BAB III BAHAN DAN METODE
3.1
Waktu dan Lokasi Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2013
dengan lokasi penelitian meliputi wilayah Pesisir Utara dan Selatan Provinsi Jawa Barat. Pesisir Selatan membentang dari Kabupaten Ciamis hingga Kabupaten Sukabumi, Pesisir Utara membentang dari Kabupaten Cirebon hingga Kabupaten Bekasi.
3.2
Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
Data Citra Satelit Landsat-ETM Provinsi Jawa Barat tahun 1999, tahun 2006 dan tahun 2012 untuk dijadikan data dasar .
Peta Administrasi dari Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) untuk membagi-bagi data yang diperoleh sesuai dengan batasan administrasi yang ada di Provinsi Jawa Barat.
Peta Sungai dari BAKOSURTANAL untuk mengetahui lokasi muara sungai sebagai salah satu referensi lokasi habitat mangrove.
Literatur berupa buku, laporan penelitian, jurnal dan informasi dari media informasi untuk mengetahui perkembangan mengenai kondisi mangrove di suatu wilayah di Jawa Barat.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
Komputer dan software pengolahan data ArcGis 9.3, Ilwis 3.7.2, Google Earth dan Microsoft Office 2007.
Global Positioning System (GPS) untuk mengetahui posisi kordinat dan digunakan untuk melakukan koreksi geometrik.
17
18
3.3
Metode Penelitian ini menggunakan metode analisa hasil interpretasi data citra
satelit dengan teknik analisis spasial yaitu teknik yang dipergunakan dalam mengkaji keruangan/spasial. Overlay atau tumpang susun peta hasil intrepretasi data citra satelit menggunakan software SIG untuk mengetahui persebaran dan perubahan luasan hutan mangrove di Jawa Barat. Adapun wilayah yang di kaji : 1. Pesisir Utara Jawa Barat : Kabupaten Bekasi di Kecamatan Muara Gembong, Babelan dan Tarumajaya Kabupaten Karawang di Kecamatan Tirtajaya dan CIbuaya Kabupaten Subang di Kecamatan Blanakan dan Legon Kulon Kabupaten Indramayu di Kecamatan Kadanghaur, Losarang, Cantigi, Sindang, Indramayu dan Balongan Kabupaten
Cirebon
di
Kecamatan
Kapetakan,
Cirebon
Utara,
Lemahwungkuk, Mundu, Astanajapura, Pangenan, Gebang dan Losari
2. Pesisir Selatan Jawa Barat :
Kabupaten Ciamis di Kecamatan Cimerak, Cijulang, Parigi, Sidamulih, Pangandaran dan Kalipucang
Kabupaten Tasikmalaya di Kecamatan Cikalong, Karangnunggal dan Cipatujah
Kabupaten Garut di Kecamatan Cibalong
Kabupaten Cianjur di Kecamatan Cidaun
Kabupaten Sukabumi di Kecamatan Pelabuhan Ratu, Simpenan, Ciemas dan Ciracap
19
3.4
Prosedur Prosedur penelitian ini terdiri atas pengumpulan data citra satelit, alat dan
bahan yang digunakan, pengolahan data citra satelit (Transfer data, koreksi citra, penajaman citra), Lay-outing, Overlay data vector dan analisis data (Gambar 10).
3.4.1
Transfer Data atau Scanning Memproses data citra satelit diawali dengan proses transfer (loading)
data dari media penyimpanan seperti CDROM, harddisk, dan media penyimpanan lain yang dapat dibaca pada sistem perangkat lunak pengolahan citra (image processing software) tertentu. Data citra satelit diperoleh dari USGS dari Amerika. Pada penelitian ini menggunakan software Ilwis 3.7.2, menu utama yang digunakan adalah Import. Data citra satelit Landsat-ETM yang digunakan mencakupan wilayah Utara dan Selatan Jawa Barat. Pada wilayah Utara Jawa Barat terdiri dari 4 scene tahun 1999, 2 Scene tahun 2006 dan 4 Scene tahun 2012. Dikarenakan 2 scene data citra satelit Landsat-ETM pada tahun 2006 memiliki tingkat tutupan awan yang tinggi sehingga data citra tersebut tidak dapat diolah untuk mengetahui persebaran luasan mangrove. Ke dua scene tersebut mencakup Kabupaten Indramayu, Cirebon, Tasikmalaya, Garut dan Ciamis.
3.4.2
Koreksi Citra a. Koreksi Radiometrik Sensor pengindraan jauh merekam intensitas radiasi elektromagnetik dari
kenampakan permukaan bumi yang disimpan pada sensor dan dikonversi sebagai nilai digita (Digital Number/DN). Nilai digital ini juga dikenal sebagai nilai spektral atau nilai pixel yang pada umumnya dengan selang nilai antara 0 – 255. Nilai spektral ini bersifat spesifik dan tergantung pada geometri pandang dari satelit pada saat perekaman citra, lokasi matahari dan kondisi cuaca. Tahap berikutnya yaitu menghilangkan pengaruh matahari dan kondisi atmosfir pada saat citra diambil. Untuk memunculkan spectral warna pada data citra satelit dilakukan color composit 3 dari 7 sensor yang terdapat pada data citra satelit
20
Landsat-ETM masing - masing melalui Red, Green, Blue (RGB). Sensor yang digunakan pada pengolahan data citra satelit pada penelitian ini, mempunyai urutan R : Band 5 dengan panjang gelombang 1,55 – 1,75 µm (IR Menengah), G : Band 4 dengan panjang gelombang 0,76 - 90 µm (IR Dekat), B : Band 2 dengan panjang gelombang 0,52 – 0,60 µm (hijau). Pemilihan band didasari spesifikasi dari masing – masing band sebagai berikut :
Band 5 dipilih untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah untuk melihat habit mangrove.
Band 4 dipilih karena respon yang tinggi terhadap sejumlah biomasa vegetasi yang terdapat pada daerah yang dikaji. Respon yang tinggi akan membantu identifikasi tanaman dan memperkuat kontras antara tanaman, tanah dan air.
Band 2 dipilih untuk mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak antara dua band spektral serapan klorofil. Respom pada band 2 dimaksudkan untuk menekankan perbedaan vegetasi dan penilaian kesuburan. b. Koreksi Geometrik Hampir semua citra satelit mempunyai sejumlah distorsi geometrik,
distorsi ini dapat disebabkan oleh sejumlah faktor diantaranya adalah kondisi optik dari sensor, pergerakan dari sistem scanner, kondisi relief dari bentang alam di bumi dan pergerakan rotasi bumi (Lillesand dan Kiefer 1990). Koreksi geometri bertujuan untuk memperbaiki suatu citra dari distorsi geometrik agar diperoleh citra dengan sistem proyeksi dan kordinat seperti yang ada pada peta. Citra yang belum dikoreksi terhadap distorsi geometrik, maka jarak, luasan, arah dan bentuk akan berbeda-beda sepanjang citra. Koreksi geometrik dapat dilakukan dengan cara koreksi citra yang belum dikoreksi ke citra yang sudah dikoreksi (image to image geo-correction) atau dengan cara koreksi citra yang belum dikoreksi ke peta (image to map geo-corecction). Distorsi geometrik bersifat random maka koreksinya membutuhkan sejumlah titik kontrol (Ground Control Points – GCPs) (Gambar 5). Titik kontrol yang dipilih adalah kenampakan – kenampakan yang terlihat jelas pada peta,
21
misalnya percabangan atau persimpangan jalan, percabangan sungai besar, perumahan kecil atau bangunan terisolasi. Akurasi geometrik dinilai dari besar kecilnya kuadrat rataan (Root Mean Square – RMS). Koreksi geometrik dilakukan dengan cara :
Citra dibandingkan dengan data lapangan atau peta
Citra dibandingkan dengan data spasial lainnya (dalam lingkup SIG)
Dua citra dari waktu yang berbeda dibandingkan antara pixel dengan pixel (untuk analisis perubahan luasan mangrove)
Gambar 5. Registrasi Citra ke Citra dengan Menggunakan GCPs Setelah citra di georeferensi, citra mempunyai kordinat untuk masingmasing pixelnya, tetapi geometri orientasi belum selesai dengan citra masternya. Untuk membuat citra tersebut sesuai dan sama dengan masternya maka perlu dilakukan proses resampling. Proses resampling adalah proses kelanjutan dari registrasi citra. Pada tahap ini adalah menentukan pixel kedalam lokasi baru yang tepat dan hasilnya adalah output yang telah terkoreksi dari distorsi geometrik (Gambar 6).
22
Gambar 6. Proses Geo-Coding atau Resampling
Proses resampling terdiri dari dua tahap, tahap pertama citra baru belum terkoreksi perlu dilakukan proses proyeksi dengan menggunakan teknik transformasi ke dalam citra master. Tahap kedua dilakukan relasi satu-satu antara pixel citra input dengan citra master dengan menggunakan metode interpolasi. Metode interpolasi dilakukan untuk menentukan nilai pixel baru untuk citra yang dikoreksi. Ada tiga metode interpolasi, yaitu nearest neighbour, bilinear interpolation dan cubic convolution. Nearest neighbour, nilai pixel dihitung berdasarkan rata-rata dari empat pixel terdekat dari citra aslinya. Pada cubic convolution, nilai pixel citra output didasarkan pada 16 pixel disekitarnya. Penentuan metode interpolasi yang akan digunakan ditentukan diantaranya adalah perbandingan ukuran pixel antara pixel input dan pixel output yang diharapkan dan tujuan dari proses resample citra itu sendiri (Gambar 7).
23
Gambar 7. Citra Asli Sebelum Koreksi, Setelah Proses Registrasi dan Citra Setelah Geocoding 3.4.3
Penajaman Citra (Image Enhancement) Penajaman citra dilakukan untuk lebih memudahkan interpretasi visual
dan pemahaman terhadap suatu citra. Keuntungan dari citra digital yaitu memungkinkan kita untuk melakukan manipulasi nilai pixel suatu citra. Walaupun citra telah dikoreksi terhadap pengaruh radiometrik, atmosperik dan karakteristik sensor sebelum data citra didistribusikan kepada para pengguna, akan tetapi kenampakan citra masih tetap kurang optimal untuk interpretasi visual (Gambar 8). Teknik penajaman citra digunakan dalam rangka:
Meningkatkan perubahan skala keabuan nilai kecerahan pixel dalam hal kualitas cetak fotografik untuk interpretasi dalam pengolahan tanpa kembali pada analisis digital interaktif
Pada langkah pertama dalam proses subjektif klasifikasi digital
24
Gambar 8. Penajaman Citra dengan Teknik Histogram Equalized
3.4.4
Overlay Operasi overlay dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
ArcGIS 9.3. Overlay suatu data grafis adalah menggabungkan dua atau lebih data grafis untuk memperoleh data grafis baru yang memiliki satuan pemetaan (unit pemetaan). Dalam proses overlay akan diperoleh satuan pemetaan baru (unit baru) (Gambar 9). Proses overlay ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Syaratnya data-data yang akan di overlay harus mempunyai sistem kordinat yang sama. Sistem kordinat tersebut dapat berupa hasil transformasi nilai koordinat meja digitizer, nilai koordinat lapangan, ataupun nilai kordinat pada peta. Overlay pada penelitian ini dilakukan setelah dihasilkan data persebaran luasan mangrove dari hasil interpretasi citra satelit dengan data peta administrasi dan peta sungai.
25
Gambar 9. Proses Overlay Pada Operasi Data Grafis
3.5 Analisis Data Data peta persebaran luasan hutan mangrove hasil interpretasi citra satelit dilakukan proses tumpangsusun, kemudian dilakukan analisis deskriptif komparatif sehingga dari perbandingan data tersebut diperoleh perubahan luasan hutan mangrove yang terjadi dan penyebab perubahan tersebut.
26
Gambar 10. Bagan Alir Prosedur Penelitian