BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Hasil Penelitian 1. Penggunaan Meterai Atas Dokumen-dokumen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang berlokasi di Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga, Jawa Tengah, semula lahir dengan nama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia (PTPG-KI). Diresmikan pada tanggal 30 November 1956 dengan lima jurusan, yaitu Pendidikan, Sejarah, Bahasa Inggris, Hukum, dan Ekonomi. PTPG-KI Satya Wacana berubah menjadi FKIP-KI pada tanggal 17 Juli 1959. Kemudian pada tanggal 5 Desember 1959 diresmikan menjadi Universitas Kristen Satya Wacana dengan kehadiran Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum yang kemudian diikuti dengan pembukaan beberapa Fakultas dan Program Studi baru. Sebagai Perguruan Tinggi Swasta yang kini melewati usia emasnya, Satya Wacana yang berarti “Setia Kepada Firman Tuhan”, terus berkembang dan mendapat kepercayaan baik dari masyarakat maupun pemerintah. Pada saat ini UKSW memiliki 56 Program Studi yang terdiri dari 4 Program Studi Diploma III, 39 Program Studi Program Sarjana (S1), 10 Program Studi Program Magister (S2), dan 3 Program Studi Program Doktoral (S3).
54
Dalam melaksanakan aktivitas perkuliahan, administrasi dan keuangan UKSW didukung oleh unit-unit penunjang akademik guna melancarkan berbagai kegiatan kemahasiswaan dan administrasi di UKSW. Adapun unit-unit penunjang akademik terdiri dari: (1) Biro Administrasi Akademik, (2) Biro Akuntansi dan Keuangan, (3) Biro Kemahasiswaan, (4) Biro Manajemen Kampus, (5) Biro Promosi dan Hubungan Luar, (6) Biro Teknologi dan Sistem Informasi, dan (7) Pusat Penjaminan Mutu Akademik. Sementara kegiatan administrasi dan keuangan internal UKSW dilaksanakan oleh Biro Akuntansi dan Keuangan, yang dibantu oleh Bagian Tata Usaha, Bagian Akuntansi dan Keuangan. Dalam praktik lalu lintas hukum dan ekonomi yang berlangsung di di UKSW berkaitan dengan Bea Meterai. Bea Meterai lebih sering dianggap sebagai suatu keharusan yang mutlak dilakukan dalam pembuatan dokumen baik untuk urusan internal maupun eksternal organisasi. Penggunaan meterai di UKSW meterai ditempelkan pada dokumen-dokumen seperti Surat Keterangan Masih Kuliah, kuitansi, nota dan struk kecil (nota juga hanya ukurannya lebih kecil) atau berupa nota belanja sebagai bukti pembayaran. Hal ini ditegaskan oleh Ibu Sudiyati Manutede selaku Kepala Bagian Keuangan pada Tata Usaha UKSW ketika diwawancarai tanggal 10 Mei 2013, yang mengatakan bahwa: “Memang benar di UKSW menggunakan meterai pada kuitansi dan nota. Penggunaan meterai seperti itu telah digunakan sejak lama (sejak saya bekerja pada tahun 1987) dan sudah merupakan aturan turun temurun/tradisi”.
55
Kepala Bagian Keuangan pada Tata Usaha UKSW menambahkan bahwa: “Penempelan materai pada kuitansi dan nota serta dokumen lainnya memang sudah sesuai dengan aturan yang berlaku”. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Elisabeth Venti selaku Manajer Keuangan UKSW ketika diwawancarai pada tanggal 25 Mei 2013, yang menjelaskan bahwa: “Penggunaan meterai pada kuitansi dan nota memang telah lama dilakukan di UKSW. Tetapi, seharusnya nota tidak perlu ditempelkan materai karena materai itu sebenarnya berfungsi sebagai bea pajak bukan sebagai alat bukti pembayaran ataupun bukti tanda terima atau bukti transaksi sejumlah uang”. Seperti diketahui, bahwa ketentuan mengenai Bea Meterai diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai (UUBM), yang menyatakan bahwa Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 1 ayat (2) UUBM). Dokumen yang dikenakan Bea Meterai berbentuk surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata, akta-akta Notaris termasuk salinannya, akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya, surat yang memuat jumlah uang, surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep, atau dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan seperti surat-surat biasa dan
56
surat kerumahtanggaan, serta surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula (Pasal 2 UUBM). Dokumen sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (2) UUBM oleh masyarakat luas dikenal sebagai surat atau akta. Maka untuk dapat memahami dokumen secara lebih komprehensif, perlu juga diketahui tentang pembagian surat. Surat dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu surat di bawah tangan dan surat autentik. Selanjutnya surat dibawah tangan dapat dibedakan menjadi surat biasa dan akta di bawah tangan, dan surat autentik dapat dibedakan menjadi akta autentik dan surat dinas. Lebih lanjut, akta autentik dibagi menjadi dua, yaitu akta autentik menurut Hukum Publik dan akta autentik menurut Hukum Perdata.61 Untuk dapat mempermudah pemahaman mengenai dokumen, dapat memperhatikan skema pada gambar di bawah ini.62
61
Hasanuddin Tatang. Modul Bea Meterai. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak. Jakarta, 2006, hal. 4. 62 Ibid. hal. 5.
57
Penjelasan gambar di atas adalah sebagai berikut: a) Surat adalah serangkaian kata-kata dalam bentuk tulisan yang mengandung maksud tertentu dari pembuatnya. b) Surat dibawah tangan adalah surat yang tidak dibuat oleh pejabat umum. (Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat oleh pemerintah dan ditugaskan serta diberi wewenang untuk melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah untuk membuat akta yang berkaitan dengan peristiwa atau perbuatan hukum).63 c) Akta adalah surat yang ditandatangani, yang khusus dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa atau perbuatan hukum.64 d) Akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil) di tempat akta itu dibuat (Pasal 1868 KUH Perdata, Pasal 165 Herziene Indonesisch Reglemen (HIR), dan Pasal 285 Rechtsreglement Buitengewesten (RBg). e) Akta di bawah tangan adalah surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dan sebagainya) tentang peristiwa atau perbuatan hukum yang dibuat secara sepihak ataupun melibatkan beberapa pihak yang berkepentingan tanpa disaksikan dan disahkan oleh pejabat umum yang berwenang membuat akta.65
63
Ibid. Sofyan Arief. “Penggunaan Meterai yang Benar Dalam Rangka Sempurnanya Akta Autentik”. Humanity. Volume 7, No. 1, September 2011, hal. 45. 65 Ibid. 64
58
Berdasarkan penjelasan di atas, secara eksplisit mengisyaratkan bahwa yang menjadi objek pajak Bea Meterai adalah dokumen, seperti akta perjanjian, akta jual-beli, surat perjanjian sewa-menyewa, kuitansi, dan sebagainya. Isi dari akta atau surat perjanjian tersebut tidak menghalangi untuk mengenakan Bea Meterai atas akta atau surat perjanjian mengenai hal-hal tersebut. Pada kasus di UKSW tersebut, penggunaan meterai pada kuitansi dapat dibenarkan dan sah menurut UUBM, sedangkan penggunaan meterai pada nota pembayaran tidak diatur dalam UUBM, karena tidak termasuk ke dalam dokumen yang dikenakan Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UUBM. Dalam lalu lintas ekonomi, kuitansi dan nota memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai bukti pencatatan transaksi. Namun, dalam lalu lintas hukum, keduanya memiliki arti yang berbeda. Untuk lebih memahami hal ini dapat dilihat dari batasan antara kuitansi dan nota menurut para ahli. Kuitansi
adalah tanda
bukti
terjadinya pembayaran
yang
ditandatangani oleh pihak penerima uang. Kuitansi harus dibubuhi materai pada jumlah tertentu sesuai dengan peratuaran yang berlaku. Lembar asli diserahkan kepada pihak yang membayar, sedangkan tembusan atau bagian sus/potongannya disimpan pihak penerima.66 Menurut Pasal 55 Peraturan Presiden RI Nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden RI Nomor 54 tahun 2010 Tentang Pengadaan 66
Dhatulaulia. “Bukti Transaksi” diakses melalui http://dhatulaulia.wordpress.com/2012/05/30/ bukti-transaksi, tanggal 21 Oktober 2013.
59
Barang/Jasa Pemerintah, dinyatakan bahwa kuitansi adalah selembar surat bukti yang menyatakan bahwa telah terjadi penyerahan sejumlah uang dari yang disebut sebagai pemberi atau yang menyerahkan uang kepada yang disebut sebagai penerima dan yang harus menandatangani telah menerima penyerahan uang itu sebesar yang disebutkan dalam surat itu, lengkap dengan tanggal penyerahan, tempat serta alasan penyerahan uang itu. Untuk memperkuat tanda bukti tersebut ditempelkan meterai sebesar yang ditentukan oleh Undang-undang Bea Meterai.67 Sementara definisi nota adalah tanda bukti pembelian suatu barang secara tunai yang dibuat pihak penjual dan diberikan kepada pihak pembeli. Nota minimal dibuat rangkap dua, aslinya diserahkan kepada pihak pembeli dan rangkapnya disimpan penjualnya sebagai bukti transaksi penjualan barang secara tunai.68 Penjelasan di atas secara eksplisit mengisyaratkan adanya perbedaan batasan dan fungsi kuitansi dengan nota, meskipun kedua dokumen tersebut menyebut penerimaan uang. Dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d UUBM jo Pasal 1 huruf d Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai, dinyatakan bahwa yang dikenakan Bea Meterai adalah surat yang memuat sejumlah uang yaitu yang menyebutkan penerimaan uang. Hal ini berarti penggunaan meterai pada kuitansi dapat dibenarkan dan sah menurut
67
“Perpres 70/2012: Antara Bukti Pembelian dan Kuitansi”. Diakses melalui http://www. rejanglebongkab. go.id/perpres-702012-antara-bukti-pembelian-dan-kuitansi, tanggal 29 Oktober 2013. 68 Dhatulaulia, Op.Cit.
60
UUBM dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000, karena secara jelas kuitansi merupakan surat yang menyebutkan penerimaan uang. Sedangkan nota umumnya digunakan sebagai tanda tanda bukti pembelian suatu barang secara tunai yang dibuat pihak penjual dan diberikan kepada pihak pembeli, sehingga tidak memerlukan meterai. Dengan perkataan lain, nota pembelian atau pembayaran tidak dikenakan Bea Meterai, kecuali jika dikemudian hari akan digunakan sebagai alat pembuktian di Pengadilan, maka terlebih dahulu nota tersebut harus dilakukan pemeteraian kemudian. Jadi, penggunaan meterai pada nota (bahkan struk) di UKSW tidak berdasarkan atas peraturan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena nota tidak termasuk dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUBM jo Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000. Pada bagian lain praktik penggunaan meterai di UKSW berlaku untuk dokumen-dokumen yang memuat penerimaan uang dengan nilai nominal tertentu, seperti dijelaskan oleh Ibu Manutede selaku Kepala Bagian Keuangan pada Tata Usaha UKSW ketika diwawancarai tanggal 10 Mei 2013, yang menyatakan sebagai berikut: “Materai yang digunakan disesuaikan dengan nominal yang tertera dalam kuitansi dan nota. Contohnya nominal Rp. 250.000 sampai Rp. 1.000.000,- ditempel meterai Rp. 3.000 dan nominal lebih dari Rp. 1.000.000,- menggunakan materai Rp. 6.000”. Kepala Bagian Keuangan pada Tata Usaha UKSW menambahkan bahwa otorisasi atas transaksi dokumen-dokumen tersebut dilakukan sebagai berikut: Kuitansi dengan nominal Rp. 300.000,- ditandatangani oleh Kepala Bagian Keuangan, transaksi dengan nilai nominal Rp.
61
1.000.000,- sampai Rp. 5.000.000,- oleh Manajer Keuangan, sedangkan transaksi yang mempunyai nilai nominal Rp. 5.000.000,- sampai dengan Rp. 25.000.000,- ditandatangani oleh Pembantu Rektor II. Sementara transaksi dengan nilai nominal Rp. 25.000.000,- sampai dengan Rp. 50.000.000,- ditandatangani oleh Rektor, dan transaksi yang nilainya lebih dari Rp. 50.000.000,- ditandatangani oleh Yayasan. Semua transaksi ini pada akhirnya akan divalidasi (di cek) oleh staf yang bertugas di bagian akuntansi dan keuangan. Tarif Bea Meterai pada dasarnya dibagai dua, yaitu (1) tarif berdasarkan jenis dokumen dan (2) tarif berdasarkan jumlah nominal yang disebutkan dalam dokumen tersebut. Pembagian ini memang tidak disebutkan secara jelas dalam UUBM, namun secara implisit dapat dilihat dalam Pasal 2 UUBM, yaitu dokumen yang merupakan surat yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai barang bukti di pengadilan, seperti akta notaris dan akta PPAT dikenakan tarif yang sama tanpa melihat isi dari dokumen tersebut. Selain itu dokumen yang memuat jumlah uang akan dikenakan tarif Bea Meterai berdasarkan jumlah uang yang termuat dalam dokumen tersebut. Berdasarkan tarif-tarif yang dikenakan atas dokumen-dokumen sebagaimana tersebut pada Pasal 2 UUBM, tarif Bea Meterai adalah Rp 1.000,- dan Rp 500,-. Selanjutnya dalam Pasal 3 UUBM disebutkan bahwa dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai,
62
dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Berdasarkan ketentuan ini, seiring dengan adanya perkembangan ekonomi nasional, pemerintah telah mengadakan dua kali penyesuaian tariff dan besarnya harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, yaitu perubahan pertama dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1995, tarif Bea Meterai diubah menjadi Rp 1.000,- dan Rp 2.000. Perubahan kedua diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2000, yaitu tarif Bea Meterai ditentukan sebesar Rp 3.000,- dan Rp 6.000,-. Berkaitan tarif Bea Meterai yang dikenakan di UKSW seperti dijelaskan di atas, Pasal 2 UUBM jo Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 mengatur mengenai tarif Bea Meterai atas dokumen yang menyebut penerimaan uang, yaitu: (a) yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), tidak dikenakan Bea Meterai; (b) yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah); dan (c). yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah). Berdasarkan ketentuan di atas, menurut hemat penulis, praktik penggunaan meterai di UKSW telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUBM dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000
63
mengenai tarif Bea Meterai atas dokumen yang menyebut penerimaan uang. Meskipun nota yang seharusnya tidak dikenakan Bea Meterai, namun tetap digunakan meterai. Menurut hemat penulis, Surat Keterangan Masih Kuliah dan nota pembayaran di UKSW termasuk kedalam dokumen yang tidak dikenakan Bea Meterai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf f, yaitu “tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi”. Hal ini berarti terkesan ada pembiaran perlakuan yang salah dan dapat dianggap inefisiensi bagi keuangan UKSW. Selain itu, nota tidak lazim dikenakan Bea Meterai meskipun menyebut penerimaan uang, kecuali jika nota tersebut digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan. Inipun oleh UUBM masih diberikan kesempatan untuk diberikan pemeteraian kemudian, meskipun dikenakan denda 200% dari Bea Meterai yang tidak atau kurang bayar.
2. Sumber Hukum Penggunaan Meterai atas Kuitansi dan Nota Bea Meterai merupakan pajak tidak langsung atas dokumen. Dasar hukum pengenaan Bea Meterai adalah Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 (UUBM). Undang-undang ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986. Selain itu untuk mengatur pelaksanaannya, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai.
64
Bea Meterai dikenakan atas dokumen dan hanya satu dokumen hanya terutang satu Bea Meterai, sedangkan rangkap atau salinannya (yang ikut ditandatangani) terutang Bea Meterai sama dengan aslinya. Dokumen yang dikenakan Bea Meterai sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUBM dan dokumen yang tidak dikenakan Bea Meterai diatur dalam Pasal 4 UUBM. Penggunaan meterai pada Surat Keterangan Masih Kuliah, Kuitansi, Nota (bahkan struk) yang telah berlangsung lama dan telah menjadi kebiasaan yang turun-temurun dilakukan di UKSW, dapat dianggap sebagai perilaku penggunaan meterai yang salah. Kecuali penggunaan meterai pada kuitansi dapat dibenarkan dan sah menurut UUBM maupun peraturan pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak). Penggunaan meterai pada kuitansi sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf d, yaitu surat yang menyebutkan penerimaan uang. Sementara penggunaan meterai pada Surat Keterangan Masih Kuliah dan Nota, serta struk kecil dianggap bertentangan dengan aturan dan ketentuan Pasal 2 UUBM jo Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000. Dokumen-dokumen tersebut seharusnya masuk dalam kategori dokumen yang tidak dikenakan Bea Meterai, karena tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi. Penggunaan meterai atas dokumen-dokumen di UKSW tersebut di atas, jika dilihat dari hukum kebiasaan juga tidak relevan, karena hukum
65
kebiasaan menurut Mr. J.H.P. Bellefroid, “hukum kebiasaan disebut kebiasaan saja, meliputi semua peraturan-peraturan yang walaupun tidak ditetapkan pemerintah, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat, karena mereka yakin bahwa peraturan itu berlaku sebagai hukum”.69 Sementara menurut Pasal 1339 KUH Perdata, dinyatakan bahwa “Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk apa yang telah ditetapkan dengan tegas oleh persetujuan-persetujuan itu, tetapi juga untuk segala sesuatu menurut sifat persetujuan-persetujuan itu diwajibkan oleh kebiasaan”. Berdasarkan definisi hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis di atas, secara eksplisit mengisyaratkan bahwa agar kebiasaan memiliki kekuatan yang berlaku dan sekaligus menjadi sumber hukum, maka harus dipenuhi syarat sebagai berikut: a. Harus
ada perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan
berulangkali dalam hal yang sama dan diikuti oleh orang banyak/ umum. b. Harus ada keyakinan hukum dari orang-orang/golongan-golongan
yang berkepentingan, dalam arti harus terdapat keyakinan bahwa aturan-aturan yang ditimbulkan oleh kebiasaan itu mengandung hal-hal yang baik dan layak untuk diikuti/ditaati serta mempunyai kekuatan mengikat. Selanjutnya kebiasaan akan menjadi hukum kebiasaan karena kebiasaan tersebut dirumuskan hakim dalam putusannya. Dengan 69
Mr. J.H.P. Bellefroid, “Kebiasaan Sebagai Sumber Hukum” diakses staff.ui.ac.id/internal/131861375/material/sumberhukum, tanggal 20 Oktober 2013.
melalui
66
demikian, kebiasaan
penggunaan meterai
atas dokumen-dokumen
khususnya Surat Keterangan Masih Kuliah, Nota dan struk kecil, tidak termasuk sebagai hukum kebiasan, karena perlakuan yang demikian tidak diikuti oleh semua orang. Menurut hemat penulis, perilaku penggunaan meterai atas dokumen-dokumen di UKSW tersebut termasuk dalam kategori sebagai perilaku yang tidak taat hukum.
B. Analisis Materai sudah tak asing bagi masyarakat yang terbiasa menggunakan benda mirip perangko ini pada sejumlah dokumen. Materai dianggap semacam alat menyakinkan sebuah perjanjian atau bukti transaksi sah adanya. Tak banyak yang menyadari kalau materai adalalah bentuk pembayaran pajak atas dokumen. Menurut Mashar Resmawan selaku Kepala Seksi Peraturan PTLL Direktorat Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak, “Bea materai adalah pajak atas dokumen. Bea materai ada sejak zaman Belanda. Pajak ini merupakan salah satu pajak tertua selain pajak penghasilan. Bea materai yang berlandaskan aturan kolonial Belanda, kemudian landasan tersebut berubah menjadi Undang-undang Bea Materai. Undang-undang inilah yang memperingkas dan menyederhanakan penggunaan materai. Karena itulah yang dikenal sekarang ini hanya materai 3000 dan 6000.70 Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUBM diatur mengenai dokumen yang dikenakan bea meterai diantaranya: Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai 70
Mashar Resmawan, “Salah Pakai Materai Bisa Kena Sanksi”. Diakses melalui http://www. portalkbr. com/berita/perbincangan/2948102_4215.html, tanggal 20 Oktober 2013.
67
perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata dan akta-akta notaris termasuk salinannya, surat yang menyebut penerimaan uang. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Meterai, maka dokumen tersebut di atas dikenakan bea meterai dengan tarif Rp 6.000,- (enam ribu rupiah). Penggunaan meterai atas dokumen-dokumen di UKSW, apabila untuk keperluan pembuktian di Pengadilan apabila suatu surat/dokumen (dalam hal ini kuitansi dan nota) yang belum bermeterai, dapat dilakukan pemeteraian kemudian untuk kepentingan pembuktian yang dilakukan oleh Pejabat Pos (Pasal 2 ayat (3) huruf a jo. Pasal 10 UUBM). Hal ini bukan berarti dengan tiadanya meterai dalam alat bukti tertulis menyebabkan tidak sahnya perbuatan hukum yang dilakukan, hanya akta dari perbuatan hukum yang dilakukan itu tidak memenuhi syarat untuk dapat digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan.71 Dalam hal tiadanya meterai dalam suatu surat atau dokumen (misalnya surat perjanjian) maka tidak berarti perbuatan hukumnya tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya meterai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata. Putusan Mahkamah Agung tanggal 28-8-1975 No. 983 K/Sip/1972 menegaskan bahwa kuitansi yang diajukan oleh tergugat sebagai bukti, karena tidak bermeterai oleh Hakim dikesampingkan. Jadi, dalam hal kuitansi tersebut akan dipakai sebagai 71
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 3.
68
alat bukti di Pengadilan maka kuitansi dan nota tersebut wajib dimeteraikan terlebih dahulu. Dengan demikian, bahwa tidak dilunasinya bea meterai dalam dokumen tersebut akan berdampak terhadap kekuatannya sebagai alat bukti. Jika surat atau dokumen perjanjian yang tidak dibubuhi dengan meterai ternyata akan dipergunakan sebagai alat bukti, maka UUBM mengatur bahwa dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari bea meterai yang tidak atau kurang dibayar. Misalnya Bea Meterai terutang Rp 6.000,00. Karena kelalaian belum mengenakan Bea Meterai, maka Bea Meterai dan saksi yang harus dibayar adalah: Bea Meterai yang terutang Rp 6.000,00, Denda administrasi Rp 12.000,00, maka Jumlah Pemeteraian Kemudian Rp 18.000,00. Pemeteraian kemudian atas dokumen tersebut dilakukan oleh Pejabat Pos menurut tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Perlu diketahui Materai tidak hanya sebagai pajak tapi juga sebagai bukti adanya peristiwa hukum (nota di UKSW dapat ditempelkan materai saat dibutuhkan contohnya seperti yang sudah disebutkan yaitu sebagai bukti dan juga merupakan aturan dari akuntan publik)
Selain itu, dalam konteks memperkuat pembuktian, akta di bawah tangan (misal Surat Keterangan Masih Kuliah) dapat dilegalisasi atau disahkan oleh notaris. Seperti ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, notaris berwenang pula untuk mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (2) huruf a
69
Undang-undang No. 30 Tahun 2004, dinyatakan bahwa ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris. Berkaitan dengan praktik penggunaan meterai atas dokumen-dokumen di UKSW, dapat dikatakan telah memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UUBM maupun peraturan pelaksanaannya), sehingga mempunyai kekuatan hukum yang sempurna sebagai alat pembuktian. Namun perlu ditambahkan bahwa transaksi internal perusahaan (misalnya unit administrasi, unit keuangan) tidak perlu memakai Bea Meterai kecuali akan digunakan sebagai bukti, maka boleh di tempelkan meterai (dalam hal ini adalah nota). Mengenai yang terutang Bea Meterai adalah orang-orang atau pihak-pihak yang mendapatkan manfaat dari surat atau dokumen tersebut.