BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Pokok uraian dalam Bab III ini adalah, pertama hasil penelitian yang berisi mengenai uraian atau posisi kasus dari 10 (sepuluh) putusan-putusan KPPU mengenai penyalahgunaan posisi dominan. kedua analisis terhadap semua putusan-putusan KPPU.
A. Hasil Penelitian Sesuai dengan latar belakang di atas, yang mana untuk lebih memahami konsep penyalahgunaan posisi dominan ini, maka Penulis menyajikan kasus posisi yang dibagi atas 3 (tiga) varian, yaitu pertama,Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan memenuhi Pasal 25 ayat (2), Kedua Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) Tapi Terbukti memenuhi Pasal 25 ayat (2), ketiga Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) dan Tidak memenuhi Pasal 25 ayat (2). Adapun
putusan-putusan
KPPU
yang
berkaitan
dengan penyalahgunaan posisi dominan yang dibagi atas 3 (tiga) varian tersebut, yaitu: 1. Terbukti
melanggar
Pasal
Memenuhi Pasal 25 ayat (2) 121
25
ayat
(1)
dan
a. Perkara Nomor : 04/KPPU-I/2003 Pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dilakukan oleh PT. JAKARTA INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL (PT. JICT) yang beralamat kantor di Jalan Sulawesi Ujung Nomor 1 Tanjung Priok, Jakarta Utara 14310.1 PT. JICT telah melakukan kegiatan yang dapat menghambat
konsumen
kerjasama
usaha
pesaingnya,
dalam
untuk
dengan bentuk
melakukan
pelaku
usaha
pengiriman
surat
penegasan yang ditandatangani oleh PT. JICT, kepada salah satu pengguna jasanya pada tanggal 5 April 2001, yang pada pokoknya menyatakan bahwa untuk mendapatkan pelayanan bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok harus
mengikatkan
diri
pada
kontrak
yang
bersifat ekslusif. Tanpa adanya kontrak yang mengikat tersebut, maka tidak akan dilayani PT. JICT. Bentuk hambatan itu semakin nyata, ketika PT. JICT
1
menggunakan
klausul
Perkara Nomor : 04/KPPU-I/2003, hal. 1
122
32.4
di
dalam
authorization agreement tersebut untuk meminta klarifikasi dan memprotes kebijakan Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara yang memberikan ijin operasi kepada PT. Segoro Fajar Satryo, selanjutnya disebut Segoro, untuk menggunakan Dermaga 300 yang kemudian melayani jasa bongkar muat petikemas.2 Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara adalah pemegang hak pengelolaan pelabuhan umum sebagaimana Pemerintah memberikan
diatur Nomor
di 57
konsesi
dalam Tahun
Peraturan 1991,
pengelolaan
telah
terminal
petikemas kepada PT. JICT dengan jaminan bahwa tidak akan ada pembangunan terminal petikemas sebagai tambahan dari Unit Terminal Petikemas I, Unit Terminal Petikemas II, dan Unit Terminal
Petikemas
III
sebelum
tercapainya
throughput sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari kapasitas rancang bangunnya sebesar 3,8 juta Teus sebagaimana dinyatakan klausul 32.4 di dalam authorization agreement. Klausul 32.4 di dalam
authorization
merupakan
bentuk
agreement
hambatan
tersebut
strategis
yang
nyata bagi para pelaku usaha baru yang akan 2
Ibid., hal. 8
123
memasuki
pasar
bersangkutan
pelayanan
bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok. Bahwa dalam Ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-Undang menetapkan
bahwa
menggunakan langsung
Nomor
5
pelaku
posisi
maupun
Tahun usaha
dominan tidak
1999 dilarang
baik
secara
langsung
untuk
menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi
pesaing
untuk
memasuki
pasar
bersangkutan. Dalam memutus perkara ini, maka Majelis Komisi KPPU mempertimbangkan unsurunsur yang terkandung dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c UU No.5 tahun 1999.3 Yaitu: Pertama PT. JICT merupakan pelaku usaha sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun posisi
1999
yang
dominan
faktual
memiliki
pada
pasar
bersangkutan. Kedua
Bahwa pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Ayat (2) huruf a Undang-
3
Ibid., hal. 24
124
Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah apabila
satu
pelaku
usaha
atau
sekelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dalam pemeriksaan di KPPU,
pihak
PT.
JICT
mengakui
memiliki posisi dominan di Pelabuhan Tanjung Priok, baik dalam arti tidak mempunyai
pesaing
yang
berarti
di
pasar bersangkutan maupun dalam arti menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar pada pasar bersangkutan.
Data
empirik
pun
membuktikan bahwa PT. JICT telah menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen)
pangsa
bersangkutan,
pasar
pada
sehingga
pasar esensi
kepemilikan posisi dominan pada pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terpenuhi. Ketiga
Bahwa posisi dominan yang dilakukan PT.
JICT
harus
penyalagunaan 125
memenuhi posisi
esensi
dominannya
tersebut, yang di dalam perkara ini adalah
dengan
menghambat
pelaku
usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing
untuk
memasuki
pasar
bersangkutan. Keempat Bahwa Surat tanggal 12 Pebruari 2002 dari Terlapor I kepada Terlapor III dan surat
tertanggal
5
April
2002
dari
Terlapor I dan Terlapor II kepada satu pengguna jasa terminal bongkar muat petikemas yang identitas lengkapnya ada pada Mejelis Komisi, serta Surat teguran dari penasehat hukum Terlapor I,
Hiswara
kepada
Bunjamin
Terlapor
III
&
Tandjung,
tertanggal
05
Pebruari 2003, membuktikan bahwa Terlapor I telah menyalahgunakan posisi dominannya
secara
tidak
langsung
untuk menghambat pelaku usaha lain yaitu Segoro dan MTI yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan, sehingga esensi unsur penyalahgunaan posisi dominan secara tidak pelaku
langsung usaha 126
untuk lain
menghambat
yang
berpotensi
menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (1) huruf c UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 terpenuhi. Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT. JICT secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999.4
b. Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004 Pelanggaran ini dilakukan oleh PT.Arta Boga Cemerlang, beralamat kantor di Jalan Palmerah Barat No. 82, Jakarta Barat 11480. Kasus
ini
berawal
pada
pertengahan
bulan
Februari 2004, PT Panasonic Gobel Indonesia (selanjutnya disebut PT PGI) telah melaksanakan program “Single Pack Display” dengan ketentuan setiap toko yang mendisplay baterai single pack (baterai manganese tipe AA) dengan menggunakan standing display akan diberikan 1 (satu) buah senter yang sudah diisi dengan 4 baterai dan toko yang selama 3 (tiga) bulan mendisplay produk tersebut akan mendapatkan tambahan 1 buah 4
Ibid., hal. 27
127
senter yang sama, sedangkan untuk material promosi (standing display) diberikan gratis oleh PT PGI. Selanjutnya pada bulan Maret 2004 diperoleh informasi bahwa PT.Arta Boga Cemerlang sedang melaksanakan
Program
Geser
Kompetitor
(selanjutnya disebut PGK). Isi atau kegiatan dari program tersebut tertuang dalam suatu “Surat Perjanjian PGK Periode Maret-Juni 2004” yang berisi: 1) Program
Pajang
dengan
mendapatkan
potongan tambahan 2%, dengan ketentuan Toko mempunyai space/ruang pajang baterai ABC dengan ukuran minimal 0,5 x 1 meter, Toko bersedia memajang baterai ABC, Toko bersedia memasang POS (material promosi) ABC. 2) Komitmen toko untuk tidak menjual baterai Panasonic
dengan
mendapatkan
potongan
tambahan 2%, dengan ketentuan Toko yang sebelumnya jual baterai Panasonic,
mulai
bulan Maret sudah tidak jual lagi, sehingga Toko hanya menjual baterai ABC.
128
3) Mengikuti
Program
Pajang
dan
Komitmen
untuk tidak jual baterai Panasonic sehingga patut diduga PGK tersebut dilakukan oleh PT.Arta
Boga
Cemerlang;
PT.Arta
Boga
Cemerlang diduga melaksanakan PGK dengan cara membuat perjanjian dengan toko untuk tidak
menjual
baterai
Panasonic;
Bahwa
berdasarkan informasi yang diperoleh Pelapor dari toko-toko, PT.Arta Boga Cemerlang diduga melaksanakan PGK tersebut dengan tujuan untuk menghambat penjualan produk baterai merek Panasonic. Sejak PT PGI mengeluarkan produk single pack untuk jenis baterai AA dan melaksanakan program promosi Single pack Display
telah
menambah
peningkatan
penjualan baterai Panasonic; Bahwa dengan adanya PGK banyak diantara toko-toko yang berusaha
untuk
mendapatkan
potongan
tambahan sebagaimana yang dijanjikan oleh PT.Arta Boga Cemerlang. Bahkan terdapat toko-toko
yang
jelas-jelas
mempunyai
komitmen untuk tidak memajang dan/atau menjual
baterai
Panasonic,
padahal
sebelumnya yang bersangkutan adalah peserta program single pack display dari PT PGI. 129
Bahwa
perilaku
PT.Arta
Boga
Cemerlang
sebagai pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan
usahanya
bertentangan
dengan
peraturan perundang-undangan maupun etika bisnis
yang
perjanjian
ada,
yaitu
mengenai
dengan
harga
membuat
atau
potongan
harga tertentu atas produk baterainya dengan memuat persyaratan bahwa pemilik toko yang menerima barang-barang dari PT.Arta Boga Cemerlang tidak akan membeli barang-barang yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang
menjadi
pesaing
dari pelaku usaha
pemasok; Bahwa PT.Arta Boga Cemerlang telah menyalahgunakan posisi dominannya untuk menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi memasuki
menjadi pasar
pesaingnya
yang
untuk
bersangkutan
dan
menetapkan syarat-syarat perdagangan yang menghambat
atau
memperoleh
barang
menghalangi dan/atau
konsumen jasa
yang
bersaing. Pada akhirnya Majelis Komisi berpendapat bahwa PT.Arta
Boga
Cemerlang
pangsa
pasar
baterai
130
menguasai
manganese
AA
88,73% secara
nasional, sehingga unsur posisi dominan telah terpenuhi. Dengan posisi dominan tersebut PT.Arta Boga Cemerlang
menyalahgunakan
dengan
menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas. Dimana PT.Arta Boga Cemerlang telah menetapkan terkandung
syarat-syarat di
dalam
perdagangan
surat
perjanjian
yang PGK
dimana salah satu syarat pemberian potongan tambahan sebesar 2% adalah jika toko grosir dan semi grosir tidak menjual baterai Panasonic, dengan tujuan untuk mencegah atau menghalangi konsumen memperoleh baterai Panasonic yang bersaing dengan baterai ABC baik segi harga maupun kualitas di grosir atau semi grosir yang mengikuti PGK PT.Arta Boga Cemerlang. Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT.Arta Boga Cemerlang terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a jo. ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999.
131
c. Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009 Pelanggaran UU larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini berawal dari PT. Carrefour
Indonesia
mengakuisisi
PT.Alfa
Retailindo,Tbk. dimana PT.Carrefour menguasai pangsa pasar yang sebelumnya hanya sebesar 46,30 persen setelah itu meningkat menjadi sebesar 57,99 persen di tahun 2008. Peningkatan pangsa
pasar5
ini
disalahgunakan
oleh
PT.Carrefour Indonesia dengan cara menetapkan berbagai
syarat
perdagangan
(trading
terms)
kepada pemasok menimbulkan persaingan tidak sehat dan menghambat konsumen memperoleh barang dan jasa yang bersaing. Hal ini dapat dilihat
dari
Elektronik
(GABEL)
PT.Carrefour kekuatan
pengakuan yang
Indonesia
yang
cukup
ketua
Gabungan
mengatakan
bahwa
merupakan
suatu
besar
di
Indonesai,
sehingga apabila produk Gabel tidak ada di PT.Carrefour Indonesia maka nilai brand GABEL tersebut berkurang. Sehingga sekalipun GABEL mengalami kerugian akibat persyaratan yang ditetapkan oleh PT.Carrefour Indonesia salah 5
Pasal 1 angka (13) UU No.5 tahun 1999. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai olehpelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.
132
satunya
harus
Retailindo
memasok
yang
juga
diakuisisi
pada
oleh
PT.Alfa
PT.Carrefour
Indonesia, yang mana dalam persyaratan yang diberlakukan PT.Alfa Retailindo harus sama pada PT.Carrefour Indonesia.6 Setelah
Tim
Pemeriksa
KPPU
melakukan
pemeriksaan hingga selesai, Majelis Komisi KPPU menyatakan
bahwa
PT.
Carrefour
Indonesia
terbukti sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang
larangan
praktik
monopoli
dan
persaingan usaha tidak sehat.
d. Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010 Pelanggaran
ini
dilakukan
oleh
PT
Pfizer
Indonesia, Pfizer Inc., Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading dan PT Pfizer Corporation Panama. Kasus ini berawal dari Kelompok Usaha Pfizer diduga melakukan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) Undang-undang
nomor
menyalahgunakan mempengaruhi
5
posisi
dokter
tahun
1999
dominannya
dan/atau
apotek
yaitu untuk agar
hanya meresepkan obat dengan merek Norvask. 6
Putusan KPPU Nomor : 09/KPPU-L/2009
133
Dimana pangsa pasar Norvask sepanjang periode 2000-2007 tersebut
mencapai
memenuhi
di
atas
kriteria
50%. posisi
Kondisi dominan
sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat (2). Posisi
dominan Pfizer untuk produk Norvask
menjadi lebih kuat karena adanya hak paten yang baru habis pertengahan 2007. Hak paten tersebut mengakibatkan tidak ada pelaku usaha pesaing yang dapat menawarkan produk sejenis (selain PT Dexa Medica) dalam periode yang bersangkutan. Pasca paten Norvask habis pertengahan 2007, pangsa pasar Norvask mengalami penurunan seperti tercatat di tahun 2008 menjadi 45.52% dan
2009
mencapai
tingkat
39.50.
Pfizer
Indonesia mencanangkan program HCCP pada tahun 2005 yang melibatkan rekanan dokter dan apotik.
Berdasarkan
BAP
dari
apotik
serta
kesaksian para ahli farmakolog, peran dokter dalam peresepan obat sangat penting. Pihak apotik tidak dapat merubah resep yang sudah dituliskan dokter. Selain itu, pihak dokter lah yang memberikan kartu anggota HCCP kepada pasien, dimana pihak apotik hanya melaksanakan fungsi input data pasien melalui mesin EDC yang disediakan Pfizer Indonesia. 134
Kesaksian dari para farmakolog menyebutkan bahwa terdapat interaksi antar dokter dengan perusahaan
farmasi
yang
diduga
berakibat
kepada keputusan dokter dalam peresepan obat. Berdasarkan dokumen, diperoleh data rekanan dokter dan apotik yang masuk dalam program HCCP Pfizer Indonesia. Tim pemeriksa menilai bahwa program HCCP yang menjalin kemitraan dengan para dokter akan mempengaruhi
preferensi
para
dokter
untuk
meresepkan obat kepada pasien nya, terutama untuk produk-produk Pfizer, termasuk Norvask. Tim berpendapat bahwa keputusan peresepan tersebut
mempengaruhi
obyektifitas
dokter
sehingga akan tetap meresepkan produk produk Pfizer Indonesia khususnya Norvask untuk pasien penderita hipertensi. Kondisi ini diperkuat dengan fakta
bahwa
sejak
tahun
2007-awal
2010,
indicator most sold generic tetap dipegang oleh produk Norvask, sementara walau sudah tersedia branded generic (termasuk generic) lain dengan harga relatif lebih murah di pasar, merk alternatif tersebut belum banyak terjual atau diresepkan oleh dokter.
135
Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT Pfizer Indonesia, Pfizer Inc., Pfizer Overseas LLC,
Pfizer
Global
Trading
dan
PT
Pfizer
Corporation Panama terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No 5 Tahun 1999. 2. Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) Tapi Terbukti Memenuhi Pasal 25 ayat (2). a. Perkara Nomor: 05/KPPU-I/2005 Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf c ini dilakukan oleh PT BURSA EFEK JAKARTA atau disingkat PT BEJ (Terlapor I) dan PT LIMAS STOKHOMINDO, TBK, atau disingkat PT LS (Terlapor
II).
Kasus
pengembangan
sistem
perusahaan tercatat di
ini
berkaitan
pelaporan Bursa
dengan
elektronik
Efek
Jakarta.
Dimana pelanggaran ini disebabkan oleh karena adanya Terlapor
perjanjian II
yang
antara tertuang
Terlapor dalam
I
dengan
Perjanjian
Kerjasama Dalam Rangka Pengembangan Sistem Pelaporan Elektronik Perusahaan Tercatat Nomor SP-036/BEJ-HKM/06-2003 yang diduga dapat menimbulkan penguasaan produksi
dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa oleh Terlapor I 136
dan Terlapor II. Penunjukan Terlapor II oleh Terlapor
I
untuk
mengembangkan
sistem
pelaporan elektronik perusahaan tercatat diduga dilakukan dengan cara diskriminasi terhadap pesaing Terlapor II. Terlapor I memiliki posisi dominan terhadap pasar jasa e-reporting & monitoring di Bursa Efek Jakarta yang diduga dapat menghambat pelaku usaha lain untuk memasuki pasar bersangkutan. Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan bahwa PT BEJ (Terlapor I) dan PT LS (Terlapor II) tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999,
oleh
karena
BEJ
(Terlapor
I)
tidak
menghambat pelaku usaha lain memasuki pasar bersangkutan
sehingga
pelaku
lain
usaha
unsur
yang
menghambat
berpotensi
menjadi
pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
b. Perkara Nomor: 21/KPPU-L/2005 Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor
5
Tahun
1999
ini
dilakukan oleh PT. Pertamina (Terlapor I), PT. Banten Inti Gasindo, yang selanjutnya disebut PT 137
BIG (Terlapor II) dan PT. Isma Asia Indotama, yang selanjutnya disebut sebagai PT IAI (Terlapor III). Kasus
ini
berkaitan
dengan
diskriminasi
distribusi gas yang dilakukan oleh PT Pertamina, yaitu
dengan
menetapkan
syarat-syarat
perdagangan kepada para trader (JPMT, SBLC, gas make up, harga gas, sistem pembayaran dan sebagainya ) yang akan melakukan hubungan dagang dengan PT. Pertamina. Berdasarkan laporan PT. Igas Utama menyatakan PT.
Pertamina
telah
melakukan
diskriminasi
terhadap PT. Igas Utama dan PT. Banten Inti Gasindo dalam hal PT. Banten Inti Gasindo mendapatkan
lebih
besar
pasokan
gas
dan
dipermudah persyaratan PJBGnya. Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan bahwa PT. Pertamina (persero) tidak terbukti melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan
pertimbangan
bahwa
meskipun
PT.
Pertamina terbukti memiliki posisi dominan dan juga
terbukti
menetapkan
syarat-syarat
perdagangan akan tetapi tidak terbukti mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh 138
barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.
c. Perkara Nomor: 15/KPPU-L/2006 Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor
dilakukan
Terlapor
oleh
5
Tahun dalam
1999
hal
ini
ini PT
Pertamina (Persero). Kasus ini berkaitan dengan pendistribusian Elpiji di Sumatera Selatan. Dimana
menerbitkan
057/E22000/2006-S3
yang
surat pada
No. pokoknya
melarang agen Elpiji di Pulau Bangka untuk membeli dan mengisi Elpiji di DSP Pulau Layang dan harus mengisi di APPEL Muntok terhitung mulai tanggal 3 Maret 2006. Setelah terbitnya Surat No. 057/E22000/2006-S3 harga ex agen yang ditetapkan oleh Terlapor turun menjadi Rp 63.747,- (enam puluh tiga ribu tujuh ratus empat puluh tujuh rupiah) per tabung 12 Kg. Hal ini disebabkan karena agen tidak lagi menanggung biaya tambahan sebesar Rp 17.500,- (tujuh belas ribu lima ratus rupiah) namun turun menjadi Rp 11.639,40,- (sebelas
139
ribu enam ratus tiga puluh sembilan koma empat puluh rupiah). Bahwa
berdasarkan
surat
GM
No.
058/E22000/2006-S3 agen di Pulau Bangka akan
mendapatkan
keuntungan
sebesar
Rp
5.560,44,- (lima ribu lima ratus enam puluh koma empat puluh empat rupiah) per tabung 12 Kg tetapi kenyataan di lapangan, keuntungan yang diperoleh agen lebih rendah dari yang ditetapkan oleh Terlapor. Hal ini terjadi karena pertama APPEL melakukan penjualan langsung melalui toko-toko dengan harga berkisar antara Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp. 61.000,- (enam puluh satu ribu rupiah). Kedua Salah satu pemegang saham PT. Niaga Utama Pura Prima membeli elpiji secara langsung
dari
agen
di
Palembang
dan
memasarkannya ke Pulau Bangka dengan harga antara Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 63.000,- (enam puluh tiga ribu rupiah) per tabung 12 kg. Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan
bahwa
Terlapor
tidak
terbukti
melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a
140
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, dengan pertimbangan karena Terlapor telah mencabut surat larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang dan memberikan kebebasan kepada agen di Pulau Bangka untuk memilih tempat pengisian Elpiji, sehingga unsur menetapkan syarat-syarat perdagangan tidak terpenuhi.
d. Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007 Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf b Undang-Undang
Nomor
5
Tahun
1999
ini
dilakukan oleh Terlapor I (Temasek Holdings Pte. Ltd) Terlapor
II
(Singapore
Technologies
Telemedia Pte. Ltd) Terlapor III (STT Communications Ltd) Terlapor IV (Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd) Terlapor V (Asia Mobile Holdings Pte. Ltd) Terlapor VI (Indonesia Communications Limited
141
Terlapor VII (Indonesia Communications Pte. Ltd) Terlapor
VIII:
Singapore
Telecommunications Ltd) Terlapor IX (Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd) Terlapor X (PT. Telekomunikasi Selular) Kasus ini berkaitan dengan menyalahgunakan
posisi
Telkomsel yang
dominannya
untuk
membatasi pasar dan pengembangan teknologi sehingga melanggar pasal 25 ayat (1) huruf b UU No 5 Tahun 1999. Berdasarkan
Laporan
Hasil
Pemeriksaan
Lanjutan (LHPL) Tim Pemeriksa pada pokoknya menyatakan telah terjadi hambatan interkoneksi yang dilakukan oleh Telkomsel sesuai dengan bukti: Pertama kesaksian Mastel (vide Bukti B52), yang menyatakan bahwa degree of competition industri
seluler
selama
ini
kurang
diakibatkan oleh operator incumbent pada kondisi yang dapat mengancam hubungan interkoneksi pada operator yang menurunkan tingkat tarif. Selain 142
itu, meskipun sejak tahun 2007, rezim interkoneksi sudah berbasis pada biaya namun hingga saat ini belum terdapat adanya
PKS
antar
operator
yang
memuat perjanjian tersebut. Pada
praktiknya,
operator
pencari
interkoneksi tidak memiliki posisi tawar yang
seimbang
dengan
operator
incumbent, sehingga masih mengikuti kehendak incumbent dengan ancaman hubungan interkoneksi diputus (BAP Saksi
Mastel
tanggal
25
September
2007. Kedua
kesaksian Hutchinson (vide Bukti B14) yang
menyatakan
bahwa
Sempat
terdapat hambatan interkoneksi yang dialami
oleh
operator
dilakukan
Telkomsel
mempersyarakatkan traffic
sebesar
baru
yang dengan
terpenuhinya
48
erl,
yang
sulit
dipenuhi oleh operator-operatror baru. Dalam
salah
satu
perjanjian
interkoneksi Telkomsel dengan salah satu
operator,
Pembebanan 143
diatur
Biaya,
mengenai
Penagihan
dan
Pembayaran.
Lebih
lanjut,
dalam
ayatnya disebutkan bahwa ”Tarif yang dikenakan kepada Pengguna untuk jasa layanan SMS merupakan kewenangan masing-masing Pihak, sehingga para pihak berhak untuk menetapkan sendiri tarif
yang
Penggunanya
dikenakan
kepada
masing-masing
dengan
batasan bahwa tarif yang dikenakan oleh operator X kepada Penggunanya tidak boleh lebih rendah dari tarif yang dikenakan
oleh
Penggunanya.
Telkomsel Operator
melakukan
penyesuai
dikenakan
kepada
kepada
X
akan
tarif
yang
Penggunanya
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan, sejak pemberitahuan perubahan tarif yang disampaikan
oleh
Telkomsel
kepada
Operator X sebagai waktu sosialisasi bila Telkomsel melakukan perubahan tarif
yang
Pengguannya.” dalam
Perjanjian
dicabut
dikenakan Namun,
Perjanjian. 144
ketentuan
tersebut
berdasarkan
kepada kemudian
amandemen
Bentuk
hambatan
lain,
adalah
persyaratan untuk pembangunan link interkoneksi diharuskan menggunakan pihak
ketiga
yang
ditunjuk
oleh
Telkomsel. Hal tersebut menaikan biaya secara
signifikan
interkoneksi. pengoperasian menjadi
bagi
pencari
Kepemilikan link
milik
dan
tersebut
pun
ketiga
dan
pihak
telkomsel bukan menjadi milik pencari interkoneksi.(BAP
Saksi
Hutchinson
tanggal 21 Juni 2007). Ketiga
Dokumen perjanjian kerja sama antara Telkomsel dengan salah satu operator.
Selanjutnya dalam pendapat atau pembelaan Telkomsel
pada
pokoknya
menyatakan
tidak
pernah menghambat pengembangan teknologi, Telkomsel merupakan operator telekomunikasi seluler pertama yang mengenalkan: Bisnis
pre-paid
di
Indonesia
yang
menggunakan teknologi IN; Layanan berbasis teknologi GPRS dan EDGE;
145
Layanan value added services tertentu seperti ring back tone; Electronic voucher; Layanan-layanan 3G yang menyediakan layanan video call, video streaming. Pengembangan-pengembangan
teknologi
yang
digunakan oleh Telkomsel yang kemudian juga diaplikasikan
oleh
kompetitor
kompetitor
Telkomsel lainnya dan yang dapat memberikan kontribusi
positif
bagi
perkembangan
pasar
telekomunikasi selular. Sebelum menganalisa pemenuhan unsur pasal 25 ayat (1) huruf b, Majelis Komisi terlebih dahulu mengurai pendekatan analisa terhadap pasal 25 yaitu menurut Majelis Komisi analisa terhadap pasal 25 dapat dilakukan secara per se rule maupun rule of reason. Penggunaan pendekatan per se rule adalah pendekatan minimalist karena dari segi rumusannya pasal 25 tidak tercantum salah
satu
dari
menimbulkan „persaingan
dua
kalimat
praktik
usaha
tidak
yaitu
monopoli‟ sehat‟.
„dapat
dan/atau Penggunaan
pendekatan rule of reason adalah pendekatan maximalist. Perspektif ini mendasarkan pada 146
asumsi bahwa kebijakan pelaku usaha seperti tercantum dalam ayat (1) huruf a, b, atau c belum tentu
dapat
menimbulkan
dampak
negatif
terhadap persaingan. Untuk itu perlu dibuktikan bahwa
kebijakan
menimbulkan dampak
pelaku
atau
negatif.
usaha
berpontensi
Dalam
perkara
dimaksud
menimbulkan ini,
Majelis
Komisi menggunakan perspektif maximalist yaitu rule of reason. Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan bahwa PT. Pertamina (persero) tidak terbukti melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan pertimbangan bahwa meskipun telah terjadi
pembatasan
pasar
melalui
hambatan
interkoneksi namun tidak terjadi pembatasan pengembangan teknologi, sehingga dengan tidak terpenuhinya unsur pembatasan pengembangan teknologi maka Majelis Komisi tidak perlu menilai dampak
yang
terjadi
akibat
terjadinya
pembatasan pasar dan pengembangan teknologi tersebut. 3. Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) dan Tidak Memenuhi Pasal 25 ayat (2) 147
a. Perkara Nomor: 03/KPPU-L-I/2000 Dugaan pelanggaran UU persaingan usaha ini dilakukan oleh PT. Indomarco Prismatama, yang beralamat di Jl. Ancol I No.9 10, Ancol Barat Jakarta 14430, sebagai pemilik dan pemegang hak merek dagang "Indomaret" untuk usaha ecerannya dalam bentuk baik toko swalayan milik sendiri maupun toko swalayan dengan sistem waralaba.
Kasus
ini
berawal
dari
laporan
tertulisnya tertanggal 12 April 2000 yang diterima oleh Komisi pada tanggal 9 Agustus 2000 oleh sebuah
lembaga
selanjutnya
swadaya
disebut
masyarakat
sebagai
Saksi
yang
Pelapor.
Berdasarkan wawancara langsung kepada 429 orang
pengusaha
kecil/pemilik
warung
yang
dianggap mewakili seluruh pemilik warung di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek). Sebanyak 129 pengusaha kecil yang diwawancarai tersebut menyatakan bahwa sejak berdirinya dampak
Swalayan negatif
keberadaan
Indomaret
terhadap
Indomaret
mempunyai
usahanya,
tersebut
karena
mempunyai
dampak merugikan pengusaha kecil yang ada disekitarnya,
di
setiap
satu
Toko
Swalayan
Indomaret. Padahal di sekitarnya diperkirakan 148
ada 10 usaha kecil, maka apabila ada 290 Toko Swalayan Indomaret akibatnya 2900 usaha kecil terancam mati, karena kalah bersaing dengan harga dan kenyamanan yang disediakan oleh Indomaret. Apabila dibiarkan rencana berdirinya sampai 2000 Toko Swalayan Indomaret, maka diperkirakan 20.000 usaha kecil yang berada di Jabotabek akan mati atau minimal 80.000 orang masyarakat
miskin
tambah
melarat,
resah
kehilangan mata pencaharian. Selain itu juga sistem yang diterapkan oleh PT. Indomarco adalah pemegang hak merek Swalayan Indomaret
dan
jaminan
pemasokan
barang
dagangan dengan harga distributor. Sedangkan pewaralaba dan
berkewajiban
investasi
+
300
menyiapkan
juta
(termasuk
gedung untuk
Franchise Fee Rp.82,5 juta yang diberikan kepada PT. Indomarco). Kemudian dalam pertimbangan KPPU, Majelis Komisi
menyatakan
bahwa
tidak
ditemukan
bukti-bukti Terlapor mempunyai posisi dominan karena tidak menguasai pangsa pasar 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Selain itu juga tidak ditemukan
bukti-bukti 149
Terlapor
melakukan
secara bersama-sama dengan satu atau dua pelaku usaha lain yang menguasai 75% atau lebih pangsa
pasar
satu
jenis
barang
atau
jasa
tertentu. Atas
dasar
fakta
ini
Terlapor
tidak
dapat
dinyatakan dan dikategorikan mempunyai posisi dominan secara mutlak. Karena itu tuduhan pelanggaran yang dilakukan Terlapor terhadap Pasal 1 adalah tidak relevan, sehingga dalam putusan KPPU, Majelis Komisi tidak secara tegas menyatakan bahwa Terlapor tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25 UU No.5 tahun 1999. b. Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004 Dugaan pelanggaran Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dilakukan oleh PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk (Terlapor). Kasus ini
berkaitan
dengan
tindakan
pemblokiran
terhadap SLI kode akses 001 dan 008 milik PT. Indosat oleh Terlapor, dengan cara Menutup layanan SLI kode akses 001 dan 008 di beberapa warung telekomunikasi (wartel), dan menyediakan layanan internasional dengan kode akses 017. Serta mengubah perjanjian kerjasama dengan 150
pemilik wartel, bahwa wartel hanya diperbolehkan menjual produk Terlapor dan Terlapor berhak melakukan
blocking/menutup
akses
layanan
milik operator lain dari wartel. Kemudian dalam putusan KPPU, Majelis Hakim Menyatakan bahwa Terlapor tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25 UndangUndang
Nomor
5
Tahun
1999.
Dengan
pertimbangan bahwa pasar bersangkutan dalam perkara ini adalah jasa telepon internasional melalui
akses
jaringan
tetap
lokal
nasional
sehingga posisi dominan pelaku usaha ditentukan dari pangsa pasar jasa telepon internasional yang dijual
atau
disediakannya.
Posisi
Terlapor
meskipun menguasai 90-95% jaringan tetap tidak dapat
disimpulkan
sebagai
pemegang
posisi
dominan karena pelaku usaha dalam jasa telepon internasional melalui akses jaringan tetap lokal nasional dalam perkara ini adalah PT Indosat. Sehingga unsur pelaku usaha memiliki posisi dominan dalam pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud pasal 25 ayat (2) tidak terpenuhi. Oleh karena unsur ayat (2) pasal 25 sebagai persyaratan untuk mempertimbangkan ayat (1) pasal 25 tidak terpenuhi, Majelis berpendapat 151
tidak perlu lagi mempertimbangkan unsur-unsur penyalahgunaan posisi dominan ayat (1) pasal 25. Dari kesepuluh putusan-putusan KPPU mengenai penyalahgunaan posisi dominan di atas, maka untuk lebih
memudahkan
dalam
memahami
putusan-
putusan KPPU tersebut, penulis menyajikannya dalam bentuk tabel 1 di bawah ini yaitu: Tabel 1 10 (sepuluh) Putusan KPPU Tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Putusan-Putusan KPPU
Melanggar
Memenuhi
Pasal 25 ayat
Pasal 25 ayat
(1)
(2)
√
√
√
√
√
√
√
√
X
√
X
√
X
√
X
√
X
X
X
X
Perkara Nomor: 04/KPPU-I/2003 Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004 Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009 Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010 Perkara Nomor: 05/KPPU-I/2005 Perkara Nomor: 21/KPPU-L/2005 Perkara Nomor: 15/KPPU-L/2006 Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007 Perkara Nomor: 03/KPPU-L-I/2000 Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004
152
Berdasarkan isi tabel 1 di atas, maka ada 4 (empat) putusan KPPU yang terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan
penyalahgunaan
posisi
dominan oleh karena melanggar Pasal 25 ayat (1) UU No.5 tahun 1999 dan memiliki posisi dominan. Sementara itu, ada 4 (empat) putusan KPPU yang tidak terbukti secara sah menyalahgunakan posisi dominan sesuai dengan Pasal 25 ayat (1) akan tetapi terbukti memiliki posisi dominan. Sedangkan yang tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas 2 (dua) putusan.
153
B. Analisis Analisis
mengenai
putusan-putusan
KPPU
berkaitan dengan penyalahgunaan posisi dominan dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah dalam
Bab
I
penyalahgunaan persaingan
mengenai posisi
usaha.
bagaimana
dominan
konsep
dalam
Putusan-putusan
hukum
KPPU
ini
pertama-tama, diuraikan mengenai posisi dominan kemudian
penyalahgunaan
posisi
dominan,
selanjutnya penulis mengaitkan fakta-fakta tersebut dengan
teori
dan
peraturan
berkaitan
dengan
penyalahgunaan posisi dominan. Adapun uraian mengenai posisi dominan dan putusan Majelis
Hakim
tentang
penyalahgunaan
posisi
dominan dalam (10) perkara ini, yaitu: 1. Perkara Nomor: 03/KPPU-L-I/2000 PT. Indomarco Prismatama sebagai pemegang hak merek Swalayan Indomaret dan jaminan pemasokan barang
dagangan
dengan
harga
distributor,
dinyatakan tidak terbukti mempunyai posisi dominan karena tidak menguasai pangsa pasar 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu serta tidak ditemukan bukti-bukti PT. 154
Indomarco Prismatama melakukan secara bersamasama dengan satu atau dua pelaku usaha lain yang menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. PT. Indomarco Prismatama bukan
satu
mempunyai
satunya
perusahaan
kemampuan
pengecer
keuangan
lebih
yang tinggi
dibandingkan dengan perusahaan pengecer kecil yang lain (wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi), akan tetapi masih terdapat beberapa perusahaan pengecer lainnya yang juga mempunyai kemampuan keuangan lebih tinggi dibanding pengecer kecil. Atas
dasar
fakta
bahwa
PT.
Indomarco
Prismatama tidak memiliki posisi dominan. Maka Majelis Komisi KPPU tidak perlu mempertimbangkan dugaan penyalahgunaan posisi dominan. Pemenuhan ketentuan ayat (2) dalam hal ini posisi dominan merupakan syarat untuk mempertimbangkan ayat (1). Sehingga PT. Indomarco Prismatama tidak melakukan penyalahgunaan posisi dominan. Dari
kasus
yang
melibatkan
PT.
Indomarco
Prismatama ini, ada 3 (tiga) hal yang menarik untuk menurut penulis yaitu: PT. Indomarco Prismatama tidak hanya diduga melanggar Pasal 25 akan tetapi juga diduga melanggar Pasal 1 angka (4) dalam hal ini 155
menguasai pangsa pasar karena kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan. Penggunaan
Pasal
mengidikasikan
1
bahwa
angka Pasal
1
(4)
ini
angka
(4)
dilarang dan bisa ditarik sebagai pelanggaran tersendiri. melarang
Secara Pelaku
tidak Usaha
langsung Dominan.
KPPU Padahal
menurut penulis, Pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tidak dilarang sepanjang dalam memperoleh
atau
mendapatkan
posisi
dominannya itu melalui persaingan sehat dan tidak melanggar UU Persaingan Usaha. Dari putusan KPPU dalam perkara ini PT. Indomarco Prismatama diduga melanggar Pasal 25, tanpa menyebut ayat berapa dan huruf apa. Dengan
hanya
mencatumkan
Pasal
25
mengidikasikan bahwa semua atau seluruh unsur atau isi dalam Pasal 25 diduga dilanggar oleh PT. Indomarco Prismatama. Kalau dari ayat 1 huruf a, b dan c dalam pasal ini memang dikategorikan sebagai penyalahgunaan posisi dominan dan dilarang oleh UU Persaingan Usaha. Akan tetapi khusus ayat 2 huruf a dan b tidak
dikategorikan
sebagai
penyalahgunaan
posisi dominan secara tersendiri dan tidak 156
dilarang oleh KPPU. Ketentuan ayat 2 ini sebagai standar
minimal
sebuah
pelaku
usaha
dikatakan memiliki posisi dominan. Artinya ketentuan ini hampir mirip dengan Pasal 1 angka (4) di atas yang mengatur mengenai posisi dominan dan kedua-duanya tidak dilarang. Dalam
pertimbangan
menyimpulkan
Majelis
bahwa
PT.
Komisi Indomarco
Prismatama Tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan tidak memiliki posisi dominan secara
mutlak,
akan
tetapi
yang
membingungkan ialah dalam putusan KPPU tersebut, Majelis Komisi tidak secara tegas menyatakan bahwa Terlapor terbukti atau tidak melanggar Pasal 25 UU No.5 tahun 1999. Memang dalam pertimbangan Majelis Komisi menyatakan bahwa PT. Indomarco Prismatama tidak terbukti memiliki posisi dominan, dan KPPU
menyatakan
bahwa
dengan
tidak
terbuktinya pelaku usaha yang bersangkutan memiliki posisi dominan maka
tidak perlu
menganalisis Pasal 25 ayat 1 huruf a, b, dan c. akan tetapi menurut hemat penulis, Majelis Komisi dalam putusannya harus secara tegas menyatakan bahwa PT. Indomarco Prismatama 157
tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat 1 huruf a, b dan c.
2. Perkara No.04/KPPU-I/2003 PT. JICT terbukti melakukan penguasaan produksi pelayanan bongkar muat petikemas dengan menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar
pada
pasar
bersangkutan,
dimana
posisi
terakhir penguasaan pasar PT.JICT pada tahun 2002 adalah sebesar 69,53% (enam puluh sembilan koma lima puluh tiga persen) dari total arus petikemas pasar bersangkutan.
Pangsa
pasar
tersebut
membuat
PT.JICT menduduki posisi utama dalam pasar. Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan
bahwa
PT.JICT
terbukti
melakukan
penyalahgunaan posisi dominan sehingga melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c. Yang dalam perkara ini PT.JICT melakukan penyalahgunaan posisi dominan dalam hal menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. Yakni dengan menggunakan klausul 32.4
di
dalam
authorization
agreement.
Klausul
authorization agreement ini merupakan suatu bentuk perilaku antikompetisi dari PT.JICT, hal ini klausal 158
tersebut digunakan
dalam rangka
menghambat
konsumen untuk melakukan kerjasama usaha dengan pelaku
usaha
pesaingnya.
Yang
pada
pokoknya
menyatakan bahwa untuk mendapatkan pelayanan bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok pelaku
usaha
lain
(Segoro
dan
MTI)
harus
mengikatkan diri pada kontrak yang bersifat ekslusif. Tanpa adanya kontrak yang mengikat tersebut, maka pelaku usaha lain tidak akan dilayani. Dengan fakta tersebut, PT.JICT terbukti menyalahgunakan posisi dominannya
secara
menghambat menjadi
pelaku
pesaing
tidak usaha untuk
langsung lain
yang
untuk
berpotensi
memasuki
pasar
bersangkutan. Dalam memutus Perkara Nomor : 04/KPPU-I/2003, KPPU menggunakan patokan Pasar Bersangkutan dalam Posisi Dominan dengan pertimbangan Pasal 1 angka (6) UU No.5 tahun 1999 Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.
Dimana
kalimat
„menghambat
persaingan usaha‟ dalam Pasal 1 angka (6) tersebut dihubungkan dengan kalimat “menghambat pelaku 159
usaha lain” dan “pasar bersangkutan” dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c menjadi unsur yang diperhintungkan untuk menyatakan JICT melanggar Pasal 17 ayat (1) UU
No.5
tahun
1999.
Oleh
karena
keterkaitan
Penyalahgunaan Posisi Dominan dengan Pasal 17 dalam hal Perusahaan dengan posisi dominan pada hakikatnya
identik
dengan
memiliki
kekuatan
monopoli. Dalam kondisi tersebut potensi terjadinya praktik monopoli yang menghambat persaingan sehat sangat mungkin terjadi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelanggaran Posisi Dominan dalam hal unsur “menghambat pelaku usaha lain” dan “pasar bersangkutan” ditarik sebagai pelanggaran terhadap Praktik Monopoli dalam Pasal 17 ayat (1) UU No.5 thn 1999. Hal yang menarik dalam kasus ini adalah keterkaitan Pasal 25 dengan Pasal 17, dimana Perusahaan dengan posisi dominan pada hakekatnya
identik
dengan
memiliki
kekuatan
monopoli. Dalam kondisi tersebut potensi terjadinya praktik monopoli yang menghambat persaingan usaha sehat sangat mungkin terjadi.
3. Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004
160
PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk (Terlapor) tidak terbukti
memiliki
bersangkutan
posisi
dalam
hal
dominan ini
pasar
pada jasa
pasar telepon
internasional yang diakses melalui jaringan tetap lokal nasional di Indonesia, karena komposisi pangsa pasar sambungan telepon internasional dari traffic outgoing sebagai nilai jual jasa telepon internasional adalah 7075% dikuasai SLI-001 dan SLI-008 milik Indosat dan 25-30% lainnya dikuasai produk ITKP. Produk ITKP TelkomGobal-017 sendiri memiliki 10% dari pangsa pasar
sementara
produk
SLI-007
Telkom
tidak
dihitung karena baru diproduksi secara resmi pada tanggal 7 Juni 2004. Putusan Majelis Komisi menyatakan bahwa oleh karena unsur Pasal 25 ayat (2) sebagai persyaratan untuk mempertimbangkan pasal 25 ayat (1) tidak terpenuhi,
Majelis
mempertimbangkan
berpendapat unsur-unsur
tidak
perlu
lagi
penyalahgunaan
posisi dominan Pasal 25 ayat (1). Sehingga PT. Telekomunikasi Indonesia tidak terbukti melakukan penyalahgunaan posisi dominan.
4. Perkara No.06/KPPU-L/2004
161
PT.ABC (Arta Boga Cemerlang) terbukti menguasai 88,73% pangsa pasar baterai manganese AA secara nasional.
Dalam
putusan
Majelis
Komisi
KPPU,
menyatakan bahwa PT.ABC terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan
penyalahgunaan
posisi
dominan sehingga melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a jo. ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999.
Yakni
perdagangan
PT.ABC dengan
menetapkan tujuan
syarat-syarat
untuk
mencegah
dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas. PT.ABC telah menetapkan syaratsyarat perdagangan yang terkandung di dalam surat perjanjian PGK dimana salah satu syarat pemberian potongan tambahan sebesar 2% adalah jika toko grosir dan semi grosir tidak menjual baterai Panasonic. Syarat-syarat
perdagangan
ditujukan
untuk
konsumen
memperoleh
dalam
mencegah
PGK
atau
baterai
tersebut
menghalangi
Panasonic
yang
bersaing dengan baterai ABC baik segi harga maupun kualitas di grosir atau semi grosir yang mengikuti PGK Terlapor. Putusan KPPU ini membuktikan bahwa cakupan Pasal 25 ayat (1) adalah sangat luas karena mencakup perjanjian yang menyebabkan terjadinya dampak yang 162
tercantum dalam Pasal tersebut, yakni: terhalanginya konsumen untuk memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.7 Sebenarnya Pasal yang secara langsung melarang perjanjian semacam ini adalah Pasal 15 ayat (3) huruf b.8 Namun, KPPU berhasil membuktikan bahwa PT ABC mempunyai posisi dominan dalam produk yang bersangkutan, sehingga bisa menerapkan Pasal 25 ayat (1). KPPU juga mengatakan bahwa PT ABC melanggar Pasal 19 huruf a karena PT ABC dengan perjanjian semacam itu dianggap telah “menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.”
5. Perkara No.05/KPPU-L/2005 PT BURSA EFEK JAKARTA atau disingkat PT BEJ Terbukti memiliki posisi dominan oleh karena PT BEJ merupakan satu-satunya pelaku usaha yang bergerak
7 8
Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No.5 tahun 1999. Pasal 15 ayat (3) huruf b berbunyi: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dai pelaku usaha pemasok … tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pealku usaha pemasok”.
163
di bidang usaha menyelenggarakan kegiatan usaha bursa efek di Jakarta. Dalam putusan Majelis Komisi KPPU, menyatakan bahwa
PT
BEJ
tidak
terbukti
melakukan
penyalahgunaan posisi dominan. Dengan demikian PT BEJ tidak melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c Undangundang Nomor 5 Tahun 1999. Karena PT BEJ tidak terbukti
tidak
memasuki
menghambat
pasar
menghambat
pelaku
bersangkutan
pelaku
usaha
lain
usaha
sehingga yang
lain unsur
berpotensi
menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan tidak terpenuhi.
6. Perkara No.21/KPPU-L/2005 Perkara ini, KPPU hanya menyatakan bahwa PT Pertamina menggunakan posisi dominannya memaksa PT
Igas
Utama
Kesepakatan
untuk Bersama
menandatangani Nomor
Surat (SKB)
925/D00000/2004-SI dengan ancaman jika tidak menandatangani SKB maka gas tidak akan dialirkan. Majelis Komisi KPPU tidak secara tegas menyebutkan berapa pangsa pasar PT Pertamina pada saat itu. Tapi dari pernyataan KPPU tersebut, bisa dikatakan bahwa PT Pertamina memiliki posisi dominan. 164
Mengenai
dugaan
penyalahgunaan
posisi
dominan yang dilakukan oleh PT Pertamina, Majelis Komisi memutuskan bahwa PT Pertamina (persero) tidak
terbukti
melakukan
penyalahgunaan
posisi
dominan sehingga tidak melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan mempertimbangkan unsur menetapkan syaratsyarat
perdagangan.
Yang
dimaksud
dengan
menetapkan syarat-syarat perdagangan dalam hal ini adalah syarat-syarat perdagangan yang dipersyaratkan oleh PT
Pertamina kepada para trader yang akan
melakukan hubungan dagang dengan PT Pertamina. PT Pertamina membuat beberapa persyaratan dalam PJBG yang dibuat dengan para trader yaitu JPMT, SBLC, gas make up, harga gas, sistem pembayaran, dimana PT. Pertamina telah melakukan diskriminasi terhadap PT. Igas Utama dan PT. Banten Inti Gasindo dalam hal PT. Banten Inti Gasindo mendapatkan lebih besar pasokan gas dan dipermudah
persyaratan
PJBGnya. Dengan demikian, maka unsur menetapkan syarat-syarat perdagangan terpenuhi. Selain
itu,
Majelis
Komisi
KPPU
mempertimbangkan unsur bertujuan atau menghalangi konsumen memperoleh barang. Yang dimaksud dengan unsur bertujuan atau menghalangi konsumen dalam 165
perkara ini adalah syarat-syarat perdagangan yang diterapkan
oleh
PT
Pertamina
mengakibatkan
terhalangnya trader untuk mencari produsen gas lainnya. Dari syarat-syarat dagang yang diterapkan oleh PT Pertamina sebagaimana diuraikan pada butir 2.6 (PT. Igas Utama menyatakan PT Pertamina telah melakukan diskriminasi terhadap PT. Igas Utama dan PT. Banten Inti Gasindo dalam hal PT. Banten Inti Gasindo mendapatkan lebih besar pasokan gas dan dipermudah persyaratan PJBGnya) tidak terdapat persyaratan dagang yang mengakibatkan para trader tidak dapat berhubungan dengan produsen gas selain PT Pertamina atau persyaratan yang membagi alokasi pasar
dari
masing-masing
trader
dalam
mendistribusikan gas. Dengan demikian, maka unsur bertujuan menghalangi konsumen memperoleh barang tidak terpenuhi.
7. Perkara No.15/KPPU-L/2006 Perkara ini melibatkan PT Pertamina, dimana PT Pertamina diduga melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No.5 tahun 1999. Dalam pertimbangan Majelis Komisi KPPU mengenai posisi dominan pada kasus perkara ini, PT Pertamina (Persero) merupakan satu-satunya pemasok Elpiji di Indonesia, termasuk 166
didalamnya
wilayah
Pulau
Bangka.
Dengan
pertimbangan Pasal 1 angka (4) UU No.5 tahun 1999, maka PT Pertamina (Persero) memenuhi unsur posisi dominan sehingga dinyatakan PT Pertamina memiliki posisi dominan tanpa menyebut lagi berapa pangsa pasarnya. Kemudian dalam putusan Majelis Komisi KPPU, menyatakan
bahwa
PT
Pertamina
tidak
terbukti
melakukan penyalahgunaan posisi dominan sehingga tidak melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No.5 tahun 1999. Oleh karena, unsur menetapkan syarat-syarat perdagangan tidak terpenuhi, karena larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang telah dicabut oleh PT Pertamina sejak 14 Februari 2007 dan mengijinkan agen di Pulau Bangka untuk memilih pengisian di DSP Pulau Layang atau di APPEL. Sehingga larangan pengisian Elpiji di DSP sudah tidak berlaku lagi. Oleh karena unsur menetapkan syaratsyarat perdagangan tidak terpenuhi maka Majelis Komisi KPPU tidak perlu membuktikan unsur lainnya. Dari kasus tersebut, ada dua hal yang menarik untuk di analis penulis yaitu Pertama, keterkaitan Pasal 25 dengan Pasal 15 UU Persaingan Usaha. Dan Kedua, masalah jangka waktu pemberlakuan syarat-syarat perdagangan
dan
pencabutannya 167
serta
laporan
pelanggaran
yang
dilakukan
oleh
PT
Pertamina
(Persero) dan putusan Majelis Komisi.
a) Keterkaitan Pasal 25 dengan Pasal 15 UU Persaingan Usaha. Syarat-syarat perdagangan dalam bentuk surat larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang No. 057/E22000/2006-S3 tanggal 3 Maret 2006, dikaitkan dengan pelanggaran pasal 15 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1) huruf a. Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau
tidak
dan/atau
memasok
jasa
tersebut
kembali
barang
kepada
pihak
tertentu dan/atau tempat tertentu”.
Menurut
Majelis
Komisi,
Syarat-syarat
perdagangan dalam bentuk surat larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang No. 057/E22000/2006-S3 tidak melanggar Pasal 15 ayat (1) karena bukan merupakan Unsur Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa 168
pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak
tertentu
dan/atau
tempat
tertentu.
Dengan alasan: Perjanjian keagenan LPG antara Terlapor dengan agen. Agen di Pulau Bangka memperoleh ijin dari Pertamina
bahwa
agen
tersebut
hanya
mendistribusikan dan memasarkan Elpiji di wilayah
Pulau
Bangka
Agen
di
Pulau
Bangka membeli dengan sistem beli putus dari Pertamina, tetapi Terlapor menetapkan harga jual tertinggi yang diperbolehkan bagi para agen. Penetapan harga jual tertinggi oleh Terlapor terkait dengan tindakan pemerintah yang tidak menyetujui usulan kenaikan harga jual Elpiji. Elpiji merupakan komoditas bebas, namun pada kenyataannya Pemerintah mengatur atau
setidak-tidaknya
pemasaran
Elpiji
ikut terutama
penentuan harga jual tertinggi; 169
mengatur dalam
Dengan demikian perjanjian antara Terlapor dengan agen bukan merupakan bentuk perjanjian yang bertujuan untuk membatasi agen
dalam
mendistribusikan
dan
memasarkan Elpiji. Perjanjian Pengusahaan dan Penggunaan Agen Pengangkutan dan Pengisian Elpiji antara Terlapor dengan APPEL. PT. Bina Mulia Jaya Abadi selaku APPEL hanya diperkenankan menjual Elpiji kepada agen yang ditunjuk oleh
Terlapor
dan
dilarang melakukan penjualan langsung kepada konsumen baik industri maupun rumah tangga. Keberadaan
APPEL
bertujuan
untuk
mendistribusikan Elpiji di Pulau Bangka kepada
konsumen
tercapai
harga
jual
melalui yang
agen lebih
agar murah
dibandingkan sebelum adanya APPEL. Pengaturan penjualan Elpiji yang dilakukan oleh Terlapor kepada APPEL dimaksudkan untuk
menjaga
ketersediaan
Elpiji
di
masing-masing agen dengan harga yang lebih murah. 170
Dengan demikian perjanjian pengusahaan dan penggunaan agen pengangkutan dan pengisian elpiji antara Terlapor dengan APPEL dalam hal pengaturan penjualan Elpiji yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) kepada APPEL bukan merupakan bentuk pembatasan penjualan Dari kedua fakta tersebut
di atas, maka
perjanjian antara Terlapor dengan agen dan Terlapor dengan APPEL bukan merupakan perjanjian sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Selanjutnya Majelis Komisi mempertimbangkan Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan “Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: Menetapkan syarat-sarat perdagangan dengan
tujuan
menghalangi
untuk
konsumen
mencegah
dan/atau
memperoleh
barang
dan/atau jasa yang bersaing baik dari segi harga maupun kualitas. Dalam
pertimbangkan
Majelis
Komisi
menyatakan bahwa unsur pelaku usaha dan 171
unsur posisi dominan Terpenuhi, namun unsur Menetapkan
syarat-syarat
dinyatakan
Tidak
Terbukti
perdagangan karena
PT
Pertamina (Persero) telah telah mencabut surat surat
No.
057/E22000/2006-S3
tentang
larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang dan memberikan kebebasan kepada agen di Pulau Bangka untuk memilih tempat pengisian Elpiji.
b) Jangka Waktu Hasil pemeriksaan awal Tim Pemeriksa KPPU tanggal 28 Maret 2006 menemukan bahwa memang
benar
PT
Pertamina
(Persero)
menetapkan syarat-syarat perdagangan, akan tetapi
sejak
mencabut
14
Februari
surat
larangan
2007
Terlapor
tersebut
dan
mengijinkan agen di Pulau Bangka untuk memilih pengisian di DSP Pulau Layang atau di APPEL
bahwa
dengan
demikian
larangan
pengisian Elpiji di DSP sudah tidak berlaku lagi. Hal
ini
menjadi
aneh,
mengingat
KPPU
menerima laporan dugaan pelanggaran ini Pada 172
tanggal
28
Maret
2006,
dimana
dugaan
pelanggaran oleh PT Pertamina (Persero) ini dilakukan
pada
tanggal
Kemudian
sejak
14
3
Maret
Februari
2006.
2007
PT
Pertamina (Persero) mencabut surat larangan tersebut. Atas dasar pencabutan inilah, melalui putusan Majelis Komisi KPPU pada tanggal tanggal 23 Mei 2007
memutuskan bahwa PT
Pertamina (Persero) tidak terbukti melanggar pasal 25 ayat (1) huruf a. Penanganan kasus ini terkesan tidak adil karena yang dirugikan adalah korban atas surat GM No. 058/E22000/2006-S3. Yang mana
PT
Pertamina
(persero)
sudah
menetapkan syarat-syarat perdagangan akan tetapi karena telah mencabut surat tersebut disela-sela
pemeriksaan
Lanjutan
maka
dinyatakan tidak terbukti melanggar. Putusan ini bisa menjadi bumerang bagi kelangsungan persaingan usaha sehat di Indonesia, bisa saja pelaku
usaha
lain
meniru
tindakan
PT
Pertamina (persero) yang membuat syaratsyarat
perdagangan
dengan
pertimbangan
kalaupun nanti ketahuan dan diperiksa oleh KPPU maka langkah selanjutnya Pelaku usaha 173
yang
bersangkutan
segera
mencabutnya
sebelum dibacakan putusan. KPPU memang diberi janga waktu penangganan perkara sampai pembacaan Putusan Majelis Komisi
yaitu
merupakan
434
hari.
jangka
Akan
waktu
tetapi
maksimal.
ini Jadi
sebaiknya KPPU mempertimbangkan jangka waktu agar lebih cepat dalam menangani tertentu
perkara-perkara
supaya
tidak
diamanfaatkan secara tidak bertanggungjawab oleh
pelaku-pelaku
melakukan
usaha
pelanggaran
yang
diduga
terhadap
UU
Persaingan Usaha. Perubahan perilaku pelaku usaha memang dimungkinkan menurut Pasal 37 Peraturan KPPU No.1 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU. Komisi dapat menetapkan
tidak
Pemeriksaan
Lanjutan
dugaan
perlu
pelanggaran,
dilakukan
meskipun
terdapat
apabila
Terlapor
menyatakan bersedia melakukan perubahan perilaku.
Perubahan
dilakukan
dengan
dan/atau
perilaku
membatalkan
menghentikan
kegiatan
ini
dapat
perjanjian dan/atau
menghentikan penyalahgunaan posisi dominan 174
yang diduga melanggar dan/atau membayar kerugian
akibat
dari
dilakukan.Pelaksanaan
pelanggaran perubahan
yang
perilaku
dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari dan
dapat
penetapan
diperpanjang Komisi.
sesuai
Komisi
dengan
dalam
hal
ini
Sekretariat melakukan monitoring terhadap pelaksanaan
penetapan
tentang
perubahan
perilaku.Dalam melakukan kegiatan monitoring oleh Sekretariat Komisi dapat membentuk Tim Monitoring Pelaksanaan Penetapan. Monitoring Pelaksanaan
Penetapan
dilakukan
untuk
menilai pelaksanaan Penetapan Komisi. Hasil Monitoring disusun dalam bentuk Laporan Pelaksanaan
Penetapan
yang
sekurang-
kurangnya memuat isi penetapan, pernyataan perubahan perilaku Terlapor dan bukti yang menjelaskan telah dilaksanakannya penetapan Komisi. Sekretariat Komisi menyampaikan dan memaparkan Laporan Pelaksanaan Penetapan dalam suatu Rapat Komisi. Dalam hal
Komisi
menilai
bahwa
Terlapor
telah
melaksanakan Penetapan Komisi, maka Komisi menetapkan untuk menghentikan monitoring pelaksanaan penetapan dan tidak melanjutkan 175
ke Pemeriksaan Lanjutan. Sebaliknya apabila Komisi
menilai
bahwa
Terlapor
tidak
melaksanakan Penetapan Komisi, maka Komisi menetapkan untuk menghentikan monitoring pelaksanaan penetapan dan menetapkan untuk melakukan Pemeriksaan Lanjutan. Jadi
Perubahan
dilakukan
Perilaku
sebelum
ini
hanya
KPPU
bisa
melakukan
Pemeriksaan Lanjutan. Dalam Perkara ini, PT Pertamina
(Persero)
melakukan
Pencabutan
surat GM No. 058/E22000/2006-S3 dalam periode
Pemeriksaan
Lanjutan.
Sehingga
menurut penulis, Pencabutan surat ini tidak bisa dikategorikan sebagai Perubahan Perilaku. Oleh karena itu, pertimbangan Majelis Komisi yang
menyatakan
PT
Pertamina
tidak
melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a karena telah
mencabut
058/E22000/2006-S3 pencabutan
surat
surat tidak tersebut
GM tepat
No. karena
tidak
dikategorikan sebagai „Perubahan Perilaku‟.
8. Perkara No.07/KPPU-L/2007
176
bisa
Pangsa
Pasar
PT.
Telekomunikasi
Selular
(Telkomsel) pada pangsa pasar seluler sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 telah lebih dari 50%, dengan rata-rata sebesar 61,24%. Sehingga Majelis Komisi KPPU menyimpulkan bahwa Telkomsel memiliki posisi dominan. Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa Telkomsel tidak terbukti melakukan penyalahgunaan posisi dominan sehingga tidak melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf b UU No 5 Tahun 1999. Dimana unsur pembatasan Pasar dan Teknologi tidak sepenuhnya terpenuhi, sebab yang terjadi hanya pembatasan pasar melalui hambatan interkoneksi namun tidak terjadi pembatasan pengembangan teknologi. Karena tidak dipenuhinya semua unsur membatasi pasar dan pengembangan teknologi, maka Majelis Komisi tidak perlu menilai dampak yang terjadi akibat terjadinya pembatasan pasar dan pengembangan teknologi. Dari fakta-fakta di atas, menurut penulis ada dua hal yang
menarik
yaitu
pertama,
pemenuhan
unsur
pembatasan pasar saja tidak cukup menjerat pelaku usaha
akan
pelanggaran
tetapi lain
juga yakni
mesti Unsur
harus
diiringi
Pembatasaa
Pengembangan Teknologi. Hal ini memang sesuai dengan rumusan Pasal 25 ayat (1) huruf b yang 177
menggunakan
kata
“dan”.
Yang
mana
antar
Pembatasan Pasar dan Pembatasan Pengembangan Teknologi
harus
bersatu
atau
beriringan
dalam
tindakan dan tidak boleh dipisahkan. Kedua,Unsur yang berkaitan dengan dampak atau akibat
terjadinya
pasar
dan
pengembangan
ikut
dianalisis. Dalam tataran teori pendekatan analisa terhadap pasal 25 mestinya dilakukan secara per se. Akan tetapi dalam menganalisis kasus ini, KPPU dapat juga menggunakan pendekatan secara rule of reason. Yang
mana,
pendekatan
rule
of
reason
ini
mensyaratkan adanya dampak atau efek negatif dari suatu tindakan pelaku usaha, padahal dalam Pasal 25 ini tidak ada unsur atau kata “mengakibatkan”. Majelis
Komisi
pendekatan
berargumen
rule
of
reason
bahwa
Penggunaan
adalah
pendekatan
maximalist. Perspektif ini mendasarkan pada asumsi bahwa kebijakan pelaku usaha seperti tercantum dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, b, atau c belum tentu dapat
menimbulkan
persaingan.
Untuk
dampak itu
perlu
negatif
terhadap
dibuktikan
bahwa
kebijakan pelaku usaha dimaksud menimbulkan atau berpontensi menimbulkan dampak negatif. Dalam perkara ini, Majelis Komisi menggunakan perspektif maximalist yaitu rule of reason. 178
9. Perkara No.09/KPPU-L/2009 PT. Carrefour Indonesia memiliki pangsa pasar lebih dari 50% (limapuluh persen), yaitu sebesar 57,99%
(limapuluh
tujuh
koma
sembilan
puluh
sembilan persen) pada pasar jasa hypermarket dan supermarket di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian menurut Majelis Komisi KPPU, PT. Carrefour Indonesia memiliki posisi dominan. Kemudian, dalam putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT. Carrefour Indonesia terbukti secara
sah
dan
meyakinkan
melakukan
penyalahgunaan posisi dominan sehingga melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No.5 Tahun 1999. Karena setiap tahun PT. Carrefour Indonesia membuat syarat perdagangan (trading terms) dalam suatu perjanjian nasional dengan para pemasok yang memuat syarat dan ketentuan bagi PT. Carrefour Indonesia dan pemasoknya
dalam
rangka
melakukan
pasokan
barang kepada PT. Carrefour Indonesia. Pemasok dalam hal ini merupakan pemakai (konsumen) dari jasa ritel yang disediakan oleh hypermarket dan supermarket pada gerai-gerai dan sistem yang dimiliki oleh hypermarket dan supermarket untuk kepentingan pemasok tersebut. Adapun dampak dari penerapan
179
trading terms tersebut yaitu menyebabkan dampak negatif terhadap persaingan. Dengan demikian, Majelis Komisi KPPU menyimpulkan bahwa dampak syarat perdagangan (trading terms) yang diterapkan oleh Terlapor terhadap pemasok menimbulkan
persaingan
yang
tidak
sehat
dan
menghambat konsumen memperoleh barang dan jasa yang bersaing.
10.
Perkara No.17/KPPU-I/2010 PT. Pfizer Indonesia (Terlapor) memiliki pangsa
pasar lebih dari 50% untuk pasar bersangkutan obat anti hipertensi dengan zat aktif Amlodipine Besylate selama periode tahun 2000 – 2007. Dengan demikian, Majelis
Komisi
KPPU
menilai
bahwa
PT.
Pfizer
Indonesia terbukti memiliki posisi dominan pada Pasal 25 ayat (2) huruf a. Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa Terlapor
terbukti
secara
sah
dan
meyakinkan
melakukan penyalahgunaan posisi dominan sehingga melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No 5 Tahun 1999. Oleh karena Terlapor telah menetapkan syaratsyarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan /atau menghalangi konsumen memperoleh barang 180
dan/atau
jasa
yang
bersaing.
Syarat-syarat
perdagangan yang dimaksud dalam hal ini adalah dalam
program
HCCP
yang
melibatkan
dokter
berpotensi melibatkan dokter dalam praktik penjualan obat
resep
secara
tidak
langsung.
Dengan
keterlibatannya tersebut preferensi dan objektivitas dokter dalam meresepkan obat kepada pasiennya khususnya
Norvask
akan
terpengaruh.
Meskipun
program HCCP memberikan diskon kepada pasien, harga produk Norvask masih tetap lebih mahal dibandingkan rata-rata obat generik dalam pasar bersangkutan yang sama. Berikut
penulis
menyatukan
pertimbangan
Majelis Komisi KPPU tentang posisi dominan dan penyalahgunaan posisi dominan dalam tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Pertimbangan Majelis Komisi KPPU tentang Posisi Dominan Dan Penyalahgunaan Posisi Dominan Per kar a No.
03 thn 20 00
PD Posisi Dominan
Pangsa pasar sebesar 50% PT. Indomarco Prismatama
A T d i a d a k √
181
Penyalahgunaan Posisi Dominan
Tidak melanggar Pasal 25 ayat (1). Karena PT. Indomarco
PP D A T d i a d a k √
04 thn 20 03
(Terlapor) bukan satu satunya perusahaan pengecer yang mempunyai kemampuan keuangan lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan pengecer kecil yang lain (wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi), akan tetapi masih terdapat beberapa perusahaan pengecer lainnya yang juga mempunyai kemampuan keuangan lebih tinggi dibanding pengecer kecil. Pangsa pasar sebesar 69,53% penguasaan produksi pelayanan bongkar muat petikemas.
Prismatama (Terlapor) tidak memiliki posisi dominan. Maka Majelis Komisi KPPU tidak perlu mempertimbangkan dugaan penyalahgunaan posisi dominan.
√
182
Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c. PT.JICT melakukan penyalahgunaan posisi dominan dalam hal menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan, yakni dengan menggunakan klausul 32.4 di dalam authorization agreement (Yang pada pokoknya menyatakan bahwa untuk mendapatkan
√
02 thn 20 04
Pangsa pasar sebesar <50% PT. Telkomsel pada pasar bersangkutan jasa telepon internasional yang diakses melalui jaringan tetap lokal nasional di Indonesia.
06 thn 20 04
Pangsa pasar sebesar 88,73% Pasar baterai manganese AA secara nasional.
√
√
183
pelayanan bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok pelaku usaha lain (Segoro dan MTI) harus mengikatkan diri pada kontrak yang bersifat ekslusif. Tanpa adanya kontrak yang mengikat tersebut, maka pelaku usaha lain tidak akan dilayani Tidak melanggar Pasal 25 ayat (1). Oleh karena unsur Pasal 25 ayat (2) sebagai persyaratan untuk mempertimbangkan pasal 25 ayat (1) tidak terpenuhi, maka Majelis Komisis KPPU berpendapat tidak perlu lagi mempertimbangkan unsur-unsur penyalahgunaan posisi dominan Pasal 25 ayat (1). Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a jo. ayat (2) huruf a. PT.ABC (Terlapor) telah menetapkan syarat-syarat perdagangan yang terkandung di dalam surat perjanjian PGK dimana salah satu
√
√
05 thn 20 05
Pangsa pasar sebesar >50% Kegiatan usaha bursa efek di Jakarta.
√
21 thn 20 05
Pangsa pasar sebesar >50% Trader produsen gas.
√
184
syarat pemberian potongan tambahan sebesar 2% adalah jika toko grosir dan semi grosir tidak menjual baterai Panasonic. Syaratsyarat perdagangan PGK tersebut ditujukan untuk mencegah atau menghalangi konsumen memperoleh baterai Panasonic yang bersaing dengan baterai ABC baik segi harga maupun kualitas di grosir atau semi grosir yang mengikuti PGK Terlapor. Tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c. Karena PT BEJ tidak terbukti menghambat pelaku usaha lain memasuki pasar bersangkutan. Tidak terbukti melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a. Karena PT Pertamina (Terlapor) telah menetapkan syarat-syarat perdagangan kepada para trader yang akan melakukan hubungan dagang dengan PT
√
√
15 thn 20 06
Pangsa pasar sebesar >50% Pemasok Elpiji di Indonesia, termasuk didalamnya wilayah Pulau Bangka.
√
185
Pertamina. PT Pertamina membuat beberapa persyaratan dalam PJBG yang dibuat dengan para trader yaitu JPMT, SBLC, gas make up, harga gas, sistem pembayaran, dimana PT. Pertamina telah melakukan diskriminasi terhadap PT. Igas Utama dan PT. Banten Inti Gasindo dalam hal PT. Banten Inti Gasindo mendapatkan lebih besar pasokan gas dan dipermudah persyaratan PJBGnya. Akan tetapi, unsur menghalangi konsumen tidak terpenuhi. Tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a. Karena unsur menetapkan syaratsyarat perdagangan tidak terpenuhi. Sebab larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang telah dicabut oleh PT Pertamina sejak 14 Februari 2007 dan mengijinkan agen di Pulau Bangka untuk memilih pengisian
√
07 thn 20 07
Pangsa pasar sebesar 61,24% Pangsa pasar seluler.
√
09 thn 20 09
Pangsa pasar sebesar 57,99% Pada pasar jasa hypermarket dan supermarket di seluruh wilayah Indonesia.
√
17
Pangsa pasar
√
186
di DSP Pulau Layang atau di APPEL. Sehingga larangan pengisian Elpiji di DSP sudah tidak berlaku lagi. Tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf b. Karena unsur pembatasan Pasar dan Teknologi tidak sepenuhnya terpenuhi, sebab yang terjadi hanya pembatasan pasar melalui hambatan interkoneksi namun tidak terjadi pembatasan pengembangan teknologi. Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a. Membuat syaratsyarat perdagangan (trading terms) dalam suatu perjanjian nasional dengan para pemasok yang memuat syarat dan ketentuan bagi PT. Carrefour Indonesia dan pemasoknya dalam rangka melakukan pasokan barang kepada PT. Carrefour Indonesia. Yang menyebabkan dampak negatif terhadap persaingan. Terbukti melanggar
√
√
√
thn 20 10
sebesar >50% pada pasar bersangkutan obat anti hipertensi dengan zat aktif Amlodipine Besylate.
Pasal 25 ayat (1) huruf a. Menetapkan syaratsyarat perdagangan dalam program HCCP yang melibatkan dokter berpotensi melibatkan dokter dalam praktik penjualan obat resep secara tidak langsung.
Dari uraian mengenai pembuktian posisi dominan di atas, menekankan pada pembuktian posisi dominan di pasar bersangkutan. Pemenuhan syarat kuantitatif dalam
Pasal
25
ayat
(2)
yang
pada
pokoknya
mensyaratkan pangsa pasar satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% /dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar merupakan syarat
mutlak
untuk
dinyatakan memiliki
posisi
dominan. Jika ketentuan pangsa pasar ini tidak memenuhi maka suatu kasus ini di „Stop‟ atau dihentikan, yang pada akhirnya dugaan pelanggaran pasal 25 ayat (1) tidak dilanjutkan. Namun
demikian,
ada
beberapa
putusan
KPPU
mengenai penyalahgunaan posisi dominan di atas tidak menggunakan ketentuan Pasal 25 ayat (2) tapi menggunakan ketentuan Pasal 1 angkta (4). Ketentuan 187
posisi dominan dalam Pasal 1 angkta (4) menganggap ukuran posisi dominan adalah relatif dan tidak tergantung hanya kepada pangsa pasar. Hal ini sejalan dengan pendapat Heermann yang mengatakan bahwa posisi dominan tidak harus berarti pangsa pasar paling sedikit 50% atau 75%. Yang mana jika suatu pelaku usaha tidak menguasai pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha (monopoli), tetapi dalam praktiknya
dapat
melakukan
praktik
monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini tergantung korelasi penguasaan pangsa pasar suatu pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-pesaingnya. Ketentuan penetapan penguasaan pasar lebih dari
50%
untuk
satu
pelaku
usaha
atau
satu
kelompok pelaku usaha dan penguasaan pangsa pasar lebih dari 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha tidak berlaku mutlak, karena penguasaan pangsa pasar di bawah 50% untuk pasar monopoli dan di bawah 75% untuk pasar oligopoli yang ditetapkan oleh Pasal 25 ayat (2) UU No. 5 dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat, tergantung berapa sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-pesaingnya. Tentu saja, dalam pembuktian posisi dominan ini dikaitkan dengan 188
pasar bersangkutan (produk dan geografis). Pasar bersangkutan ini lebih menekankan pada konteks horizontal yang menjelaskan posisi pelaku usaha beserta pesaingnya. Hal ini dapat dikategorikan dalam dua perspektif yaitu pasar berdasarkan produk terkait dengan kesamaan atau kesejenisan dan/atau tingkat substitusinya dan pasar berdasarkan geografis yang terkait
dengan
jangkauan
dan/atau
daerah
pemasaran.
Pendefinisian
pasar bersangkutan
merupakan
salah
untuk
cara
ini
mengidentifikasi
seberapa besar penguasaan produk tertentu dalam pasar tersebut oleh suatu pelaku usaha. Dari 10 (sepuluh) perkara yang telah di putus oleh Majelis Komisi
di
atas,
hanya
ada
2
putusan
yang
mendefenisikan secara langsung pasar bersangkutan sebagai wujud posisi kasus suatu perkara yakni Perkara Nomor 04/KPPU-I/2003 dan Perkara Nomor 02/KPPU-I/2004.
Perkara-perkara
lainnya
tidak
dianalisis secara „gambalang‟ mengenai defenisi pasar bersangkutan. Sementara pembuktian penyalahgunaan posisi dominan dalam 10 (sepuluh) putusan KPPU di atas, Majelis
Komisi
KPPU
masih
berpatokan
pada
pemenuhan semua unsur dalam Pasal 25 ayat 1 huruf a, b dan c. Dari bunyi Pasal 25 ayat (1) ini nampak 189
bahwa dalam membuktikan pelanggaran terhadap Pasal tersebut menggunakan pendekatan per se. Akan tetapi, dalam pembuktian terhadap pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 25 ayat (1) dalam Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007. Dalam pertimbangan
Majelis
menyatakan bahwa
Komisi
KPPU
secara
tegas
pendekatan analisa terhadap
pasal 25 dapat dilakukan secara per se rule maupun rule of reason. Penggunaan pendekatan per se rule adalah
pendekatan
minimalist
karena
dari
segi
rumusannya pasal 25 tidak tercantum salah satu dari dua
kalimat
yaitu
“dapat
menimbulkan
praktik
monopoli” dan/atau “persaingan usaha tidak sehat”. Penggunaan
pendekatan
rule
of
reason
adalah
pendekatan maximalist. Perspektif ini mendasarkan pada asumsi bahwa kebijakan pelaku usaha seperti tercantum dalam ayat (1) huruf a, b, atau c belum tentu dapat menimbulkan dampak negatif terhadap persaingan.
Untuk
itu
perlu
dibuktikan
bahwa
kebijakan pelaku usaha dimaksud menimbulkan atau berpontensi menimbulkan dampak negatif. Dalam perkara ini, Majelis Komisi menggunakan perspektif maximalist yaitu rule of reason. Sedangkan kesembilan putusan-putusan lainnya yang berkaitan dengan penyalahgunaan posisi dominan, 190
secara tersirat menurut penulis Majelis Komisi KPPU menggunakan
pendekatan
rule
of
reason
dalam
pembuktian terhadap pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 25 ayat (1). Dengan menggunakan pendekatan rule of reason pada satu
sisi
menyebabkan
ketidakpastian
hukum.
Meskipun kedua pendekatan ini memang tidak diatur secara tegas dalam UU Persaingan Usaha Indonesia, namun demikian dari berbagai literatur menunjukkan bahwa kedua pendekatan tersebut bisa dibedakan dan lazim dilakukan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran UU Persaingan Usaha. Akan tetapi disisi yang lain jika pendekatan per se yang akan digunakan maka akan membatasi pertumbuhan (perkembangan) pelaku usaha yang efisien dan inovatif serta kompetitif di pasar yang bersangkutan. Jadi, kalau misalnya pendekatan per se maka dari
segi
kepastian
hukum
dalam
teori
Gustav
Rabruch akan tercapai, dengan resiko bisa membatasi pertumbuhan/perkembangan atau bahkan merugikan pelaku usaha yang memiliki dominan. Penerapan seperti ini memang akan memicu perdebatan diantara KPPU dengan praktisi hukum yang menginginkan ketentuan ketentuan
Pasal Pasal
25 25
diterapkan tersebut 191
sesuai tanpa
dengan perlu
menginterpretasikan lebih lanjut. Akan tetapi harus dilihat prinsip dan tujuan hukum persaingan usaha, yaitu bukan untuk menghambat persaingan tetapi untuk mendorong persaingan usaha. Pelaku usaha yang dapat bersaing dengan sehat dan melakukan efisiensi dan inovasi serta dapat menjadi lebih unggul atau mempunyai posisi dominan lebih dari pada yang ditetapkan di dalam Pasal 25 tidak seharusnya dilarang. Jika tetap menggunakan pendekatan rule of reason
bisa
apakah
menjadi
pelaku
solusi
usaha
untuk
membuktikan
dominan
melakukan
penyalahgunaan posisi dominan atau tidak, namun disisi lain menimbulkan ketidakpastian menurut teori Gustav
Radbruch.
Sisi
ketidakpastian
jika
tidak
menggunakan ini lebih kepada faktor Perundangundangan,
artinya
konsistensi
mengikuti
ketidakpastian ketentuan
yang
terhadap telah
ada
selama ini. Pandangan ini bukan hendak mengatakan bahwa rule of reason tidak memiliki kepastian hukum malahan pendekatan ini menurut penulis sangat layak untuk digunakan dalam pembuktian penyalahgunaan posisi dominan, akan tetapi ini masalah konsistensi dimana dalam beberapa literatur dikatakan bahwa pembuktian Pasal 25 ayat 1 UU No.5 tahun 1999 192
menggunakan pendekatan Per Se. Jadi sekali lagi penulis
tegaskan
bahwa
ketidakpastian
yang
dimaksud adalah masalah substansi ketidakpastian mengikuti
pendekatan
sesuai
dengan Perundang-
Undangan. Oleh karena itu, pendekatan dalam penangganan penyalahgunaan
posisi
dominan
ini
hendaknya
menjadi salah satu faktor yang wajib direvisi oleh pembentuk atau pembuat UU (eksekutif dan legislatif) jika seandainya UU persaingan usaha ini dirubah. Sehingga permasalahan pendekatan rule of reason ini bisa diakomodasi dalam pembuktian penyalahgunaan posisi dominan. Hal lain yang menarik dari kesepuluh kasus tersebut,
khususnya
perkara
No.15/KPPU-L/2006
yang berkaitan dengan jangka waktu pencabutan syarat-syarat perdagangan. Pencabutan syarat-syarat perdagangan dinyatakan dominan
yang
menjadikan
melakukan terkesan
terlapor
penyalahgunaan
tidak
adil
menurut
tidak posisi Gustav
Radbruch karena yang dirugikan adalah korban atas surat GM No. 058/E22000/2006-S3. Yang mana PT Pertamina (persero) sudah menetapkan syarat-syarat perdagangan akan tetapi karena telah mencabut surat tersebut
disela-sela
pemeriksaan 193
Lanjutan
maka
dinyatakan tidak terbukti melanggar. Putusan ini bisa menjadi bumerang bagi kelangsungan persaingan usaha sehat di Indonesia, bisa saja pelaku usaha lain meniru
tindakan
membuat
PT
Pertamina
syarat-syarat
(persero)
perdagangan
yang dengan
pertimbangan kalaupun nanti ketahuan dan diperiksa oleh KPPU maka langkah selanjutnya Pelaku usaha yang
bersangkutan
segera
mencabutnya
sebelum
dibacakan putusan. Pasal 25 ayat (1) tidak memetingkan penggunaan kata „tujuan‟ (purpose), akan tetapi mensyaratkan adanya kesengajaan dari pemegang posisi dominan. Hal ini karena formulasi Pasal ini berbunyi “dilarang menggunakan posisi dominan untuk „menetapkan‟ atau „membatasi pasar’ atau „menghambat pelaku usaha lain’ kata kerja aktif „menetapkan‟, „membatasi‟ dan „menghambat‟ mensyaratkan adanya tindakan kesengajaan
dari
pelakunya.
Dengan
tidak
memetingkan penggunaan „tujuan‟ berarti ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU persaingan usaha Indonesia sangat keras. Hal ini karena walaupun tidak terbukti adanya purpose atau intent, apabila pemegang posisi dominan dengan sengaja melakukan suatu tindakan yang
menyebabkan
terjadinya
akibat-akibat
yang
disebut dalam Pasal 25 ayat 1 ini, maka pemegang 194
posisi dominan sudah dikatakan melanggar. Jadi, nampak bahwa ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU Persaingan Usaha Indonesia mengikuti posisi Alcoa dan United Shoe di Amerika Serikat. Pembuktian penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia
ini,
yang
tidak
mensyaratkan
adanya
„tujuan‟ pada tindakan penetapan harga. Misalnya syarat
„tujuan‟
untuk
„mencegah
dan/atau
menghalangi konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing‟. Itu artinya apabila predatory pricing
yang
mana
tindakan
pelaku
usaha
memberikan harga produknya sangat murah sehingga pesaing-pesaingnya
tidak
mampu
menyainginya
kemudian terpaksa keluar dari pasar. Setelah pesaingpesaing tersebut keluar dari pasar, pelaku usaha tersebut
dapat
menaikkan
harga
pada
tingkat
monopoli dan dapat menutupi kerugian-kerugian yang telah dialami. Tindakan ini dilakukan oleh pemegang posisi dominan terbukti „menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan‟, maka sudah dapat dikatakan pelaku
usaha
tersebut
menyalahgunakan
posisi
dominannya walaupun „tujuan‟ (purpose atau intent) untuk itu tidak terbukti. Meskipun pada putusan No.21/KPPU_L/2005 mensyaratkan adanya „tujuan‟ 195
dalam hal ini menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa. Hukum
persaingan
Putusan-Putusan
usaha
Mahkamah
Amerika
Agung
Serikat,
menyatakan
bahwa Section 2 Sherman Act tidak menyalahkan pemilikan kekuatan monopoli yang diperoleh secara sah tetapi melarang tindakan yang menggunakan kekuatan monopoli dengan melihat pada purpose dan intent
pelaku.
Namun,
beberapa
putusan
telah
berbeda dalam menafsirkan kedua istilah tersebut. Menurut Standart Oil9 dan American Tobacco,10 actual purpose or intent harus ada, yakni pelaku usaha harus mempunyai “positive drive to monopolize”. Artinya, harus
ada
praktik-praktik
“predatory”
yang
menghalangi kemampuan pelaku usaha lain untuk bersaing. Namun, putusan hakim Hand dalam Alcoa11 menunjukkan bahwa bukti actual intent dalam hal ini „tujuan‟ kurang diperlukan; yang penting adalah bukti adanya kesengajaan (deliberateness) oleh pemegang kekuatan monopoli untuk mempertahankan posisi monopolinya. Dalam Alcoa, hal ini ditunjukkan dengan tindakan aktif Alcoa memperbesar kapasitas produksi 9
Standart Oil Co. Of N.J. v. United States 221 U.S. 1.31 S.Ct. 502, 55 L.Ed. 619 (1911). 10 United States v. American Tobacco Co. 221 U.S. 106, 31 S.Ct. 632, 55 L.Ed. 663 (1911). 11 United States v. Aluminium Co. (USA) 148 F. 2d. 416 2nd cir (1945).
196
aluminium untuk mengantisipasi permintaan dan mempertahankan kapasitas produksi yang eksesif sehingga dapat menghambat pelaku usaha baru masuk ke pasar. Alcoa dianggap mempunyai tujuan atau intent terhadap akibat dari tindakan-tindakannya tersebut. Pengadilan dalam United Shoe mengikuti Alcoa.12
United
menyatakan
Shoe
memperkuat
bahwa
Alcoa
penyalahgunaan
dengan kekuatan
monopoli dalam Section 2 Sherman Act cukup dengan menunjukkan praktik-praktik yang dilakukan dengan sengaja yang menghambat pesaing masuk ke pasar walaupun tindakan-tindakan itu sendiri tidak illegal. Namun,
pengadilan-pengadilan
semenjak
tahun
1870an tidak lagi mengikuti pendekatan Alcoa dan United Shoe dan membatasi cakupan pelanggaran Section
2
Sherman
Act.
Jadi
telah
terjadi
perkembangan di Amerika Serikat. Standart Oil (1911) dan
American Tobacco
(1911) mengunakan „teori
penyalahgunaan‟ (the abuse theory), Alcoa (1945) dan United
Shoe
(1953)
kemudian
meninggalkannya.
Kemudian, mulai tahun 1979, pengadilan kembali menggunakan sebagaimana
teori dalam
penyalahgunaan. Standard
12
Oil
dan
Artinya, American
United States v. United Shoe Machinery Corp., 110 F. Supp. 295 (D.C.Mass. 1953).
197
Tobacco, actual purpose or intent harus terbukti untuk penyalahgunaan posisi dominan. Ketentuan pasal 25 ayat (1) ini sesuai dengan posisi di Uni Eropa. Di Uni Eropa, ECJ dalam Hoffmann-La
Roche13
penyalahgunaan
menegaskan
bahwa
posisi dominan menurut Pasal EU
Article 102 ( ex Article 82) European Community Treaty merupakan konsep yang objektif berkaitan dengan tingkah
laku
pemegang
posisi
dominan
yang
mempengaruhi struktur pasar yang menyebabkan persaingan dalam pasar tersebut menjadi lemah. Sebelumnya,
dalam
Continental Can,14
ECJ
juga
menegaskan bahwa pelanggaran EU Article 102 ( ex Article 82) tersebut terjadi apabila pemegang posisi dominan telah dengan sengaja memperkuat posisinya dan memperlemah persaingan dengan melakukan merger dengan pelaku usaha lain, walaupun tidak ada bukti
bahwa
mengeksploitasi
pelaku
usaha
kekuatan
tersebut pasarnya.
telah Jadi,
penyalahgunaan posisi dominan menurut EU Article 102 (ex Article 82) bisa terjadi walaupun tidak ada intent atau purpose untuk melakukan penyalahgunaan asalkan
telah
terjadi
dampak
13
negatif
terhadap
Hoffmann-La Roche & Co AG v. Commission (1979) ECR 461, (1979) 3 CMLR 211. 14 Continental Can Co Inc, Re (1972JO L7/25, (1972) CMLR D11
198
persaingan.
Jadi
dapat
dikatakan
bahwa
penyalahgunaan posisi dominan menurut Pasal 25 ayat (1) bisa terjadi walaupun tidak ada intent atau purpose dari pemegang posisi dominan. Undang-undang
persaingan
usaha
Indonesia
mengambil sikap yang termasuk ketat. Pasal 25 ayat (1) lebih mudah menyimpulkan adanya posisi dominan dan lebih mudah melarang tindakan pemegang posisi dominan.
Pasal
ini
dalam
menentukan
adanya
tindakan penyalahgunaan posisi dominan mengikuti posisi di Uni Eropa. Hal demikian ini di satu sisi dapat memberikan kemudahan dalam pembuktian, tetapi di sisi lain lebih membatasi ruang gerak pemegang posisi dominan yang belum tentu dapat
meningkatkan
persaingan yang sehat antar pelaku usaha. Posisi yang lebih
bijak
memberikan
perlu
dipertimbangkan
perlakuan
yang
adil
hukum menurut Gustav Radbruch
agar
dapat
seperti
tujuan
antara pelaku
usaha yang mempunyai posisi dominan dan yang tidak dengan
tetap
pelaku
usaha
memberikan
perlindungan
yang
untuk
lemah
kepada
meningkatkan
persaingan yang sehat. Dari
beberapa
putusan
Majelis
Komisi
tentang
penyalahgunaan posisi dominan ini menunjukkan bahwa UU persaingan usaha Indonesia ini berusaha 199
menjaga kepentingan umum dan mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini sesuai dengan teori Pound yang salah satunya menekankan pada aspek hukum sebagai alat kontrol sosial. Selain itu, UU persaingan usaha Indonesia ini juga berusaha untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, dan berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha, yang mana hal ini menurut Pound hukum disebut sebagai alat rekayasa sosial. Jika seandainya kedepan implementasi UU persaingan usaha dapat dilakukan sesuai dengan tujuan UU persaingan usaha ini, apalagi kalau misalnya ada beberapa perbaikan yang menuju kearah yang lebih baik dalam perubahan UU persaingan ini maka dipastikan UU ini khususnya pengaturan mengenai penyalahgunaan posisi dominan pasti akan membawa nilai
positif
bagi
perkembangan
iklim
usaha
di
Indonesia, yang selama ini dapat dikatakan jauh dari kondisi ideal. Dengan
berbagai
uraian
di
atas,
maka
dugaan
pelanggaran Pasal 25 awalnya difokuskan pada ayat (1). Laporan mengenai pencapain tujuan yang diatur dalam ayat (1) ini merupakan syarat yang selalu 200
menjadi dasar orang/badan hukum serta KPPU dalam memeriksa pelaku usaha yang diduga melakukan penyalahgunaan posisi dominan. Sementara dalam pembuktiannya, ayat (1) selalu dianalisa setelah ayat (2) dalam hal ini indikator (pasar bersangkutan dan pangsa
pasar)
indikator pasar
terpenuhi.
seperti
Yang
pendefenisian
bersangkutan
(pasar
artinya serta
produk
bahwa,
pembuktian dan
pasar
geografis) serta pemenuhan batas kuantitatif pangsa pasar yakni 50% dan 75% atau lebih, menjadi hal yang utama
untuk
menentukan
apakah
suatu
kasus
pemeriksaannya dilanjutkan atau dihentikan. Kalau seandainya ketentuan batas kuantitif pangsa pasar tidak terpenuhi maka secara otomatis pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran ayat (1) dihentikan, sementara jika seandainya pangsa pasar dipenuhi maka
pemeriksaan
dilanjutkan
tentunya
setelah
diketahui bagaimana pelaku usaha tersebut mencapai posisi dominannya apakah melanggar hukum atau tidak. Karena pemenuhan ayat (2) bukan merupakan pelanggaran hukum sepanjang posisi dominannya diperoleh
secara
wajar
dan
tidak
menyalahgunakannya. Sehingga, konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam
hukum
persaingan 201
usaha
berdasarkan
pengaturan dan putusan-putusan KPPU di atas adalah bentuk tindakan yang bersifat anti persaingan dari pelaku usaha yang memiliki posisi dominan yang bertujuan pesaing
untuk yang
menyingkirkan/mengeluarkan telah
menghambat/mencegah
ada,
pesaing
membatasi/
untuk
memasuki
pasar bersangkutan, mengeksploitasi pemasok barang dan/atau jasa dan mencegah/menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing. Dari konsep penyalahgunaan posisi dominan yang berhasil dibuat oleh penulis, ada dua hal yang paling mendasar yaitu bersifat anti persaingan (dampak terhadap
persaingan)
dan
dampak
terhadap
konsumen. Bentuk tindakan yang bersifat anti persaingan dari pelaku usaha yang memiliki posisi dominan ini, berdampak terhadap persaingan. Yang disebabkan oleh tingginya market power perusahaan dominan relatif
terhadap
para
pesaingnya
sehingga
memudahkan pelaku usaha dominan tersebut untuk menentukan output dan harga tanpa terpengaruh keputusan pesaing. Terdapat dua bentuk dampak yang diakibatkan oleh penyalahgunaan posisi dominan yaitu dampak yang pertama muncul sebagai akibat dari
penerapan
perilaku 202
strategis
yang
bersifat
kooperatif. Keputusan pelaku usaha dominan untuk menetapkan harga tinggi sebagai bentuk penggunaan market power secara optimum akan menjadi pelindung dan insentif bagi pesaing-pesaingnya untuk turut menikmati harga yang tinggi tersebut. Fenomena ini adalah bentuk dari munculnya price leadership. Price leadership pelaku usaha dominan ini mempunyai kekuatan sebagai price setter (penentu harga). Harga yang ditetapkan oleh pelaku usaha dominan kemudian akan diikuti oleh pelaku-pelaku usaha lainnya sebagai price taker. Kehadiran Price leadership dalam suatu industri
menyebabkan
menikmati
harga
pilihan
yang
lebih
konsumen murah
untuk menjadi
terhambat. Indikasi terjadinya Price leadership adalah tingginya
harga
produk,
serta
tingginya
margin
keuntungan antar pelaku usaha. Dampak
yang
kedua
adalah hasil
dari perilaku
strategis yang bersifat non kooperatif. Penerapan strategi
ini
akan
mampu
membatasi
atau
mempersempit ruang gerak bagi para pemain baru yang akan masuk ke dalam industri, dan bahkan mampu mengeluarkan atau membangkrutkan pelaku usaha pesaingnya. Tindakan-tindakan seperti ini nampak dalam putusan KPPU nomor 04/KPPU-I/2003 dimana PT JICT (PT. 203
Jakarta International Container Terminal) sebagai pihak terlapor
terbukti
menghambat
konsumen
untuk
melakukan kerjasama dengan pelaku usaha lain sebagai akibat dari menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar
bersangkutan.
Kemudian
Perkara
Nomor
06/KPPU-L/2004 yang menyatakan PT.ABC (Terlapor) terbukti mengusir atau menghambat pelaku usaha lain dalam hal ini Panasonic, mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas. Selanjutnya perkara Nomor 07/KPPU-L/2007 yaitu Telkomsel (pelaku usaha dominan) terbukti membatasi
interkoneksi
pembatasan
pengembangan
terakhir
Perkara
namun
Nomor
tidak
teknologi
terjadi
dan
yang
05/KPPU-I/2005,
yang
menyatakan bahwa pihak Terlapor tidak terbukti menghambat
pelaku
usaha
lain
yang
berpotensi
menjadi pesaing. Menghambat pelaku usaha lain ini menjadi
syarat
untuk
dinyatakan
melakukan
penyalahgunaan posisi dominan. Dampak terhadap konsumen ini dapat diketahui pada periode Predatory Pricing dimana pelaku usaha dominan rendahnya,
menetapkan tentu
saja
harga
yang
konsumen 204
serendah-
mendapatkan
dampak positif dari tindakan tersebut yakni terjadi peningkatan consumer surplus. Akan tetapi setelah periode
Predatory
perusahaan
Pricing
dominan
tersebut
telah
berakhir,
berhasil
dan
„mengusir‟
pesaingnya keluar dan bersiap untuk melakukan manuver
sebagai
monopolis,
dapat
dipastikan
peningkatan harga oleh perusahaan dominan akan terjadi karena pesaing menjadi lebih sedikit dan nyaris tidak memiliki kekuatan. Sehingga consumer loss yang muncul sebagai akibat dari tingginya harga jual produk dibandingkan dari yang seharusnya dapat dijangkau lebih murah atau kuantitas output di pasaran yang jumlahnya lebih rendah atau sedikit dari yang seharusnya konsumen dapatkan menjadi naik. Kerugian konsumen lainnya dengan adanya tindakan PPD ini adalah hilangnya kesempatan konsumen untuk memperoleh harga yang lebih rendah, hilagnya kesempatan konsumen untuk menggunakan layanan yang lebih banyak pada harga yang sama, kerugian intangible
konsumen,
serta
terbatasnya
alternatif
pilihan konsumen. Tindakan
pelaku
usaha
dominan
tersebut
juga
ditemukan dalam Perkara Nomor 09/KPPU-L/2009 dimana Carrefour sebagai pihak yang memiliki posisi dominan
terbukti
menetapkan 205
syarat-syarat
perdagangan sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dan menghambat konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing dan Perkara Nomor 21/KPPU-L/2005, syarat-syarat mencegah
dimana
perdagangan dan/atau
Terlapor tetapi
menetapkan
tidak
menghalangi
terbukti konsumen
memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing baik dari segi harga maupun kualitas. Jadi tindakan-tindakan penyalahgunaan posisi dominan tersebut berupa tindakan yang bersifat anti persaingan setalah itu melakukan tindakan untuk menyingkirkan/mengeluarkan pesaing yang telah ada, membatasi/menghambat/mencegah
pesaing
memasuki
mengeksploitasi
pemasok
pasar barang
bersangkutan, dan/atau
jasa
dan
untuk
mencegah/
menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing.
206