BAB II URAIAN TEORITIS
II. 1. PENGERTIAN KOMUNIKASI Pentingnya studi komunikasi karena permasalahan-permasalahan yang timbul akibat komunikasi. Manusia tidak dapat hidup sendirian, ia secara tidak kodrati harus hidup bersama manusia lain, baik demi kelangsungan hidupnya, keamanan hidupnya, maupun demi keturunannya. Jelasnya manusia harus bermasyarakat. Masyarakat bisa berbentuk kecil; sekecil rumah tangga yang hanya terdiri dua orang suami istri, bisa berbentuk besar; sebesar kampung, desa, kecamatan, kabupaten atau kota, propinsi dan negara. Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antar manusia, yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai penyalurnya (Effendy, 2003: 28). Pengertian komunikasi secara etimologis berasal dari bahasa lain communication, istilah ini berasal dari kata communis yang berarti sama, sama disini maksudnya sama makna atau sama arti. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh si pengirim pesan kepada si penerima pesan. Salah satu persoalan di dalam memberi pengertian komunikasi, yakni banyaknya defenisi yang telah dibuat oleh pakar menurut bidang ilmunya. Hal ini disebabkan karena banyaknya disiplin ilmu yang telah memberi masukan terhadap perkembangan ilmu komunikasi, misalnya psikologi, sosiologi, antropologi, ilmu politik, ilmu manajemen, linguistik, matematika, ilmu elektronika, dan lain
Universitas Sumatera Utara
sebagainya. Sebuah defenisi singkat dibuat oleh Harold D. Laswell cara yang tepat untuk menerangkan suatu tindakan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “Siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa pengaruhnya” (Cangara, 2004: 18). Everett M. Rogers seorang pakar Sosiologi Pedesaan Amerika yang telah banyak memberi perhatian pada studi riset komunikasi, khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat defenisi bahwa : Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Rogers mencoba menspesifikasikan hakikat suatu hubungan dengan adanya perubahan sikap dan tingkah laku serta kebersamaan dalam menciptakan saling pengertian dari orang-orang yang ikut serta dalam suatu proses komunikasi (Cangara, 2004: 19). Para pakar psikologi melihat komunikasi dalam pengertian fenomena stimuli-respons, sebagaimana dikemukakan oleh Dance (1970). Komunikasi adalah pengungkapan respons malalui simbol-simbol verbal. Sedangkan Edwin Neiman (1984) mendefenisikan komunikasi sebagai suatu proses ketika sejumlah orang diubah menjadi kelompok yang berfungsi (Arifin, 2003: 26). Jika kita berada dalam situasi komunikasi, maka kita memiliki beberapa kesamaan dengan orang lain, seperti kesamaan bahasa atau kesamaan arti dari simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi apa yang dinamakan Wilbur Schramm ”Frame of reference“ atau dalam bahasa Indonesianya kerangka acuan, yaitu paduan pengalaman dan pengertian (collection of experiences and meanings).
Universitas Sumatera Utara
Schramm menyatakan bahwa field of experience atau bidang pengalaman merupakan faktor yang amat penting untuk terjadinya komunikasi. Apabila bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung lancar. Sebaliknya jikalau pengalaman komunikan tidak sama dengan pengalaman komunikator, akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain; dengan kata lain situasi menjadi tidak komunikatif (Effendi, 2003: 30-31).
II. 2. MEDIA MASSA Perkembangan masyarakat dan perkembangan teknologi komunikasi menyebabkan perubahan dalam bidang komunikasi. Teknologi komunikasi dituntut untuk menjangkau masyarakat dalam lingkup yang lebih luas dan serentak, karena kebutuhan informasi masyarakat semakin meningkat dan bersifat penting. Media massa sebagai salah satu alat yang mampu mengantarkan informasi kepada masyarakat, memberikan karakteristik yang sesuai dan selain itu, mudah untuk digunakan oleh masyarakat dari berbagai jenis keragaman masyarakat. Media massa yang kita kenal saat ini adalah media cetak, yang terdiri dari surat kabar, tabloid, majalah, dan media elektronik, terdiri dari radio siaran dan televisi siaran. Selain pembagian diatas, banyak pula ahli yang mengungkapkan film sebagai bagian dari komunikasi massa dalam media massa, bahkan di negara maju, buku dan kaset musik rekaman dianggap serupa. Sulit dibayangkan masyarakat modern tanpa media massa : surat kabar, majalah, buku, radio, TV, dan film. Media massa memiliki arti yang bermacammacam bagi masyarakat dan memiliki banyak fungsi, tergantung pada jenis sistem
Universitas Sumatera Utara
politik dan ekonomi dimana media massa itu berfungsi, tingkat perkembangan masyarakat,
serta
minat
dan kebutuhan
individu
tertentu.
Salah
satu
pengelompokan sistem pers media massa yang terkenal di dunia disajikan dalam buku Four Theories of the Press. Penulisnya membagi pers dalam 4 kategori: otoriter, liberal, social control atau tanggungjawab sosial, dan totaliter. Kesemuanya merupakan “Teori Normative” yang berasal dari pengamatan, bukan dari hasil uji dan pembuatan hipotesis. Teori Otoriter adalah pers atau media massa yang mendukung dan menjadi kepanjangan tangan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa dan melayani negara. Muncul diawal lahirnya mesin cetak dan di akhir masa Renaisans, ketika negara-negara Eropa kebanyakan masih menganut sistem pemerintahan monarki absolut. Berkembang di Inggris pada abad 16 dan 17, media cetak harus memperoleh izin dan mendapat hak pemakaian khusus dari kerajaan dan pemerintah agar bisa digunakan dalam penerbitan. Penguasa atau pemerintah langsung berwenang mengawasi dan menentukan kebijakan pers dan jurnalistik.
Teori ini menganggap bahwa tidak ada kebenaran di lingkungan
rakyat kecil, namun kebenaran ada di dekat pusat kekuasaan. Melalui penerapan hak khusus, lisensi, dan peraturan yang diterapkan sendiri dalam tubuh serikat pemilik mesin cetak., individu dijauhkan dari kemungkinan mengkritik pemerintah yang berkuasa. Dalam sistem otoritas pers bisa dimiliki secara publik atau perorangan. Teori Liberal muncul ketika pertumbuhan demokrasi politik dan paham kebebasan berkembang pada abad 17, akibat dari revolusi industri dan digunakannya sistem ekonomi. Pemikiran-pemikiran di masa Pencerahan
Universitas Sumatera Utara
(Aufklarung) semakin menumbuhkan kebebasan pers sebagai salah satu aspek hak asasi manusia. Untuk itu, artinya pers harus bebas dari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Inilah sebabnya di Amerika Serikat, pers menjadi semacam lembaga keempat di dalam pemerintahan. Dari tulisan Milton, Locke, dan Mill dapat dimunculkan pemahaman bahwa pers harus mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur, dan mencari keuntungan. Dalam teori ini, pers bersifat swasta. Teori Tanggung Jawab Sosial diabad ke-20 di Amerika Serikat ada gagasan yang berkembang bahwa media satu-satunya industri yang dilindungi Piagam Hak Asasi Manusia, harus memenuhi tanggung jawab sosial. Teori tanggung jawab sosial yang merupakan evolusi gagasan praktisi media, undangundang media, dan hasil kerja Komisi Kebebasan Pers, berpendapat bahwa selain bertujuan untuk memberi informasi, menghibur, mencari untung, juga bertujuan untuk membawa konflik kedalam arena diskusi. Dibawah teori ini, media dikontrol oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen, kode etik profesional, dan dalam hal penyiaran dikontrol oleh badan pengatur mengingat keterbatasan teknis pada jumlah saluran frekuensi yang tersedia. Teori Totaliter-Soviet merupakan pers yang berpegang pada azas kebenaran berdasarkan teori Marxist. Pers Soviet bekerja sepenuhnya sebagai alat penguasa, dalam hal ini partai komunis. Partai komunis dalam pengertian komunis adalah rakyat. Teori ini berpandangan bahwa tujuan utama media adalah membantu keberhasilan dan kelangsungan sistem Soviet. Media dikontrol oleh tindakan ekonomi dan politik dari pemerintah dan badan pengawas dan hanya
Universitas Sumatera Utara
anggota partai yang loyal dan ortodoks saja yang bisa menggunakan media secara reguler. Media dalam sistem Soviet dimiliki dan dikontrol oleh negara dan ada hanya sebagai kepanjangan tangan negara. Laswell, pakar komunikasi dan pakar hukum di Yale, mencatat ada tiga fungsi media massa yakni : pengamatan lingkungan, korelasi bagian-bagian dalam masyarakat untuk merespon lingkungan, dan penyampaian warisan dalam masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selain ketiga fungsi ini, Wright menambahkan fungsi keempat yakni hiburan. Fungsi pertama media massa sebagai pengawasan (surveillaince) memberi informasi dan menyediakan berita. Dalam fungsi ini termasuk berita yang tersedia di media yang penting seperti ekonomi, publik dan masyarakat, seperti laporan bursa pasar, lalu lintas, cuaca, dan sebagainya. Bahkan media seringkali memperingatkan kita akan bahaya yang mungkin terjadi seperti kondisi cuaca ekstrem atau bahaya ancaman militer. Fungsi kedua korelasi adalah seleksi dan interpretasi informasi tentang lingkungan. Fungsi ini bertujuan untuk menjalankan norma sosial, dan menjaga konsensus dengan mengekspose penyimpangan, memberikan status dengan cara menyoroti individu terpilih dan juga berfungsi untuk mengawasi pemerintah. Fungsi ketiga pewarisan sosial merupakan fungsi dimana media massa menyampaikan informasi, nilai, norma, dari satu generasi ke generasi berikutnya atau dari anggota masyarakat ke kaum pendatang. Fungsi terakhir hiburan dimaksudkan untuk memberikan waktu istirahat dari masalah setiap hari dan mengisi waktu luang. Media mengekspose banyak
Universitas Sumatera Utara
budaya massa seperti seni dan musik kepada berjuta-juta orang dan sebagian merasa senang karena bisa meningkatkan rasa dan pilihan publik dalam seni.
II. 3. TELEVISI Televisi sebagai bagian dari kebudayaan audiovisual merupakan medium yang memiliki pengaruh dalam membentuk sikap dan kepribadian baru masyarakat secara luas. Hal ini disebabkan oleh pesatnya perkembangan televisi yang menjangkau masyarakat hingga ke wilayah terpencil. Unsur esensial yang dari kebudayaan televisi berupa penggunaan bahasa verbal dan visual, sekaligus dalam rangka menyampaikan sesuatu, seperti pesan, informasi, pengajaran, ilmu, dan hiburan (Wibowo, 1997: 1). Komunikasi massa dengan media televisi merupakan proses komunikasi antara komunikator dengan komunikan (massa) melalui sebuah sarana, yaitu televisi. Kelebihan media televisi terletak pada kekuatannya menguasai jarak dan ruang, sasaran yang dicapai untuk mencapai massa cukup besar. Nilai aktualitas terhadap suatu liputan atau pemberitaan sangat cepat. Menurut Effendy, seperti halnya media massa lain, televisi pada pokoknya mempunyai tiga fungsi pokok yaitu sebagai berikut : 1. Fungsi penerangan (the imformation function) Televisi mendapat perhatian yang besar dikalangan masyarakat karena dianggap sebagai media yang mampu menyiarkan informasi yang sangat memuaskan. Hal ini didukung oleh 2 (dua) faktor , yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Immediacy (Kesegaran) Pengertian ini mencakup langsung dan peristiwa yang disiarkan oleh stasiun televisi dapat dilihat dan didengar oleh pemirsa pada saat peristiwa itu berlangsung. b. Realism (Kenyataan) Ini berarti televisi menyiarkan informasinya secara audio dan visual dengan perantara mikrofon dan kamera sesuai dengan kenyataan. 2. Fungsi pendidikan (the educational function) Sebagai media massa, televisi merupakan sarana yang ampuh untuk menyiarkan acara pendidikan kepada khalayak yang jumlahnya begitu banyak secara simultan dengan makna pendidikan, yaitu meningkatkan pengetahuan dan penalaran masyarakat. Siaran televisi menyiarkan acara-acara tersebut secara teratur, misalnya pelajaran bahasa, matematika, ekonomi, politik, dan sebagainya. 3. Fungsi hiburan (the entertainment function) Sebagai media yang melayani kepentingan masyarakat luas, fungsi hiburan yang melekat pada televisi tampaknya lebih dominan dari fungsi lainnnya. Sebagian besar dari alikasi waktu siaran televisi diisi oleh acara-acara hiburan, seperti lagu-lagu, film cerita, olahraga, dan sebagainya. Fungsi hiburan ini amat penting, karena ia menjadi salah satu kebutuhan manusia untuk mengisi waktu mereka dari aktivitas di luar rumah (Effendy, 2003: 27-30). Televisi memiliki audiovisual yang menyebabkan realita yang diciptakan dianggap sebagai realita yang sesungguhnya. Televisi dalam menyiarkan pesannya bersifat audio dan visual, artinya dapat dilihat dan dapat didengar, juga langsung dapat disaksikan di rumah-rumah tanpa harus meninggalkan tempat.
Universitas Sumatera Utara
Berbagai macam kemajuan teknologi sehingga saat ini terus mewujudkan bentuk televisi yang canggih. Penemuan tersebut semakin menyempurnakan sistem audiovisual televisi. Televisi mampu menarik perhatian pemirsa sedemikian rupa sehingga khalayak tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pendalaman terhadap apa yang diterimanya secara kritis. Karena semua berlangsung secara cepat dan berulang-ulang secara intensif. Hal ini membuat realita di televisi masuk kedalam benak pemirsa. Penyampaian pesan di televisi telah menonjolkan lambang komunikasi dengan gambar hidup yang menunjukkan suatu realita. Dengan teknologi yang tinggi, realita yang ditayangkan dapat melebihi kenyataan yang sebenarnya sehingga apa yang tidak mungkin terjadi di dunia dapat terjadi di televisi. Setiap tayangan yang ada di televisi mengandung pesan-pesan yang bersifat memberitahu, mendidik dan menghibur. Agar pesan yang disampaikan dapat diterima oleh khalayak sasaran perlu diperhatikan faktor-faktor seperti pemirsa, waktu, durasi, dan metode penyajian. 1. Pemirsa Sesungguhnya dalam setiap bentuk komunikasi dengan menggunakan media apapun, komunikator akan menyesuaikan pesan dengan latar belakang komunikannya. Namun untuk media elektronik faktor pemirsa perlu mendapat perhatian lebih. Hal ini tentu saja berkaitan dengan kebutuhan pemirsa, minat, materi pesan, dan jam waktu penayangan suatu acara.
Universitas Sumatera Utara
2. Waktu Setelah komunikator mengetahui kebutuhan, minat dan kebiasaan pemirsa langkah
selanjutnya
adalah
menyesuaikan
waktu
penayangannya.
Pertimbangannya adalah agar setiap acara yang ditayangkan dapat secara proporsional diterima oleh khalayak sasaran atau khalayak dituju. Untuk acara yang khalayaknya anak-anak tentu saja ditayangkan mulai dari sore hari sampai kepada sekitar jam 8 malam. Hal ini tentu saja memperhatikan kegiatan dari pada anak yang pada pagi hari sampai siang hari melakukan aktivitasnya di sekolah. 3. Durasi Durasi berkaitan dengan waktu, yakni jumlah menit dalam setiap penayangan dalam suatu acara. Ada yang berdurasi 30 menit biasanya untuk kuis dan acara infotainment, yang berdurasi satu jam biasanya untuk acara talkshow ataupun berita. Untuk acara film ataupun sinetron biasanya durasi waktu yang dibutuhkan adalah satu jam sampai dengan dua jam. Hal ini juga berkaitan dengan kebutuhan pemirsa terhadap suatu acara yang ingin ditontonnya. 4. Metode penyajian Metode penyajian suatu acara berhubungan dengan daya tarik acara itu sendiri agar tidak menimbulkan kejenuhan bagi pemirsa. Misalkan untuk suatu acara yang bersifat berita ataupun informasi agar menambah daya tariknya dikemas dalam bentuk wawancara, dialog, talkshow, reportasi, reality show dan sebagainya. Tayangan televisi dapat diartikan sebagai adanya suatu pertunjukan acara yang ditampilkan atau disiarkan melalui media massa televisi. Tayangan tersebut
Universitas Sumatera Utara
bisa bersifat hiburan, informasi, ataupun edukasi seperti tayangan mengenai pendidikan. Dalam
kehidupan
sehari-hari
kita
sering
memperoleh
berbagai
pengalaman. Hal ini dikarenakan terintegrasinya kelima indera yang dimiliki, tetapi dengan menonton audiovisual, akan mendapatkan 10% dari informasi yang diperoleh sebelumnya. Ini sebagai akibat timbulnya pengalaman tiruan (Stimulated Experience) dari media audiovisual tadi (Darwanto 2007: 119). Darwanto juga mengemukakan, dalam kaitannya terhadap peningkatan pengetahuan, suatu tayangan televisi hendaknya memperhatikan beberapa hal, antara lain : a) Frekuensi menonton. Melalui frekuensi menonton komunikan, dapat dilihat pengaruh tayangan terhadap pengetahuan komunikan. b) Waktu penayangan. Apakah waktu penayangan suatu acara sudah tepat atau sesuai dengan sasaran komunikan yang dituju. Misalnya tayangan yang dikhususkan bagi pelajar, hendaknya ditayangkan pada jam setelah kegiatan belajar di sekolah usai. c) Kemasan acara. Agar mampu menarik perhatian pemirsa yang menjadi sasaran komunikannya, suatu tayangan harus dikemas atau ditampilkan secara menarik. d) Gaya penampilan pesan. Dalam menyampaikan pesan dari suatu tayangan, apakah host atau pembawa acara sudah cukup komunikatif dan menarik, sehingga dapat menghindari rasa jenuh pemirsanya dan juga memahami pesan yang disampaikan.
Universitas Sumatera Utara
e) Pemahaman pesan. Apakah komunikan dapat mengerti dan memahami setiap materi atau pesan yang disampaikan oleh suatu tayangan.
Televisi Sebagai Media Komunikasi Massa Siaran televisi saat ini dapat dilakukan di mana saja dan dapat pula dipantau dari mana saja. Hal ini terbukti ketika Neil Amstrong pada tanggal 20 Juli 1969 menginjakkan kakinya di bulan, melalui televisi dapat disaksikan oleh manusia di bumi. Dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, hampir semua pola dan rutinitas kehidupan manusia muncul melalui televisi. Masyarakat cenderung merasa ada yang kurang ataupun terlewatkan bila tidak menyaksikan siaran televisi sebagai salah satu rutinitas. Media televisi juga dipandang sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia, baik untuk kepentingan politik, perdagangan, sosial sampai melakukan perubahan ideologi serta penyebaran nilai-nilai budaya. Televisi juga dapat digunakan untuk menambah pengaruh dan wewenang seorang penguasa. Seperti halnya media massa lain (surat kabar dan radio siaran), televisi memiliki fungsi memberikan informasi, mendidik, menghibur dan membujuk. Namun menurut
hasil penelitian-penelitian
yang
dilakukan
mahasiswa
Fakultas
Komunikasi UNPAD, yang menerangkan bahwa pada umumnya tujuan khalayak menonton televisi adalah untuk memperoleh hiburan, baru selanjutnya memperoleh informasi. Televisi di satu sisi memiliki kekurangan, karena bersifat “transitory” maka isi pesannya tidak dapat disimpan oleh pemirsanya. Lain halnya dengan media cetak, pesan-pesan yang telah disiarkan dapat disimpan dalam bentuk kliping koran. Siaran televisi juga terikat oleh waktu, televisi tidak bisa
Universitas Sumatera Utara
melakukan kritik sosial dan pengawasan sosial secara langsung. Ini terjadi karena faktor penyebaran siaran televisi yang begitu luas kepada massa yang heterogen, juga karena kepentingan politik dan stabilitas keamanan negara. Walaupun ada kelemahan, televisi juga memiliki banyak kelebihan. Kekuatan televisi ialah menguasai jarak dan ruang, karena teknologi televisi menggunakan gelombang elektromagnetik, kabel dan fiber yang dipancarkan melalui satelit (transmisi). Sasaran untuk menjangkau massa jelas lebih besar, nilai aktualitas berita yang di tayangkan sangat cepat, daya rangsang seseorang terhadap media televisi cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh kekuatan suara dan gambarnya yang bergerak (ekspresif). Dan yang paling berpengaruh sebagai daya tarik televisi adalah informasi dan berita yang disampaikan lebih singkat dan jelas, dan sistematis.
II. 4. USES AND GRATIFICATIONS THEORY Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhannya. Penganut teori ini meyakini bahwa individu sebagai mahluk supra-rasional dan sangat selektif. Menurut para pendirinya, Elihu Katz; Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (Rakhmat, 2001), uses and gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain. Perkembangan teori Uses and Gratifications Media dibedakan dalam tiga fase (dalam Rosengren dkk., 1974), yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Fase pertama ditandai oleh Elihu Katz dan Blumler (1974) memberikan deskripsi tentang orientasi subgroup audiens untuk memilih dari ragam isi media. Dalam fase ini masih terdapat kelemahan metodologis dan konseptual dalam meneliti orientasi audiens. 2. Fase kedua, Elihu Katz dan Blumler menawarkan operasionalisasi variabel-variabel sosial dan psikologis yang diperkirakan memberi pengaruh terhadap perbedaan pola-pola konsumsi media. Fase ini juga menandai dimulainya perhatian pada tipologi penelitian gratifikasi media. 3. Fase ketiga, ditandai adanya usaha menggunakan data gratifikasi untuk menjelaskan cara lain dalam proses komunikasi, dimana harapan dan motif audiens mungkin berhubungan. Kristalisasi dari gagasan, anggapan, temuan penelitian tentang Uses and Gratifications Media mengatakan, bahwa kebutuhan sosial dan psikologis menggerakkan harapan pada media massa atau sumber lain yang membimbing pada perbedaan pola-pola terpaan media dalam menghasilkan pemuasan kebutuhan dan konsekuensi lain yang sebagian besar mungkin tidak sengaja. Elihu Katz; Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (Baran dan Davis, 2003) menguraikan lima elemen atau asumsi-asumsi dasar dari Uses and Gratifications Media sebagai berikut : 1. Audiens adalah aktif, dan penggunaan media berorientasi pada tujuan. 2. Inisiatif yang menghubungkan antara kebutuhan kepuasan dan pilihan media spesifik terletak di tangan audiens. 3. Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audiens.
Universitas Sumatera Utara
4. Orang-orang mempunyai kesadaran diri yang memadai berkenaan penggunaan media, kepentingan dan motivasinya yang menjadi bukti bagi peneliti tentang gambaran keakuratan penggunaan itu. 5. Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media spesifik atau isi harus dibentuk.
Pengujian-pengujian terhadap asumsi-asumsi Uses and Gratifications Media menghasilkan enam (6) kategori identifikasi dan temuan-temuannya, sebagai berikut : 1. Asal usul sosial dan psikologis gratifikasi media. John W.C. Johnstone menganggap bahwa anggota audiens tidak anonimous dan sebagai individu yang terpisah, tetapi sebagai anggota kelompok sosial yang terorganisir dan sebagai partisipan dalam sebuah kultur. Sesuai dengan anggapan ini, media berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan keperluan individu-individu, yang tumbuh didasarkan lokalitas dan relasi sosial individu-individu tersebut. Faktor-faktor
psikologis juga berperan
dalam memotivasi penggunaan media. Konsep-konsep psikologis seperti kepercayaan, nilai-nilai, dan persepsi mempunyai pengaruh dalam pencarian gratifikasi dan menjadi hubungan kausal dengan motivasi media. 2. Pendekatan nilai pengharapan. Konsep pengharapan audiens yang perhatian (concern) pada karakteristik media dan potensi gratifikasi yang ingin diperoleh merupakan asumsi pokok Uses and Gratifications Media mengenai audiens aktif. Jika anggota audiens memilih di antara berbagai alternatif media dan non media sesuai dengan kebutuhan mereka, mereka harus memiliki persepsi tentang alternatif yang
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan untuk memperoleh kebutuhan tersebut. Kepercayaan terhadap suatu media tertentu menjadi faktor signifikan dalam hal pengharapan terhadap media itu. 3. Aktivitas audiens. Levy dan Windahl menyusun tipologi aktivitas audiens yang dibentuk melalui dua dimensi : •
Orientasi audiens; selektivitas; keterlibatan; kegunaan.
•
Jadwal aktivitas: sebelum; selama; sesudah terpaan (”audiens”).
Katz, Gurevitch, dan Haas dalam penelitian tentang penggunaan media, menemukan perbedaan anggota audiens berkenaan dengan basis gratifikasi yang dirasakan. Dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: struktur media dan teknologi; isi media; konsumsi media; aktivitas non media; dan persepsi terhadap gratifikasi yang diperoleh. Garramore secara eksperimental menggali pengaruh rangkaian motivasi pada proses komersialisasi politik melalui televisi. Ia menemukan bahwa anggota audience secara aktif memproses/ mencerna isi media, dan pemrosesan ini dipengaruhi oleh motivasi. 4. Gratifikasi yang dicari dan yang diperoleh. Pada awal sampai pertengahan 1970-an sejumlah ilmuwan media menekankan perlunya pemisahan antara motif konsumsi media atau pencarian gratifikasi (GS) dan pemerolehan gratifikasi (GO). Penelitian tentang hubungan antara GS dan GO, menghasilkan temuan sebagai berikut; GS individual berkorelasi cukup kuat dengan GO terkait. Di lain pihak GS dapat dipisahkan secara empiris dengan GO, seperti pemisahan antara GS dengan GO secara konseptual, dengan alasan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
•
GS dan GO berpengaruh, tetapi yang satu bukan determinan bagi yang lain.
•
Dimensi-dimensi GS dan GO ditemukan berbeda dalam beberapa studi.
•
Tingkatan rata-rata GS seringkali berbeda dari tingkatan rata-rata GO.
•
GS dan GO secara independen menyumbang perbedaan pengukuran konsumsi media dan efek.
Penelitian GS dan GO menemukan bahwa GS dan GO berhubungan dalam berbagai cara dengan
variabel-variabel:
terpaan; pemilihan program
dependensi media; kepercayaan; evaluasi terhadap ciri-ciri atau sifat-sifat media. 5. Gratifikasi dan konsumsi media. Penelitian mengenai hubungan antara gratifikasi (GS-GO) dengan konsumsi media terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu: •
Studi tipologis mengenai gratifikasi media.
•
Studi yang menggali hubungan empiris antara gratifikasi di satu sisi dengan pengukuran terpaan media atau pemilihan isi media di sisi lain.
Studi-studi menunjukkan bahwa gratifikasi berhubungan dengan pemilihan program. Becker dan Fruit memberi bukti bahwa anggota audiens membandingkan GO dari media yang berbeda berhubungan dengan konsumsi media. Studi konsumsi media menunjukkan terdapat korelasi rendah sampai sedang antara pengukuran gratifikasi dan indeks konsumsi. 6. Gratifikasi dan efek yang diperoleh. Windahl penggagas model uses and effects, menunjukkan bahwa bermacammacam gratifikasi audiens berhubungan dengan spectrum luas efek media
Universitas Sumatera Utara
yang meliputi pengetahuan, dependensi, sikap, persepsi mengenai realitas sosial, agenda setting, diskusi, dan berbagai efek politik. Blumler mengkr itisi studi uses and effects sebagai kekurangan perspektif. Dalam usaha untuk menstimulasi suatu pendekatan yang lebih teoritis, Blumler menawarkan tiga hipotesis sebagai berikut : •
Motivasi kognitif akan memfasilitasi penemuan informasi.
•
Motivasi pelepasan dan pelarian akan menghadiahi penemuan audiens terhadap persepsi mengenai situasi sosial.
•
Motivasi identitas personal akan mendorong penguatan efek.
II. 5. KEPUASAN Di dalam suatu proses keputusan, konsumen atau pengguna produk atau jasa tidak akan berhenti hanya sampai proses konsumsi. Konsumen akan melakukan proses evaluasi alternatif pasca pembelian atau proses konsumsi. Proses ini juga disebut proses alternatif tahap kedua. Hasil dari pasca konsumsi adalah konsumen merasa puas atau tidak puas. Para khalayak menjadi perhatian baik dari perilaku, kebutuhan, sistem nilai, dan gaya hidupnya. London dan Della Bitta (1993) menjelaskan kepuasan sebagai hasil proses kognitif yang berbentuk disonansi positif atau negatif (Brotoharsojo, 2005: 167). Beberapa arti kepuasan lainnya adalah dari Engel, Blackwell, dan Miniard (1995), mendefenisikan kepuasan sebagai “satisfaction is defined here as a post-consumption evaluation that a chosen alternative at least meets or exceeds satisfaction”. Secara harafiah dapat diartikan sebagai evaluasi pasca-konsumsi dimana alternatif pilihannya adalah sesuai dengan kenyataan atau kepuasan, ataupun melebihi kepuasan. Yang
Universitas Sumatera Utara
kedua adalah Mowen dan Minor (1998) yang menyebutkan “consumer satisfaction is defined as the overall attitude consumers have toward, a good or service after they have acquired and used it. It’s a post-choice evaluative judgement resulting from a specific purchase selection and the experience of using/ consuming”. Teori yang menjelaskan bagaimana kepuasan/ ketidakpuasan konsumen terbentuk yakni the expectancy and disconfirmation model. Bahwa kepuasan/ ketidakpuasan konsumen merupakan dampak dari perbandingan antara harapan konsumen sebelum penggunaan dengan yang sesungguhnya diperoleh konsumen dari produk yang dikonsumsi tersebut (Sumarwan, 2003: 321). Khalayak merasa puas bila nilai harapannya sama dengan kenyataan yang didapatkan dari mengkonsumsi suatu produk media massa. Harapan ini merupakan perpanjangan dari kebutuhan khalayak. Khalayak selalu mencari media massa yang mampu memenuhi kebutuhannya. Namun tidak semua media massa, khususnya televisi, mampu memenuhinya karena televisi memiliki kelebihan tersendiri yang membuat khalayak betah untuk berlama-lama di depan televisi. Untuk itu, khalayak akan menilai harapannya akan produk media massa itu. Apabila sesuai (positif), maka kebutuhan dapat terpenuhi dan khalayak dapat merasa puas., begitu juga sebaliknya. Maka dapat disimpulkan kebutuhan merupakan faktor yang menentukan kepuasan seseorang. Katz, Gurevitch, dan Haas membuat daftar 35 kebutuhan yang diambil dari literatur tentang fungsi-fungsi sosial dan psikologis media massa kemudian menggolongkan kedalam lima kategori, yaitu : • Kebutuhan kognitif • Kebutuhan afektif
Universitas Sumatera Utara
• Kebutuhan integratif personal • Kebutuhan integratif sosial • Kebutuhan pelepasan ketegangan (Severin, 2005: 357)
II. 6. REALITY SHOW Reality
Show
adalah
jenis
program
acara
televisi
dimana
pendokumentasiannya berlangsung tanpa dilengkapi skenario dan menggunakan pemain dari khalayak umum biasa. Reality Show berarti pertunjukan yang asli (real), faktual, yang merujuk pada program siaran yang menyajikan fakta non fiksi. Kejadiannya diambil dari keseharian, kehidupan masyarakat apa adanya, yaitu realita dari masyarakat (Pedoman Perilaku Penyiaran Indonesia, 2004, Bab II, pasal 8, ayat 1-2). Keunggulan dalam reality show adalah unsur kedekatannya dengan kehidupan masyarakat, dan didukung oleh pesertanya yang berasal dari khalayak biasa. Berbagai tema yang biasa diangkat dalam reality show diantaranya permasalahan sosial, kompetisi, kemanusiaan, pencarian bakat, mengekspose kehidupan sehari-hari, percintaan, bahkan menjahili orang (www.wikipedia.com). Secara umum terdapat beberapa penggolongan dari reality show, yakni : 1. Program yang berisi rekaman kehidupan seseorang atau sekelompok orang dengan sepengetahuan objek yang direkam. Seperti tayangan Minta Tolong, Tantangan, Dunia Lain, Ekspedisi Alam Gaib, dan sebagainya. 2. Program yang berisi rekaman tersembunyi atas perilaku orang yang mengejutkan, atau dalam kondisi yang direkayasa. Seperti tayangan Jail,
Universitas Sumatera Utara
Paranoid, Harap-Harap Cemas, Playboy Kabel, Termehek-Mehek, Orang Ketiga, dan sebagainya. 3. Program pencarian bakat melalui kompetisi tertentu. Seperti AFI, Indonesian Idol, KDI. 4. Program Amal (Charity), konsep yang disampaikan adalah menolong orang lain. Seperti Rezeki Nomplok, Bedah Rumah, Nikah Gratis, Uang Kaget, dan sebagainya (http://www.gumilarcenter.com/RealityShow).
Universitas Sumatera Utara