BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori Teori merupakan pendorong pemecahan masalah dalam setiap penelitian. Menurut Kerlinger, teori merupakan himpunan konstruk atau konsep yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004: 6). Setiap penelitian sosial memerlukan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995: 37). Adapun teori yang relevan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:
2.1.1 Komunikasi Keating dalam Samovar dan Porter (2010: 15) mengatakan bahwa komunikasi itu sangat kuat, komunikasi mampu membawa teman ke sisi kita atau menceraiberaikan musuh, meyakinkan atau memperingatkan anak-anak, dan menciptakan mufakat atau garis pertempuran di antara kita. Komunikasi merupakan kemampuan kita untuk berbagi kepercayaan, nilai, pandangan dan perasaan yang merupakan inti hubungan manusia. Alasan orang lain untuk berkomunikasi cenderung sama untuk berbagi pikiran dan perasaan dengan orang lain meskipun terkadang akibat yang ditimbukan ketika mengirimkan pesan mungkin berbeda. 2.1.1.a Pengertian Komunikasi Dedi Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (2008: 46) menyatakan bahwa kata komunikasi atau communications berasal dari Bahasa Latin
communis
yang berarti
“sama”,
communico, communicatio
atau
communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah pertama (communis) adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal-usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip.
9 Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
10
Lebih dari 35 tahun yang lalu, Dance dan Larson meneliti literatur tentang komunikasi dan menemukan 126 definisi kata “komunikasi” sejak saat itu, semakin banyak defenisi yang bertambah. Samovar dan Porter (2010: 18) mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses dinamis di mana orang berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan orang lain melalui penggunaan simbol. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak peduli di mana berada, manusia selalu berinteraksii dengan orang-orang tertentu yang berasal dari kelompok, ras, etnik atau budaya lain. Berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan merupakan pengalaman baru yang selalu dihadapi. Esensi komunikasi itu sendiri terletak pada proses, yakni suatu aktivitas yang melayani hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap, perilaku dan tindakan yang terampil dari manusia. Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain (Liliweri, 2003: 5). Dalam komunikasi manusia, simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menandakan sesuatu hal yang lain. Manusia menggunakan simbol bukan hanya untuk berinteraksi, penyimbolan juga memungkinkan budaya disampaikan dari generasi ke generasi. Sifat komunikasi meliputi komunikasi verbal dan nonverbal. Tatanan komunikasi meliputi intrapribadi, antarpribadi, kelompok massa dan media. Tujuan komunikasi bisa terdiri dari soal mengubah sikap, opini, perilaku, masyarakat dan lainnya. Sementara itu, fungsi komunikasi adalah menginformasikan, mendidik dan mempengaruhi. Teknik komunikasi terdiri dari komunikasi informatif, persuasif, koersif, instruktif dan hubungan manusia (Mufid, 2012: 84). Dengan demikian definisi komunikasi mendapat penekanan yang berbeda antara satu sama lain, dan perbedaan tersebut pada umumnya dilatarbelakangi oleh sudut pandang keilmuan para ahli yang mendefinisikannya.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
11
2.1.1.b Prinsip Komunikasi Menurut Samovar dan Porter dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya Edisi ke-7 (2010: 18-23) ada enam prinsip komunikasi, yaitu: 1. Komunikasi merupakan proses dinamis. Dinamis menandakan aktivitas yang sedang dan terus berlangsung; tidak statis. Komunikasi itu seperti gambar hidup, bukan hasil jepretan. Kata atau tindakan tidak membeku ketika individu berkomunikasi, namun selalu berganti dengan kata atau tindakan yang lain. Proses dinamis mengandung arti bahwa pengiriman dan penerimaan pesan melibatkan sejumlah variabel penting yang bekerja dalam waktu yang bersamaan. Kedua belah pihak yang terlibat sama-sama melihat, mendengar atau tersenyum dalam waktu yang sama. Konsep “proses” dalam kata dinamis juga berarti bahwa seseorang dengan orang lain merupakan bagian dari suatu proses dinamis komunikasi. Seseorang dipengaruhi oleh pesan orang lain dan sebagai akibatnya seseorang tersebut berubah; pesan seseorang itu juga mengubah orang lain. Dapat dikatakan bahwa seseorang mengalami perubahan fisik dan psikologis tiada akhir hingga ia mati. 2. Komunikasi merupakan simbol. Simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menandakan sesuatu hal yang lain. Salah satu karakteristik simbol adalah bahwa simbol tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya, sehingga dapat berubah-ubah. Manusia menggunakan simbol bukan hanya dalam berinteraksi. Penyimbolan memungkinkan suatu budaya disampaikan dari generasi ke generasi. 3. Komunikasi merupakan kontekstual. Komunikasi dikatakan kontekstual karena komunikasi terjadi pada situasi atau sistem tertentu yang mempengaruhi apa dan bagaimana kita berkomunikasi dan apa arti dari pesan yang kita bawa. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn, “komunikasi selalu terjadi dalam konteks dan sifat komunikasi sangat bergantung pada konteks ini.” Hal ini berarti bahwa tempat dan lingkungan menolong seseorang untuk menentukan kata serta tindakan yang dia hasilkan dan mengartikan simbol yang dihasilkan orang lain. Pakaian, bahasa, perilaku menyentuh dan lainnya diadaptasikan dalam konteks. 4. Komunikasi merupakan refleksi diri. Refleksi diri menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk memikirkan diri sendiri, teman mereka
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
12
berkomunikasi, pesan-pesan mereka, dan akibat potensial dari pesan tersebut (terjadi dalam waktu yang sama). Manusia adalah satu-satunya spesies yang dapat berada dalam posisi yang sama di waktu yang bersamaan pula. Ciri ini mengizinkan seseorang untuk memonitor tindakannya dan membuat beberapa penyesuaian penting ketika hal itu dibutuhkan. 5. Kita belajar untuk berkomunikasi. Kemampuan seseorang berkomunikasi merupakan hubungan yang saling mempengaruhi antara apa yang ada dalam dirinya dan apa yang ia pelajari tentang komunikasi selama hidup. Seseorang dapat menerima satu fakta secara bergantian dan otaknya menyimpan fakta tersebut. Seseorang itu mungkin punya masalah mengingat, tetapi sebenarnya informasi itu tetap ada di sana. Tidak semua orang memiliki pengalaman yang sama dan apa yang seseorang ketahui belum tentu diketahui orang lain. Seseorang dapat belajar banyak hal dari orang lain. Kemampuan suatu budaya terhadap suatu hal dapat dibagikan kepada budaya yang kurang informasi akan hal tersebut. Intinya tiap budaya akan semakin baik jika saling berbagi satu sama lain. 6. Komunikasi memiliki konsekuensi. Inti dari prinsip ini adalah bahwa kegiatan mengirim dan menerima simbol mempengaruhi semua orang yang terlibat di dalamnya. Respons seseorang terhadap suatu pesan berbeda, baik dari segi cara maupun jenisnya. Hal ini mungkin membantu seseorang untuk mencoba menggambarkan respons potensial yang ia miliki dalam suatu rangkaian kesatuan. Di akhir setiap rangkaian ini terdapat respons terhadap pesan yang jelas dan mudah dimengerti. Salah satu implikasi penting dari prinsip ini adalah pengaruh potensial yang seseorang miliki atas orang lain. Apa yang seseorang katakan pasti berpengaruh pada orang lain: bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri, bagaimana mereka berpikir tentang diri mereka sendiri, dan bagaimana mereka berpikir tentang orang lain.
2.1.1.c Pengalihan Bahasa Komunikasi dalam bahasa yang sama dapat menimbulkan salah pengertian, apalagi jika kita tidak menguasai bahasa lawan bicara kita. Untuk melakukan komunikasi yang efektif, kita harus mengusai bahasa mitra komunikasi kita. Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional perlu dikuasai utuk
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
13
menjadi seorang komunikator yang efektif jika berkomunikasi dengan mitra komunikasi yang tidak menggunakan bahasa yang sama dengan kita.Seperti dikatakan Tubbs dan Moss, penguasaan bahasa asing yang minim, pada tingkat pribadi, dapat menimbulkan kesulitas-kesulitan yang segera. Perbedaan bahasa dapat
menimbulkan
kesulitan
lebih
jauh
daripada
sekedar
kekeliruan
penerjemhan. Kita sering sulit menerjemahkan sebuah kata ke bahasa lain, karena tidak ada padanannya dalam bahasa lain itu, meskipun kita bisa mereka-reka artinya. Bahkan ketika kita mampu menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain dengan kecermatan yang harfiah, maknanya yang dalam sering hilang karena makna tersebut berakar dalam budaya bahasa tersebut. Kelemahan dalam penguasaan tata bahasa, struktur dan kosakata (termasuk idiom, slang dan jargon khusus) sering menghasilkan terjemahan yang membingungkan, menggelikan dan terkadang bertentangan dengan apa yang dimaksudkan tulisan aslinya (Mulyana, 2008: 320). 2.1.1.d Komunikasi Konteks-Tinggi VS Komunikasi Konteks-Rendah Edward T. Hall dalam Mulyana (2008: 327) membedakan budaya kontekstinggi (high-context culture) dengan budaya konteks-rendah (low-context culture) yang mempunyai beberapa perbedaan penting dalam cara penyandian pesannya. Budaya konteks-rendah ditandai dengan komunikasi konteks-rendah: pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas dan berterus terang. Para penganut budaya konteks-rendah mengatakan apa yang mereka maksudkan dan memaksudkan apa yang mereka katakan. Bila mereka mengatakan “Yes,” itu berarti mereka benar-benar menerima atau setuju. Sifat dari komunikasi konteksrendah adalah cepat dan mudah berubah, karena itu tidak menyatukan kelompok. Sebaliknya budaya konteks-tinggi ditandai dengan komunikasi kontekstinggi: kebanyakan pesan bersifat implisit, tidak langsung, dan tidak terus terang. Pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi dalam perilaku nonverbal pembicara: intonasi suara, gerakan tangan, postur badan, ekspresi wajah, tatapan mata, atau bahkan konteks fisik. Pernyataan verbalnya bisa berbeda dengan pesan nonverbalnya. Sifat komunikasi konteks-tinggi adalah: tahan lama, lamban berubah, dan mengikat kelompok yang menggunakannya. Berdasarkan sifatnya
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
14
orang-orang yang berbudaya konteks-tinggi lebih menyadari proses penyaringan budaya daripada orang-orang berbudaya konteks-rendah (Mulyana, 2008: 328). Secara garis besar, urutan sejumlah negara berdasarkan tingkat budayanya (dari budaya konteks-rendah hingga budaya konteks-tinggi), menurut Hall dan Kohls, adalah sebagai berikut: Swiss Jerman, Jerman, Skandinavia, Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Italia, Spanyol, Yunani, Arab, Cina, dan Jepang. Indonesia termasuk budaya konteks-tinggi, namun di beberapa subkultur, misalnya suku Batak menunjukkan komunikasi konteks-rendah yang lumayan. Namun secara umum, komunikasi kita termasuk komunikasi konteks-tinggi (Mulyana, 2008: 328-329). 2.1.2. Komunikasi Antarbudaya Sejak awal peradaban, ketika manusia pertama membentuk kelompok suku, hubungan antarbudaya terjadi setiap kali orang-orang dari suku yang satu bertemu dengan anggota dari suku yang lain dan mendapati bahwa mereka berbeda (Samovar dan Porter, 2010: 2). Istilah antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh Edward T.Hall pada tahun 1959, namun demikian, Hall tidak menerangkan
pengaruh
perbedaan
budaya
terhadap
proses
komunikasi
antarpribadi. Perbedaan antarbudaya dalam berkomunikasi baru dijelaskan David K.Berlo melalui bukunya The Process of Communication (An Introduction to Theory and Practice) pada tahun 1960 saat individu-individu yang berasal dari kebudayaan berbeda berkomunikasi dan mengalami proses pertukaran informasi maka saat itulah terjadi komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2001:1). 2.1.2.a Pengertian Komunikasi Antarbudaya Tubbs dan Moss dalam (Lubis, 2012: 13) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda (ras, etnis, sosio ekonomi atau gabungan dari semua perbedaan ini). Menurut mereka kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari satu atau gabungan dari semua perbedaan ini. Melalui komunikasi, kebudayaan itu dikenal, dipahami dan menjadi bagian dari interaksi sosial antara manusia maupun kelompok.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
15
Komunikasi yang terjalin antar bangsa-bangsa/internasional, antarras dan antaretnis termasuk ke dalam komunikasi antarbudaya. Pada intinya untuk bisa menjalin komunikasi yang efektif komunikasi internasional, antarras dan antaretnis membutuhkan sebuah kunci, yakni budaya baik yang dikomunikasikan dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Dengan memahami budaya masingmasing bangsa, ras dan etnis akan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya komunikai tersebut (Lubis, 2012: 3). Carley H.Dood (dalam Lubis, 2012:12) mengatakan komunikasi antarbudaya adalah pengiriman dan penerimaan pesan-pesan dalam konteks perbedaan kebudayaan yang menghasilkan efek-efek yang berbeda (intercultural communications is the sending and receiving of message within a context of cultural differences producing differential effects). Budaya sangat mempengaruhi orang yang berkomunikasi dan budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, bila dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda pula perbendaharaan yang dimilikinya dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan tertentu. Untuk mencari kejelasan dan mengintegrasikan berbagai konseptualisasi tentang kebudayaan komunikasi antar budaya, ada 3 dimensi yang perlu diperhatikan: (1) Tingkat masyarakat kelompok budaya dari partisipan-partisipan komunikasi, (2) Konteks sosial tempat terjadinya komunikasi antarbudaya, (3) Saluran yang dilalui oleh pesan-pesan komunikasi antarbudaya (baik yang bersifat verbal maupun nonverbal). (1) Tingkat Keorganisasian Kelompok Budaya Istilah kebudayaan telah digunakan untuk menunjuk pada macam-macam tingkat lingkungan dan kompleksitas dari organisasi sosial. Umumnya istilah kebudayaan mencakup: - Kawasan – kawasan di dunia, seperti: budaya timur/barat. - Sub kawasan-kawasan di dunia, seperti: budaya Amerika Utara/Asia Tenggara, - Nasional/Negara, seperti: Budaya Indonesia/Perancis/Jepang, - Kelompok-kelompok etnik-ras dalam negara seperti:budaya orang Amerika Hutam, budaya Amerika Asia, budaya Cina Indonesia, - Macam-macam subkelompok sosiologis berdasarkan kategorisasi jenis
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
16
kelamin kelas sosial. Countercultures (budaya Hippie, budaya orang dipenjara, budaya gelandangan, budaya kemiskinan). (2) Konteks Sosial Komunikasi antarbudaya dapat lagi diklasifikasi berdasarkan konteks sosial yaitu: - Bisnis - Organisasi - Pendidikan - Akulturasi imigran -Politik-Penyesuaian pelancong/pendatang sementara - Perkembangan alih teknologi/pembangunan/difusi inovasi - Konsultasi terapis.
(3) Saluran Komunikasi. Secara garis besar, saluran dapat dibagi atas : - Antarpribadi/interpersonal/person-person, - Media massa. Ketiga dimensi di atas dapat digunakan secara terpisah ataupun bersamaan, dalam mengklasifikasikan fenomena komunikasi antarbudaya khusus. Misalnya: kita dapat menggambarkan komunikasi antara Presiden Indonesia dengan Duta besar
baru dari Nigeria sebagai komunikasi internasional,
antarpribadi dalam konteks politik, komunikasi antara pengacara AS dari keturunan Cina dengan kliennya orang AS keturunan Puerto Rico sebagai komunikasi antarras/antaretnik dalam konteks bisnis, komunikasi imigran dari Asia di Australia sebagai komunikasi antaretnik, antarpribadi dan massa dalam konteks akulturasi migran. Maka apapun tingkat keanggotaan kelompok konteks sosial dan saluran komunikasi, komunikasi dianggap antarbudaya apabila para komunikator yang menjalin kontak dan interaksi mempunyai latar belakang pengalaman berbeda (Lubis, 2002: 3-5).
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
17
2.1.2.b Model Komunikasi Antarbudaya Salah satu model komunikasi yang menjelaskan komunikasi antarbudaya adalah model William B. Gudykunst dan Young Yun Kim, yakni komunikasi antara orang-orang yang berasal dari budaya yang berlainan atau komunikasi dengan orang asing (stranger). Model komunikasi ini pada dasarnya sesuai untuk komunikasi tatap-muka, khususnya antara dua orang. Meskipun model itu disebut model komunikasi antarbudaya atau model komunikasi dengan orang asing, model komunikasi tersebut dapat mempresentasikan komunikasi antara siapa saja, karena pada dasarnya tidak ada dua orang yang mempunyai budaya, sosiobudaya dan psikobudaya yang persis sama. model Gudykunst dan Kim ini mengasumsikan dua orang yang setara dalam berkomunikasi, masing-masing sebagai pengirim dan sekaligus sebagai penerima, atau keduanya sekaligus melakukan penyandian (encoding) dan penyandian-balik (decoding). Karena itu, tampak pula bahwa pesan suatu pihak sekaligus juga adalah umpan balik bagi pihak
lainnya.
Pesan/umpan
balik
antara
kedua
peserta
komunikasi
dipresentasikan oleh garis dari penyandian seseorang ke penyandian-balik orang lain dan dari penyandian orang kedua ke penyandian-balik orang pertama. Kedua garis pesan/umpan balik menunjukkan bahwa setiap kita berkomunikasi, secara serentak kita menyandi dan menyandi-balik pesan. Dengan kata lain, komunikasi tidak statis; kita tidak menyandi suatu pesan dan tidak melakukan apa-apa hingga kita menerima umpan balik. Alih-alih, kita memproses rangsangan yang datang (menyandi-balik) pada saat kita juga menyandi pesan. Menurut Gudykunst dan Kim, penyandian pesan dan penyandian-balik pesan merupakan suatu proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter-filter konseptual yang dikategorikan menjadi faktor-faktor budaya, sosiobudaya, psikobudaya dan faktor lingkungan. Lingkaran paling dalam, yang mengandung interaksi antara penyandian pesan dan penyandian-balik pesan, dikelilingi tiga lingkaran lainnya yang mempresentasikan pengaruh budaya, sosiobudaya dan psikobudaya. Masing-masing peserta komunikasi, yakni orang A dan orang B, dipengaruhi budaya, sosiobudaya dan psikobudaya, berupa lingkaran-lingkaran dengan garis yang terputus-putus. Garis terputus-putus itu menunjukkan bahwa budaya, sosiobudaya dan psikobudaya itu saling berhubungan atau saling
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
18
mempengaruhi. Kedua orang yang mewakili model juga berada dalam suatu kotak dengan garis terputus-putus yang mewakili pengaruh lingkungan. Lagi, garis terputus-putus yang membentuk kotak tersebut menunjukkan bahwa lingkungan tersebut bukanlah suatu sistem tertutup atau terisolasi. Kebanyakan komunikasi antara orang-orang berlangsung dalam suatu lingkungan sosial yang mencakup orang-orang lain yang juga terlibat dalam komunikasi.
Gambar 2.1. Model Gudykunst dan Kim
Sumber: William B. Gudykunst dan Young Yun Kim, 1992 Seperti ditunjukkan di atas, pengaruh-pengaruh budaya, sosiobudaya dan psikobudaya itu berfungsi sebagai filter konseptual untuk menyandi dan menyandi-balik pesan. Filter tersebut adalah mekanisme yang membatasi jumlah alternatif yang memungkinkan kita memilih ketika kita menyandi dan menyandibalik pesan. Lebih khusus lagi, filter tersebut membatasi prediksi yang kita buat mengenai bagaimana orang lain mungkin menanggapi perilaku komunikasi kita. Pada gilirannya, sifat prediksi yang kita buat mempengaruhi cara kita menyandi pesan. Lebih jauh lagi, filter itu membatasi rangsangan apa yang kita perhatikan dan bagaimana kita menafsirkan rangsangan tersebut ketika kita menyandi-balik pesan yang datang. Gudykunst dan Kim berpendapat, pengaruh budaya dalam model itu meliputi faktor-faktor yang menjelaskan kemiripan dan perbedaan budaya, misalnya pandangan dunia (agama), bahasa, juga sikap terhadap manusia, misalnya apakah kita harus peduli terhadap individu (individualisme) atau
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
19
terhadap kolektivis (kolektivisme). Faktor-faktor tersebut mempengaruhi nilai, norma dan aturan yang mempengaruhi perilaku komunikasi. Pengaruh sosiobudaya adalah pengaruh yang menyangkut proses penataan sosial (social ordering process). Penataan sosial berkembang berdasarkan interaksi dengan orang lain ketika pola-pola perilaku menjadi konsisten dengan berjalannya waktu. Sosiobudaya ini terdiri dari empat faktor utama: keanggotaan dalam kelompok sosial, konsep diri, ekspektasi peran dan definisi mengenai hubungan antarpribadi. Dimensi psikobudaya mencakup proses penataan pribadi (personal ordering process). Penataan pribadi ini adalah proses yang memberi stabilitas pada proses psikologis. Faktor-faktor psikobudaya ini meliputi stereotip dan sikap (misalnya etnosentrisme dan prasangka) terhadap kelompok lain. Stereotip dan sikap menciptakan pengharapan mengenai bagaimana orang lain akan berperilaku. Pengharapan itu pada akhirnya mempengaruhi cara kita menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang dibuat mengenai perilaku orang lain. Etnosentrisme, misalnya, mendorong kita menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan kerangka rujukan sendiri dan mengharapkan orang lain berperilaku sama seperti kita. Hal ini akan membuat salah penafsiran pesan orang lain dan meramalkan perilakunya yang akan datang secara salah pula. Salah satu unsur yang melengkapi model Gudykunst dan Kim adalah lingkungan. Lingkungan sangat berpengaruh dalam menyandi dan menyandi-balik pesan. Lokasi geografis, iklim, situasi arsitektural (lingkungan fisik), dan persepsi atas linkungan tersebut, mempengaruhi cara menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang dibuat mengenai perilaku orang lain. Oleh karena orang lain mungkin mempunyai persepsi dan orientasi yang berbeda dalam situasi yang sama. Intinya, model tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam perbedaan dalam komunikasi antarbudaya. Edward T. Hall mengatakan budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang dimiliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
20
menafsirkan pesan. Singkatnya komunikasi dan budaya seperti dua sisi mata uang, yang mana budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya (Samovar dan Porter, 2003: 7). 2.1.2.c Hambatan-hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya Dalam suatu proses komunikasi antabudaya, terdapat hambatan yang menjadi penghalang agar terjadinya komunikasi yang efektif. Hambatan komunikasi antarbudaya terbagi menjadi dua yakni di atas air (above waterline) dan di bawah air (below waterline). Maksud hambatan di bawah air (below waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang. Biasanya hambatan semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan karena tidak terlihat dari penampilan luar. Jenis-jenis hambatan ini adalah persepsi, norma, stereotip, filosofi bisnis, aturan, jaringan, nilai dan grup cabang. Sedangkan hambatan yang berada di atas air lebih mudah untuk dilihat karena hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik. Hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya dalam (Lubis, 2012: 6-8) adalah: 1. Fisik, yang berasal dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan diri dan juga media fisik. 2. Budaya, berasal dari etnik yang berbeda, agama dan juga perbedaan sosial yang ada antara budaya yang satu dengan yang lainnya. 3. Persepsi, karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai suatu hal setelah berinteraksi dan berkomunikasi. Jadi untuk mengartikan sesuatu setiap budaya akan mempunyai pemikiran yang berbeda-beda. 4. Motivasi, berkaitan dengan tingkat motivasi dari komunikan, apakah komunikan ingin menerima pesan tersebut atau sedang malas dan tidak punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi. 5. Pengalaman, setiap individu memiliki pengalaman hidup yang berbeda-beda sehingga individu mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam melihat sesuatu. 6. Emosi, ketika emosi komunikan sedang buruk maka hambatan komunikasi yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
21
7. Bahasa, ketika komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan dengan bahasa yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak dimengerti oleh komunikan. 8. Nonverbal, bahasa dalam bentuk nonverbal yang bisa terlihat dari ekspresi wajah dan gerak tubuh. 9. Kompetisi, hambatan yang muncul ketika komunikan sedang melakukan kegiatan lain sambil mendengarkan. Komunikasi oleh setiap kebudayaan memberikan makna yang beraneka ragam. Masing-masing kebudayaan memiliki sub sistem kebudayaan yang berbeda dan dengan makna yang berbeda pula. Hambatan komunikasi sebagai sesuatu yang menjadi penghalang untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang efektif merupakan faktor penyebab kesalahpahaman dalam memandang perbedaan antarbudaya tersebut.
2.1.3. Teori Penetrasi Sosial Teori penetrasi sosial mulai dikembangkan sejak tahun 1973 oleh dua orang ahli psikologi, Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Mereka mengajukan sebuah konsep penetrasi sosial yang menjelaskan bagaimana berkembangnya kedekatan hubungan. Teori penetrasi sosial secara umum membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal. Di sini dijelaskan bagaimana dalam proses berhubungan dengan orang lain, terjadi berbagai proses gradual, di mana terjadi semacam proses adaptasi di antara keduanya. Mereka menduga bahwa sebuah hubungan interpersonal akan berakhir sebagai teman terbaik hanya jika mereka memproses dalam sebuah "tahapan dan bentuk yang teratur dari permukaan ke tingkatan pertukaran yang intim sebagai fungsi dari hasil langsung dan perkiraan". Teori penetrasi sosial juga menjelaskan bahwa dengan berkembangnya hubungan, keluasan dan kedalaman meningkat. Bila suatu hubungan menjadi rusak, keluasan dan kedalaman sering kali akan (tetapi tidak selalu) menurun, proses ini disebut depenetrasi (Devito, 1997:242). Struktur personalitas digambarkan seperti “Multi-lapis Bawang" sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
22
Gambar 2.2. Penetration of Pete's Personality Structure
Sumber: Kadarsih Teori Penetrasi Sosial dan Hubungan Interpersonal (2009: 54)
Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah. Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau lapisan kepribadian. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan menemukan lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian manusia. Lapisan kulit terluar dari kepribadian manusia adalah apa-apa yang terbuka bagi publik, apa yang biasa kita perlihatkan kepada orang lain secara umum, tidak ditutup-tutupi seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, rumah dan barang-barang yang melekat padanya. Jika kita mampu melihat lapisan yang sedikit lebih dalam lagi, maka di sana ada lapisan yang tidak terbuka bagi semua orang, lapisan kepribadian yang lebih bersifat semiprivate. Lapisan ini biasanya hanya terbuka bagi orang-orang tertentu saja, orang terdekat misalnya. Lapisan yang paling dalam adalah wilayah private, di mana di dalamnya terdapat nilai-nilai, konsep diri, konflik-konflik yang belum terselesaikan, emosi yang terpendam, dan semacamnya. Lapisan ini tidak terlihat oleh dunia luar, oleh siapapun, bahkan dari kekasih, orang tua atau orang terdekat manapun. Akan tetapi lapisan ini adalah yang paling berdampak atau paling berperan dalam kehidupan seseorang (Kadarsih, 2009: 54-55). Kedekatan kita terhadap orang lain, menurut Altman dan Taylor, dapat dilihat dari sejauh mana penetrasi kita terhadap lapisan-lapisan kepribadian tadi.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
23
Dengan membiarkan orang lain melakukan penetrasi terhadap lapisan kepribadian yang kita miliki artinya kita membiarkan orang tersebut untuk semakin dekat dengan kita. Dalam kerangka kerja teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor dalam (Kadarsih, 2009: 58-60) telah menjelaskan empat pengamatan berikut mengenai proses yang telah membawa seseorang pada titik ini: 1. Hal-hal di rumah lebih sering dan lebih cepat daripada informasi pribadi. Ketika sisi tajam irisan baru saja menyentuh wilayah intim, bagian yang lebih tebal telah memotong jalur yang lebar melalui lingkaran yang lebih luar. Hubungan masih relatif pada tingkat yang tidak mengenai orang tertentu (laki-laki dewasa jangan menangis). Arthur Van Lear, seorang profesor di Universitas Connecticut menganalisis isi percakapan dalam mengembangkan hubungan. Studinya menunjukkan bahwa 14% tidak mengungkapkan sesuatu mengenai pembicara, 65% menempati hal-hal umum, 19 % berbagi detil yang semi pribadi dan hanya 2% menyingkap rahasia yang mendalam. Penetrasi lebih jauh akan membawa pada suatu titik di mana seseorang bisa berbagi perasaannya lebih mendalam (misalnya kesengsaraan cinta). 2. Penyingkapan diri adalah timbal balik, khususnya pada tahap awal pengembangan hubungan. Teori memperkirakan bahwa kenalan baru akan mencapai tingkat yang sama dalam keterbukaan, tetapi tidak menjelaskan mengapa Apapun alasannya, teori penetrasi sosial menegaskan hukum timbal balik. 3. Penetrasi berlangsung cepat pada awalnya tetapi melambat dengan cepat karena ketatnya bungkusan pada lapisan yang lebih dalam untuk dicapai. Keakraban secara langsung adalah mitos. Tidak hanya adanya dorongan internal untuk merangsek dengan cepat ke dalam hati, ada norma-norma kemasyarakatan juga berpengaruh yang terlalu banyak dan terlalu cepat. Sebagian besar hubungan berhenti sebelum pertukaran keakraban yang stabil ditetapkan. Untuk alasan ini, hubungan ini memudar atau mati dengan mudah setelah pemisahan atau sedikit ketegangan. Pembagian yang nyaman dalam hal reaksi positif dan negatif adalah jarang. Ketika hal tersebut dicapai, hubungan menjadi lebih penting bagi kedua belah pihak, lebih berarti dan lebih abadi.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
24
4. Penetrasi adalah proses bertahap pada penarikan lapisan per lapisan. Persahabatan hangat antara seseorang akan memburuk jika mereka mulai menutup wilayah hidup mereka yang telah dibuka sebelumnya. Hubungan mundur akan mengembalikan pada apa yang sebelumnya dipertukarkan dalam membangun hubungan. Altman dan Taylor membandingkan proses ini dengan tayangan setback dalam film. Pembicaraan di permukaan masih berlangsung jauh setelah penyingkapan yang dalam disembunyikan. Hubungan kemungkinan berakhir tidak dengan kilauan ledakan kemarahan tetapi dengan peredaman secara bertahap dengan hiburan dan perhatian. Ketika kedalaman adalah penting sekali dalam proses penetrasi sosial, perluasan cakupan menjadi sama pentingnya. Sangat mungkin bagi seseorang secara tulus mengungkap tiap detil keakraban pada percintaannya.
2.1.4. Persepsi Persepsi merupakan suatu cara untuk membuat dunia fisik dan sosial menjadi masuk akal, persepsi menunjukkan bagaimana suatu budaya mengajarkan anggotanya untuk melihat dunia ini dengan cara yang berbeda. Persepsi dan respons seseorang terhadap peristiwa eksternal sebagian ditentukan oleh budayanya. Gamble dan Gamble menyatakan bahwa persepsi merupakan proses seleksi, pengaturan dan penginterpretasian data sensor dengan cara yang memungkinkan kita mengerti dunia kita, dengan kata lain persepsi merupakan proses di mana orang-orang mengubah kejadian dan pengalaman eksternal menjadi pemahaman internal yang berarti (Samovar dan Porter, 2010: 222). Menurut Singer “kita mengalami segala sesuatu di dunia ini bukan sebagaimana adanya namun, hanya ketika dunia ini datang kepada kita melalui alat indra kita.” Hal ini melibatkan bagaimana kita secara kognitif mengolah proses tersebut. Walaupun dimensi fisik merupakan fase penting dari persepsi, kita harus menyadari bahwa aspek psikologis dari persepsi adalah apa yang menolong kita untuk memahami komunikasi antarbudaya. Persepsi merupakan suatu hal yang ditentukan oleh budaya. Manusia belajar untuk melihat dunia dengan cara tertentu yang didasarkan pada latar belakang budanya masingmasing. Sama seperti pada budaya yang lain, persepsi yang tersimpan pada
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
25
manusia adalah dalam bentuk kepercayaan dan nilai. Kedua konsep ini, bekerja sama, membentuk apa yang disebut dengan pola budaya. Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika kita tidak akurat, tidak mungkin kita berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lan. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antarindividu, semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi, dan sebagai konsekuensinya semakin cenderung membentuk kelompok budaya
atau kelompok identitas. Persepsi meliputi pengindraan
(sensasi) melalui alat-alat indra kita (indra peraba, indra penglihat, indra pencium, indra pengecap dan indra pendengar), atensi dan interpretasi. Sensasi merujuk pada pesan yang dikirimkan ke otak lewat penglihatan, pendengaran, sentuhan, penciuman dan pengecapan. Reseptor indrawi-mata, telinga, kulit dan otot, hidung dan lidah-adalah penghubung antara gelombang cahaya, telinga terhadap gelombang suara, kulit terhadap temperatur dan tekanan, hidung terhadap baubauan dan lidah terhadap rasa. Lalu rangsangan-rangsangan ini dikirimkan ke otak (Mulyana, 2008:181). Tahap terpenting dalam persepsi adalah interpretasi atas informasi yang diperoleh melalui salah satu atau lebih indra kita. Namun kita tidak dapat menginterpretasikan
makna
setiap
objek
secara
langsung,
melainkan
menginterpretasikan makna yang dipercaya mewakili objek tersebut. Jadi pengetahuan yang dipeoleh melalui persepsi bukan pengetahuan mengenai objek yang sebenarnya, melainkan pengetahuan mengenai bagaimana tampaknya objek tersebut. Agama, ideologi, tingkat intelektualitas, tingkat ekonomi, pekerjaan dan cita rasa jelas mempengaruhi persepsi seseorang terhadap realitas. Dengan demikian persepsi terikat oleh budaya (culture-bound). Bagaimana kita memaknai pesan, objek atau lingkungan bergantung pada sistem nilai yang kita anut. Kelompok-kelompok budaya boleh jadi berbeda dalam mempersepsi kredibilitas, kredibilitas pribadi merupakan sifat yang dibentuk oleh budaya akibat variasi budaya, seperti yang diilustrasikan oleh De Mente: “seperti yang diketahui, kebanyakan orang Amerika dan Eropa menghargai keterusterangan, presentasi yang detail dan debat yang hangat berdasarkan fakta juga asumsi. Sebaliknya,
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
26
selama lebih ribuan tahun, orang Jepang diprogramkan untuk berbicara di depan umum hanya pada tatamae (menekankan ekspektasi sosial) dan menyatakan honne mereka (pandangan sebenarnya) hanya pada ruang lingkup pribadi saja.” Oleh karena persepsi berdasarkan budaya yang telah dipelajari, maka persepsi seseorang atas lingkungannya bersifat subjektif. Semakin besar perbedaan budaya antara dua orang semakin besar pula perbedaan persepsi mereka terhadap realitas. Oleh karena tidak ada dua orang yang mempunyai nilainilai budaya yang persis sama, maka tidak pernah ada dua orang yang mempunyai persepsi yang persis sama pula. Dalam konteks ini, sebenarrnya budaya dapat dianggap sebagai pola persepsi dan perilaku yang dianut sekelompok orang (Mulyana, 2008: 214). Larry A. Samovar dan Richard E. Porter dalam (Mulyana, 2008: 214) mengemukakan enam unsur budaya yang secara langsung mempengaruhi persepsi ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, yakni: 1. Kepercayaan (beliefs), nilai (values) dan sikap (attitudes) 2. Pandangan dunia (worldview) 3. Organisasi sosial (social organization) 4. Tabiat manusia (human nature) 5. Orientasi kegiatan (activity orientation) 6. Persepsi tentang diri dan orang lain (perception of self and others) Keenam aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain, kita dapat mengalami peristiwa yang sama dan sepakat mengenai apa yang kita lihat secara fisik. Namun, kita sering berbeda dalam memaknai peristiwa atau objek yang kita lihat. Berbagai orang dari berbagai budaya dapat setuju bahwa seseorang tertentu adalah perempuan, namun kemungkinan besar tidak sepakat apakah perempuan itu secara sosial, dan juga bagaimana bereaksi terhadap makhluk tersebut. Persepsi individu-individu sering tidak cermat, salah satu penyebabnya adalah asumsi atau pengharapan. Kita mempersepsi sesuatu atau seseorang sesuai dengan pengharapan kita, beberapa bentuk kekeliruan dan kegagalan persepsi adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
27
a. Stereotip: stereotip berasal dari buku Public Opinion tahun 1922, Walter Lippman yang berarti ―pictures in our head.‖ Larry A.Samovar dan Richard E. Porter mendefinisika stereotip sebagai persepsi atau kepercayaan yang kita anut megenai kelompok-kelompok atau individu-individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk. Stereotip adalah kategorisasi atas suatu kelompok secara serampangan dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual. Kelompok-kelompok ini mencakup: kelompok ras, kelompok etnik, kaum tua, berbagai pekerjaan dan profesi, atau orang dengan penampilan fisik tertentu. Pada umumnya, stereotip bersifat negatif. Stereotip tidak berbahaya sejauh kita simpan dalam kepala kita. Akan tetapi bahayanya sangat nyata bila stereotip diaktifkan dalam hubungan manusia. Apa yang kita persepsi sangat dipengaruhi oleh apa yang kita harapkan. Ketika kita mengharapkan orang lain berperilaku tertentu, kita mungkin mengkomunikasikan pengharapan kita kepada mereka dengan cara yang sedemikian rupa sehingga mendorong mereka untuk berperilaku sesuai dengan apa yang kita harapkan. b. Prasangka: istilah prasangka (prejudice) berasal dari kata Latin praejudicium, yang berarti preseden, atau penilaian berdasarkan keputusan dan pengalaman terdahulu. Prasangka adalah sikap yang tidak adil terhadap seseorang atau suatu kelompok. Prasangka umumnya bersifat negatif, prasangka ini bermacam-macam, yang populer adalah prasangka rasial, prasangka kesukuan (etnik), prasangka gender dan prasangka agama. Sementara itu, Allport mendefinisikan prasangka etnik sebagai suatu antipati berdasarkan generalisasi yang salah dan kaku. Prasangka mungkin dirasakan atau dinyatakan. Prasangka mungkin diarahkan kepada kelompok secara keseluruhan atau seseorang karena dia anggora kelompok tersebut. Sebagaimana stereotip, prasangka ini alamiah dan tidak terhindarkan, penggunaan prasangka memungkinkan kita merespons lingkungan secara umum alih-alih secara khas, sehingga terlalu menyederhanakan masalah. Budaya dan kepribadian, sangat mempengaruhi prasangka. Akal sehat memberitahu kita bahwa cara memelihara atau meningkatkan prasangka terhadap kelompok luar adalah dengan menghindari kontak dengan mereka, karena itu cara terbaik untuk mengurangi prasangka adalah dengan meningkatkan kontak dengan
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
28
mereka dan mengenal mereka lebih baik, meskipun hal ini tidak berhasil dalam segala situasi. c. Gegar budaya: Menurut Kalvero Oberg gegar budaya (culture shock) ditimbulkan oleh kecemasan karena hilangnya tanda-tanda yang sudah dikenal dan simbol-simbol hubungan sosial. Lundstedt mengatakan bahwa gegar budaya adalah suatu bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang merupakan reaksi terhadap upaya sementara yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang baru. Gegar budaya pada dasarnya adalah benturan persepsi, yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktor-faktor internal yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Kita biasanya menerima begitu saja nilai-nilai yang kita anut dan kita bawa sejak lahir, yang juga diinformasikan oleh orang-orang di sekitar kita, namun ketika kita memasuki lingkungan baru, kita menghadapi situasi yang membuat kita mempertanyakan kembali asumsi-asumsi kita itu, tentang apa yang disebut kebenaran, moralitas, kebaikan, kewajaran, kesopanan, kebijakan dan sebagainya. Benturan-benturan persepsi itu kemudian menimbulkan konflik dalam diri kita, dan menyebabkan kita merasa tertekan dan menderita stres. Efek stres inilah yang disebut gegar budaya. Berbagai penelitian empiris menunjukkan bahwa gegar budaya sebenarnya merupakan titik pangkal untuk mengembangkan kepribadian dan wawasan budaya kita, sehingga kita dapat menjadi orang-orang dari berbagai budaya, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya kita sendiri (Mulyana, 2008: 237-251). 2.1.5. Au pair Au pair telah menjadi fenomena yang populer di Eropa, Amerika dan Australia dalam beberapa dekade terakhir. Banyaknya keluarga di mana kedua orang tua bekerja full time di luar rumah dan biaya jasa pengurus anak atau nanny yang disediakan oleh negara atau jasa privat lainnya terlalu mahal menjadikan permintaan Au pair menjadi lebih populer di banyak keluarga beberapa dekade ini, Au pair bukan juga hal yang dianggap sebagai pekerja yang dibayar murah, karena biaya yang dikeluarkan keluarga terhadap Au pair hampir sama dengan membayar
jasa
seorang
nanny,
seperti
membayar
asuransi
kesehatan,
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
29
berkontribusi dalam biaya kursus bahasa, tiket transportasi publik dan akomodasi serta makanan. Hanya saja Au pair dianggap lebih efektif karena Au pair adalah orang yang sudah dianggap sebagai anggota keluarga dan tinggal bersama dengan keluarga tersebut dan bisa dimintai bantuan kapan saja termasuk tengah malam jika orangtua sedang ada urusan mendadak dengan membuat perjanjian di awal terlebih dahulu dengan au pair. Program Au pair juga merupakan kesempatan yang menarik kepada orang muda untuk memiliki kesempatan tinggal di luar negeri dalam waktu tertentu, belajar kebudayaan dan mendapatkan pengalaman tinggal di luar negeri. 2.1.5.a Pengertian Au pair dan Sejarah Au pair Au pair biasanya perempuan meskipun laki-laki bisa juga menjadi au pair, tetapi kemungkinan terbanyak menjadi Au pair ialah perempuan, di Inggris bahkan Au pair laki-laki dilarang pada tahun 1993 (Hempshell 1995:13). Kriteria untuk menjadi Au pair adalah bertanggung jawab, dewasa, menguasai bahasa asing tempat negara penerima minimal tingkat dasar, peduli terhadap anak-anak, memiliki beberapa pengalaman merawat anak-anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga ringan, sehat jasmani dan rohani, memiliki kemampuan menyetir menjadi nilai plus, memiliki kemampuan sosialisasi yang baik dan perilaku positif (Riikonen:2002: 9). Sejarah Au pair dimulai di Swiss pada akhir abad ke 19, pada masa itu Gereja melarang perempuan untuk pindah ke kota mencari pekerjaan, karena mereka akan kehilangan moral jika mereka hidup dengan cara mereka sendiri, untuk mencegah hal ini, tinggal bersama keluarga angkat akan mengajarkan mereka tentang keahlian dalam pekerjaan rumah tangga. Pada masa berikutnya, negara-negara lain mulai melakukan pertukaran dengan perempuan-perempuan dari Swiss, dan khususnya setelah perang dunia ke II tingkat partisipasi negara penerima meningkat dengan tajam (Griffth dan Legg, 1993:12). Biasanya ada tiga cara untuk mendapatkan pekerjaan Au pair di luar negeri, seperti menggunakan jasa agensi berbayar dan tidak berbayar, menggunakan agensi berbayar dianggap lebih efektif, mudah dan aman karena
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
30
calon Au pair tidak perlu repot mencari keluarga angkat dan agensi akan membantu calon Au pair tersebut untuk mendapatkan Visa Au pair dan membantu Au pair serta keluarga angkat jika terjadi masalah dikemudian hari. Cara kedua adalah dengan mencari keluarga angkat sendiri dengan mendaftar di situs agensi Au pair tidak berbayar melalui website atau internet, seperti aupairworld.com, aupair.com dan newaupair.com cara ini merupakan cara yang paling populer di kalangan Au pair karena gratis dan memungkinkan Au pair untuk memilih keluarga angkatnya sendiri. Cara ketiga adalah dari mulut ke mulut, misalnya seorang Au pair yang hampir habis masa kontraknya dan keluarga angkatnya membutuhkan Au pair lagi, dia lalu merekomendasikan teman atau kenalannya kepada keluarga angkatnya sebagai penggantinya. 2.1.5.b Au pair di Jerman Berikut adalah penjelasan bekerja sebagai Au pair di Jerman dalam Bundesagentur für Arbeit bulan Agustus tahun 2015: 1.
Bekerja sebagai au pair Pekerjaan harian seorang Au pair bervariasi, tergantung dengan kesepakatan
kontrak kerja dengan keluarga angkat. Umumnya tugas-tugas Au pair sehari-hari seperti mengerjakan pekerjaan rumah tangga ringan, seperti membantu menjaga rumah agar tetap bersih, laundry dan menyetrika pakaian anak-anak, menyiapkan sarapan dan makanan sederhana, menjaga dan mengawasi anak-anak, mengantarjemput ke sekolah, kegiatan ekskul atau aktivitas lainnya, berjalan-jalan dan bermain dengan mereka.
2.
Hak dan kewajiban
a. Masa tinggal kontrak au pair: Kontrak kerja paling tidak 6 bulan hingga 12 bulan, tidak diizinkan untuk menjadi Au pair lagi meskipun kontrak kerja selama satu tahun tidak selesai (Dalam kasus ini jika Au pair kembali ke negaranya dan mengakhiri kontraknya sebaga Au pair meskipun belum penuh selama satu tahun, dia tidak dizinkan untuk mengajukan visa sebagai Au pair untuk kedua kalinya).
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
31
b. Jam kerja dan waktu luang: Au pair tidak diperbolehkan bekerja lebih dari 6 jam per hari dan lebih dari 30 jam per minggu, keluarga angkat harus mendiskusikan terlebih dahulu kepada Au pair jika mereka membutuhkan Au pair di luar dari jam kerja yang telah ditentukan. Au pair berhak memiliki hari libur minimal satu hari per minggu, biasanya Au pair memiliki hari libur di akhir pekan.
c. Masa libur: Jika keluarga angkat menerima atau mempekerjakan Au pair selama penuh satu tahun, Au pair berhak menerima 4 minggu liburan berbayar. Jika keluarga angkat pergi liburan, Au pair ikut bersama mereka, Au pair tidak diizinkan untuk bekerja di luar dari pekerjaannya sebagai Au pair di keluarga penerima. d. Kursus bahasa: Setiap Au pair harus menghadiri kursus bahasa Jerman, keluarga angkat bertanggung jawab untuk memberikan kontribusi sebesar 50 Euro per bulan, oleh karena itu Au pair harus menanggung kekurangan biaya kursusnya sendiri. e. Akomodasi dan makanan: Akomodasi dan makanan disediakan oleh keluarga angkat secara gratis. Umumnya Au pair memiliki kamar tidur dan kamar mandi pribadi. Au pair bergabung dengan keluarga penerima dan berperilaku sebagai anggota keluarga, seperti makan malam bersama. Jika Au pair memiliki pola diet khusus, dia harus mendiskusikannya terlebih dahulu secara jelas dengan keluarga angkat. f. Uang saku dan biaya perjalanan: Tujuan dari Au pair ialah untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan belajar kebudayaan dari negara penerima, oleh karena itu Au pair tidak menerima gaji seperti gaji pekerjaan pada umumnya di negara penerima, jadi uang ini bisa disebut sebagai uang saku. Jumlah uang saku yang diterima sebagai Au pair di Jerman adalah 260 Euro per bulannya. Biaya perjalanan dari dan ke Jerman ditanggung oleh au pair.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
32
g.
Asuransi kesehatan: Keluarga angkat harus menyediakan dan membayar
asuransi au pair. h. Mengakhiri kontrak kerja au pair: Kontrak Au pair berakhir sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat dengan keluarga angkat, jika di kemudian hari ada permasalahan antara Au pair dengan keluarga angkat, masing-masing pihak harus setuju bahwa Au pair bisa tinggal sampai dia menemukan keluarga angkat baru. 3.
Aplikasi, penempatan dan pekerjaan Au pair berusia minimal 18 tahun pada saat mengajukan diri sebagai au
pair, Au pair yang sudah menikah juga boleh mendaftar sebagai au pair. Pelamar Au pair diharapkan menguasai paling tidak mampu berbahasa Jerman tingkat dasar, bahasa Jerman tingkat dasar disebut A1, oleh karena itu setiap pelamar Au pair harus menyertakan sertifikat kemampuan berbahasa Jerman A1 pada saat mengajukan visa di Kedutaan besar Jerman. Au pair yang bukan berasal dari negara Unifikasi Eropa, Zona Ekonomi Eropa atau Swiss harus mengikuti bahwa Au pair hanya bisa dipekerjakan oleh keluarga Jerman yang di mana menggunakan bahasa Jerman sebagai bahasa sehari-hari. Paling tidak, salah satu dari orang tua angkat adalah warga negara Jerman atau warga negara salah satu anggota Unifikasi Eropa, Zona Ekonomi Eropa atau warga negara Swiss. Jika bahasa Jerman menjadi bahasa sehari-hari di rumah keluarga penerima, maka mereka bisa mempekerjakan Au pair meskipun mereka bukan berasal dari negara penerima. 4. Kedatangan au pair Au pair dari negara ketiga (yang bukan berasal dari negara Unifikasi Eropa) wajib memiliki visa Au pair yang diajukan di negara asal au pair, kecuali warga negara Australia, Israel, Jepang, Kanada, Republik Korea, Selandia baru dan Amerika boleh memasuki negara Jerman tanpa visa. Au pair pada saat mengajukan visa Au pair ke Kedutaan Jerman berusia tidak lebih dari 27 tahun. Sebagai Au pair di Jerman, mereka dituntut untuk berpikiran terbuka (open minded), belajar dan bergabung dengan gaya hidup, kebiasaan dan budaya keluarga angkat yang akan dipelajari dan dialami selama
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
33
masa tinggal di Jerman. Mereka harus belajar serius untuk meningkatkan kemampuan bahasa Jerman mereka.
2.2 Kerangka Pemikiran Kerangka adalah hasil pemikiran yang rasional yang merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada perumusan hipotesa (Nawawi, 2001: 40). Kerangka pemikiran menggambarkan bagaimana suatu permasalahan penelitian dijabarkan. Dalam penelitian, kerangka pemikirannya digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.3: Kerangka Pemikiran
Proses Komunikasi Lintas Budaya
Keluarga Angkat
Mantan Au pair Indonesia
Dalam kerangka pemikiran ini, peneliti membuat konsep sederhana yang bermula melihat bagaimana proses komunikasi lintas budaya mantan Au pair Indonesia dengan keluarga angkatnya. Interaksi bermula dari keluarga angkat yang kemudian diinterpretasi dan dialami oleh mantan Au pair Indonesia selama masa tinggalnya di Jerman yang untuk kemudian disebut sebagai proses komunikasi lintas budaya.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara