor yaitu SK Nomor: 014/Pengam.MK/Rek/1/III/2009 tanggal 2 Maret 2009 dan 64
SK Nomor: 015/Pengam.MK/Rek/1/III/2009 tanggal 3 Maret. Kedua surat itu berisi Tugas Mengampu Mata Kuliah Program Magister Sains Psikologi dan Tugas Mengampu Mata Kuliah Fakultas Psikologi bagi Penggugat. Berdasarkan kedua SK ini Penggugat menganggap bahwa Penggugat masih diakui oleh Tergugat sebagai Dosen Tetap di Fakultas Psikologi UKSW. Namun kenyataannya tidak demikian. Pada tanggal 29 Mei 2009 Penggugat menerima Surat Keputusan Tergugat Nomor: 158/Rek./5/2009 tanggal 26 Mei 2009 tentang status Kepegawaian Penggugat yang diterbitkan dan ditandatangani oleh Tergugat. Isi surat keputusan itu adalah: “memutuskan menerima Penggugat sebagai Dosen Kontrak Universitas Kristen Satya Wacana terhitung 1 Pebruari 2009”. Penggugat memaknai Surat Keputusan Nomor: 158/Rek./5/2009 tanggal 26 Mei 2009 merupakan Surat Keputusan (beschikking), dan dengan demikian Penggugat1 menempatkan Rektor UKSW unsur dari Yayasan suatu Perguruan Tinggi Swasta, pembuat Surat Keputusan tersebut, sebagai ambtenaar/priyayi,2 unsur Penguasa Eksekutif di jajaran Pemerintahan (publik), dalam perspektif Triaspolitika. Penggugat kemudian menanggapi Surat Keputusan itu dengan surat Nomor : 03/TGP/A/VI/2009 tanggal 2 Juni 2009 tentang Tanggapan Surat Rektor UKSW. Dalam surat tanggapan itu, Penggugat mempertanyakan dasar apa Rektor
1
Tanpa bermaksud merendahkan Penggugat, namun supaya obyektif, Ilmiah, dalam kenyataannya Penggugat diwakili oleh Profesional di bidang hukum, yaitu: Hj. Asih Budiastuti, S.H., C.N. 2
Ada yang mengatakan, sama dengan Penguasa.
65
menerima Penggugat sebagai Dosen Kontrak3, padahal Penggugat adalah Dosen Tetap dan telah mengampu 4 (empat) Mata Kuliah pada Semester Genap 2008/2009 dan perkuliahan telah dimulai sejak 19 Januari 2009.
3.2. Bukan Surat Keputusan Tergolong Beschikking Dari eksepsi yang terdapat di dalam Putusan tersebut terlihat bahwa Obyek gugatan tersebut merupakan Surat Rektor UKSW No.158/Rek./5/2009 tanggal 26 Mei 2009. Pihak Tergugat sebetulnya telah berusaha untuk menyakinkan Penggugat dan para Hakim bahwa surat keputusan itu bukan beschikking, hanya surat biasa yang bersifat belum final karena masih menunggu tanggapan dari pihak Penggugat untuk selanjutnya akan ditindaklanjuti ke Yayasan Pendidikan Tinggi Kristen (YPTK) Satya Wacana. Menurut pendapat Penulis, meskipun eksepsi pihak Tergugat memiliki nilai kebenaran menurut Tergugat, dari sudut hukum, namun hal itu belum memerlihatkan keteguhan Tergugat bahwa Tergugat bukan Badan atau Pejabat TUN, sehingga PTUN tidak berwenang secara absolut untuk mengadili dan memutus sengketa itu. Argumentasi Tergugat tersebut seolah-olah masih menyiratkan “harapan” dalam imajinasi pihak Tergugat bahwa apabila surat “biasa” Rektor tersebut telah ditindaklanjuti ke YPTK Satya Wacana, maka barulah Penggugat dan 3
Telah terjadi penyesatan yang sangat luar biasa terhadap konsep kontrak, bahkan oleh mereka yang tergolong intelektual. Dalam Ilmu Hukum, Dosen tetap atau Dosen kontrak, kedua-duanya adalah kontrak-kontrak (contracts). Penulis menyarankan agar mereka yang tidak mau disesat, membaca Buku “Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum” oleh Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D, Fakultas Hukum UKSW Salatiga.
66
para Hakim PTUN Semarang memandangnya sebagai obyek sengketa yang secara absolut merupakan kewenangan PTUN untuk mengadili dan memutus sengketa itu. Surat Rektor UKSW No. 158/Rek./5/2009 tanggal 26 Mei 2009 merupakan jawaban atas surat permohonan dari Penggugat tertanggal 12 Januari 2009 tentang permohonan untuk aktif kembali sebagai Dosen pada Fakultas Psikologi UKSW dan Surat Dekan Fakultas Psikologi UKSW No: 007/DEAN/I/2009 tanggal 16 Januari 2009. Tergugat juga berpendapat bahwa surat keputusan itu bukan beschikking sebab surat itu baru tawaran dari pihak Rektor kepada Penggugat dan/atau Fakultas Psikologi mengenai status kepegawaian Penggugat di UKSW.
3.3. Hubungan Hukum Ketenagakerjaan Bukti bahwa PTUN tidak memiliki kompetensi untuk mengadili dan memutus sengketa yang pertama itu juga dapat dilihat dari argumen Tergugat bahwa tawaran yang diberikan oleh Tergugat kepada Penggugat, karena secara hukum antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada hubungan hukum ketenagakerjaan lagi sejak 1997 berdasarkan ketentuan Pasal 11ayat (1) Angka (1) dan Angka (3), Pasal 12 ayat (2) Angka (2) butir (1) Peraturan Studi Lanjut No: 78/KEP./REK./1989 jo Pasal 12 ayat (3) Ketentuan Studi Lanjut No.019/SK/BPH-UKSW/III/2003 serta Pasal 11 ayat (1) Angka (3), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (2), Angka (2) butir (1) Peraturan Studi Lanjut No. 78/KEP./Rek./1989. Sehingga, memerhatikan eksepsi Tergugat di atas, Surat Rektor UKSW No. 158/Rek./5/2009 tanggal 26 Mei 2009 yang menjadi obyek gugatan tidak 67
memenuhi syarat dan kapasitas (beschikking) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 53 ayat (1) UU No.9 Tahun 2004 jo Pasal 1 Angka (9) UU No.51 Tahun 2009. Namun demikian, di dalam Putusan tersebut, ternyata, bahwa menurut Majelis Hakim, berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka (12) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN disebutkan bahwa “Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata”. Padahal Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) adalah merupakan lembaga pendidikan yang dikelola dan diselenggarakan oleh Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW) yang berupa Badan Hukum Swasta, bukan suatu Badan Hukum Publik. Para Hakim dalam kasus itu telah menjungkirbalikan tatanan yang ditetapkan oleh hukum.
3.4. Ambifalensi Hakim? Kemudian apabila dianalisi dari perspektif ketentuan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 jo UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Konsiderans bagian menimbang huruf (b) secara tegas disebutkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Ketentuan pasal 1 Angka (30) UU No.20 Tahun 2003 juga secara tegas menyebutkan bahwa Menteri bertanggung jawab dalam sitem pendidikan nasional. Pada ketentuan Pasal 1 Angka (3) disebutkan yang dimaksud dengan sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai 68
tujuan pendidikan nasional. Oleh sebab itu, Majelis Hakim yang memutus perkara itu tetap bersikeras dan berpendapat bahwa kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh badan hukum swasta/perdata yang mengelola suatu Perguruan Tinggi atau Universitas seperti UKSW yang dikelola oleh YPTKSW termasuk urusan yang bersifat eksekutif atau urusan pemerintahan seperti maksud Pasal 1 Angka (7) UU No.51 Tahun 2009, sepanjang badan hukum swasta tersebut memperoleh kewenangan dari Menteri yang berhak untuk itu seperti maksud Pasal 1 Angka (12) UU No.51 Tahun 2009. Hanya saja dalam uraian selanjutnya pada Putusan di atas mungkin hal ini dapat dikatakan sebagai suatu ambifalensi Hakim? Hakim kemudian mengaitkan dengan Pasal 1 Angka (27) beserta penjelasannya UU No.20 tahun 2003 menyebutkan masyarakat adalah mitra Pemerintah yang dapat ikut serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan kedudukan mereka adalah sama. Hakim nampaknya tidak memahami konsep masyarakat dan lalai melihat bahwa dalam kasus itu, yang di maksud dengan masyarakat adalah satu badan hukum atau subyek hukum yang bersifat Swasta atau partikelir dan bukan publik. Atas dasar itu Majelis Hakim menilai UKSW yang notabene adalah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat/Non Governmental Organization) adalah suatu Lembaga Pendidikan Tinggi Swasta yang dikelola oleh YPTKSW, dimana syarat dan tata cara pendiriannya telah memenuhi peraturan perundangan yang berlaku termasuk di dalamnya persetujuan tertulis dari Menteri Pendidikan Nasional untuk menyelenggarakan suatu bidang pendidikan berpendapat, sejak mendapat persetujuan 69
tertulis dari Menteri Pendidikan Nasional selaku wakil Pemerintah, berdasarkan peraturan perundangan secara atribusi, YPTKSW mendapat wewenang dari Pemerintah untuk berperan serta dan bertindak sebagai mitra Pemerintah untuk menyelenggarakan Pendidikan Tinggi, dengan demikian suatu organ/lembaga harus disebut sebagai Badan TUN, sebagaimana maksud ketentuan Pasal 1 Angka (7), jo Pasal 1 Angka (8) dan Pasal 1 Angka (12) UU No.51 Tahun 2009. Majelis Hakim kemudian berpendapat mengenai obyek gugatan yaitu Surat Rektor UKSW Nomor: 158/Rek./5/2009 tentang status Kepegawaian atas nama Penggugat tersebut telah dapat diklasifikasikan sebagai obyek sengketa TUN yaitu Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN, yaitu Rektor UKSW Salatiga. Mengenai kepada siapa tulisan itu ditujukan yaitu ditujukan kepada Penggugat yang berisi status kepegawaian Penggugat sebagai Dosen Kontrak tidak digubris Majelis Hakim. Selanjutnya
mengenai
surat
keputusan
tersebut
Majelis
Hakim
berpendapat bahwa surat keputusan itu tidak diperlukan lagi suatu persetujuan, baik dari atasan Tergugat ataupun instansi lain. Sehingga, menurut Majelis Hakim, surat keputusan tersebut telah bersifat final dan karenanya telah dapat menimbulkan akibat hukum bagi penggugat yaitu memutuskan menerima Penggugat sebagai Dosen Kontrak Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga terhitung tertanggal 1 Februari 2009. Memerhatikan hal ini, Penulis berpendapat bahwa Hakim “nampaknya” terjebak pada konstruksi yang sengaja dibangun oleh Tergugat, bahwa keputusan 70
Tergugat tersebut belum final? Jebakan Para Profesional yang mewakili Tergugat tersebut ternyata efektif untuk “menjerumuskan” Para Hakim yang kurang berilmu? Akibatnya, dengan terbitnya keputusan PTUN itu, UKSW hingga detik ini, memeroleh semacam “ablessing in disguise” ambifalensi hakim, dan berstatus sebagai badan hukum publik, Pegawainya jadi priyayi atau Badan/Pejabat TUN hasil konstruksi imajinatif.
3.5. Rektor Universitas Swasta bukan bagian Hierarki Pemerintahan Berbeda dengan Putusan PTUN dalam kasus yang pertama di atas, dalam rangka melihat bagaimana kompetensi absolut PTUN dalam memutus obyek sengketa hubungan industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta, maka berikut ini kasus kedua. Kasus kedua bermula dari adanya pengaduan tertulis kepada Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda selaku (Tergugat) dari beberapa orang yang mengaku orangtua dan saudara kandung seorang perempuan bernama Maya Astriyani. Alikuddin Saragih, SH., M.Hum selaku (Penggugat) yang juga Pembantu Dekan I Fakultas Hukum dan Dosen Kopertis Dpk Untag 1945 Samarinda, diduga telah melakukan perbuatan asusila terhadap seorang perempuan bernama Maya Astriyani yang merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Sejalan dengan itu, kemudian, Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda mengeluarkan Surat Keputusan, yaitu SK nomor: 055/UN.17/KP/II/2011, 71
tanggal 01 Pebruari 2011, memberhentikan sementara Penggugat sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum dan Dosen Kopertis Dpk Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) 1945 Samarinda. Majelis Hakim berpendapat bahwa sesuai dengan Pasal 47 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN yaitu kewenangan PTUN adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN, dan Pasal 1 Angka (9) memberikan penekanan, maka menurut para Majelis Hakim “Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Majelis Hakim juga mendasarkan argumen mereka kepada Pasal 1 Angka (10) bahwa yang dimaksud dengan sengketa TUN adalah “sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya KTUN termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan untuk mendapatkan putusan”. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 Angka (8) disebutkan bahwa Badan atau Pejabat TUN adalah “badan atau pejabat yang melaksanakan urusan Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, yang kemudian menurut penjelasan UU No.5 Tahun 1986 disebutkan “adalah kegiatan yang bersifat eksekutif dengan pembatasan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku”. 72
Sementara itu dalam Pasal 34 Statuta Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda Nomor 01 tahun 2009 tanggal 20 Oktober 2009 bahwa : “Rektor diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Umum Yayasan/BP PTS, setelah mendapat persetujuan Senat Universitas dan dilaporkan kepada Menteri melalui Dirjen Dikti”. Selanjutnya pada Pasal 1 Angka (28) dalam Statuta Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda diatur bahwa :“Yayasan Pendidikan 17 Agustus 1945 Samarinda adalah Lembaga pendiri pendidikan tinggi Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, yang sekaligus sebagai pemilik, pengelola, dan pembina. Majelis Hakim berpendapat bahwa Dosen/Karyawan Staf Pengajar di lingkungan Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda diangkat dan diberhentikan oleh Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Sedangkan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda selaku penanggung jawab/pemimpin Universitas diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Umum Yayasan Pendidikan Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Statuta tersebut, dipahami oleh Majelis Hakim bahwa pembinaan Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, secara teknis operasional dilakukan melalui Badan Pelaksana Harian Yayasan (BPH) atau Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta (BP-PTS), sedang pembinaan akademik dilakukan oleh Dirjen Dikti melalui Koordinator Kopertis Wilayah XI Kalimantan. Hal ini tidaklah berarti bahwa Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda berada dalam hierarki Pemerintahan tetapi peranan KOPERTIS hanyalah dalam rangka pengawasan agar Perguruan Tinggi Swasta dapat selalu berada dibawah koordinasi Pemerintah. Sehingga, tidak berarti 73
Rektor Universitas Swasta bagian dari hierarki Pemerintahan. Hakim menilai bahwa dalam melaksanakan tindakan administrasi hierarkinya terhadap Ketua Umum Yayasan Pendidikan Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda.
3.6. Rektor Universitas Swasta bukan Priyayi/Badan/Pejabat TUN Penerbitan Surat Keputusan yang menjadi obyek sengketa tersebut, menurut Majelis Hakim Tergugat tidaklah dapat dianggap melaksanakan urusan pemerintahan.
Sebab
Tergugat
sebagai
Rektor,
dalam
pengangkatan
dan
pemberhentiannya ditentukan oleh Ketua Umum Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Akibatnya Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda tidak dapat dianggap sebagai bagian dari hierarki pemerintahan, dalam artian sebagai Badan atau Pejabat TUN. Pada Pasal 1 Angka (8) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, diatur bahwa Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila menangkap isi Pasal itu, maka menurut Majelis Hakim, urusan pendidikan merupakan urusan Pemerintah, dan ini yang menjadi sesat dikalangan sarjana hukum yang mengkaitkan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta menjadi Badan atau Pejabat TUN. Misalnya saja ada suatu pendapat yang menyatakan bahwa yang termasuk Badan atau Pejabat TUN adalah keseluruhan kegiatan yang menjadi tugas dan dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN yang bukan kegiatan legislatif dan 74
yudikatif.4 Masalahnya adalah Pemerintah atau Badan/Pejabat TUN dalam mensejahterahkan rakyat bukankah semua urusan Pemerintahan, terkecuali bidang ajudikatif dan legislasi. Apabila pendapat seperti itu diikuti nantinya semua badan hukum swasta akan menjadi Badan atau Pejabat TUN. Pikiran bahwa negara hukum yang menurut dikte hukum adalah juga negara kesejahteraan (welfare state) yang hakikatnya Pemerintah memiliki monopoli dalam mengatur setiap aktifitas penyelenggaraan Pemerintahan, tidak serta merta urusan pemerintahan yang dikelola swasta akan diklasifikasikan sebagai Badan atau Pejabat TUN. Ada sebuah teori yang dikemukakan oleh Indroharto yaitu teori melebur. Dalam teori tersebut dikatakan bahwa setiap perjanjian perdata yang dilakukan oleh Pemerintah, maka tindakan Pemerintah tersebut akan melebur ke dalam tindakan hukum perdata (misalnya tindakan hukum jual-beli yang telah dilakukan). Meleburnya dalam tindakan hukum perdata, karena yang menjadi poin pentingnya adalah tujuan akhir dari rangkaian tindakan-tindakan hukum tersebut.5 Lahirnya teori melebur ini, menjadikan Pemerintah setara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dalam melakukan perjanjian, tidak ada yang istimewa di kedua pihak. Ini akan menjadi argumen dasar perbedaan publik dengan privat. Patokan bahwa suatu badan hukum merupakan Badan TUN karena melaksanakan urusan pemerintahan adalah salah. Tidak dapat dipungkiri pengertian
4
Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 67. 5 Ibid, hlm. 117.
75
akan Badan atau Pejabat pada Pasal 1 Angka (8) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN menimbulkan pemahaman yang berbeda dikalangan ahli hukum. Bahkan, akan menjadi suatu cara untuk pembenaran dalam kasus yang ditangani dengan berpedoman bahwa badan hukum swasta yang melakukan urusan Pemerintahan akan menjadi Badan atau Pejabat TUN. Disamping
itu,
perdebatan
mengenai
urusan
pendidikan
yang
dilaksanakan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dimasukkan sebagai Badan atau Pejabat TUN, disebabkan oleh adanya suatu pemahaman bahwa urusan pendidikan tersebut merupakan suatu pendelegasian dari Pemerintah. Sudah dijelaskan Penulis bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dalam melaksanakan pendidikan bukan pelimpahan wewenang dari Pemerintah, hanya memeroleh ijin dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan.6 Pemerintah hanya melakukan sebatas pembentukan, pengawasan, dan memberikan pembiayaan. Harus dipisahkan pemahaman akan pendelegasian dengan proses pembentukan, pengawasan, dan memberikan pembiayaan, untuk tidak mencampur adukkan keduanya. Pemisahan ini penting, yang tentunya berdampak juga terhadap peraturan perundang-undangan yang akan dipakai bilamana terjadi suatu perselisihan di dalam Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta tersebut.
6
Lihat kembali dalam Bab I Latar Belakang Masalah.
76
Itu sebabnya, ada pendapat bahwa Putusan unsur Yayasan Perguruan Tinggi Swasta tunduk pada hukum perdata, terlebih lagi dengan kehadiran Pengadilan Hubungan Industrial, maka yurisdiksi untuk menyelesaikan perselisihan antara buruh dan majikan adalah di PHI, suatu Badan Peradilan khusus di lingkungan Peradilan umum di Indonesia. Hal ini merupakan pendapat Majelis Hakim yang mengadili dan memutus kasus yang kedua tersebut.
3.7. Rektor Universitas Swasta adalah Badan Hukum Perdata Menurut Majelis Hakim dalam Putusan tersebut, Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda tidaklah melaksanakan kegiatan yang bersifat eksekutif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan bertindak sebagai badan hukum perdata. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh Rektor menerbitkan objek sengketa tersebut adalah termasuk dalam ruang lingkup Hukum Perdata dan bukanlah dalam lingkup hukum TUN. Menurut Majelis Hakim, Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda baru dapat dianggap melaksanakan urusan pemerintahan bilamana telah mendapatkan pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN. Sementara, dalam proses pembuktian dalam persidangan, tidak ada yang menyebutkan bahwa Tergugat Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda dalam menjalankan tugasnya selaku Rektor dalam menerbitkan objek sengketa tersebut mendapat limpahan wewenang, baik itu yang bersifat atributif maupun delegasi dari Badan atau Pejabat TUN (Pemerintah). 77
3.8. SK Rektor Universitas Swasta bukan Beschikking Menurut hemat Majelis Hakim itu, objek sengketa berupa yaitu Surat Keputusan
Rektor
Universitas
17
Agustus
1945
Samarinda
Nomor:
055/UN.17/KP/II/2011, tanggal 01 Pebruari 2011 perihal Pemberhentian Sementara sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum dan Dosen Kopertis Dpk Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda atas nama Alikuddin Saragih, SH., M.Hum, yang diterbitkan oleh Tergugat bukanlah KTUN (Beschikking), sehingga sengketa yang timbul dalam perkara juga tidak dapat digolongkan sebagai sengketa TUN. Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda tidak memenuhi persyaratan Pasal 1 Angka (8) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN. Tergugat bukanlah merupakan Badan atau Pejabat TUN disebabkan karena tidak melaksanakan urusan Pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Hubungan hukum antara Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda dengan para Dekan/Dosen serta Pejabat struktural di lingkungan Universitas yang bersangkutan, dalam hal ini Penggugat bukanlah dalam arti hukum kepegawaian yang termasuk dalam ruang lingkup hukum publik melainkan termasuk dalam lingkup hukum perdata.
78
3.9. Lingkup Perdata Rektor Universitas Swasta – Dosen Swasta Dengan mempedomani ketentuan dalam Pasal 56 Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial disebutkan bahwa: “Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus yakni di tingkat pertama mengenai perselisihan hak, di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan, ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, serta di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”, maka apabila dikaitkan dengan sejatinya tujuan paling hakiki dari keberadaan peraturan perundang-undangan adalah untuk menciptakan kepastian hukum,7 UU No.2 Tahun 20004 tentang PHI tentunya sudah memberikan kepastian hukum. Artinya tidak ditumpangtindihkan sengketa hubungan indsutrial dengan sengketa PTUN. Menurut pendapat Majelis Hakim dalam kasus tersebut di atas, apabila, Penggugat merasa pemberhentian tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Penggugat dapat menggugat pada Pengadilan Hubungan Industrial. Itu menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa dalam rangka menjawab perumusan masalah penelitian dan penulisan skripsi ini, yaitu: bagaimanakah kompetensi absolut PTUN memutus obyek sengketa hubungan industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan
7
Titon Slamet Kurnia, S.H., M.H., Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2009, hlm. 49.
79
Tinggi Swasta maka Penulis berpendapat bahwa “Kompetensi Absolut PTUN dalam memutus obyek sengketa Hubungan Industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta” maka kompetensi absolut PTUN itu sebatas hanya untuk menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
80