BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Pertimbangan Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 Penulis akan memaparkan dalam bab-bab ini adalah tentang pertimbangan dari Pemerintah, DPR, dan MK tentang Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 yang berisi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan isi Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan harus dibaca sebagai berikut : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Putusan
Mahkamah
Konstitusi
tentang
Anak
Luar
Kawin
tersebut
dilatarbelakangi oleh permohonan dari Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim (Pemohon I) dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono (Pemohon II yaitu anak dari Pemohon I) yang diajukan ke MK pada tanggal 14 Juni 2010. Berdasarkan semua hal yang telah diuraikan dalam Duduk Perkara dimana kedudukan para Pemohon diuraikan sebagai berikut : 1. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga Negara Indonesia 2. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UUMK menyatakan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang.
3. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk permohonan uji materil ini. Syarat kesatu adalah kualifikasi untuk bertindak sebagai Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Syarat kedua adalah bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dirugikan dengan berlakunya suatu Undang-Undang. 4. Bahwa telah dijelaskan terdahulu, Pemohon adalah warga Negara Indonesia yang merupakan “Perorangan Warga Negara Indonesia”, sebagaimana dimaksud dengan Pasal 51 ayat (1) UUMK. 5. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan : “ perkawinan adalah sah, apabila menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu ”, sehingga oleh karenanya pernikahan yang telah dilakukan oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga telah dikuatkan dengan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana tercantum dalam amar Penetapan atas Perkara Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs, tanggal 18 Juni 2008. 6. Dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon sebagai warga Negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan. 7. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka anak Pemohon hanya mempunyai hubungan keperdataan ke ibunya, dan hal yang sama juga dianut dalam Islam. Hanya saja hal ini menjadi tidak benar, jika norma hukum UU Perkawinan menyatakan seorang anak diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, karena berpijak pada sah atau tidaknya suatu perkawinan menurut norma hukum. Dengan berlakunya Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon selaku ibu dan anaknya untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahannya serta status hukum anaknya dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. 8. Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan “ setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Merujuk pada ketentuan UUD 1945 ini maka Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidaklah senafas dan sejalan serta telah merugikan hak konstitusional Pemohon sekaligus anaknya. 9. Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyebabkan kerugian terhadap hak konstitusional Pemohon dan anaknya yang timbul berdasarkan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yakni hak untuk mendapatkan pengesahan terhadap pernikahan sekaligus status hukum anaknya pemohon. Sebagai sebuah peraturan PerUndang-Undangan, maka Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mempunyai kekuatan mengikat dan wajib ditaati oleh segenap rakyat. 10. Bahwa berdasarkan semua uraian tersebut, jelas menunjukan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan uji materiil Undang-Undang.
Berdasarkan semua hal yang telah diuraikan dalam duduk perkara diatas, maka Pemohon memohon ke Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan Putusan sebagai berikut : 1. Menerima dan mengabulkan Permohonan uji Materiil Pemohon untuk seluruhnya, khususnya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. 2. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; 3. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)
UU Perkawinan,
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.1 Menurut Pemohon, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dianggap merugikan hak-hak konstitusional pemohon sebagai warga Negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan PerUndang-Undangan yang berlaku”. Lebih lanjut Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Pasal
28B
ayat
(1)
UUD
1945
menyatakan:
“Setiap
orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”
1
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Anak Luar Kawin, hal. 37
Ketentuan ini melahirkan norma konstitusi bahwa Pemohon yang merupakan warga Negara Indonesia memiliki hak yang setara dengan warga Negara Indonesia lainnya dalam membentuk keluarga dan melaksanakan perkawinan tanpa dibedakan dan wajib diperlakukan sama di hadapan hukum. Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Ketentuan ini melahirkan norma konstitusi bahwa anak Pemohon juga memiliki hak atas status hukumnya dan diperlakukan sama di hadapan hukum. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang
berhak
atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Ketentuan ini mengandung makna bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan diperlakukan sama di hadapan hukum. 1.1 Pertimbangan Pemerintah a. Terhadap ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang a quo Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan telah bertentangan dengan Pasal 28 B Ayat (1) dan Ayat (2),dan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945, karena pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk membatasi hak asasi warga Negara melainkan sebaliknya yakni melindungi warga Negara dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan, serta memberikan kepastian hukum
terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya. Tidak ada keterkaitan antara pencatatan perkawinan baik di Kantor Urusan Agama maupun Kantor Catatan Sipil dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan materi muatan norma yang di mohonkan pengujiannya oleh para Pemohon. b. Terhadap ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Bahwa Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menurut Pemerintah bertujuan memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap hubungan keperdataan antara anak dan ibunya serta keluarga ibunya, karena suatu perkawinan yang tidak dicatat dapat diartikan bahwa peristiwa perkawinan tersebut tidak ada, sehingga anak yang lahir diluar perkawinan yang tidak dicatat menurut Undang-Undang a quo dikategorikan sebagai anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, karenanya menjadi tidak logis apabila UndangUndang memastikan hubungan hukum seorang anak yang lahir dari seorang perempuan, memiliki hubungan hukum sebagai anak dengan laki-laki yang tidak terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Sehingga Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B Ayat (1) dan Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dapat dipenuhi, seiring dengan tujuan dari ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang a quo itu sendiri. 1.2 Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat a. Terhadap ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang- Undang a quo
Menurut DPR, alasan para Pemohon yang tidak dapat mencatatkan perkawinannya oleh karena prinsip UU Perkawinan yang berasaskan monogami adalah sangat tidak berdasar, karena sebenarnya Pemohonlah yang tidak dapat memenuhi persyaratan poligami sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan. Oleh karena itu sesungguhnya persoalan para Pemohon bukan persoalan konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan hukum yang tidak dipenuhi oleh para Pemohon. Sehingga pada akhirnya akan berimplikasi pada hak-hak keperdataan yang timbul dari akibat perkawinan termasuk anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat yaitu implikasi terhadap pembuktian hubungan keperdataan ayah dengan anaknya, dimana anak yang lahir dari perkawinan yang tidak di catat tersebut, tentu hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya. b. Terhadap ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Menurut DPR ketentuan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan justru menjamin terwujudnya tujuan perkawinan, serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap status keperdataan anak termasuk hubungan anak dengan ibu serta keluarga ibunya. Maka apabila ketentuan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan ini dibatalkan justru akan berimplikasi terhadap kepastian hukum atas status keperdataan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat.
1.3 Pertimbangan Mahkamah Konstitusi Menurut Mahkamah, terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian yang dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk pengujian. a. Terhadap ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang- Undang a quo Bahwa menurut Mahkamah Konstitusi berdasarkan Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU Perkawinan tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan, ternyata bahwa factor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama. Sedangkan kewajiban pencatatan perkawinan oleh Negara melalui peraturan perUndang-Undangan hanya merupakan kewajiban administratif. b. Terhadap ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Menurut Mahkamah pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan diluar perkawinan adalah terletak pada makna hukum dari frasa “yang dilahirkan diluar perkawinan.” Mahkamah juga memandang perlunya membahas permasalahan tentang sahnya anak guna memperoleh jawaban dalam prespektif yang lebih luas. Untuk itu Mahkamah mengkaji lebih lanjut bahwa secara ilmiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan tehnologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil ketika hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan
karena hubungan seksual diluar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan ibunya saja dan membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Menurut
Mahkamah
selanjutnya
dengan
terlepas
dari
soal
prosedur/administrasi perkawinannya, status anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan dan kepastian hukum yang adil, termasuk terhadap anak
yang
dilahirkan
meskipun
keabsahan
perkawinannya
masih
dipersengketakan, sehingga menurut pendapat Mahkamah Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “ Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. Pertimbangan Pemerintah dan DPR terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) UndangUndang a quo, tidak sependapat dengan anggapan Pemohon yang menyatakan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan telah bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, karena pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan membatasi hak asasi Warga Negara melainkan melindungi Warga Negara. Alasan Pemohon yang tidak dapat mencatatkan perkawinannya oleh karena prinsip UU Perkawinan yang berasaskan monogami adalah sangat tidak berdasar karena sebenarnya pemohon yang tidak dapat memenuhi persyaratan poligami sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan, sehingga pada akhirnya akan berimplikasi terhadap pembuktian hubungan keperdataan ayah dengan anaknya, dimana anak yang lahir diluar perkawinan
yang tidak dicatat tersebut, tentu hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu. Menurut Pemerintah dan DPR, ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan justru menjamin terwujudnya tujuan perkawinan, serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap status keperdataan anak termasuk hubungan anak dengan ibu serta keluarga ibu. Sedangkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi, ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo menurut Mahkamah Kontitusi berdasarkan Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU Perkawinan tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan, ternyata bahwa factor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama. Sedangkan kewajiban pencatatan perkawinan oleh Negara melalui peraturan perUndang-Undangan hanya merupakan kewajiban administratif. Pokok pikiran utama yang melandasi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan pada dasarnya adalah “tidak tepat dan tidak adil jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki tersebut sebagai ayahnya” pokok pikiran ini seolah-olah menjadi alasan yang mendasar bahwa seorang laki-laki yang menghamili seorang perempuan yang kemudian melahirkan anak, dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) tersebut akan melepaskan tanggung jawabnya sebagai ayah biologisnya, dengan demikian setelah ketentuan pasal
tersebut di-review, ayah biologis tersebut dipaksa oleh hukum untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang dilakukannya. Sementara itu, anak diluar kawin masih berhak atas pelindungan anak, hal ini telah ditetapkan pada UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. UndangUndang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terusmenerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Putusan ini menimbulkan konsekuensi adanya hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya, adanya hak dan kewajiban antara anak luar kawin dan ayah biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris, dan lain sebagainya. Hal ini tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan tehnologi seperti halnya tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa benar anak luar kawin tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya tersebut. B. Pandangan dari KPAI dan Para Ahli Agama Terkait Putusan MK No 46/PUUVIII/2010
Adanya putusan Mahamah Konstiusi tentang anak luar kawin tersebut terdapat pandangan yang berbeda-beda dari pihak KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), NU, MUI. KPAI menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi yang berimplikasi ayah biologis harus bertanggung jawab atas anak di luar kawin. Wakil Ketua KPAI menegaskan dalam kasus tersebut tidak ada anak haram namun yang haram adalah hubungan orang tua tanpa perkawinan. Penulis setuju dengan pendapat dari KPAI tersebut, karena seorang anak yang dilahirkan itu belum mempunyai dosa dan wajib mendapat perlindungan hukum, apabila hubungan orang tua tanpa perkawinan bukan berakibat bahwa anak itu anak haram melainkan hubungan orang tua tanpa perkawinan tersebut yang seharusnya dinilai kurang baik dan tidak seharusnya dilakukan, karena akan berpengaruh terhadap kehidupan anak nantinya. Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa mengakui putusan MK terkait dengan uji materi Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan sangat baik ditinjau dari sisi kemanusiaan dan administrasi Negara, tetapi niat baik itu malah menjerumuskan pada akhirnya. Sebelum diuji materi, Pasal 43 Ayat (1) menyebutkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Sementara setelah diuji materi menjadi anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat
mengajukan tuntutan ke Pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya.2 Argumentasi yang melandasi keputusan ini, antara lain bahwa setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah dia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu. Anak juga berhak memperoleh layanan dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak. Anak yang dilahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah, menurut jumhur ulama tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya. Konsekuensinya, anak yang lahir di luar perkawinan, tidak memiliki hak waris dan perwalian dari ayah biologisnya. Kalau si anak hasil hubungan di luar kawin ini menikah dan ayah biologisnya menjadi wali, maka tidak sah pernikahannya. Oleh karena itu, Muslimat NU mendorong agar dilakukan koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Mahkamah Konstitusi, Majelis Ulama Indonesia, dan ormas Islam untuk mencari jalan keluar yang tepat dalam penataannya. Agar terdapat sinergi antara hukum syariat dan hukum legal formal kenegaraan. Karena menimbulkan banyak kesulitan bagi anak sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat serta menimbulkan kekacauan nasab. Berdasarkan pandangan NU diatas, penulis beranggapan bahwa pendapat dari Ketua Umum Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa, berdasarkan Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, agar terdapat sinergi antara hukum syariat dan legal formal kenegaraan dperlukan adanya koordinasi dari berbagai pihak supaya dapat dicari jalan
2
Muslimat NU: Putusan MK Soal Anak Luar Nikah Bisa Menjerumuskan, www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/02/26/lzzyhr-muslimat-nu-putusan-mk-soal-anak-luar-nikah-bisamenjerumuskan, diunduh 16 April 2013
keluar dalam penataannya, dan pergaulan bebas yang dapat menjerumuskan pada perbuatan zina wajib dicegah supaya tidak berakibat banyak kesulitan bagi anak. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan tidak akan mencabut fatwa tentang kedudukan anak hasil perzinaan dan kedudukan mereka dalam hukum Islam. MUI tetap berpendirian anak di luar kawin tidak dapat memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya. Syariat Islam mengatakan bahwa anak hasil zina hanya memiliki hubungan dengan ibunya. Pandangan MUI itu tidak akan berubah kecuali Mahkamah Konstitusi dapat memberikan bukti lain berdasarkan hukum syariat Islam. Anggapan dari Pihak MUI tersebut, bahwa putusan MK tersebut telah menjadikan lembaga perkawinan yang tidak dicatatkan dalam KUA menjadi kurang relevan apalagi sekadar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil perkawinan yang sah tersebut. Hal ini di nilai sangat menurunkan derajat kesucian dan keluhuran lembaga perkawinan. Bahkan, pada tingkat ekstrem dapat muncul pendapat tidak dibutuhkan lagi lembaga perkawinan, karena orang tidak perlu harus menikah secara sah apabila dikaitkan dengan perlindungan hukum anak. MUI sepakat bahwa anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan, tetapi belum dicatatkan pada KUA maupun Kantor Catatan Sipil (seperti perkawinan di bawah tangan) harus dipersamakan dengan anak dalam ikatan perkawinan yang telah dicatat. Putusan MK No. 46/PUUVIII/2010 sepanjang memaknai pengertian “hubungan perdata” antara anak hasil zina dengan laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya dan keluarganya adalah juga hubungan nasab, waris, wali, dan nafqah, maka putusan MK itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Ma‟ruf mengatakan, untuk melindungi hak-hak anak hasil zina tidak dilakukan dengan memberikan “hubungan perdata” kepada laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya. Melainkan dengan menjatuhkan „ta‟zir‟ kepada laki-laki tersebut berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut atau memberikan harta setelah ia meninggal melalui „wasiat wajibah‟. Kemudian, untuk menghilangkan diskriminasi terhadap anak hasil zina adalah tidak mengaitkannya dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya, melainkan dengan melakukan edukasi kepada masyarakat bahwa anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya. Dengan melihat pandangan dari KPAI, NU, MUI terdapat pro dan kontra setelah adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 yang telah memberikan perlindungan terhadap anak luar kawin sehingga ada jaminan kelangsungan hidup bagi anak yang bersangkutan, karena ada kewajiban perdata yang dibebankan tidak hanya kepada ibu dan keluarga ibu, akan tetapi juga pada ayah dan keluarga ayah. Dari hasil penelitian diatas dapat dikemukakan bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan isi Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menjadi : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Putusan ini telah menimbulkan pertimbangan yang berbeda-beda dari pihak Pemerintah, DPR, dan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Selain itu, terdapat juga pro dan
kontra dari pihak KPAI, NU, MUI perihal Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang isinya telah dirubah menjadi seperti diatas. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentunya memiliki implikasi positif dan negatif. Dampak positifnya adalah Putusan ini menimbulkan konsekuensi adanya hubungan keluarga anak luar kawin dengan ayah biologisnya, adanya hak dan kewajiban antara anak luar kawin dan ayah biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya. Hal ini berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi seperti : tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa benar anak diluar kawin tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya tersebut. Dalam hal ini terbuka kesempatan bagi para anak diluar kawin untuk mendapatkan hak nafkah, waris dan lain sebagainya. Dampak negatifnya putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 dinilai melanggar ajaran Islam dan tatanan Hukum Islam. Hukum Islam menyatakan bahwa, status anak diluar kawin disamakan statusnya dengan anak zina, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut: 3 a) Tidak ada hubungan keluarga dengan ayahnya. Anak itu hanya mempunyai hubungan keluarga dengan ibunya. Ayahnya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum.
3
Amir Syarifuddin (2002), Meretas Kebekuan Ijtihad, Ciputat Press, Jakarta, hal. 195
b) Tidak ada saling mewaris dengan ayahnya, karena hubungan keluarga merupakan salah satu penyebab kerwarisan. c) Ayah tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar kawin. Apabila anak diluar kawin itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh ayah biologisnya. C. Analisis 1.1 Implikasi Yuridis Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Anak Luar Kawin Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan tehnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah
temasuk
hubungan
perdata
dengan
keluarga
ayahnya”
menimbulkan kontroversi baik dari kalangan ahli hukum maupun ahli agama. Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, anak-anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya punya hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana tersebut oleh Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Hal ini membawa konsekuensi, anak yang lahir diluar perkawinan secara hukum negara tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Mahkamah Konstitusi melalui putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUUVIII/2010 tentang pengujian Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan harus dibaca bahwa anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan hukum dengan ayah dan keluarga ayahnya, tidak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu sepanjang terbukti bahwa anak luar kawin tersebut adalah anak biologis dari ayahnya. Dengan demikian tanpa adanya pengakuan dari seorang ayah kepada anak luar kawin secara normatif sudah mempunyai hubungan keuarga dengan ayah maupun keluarga ayah, sepanjang terbukti adanya hubungan biologis ini. Oleh karena itu lembaga pengakuan anak tidak lagi berfungsi, karena secara normatif akan terjadi hubungan keperdataan antara ayah dengan anak luar kawinnya. Hal ini berbeda dengan pengaturan sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi
No 46/PUU-VIII/2010, anak luar kawin akan mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan ayah jika ayah melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin yang bersangkutan. Dengan demikian anak luar kawin yang diakui dengan sah mempunyai hubungan keluarga dari orang yang mengakuinya. Adanya hubungan keluarga, adalah dengan adanya pengakuan anak yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, menetapkan adanya hubungan keluarga antara anak yang diakui dengan orang yang mengakuinya. Menurut Pasal 283 KUHPerdata, tidak setiap anak yang lahir diluar perkawinan dapat dilakukan pengakuan. Dalam KUHPerdata dikenal anak luar kawin yaitu : a) Anak alami
Ialah anak yang lahir di luar perkawinan, dimana kedua orang tuanya tidak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan. b) Anak sumbang Ialah anak yang lahir di luar perkawinan, dimana kedua orang tuanya ada hubungan darah yang dekat. c) Anak zina Ialah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, dimana kedua orang tuanya ada hubungan untuk melangsungkan perkawinan karena salah satu atau kedua orang tuanya dalam ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain. Dari tiga jenis anak luar kawin tersebut, menurut Pasal 272 KUHPerdata hanya anak alami saja yang dapat disahkan maupun diakui (dengan pengecualian Pasal 273 KUHPerdata). Sedangkan KUHPerdata menyaratkan pula bahwa anak luar kawin selain anak zina atau sumbang ( kecuali jika anak sumbang telah memperoleh dispensasi dari Presiden ), akan mempunyai hubungan keluarga dengan ayah biologisnya jika dilakukan pengakuan. Undang-Undang Perkawinan tidak membedakan tiga kriteria anak tersebut. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan anak luar kawin. Dengan berpegang pada rumusan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan, maka dapat dirumuskan bahwa yang termasuk anak luar kawin adalah anak yang tidak memenuhi kriteria sebagai anak sah.
Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara khusus dan pasti tentang pengelompokan jenis anak, sebagaimana pengelompokan yang terdapat dalam Hukum Perdata Umum. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang kriteria anak sah, sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi bahwa anak yang sah adalah : 1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. 2. Hasil pembuahan suami isteri yang diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kriteria anak luar kawin adalah : 1) Anak yang dibenihkan dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah 2) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari laki-laki dan perempuan diluar rahim dimana keduanya tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, atau 3) Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh wanita bukan istri tersebut. Menurut Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, anak luar kawin ini hanya akan mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibu. Dengan demikian sebagaimana telah dipaparkan diatas bahwa tidak secara otomatis anak luar kawin akan mempunyai hubungan dengan ayah biologisnya. Agar supaya hubungan kekeluargaan tercipta, maka diperlukan pengakuan anak oleh ayah biologisnya. Pengakuan anak akan dapat terealisir jika ibu menyetujuinya. Oleh karena itu tidak secara otomatis anak luar kawin akan menjadi ahli waris dari ayah biologisnya.
Namun pasca Putusan Mahkamah Konsttusi No 46/PUU-VIII/2010, hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ibu dan ayah serta keluarga ibu dan ayah tercipta secara otomatis dalam pengertian tanpa diperlukan pengakuan dari ayahnya sepanjang terbukti ada hubungan biologis, maka implikasinya adalah anak luar kawin dapat menjadi pewaris baik dari ibu dan keluarga ibu serta ayah dan keluarga ayah. Selain itu, supaya ada hubungan keluarga dengan ayah dan keluarga ayah harus dibuktikan secara biologis bahwa anak tersebut adalah anak dari ayah yang bersangkutan. Tidak menjadi masalah jika ayah mau membuktikan adanya hubungan biologis tersebut. Misalnya dengan tes DNA, ayah mau melakukan tes DNA tidak akan menjadi masalah sehingga jika terbukti, akan dapat dipakai sebagai lampiran untuk membuktikan bahwa ada hubungan biologis antara keduanya, sehingga memenuhi syarat yang di tetapkan dalam Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010. Jika ayah tidak mau membuktikan dengan tes DNA tersebut, ini yang menjadi masalah, karena ibu harus mengumpulkan banyak bukti untuk membuktikan bahwa anak tersebut merupakan anak dari ayah yang bersangkutan dengan cara mengumpulkan bukti-bukti diantaranya dari berbagai saksi dan ibu itu harus berani bersumpah didepan hakim Pengadilan Agama bahwa anak tersebut benar-benar anak dari hasil hubungan dengan laki-laki yang bersangkutan, sehingga keyakinan hakim berdasarkan bukti yang telah didapat dalam memutuskan suatu perkara dengan berbagai kebijakan merupakan suatu hal yang penting dalam sebuah proses persidangan di pengadilan dan dapat memaksa ayah yang bersangkutan untuk
bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan hidup si anak mulai dari pendidikan, pemeliharaan maupun pewarisan. Sekalipun anak luar kawin sebagai implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kemungkinan menjadi ahli waris ibu dan ayah serta keluarga ibu dan ayah, tentu saja bagian yang diterima anak luar kawin akan berbeda dengan bagian yang diterima anak anak sah. Ketentuan bagian waris anak luar kawin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 863 KUHPerdata dapat diberlakukan bagi mereka yang tunduk pada KUHPerdata : 1. Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewarisi 1/3 bagian dari bagian yang seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak-anak yang sah. 2. Jika yang meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas (ibu, bapak, nenek, dst.) atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunannya, maka anak-anak yang diakui tersebut mewaris 1/2 dari warisan. Namun, jika hanya terdapat saudara dalam derajat yang lebih jauh, maka anak-anak yang diakui tersebut mendapat 3/4. Berdasarkan uraian diatas, maka pasca putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 setiap anak luar kawin yang memenuhi persyaratan yang dituntut Mahkamah Konstitusi ( ada hubungan biologis anak luar kawin dengan ayah biologisnya), maka otomatis akan menjadi ahli waris kedua orang tua biologisnya bahkan kedua keluarga orangtua biologisnya.
Menurut Pasal 866 : “ Jika sorang anak luar kawin meninggal dunia lebih dahulu, maka sekalian anak dan keturunannya yang sah, berhak menuntut bagian yang diberikan kepada mereka menurut Pasal 863 dan Pasal 865. Apabila anak luar kawin yang meninggal dunia tidak mempunyai keturunan maupun suami atau istri, maka warisan itu untuk orang tua yang telah mengakuinya, hal ini terdapat di didalam Pasal 870 KUHPerdata. Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 tidak memberikan kedudukan yang sama antara anak luar kawin dengan anak sah, yakni sebagai ahli waris dari kedua orang tuanya dan keluarga orang tuanya, namun ada perbedaan bagian yang diterimanya sebagaimana tersebut dalam Pasal 863 KUHPerdata. Menurut hukum adat waris Jawa, anak yang lahir diluar perkawinan itu hanya menjadi waris terhadap harta peninggalan ibunya saja serta didalam harta peninggalan kerabat atau famili dari pihak ibu. Menurut hukum adat Jawa yang bersifat parental bahwa kewajiban untuk membiayai penghidupan dan pendidikan seorang anak luar kawin yang diakui ayahnya dan anak tersebut belum dewasa juga dibebankan pada ayah anak itu. Pembagian warisan anak luar kawin terhadap harta kekayaan ayah biologisnya menurut hukum waris adat Jawa biasanya diselesaikan dengan cara kemanusiaan yaitu pemberian secara kerelaan atau atas dasar belas kasihan (parimirma).4 Dalam Hukum Islam yang tertuang dalam Pasal 186 KHI, dinyatakan bahwa anak luar kawin keluarga 4
hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibu dan
ibu. Ini berarti bahwa menurut KHI, anak luar kawin tidak mungkin
Dwi Anti Faulina, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat Jawa, www. repository.unej.ac.id/handle/123456789/925, diunduh 1 Maret 2014
menjadi ahli waris dari ayah maupun keluarga ayah. Sedangkan apabila ayahnya ingin memberikan warisan kepadanya maka dengan cara wasiat, dimana dalam ketentuan wasiat berlaku yaitu wasiat tidak boleh melebihi 1/3 harta warisan. Menurut pendapat penulis dengan adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 tersebut memberikan perlindungan terhadap
anak luar kawin untuk mendapat
pengakuan dari ayah biologis dan keluarga ayah biologis serta dapat tercukupi kebutuhan hidup, dan dapat menjadi ahli waris dari pihak ayah biologis maupun keluarga ayahnya. Tetapi dengan Putusan MK tersebut jangan beranggapan bahwa putusan itu melegalkan perzinaan maupun perkawinan yang tidak dicatatkan dalam KUA, melainkan putusan tersebut tidak menyetujui adanya hal seperti itu melainkan memberikan perlindungan kepada anak luar kawin supaya dalam kehidupan masyarakat dapat diakui sama halnya dengan anak sah tanpa adanya perbedaan status, karena disini anak bukan penyebab utama dari persoalan yang ditimbulkan oleh kedua orang tuanya, sehingga anak luar kawin berhak mewaris dari harta kedua orang tuanya. 1.2 Tindakan Yang Dilakukan Oleh Negara Sehubungan dengan adanya Putusan MK N0 46/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Republik Indonesia sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan tehnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan tehnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah dengan ayahnya. Berkaitan dengan itu diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tersebut hendaklah dibaca : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Jadi pada intinya bahwa MK memutuskan anak luar kawin secara otomatis akan mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya sepanjang bisa dibuktikan, dengan ibu dan kedua keluarga orang tua biologisnya. Putusan ini mesti harus ditindak lanjuti oleh Negara sebagai lembaga yang memberikan perlindungan kepada anak. Tindakan yang perlu dilakukan oleh Negara yakni merevisi Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dan juga Pasal 100 KHI, agar dapat mengcover putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Disamping itu, Negara mestinya harus membuat Peraturan Pemerintah yang mengatur proses administrasifnya, sehingga jelas apa yang harus dilakukan baik oleh orang tua maupun anak luar kawin agar tercipta hubungan antara orang tua dan anak luar kawinnya. Perlu diingat pula bahwa ada kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan hukum pada anak, termasuk didalamnya anak luar kawin. Hal ini telah ditetapkan pada UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Undang-Undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, Undang-Undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut : a. nondiskriminasi; b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan. 1.3 Tindakan Yang Dilakukan Oleh Orang Tua Sehubungan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi N0 46/PUU-VIII/2010
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki
kekuatan hukum
mengikat dan isi Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menjadi : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Pertimbangan Mahkamah Konstitusi memutuskan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan bertolak dari pandangan, bahwa pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan
sahnya
perkawinan
dan
pencatatan
merupakan
kewajiban
administratif yang diwajibkan berdasarkan Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Sehubungan dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi seperti halnya diatas, maka yang dilakukan oleh orang tua untuk membuktikan asal-usul anak adalah ibu bisa minta penetapan ke Pengadilan tentang asal-usul anak sebagaimana tersebut dalam Pasal 55 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa “asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran
yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.” Bila akte kelahiran tersebut tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. Dengan demikian maka jika terbukti ada hubungan biologis antara ayah dengan anak, maka secara normatif berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, ada tanggung jawab ayah biologis terhadap anak baik dalam hal sandang, pangan, nafkah, maupun pendidikan. Atas dasar itu, dapat diajukan gugatan pada ayah biologisnya guna pemenuhan kebutuhan tersebut. Karena putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak secara serta merta dilaksanakan dalam praktek (karena belum ada Peraturan Pemerintah yang melaksanakan putusan tersebut), maka agar dapat merealisasikan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan melalui lembaga Pengakuan Anak meskipun secara normatif
tidak diperlukan. Hal ini mengingat bahwa
pelaksanaan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan pun secara administratif dalam prakteknya masih diperlukan pengakuan anak.5
5
Wawancara dengan Burhanudin SH, Sk.Menag/Kepala BPN, Notaris-PPAT Salatiga, pada tanggal 6 februari 2014