BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A.
Pertimbangan Hakim Sejalan Menurut Pendekatan Teori Kualifikasi Lex Causae 1. Pentingnya Lex Causae pada penyelesaian sengketa HPI Pada dasarnya kualifikasi lex causae merupakan lex fori yang diperluas. Dikatakan lex fori yang diperluas karena di dalamnya menggali kaedah-kaedah yang lebih relevan dengan kasus/ perkara berdasarkan sistem hukum tertentu. Urgensi lex fori yang diperluas yaitu dalam hal ini lex causae sebab suatu alasan bahwa sistem hukum tertentu belum lengkap atau bahkan tidak ada klasifikasi sistem yang tepat untuk menyelesaikan perkara dalam sistem hukum intern. Oleh karena itu kualifikasi lex causae menjadi pilihan yang tepat sebagai sistem yang dipilih/ ditunjuk karena dianggap masih lebih bisa mengakomodir fakta-fakta hukum suatu perkara. Argumen selanjutnya adalah bahwa ketika terjadi suatu kekosongan hukum maka hakim tidak dapat terikat secara kaku pada konsep lex fori saja, sebab harus dilihat pula cakupan peristiwa/ hubungan hukum yang sejenis dari suatu sistem hukum lain. 1 Pada kasus ini, hakim melakukan analogi dari peristiwa/ hubungan hukum sebagaimana dalam pertimbangannya terdapat beberapa contoh kasus yang dijadikan kasus pendukung terhadap argumentasi dalam menentukan lex causae. 1
Ibid., h. 14.
Penyelesaian suatu perkara Hukum Perdata Internasional (HPI) dengan kata lain disebut juga suatu penyelesaian hukum perselisihan. Dalam konsep penyelesaian hukum perselisahan, hal demikian melibatkan pranata hukum yang disebut titik taut dan kualifikasi. Dengan demikian, dapat dicermati tujuan penggunaan metode ini ialah tidak lain untuk menentukan hukum yang seharusnya berlaku atas suatu perkara tertentu, itulah yang dinamakan lex causae.2 Seperti halnya yang telah penulis ungkapkan sebelumnya, bahwa dalam suatu perkara HPI akan selalu bersinggungan dengan adanya unsur asing (foreign elements). Oleh sebabnya, forum yang menghadapi suatu perkara tidak dapat mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yaitu salah satunya bahwa lex fori bukanlah satu-satunya sistem hukum yang otomatis harus diberlakukan dalam penyelesaian perkara. Ada kebutuhan untuk menentukan sistem hukum manakah di antara sistemsistem hukum yang relevan, dan yang seharusnya atau bahkan yang lebih tepat untuk diberlakukan dalam penyelesaian perkara HPI. Kebutuhan inilah yang memberi arti pentingnya lex causae.
2. Hasil kualifikasi terhadap Perkara Ketika melihat cara berpikir hakim dalam menyelesaikan perkara, dapat dilihat pula bagaimana alur pendekatan yang digunakannya. Perlu disadari bahwa sebagaimana hakekat HPI sebagai kaidah penunjuk maka di dalamnya memuat titik taut apa yang harus digunakan sebagai titik
2
Ibid., h. 81.
taut penentu dalam rangka menetapkan hukum yang akan diberlakukan. Dengan penentuan seperti itu baik melalui titik taut penentu dapat dipahami pendekatan kualifikasi seperti apa yang dipegang hakim. Tahap kualifikasi tentunya merupakan bagian dari sebuah sistem prosedur penyelesaian perkara. Oleh karena itu, untuk membahas lebih lanjut mengenai pendekatan kualifikasi yang digunakan hakim maka sebagai suatu sistem, akan dibahas juga prosedur penyelesaian perkaranya3. Digambarkan secara sederhana, langkah pertama dari langkah umum penyelesaian yakni menyusun kasus posisi dari perkara. Pada tahap ini, dikumpulkan semua fakta dan informasi yang relevan (melakukan kualifikasi fakta) dan kemudian disusun ke dalam suatu urutan kejadian yang sistematis. Kasus ini kurang lebih kasus posisinya ialah sebagai berikut:
Kasus menyangkut Kartika Thahir dan Pertamina (Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara). Kartika WN Indonesia, Pertamina merupakan perusahaan negara Republik Indonesia.
Kartika Thahir dianggap memiliki uang dari H. achmad Tahir (suaminya) yang diduga merupakan hasil suap ketika suaminya memegang jabatan di Pertamina.
Uang tersebut (objek sengketa) terdapat di Singapura dalam hal ini Bank Sumitomo.
3
Ibid., h. 69 – 71.
Pertamina mengklaim uang tersebut sebagai uang negara karena dianggap merupakan hasil suap.
Kartika melakukan gugatan di Pengadilan Singapura (Court of Appeal). Gugatan lahir sehubungan juga dengan putusan sebelumnya di Pengadilan Singapura (High Court). Kemudian, langkah berikutnya ialah menentukan ada tidaknya
peristiwa hukum perselisihan. Langkah ini berdasarkan langkah sebelumnya yaitu ketika dikumpulkan fakta dan informasi yang relevan yang telah disusun secara sistematis. Berdasarkan fakta-fakta dalam kasus tersebut ditentukan apakah terdapat fakta yang mempertautkan perkara dengan lebih dari satu sistem hukum/ kaidah hukum/ peraturan (“mencari titik-titik taut primer”). Ketika perkara tersebut memiliki titik taut primer, maka barulah timbul kebutuhan untuk menyelesaikan perkara dengan menggunakan metode pendekatan HPI. Penentuan titik taut primer dapat dilihat jika adanya unsur asing (foreign elements) dalam perkara. Dari gambaran singkat kasus posisi, maka bisa dikatakan terdapat unsur asing. Para pihak dari Indonesia, namun objek sengketanya maupun forumnya di Singapura. Selanjutnya, menentukan masalah hukum utama yang muncul dalam
perkara.
Dalam
tahap
ini
biasanya
ditentukan
pokok
gugatan/permohonan, pokok yang dipersengketakan oleh para pihak, hubungan hukum yang mengikat para pihak, dan seterusnya. Dari penentuan masalah hukum utama ini, akan dapat ditemukan atau disimpulkan apa yang merupakan kualifikasi hukum dari perkara. Dalam
kasus ini masalah hukumnya ialah ketika beberapa deposit ACU Kartika Ratna Thahir dianggap hasil suap. Pertamina sebagai badan usaha milik negara Indonesia mengklaim uang dalam deposit tersebut. Lalu, langkah untuk menentukan titik taut sekunder dari perkara. Dari perkara yang dihadapi harus dicari fakta penentu untuk menunjuk hukum yang menyelesaikan perkara. Dalam kasus ini, perkara antara Kartika Ratna Thahir dengan Pertamina di mana objek sengketanya di Singapura. Di sinilah tahap yang nantinya akan berbicara mengenai pendekatan kualifikasi yang dilakukan hakim terhadap perkara. Penulis menyatakan bahwa pendekatan kualifikasi yang digunakan hakim ialah model pendekatan kualifikasi Lex Causae. Pada dasarnya, putusan hakim untuk menentukan hukum yang tepat sebagai lex causae berangkat dari Rule 201 ayat (1) jo ayat (2) poin c, di mana menyatakan: Rule 201 ayat (1) “the obligation to restore the benefit of an enrichment obtained at another person‟s is governed by the proper law of the obligation.”; ayat (2) poin c “if it arises in any other circumstances, its proper law is the law of the country where the enrichment occurs”. Intinya, menggambarkan bahwa hukum yang pantas untuk diterapkan pada perkara bersangkutan adalah hukum di mana „memperkaya‟ itu terjadi. Dalam hal ini terjadi di Singapura (bank cabang Singapura). Ketika menggunakan Rule 201 sebagai acuan, ditemukan bahwa hakim tidak mengutamakan kedaulatan forumnya sebagai hukum yang harus digunakan dalam penyelesaian perkara. Penggunaan ketentuan tersebut membuka kemungkinan ditunjuknya sistem hukum lain sebagai lex
causae lepas dari apakah ketika diterapkan ujung-ujungnya akan menunjuk hukum dari forum itu sendiri. Jalan berpikir seperti ini berbanding jauh dengan prinsip yang dipegang ketika menggunakan pendekatan kualifikasi lex fori yang mana hakim secara langsung menetapkan sistem hukum forumnya yang harus dipakai dalam menyelesaikan perkara tanpa memperkatikan apakah sistem hukum asing lain yang lebih pantas. Secara tersirat, melalui Rule 201, hakim tidak serta merta menentukan penggunaan hukum forumnya namun membuka pintu bagi sistem hukum lain untuk diterapkan. Proses berikutnya yang merupakan tahap akhir yaitu penyelesaian kasus. Tahapan terakhir ini ialah dengan menjawab isu-isu hukum dalam perkara. Pada putusan yang menjadi unit amatan penulis terdapat 4 (empat) isu hukum, yaitu 1) apakah harus ada klaim kepemilikan; 2) apakah deposito adalah hasil suap; 3) hukum manakah yang mengatur (the governing law); dan 4) apakah klaim pertamina merupakan hal terkait kepemilikan. Jawaban dari isu pertama apakah harus ada klaim kepemilikan, bahwa Pertamina harus menunjukkan bahwa mereka memiliki klaim kepemilikan terhadap uang-uang itu. di bawah sistem hukum yang mengatur klaim tersebut. Isu kedua mengenai apakah deposito adalah hasil suap, jawabannya ialah semua 17 deposit ACU merupakan hasil suap. Isu ketiga pula terjawab bahwa hukum Singapura yang mengatur. Kemudian, isu terakhir mengenai apakah klaim pertamina merupakan hal terkait kepemilikan, bahwa klaim terhadap
uang tersebut bukan terkait klaim kepemilikan (proprietary claim) tetapi klaim perseorangan (personal claim). B.
Penentuan lex causae sebagai The Proper Law/ The Governing Law Dalam hal penentuan hukum yang tepat untuk diberlakukan sebagai lex causae, maka hakim memiliki dasar dan acuan. Dasar dan acuan tersebut menjadi salah satu yang utama pada alur berpikir hakim untuk menentukan lex causae. Berangkat dari dasar tersebut, hakim bisa membangun sebuah konstruksi argumentasi untuk menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum yang akan diberlakukan Doktrin Rule 201 yang dimunculkan Dicey & Morris merupakan persoalan pokok ketika hakim membangun argumentasi. Rule 201 digunakan sebagai fondasi dasar dalam menentukan lex causae. Oleh karena itu, akan dibahas lebih jauh mengenai Rule 201 serta kaitannya pula dengan penentuan lex causae. 1. Rule 201 – Dicey & Morris on the Conflict of Laws (12th Ed. 1993) Kaedah yang terkandung dalam Rule 201 merupakan salah satu argumen yang penting dalam menentukan dan menjawab isu hukum mana yang akan berlaku pada perkara ini. Bunyi dari Rule 201 adalah sebagai berikut. Rule 201 1) The obligation to restore the benefit of an enrichment obtained at another person‟s expense is governed by the proper law of the obligation. 2) The proper law of the obligation is (semble) determined as follows:
a. If the obligation arises in connection with a contract, its proper law is the proper law of the contract; b. If it arises in connection with a transaction concerning an immovable (land), its proper law is the law of the country where the immovable is situated (lex situs); c. If it arises in any other circumstances, its proper law is the law of the country where the enrichment occurs. Melalui Rule 201 akan dapat ditentukan mana hukum yang pantas diberlakukan. Terdapat beberapa kategori yang bisa ditarik dari Rule 201 sehubungan dengan situasi dan kondisi di mana hukum yang berlaku akan berbeda ketika latar belakang sebuah kontrak atau transaksi itu berbeda. Misalnya Pasal 2 poin (a), menyebutkan bahwa hukum yang pantas diberlakukan adalah hukum yang tepat dari konrak ketika kewajiban timbul sehubungan dengan kontrak. Pasal 2 poin (b), hukum yang tepat ialah hukum negara di mana benda tak bergerak itu terletak (lex situs) jika transaksi mengenai sebuah benda tak bergerak (misalnya: tanah). Kemudian, Pasal 2 poin (c) yaitu bahwa hukum yang tepat adalah hukum hukum negara di mana tindakan memperkaya diri itu terjadi, hal ini berlaku saat muncul dalam keadaan lain (in any other circumstances). Namun, perlu juga diingat bahwa argumen yang digunakan dalam menentukan lex causae bukan hanya Rule 201. Kaedah tersebut hanya salah satu dari sekian justifikasi yang memang menjadi hal paling penting untuk diperhatikan. Dalam hal ini, tentunya pertimbangan penggunaan kaedah tersebut ditentukan juga oleh para
hakim terkait perkara. Pada putusan jelas dikemukakan bahwa Rule 201 yang mana akan memberikan bimbingan/ pedoman (guidance) pada the applicable law dalam hal ganti-rugian (restitusi) bahwa akan menegaskan hukum yang tepat untuk diberlakukan terkait dengan perjanjian (obligation). Dengan demikian, melihat betapa pentingnya kaedah dalam Rule 201 maka pada subjudul berikutnya akan dibahas mengenai keterhubungannya dengan bagaimana penentuan lex causae. a. Keterkaitan Rule 201 dengan penentuan Lex Causae Sebelumnya telah dibahas mengenai isi dari Rule 201 berkaitan dengan suatu justifikasi dalam penentuan lex causae pada perkara terkait. Di sini akan dijelaskan bagaimana keterkaitan Rule 201 sehingga digunakan sebagai acuan dalam menentukan hukum yang diberlakukan. Jelas perihal paling utama yaitu kaitannya dengan penentuan lex causae bahwa dalam Rule 201 terdapat kaedah yang berhubungan dengan ganti kerugian dalam hal akan menegaskan hukum yang tepat untuk digunakan (lex causae) dilihat dari perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud ialah mengenai isi dari Rule 201, apakah itu mengenai kewajiban yang timbul dari kontrak, mengenai benda tak bergerak, atau terkait perbuatan hukum yang timbul dalam situasi dan kondisi yang lain (in any other circumstances). b. Ruang lingkup (skopa) Rule 201 Pasal (2) poin (a) Bahasan tentang ruang lingkup Rule 201 (a) yang bunyinya: “If the obligation arises in connection with a contract, its proper law is the
proper law of the contract”, merupakan salah satu hal pokok yang perlu dijelaskan. Penjelasan yang nantinya akan memberikan gambaran tepat tidaknya jika digunakan sebagai acuan dalam penentuan lex causae. Dalam hal ini akan digambarkan skopa kaedah pada Rule 201 (2) (a) yang adalah batasan sehingga disandingkan dengan kesesuaian berkaitan dengan perkara khususnya perbuatan hukum di dalamnya. Pada putusan yang bersangkutan dinyatakan ruang lingkup/ skopa/ batasan Rule 201 (2) (a) menurut Dicey & Morris bahwa: Although the obligation to restore an unjust benefit does not arise from a contract, it may, and very frequently does, arise in connection with a contract. This is the case where a party seeks to recover money paid pursuant to an ineffective contract, eg by reason of a total failure of consideration or as a repayment of money paid under an illegal contract or where he claims a quantum meruit for work done or services rendered under a contract which turned out to be void. In all these and similar cases, it is submitted that the existence and the scope of the obligation to restore the benefit are governed by the law which governs the contract, or by what would have been the governing law of the contract, if it had been validly concluded.4
Berangkat dari pernyataan tersebut, juga argumen dalam putusan, jelas tidak mungkin untuk mengatakan bahwa pengembalian hasil suap termasuk dalam kategori pengembalian uang yang terbayarkan
4
Putusan Kartika Ratna Thahir v PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina), Suit No: CA 204/ 1992, poin. 33.
menurut sebuah kontrak yang tidak efektif (ineffective contract) atau dalam hal ini menyangkut kasus bersangkutan.
2. Kasus-kasus Pendukung (precedent/ yurisprudensi) menentukan lex causae Di dalam putusan, terdapat pula beberapa kasus yang dalam hal ini dijadikan justifikasi atau argumen-argumen pendukung dalam rangka menentukan lex causae. Kasus-kasus yang dimaksud juga berkaitan dengan penguatan terhadap penafsiran Rule 201 yang tidak lain dan tidak bukan merupakan acuan utama dalam penentuan sistem hukum manakah yang akan diberlakukan. Kasus-kasus pendukung tersebut adalah sebagai berikut. a. T Mahesan s/o Thambiah v Malaysia Government Officers’ Cooperative Housing Society Ltd5 Dalam kasus ini, pada pokoknya menyatakan bahwa terkait dengan agen/ representasi dari sebuah institusi yang telah disuap, prinsipnya adalah, seperti terhadap penyuap (the briber) dan yang diberi suap (the agent bribed), memiliki 2 (dua) solusi yang berbeda. Pertama, mungkin pengembalian suap sebagai money had and received, kemudian yang kedua, mungkin memulihkan kembali kerugian karena sebuah penipuan (fraud), di mana dapat memulihkan sejumlah kerugian yang sebenarnya sebagai akibat dari keterlibatan dalam transaksi yang mana suap itu diberikan.
5
Ibid., poin. 35.
Pada prinsipnya, hak untuk memulihkan/ memperoleh kembali jumlah dari hasil suap dari agen tidak tergantung pada kerugian yang terjadi sebagai hasil dari tindakan atau kelakuan si agen. Akan tetapi, pemberian suap yang telah diperlakukan dalam equity as constructive fraud sebagai bagian dari pemberi dan di mana itu telah diberikan sehubungan dengan kontrak/perjanjian di antara pelaku utama (the principal) dan si penyuap, pelaku utama berhak untuk membatalkan kontrak. b. Bagnall v Carlton and Mayor, Alderman and Burgesses of the Borough of Salford v Lever6 Kewajiban (liability) dari pemberi suap terhadap pelaku utama/ pihak atas kerugian dibayarkan olehnya sebagai akibat dari keterlibatan dalam kontrak yang mana suap yang telah diberikan merupakan pengembangan rasional dari hak pendahulunya untuk pembatalan kontrak menurut prinsip equity. Dari kasus tersebut maupan kasus sebelumnya, jelas dalam putusan bahwa dasar dari klaim pada faktanya itu equity dianggap pemberian dari suap sebagai penipuan yang terkonstruksi sebagai bagian dari pemberi, dan seperti agen yang disuap merupakan bagian integral dari sebuah penyuapan (bribery), ini berarti bahwa penerimaan suap adalah sama penipuan yang terkonstruksi pada bagian dari agen yang disuap. Sehingga dalam pandangan hakim bahwa klaim yang dimaksud dalam kasus ini adalah equity. Maka dari itu, argumen
6
Ibid., poin. 36.
demikian juga merupakan penguatan atas pertimbangan dari putusan hakim sebelumnya. c. Trustee of the Property of the Bankrupt v D Pennelier & Co Ltd7 Fakta hukumnya adalah demikian: “There, an action for money had and received was brought by the trustee in bankruptcy to recover, inter alia, moneys paid out by the bankrupt‟s agent to the defendant (a French company) after the date of the receiving order. The main question was whether leave to serve the writ out of jurisdiction under O 11 of the English RSC should be granted. The arguments before the court raised, inter alia, the question whether such a claim fell within what is now the English RSC O 11 r 1(1)(d) on the basis that the quasi-contractual obligation of the French company to restore the payments to the trustee fell to be treated as “made” in England and therefore governed by English law. Sir Nicolas BrowneWilkinson V-C did not regard such obligation as made or arising in England, notwithstanding the fact that payment in that case was made pursuant to a contract between the bankrupt and the French company. He held that r 201(2)(c) in Dicey & Morris was “sound in principle” and applied it. He said, at p 495: As at present advised, I am of the view that quasi-contractual obligations of this kind arise from the receipt of the money. I find it difficult to see how such obligation can be said to be „made‟ or „arise‟ in any place other than that of the receipt. As to the proper law, Dicey & Morris, The Conflict of Laws (10th Ed, 1980), p 921, expresses the view that, save in cases where the 7
Ibid., poin. 38.
obligation to repay arises in connection with a contract or an immoveable, the proper law of the quasi-contract is the law of the country where the enrichment occurs. This accords with the American Restatement and seems to me to be sound in principle. Berangkat dari kasus ini, suatu kaedah yang ditemukan ialah kecuali dalam kasus di mana kewajiban untuk membayar timbul sehubungan dengan kontrak atau benda tidak bergerak (immovable), hukum yang tepat dari kuasi-kontrak adalah hukum negara di mana pengayaan terjadi8. d. Hongkong and Shanghai Banking Corp Ltd v United Overseas Bank Ltd There, U, an employee of the plaintiffs in their branch in Manila, transferred moneys belonging to the plaintiffs from their branch in Manila to New York and finally to Singapore. U then collected a substantial part of the funds by means of separate demand drafts, one of which was for the sum of US$200,000. The draft for US$200,000 was used to establish an ACU account with the defendants. The plaintiffs sought a declaration that they were entitled to the moneys in the ACU account with the defendants. One of the issues raised was: what law governed the plaintiffs‟ claim to the money?9 Terkait kasus ini, jawaban dari sebuah pertanyaan sehubungan dengan hukum apa yang akan diberlakukan, bahwa hukum dari kewajiban untuk mengembalikan suatu manfaat dari sebuah tindakan memperkaya (enrichment) adalah hukum di mana tindakan memperkaya itu terjadi.
8 9
Ibid. Ibid., poin. 39.
e. El Ajou v Dollar Land Holdings plc10 There, the plaintiffs owned substantial funds and securities which were under the control of an investment manager in Geneva who had been bribed to invest the moneys in fraudulent share selling schemes operated by three Canadian companies. The proceeds of the fraudulent share selling schemes were channelled through various countries, Geneva, Gibraltar, Panama and back through Geneva from which some were invested in a company, DLH, in London. The plaintiffs, on discovering the fraud, brought an action against DLH to recover the money which the latter had received, alleging that DLH received it with knowledge that it represented the proceeds of fraud. One of the arguments raised by counsel for DLH was that the plaintiffs‟ claim depended on the continuing subsistence of his equitable title to the money and this could not be established where the money had passed through the hands of recipients in civil law jurisdictions which did not recognize the concept of equitable ownership. Millett J rejected this argument and said at p 736: In my judgment, it is misconceived. For technical reasons, the plaintiffs‟ claim is brought in equity, where it is of a kind generally described as a case of „knowing receipt‟. This is the counterpart in equity of the common law action for money had and received. Both can be classified as receipt-based restitutionary claims. The law governing such claims is the law of the country where the defendant received the money: see Dicey and Morris, The Conflict of Laws (11th Ed, 1987), r
10
Ibid., poin. 47.
203(2)(c), and Chase Manhattan Bank NA v Israel-British Bank (London) Ltd [1979] 3 All ER 1025, [1981] Ch 105. Whatever money or property DLH received was received by it in England and, accordingly, the plaintiffs‟ claim falls to be governed by English law, including principles of equity. Pada pokoknya, bertimbangan dari Millet J mengatakan hukum yang berlaku atas klaim-klaim tersebut adalah hukum di mana tergugat menerima uang. Berdasar pada beberapa contoh kasus di atas, maka dapat disimpulkan beberapa poin pokok yakni terkait penyuapan yang mana menjadi klaim Pertamina terhadap Kartika Thahir, kemudian terkait the governing law/ the proper law atau dalam hal ini lex causae yang mana hukum yang diberlakukan adalah hukum di mana enrichment terjadi.
C.
Hukum Singapura (Singapore Law) merupakan lex causae (The Proper Law/ The Governing Law) 1. Konflik antara sistem hukum Singapura dan sistem hukum Indonesia Hakekat hukum perdata internasional (conflict of laws) telah diketahui bersama ialah penunjukan. Penunjukan dimaksud dalam rangka mencarai solusi penyelesaian ketika terdapat unsur asing (foreign element) dalam suatu perkara. Artinya, ketika berbicara mengenai conflict of laws maka sebenarnya berbicara pula adanya lebih dari 1 (satu) sistem hukum yang membutuhkan kepastian nantinya hukum mana yang akan diberlakukan sebagai lex causae. Dalam hal ini, pada putusan Kartika Ratna Thahir v PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Negara (Pertamina), Suit No: CA 204/ 1992, terdapat 2 (dua) sistem hukum
yang berbeda yang mana para hakim dengan pertimbangannya dalam memutuskan harus menentukan hukum mana yang berlaku khususnya terkait klaim Pertamina. Sistem hukum yang dimaksud ialah sistem hukum Singapura dan sistem hukum Indonesia. Menjawab sebuah pertanyaan bahwa mengapa terkait beberapa sistem hukum yang berbeda, dalam kasus ini terdapat beberapa perbuatan hukum yang dilakukan baik itu hubungannya dengan hukum Singapura
maupun
hukum
Indonesia.
Seperti
telah
dijelaskan
sebelumnya bahwa dalam kasus ini Pertamina mengklaim akun deposit Kartika Tahir yang dianggap hasil suap. Akun deposit yang dimaksud berada pada salah satu bank cabang Singapura yang bernama Sumitomo Bank Ltd. Dalam hal ini, isu substantif terkait hukum yang akan diberlakukan bukan hanya mengenai hukum Singapura sehubungan dengan deposit di bank cabang Singapura, tetapi juga hukum Indonesia berkaitan dengan aksi penyuapan (bribery) dan aktivitas melawan hukum Gen Thahir ketika dia menjabat di Pertamina. Oleh sebab itulah maka terjadi suatu konflik sistem hukum antara Singapura dan Indonesia, yang mana diperlukan suatu penyelesaian berdasarkan kaedah Hukum Perdata Internasional (HPI).
2. Penentuan Hukum Singapura sebagai lex causae berdasarkan Rule 201 Pasal (2) poin (c) Seperti halnya yang telah dibahas mengenai penentuan lex causae, acuan atau pedoman utama dalam menentukannya adalah melalui kaedah yang terdapat di dalam Rule 201. Pada sub-pokok bahasan ini Penulis akan lebih mengerucutkan pembahasan agar lebih terfokus yaitu seputar Rule 201 Pasal (2) poin (c). Fokus yang diarahkan ini karena memperhatikan peran kaedah tersebut adalah sangat penting ketika ditentukan bahwa hukum Singapura yang akhirnya menjadi lex causae. Rule 201 Pasal (1) jo Pasal (2) poin (c) menyatakan bahwa: “The obligation to restore the benefit of an enrichment obtained at another person‟s expense is governed by the proper law of the obligation; The proper law of the obligation is (semble) determined as follows: If it arises in any other circumstances, its proper law is the law of the country where the enrichment occurs”. Pada Rule 201 sebetulnya terdapat kaidah lainnya yaitu ketika kewajiban timbul berhubungan dengan kontrak (in connection with a contract), kemudian ketika transaksi melibatkan suatu benda tak bergerak (immovable). Penentuan hukum Singapura tidak berdasarkan kedua kaedah lainnya itu dikarenakan, pertama, kewajiban tidak timbul sehubungan dengan kontrak namun oleh karena keadaan lain (in any other circumstances), kedua, bahwa kewajiban tidak timbul dalam suatu transaksi yang melibatkan benda tak bergerak.
Argumen berikutnya mengapa hukum Singapura yang ditentukan sebagai lex causae (the proper law/ the governing law), bahwa enrichment terjadi di Singapura. Sumitomo Bank Ltd yang merupakan cabang bank Singapura menjadi tempat 17 ACU deposit Kartika Thahir, yang mana Singapura merupakan negara yang secara aktif “digunakan” sebagai pusat pengumpulan hasil suap. Justifikasi bahwa hukum yang diberlakukan adalah di mana enrichment terjadi juga dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya mengenai kasus-kasus pendukung sehingga ditentukannya lex causae. Dengan demikian, ketika melihat penerapan kaedah tersebut maka, penentuan hukum Singapura sebagai lex causae berdasarkan pada lex locus actus (tempat perbuatan dilakukan. Baca: enrichment).