11
BAB III BAHAN DAN METODE
3.1 Lokasi dan Waktu Studi Studi mengenai perencanaan lanskap pasca bencana ini dilakukan di kawasan Situ Gintung dengan luas areal 305,7 ha, yang terletak di Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten (Gambar 3). Penelitian ini berlangsung kurang lebih selama empat bulan. Dimulai pada awal bulan Juni 2010 s.d. akhir September 2010.
Tol Jakarta - Merak
Provinsi Banten Kawasan Tangerang Selatan
Kawasan Studi
Gambar 3 Lokasi Studi (Sumber : wikimapia.org)
12
3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, alat tulis, meteran (alat ukur), kamera digital, kalkulator, dan pengolahan data menggunakan software Auto CAD, Photoshop, GIS (Geographic Information System) dalam hal ini software Arcview, serta menggunakan Hardware berupa Personel Computer (PC).
3.3 Batasan Studi Batasan studi dari penelitian ini sampai pada tahap perencanaan tata ruang di kawasan Situ Gintung. Perencanaan ini akan membagi kawasan menjadi tiga satuan lahan yang memiliki tujuan utama mengembalikan fungsi awal Situ Gintung sebagai penyedia air bersih dan sebagai daerah resapan air. Lokasi penelitian atau tapak yang akan direncanakan merupakan daerah resapan Situ Gintung, yaitu mencakup daerah-daerah yang memiliki potensi mengalirkan air ke situ gintung dan mempengaruhi ekosistem situ itu sendiri. Secara administratif batas perencanaan ini mencakup wilayah kelurahan Cirendeu dan sebagian kecil wilayah kelurahan Pisangan Barat. Pertimbangan batas perencanaan didasarkan pada sejauh area di sekitar situ berpengaruh pada ekosistem situ. Berdasarkan data daerah tangkapan air Situ Gintung yang didapat dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang Selatan dan cek lapang ke lokasi serta wawancara dengan warga, maka didapatkan area perencanaan kawasan Situ Gintung (Gambar 5).
13
Gambar 4 Peta Banten (Sumber : Gambar melalui Google.com)
Tanpa Skala
Gambar 5 Area Perencanaan Kawasan Situ Gintung (Sumber : Wikimapia.org) Batas perencanaan dari penelitian ini mencakup wilayah hulu dan hilir Situ Gintung. Untuk wilayah hulu situ meliputi badan air (cekungan situ) dan kawasan sekitar situ. Sedangkan untuk wilayah hilir meliputi daerah aliran Situ Gintung yang menuju Sungai Pesanggrahan beserta area di sekitar kawasan hilir yang merupakan area terdampak dari bencana longsor situ gintung. Berikut merupakan peta dasar rencana lanskap pasca bencana kawasan Situ Gintung yang sudah diregistrasi (Gambar 6).
14
Gambar 6 Peta Dasar Perencanaan Lanskap Kawasan Situ Gintung (Sumber : www.wikimapia.org)
3.4 Metode Penelitian Metode yang digunakan untuk merencanakan
lanskap kawasan pasca
bencana ini merupakan metode survei dengan mengikuti proses tahapan
15
perencanaan seperti pada umumnya, dimulai dari inventarisasi (pengambilan data), analisis, sintesis, kemudian perencanaan. 3.5 Proses Perencanaan Perencanaan disusun melalui beberapa tahapan sebagaimana disajikan pada Gambar 7. I N V E N T A R I S A S I
A N A L I S I S
LANSKAP SITU GINTUNG
Topografi
Jenis Tanah
Peta Kemiringa n Lahan
Peta Jenis Tanah
Hidrologi
Badan Air
Perda No 12 Tahun 2006 tentang Kawasan Penyangga
Penyangga2 Situ
Satuan Lahan Pengelolaan Air
P E R E N C A N A A N
Peta Intensitas Rata-rata Harian Curah Hujan
SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/1980 tentang Penetapan Kawasan Lindung
Titik Pasang
S I N T E S I S
Iklim
Skoring
Kawasan Lindung, Kawasan Penyangga1, Kawasan Budidaya
Satuan Lahan Penyangga (1&2)
Rencana Lanskap Kawasan Situ Gintung Pasca Bencana
Gambar 7 Tahapan Penelitian
Penutupan Lahan
Analisis Spasial dan Deskriptif
Metode Rasional
Analisis Ketersediaan Air dan Kebutuhan Air Masy.
Luas Kebutuhan RTH
Satuan Lahan Pengembangan
Flora & Fauna
Analisis Deskriptif
16
3.5.1 Persiapan dan Inventarisasi Persiapan Pada tahap ini dilakukan persiapan awal berupa penetapan tujuan perencanaan, penentuan rincian kegiatan apa saja yang dilakukan untuk target waktu tertentu, pengumpulan data sekunder yang diperlukan untuk menyusun perencanaan tapak. Data sekunder ini berupa data spasial, deskriptif, maupun tabular. Berikut merupakan data yang akan diambil untuk kelengkapan bahan penelitian (Tabel 1). Tabel 1. Jenis, Interpretasi dan Sumber Data No
Aspek
Interpretasi Data
Sumber Spasial
1
2
Umum Letak dan batas wilayah
Batas lokasi studi
Peta Wilayah dan Peta batas Administratif (BAPPEDA)
V
Luas wilayah
Luas wilayah studi
Informasi Situ Gintung (BAPPEDA)
V
Tata guna lahan
Perumahan Perdagangan Pertanian Rekreasi Peruntukan lainnya
Peta Penggunaan Lahan (BAPPEDA)
Penutupan Lahan
Penutupan lahan
Interpretasi Citra Satelit
V
Aksesibilitas Biofisik Tanah
Sirkulasi
Citra Satelit, BAPPEDA
V
Jenis Tanah Tekstur Tanah
Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane (BBWS)
Topografi
Kemiringan, Elevasi dan relief
Peta Rupa Bumi Indonesia (Bakosurtanal) dan BBWS
Iklim
Curah hujan (2001 - 2009) Angin Suhu Kelembaban
Data Iklim (BMG)
Hidrologi
Ketinggian muka air tanah, Ketinggian muka air situ, Debit air, Kualitas air, Amblesan karena turunnya air bawah tanah
Informasi Data Hidrologi (Pekerjaan Umum Pengairan, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane), Cek Lapang.
Jenis Tekstual
V
V
V
V
V
V
V
17
Lanjutan Tabel 1. Vegetasi dan Satwa
Jenis Vegetasi, Satwa
3
Aspek Sosial
Demografi
Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane (BBWS) BPS
4
Aspek Legal
Peraturan terkait
Dokumen Peraturan
V V V
Inventarisasi Pada tahapan inventarisasi ini dilakukan studi pustaka untuk menyusun informasi pendahuluan berupa peta dasar dan informasi pendukung lainnya, seperti batas tapak, peta batas daerah aliran sungai (DAS), peta kemiringan lahan, peta penggunaan lahan, dan peta penutupan lahan. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan pengukuran pada tapak dan wawancara dengan pihak-pihak terkait, yaitu pemerintah Kota Tangerang Selatan, khususnya di kawasan Situ Gintung, masyarakat sekitar Situ Gintung, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung dan Cisadane, Badan Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan, dan pihak terkait lainnya. Adapun pengambilan data ini meliputi aspek biofisik dan sosial. Sedangkan untuk data sekunder diperoleh melalui studi dari berbagai sumber pustaka. Pada tahap ini dilakukan pengecekkan terhadap data yang dihasilkan mengenai penggunaan dan penutupan lahan. Pengumpulan data sekunder seperti iklim, hidrologi, topografi, tanah, dan aspek legal yang akan disusun ke dalam peta tematik yang meliputi peta kemiringan lahan, tanah, intensitas curah hujan harian, dan penutupan lahan. Berikut ini merupakan penjelasan beberapa peta yang akan dikumpulkan. a. Topografi Informasi mengenai peta kontur di lokasi penelitian yang digunakan untuk membuat peta kemiringan lahan. b. Jenis Tanah Pengumpulan informasi mengenai jenis tanah di lokasi penelitian yang diperoleh dari Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane dan Badan Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan. Informasi jenis tanah ini digunakan sebagai bahan pembuatan peta jenis tanah.
18
c. Iklim Informasi mengenai iklim di lokasi penelitian, dalam hal ini diperlukan data tentang intensitas curah hujan harian rata-rata di lokasi penelitian untuk pembuatan peta tematik curah hujan. d. Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan disusun berdasarkan interpretasi visual Citra Satelit dari peta citra Google Earth yang telah melalui proses georektifikasi. Klasifikasi penutupan lahan dibedakan ke dalam : badan air, area terbangun, vegetasi (pepohonan), lahan kosong dan hamparan rumput. e. Hidrologi Informasi hidrologi yang dikumpulkan berupa inlet dan outlet Situ Gintung serta titik pasang tertinggi situ. f. Flora dan Fauna Pengumpulan data vegetasi dan satwa yang ada di lokasi penelitian di dapat dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air dan pengamatan lapang penulis di tapak. g. Aksesibilitas Melalui peta citra yang kawasan Situ Gintung yang telah didapatkan dapat diketahui aksesibilitas yang ada pada kawasan Situ Gintung yang direncanakan, hal ini dapat menjelaskan sistem sirkulasi kawasan situ gintung.
3.5.2 Analisis Tahapan ini dilakukan dengan menganalisis data dan informasi yang telah dikumpulkan, hal ini dilakukan terhadap berbagai aspek dan faktor yang mempengaruhi tapak. Analisis ini menghasilkan beberapa peta tematik yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mendapatkan tiga satuan. Berikut merupakan peta tematik dalam tahap analisis : a. Peta Kemiringan Lahan Kelas kemiringan lahan dibuat melalui peta topografi yang memuat informasi garis kontur pada tapak. Kemudian dari informasi garis kontur yang didapatkan dilakukan pengolahan menggunakan program ArcView
19
untuk mendapatkan peta kemiringan lahan. Peta kemiringan lahan yang telah didapatkan akan diklasifikasikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian 1980 mengenai penentuan kawasan lindung, kelas kemiringan lahan dibagi menjadi lima kelas yaitu : 1. Kelas I dengan kelerengan 0 – 8% 2. Kelas II dengan kelerengan 8 – 15% 3. Kelas III dengan kelerengan 15 – 25% 4. Kelas IV dengan kelerengan 25 – 40% 5. Kelas V dengan kelerengan > 40% b. Peta Tanah Berdasarkan informasi tentang jenis tanah disusun informasi mengenai jenis tanah dan kerentanan tanah terhadap erosi. Pada pembuatan peta tanah ini akan dibuat klasifikasi jenis-jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi. c. Peta Curah Hujan Dari data curah hujan yang telah didapatkan, akan dibuat klasifikasi intensitas curah hujan harian rata-rata. Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian 1980 tentang kriteria-kriteria kawasan lindung, klasifikasi ini dibagi menjadi lima kelas yaitu : 1. Kelas I dengan intensitas hujan 0 – 13,6 mm/ hari 2. Kelas II dengan intensitas hujan 13,6 – 20,7 mm/ hari 3. Kelas III dengan intensitas hujan 20,7 – 27,7 mm/ hari 4. Kelas IV dengan intensitas hujan 27,7 – 34,8 mm/ hari 5. Kelas V dengan intensitas hujan > 34,8 mm/ hari d. Peta Hidrologi Berdasarkan informasi hidrologi yang diperoleh, akan disusun peta hidrologi yang menggambarkan batas pasang tertinggi dan surut terendah dari situ. Pada informasi hidrologi juga digambarkan aliran inlet dan outlet Situ Gintung serta ditunjukan secara spasial badan air Situ Gintung yang merupakan satuan lahan pengelolaan air.
20
e. Analisis Penutupan Lahan Berdasarkan interpretasi citra satelit didapatkan luas untuk masing-masing klasifikasi penutupan lahan, dari informasi tersebut akan dapat dianalisis. f. Analisis Flora dan Fauna Dengan mengetahui flora dan fauna yang ada di lokasi penelitian maka dapat dianalisis keberlanjutan situ secara ekologis. Setelah didapatkan beberapa peta tematik, maka dilakukan analisis dengan metode skoring terhadap peta kemiringan lahan, peta jenis tanah dan peta intensitas curah hujan harian rata-rata yang mengacu pada kriteria penentuan
kawasan
lindung
menurut
SK
Menteri
Pertanian
No.
837/Kpts/Um/11/1980. Kriteria klasifikasi untuk kelerengan, jenis tanah, dan curah hujan secara berturut-turut disajikan pada Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4. Tabel 2. Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Kelerengan (SK Menteri Pertanian, 1980) Kelas
Kelerengan (%)
Klasifikasi
Nilai Skor
I
0–8
Datar
20
II
8 – 15
Landai
40
III
15 – 25
Agak Curam
60
IV
25 – 40
Curam
80
V
>40
Sangat Curam
100
Tabel 3. Klasifikasi dan Nilai Skor Jenis Tanah Menurut Kepekaaannya Terhadap Erosi (SK Menteri Pertanian, 1980) Kelas
Jenis Tanah
Klasifikasi
Nilai Skor
I
Aluvial, Glel, Planosol,
Tidak peka
15
Hidromerf, Laterit air tanah. II
Latosol
Kurang peka
30
III
Brown forest soil, non
Agak peka
45
Peka
60
Sangat peka
75
calcic brown mediteran. IV
Andosol, Laterit, Grumusol, Podsol, Podsolic.
V
Regosol, Litosol, Organosol, Rensina.
21
Tabel 4. Klasifikasi dan Nilai Skor Intensitas Hujan Harian Rata-Rata (SK Menteri Pertanian, 1980) Kelas
Intensitas Hujan (mm/ hari)
Klasifikasi
Nilai Skor
I
0 – 13,6
Sangat rendah
10
II
13,6 – 20,7
Rendah
20
III
20,7 – 27,7
Sedang
30
IV
27,7 – 34,8
Tinggi
40
V
>34,8
Sangat tinggi
50
Dari hasil overlay tiga peta tematik, kemudian dilakukan penjumlahan dari skoring yang telah dihasilkan. Untuk area dengan nilai skor sama dengan atau lebih dari 175 termasuk pada kawasan lindung. Untuk area dengan jumlah nilai 124 – 174 termasuk pada kawasan penyangga. Sedangkan area dengan jumlah nilai kurang dari 124 termasuk dalam kawasan budi daya.
3.5.3 Sintesis Merupakan tahapan dimana data dan informasi yang telah dianalisis akan dibagi menjadi tiga satuan lahan yaitu satuan lahan pengelolaan air, satuan lahan penyangga, dan satuan lahan pengembangan berdasarkan kesesuaian serta kriteria yang ada. a) Satuan Lahan Pengelolaan Air Merupakan satuan lahan inti dari tapak yang akan dijaga kelestarian dan keberlanjutannya dimana satuan lahan ini merupakan badan air situ. b) Satuan Lahan Penyangga Satuan lahan penyangga situ ditentukan berdasarkan dua pendekatan yaitu pendekatan dengan peraturan pemerintah dan pendekatan kebutuhan air masyarakat. Untuk pendekatan dengan peraturan pemerintah, dilakukan analisis terhadap kemiringan lahan, jenis tanah, dan curah hujan yang didasarkan pada SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980. Selain itu penentuan satuan penyangga juga berdasarkan pada kriteria dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Kawasan Lindung bagian kedua mengenai
Kawasan
Perlindungan
setempat.
Kriteria
tersebut
22
menentukan perlindungan terhadap kawasan sekitar situ yang dilakukan untuk melindungi situ dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsi danau atau situ (Pasal 17). Disebutkan pula bahwa kriteria kawasan sekitar danau atau situ yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau atau situ antara 50 – 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 18). Sedangkan pendekatan dengan kebutuhan air menggunakan analisis penutupan lahan dalam kaitannya dengan jumlah aliran permukaan, kemudian membandingkan dengan kebutuhan air masyarakat sekitar kawasan. Dari kedua analisis tersebut, didapatkan luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk kawasan Situ Gintung. Dalam studi ini, RTH yang ada termasuk pada satuan lahan penyangga yang berfungsi melindungi ekosistem situ dan sebagai kawasan yang meresapkan air. c) Satuan Lahan Pengembangan Merupakan satuan lahan selain dari satuan lahan pengelolaan air dan satuan
lahan
penyangga,
yang
dimanfaatkan
sebagai
area
pengembangan lainnya, misalnya digunakan untuk zona permukiman ataupun konservasi satwa (burung). Untuk menentukan wilayah yang dapat dikembangkan sebagai permukiman digunakan kriteria secara umum berdasarkan PP No. 47/1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, kawasan permukiman sebagai berikut: a. Tidak berada pada daerah yang rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi); b. Topografi datar (kelerengan lahan 0 – 8%); c. Tidak berada pada kawasan lindung; d. Didukung oleh ketersediaan prasarana dan sarana penunjang seperti rumah sakit, sekolah, pasar, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan lain sebagainya; e. Memiliki aksesibilitas cukup baik terhadap wilayah sekitarnya (adanya jalan raya, jalan kereta api, angkutan umum, angkutan sungai);
23
Adapun beberapa kriteria dan batasan teknis untuk zona permukiman PP No. 47/1997 : a. Penggunaan lahan untuk pengembangan perumahan baru 40% 60% dari luas lahan yang ada, dan untuk kawasan-kawasan tertentu disesuaikan dengan karakteristik serta daya dukung lingkungan; b. Kepadatan bangunan dalam satu pengembangan kawasan baru perumahan tidak bersusun maksimum 50 bangunan rumah/ha dan dilengkapi dengan utilitas umum yang memadai; c. Memanfaatkan ruang yang sesuai untuk tempat bermukim di kawasan
peruntukan
permukiman
di
perdesaan
dengan
menyediakan lingkungan yang sehat dan aman dari bencana alam serta dapat memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi pengembangan
masyarakat,
dengan
tetap
memperhatikan
kelestarian fungsi lingkungan hidup; d. Kawasan
permukiman
harus
dilengkapi
dengan
sistem
pembuangan air limbah, sistem pembuangan air hujan, prasarana air bersih yang memenuhi syarat, dan sistem pembuangan sampah. e. Penyediaan kebutuhan sarana pendidikan, kesehatan, perdagangan, ruang terbuka, taman, ataupun lapangan olah raga di kawasan peruntukan permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah penduduk pendukung, luas lantai, luas lahan minimal, radius pencapaian, serta lokasi dan penyelesaian secara lebih rinci.
3.5.4 Perencanaan Tahap ini merupakan hasil akhir dari tahap-tahap sebelumnya, pada tahap perencanaan dihasilkan suatu konsep untuk kawasan Situ Gintung sebagai suatu kawasan yang dapat berfungsi secara baik dari segi ekologis dan hidroliknya. Kemudian diturunkan menjadi konsep-konsep pengembangan yang meliputi pengembangan tata ruang, tata hijau, sirkulasi, dan utilitas. a. Konsep Rencana
24
Berdasarkan analisis terhadap kondisi biofisik tapak maka dapat disusun konsep perencanaan lanskap pasca bencana situ gintung yang berfungsi untuk memperbaiki keadaan fisik dan fungsi ekologis-hidrolik Situ Gintung itu sendiri. b. Pengembangan Rencana 1) Rencana Lanskap Membagi kawasan Situ Gintung menjadi tiga satuan lahan antara lain satuan lahan pengelolaan air, satuan lahan penyangga dan satuan lahan pengembangan. Masing-masing satuan lahan dapat dibagi lagi menjadi beberapa zona yang mendukung perencanaan Situ Gintung sebagai kawasan yang memiliki fungsi ekologis dan hidrolik. 2) Rencana Tata Hijau Menetapkan area hijau sebagai penyangga di sekeliling situ. Dengan keberadaan vegetasi di sekitar situ, hal ini juga akan memberikan energi bagi organisme perairan, selain itu vegetasi ini berfungsi sebagai koridor alami pada suatu kawasan yang memberikan
proteksi
alami.
Kemudian,
untuk
menjaga
keanekaragaman di sekitar situ, dapat ditambahkan fungsi dari area tersebut
menjadi
fungsi
konservasi
satwa
yakni
dengan
menggunakan kriteria pohon yang menjadi habitat burung. Selain fungsi utama pohon sebagai vegetasi penyangga untuk keberlanjutan ekologi air yang ada di situ, pohon juga memiliki fungsi lain, dalam kaitannya dengan konservasi satwa. Bagi burung, pohon mempunyai fungsi bermacam-macam, yaitu : tempat berlindung, bertengger, dan beristirahat. Dalam menanam berbagai pohon untuk habitat burung, pengetahuan tentang hal-hal di bawah ini akan sangat membantu (Pakpahan, 1998) : a) Jenis pohon yang disukai burung, dalam artian bahwa pohon tersebut dapat berfungsi sebagai tempat tinggal dan atau tempat untuk mencari makan. Karekteristik jenis pohon yang berkaitan dengan kecocokan habitat burung adalah tinggi pohon,
25
diameter tajuk, struktur dedaunan (ukuran daun, tekstur daun, dan lain-lain), kelebatan tajuk, tinggi bebas cabang, bunga/buah yang dihasilkan, arsitektur pohon (terutama yang berkaitan dengan sistem percabangan) b) Pengaturan tata letak penanaman pohon : mengumpul, memanjang, atau menyebar. Keberadaan lubang, benalu, epiphyit, atau liana. Faktor-faktor lain yang mendukung : keberadaan koridor, keberadaan semak belukar, letak tempat berlindung yang aman, keamanan terhadap gangguan dan perburuan. Jenis pohon penghijauan yang ditanam untuk habitat burung hendaknya merupakan jenis asli, bahkan dapat dengan pohon-pohon yang telah atau mulai langka. Selain itu, pemilihan jenis ini juga disesuaikan dengan : a. Tempat tumbuhnya, misalnya dengan pendekatan strata. b. Jenis burung yang diharapkan terdapat pada suatu wilayah tertentu, contoh : untuk tempat bersarang burung-burung air yang tubuhnya relatif besar, diperlukan pohon dengan cabang dan ranting yang cukup kuat. 3) Rencana Struktur dan Bangunan Bangunan berupa permukiman penduduk dan bangunan fasilitas untuk mendukung masyarakat sekitar Situ Gintung, seperti bangunan masjid, puskesmas, kantor kelurahan, sekolah, dan bangunan fasilitas lainnya yang diperlukan. Bangunan-bangunan ini diletakkan pada satuan lahan pengembangan dengan kriteriakriteria lahan yang sudah disebutkan di atas (Sub Bab Analisis). 4) Rencana Sirkulasi Sirkulasi akan menghubungkan antara zona satu dengan zona yang lainnya, jalur sirkulasi ini akan didukung dengan jaringan pedestrian yang nyaman. Selain itu, akan dibuat sirkulasi sebagai jalur evakuasi yang memudahkan penduduk mencapai area yang lebih tinggi jika terjadi bencana.