BAB II URAIAN TEORITIS
2.1
Kerangka Teori Fungsi teori dalam riset adalah membantu periset menerangkan fenomena
sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya.Teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Kriyantono, 2007: 45). Adapun teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah : 2.1.1
Komunikasi Antar Budaya
2.1.1.a Pengertian Komunikasi Antar Budaya Komunikasi
antarbudaya
tidak
dapat
dielakkan
dari
pengertian
kebudayaan. Budaya merupakan landsan komunikasi, bila komunikasi beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasinya karena perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Kebudayaan (budaya) berasal dari bahasa Sansekerta yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal” (Koentjaraningrat, 1990:181). Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. Komunikasi antarbudaya adalah kegiatan komunikasi antarpribadi yang dilangsungkan di antara para anggota kebudayaan yang berbeda (Liliweri, 2001: 13). Fred E. Jandt juga mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka diantara orang-orang yang berbeda budayanya. Komunikasi antarbudaya terjadi bila si pengirim pesan adalah anggota suatubudaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Budaya sendiri sangat mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggungjawab atas seluruh perilaku komunikatif dan maksud yang dimiliki oleh setiap orang. Perilaku inilah yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya dapat menimbulkan kesulitan. 7
Adapun beberapa definisi komunikasi antarbudaya yang dikutip dari Liliweri (2001: 10-11), antara lain : 1. Andrea L. rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader , komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang – orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antaretnik dan ras, antarkelas sosial. 2. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi diantara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda. 3. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta. 4. Guo-Ming Chen dan William J. Stratosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Menurut defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi antar budaya selalu mempunyai tujuan tertentu yakni menciptakan komunikasi yang efektif melalui pemaknaan yang sama melalui pesan yang dipertukarkan. Secara umum tujuan komunikasi antar budaya antara lain menyatakan identitas sosial dan menjembatani perbedaan antar budaya melalui perolehan informasi baru, mempelajari sesuatu yang baru yang tidak pernah ada dalam kebudayaan (Liliweri, 2001:255). Melalui
pengaruh
budayalah
manusia
belajar
berkomunikasi
dan
memandang dunia mereka melalui kategori-kategori dan label-label yang dihasilkan kebudayaan.Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek atau peristiwa. Cara-cara manusia berkomunikasi, keadaan komunikasi, bahkan bahasa dan gaya bahasa 8
yang digunakan, perilaku-perilaku non verbal merupakan respons terhadap fungsi budaya itu sendiri (Liliweri, 2001: 160). Salah satu unsur penting yang mempengaruhi persepsi seseorang ketika berkomunikasi dengan orang lain, terutama dengan yang berbeda budaya adalah agama dan ideologi. Kepercayaan pada dasarnya adalah sesuatu yang bersifat persepsi pribadi.Banyak sistem kepercayaan yang dianut seseorang mengenai berbagai aspek realitas dan memiliki karakteristik tertentu. Kepercayaan merujuk pada keyakinan bahwa suatu hal memiliki ciri-ciri tertentu (Mulyana, 2005 : 221). Setiap kepercayaan mengajarkan nilai-nilai kehidupan untuk setiap orang yang menganutnya. Nilai-nilai budaya inilah yang menjadi arah dan pedoman seseorang dalam bertindak karena adanya konsep yang terbentuk dalam pikiran manusia, apa yang penting dan tidak penting. Karena nilai-nilai budaya tersebut sudah berkembang sejak kita kecil, dari lingkungan dan keluarga, nilai tersebut menjadi norma untuk panduan terhadap tindakan, sikap dan perilaku. Norma tersebut juga digunakan untuk menilai diri sendiri dan orang lain. Tidak semua orang atau komunitas budaya menganut seperangkat kepercayaan yang sama. Semua pesan berawal dari konteks budaya yang unik danspesifik, dan konteks tersebut akan mempengaruhi isi dan bentuk komunikasi (Mulyana, 2005: 44-45). Budaya akan mempengaruhi setiap aspek pengalaman manusia dalam berkomunikasi. Seseorang melakukan komunikasi dengan caracaraseperti yang dilakukan oleh budayanya. Budaya memainkan peranan penting dalam pembentukan kepercayaan/keyakinan, nilai, dan sikap. Dalam komunikasi antarbudaya tidak ada hal benar atau hal yang salah sejauh hal-hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan. Sedangkan nilai-nilai dalam suatu budaya terdapat dalam perilaku anggota budaya yang dituntut oleh budaya tersebut. Kepercayaan dan nilai memberi kontribusi bagi pengembangan sikap. Sikap dipelajari dalam suatu konteks budaya. Lingkungan turut membentuk sikap individu, kesiapan merespon, dan akhirnya menjadi perilaku individu tersebut (Mulyana, 2005: 2627).
9
2.1.1.b Unsur – Unsur Proses Komunikasi Antarbudaya Unsur pertama dalam proses komunikasi antarbudaya adalah komunikator. Komunikator dalam komunikasi antarbudaya merupakan pihak yang mengawali proses pengiriman pesan terhadap komunikan. Baik komunikator maupun komunikan ditentukan oleh faktor-faktor makro seperti penggunaan bahasa minoritas dan pengelolaan etnis, pandangan tentang pentingnya sebuah percakapan dalam konteks budaya, orientasi terhadap konsep individualitas dan kolektivitas dari suatu masyarakat, orientasi terhadap ruang dan waktu.Sedangkan faktor mikronya adalah komunikasi dalam konteks yang segera, masalah subjektivitas dan objektivitas dalam komunikasi antarbudaya, kebiasaan percakapan dalam bentuk dialek dan aksen, dan nilai serta sikap yang menjadi identitas sebuah etnik (Liliweri, 2004: 25-26). Unsur kedua dalam proses komunikasi antarbudaya adalah komunikan. Komunikan merupakan penerima pesan yang disampaikan oleh komunikator. Dalam komunikasi antarbudaya, komunikan merupakan seorang yang berbeda latar belakang dengan komunikator. Tujuan komunikasi yang diharapkan ketika komunikan menerima pesan dari komunikator adalah memperhatikan dan menerima secara menyeluruh. Ketika komunikan memperhatikan dan memahami isi pesan, tergantung oleh tiga bentuk pemahaman, yaitu kognitif, afektif dan overt action. Kognitif yaitu penerimaan pesan oleh komunikan sebagai sesuatu yang benar, kemudian afektif merupakan kepercayaan komunikan bahwa pesan tidak hanya benar namun baik dan disukai, sedangkan overt action merupakan tindakan yang nyata, yaitu kepercayaan terhadap pesan yang benar dan baik sehingga mendorong suatu tindakan yang tepat (Liliweri, 2004:26-27). Unsur yang ketiga adalah pesan atau simbol. Pesan berisi pikiran, ide atau gagasan, dan perasaan yang berbentuk simbol. Simbol merupakan sesuatu yang digunakan untuk mewakili maksud tertentu seperti kata-kata verbal dan simbol nonverbal. Pesan memiliki dua aspek utama, yaitu content (isi) dan treatment (perlakuan). Pilihan terhadap isi dan perlakuan terhadap pesan tergantung dari keterampilan komunikasi, sikap, tingkat pengetahuan, posisi dalam sistem sosial dan kebudayaan (Liliweri, 2004: 27-28). 10
Unsur keempat yaitu media. Dalam proses komunikasi antarbudaya, media merupakan saluran yang dilalui oleh pesan atau simbol. Terdapat dua tipe saluran yang disepakati para ilmuwan sosial, yaitu sory channel, yakni saluran yang memindahkan pesan sehingga akan ditangkap oleh lima indera manusia. Lima saluran dalam channel ini yaitu cahaya, bunyi, tangan, hidung dan lidah. Saluran kedua yaitu institutionalized channel yaitu saluran yang sudah sangat dikenal manusia seperti percakapan tatap muka, material percetakan dan media elektronik. Para ilmuwan sosial menyimpulkan bahwa komunikan akan lebih menyukai pesan yang disampaikan melalui kombinasi dua atau lebih saluran sensoris (Liliweri, 2004:28-29). Unsur proses komunikasi antarbudaya yang kelima adalah efek atau umpan balik. Tujuan manusia berkomunikasi adalah agar tujuan dan fungsi komunikasi dapat tercapai. Tujuan dan fungsi komunikasi antarbudaya, antara lain memberikan informasi, menerangkan tentang sesuatu, memberikan hiburan dan mengubah sikap atau perilaku komunikan. Di dalam proses tersebut, diharapkan adanya reaksi atau tanggapan dari komunikan dan hal inilah yang disebut umpan balik. Tanpa adanya umpan balik terhadap pesan-pesan dalam proses komunikasi antarbudaya, maka komunikator dan komunikan sulit untuk memahami pikiran dan ide atau gagasan yang terkandung di dalam pesan yang disampaikan. Unsur keenam dalam proses komunikasi antarbudaya adalah suasana. Suasana merupakan salah satu dari 3 faktor penting (waktu, tempat dan suasana) didalam komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2004:29-30). Unsur ketujuh dalam proses komunikasi antarbudaya adalah gangguan. Gangguan di dalam komunikasi antarbudaya merupakan segala sesuatu yang menghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dan komunikan, dan dapat juga mengurangi makna pesan antarbudaya. Gangguan tersebut menghambat penerimaan pesan dan sumber pesan. Gangguan yang berasal dari komunikator bersumber akibat perbedaan status sosial dan budaya, latar belakang pendidikan dan keterampilan berkomunikasi. Gangguan yang berasal dari pesan disebabkan oleh perbedaan pemberian makna pesan yang disampaikan secara verbal dan perbedaan tafsir atas pesan non verbal. Sedangkan gangguan yang berasal dari media, yaitu karena 11
kesalahan pemilihan media yang tidak sesuai dengan konteks komunikasi sehingga kurang mendukung komunikasi antarbudaya. Pada dasarnya manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial merekasebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Kebiasaan–kebiasaan dan tradisi-tradisi tersebut terus hidup dan berkembang serta diwariskan oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu. Individu –individu tersebut cenderung menerima dan mempercayai apa yang diwariskan budaya mereka. Mereka cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan “kebenaran” yang mereka yakini. Ini seringkali menjadi landasan bagi prasangka yang tumbuh di antara anggota kelompok tertentu terhadap kelompok lain.
2.1.2 Pandangan Dunia (World View) Menurut Ishii, Cooke, dan Klopf (dalam Samovar, dkk) cara pandang merupakan orientasi budaya terhadap Tuhan, kemanusiaan, alam, pertanyaan tentang keberadaan sesuatu, alam dan kosmos, kehidupan, moral dan alasan etis, penderitaan, kematian, dan isu filosofis lainnya yang mempengaruhi bagaimana anggotanya memandang dunia. Tujuan cara pandang adalah untuk menuntun orang menentukan gambaran dunia ini dan bagaimana mereka berperan dalam dunia tersebut. Banyak ahli yang setuju bahwa budaya mempengaruhi sebagian besar cara pandang seseorang. Cara pandang menyediakan dasar persepsi dan sifat realitas seperti yang dialami oleh mereka yang berbagi budaya yang umum. Pandangan budaya berfungsi untuk membuat pengalaman hidup yang mungkin menurut orang lain kacau dan tidak berarti menjadi dapat diterima oleh akal sehat. Cara pandang ditentukan oleh pemahaman kolektif sebagai dasar untuk menghakimi suatu tindakan yang memungkinkan kelangsungan hidup dan adaptasi (Samovar, dkk, 2010: 117-118). Agama sebagai cara pandang telah ditemukan dalam setiap budaya selama ribuan tahun. Cara pandang erat kaitannya dengan praktik agama dan kepercayaan. Manusia percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari manusia sebagai penentu dan pencipta budaya. Bagi kebanyakan orang di dunia ini, tradisi agama (seperti keluarga, suku atau negara) menjadi identitas mereka di dunia. 12
Orang Kristen percaya bahwa keselamatan hanya diperoleh lewat Yesus Kristus.Sedangkan kaum Muslim percaya bahwa untuk memperoleh surga adalah keyakinan bahwa Tuhan itu satu dan tanpa sekutu dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya.Akan tetapi orang-orang yang beragama Hindu dan Budha tidak menganut kepercayaan seperti Kristen dan Islam. Agama Hindu dan Budha percaya bahwa Tuhan tidak dalam otoritas tunggal, tetapi menjelma menjadi banyak Tuhan (Mulyana, 2004: 35). Hal yang menarik dari agama adalah bahwa hal tersebut mengikat orang bersama-sama dalam dan memelihara cara pandang budaya mereka selama ribuan tahun. Baik melalui ajaran Alkitab, Alquran, Weda, Torah, dan I Ching, manusia selalu merasakan suatu kebutuhan untuk melihat keluar diri mereka sendiri akan nilainilai yang mereka gunakan dalam mengatur hidup mereka. Agama menyediakan dan menunjukkan nilai dari fenomena yang tidak dapat dijelaskan. Inti dari agama adalah menyediakan petunjuk mengenai bagaimana untuk memperlakukan orang lain dan memperoleh kedamaian batin (Samovar, dkk, 2010: 123-125). Keyakinan kita tidak terbatas, misalnya Tuhan itu Esa atau Adam adalah manusia pertama di bumi. Salah satu fungsi penting dari kepercayaan/keyakinan adalah bahwa hal itu membentuk dasar nilai. Nilai adalah komponen evaluatif dari kepercayaan mencakup kegunaan, kebaikan, estetika, dan kepuasan. Jadi nilai bersifat normatif, memberitahu suatu anggota budaya mengenai apa yang baik atau buruk, benar dan salah, apa yang harus diperjuangkan, dan sebagainya. Nilai biasanya bersumber dari isu filosofis yang lebih besar yang merupakan bagian dari lingkungan budaya, karena itu nilai bersifat stabil dan sulit berubah (Mulyana, 2007:215-216). Keyakinan dan nilai yang dianut seseorang yang jika dilaksanakan secara terus-menerus akan disebut sikap. Keyakinan dan nilai yang dianut seseorang tidak dapat diamati langsung. Kita hanya bisa menduga bagaimana kepercayaan dan nilai seseorang berdasarkan tindakannya, terutama yang konsisten dari waktu ke waktu (sikap). Manusia telah menganut berbagai kepercayaan sejak lahir yang ditanamkan di dalam lingkungannya. Bagaimana cara berbicara, gaya berpakaian, apa yang bisa dicapai, dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan 13
tersebut,
semua
diterima
begitu
saja
dari
lingkungan
tanpa
banyak
mempersoalkannya. Pola budaya merupakan suatu sistem kepercayaan dan nilai yang terintegrasi yang bekerja sama untuk menyediakan suatu model terpadu dan konsisten. Pola tersebut berkontribusi tidak hanya pada cara manusia melihat dan berpikir mengenai dunia ini, namun juga bagaimana manusia hidup di dunia ini (Samovar,dkk, 2010: 227).
2.1.3
Akulturasi dalam Pernikahan Campuran
2.1.3.a Komunikasi dan Akulturasi Istilah akulturasi atau acculturation mempunyai arti sebagai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur – unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 2002: 248). Dalam akulturasi, selalu terjadi proses penggabungan (fusi budaya) yang memunculkan kebudayaan baru tanpa menghilangkan nilai-nilai dari budaya lama atau budaya asalnya. Akulturasi adalah proses jalan tengah antara konfrontasi dan fusi, isolasi dan absorbs, masa lampau dan masa depan. Ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi supaya proses akulturasi dapat berjalan dengan baik : 1. Penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut (syarat persenyawaan/affinity). 2. Adanya nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya (syarat keseragaman/homogeneity). 3. Adanya nilai baru yang diserap hanya sebagai kegunaan yang tidak penting atau hanya tampilan (syarat fungsi). 4. Adanya pertimbangan yang matang dalam memilih kebudayaan asing yang datang (syarat seleksi) (Sachari, 2001:86-87).
Apabila dilihat dari defenisi tentang akulturasi diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa akulturasi adalah proses penggabungan antara dua kebudayaan atau lebih untuk mencari jalan tengah dimana pada kebudayaan baru yang terbentuk tersebut masih dapat ditemukan karakter asli dari unsur-unsur 14
kebudayaan penyusunnya. Salah satu bentuk akulturasi yang sering terjadi adalah pada
saat
perpindahan.
Migrasi
menyebabkan
pertemuan-pertemuan
antarkelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda, akibatnya individu-individu dalam kelompok tersebut dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan yang asing. Pada akhirnya bukan hanya sistem sosio-budaya imigran, tapi juga sosio-budaya pribumi yang mengalami perubahan sebagai akibat kontak antar budaya yang lama. Faktor yang berpengaruh atas perubahan yang terjadi pada diri imigran itu adalah perbedaan antara jumlah dan besarnya masyarakat pribumi, serta kekuatan dominan masyarakat pribumi dalam mengontrol berbagai sumber dayanya mengakibatkan lebih banyak dampak pada kelanjutan dan perubahan budaya imigran. Kebutuhan imigran untuk beradaptasi dengan sistem sosio-budaya pribumi akan lebih besar daripada kebutuhan masyarakat pribumi untuk memasukkan unsur-unsur budaya imigran ke dalam budaya mereka. Kecakapan berkomunikasi yang telah diperoleh imigran lebih lanjut menentukan seluruh akulturasinya. Kecakapan imigran dalam berkomunikasi akan berfungsi sebagai alat penyesuaian diri yang membantu imigran memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan akan kelangsungan hidup dankebutuhan akan “rasa memiliki”. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya baru. Kecakapan komunikasinya pada gilirannya menunjukkan derajat akulturasi imigran tersebut. Dalam proses akulturasi budaya yang terjadi, tidak jarang timbul permasalahan dalam memahami budaya asing. Menurut William B. Gudykunst, terdapat beberapa potensi masalah dalam proses akulturasi budaya (Gudykunst, 2003:316), yaitu :
1. Stereotip Stereotip dapat positif atau negatif. Stereotip dapat menyamaratakan ciriciri sekelompok orang. Dengan demikian, stereotip bisa mempersempit persepsi
kita dan
mencemarkan
berlangsung. 15
proses
akulturasi
yang sedang
2. Prasangka Prasangka memberikan perasaan dan tingkah laku negatif yang melibatkan rasa marah, takut, keseganan dan perasaan gelisah. Menurut Brislin (dalam Gudykunst, 2003:323) prasangka adalah perasaan mengenai hal baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak pantas, dll. 3. Etnosentrisme Menurut Nanda dan Warms (dalam Gudykunst, 2003:331), etnosentrisme merupakan
pandangan
bahwa
budaya
seseorang
lebih
unggul
dibandingkan budaya lain. Pandangan bahwa budaya lain dinilai berdasarkan standar budaya kita. Kita menjadi etnosentris ketika kita melihat budaya lain melalui kacamata budaya kita atau posisi sosial kita. 4. Culture shock (gegar budaya) Menurut Kalvero Aberg (dalam Gudykunst, 2003:335), gegar budaya ditimbulkan oleh rasa gelisah sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Gegar budaya dapat meneybabkan rasa putus asa, lelah dan perasaan tidak nyaman. Butuh penyesuaian sebelum Anda dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Penyesuaian ini bisa berupa masalah komunikasi, perbedaan mekanis dan lingkungan, perbedaan pengalaman budaya, perilaku dan kepercayaan.
2.1.3.b Potensi Akulturasi Potensi
akulturasi
seorang
imigran
sebelum
berimigrasi
dapat
mempermudah akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi. Potensi akulturasi ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Kemiripan budaya asli dengan budaya pribumi. 2. Usia pada saat berimigrasi. 3. Latar belakang pendidikan. 4. Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan toleransi. 5. Pengetahuan tentang budaya pribumi sebelum berimigrasi (Mulyana, 2005:146). 16
Memperhatikan
individu-individu
dari
kebudayaan
asing
yang
menyebabkan pengaruh unsur-unsur kebudayaan penerima sangat penting, karena mereka adalah agent of acculturation yang mengetahui unsur-unsur apa saja yang sudah masuk. Dalam tiap masyarakat, warga masyarakat hanya memahami sebagian dari kebudayaannya.Misalnya, kalau mereka pedagang, maka unsur kebudayaan yang dibawa adalah benda-benda kebudayaan jasmani, cara-cara berdagang, dan hal-hal yang bersangkutan dengan itu. Ketika terjadi proses akulturasi, ada dua tipe masyarakat yang akan terbentuk. Masyarakat yang “kolot” (tidak suka dan menolak hal-hal baru) dan masyarakat yang “progresif” (suka dan menerima hal-hal baru). Salah satu wujud penolakan terhadap pengaruh kebudayaan asing dan pergeseran sosial budaya adalah gerakan-gerakan kebatinan di mana warga “kolot” dapat mengundurkan diri dari kehidupan masyarakat yang bergeser itu dan bermimpi mengenai kejayaan kuno di masa lampau sesuai dengan kebudayaannya. Reaksi berbeda dari warga progresif dimana mereka menerima hal-hal baru yang datang.Hal ini tidak jarang mengakibatkan perpecahan masyarakat dengan berbagai konsekuensi konflik sosial politik (Koentjaraningrat, 2002: 254-255).
2.1.4 Pernikahan Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatanperkawinan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Pernikahan adalah bentukan kata benda dari kata dasar nikah; kata itu berasal dari Bahasa Arab yaitu kata nikkah yang berarti perjanjian perkawinan. Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk mmelakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan. 17
2.1.4.a Pernikahan di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di Indonesia, pernikahan dilakukan dengan dua cara, dengan catatan sipil atau sesuai adat dan istiadat yang menjadi latar belakang masing-masing pasangan. Tidak jarang juga yang memilih untuk mengadopsi pernikahan gaya barat. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
2.1.4.b Pernikahan di Jepang Di Jepang, pernikahan adalah hal yang penting karena hal itu menandakan kesiapan seseorang dalam membentuk keluarga yang baru. Saat ini, jarang pasangan Jepang yang menikah pada usia muda, karena setelah menamatkan pendidikan mereka mulai memikirkan karir, setelah itu baru pernikahan. Uniknya, para wanita Jepang rata-rata menginginkan pria yang sudah memenuhi syarat untuk dijadikan pendamping, yaitu tinggi badan, tinggi pendidikan, dan tinggi pendapatan. Pernikahan dilakukan dengan 2 cara, yaitu Shinto atau pernikahan dengan cara barat. Sedangkan upacara pernikahannya ada yang menggunakan tata cara tradisional dan cara modern. Beda lagi dalam sebuah konteks perkawinan. Menurut Cohen (dalam Hariyono,1993:102), perkawinan
campuran
dimaksudkan sebagai
sebuah
perkawinan yang berlangsung antara individu dalam kelompok etnis yang berbeda, atau dengan istilah lain disebut amalgamasi. Amalgamasi ini merupakan peristiwa bertemunya sepasang suami isteri yang berlainan etnis, yang sama-sama bermaksud membentuk suatu rumah tangga (keluarga) berdasarkan kasih sayang, yang disahkan secara resmi dengan upacara tertentu. Oleh Hariyono, perkawinan campuran dikatakan sebagai puncak dari bentuk asimilasi, yang diistilahkan sebagai asimilasi perkawinan. Asimilasi perkawinan memberi pengertian tentang bersatunya jiwa, kepribadian, sifat, dan perilaku dari dua insan (yang berlawanan 18
jenis kelamin) yang memiliki perbedaan etnis. Segala apa yang ada pada pasangan hidupnya, dengan segala latar belakang yang berbeda dapat diterima untuk kemudian berjalan bersama-sama secara serasi menjadi teman hidup untuk selamanya dalam satu wadah rumah tangga yang sama. Dugan Romano dalam penelitiannya mengenai perkawinan antar etnis, atau antarbudaya, mengidentifikasikan empat kelompok dalam tipe perkawinan antaretnis
tersebut,
yaitu
patuh/tunduk,
kompromi,
eliminasi,
dan
konsensus.Perkawinan dalam tipe patuh, individu bersedia menerima budaya pasangannya. Dan tipe inilah yang sering dijumpai dalam pasangan yang menikah antarbudaya, banyak diantaranya yang berhasil. Tipe perkawinan kedua, yaitu kompromi, lebih bermakna negatif. Hal ini dikarenakan salah satu akan mengorbankan kepentingannya, prinsip-prinsipnya demi pasangannya. Tipe eliminasi, berarti pasangan perkawinan antarbudaya tidak mau mengakui budaya masing-masing, sehingga pasangan ini dapat dikatakan sangat miskin budaya. Tipe terakhir, konsensus, memuat persetujuan dan kesepakatan dalam perkawinan antarbudaya,
sehingga
tidak
ada
nilai-nilai
yang
disembunyikan
(http://ums.ac.id/). Beulah Rohrlich (dalam Dodd, 1998: 71) menyatakan, bahwa dalam keluarga kawin campur, komunikasi merupakan isu utama yang lazim muncul. Karena itu, Rohrlichmemberikan beberapa alternatif dalam upaya penyesuaian: 1. Penyesuaian satu arah (one way adjustment): salah satu mengadopsi polabudayapasangannya. 2. Penyesuaian alternatif (alternative adjustment): pada satu kesempatan salahsatu budaya diterapkan, tapi pada kesempatan lain budaya lainnya diterapkan. 3. Kompromi midpoin (midpoint compromise): kedua pihak sepakat untuk menentukan posisi masing-masing sebagai jalan keluar. 4. Penyesuaian campuran (mixing adjustment): kombinasi dari dua budaya yang sepakat untuk diadaptasi. 5. Penyesuaian kreatif (creative adjustment): kedua pihak memutuskan untuktidak mengadopsi budaya masing-masing tetapi mencari pola perilaku yang baru. 19
Dalam upaya saling menyesuaikan diri, pasangan kawin campur dipengaruhi oleh beragam kondisi. Dodd menggolongkannya ke dalam delapan kategori, yaitu: 1. Efek Romeo dan Juliet. Konsep ini merujuk pada pasangan kawin campur yang saling tertarik, meskipun keluarga masing-masing tidak memberikan restu. Sayangnya, seiring waktu, pasangan akan menemui beragam persoalan, seperti tidak diterima oleh komunitas, munculnya kritik dari orang-orang terdekat, orangtua melakukan intervensi. Hal ini akan menurunkan kepercayaan individu terhadap pasangannya. 2. Peran yang diharapkan. Beberapa studi memperlihatkan, bahwa para isteri merasa dipaksa untuk menerima budaya suaminya. Para istri yang sering kali mengalami tekanan untuk melakukan penyesuaian diri terhadap budaya para suami. Hal ini mengakibatkan turunnya kepuasan dalam berkomunikasi. 3. Gangguan dari keluarga besar. Bagi keluarga kawin campur, persoalan seputarikut campurnya atau evaluasi oleh keluarga besar lebih sering dijumpai dibandingkan dengan keluarga yang menikah dalam satu budaya. 4. Budaya
kolektif-individualistik.
Beberapa
budaya
menganut
pendekatan saling berbagi sesuai dengan komitmen dan tanggung jawab dalam kelompok (keluarga besar). Tetapi terdapat pula budaya yang lebih memperhatikan kebutuhan keluarganya sendiri dan lebih individualistik. 5. Bahasa dan kesalahpahaman. Ketika dua bahasa yang berbeda dipakai dalam kehidupan sehari-hari keluarga kawin campur, seringkali menghasilkan konflik, paling tidak persoalan kesalahpahaman terhadap kata-kata, bahasa yang dipilih untuk dipakai sehari-hari, atau kekuasaan psikologis yang akan mengontrol rumah tangga. Sebagai catatan, jika seorang anak dipaksa untuk memilih identitas kulturalnya, cenderung akan memilih budaya ibunya. 20
6. Model konflik. Perbedaan dalam cara memecahkan konflik juga merupakan poin penting kehidupan pasangan kawin campur. Directness-indirectness, budaya konteks tinggi-konteks rendah, monokronik-polikronik dan jarak kekuasaan merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan konflik dalam keluarga kawin campur. 7. Cara membesarkan anak. Perilaku terhadap anak dan cara mendidik anakmerepresentasikan perbedaan budaya yang lain dalam keluarga kawin campur. Beberapa budaya menganut pemberlakuan aturan yang ketat dibandingkan budaya lain, yang akan menghasilkan nilai budaya yang
berbeda,
sekaligus
perbedaan
cara
nilai-nilai
tersebut
dikomunikasikan dan diberlakukan kepada anak-anak. 8. Pandangan negatif dari komunitas. Bizman mengajukan pertanyaan kepada 549 orang tentang perkawinan orang Yahudi; Yahudi Barat dengan Yahudi Barat, Yahudi Timur dengan Yahudi Timur dan Yahudi
Barat
dengan
Yahudi
Timur.
Hasilnya,
25
persen
beranggapan, bahwa perkawinan antara orang Yahudi Barat dengan Yahudi Timur tidak akan berhasil dalam perkawinannya (dalam Dodd, 1998:70-71).
2.1.5
Identitas Etnis
2.1.5.a Pengertian Identitas Etnis Identitas adalah suatu konsep yang abstrak dan beraneka ragam yang memainkan peran yang signifikan dalam seluruh interaksi komunikasi. Untuk itu penting memberikanapresiasi pada apa yang membawa identitas, dan untuk memberikan pemahaman mengenai hal tersebut, maka perlu untuk memperluas kebutuhan untuk mengerti peran dari identitas dalam masyarakat yang beragam budaya ini. Dan kebutuhan akan pemahaman perasaan tentang identitas akan terbukti sendiri. Perkembangan identitas dipertimbangkan sebagai sebuah aspek kritis bagi kebaikan/kesehatan psikologis setiap orang. Menurut Phinney dalam Samovar dkk, sebuah prinsip objektif bagi orang dalam masa-masa usia dewasa adalahpembentukan sebuah identitas dan siapa yang gagal memperoleh sebuah 21
identitas yang tepat akan menghadapi kebingungan identitas, kekurangan kejernihan pemikiran tentang siapa mereka dan apa peran mereka dalam hidup. Pemahaman akan identitas juga sebuah aspek yang penting dalam studi dan praktek komunikasi antarbudaya. Perhatian dari studi komunikasi antarbudaya adalah bagaimana identitas mempengaruhi dan menuntun ekspektasi tentang apa peran sosial diri dan orang lain maupun menyediakan tuntunan bagi interaksi komunikasi dengan orang lain (Samovar dkk, 2007: 109-110). Secara sederhana identitas dipahami sebagai konsep pribadi mengenai diri di dalam sebuah konteks sosial, geografik, budaya dan politik. Menurut Mathews dalam Samovar dkk, identitas adalah bagaimana diri menyusun dirinya sendiri dan label untuknya sendiri (Samovar dkk, 2007: 111). Menurut Alba, identitas etnis dinilai sebagai orientasi subjektif seseorang yang mengarahkannya pada etnis asalnya. Bahkan menurut Rossens, identitas etnis membantu kita mendefenisikan siapa kita (Gundykunst,dkk 2003: 103). Tipologi identitas dalam Communication between cultures, terbagi atas: identitas ras, identitas etnis, identitas gender, identitas nasional, identitas regional, identitas organisasi, identitas pribadi, dan identitas maya dan fantasi (Samovar dkk, 2007: 113-118). Sedangkan dalam Intercultural Communication In Context, identitas budaya dan sosial di bagi atas: identitas gender, identitas usia, identitas ras, identitas etnis, identitas agama, identitas kelas, identitas nasional, identitas regional, dan identitas pribadi (Martin & Thomas, 2007: 171-188). Identitas etnis sering sekali dikaji oleh para sosiolog, antropolog, psikolog dan sejarawan. Para ahli meneliti asal-susul, substansi, konsekuensi dan proses etnisitas yang sedang berubah dalam berbagai komunitas. Istilah-istilah lain yang sering menjadi sinonim adalah etnisitas dan konsep diri kultural atau rasial. Istilah-istilah kadang digunakan identik atau punya makna yang sama oleh para ahli. Makna konsep identitas etnis tidak selalu eksplisit dalam kajian-kajian itu, atau tersirat dalam kajian tentang akulturasi, asimilasi suatu kelompok etnis (Mulyana, 2005 : 151). Identitas etnis sendiri sebenarnya merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Ting-Toomey dalam Rahardjo, mendefenisikan identitas kultural merupakan perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut dalam memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu (Rahardjo, 22
2005: 1-2). Sedangkan identitas etnis bisa dilihat sebagai sebuah kumpulan ide tentang satu kepemilikan keanggotaan kelompok etnis. Hal ini menyangkut beberapa dimensi: •
Identifikasi diri sendiri
•
Pengetahuan tentang budaya etnis (tradisi, kebiasaan, nilai, perilaku)
•
Perasaan mengenai kepemilikan pada kelompok etnis tertentu.
Identitas etnis sering melibatkan sebuah perasaan yang dibagi tentang asal dan sejarah, di mana mungkin mata rantai kelompok etnis pada kelompok budaya yang jauh di Eropa, Asia, Amerika Latin atau tempat lain (Martin & Thomas, 2007: 175). Memiliki sebuah identitas etnis berarti mengalami sebuah perasaan memiliki pada suatu kelompok dan mengetahui sesuatu tentang pengalaman yang dibagi pada anggota kelompok (Martin & Thomas, 2007: 175). Identitas etnis merupakan identitas sosial yang penting yang dapat mempengaruhi komunikasi kita dengan orang lain (berbeda budaya). Cara kita bereaksi dengan orang lain sering didasarkan pada asumsi kita mengenai etnisitas mereka, sebagai contoh, kitamengkategorisasikan orang asing dan melekatkan label etnis pada mereka. Bagaimanapun ketika kita melekatkan label pada orang beda budaya, kita tidak mungkin melekatkan label, orang yang berbeda budaya tersebut akan digunakan untuk mendeskripsikan diri mereka. Bahkan Devos menjelaskan bahwa etnisitas melibatkan penggunaan beberapa aspek dari sebuah latar belakang kelompok budaya yang digunakan untuk memisahkan anggota kelompok dari yang bukan termasuk di dalaam kelompok. Sedangkan Giles dan Johnson
melihat
sebuah
kelompok
etnis
sebagai
orang-orang
yang
mengidentifikasi diri mereka yang memiliki kategori etnis yang sama (Gundykunst &Kim, 2003: 103). Beberapa ahli menyatakan identifikasi etnis dan ras sama dan ada yang menyebutkan keduanya berbeda. Beberapa ahli menyebutkan identitas etnis dikonstruksikan oleh dirinya sendiri dan lainnya tetapi identitas ras dikonstriksikan semata-mata oleh dirinya (Martin & Thomas, 2007: 177). Kita akan bisa untuk mengabaikan perbedaan kelompok etnis ketika kita berinteraksi dengan orang lain yang juga secara lemah mengidenfikasi kesamaannya dengan kelompok etnisnya. Jika orang lain tersebut, secara kuat 23
dam jelas mengidentifikasi kesamaannya maka kita tidak dapat mengabaikan perbedaan kelompok. Ketika orang lain dengan jelas menemukan dan merasakan kesamaannya dengan kelompok etnisnya dan kita mengabaikan etnisitas orang lain tersebut ketika kita berinteraksi dengannya, maka kita tidak mendukung konsep dirinya dan tidak akanmampu memahami tingkah lakunya. Ini adalah sebuah masalah karena dukungan konsep diri justru perlu untuk orang lain yang berbeda budaya tersebut, agar dia bisa merasakan kepuasan dengan komunikasi mereka dengan kita (Gundykunst & Kim, 2003: 110). Masyarakat menggambarkan identitas mereka didalam suatu lingkungan secara pribadi. Identitas etnis atau disebut juga etnisitas, berasal dari sejarah, tradisi, warisan, nilai, kesamaan perilaku, asal daerah dan bahasa yang sama. Masyarakat yang memiliki etnis yang sama didaerah tempat perpindahan akan membentuk komunitas etnisnya sendiri. Pada komunitas etnis ini, identitas etnis cenderung tetap kuat, hal ini dikarenakan praktik, kepercayaan, dan bahasa dari bahasa tradisional yang dipertahankan dan dipelihara (Samovar, dkk, 2010:189). Identitas etnis merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Daphne A. Jameson dalam jurnalnya Reconceptualizing Cultural Identity and Its Role in Intercultural Business Communication (Jameson, 2007: 218-225) menyebutkan bahwa identitas budaya memiliki atribut sebagai berikut: 1. Cultural identity is affected by close relationships (Identitas budaya dipengaruhi oleh hubungan dekat). Hubungan dekat seseorang dengan orang lain seperti anggota keluarga atau teman. Orang-orang yang memiliki teman dekat berbeda budaya, secara bertahap akan mengadopsi beberapa kepercayaan dan sikap dari rekannya tersebut. Proses ini sering berlangsung secara tidak sengaja, tetapi dapat menyebabkan qualitative psychic transformation. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan bagaimana sebuah hubungan memodifikasi identitas budaya seseorang. 2. Cultural identity changes over time (identitas budaya berubah sesuai dengan waktu). Dalam perjalanan kehidupan, banyak ornag berpindah kelas ekonomi atau bidang profesi. Beberapa orang mengubah kebangsaannya bahkan agama. Meskipun orang-orang tidak mengubah 24
bahasa aslinya, tetapi kemudian banyak yang muncul dengan dialek baru dalam kehidupannya sehari-hari. Semua perubahan tersebut mempengaruhi identitas budaya masyarakat. Bahkan ketika terjadi perubahan terhadap kondisi sehari-hari, komponen lain dari identitas budaya tetap mejadi pusat penting dan relevan dengan identitas inti seseorang dalam jangka waktu yang panjang. 3. Cultural identity is closely intertwined with power and privilege (identitas budaya erat kaitannya dengan kekuasaan dan hak istimewa). Kekuasaan
dan
hak
istimewa
ataupun
kemampuan
untuk
mengendalikan persepsi eksternal identitas budaya menjadi terbatas ketika seseorang tidak memiliki lembaga atau kelompok. Beberapa komponen dari identitas budaya mungkin dapat disembunyikan atau yang disebut “afiliasi disengaja”. Sebagai contoh, ciri-ciri fisik membuat jelas latar belakang etnis untuk beberapa orang, tetapi menjadi ambigu bagi yang lainnya. Orang-orang dapat memilih apakah mereka akan membiarkan orang lain tahu mengenai latar belakang budayanya atau tidak. Komponen biologis budaya-ras, etnis, jenis kelamin, usia, terkadang membuat orang lain merasa terpinggirkan dari hak-haknya. 4. Cultural identity may evoke emotions (identitas budaya bisa membangkitkan emosi). Orang mungkin memiliki perasaan positif, negatif, netral atau ambigu terhadap komponen identitas mereka sendiri. Bahkan terkadang baik secara sadar ataupun tidak memiliki perasaan negative terhadap komponen identitas mereka sendiri. Ketika seseorang bersikap negative terhadap budaya orang lain, beberpaa kemungkinan bisa saja terjadi. Ting Toomey (1986) dalam model validitas identitasnya, berteori bahwa orang mengembangkan sikap positif atau negative terhadap komponen atau identitas budaya mereka sendiri berdasarkan persepsi sejauh mana orang lain mendukung identitas tersebut. Dengan menegaskan identitas budaya orang lain, salah satu pihak akan memberikan kekuatan motivasi yang mendasari 25
hubungan antarkelompok di mana hubungan interpersonal dapat dikembangkan. 5. Cultural identity can be negotiated through communication (identitas budaya bisa dinegosiasikan melalui komunikasi). Identitas budaya dapat dinegosiasikan melalui komunikasi tetapi hanya dalam keadaan tertentu. Orang tersebut harus merasa sadar dengan komponen identitas budaya mereka dan merasa nyaman untuk mendiskusikannya dengan orang lain. Bahkan ketika orang-orang mengetahui identitas budaya mereka, mereka tidak selalu mengkomunikasikan semua tentang kebudayaannya. Meskipun beberapa aspek identitas budaya secara fisik tampak pada pertemuan tatap muka, tetapi masih ada aspek yang tidak terlihat seperti agama, kelas dan profesi. Bahkan dalam interaksi yang menggunakan media, seperti telepon atau email, komponen dari identitas budaya mereka menjadi tersembunyi, kecuali mereka mengungkapkannya dengan sengaja.Orang bisa memilih bagian dari identitas budaya yang mana yang akan mereka ekspresikan. Identitas tersebut dapat diakses, digunakan, ditafsirkan, ditampilkan, dilakukan dan seterusnya dalam konteks sosial tertentu. Hal ini juga menegaskan bahwa untuk berkomunikasi dengan seseorang, kita harus memahami budaya dan identitas etnis mereka.
2.1.6
Persepsi Manusia diberi kemampuan oleh Tuhan untuk mempersepsikan apa yang
dia lihat dan dia rasakan dari pengalaman dilingkungan tempat dia hidup. Persepsi-persepsi tersebut berasal dari kebudayaan yang mengajarkan kepada individu untuk mencipta, merasa, dan mengkarsa.Jadi kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang turut menentukan persepsi manusia. Berbeda kebudayaan, maka berbeda pula persepsi yang dimiliki oleh masingmasing individu tersebut. Persepsi seringkali dimaknakan dengan pendapat, sikap, penilaian, perasaan dan lain-lain.Persepsi menggambarkan pengalaman manusia tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan 26
informasi dan menafsirkan pesan tentang objek tersebut.Antara persepsi dan sensasi memiliki hubungan yang erat karena sensasi merupakan bagian dari persepsi.Walaupun begitu, dalam menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, akspektasi, motivasi dan memori (Rakhmat, 2001:51). Sensasi merupakan pengalaman elementer segera yang tidak memerlukan uraian verbal, simbolis atau konseptual yang berhubungan dengan kegiatan alat indera. Sensasi berkaitan erat dengan cara indera manusia yang menangkap secara sepintas atas objek. Sedangkan ekspektasi sama dengan harapan, harapan yang ditimbulkan karena proses komunikasi (Liliweri, 2001:112).
Persepsi memiliki hubungan yang erat dengan sensasi, atensi, ekspektasi, motivasi, memori. Persepsi tidak akan ada tanpa melalui proses-proses tersebut. Persepsi memiliki keunikan tersendiri, keunikan tersebut terletak pada perbedaan persepsi diantara manusia terhadap ransangan yang sama. Misalnya setiap individu akan mempersepsikan berbeda-beda setiap ransangan yang sama yang datang kepada mereka. Selain faktor personal persepsi juga ditentukan oleh faktor situasional. Faktor personal berasal dari dalam diri individu seperti pengalaman masa lalu, kebutuhan, jenis kelamin dan lain-lain yang bersifat subjektif. Sedangkan faktor situasional berasal dari luar diri individu seperti lingkungan keadaan sosial, hukum yang berlaku, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Salah satu faktor yang menentukan persepsi adalah perhatian (attention). Menurut Kenneth E. Andersen perhatian (attention) merupakan proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Perhatian (attention) juga dipengaruhi oleh faktor situasional dan personal. Faktor situasional atau penarik perhatian (attention getter) berupa gerakan, intensitas stimuli, kebaruan, dan perulangan. Sedangkan faktor personal perhatian (attention) terdiri dari faktor biologis dan faktor sosiopsikologis (Rakhmat 2001:52).
27
2.1.6.a Persepsi dan Budaya Persepsi itu terikat oleh budaya (cultured-bound). Bagaimana kita memaknai suatu pesan, objek atau lingkungan bergantung pada sistem nilai yang kita anut.Persepsi setiap kelompok-kelompok budaya berbeda-beda. Persepsi seseorang terhadap lingkungannya bersifat subjektif, oleh karena itu tidak ada dua orang yang mempunyai nilai-nilai budaya yang persis sama, dan tidak ada pula dua orang yang mempunyai persepsi yang persis sama pula. Masalah utama dalam komunikasi antar budaya adalah kesalahan dalam persepsi sosial yang disebabkan oleh perbedaan budaya yang mempengaruhi proses persepsi tersebut. pemberian makna pada pesan dalam banyak hal ditafsirkan atau disandi dalam suatu budaya lain. Pengaruh dan pengalaman budaya yang menghasilkan pesan mungkin seluruhnya berbeda dari pengaruh dan pengalaman budaya yang digunakan untuk menyandi balik pesan (Lubis, 1999:11). Persepsi mempengaruhi berlangsungnya komunikasi antar budaya. Pemahaman akan perbedaan persepsi diperlukan jika ingin meningkatkan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain yang berbeda kebudayaan. Semakin tinggi tingkat kesamaan persepsi individu dalam suatu kelompok, maka semakin besar kemungkinan anggota kelompok itu berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka dapat mempertahankan identitasnya (Liliweri, 2001:114). Persepsi merupakan proses internal yang dilalui individu dalam mengseleksi, dan mengatur stimuli yang datang dari luar. Persepsi juga dapat dikatakan sebagai proses individu dalam melakukan hubungan atau kontak dengan dunia sekelilingnya. Dimensi-dimensi persepsi terdiri atas : 1. Dimensi fisik (mengatur/mengorganisasi). Dimensi ini memberi gambaran informasi tentang dunia luar. Bekerjanya anggota tubuh manusia pada tahap ini dapat dikatan sama antara yang satu dengan yang lain, baik itu berasal dari kebudyaan yang sama ataupun berbeda. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki mekanisme anatomis dan biologis yang sama, yang menghubungkan mereka dengan lingkungannya. 2. Dimensi psikologis (menafsirkan). 28
Dampak individu seperti kepribadian, kecerdasan, pendidikan, emosi, keyakinan, nilai, sikap, motivasi, dan lain-lain memiliki dampak yang jauh lebih menentukan terhadap lingkungan dan perilaku. Kedua dari dimensi ini secara bersama-sama akan bertanggungjawab atas hasil-hasil persepsi. Sehingga pengertian tentangnya akan memberi gambaran tentang bagaimana persepsi terjadi (http:/kuliah-dagdigdug.com/2008/07/22/komunikasi-antar-budaya-kab/.). Perbedaan kerangka berpikir dan pengalaman seseorang (Frame of reference dan Frame of experience) menyebabkan perbedaan model komunikasi yang dihasilkan.Dan jika dilihat ke belakang, sebenarnya perbedaan tersebut merupakan hasil dari budaya setiap orang yang berbeda. Model komunikasi yang berbeda menyebabkan perbedaan dalam pemaknaan sesuatu.Dan salah satu kendala dalam memahami komunikasi antar budaya adalah masalah bahasa dan persepsi masing-masing pihak yang berkomunikasi. Tidak hanya itu, faktor pendukung seperti kebiasaan-kebiasaan, aturan-aturan, sikap pola perilaku, yang semua tercakup dalam perbedaan budaya juga menjadi kendala dalam berkomunikasi antar budaya. Perkiraan dan motivasi emosi mempengaruhi persepsi seseorang. Persepsipersepsi tersebut timbul berdasarkan dari fakta-fakta yang ada di lapangan.Faktafakta tersebut dilihat berdasarkan kebudayaan-kebudayaan yang berkembang ditengah masyarakat tersebut seperti kebudayaan realita yakni kebudayaan yang benar-benar tampak, contohnya sikap dan tingkah laku dan kebudayaan utopia yakni kebudayaan yang ada namun tidak nampak secara kasat mata, contohnya seperti pola pikir yang berkembang.Misalnya pemikiran seperti orang Indonesia itu ramah dll.
29
2.2 Kerangka Konsep Kerangka sebagai hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dalam mengantar penelitian dalam menentukan hipotesis (Nawawi, 2001: 33). Konsep menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak diteliti yaitu istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Dalam pengertian ilmiah, konsep harus memiliki kriteria yang tepat dalam menjelaskan variabel penelitian (Bungin, 2005 : 28). Dengan demikian, kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasiona dalam menguraikan rumusan hipotesa yang merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya.Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Variabel Bebas (X) Variabel bebas merupakan sejumah gejala atau faktor yang menentukan atau mempengaruhi munculnya faktor atau unsur lain (Nawawi, 2001 : 40). Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi variabel lain. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah akulturasi budaya.
b. Variabel Terikat (Y) Variabel terikat adalah variabel yang diduga sebagai akibat atau yang dipengaruhi oleh variabel yang mendahuluinya (Kriyantono, 2007: 21). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah identitas etnis.
30
c. Variabel Antara (Z) Karakteristik atau ciri-ciri individu yang membedakannya dengan individu yang lain. Gambar 2.1 Variabel Penelitian Variabel Bebas (X)
Variabel Terikat
“Akulturasi budaya”
“Identitas Etnis”
Variabel Antara Karakteristik Responden
31
2.3
Variabel Operasional Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan
diatas, maka untuk lebih memudahkan penelitian perlu dibuat variabel-variabel operasional sebagai berikut : Tabel 2.1 Operasional Variabel Penelitian Variabel Teoritis Variabel Bebas (X) : Alkuturasi Budaya
Variabel Terikat (Y) : Identitas Etnis
Variabel Antara (Z) : Karakteristik Responden
Variabel Operasional 1. Penerimaan budaya pasangan dengan baik, tidak mencurigai, dan berpikir dogmatis 2. Tidak berpikiran bahwa budaya diri sendiri lebih hebat daripada budaya pasangan 3. Tidak berpikiran bahwa budaya diri sendiri lebih unggul dan mutlak kebenarannya daripada budaya pasangan 4. Tidak lagi mengalami gejala culture shock (perasaan takut, gelisah, merindukan rumah, dan menarik diri dari budaya pasangan 5. Rentang waktu yang relatif singkat dalam penerimaan budaya pasangan 6. Perasaan nyaman dalam penerimaan budaya pasangan 1. Mampu mengenal dengan baik budaya diri sendiri dan budaya pasangan serta mampu menerapkannya dalam pernikahan 2. Mampu mengenal dengan baik budaya diri sendiri bersama komunitas 3. Perasaan terikat akan budaya diri sendiri bersama kelompok/komunitas 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Pendidikan 4. Agama 5. Pekerjaan 6. Usia pernikahan
32
2.4
Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah generalisasi atau kesimpulan yang bersifat tentatif
(sementara), yang hanya akan berlaku apabila sudah terbukti kebenarannya (Nawawi, 2001 : 161). Berdasarkan pengertian di atas, hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ho :
Tidak ada hubungan antara proses akulturasi terhadap perubahan identitas etnis pasangan keturunan Jepang dan Indonesia di Fukushi Tomonokai.
Ha :
ada hubungan antara proses akulturasi terhadap perubahan identitas etnis pasangan keturunan Jepang dan Indonesia di Fukushi Tomonokai.
33