BAB II URAIAN TEORITIS
A. Penelitian Terdahulu Penelitian yang berkaitan dengan ekuitas merek (brand equity) dilakukan oleh Sari (2007) dengan judul “ Pengaruh Brand Equity Pasta Gigi Pepsodent Terhadap Loyalitas Pelanggan (Studi Kasus Pada Asrama Putri USU Medan)”. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa variabel bebas (X1, X2, X4) yaitu brand awareness (kesadaran merek), perceived quality (persepsi kualitas), dan brand loyalty (loyalitas merek) berpengaruh positif
terhadap loyalitas
pelanggan pasta gigi pepsodent di asrama putri USU Medan, sementara X3 yaitu brand association (asosiasi merek) berpengaruh negatif. Berdasarkan koefisien determinasi (R2) maka variabel brand awareness (kesadaran merek), perceived quality (persepsi kualitas), brand association (asosiasi merek ), dan brand koyalty (loyalitas merek) mempengaruhi loyalitas pelanggan pasta gigi pepdodent di asrama putri sebesar 63,6 % dan sisanya 36,4 % dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk dalam penelitian tersebut. Manurung (2007) juga melakukan penelitian yang berhubungan dengan ekuitas merek (brand equity) dengan judul “ Pengaruh Brand Equity Teh Botol Sosro Terhadap Keputusan Pembelian Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara (USU) Medan”. Kesimpulan dari penelitiannya adalah variabel bebas brand equity, yaitu brand awareness (X1) dan brand association (X2)
tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat
(keputusan pembelian mahasiswa F-KG USU Medan), sedangkan perceived
21 Universitas Sumatera Utara
22
quality (X3) dan brand loyalty (X4) secara parsial berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat (keputusan pembelian mahasiswa F-KG USU Medan). Pengaruh yang ditimbulkan oleh variabel bebas X3 dan X4 adalah pengaruh yang positif. Sementara untuk variabel yang lebih dominan mempengaruhi keputusan pembelian mahasiswa F-KG USU Medan adalah variabel brand loyalty (X4). Berdasarkan uji F hitung, variabel brand awareness (X1), brand association (X2), perceived quality (X3), brand loyalty (X4) secara bersama-sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian mahasiswa F-KG USU Medan. Purba (2007) juga meneliti tentang ekuitas merek (brand equity) dengan judul “ Analisis Brand Equity Terhadap Pembelian Pulpen Pilot Pada Siswa SMP Negeri 1 Medan”. Kesimpulan yang diperoleh adalah variabel-variabel brand equity yang terdiri dari kesadaran merek, asosiasi merek, persepsi kualitas, dan loyalitas merek secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pembelian pulpen pilot. Variabel brand equity yang paling dominan mempengaruhi pembelian pulpen pilot pada siswa SMP Negeri 1 medan adalah variabel loyalitas merek.
B. Merek Menurut UU Merek No. 15 Tahun 2001 Pasal 1 Ayat 1, merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Versi American
Universitas Sumatera Utara
23
Marketing Association, merek adalah nama, istilah, simbol, rancangan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing. Giribaldi (dalam Soehadi, 2005:2) menyatakan merek didefinisikan sebagai kombinasi dari atribut-atribut, dikomunikasikan melalui nama atau simbol, yang dapat mempengaruhi proses pemilihan suatu produk layanan di benak konsumen. Aaker (dalam Simamora, 2003:14) mengatakan adanya tiga nilai yang dijanjikan sebuah merek, yaitu: 1. Nilai Fungsional Nilai yang diperoleh dari atribut produk yang memberikan kegunaan (utility) fungsional kepada konsumen. 2. Nilai Emosional Nilai emosional berhubungan dengan perasaan, yaitu perasaan positif apa yang akan dialami konsumen pada saat membeli produk. 3. Nilai Ekspresi Diri Nilai ekspresi diri merupakan bagian dari nilai emosi. Ekspresi diri berbicara tentang “bagaimana saya di mata orang lain maupun diri saya sendiri”. Menurut Nicolino (dalam Simamora, 2003:6), sebuah nama, logo, singkatan, desain, atau apa saja, dikatakan sebagai merek, kalau memenuhi tiga hal. Pertama, dapat mengidentifikasi (identifiable). Kedua, memiliki entitas. Artinya, nama itu mewakili sesuatu yang ada. Ketiga, janji akan nilai tertentu (specific promises). Merek menjanjikan apa yang akan diberikan kepada pembeli atau pemakai. Jadi, merek merupakan janji penjual untuk secara konsisten memberikan feature, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Merek terbaik
Universitas Sumatera Utara
24
akan memberikan jaminan kualitas. Namun pemberian nama atau merek pada suatu produk hendaknya tidak hanya merupakan suatu simbol, karena merek memiliki enam tingkat pengertian (Rangkuti, 2004:3), yaitu: 1. Atribut Setiap merek memilki atribut. Atribut ini perlu dikelola dan diciptakan agar pelanggan dapat mengetahui dengan pasti atribut-atribut apa saja yang terkandung dalam suatu merek. 2. Manfaat Selain atribut, merek juga memiliki serangkaian manfaat. Konsumen tidak membeli
atribut,
mereka
membeli
manfaat.
Produsen
harus
dapat
menerjemahkan atribut menjadi manfaat fungsional maupun manfaat emosional. 3. Nilai Merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai bagi produsen. Merek yang memiliki nilai tinggi akan dihargai konsumen sebagai merek yang berkelas, sehingga dapat mencerminkan siapa pengguna merek tersebut. 4. Budaya Merek juga mewakili budaya terentu. Misalnya, Mercedes mewakili budaya Jerman yang terorganisasi dengan baik, memiliki cara kerja yang efisien, dan selalu menghasilkan produk yang berkualitas tinggi. 5. Kepribadian Merek juga memiliki kepribadian bagi para penggunanya. Jadi diharapkan dengan menggunakan merek, kepribadian si pengguna akan tercermin bersamaan dengan merek yang ia gunakan.
Universitas Sumatera Utara
25
6. Pemakai Merek juga menunjukkan jenis konsumen pemakai merek tersebut. Itulah sebabnya para pemasar selalu menggunakan analogi orang-orang terkenal untuk penggunaan mereknya. Simamora (2003:70) menyatakan merek apa pun itu, selayaknya mengandung sifat-sifat berikut ini: 1) Mencerminkan manfaat dan kualitas 2) Singkat dan sederhana 3) Mudah diucapkan, didengar, dibaca, dan diingat 4) Memiliki kesan berbeda dari merek-merek yang sudah ada (distinctive) 5) Mudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan tidak mengandung konotasi negatif dalam bahasa asing. 6) Dapat didaftarkan dan mendapat perlindungan hukum sebagai hak paten. Merek yang kuat akan membuat konsumen menjadi lebih yakin, nyaman, dan aman ketika membeli produk tersebut. Menurut Ind (dalam Soehadi, 2005:117), merek dikatakan kuat jika pelanggan mendapatkan kumulatif pengalaman yang positif terhadap merek tersebut, jadi tidak sekadar apa yang “dijanjikan” oleh perusahaan sebagaimana tertera pada brosur mewah. Rhodes (dalam Soehadi, 2005:118) mengungkapkan perlu disampaikan adanya empat pendekatan umum yang dapat dilakukan dalam mengembangkan janji tersebut, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
26
1. Treshold Branding Fokus pendekatan ini adalah pada promosi nama, dengan tujuan untuk meningkatkan brand awareness. Pendekatan ini belum mempertimbangkan tingkat preferensi konsumen terhadap merek. 2. Functional Branding Fokus pendekatan ini pada apa yang menjadi keunggulan atau keunikan dari atribut atau manfaat produk atau layanan yang dimiliki oleh merek. 3. Image Branding Pendekatan ini tidak hanya menekankan pada atribut produk/ layanan, tetapi juga mulai mempertimbangkan ego dan personalitas para pelanggannya. 4. Experiential Branding Dalam pendekatan ini, perusahaan harus mampu “mengorkestrasikan” seluruh komponen yang ada agar pengalaman positif yang tercipta dalam setiap kontak dapat langsung terasa. Memiliki merek yang kuat merupakan suatu keharusan bagi setiap produk, karena keunggulan yang bisa didapatkan beraneka ragam, mulai dari persepsi kualitas yang lebih bagus dan loyalitas merek yang lebih besar sampai peluang tambahan untuk perluasan merek. Menurut Rangkuti (2004:229), ada 10 pedoman yang dapat dilakukan untuk membangun merek yang kuat, yaitu: 1. Brand Identity Identitas merek merupakan seperangkat asosiasi merek yang sering digunakan oleh ahli strategi merek dan secara tidak langsung merupakan janji kepada para konsumen.
Universitas Sumatera Utara
27
2. Value Proposition Nilai proposisi merek adalah sebuah pernyataan secara fungsional, emosional dari suatu merek yang disampaikan kepada pelanggan. 3. Brand Position Posisi merek adalah bagian dari identitas merek dan nilai posisi yang selalu aktif dikomunikasikan kepada pasar sasaran, sehingga dapat memperoleh keuntungan melalui persaingan merek. 4. Execution Pelaksanaan program komunikasi yang tidak hanya ditargetkan pada identitas dan positioning, tetapi juga sampai memperoleh kecemerlangan secara terusmenerus. 5. Consistency Overtime Memiliki identitas yang konsisten merupakan kekuatan untuk tetap memiliki merek yang kuat. 6. Brand System Mempertimbangkan merek sebagai suatu sistem yang saling mendukung satu sama lain. Brand system dapat digunakan sebagai panggung peluncuran bagi produk-produk baru atau merek baru. 7. Brand Leverage Menciptakan dan mengembangkan aset-aset yang ada. 8. Tracking Brand Equity Mengamati secara terus-menerus brand equity, termasuk brand awareness, perceived quality, brand loyalty dan khususnya brand association.
Universitas Sumatera Utara
28
9. Brand Responsibility Mempunyai seseorang yang bertanggung jawab atas merek, sehingga ia dapat selalu memelihara, menciptakan, dan menjaga identitas dan posisi merek serta mengkoordinasikan keputusan-keputusan yang akan dilakukan oleh masingmasing fungsi manajemen. 10. Invest in Brands Tetap secara konsisten melanjutkan investasi dalam merek walaupun tujuan finansial perusahaan belum terpenuhi. Selain pedoman-pedoman yang dapat dilakukan untuk membangun merek yang kuat, perusahaan juga hendaknya memperhatikan program pemasaran. Keller (dalam Soehadi, 2005:31) menyatakan program pemasaran yang harus dikelola perusahaan dengan baik untuk membangun merek yang kuat meliputi choosing the value, providing the value, dan communicating the value. Langkah pertama yang perlu dilakukan oleh perusahaan adalah menentukan value proposition melalui aktivitas segmenting, targetting, dan positioning. Perusahaan perlu menentukan pasar sasaran yang ingin dilayani, kemudian menentukan value apa yang sesuai atau apa yang disukai oleh pasar sasaran tersebut. Langkah berikutnya, menciptakan value melalui kegiatan pengelolan produk/layanan, kebijakan harga, dan distribusi. Langkah terakhir, mengkomunikasikan value kepada pasar sasaran baik melalui kegiatan above the line maupun below the line. Sebagai contoh, salah satu value proposition yang ditawarkan oleh Mustika Ratu adalah menjadi lebih cantik dengan menggunakan ramuan tradisional produksi mereka. Salah satu kegiatan mereka adalah mensponsori pemilihan Putri Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
29
C. Ekuitas Merek (Brand Equity) Aaker (dalam Simamora, 2003: 47) mengatakan bahwa ekuitas merek adalah seperangkat aset, atau kewajiban, yang dimiliki nama merek atau simbol, yang dapat menambah atau mengurangi nilai produk atau layanan. Peter dan Olson (dalam Simamora, 2003: 49) melihat bahwa ekuitas merek memberikan nilai kepada perusahaan dan konsumen. Dari perspektif perusahaan, ekuitas merek memberikan keuntungan, aliran kas dan pangsa pasar yang lebih tinggi. Sedangkan dari perspektif konsumen, ekuitas merek terkait dengan sikap merek positif dan kuat yang didasarkan pada arti dan keyakinan positif dan jelas tentang merek dalam memori. Sikap merupakan bagian penting ekuitas merek. Merek yang memiliki ekuitas berarti disikapi secara positif oleh konsumen. Ekuitas merek juga mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam mengambil keputusan pembelian baik itu karena pengalaman masa lalu dalam menggunakannya maupun kedekatan dengan merek dan aneka karakteristiknya (Simamora, 2003:48). 1. Dimensi Ekuitas Merek (Brand Equity) Aaker (dalam Rangkuti, 2004:39) mengategorikan ekuitas merek (brand equity) menjadi empat aset utama, yakni: a. Kesadaran Merek (Brand Awareness) Kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Kesadaran merek dapat menjadi penentu dalam beberapa kategori dan biasanya mempunyai peranan kunci dalam ekuitas merek (brand equity). Kesadaran merek juga mempengaruhi persepsi dan tingkah laku. Kesadaran
Universitas Sumatera Utara
30
merek merupakan key of brand asset atau kunci pembuka untuk masuk ke elemen lainnya. Jadi jika kesadaran itu sangat rendah maka hampir dipastikan bahwa ekuitas mereknya juga rendah. b. Persepsi Kualitas (Perceived Quality) Persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan maksud yang diharapkan. Terdapat lima keuntungan persepsi kualitas, yaitu: 1.
Alasan Untuk Membeli Persepsi kualitas mempengaruhi merek-merek mana yang harus dipertimbangkan dan selanjutnya mempengaruhi merek apa yang akan dipilih.
2.
Diferensiasi Suatu karakteristik penting dari merek adalah posisinya dalam dimensi kesan kualitas.
3.
Harga Optimum (Premium Price) Memberikan pilihan-pilihan di dalam menetapkan harga optimum (premium price).
4.
Meningkatkan Minat Para Distributor Membantu dalam perluasan distribusi.
5.
Perluasan Merek Persepsi kualitas dapat dieksploitasi dengan cara mengenalkan berbagai perluasan merek, yaitu dengan menggunakan merek tertentu untuk masuk ke dalam kategori produk baru.
Universitas Sumatera Utara
31
c. Asosiasi Merek (Brand Association) Segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai merek. Asosiasi itu tidak hanya eksis, namun juga memiliki suatu tingkat kekuatan. Keterkaitan pada suatu merek akan lebih kuat apabila dilandasi pada banyak pengalaman atau penampakan untuk mengkomunikasikannya. Berbagai asosiasi yang diingat konsumen dapat dirangkai sehingga menbentuk citra tentang merek atau brand image didalam benak konsumen. d. Loyalitas Merek (Brand Loyalty) Ukuran dari kesetiaan konsumen terhadap suatu merek. Loyalitas merek merupakan inti dari
ekuitas merek (brand equity) yang menjadi gagasan
sentral dalam pemasaran, karena hal ini merupakan satu ukuran keterkaitan seorang pelanggan pada sebuah merek. 2. Nilai Ekuitas Merek (Brand Equity) Apabila merupakan suatu nilai, berarti ekuitas merek (brand equity) dapat diukur. Young dan Rubicam (Y & R) (dalam Simamora, 2003:51), sebuah agen iklan global ternama mengembangkan metode untuk mengukur ekuitas merek (brand equity) yang dinamakan Brand Asset Valuator. Mereka mengatakan bahwa untuk mengetahui nilai ekuitas merek (brand equity), ada empat hal utama yang diukur, yaitu: a. Diferensiasi (Differentiation), yaitu ukuran seberapa berbeda (distinctive) suatu merek dibanding merek lainnya. b. Relevansi (Relevance), yaitu relevansi merek dengan konsumen. Apakah merek memiliki arti?. Apakah merek cocok secara personal?.
Universitas Sumatera Utara
32
c. Kebanggaan (Esteem), yaitu ukuran tentang apakah merek memperoleh penghargaan yang tinggi dan dianggap sebagai yang terbaik di kelasnya. d. Pengetahuan (Knowledge), yaitu ukuran tentang pemahaman mengenai merek Total Research, perusahaan layanan riset di Amerika, mengembangkan metode mengukur ekuitas merek (brand equity) yang dinamakan EquiTrend. Mereka mengekspos komponen-komponen yang diukur (dalam Simamora, 2003:52), yaitu: a. Salience, yaitu persentase responden yang memiliki opini tentang merek. b. Perceived Quality. Ini merupakan inti EquiTrend. Di dalamnya sudah tercermin kesukaan terhadap merek, kepercayaan, kebanggaan dan keinginan untuk merekomendasikan merek. c. Kepuasan Pemakai Merek. Ekuitas merek (brand equity) yang tinggi didukung oleh brand value yang bersifat khusus serta sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam diri pelanggan (Rangkuti, 2004:222). Brand value terkait dengan seberapa jauh konsumen mengerti dan mempunyai asosiasi positif terhadap merek. Asosiasi dapat dibentuk melalui pendekatan kinerja produk/ layanan (brand performance), pendekatan emosi atau personifikasi (brand imagery). Brand performance terkait dengan atribut intrinsik (atribut yang melekat pada produk/ layanan), sedangkan brand imagery terkait dengan atribut ekstrinsik (atribut yang tidak terkait secara langsung dengan produk/ layanan) (Soehadi, 2005: 15). Rangkuti (2004:220) mengungkapkan cara menganalisis brand value, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
33
1) Memperhatikan dimensi nilai-nilai apa saja yang relevan dari sisi konsumen yang harus tedapat pada suatu merek. Contohnya, untuk produk makanan yang paling mendasar adalah nilai aman dan rasanya enak. 2) Menentukan Unique Selling Proposition (USP) yang berkaitan dengan merek tertentu secara spesifik. Nilai ini harus spesifik dan tidak boleh terdapat pada nilai yang melekat pada merek pesaing (distinctive value). 2) Membuat strategi untuk pengembangan merek tersebut. Caranya adalah secara konsisten dan terus-menerus berupaya mengelola ekuitas merek (brand equity) serta USP dalam satu kesatuan yang terintegrasi. 3) Mengusahakan untuk tidak membuat bingung pelanggan dengan memberikan banyak nilai pada suatu merek. 4) Merek yang berhasil memiliki nilai yang spesifik, unik, tidak mudah ditiru, sehingga dapat menciptakan superior customer value, distinctive customer satisfaction, dan superior market position. 3. Manfaat Ekuitas Merek (Brand Equity) Bagi perusahaan, ekuitas merek (brand equity) memiliki potensi untuk menambahkan nilai dengan lima cara (Simamora, 2003:48), yaitu: a. Ekuitas merek (brand equity) dapat memperkuat program memikat konsumen baru, atau merangkul kembali konsumen lama. b. Empat dimensi ekuitas merek (brand equity) yang terakhir dapat menguatkan loyalitas merek, persepsi kualitas, asosiasi merek, dan nama yang terkenal dapat memberikan alasan untuk membeli dan dapat mempengaruhi kepuasan penggunaan.
Universitas Sumatera Utara
34
c. Ekuitas merek (brand equity) memungkinkan margin yang lebih tinggi dengan menjual produk pada harga optimum (premium pricing) dan mengurangi ketergantungan pada promosi. d. Ekuitas merek (brand equity) dapat memberikan landasan pertumbuhan dengan melakukan perluasan merek. e. Ekuitas merek (brand equity) dapat memberi dorongan bagi saluran distribusi. D. Kesediaan Membayar Harga Premium 1. Perilaku Pembelian Pengambilan keputusan konsumen berbeda-beda, tergantung pada jenis keputusan pembelian. Assael (dalam Sunarto, 2006:97) membedakan empat jenis perilaku pembelian konsumen berdasarkan tingkat keterlibatan pembeli dan tingkat perbedaan merek-merek. Tabel 2.1 Empat Jenis Perilaku Pembelian Keterlibatan Tinggi Keterlibatan Rendah Perbedaan besar antar Perilaku pembelian yang Perilaku pembelian merek rumit yang mencari variasi Perbedaan kecil antar Perilaku pembelian yang Perilaku pembelian merek mengurangi yang rutin/ biasa ketidaknyamanan Sumber: Henry Assael (dalam Sunarto, 2006:97) 1. Perilaku pembelian yang rumit Perilaku pembelian yang rumit terdiri dari proses tiga langkah. Pertama, pembeli mengembangkan keyakinan tentang produk tersebut. Kedua, ia membangun sikap tentang produk tersebut. Ketiga, ia membuat pilihan pembelian cermat. Konsumen terlibat dalam perilaku pembelian yang rumit bila mereka sangat terlibat dalam pembelian dan sadar akan adanya
Universitas Sumatera Utara
35
perbedaan-perbedaan besar di antara merek. Perilaku pembelian yang rumit itu lazim terjadi bila produknya mahal, jarang dibeli, beresiko dan sangat mengekspresikan diri. 2. Perilaku pembelian yang mengurangi ketidaknyamanan Kadang-kadang konsumen sangat terlibat dalam sebuah pembelian namun melihat sedikit perbedaan di antara berbagai merek. Keterlibatan yang tinggi didasari oleh fakta bahwa pembelian tersebut mahal, jarang dilakukan, dan beresiko. Dalam kasus itu, pembeli akan berkeliling untuk mempelajari apa yang tersedia namun akan membeli dengan cukup cepat, barangkali pembeli sangat peka terhadap harga yang baik atau terhadap kenyamanan berbelanja, Contohnya, pembelian karpet merupakan keputusan dengan keterlibatan yang tinggi karena karpet itu mahal dan mengekspresikan kepribadian, namun pembeli mungkin menganggap sebagian besar merek karpet pada tingkat harga tertentu mempunyai kualitas yang sama. 3. Perilaku pembelian karena kebiasaan Banyak produk dibeli dengan kondisi rendahnya keterlibatan konsumen dan tidak adanya perbedan merek yang signifikan. Perilaku konsumen dalam kasus produk dengan keterlibatan rendah tidak melalui urutan umum keyakinan, sikap dan perilaku konsumen tidak secara luas mencari informasi tentang merek, mengevaluasi karakteristik merek, dan memutuskan merek apa yang akan dibeli. Sebaliknya, konsumen menjadi penerima informasi pasif melalui menonton televisi atau melihat iklan di media cetak. Pengulangan iklan menciptakan keakraban merek daripada keyakinan merek. Setelah pembelian, konsumen bahkan mungkin tidak mengevaluasi pilihan tersebut karena merek
Universitas Sumatera Utara
36
tidak banyak terlibat dengan produk tersebut. Jadi, bagi produk dengan keterlibatan rendah, proses pembelian dimulai dengan keyakinan merek yang dibentuk oleh pemahaman pasif, dilanjutkan oleh perilaku pembelian, dan kemudian mungkin diikuti oleh evaluasi. 4. Perilaku pembelian yang mencari variasi Beberapa situasi pembelian ditandai oleh keterlibatan konsumen yang rendah, namun perbedaan merek yang signifikan. Dalam situasi itu, konsumen sering melakukan peralihan merek. Misalnya, kue kering. Konsumen memiliki beberapa keyakinan tentang kue kering, memilih merek kue kering tanpa melakukan banyak evaluasi, dan mengevaluasi produk selama konsumsi. Namun pada kesempatan berikutnya, konsumen mungkin mengambil merek lain karena bosan atau ingin mencari rasa yang berbeda. 2. Pengertian Harga Pepadri (dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002) menyimpulkan bahwa harga adalah sejumlah uang yang ditentukan perusahaan sebagai imbalan barang atau jasa yang diperdagangkan dan sesuatu yang lain yang diadakan perusahaan untuk memuaskan keinginan konsumen dan merupakan salah satu faktor penting dalam pengambilan keputusan pembelian. Dalam arti yang paling sempit, harga (price) adalah jumlah uang yang dibebankan atas suatu produk atau jasa. Lebih luas lagi, harga adalah jumlah dari seluruh nilai yang ditukar konsumen atas manfaat-manfaat memiliki atau menggunakan produk atau jasa tersebut (Kotler dan Armstrong, 2001:439).
Universitas Sumatera Utara
37
3. Persepsi Harga Pada saat konsumen melakukan evaluasi dan penilaian terhadap harga dari suatu produk sangat dipengaruhi oleh perilaku dari konsumen itu sendiri. Perilaku konsumen dipengaruhi oleh empat aspek utama (Setiadi, 2003:11), yaitu: faktorfaktor kebudayaan (kebudayaan dan kelas sosial), faktor-faktor sosial (kelompok referensi, keluarga, peran dan status), faktor pribadi (umur dan tahapan dalam siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup dan kepribadian serta konsep diri), dan faktor-faktor psikologis (motivasi, persepsi, proses belajar, kepercayaan dan sikap). Sedangkan pengertian persepsi adalah proses yang digunakan oleh seorang individu untuk memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasi masukan-masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti (Sunarto, 2006:94). Dengan demikian penilaian terhadap harga suatu produk dikatakan mahal, murah atau biasa saja dari setiap individu tidaklah harus sama, karena tergantung dari persepsi individu yang dilatarbelakangi oleh lingkungan kehidupan dan kondisi individu. 4. Persepsi Harga Terhadap Kualitas Harga mempunyai kontribusi terhadap kualitas sehingga kita sering mendengar ungkapan you got what you’ve paid for (Soehadi, 2005:78). Dengan kata lain, harga dan persepsi kualitas mempunyai hubungan yang positif, yaitu semakin mahal harga suatu produk tersebut maka akan mencerminkan kualitas produk atau istilah umumnya “uang/ harga ada matanya”. Konsumen menggunakan harga sebagai indikator kualitas (Nagle dan Holden, dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002), sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
38
1) Konsumen percaya ada perbedaan kualitas di antara berbagai merek dalam suatu produk kategori. 2) Konsumen percaya kualitas yang rendah dapat membawa resiko yang lebih besar. 3) Konsumen tidak memiliki informasi lain kecuali merek terkenal sebagai referensi dalam mengevaluasi kualitas sebelum melakukan pembelian. 5. Persepsi Harga Terhadap Nilai Persepsi nilai adalah evaluasi menyeluruh dari kegunaan suatu produk yang didasari oleh persepsi konsumen terhadap sejumlah manfaat yang akan diterima dibandingkan dengan pengorbanan yang dilakukan atau secara umum di pikiran konsumen value dikenal dengan istilah “value for money”, “best value”, dan “you get what you pay for” (Morris dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002). Menurut Zeithaml dan Bitner (dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002), pengertian harga terhadap nilai dari sisi konsumen dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: a. Value is low price Kelompok konsumen yang menganggap bahwa harga murah merupakan value yang paling penting buat mereka sedangkan kualitas sebagai value dengan tingkat kepentingan yang lebih rendah. Strategi harga yang harus dilakukan adalah: 1) Odd Pricing Menggunakan harga yang tidak biasa digunakan umum, misal diskon 81 %.
Universitas Sumatera Utara
39
2) Synchro Pricing Memberikan harga dengan faktor-faktor pembeda yang menyebabkan sensitivitas harga meningkat, misal: place, timing, quantity. 3) Penetration Pricing Menetapkan harga rendah terutama pada saat introduction untuk menstimulasi konsumen melakukan trial. 4) Discounting Memberikan potongan harga untuk menciptakan sensitivitas terhadap harga sehingga tercipta pembelian. b. Value is whatever I want in a product or services Bagi konsumen dalam kelompok ini, value diartikan sebagai manfaat, kualitas yang diterima bukan semata harga saja atau value adalah sesuatu yang dapat memuaskan keinginan. Strategi harga yang dapat dilakukan: 1) Prestige Pricing Penetapan harga premium untuk menjaga image sebagai produk dengan kualitas yang sangat baik dan memberikan image yang berbeda bagi yang memiliki atau menggunakan merek. 2) Skimming Pricing Menetapkan harga yang lebih tinggi dari rata-rata kesediaan untuk membayar, umumnya pada saat produk tersebut dalam tahap perkenalan. Produk tersebut mempunyai nilai lebih dibandingkan produk sebelumnya serta didukung dengan biaya promosi yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara
40
c. Value is the quality I get for the price I pay Konsumen pada kelompok ini mempertimbangkan value adalah sesuatu manfaat/ kualitas yang diterima sesuai dengan besaran harga yang dibayarkan. Adapun pendekatan harga yang dapat dilakukan adalah: 1) Value Pricing Menciptakan value lebih dari aspek manfaat atau besaran yang dapat dibandingkan dengan harga itu sendiri, biasanya dengan strategi bundling. 2) Market Segmentation Pricing Memberikan harga berbeda-beda sesuai dengan segmen yang didasari value yang diterima. d. Value is what I get what I give Konsumen menilai value berdasarkan besarnya manfaat yang diterima dibandingkan dengan pengorbanan yang dikeluarkan baik dalam bentuk besarnya uang yang dikeluarkan, waktu dan usahanya. Pendekatan harga yang dapat dilakukan: 1) Price Framing Memberikan tarif yang berbeda-beda sesuai dengan pembagian kelompok berdasarkan besarnya manfaat yang diterima. 2) Price Bundling Memberikan harga untuk dua jasa/ produk yang saling komplemen. Kotler (dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002) menyimpulkan bahwa konsumen dalam menerima suatu value atau nilai dari suatu harga sangat dipengaruhi oleh:
Universitas Sumatera Utara
41
a. Konteks Kesediaan konsumen untuk berkorban dengan membayar harga yang lebih mahal, dibandingkan kehilangan nilai lain yang lebih penting pada saat itu, sehingga dapat dikatakan value produk tersebut sangat tinggi. b. Ketersediaan Informasi Memiliki informasi yang banyak dan lengkap maka konsumen akan mendapatkan value atas produk tersebut. c. Asosiasi Dalam upaya peningkatan value dari suatu produk dengan cara menaikkan harga, produsen harus memperhatikan asosiasi konsumen terhadap pengalaman
yang dimiliki selama ini.
6. Harga Premium Srinivasan dan Chan Su Park (dalam Simamora, 2003:55) menilai harga premium sebagai perbedaan harga maksimal antara merek yang paling disukai dengan merek yang paling tidak disukai, yang dapat diterima konsumen. Sebagai gambaran, konsumen rela membeli air mineral merek Aqua dengan harga lebih tinggi dibandingkan harga air mineral bermerek Ades, Dua Tang, Vit, dan lainlain, padahal bila merek produk tersebut ditanggalkan dan berbagai merek air mineral tersebut disajikan dalam gelas yang seragam, konsumen sulit membedakan produk-produk tersebut. Kesediaan konsumen untuk membayar dengan harga lebih tinggi untuk merek Aqua menunjukkan penghargaan mereka yang “lebih” kepada merek Aqua tersebut dibandingkan kepada para pesaingnya. Harga premium bisa meningkatkan laba dan memberikan sumber daya untuk reinvestasi pada merek tersebut. Berbagai sumber daya ini bisa digunakan
Universitas Sumatera Utara
42
dalam berbagai upaya membangun merek seperti menguatkan kesadaran/ asosiasi atau segala akitivitas penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan mutu suatu produk. Harga premium tidak hanya memberikan sumber daya, melainkan juga bisa menguatkan kesan kualitas. Pendapat “anda mendapatkan apa yang anda bayar” bisa sangat berguna terutama dalam kasus dimana informasi obyektif mengenai
barang
dan
jasa
tertentu
tidak
tersedia
sewaktu-waktu
(www.dahlanforum.wordpress.com). Harga premium dapat menjadi satu-satunya pengukuran ekuitas merek yang tersedia, karena pengukuran ini langsung menangkap konsumen yang loyal dengan cara yang relevan. Jika konsumen loyal, secara logis mereka akan bersedia untuk membayar lebih tinggi (harga premium). Jika mereka tidak bersedia membayar lebih tinggi, tingkat loyalitas mereka rendah (Durianto, et.al, 2004:19).
Universitas Sumatera Utara