BAB II URAIAN TEORITIS
2.1
Landasan Teori Penelitian dilakukan dengan landasan teori yang berperan sebagai dasar pemikiran
untuk mendukung suatu permasalahan dengan jelas dan sistematis.
Landasan teori ini juga diperlukan untuk pengembangan penelitian. Penelitian ini mengggunakan teori-teori agar permasalahan lebih jelas dimana teori-teori yang digunakan adalah : Teori Komunikasi Antarbudaya, Teori Efektivitas Komunikasi Antarbudaya, Teori Masyarakat Majemuk, dan Teori Etnosentrisme. a.
Teori Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya merupakan salah satu bidang kajian Ilmu Komunikasi yang lebih menekankan pada perbandingan pola-pola komunikasi antar pribadi diantara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan. Pada awalnya, studi antarbudaya berasal dari perspektif antropologi sosial dan budaya sehingga kajiannya lebih bersifat depth description, yakni penggambaran yang mendalam tentang perilaku komunikasi berdasarkan budaya tertentu. Pengertian komunikasi antarbudaya telah banyak diuraikan oleh beberapa ahli, diantaranya Fred. E. Jandt (2004) yang mengartikan bahwa “komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka diantara orang yang berbeda-beda budaya”. Menurut Steward L. Tubbs dan Sylvia Moss dalam Liliweri (2003) menjelaskan bahwa “komunikasi antarbudaya terjadi diantara orang-orang yang memiliki budaya yang berbeda (ras, etnik, sosial ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan itu)”. Berdasarkan defenisi di atas, komunikasi antarbudaya sebagai suatu proses yang mempengaruhi perilaku sumber (komunikator) dan penerimanya (komunikan) dengan sengaja menyandi (to code) perilaku mereka untuk menghasilkan pesan yang mereka salurkan lewat suatu saluran (channel) guna merangsang atau memperoleh sikap/perilaku tertentu (Lubis, 2012 : 13). Komunikasi antarbudaya juga adalah suatu tindak komunikasi dimana para partisipan berbeda latar belakang budayanya (Purwasito, 2003 : 122-124).
Universitas Sumatera Utara
Philipsen (dalam Griffin, 2003) mendeskripsikan budaya sebagai suatu konstruksi sosial dan pola simbol, makna-makna, pendapat, dan aturan-aturan yang dipancarkan secara mensejarah. Untuk mencari kejelasan dan mengintegrasikan berbagai konseptualisasi tentang kebudayaan komunikasi antarbudaya, ada 3 dimensi menurut Young Yun Kim (dalam Lubis, 2012) , yaitu :
a. Partisipasi dalam berkomunikasi b. Konteks sosial c. Saluran yang digunakan Menurut Samovar dan Porter (1993 : 19-22) komunikasi antarbudaya terjadi apabila komunikator pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesan (komunikan) adalah anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi antarbudaya memiliki dua aspek, yaitu komunikasi intrabudaya dan komunikasi lintas budaya (Senjaya. 2007: 7.10-7.11). Sitaram dan Cogdell (Shadid, 2007) mengidentifikasi komunikasi intrabudaya sebagai komunikasi yang berlangsung antara para anggota kebudayaan yang sama namun tetap menekankan pada sejauh mana perbedaan pemahaman dan penerapan nilai-nilai budaya yang mereka miliki bersama. Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya, yang disebabkan perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya. Dalam setiap budaya ada bentuk lain yang agak serupa dengan bentuk budaya tersebut. Ini menunjukkan individu yang telah dibentuk oleh budaya. Bentuk individu sedikit berbeda dari bentuk yang mempengaruhinya. Ini menunjukkan dua hal, pertama, ada pengaruh-pengaruh lain disamping budaya yang membentuk individu. Kedua, meskipun budaya merupakan kekuatan dominan yang mempengaruhi individu, orang-orang dalam suatu budaya pun mempunyai sifat-sifat yang berbeda.
b.
Teori Efektivitas Komunikasi Antarbudaya
Universitas Sumatera Utara
Kenyataan dan kehidupan sosial telah membuktikan bahwa manusia di muka bumi tidak dapat hidup sendiri. Mereka pasti melakukan interaksi sosial dan selalu berhubungan satu sama lain. Dan interaksi itu tidak akan terjadi tanpa adanya proses komunikasi. Itu artinya, dalam komunikasi antarbudaya, interaksi antarbudaya pun tidak akan pernah ada jika tidak ada komunikasi antarbudaya. Segala keefektivan dalam interaksi antarbudaya tergantung pada komunikasi antarbudaya. Gudykunst (2003) menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antarbudaya. Konsep di atas sekaligus menekankan bahwa segala tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai dan dikatakan berhasil jika bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antar komunikator dan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manajemen komunikasi yang efektif, lahirnya sikap dan semangat kesetiakawanan, persahabatan, pertemanan, kekerabata, hingga kepada pengurangan konflik antar keduanya. Pemahaman mengenai komunikasi antarbudaya dan bagaimana komunikasi dapat dilakukan, dengan ini maka kita dapat melihat bagaimana komunikasi dapat mewujudkan perdamaian dan meredam konflik di tengah-tengah masyarakat. Dengan komunikasi yang intens kita dapat memahami akar permasalahan sebuah konflik, membatasi dan mengurangi kesalahpahaman, komunikasi dapat mengurangi konflik sosial. Usaha meredam konflik dan mendorong terciptanya perdamaian tergantung bagaimana cara kita mendefinisikan situasi orang lain agar kita dapat mencapai perdamaian dan kerjasama. Kehidupan makhluk hidup terutama kita sebagai manusia tak bisa meninggalkan yang namanya komunikasi. Baik antar individu, kelompok atau organisasi. Bila diteliti banyak kegagalan dari komunikasi yang kita lakukan. Joseph de Vito (2012) mengemukakan kondisi yang dibutuhkan untuk mencapai komunikasi yang efektif antara lain : -
Openese : adanya keterbukaan
-
Supportiveness : adanya suasana saling mendukung
-
Positiviness : bersikap positif
Universitas Sumatera Utara
-
Empathy : memahami perasaan orang lain
-
Equality : kesetaraan.
Komunikasi yang berjalan baik dan lancar sangatlah penting. Agar komunikasi berjalan baik dan lancar, kondisi di atas sangat penting untuk di perhatikan. Karena sesungguhnya komunikasi itu pada dasarnya adalah upaya bagaimana kita meraih perhatian, cinta kasih, kepedulian, simpati, tanggapan, maupun respon positif dari orang lain. Untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang efektif, individu seharusnya mengembangkan kompetensi antarbudaya; merujuk pada keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang efektif Jandt (2004) mengidentifikasikan empat keterampilan sebagai bagian dari kompetensi antarbudaya, yaitu personality strength, communication skills, psychological adjustment and cultural awareness. Tidak dapat diragukan bahwa kompetensi antarbudaya adalah sebuah hal yang sangat penting saat ini. Seperti halnya pendatang sementara yang disebut sojourners, yaitu sekelompok orang asing (stranger) yang tinggal dalam sebuah negara yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan negara tempat mereka berasal. Komunikasi efektif membantu kita untuk lebih memahami seseorang dan situasinya sehingga memungkinkan kita untuk menyelesaikan perbedaan, membangun kepercayaan dan rasa hormat, serta menciptakan lingkungan di mana kita bisa berpikir kreatif, memecahkan masalah, menumbuhkan kasih sayang dan dan meningkatkan kepedulian antarmanusia. Menurut Wahyudin (2010) menjelaskan bahwa “masyarakat ideal dan harmonis terjadi jika adanya kesadaran akan hak dan kewajiban pada interaksi seluruh anggota masyarakat yang berperan sebagai peserta komunikasi. Dengan kata lain, masyarakat ideal atau harmonis adalah kesesuaian tingkah laku seluruh anggota masyarakat dengan norma-norma umum masyarakat dan adat istiadat, terintegrasi dengan tingkah laku umum, serta dapat mengetahui jati dirinya dan mengorganisasikannya sebagai satu kesatuan yang utuh dari sistem sosial”. Kunci dari komunikasi yang harmonis ini adalah komunikasi efektif. Komunikasi yang harmonis dapat dengan mudah kita capai bila komunikasi yang kita lakukan sudah efektif. Biasanya komunikasi yang harmonis ini akan sulit kita capai bila kita sudah memiliki persepsi yang buruk tentang suatu etnis, sehingga memperburuk hubungan dan cara pandang kita terhadap etnis tertentu. c.
Teori Masyarakat Majemuk
Universitas Sumatera Utara
Konsep masyarakat majemuk pertama kali diperkenalkan oleh J.S. Furnivall, menurutnya
ciri
utama
masyarakat
majemuk
adalah
kehidupan
masyarakat
berkelompok-kelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi mereka terpisah-pisah karena perbedaan sosial dan tidak tergabung dalam sebuah unit politik (Liliweri, 2004 : 166). Terdapat kehendak kuat mengganti asumsi beragamnya primordial Indonesia dengan tidak lagi menggunakan denotasi majemuk melainkan multikultural. Dalam multikultural, etnis-etnis yang berbeda setara posisinya dalam proses hidup dan berpolitik di dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Sebaliknya konsepsi masyarakat majemuk menyiratkan bias konsep dominasi salah satu etnis atau ras dalam kehidupan sosial dan politik Indonesia. Menurut Clifford Gertz (1963) masyarakat multikultural adalah merupakan masyarakat yang terbagi dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing sub sistem terkait oleh ikatan-ikatan primordial. Sementara menurut Nasikun (2011) masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktur memiliki subsubkebudayaan yang bersifat deverseyang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari satu-kesatuan sosial, serta seringnya muncul konflik-konflik sosial. Ciri-ciri masyarakat majemuk ataupun multikultural menurut Van den Berghe (dalam Prasetyono dan Piliang, 2002) adalah : 1. Terjadi segmentasi, yaitu masyarakat yang terbentuk oleh bermacam-macam suku, ras, dll tapi masih memiliki pemisah. Yang biasanya pemisah itu adalah suatu konsep yang di sebut primordial. Contohnya, di Jakarta terdiri dari berbagai suku dan ras, baik itu suku dan ras dari daerah dalam negri maupun luar negri, dalam kenyataannya mereka memiliki segmen berupa ikatan primordial kedaerahaannya. 2. Memilki struktur dalam lembaga yang non komplementer, maksudnya adalah dalam masyarakat majemuk suatu lembaga akan mengalami kesulitan dalam menjalankan atau mengatur masyarakatnya alias karena kurang lengkapnya persatuan tyang terpisah oleh segmen-segmen tertentu. 3. Konsesnsus rendah, maksudnya adalah dalam kelembagaan pastinya perlu adanya suatu kebijakan dan keputusan. Keputusan berdasarkan kesepakatan bersama itulah yang dimaksud konsensus, berarti dalam suatu masyarakat majemuk sulit sekali dalam penganbilan keputusan. 4. Relatif potensi ada konflik, dalam suatu masyarakat majemuk pastinya terdiri dari berbagai macam suku adat dankebiasaan masing-masing. Dalam teorinya semakin banyak perbedaan dalam suatu masyarakat, kemungkinan akan terjadinya konflik itu sangatlah tinggi dan proses peng-integrasianya juga susah. 5. Integrasi dapat tumbuh dengan paksaan, dalam masyarakat multikultural itu susah sekali terjadi pengintegrasian, maka jalan alternatifnya adalah dengan
Universitas Sumatera Utara
cara paksaan, walaupun dengan cara seperti ini integrasi itu tidak bertahan lama. 6. Adanya dominasi politik terhadap kelompok lain, karena dalam masyarakat multikultural terdapat segmen-segmen yang berakibat pada ingroup fiiling tinggi maka bila suaru ras atau suku memiliki suatu kekuasaan atas masyarakat itu maka dia akan mengedapankan kepentingan suku atau rasnya. d.
Teori Etnosentrisme
Etnosentris sangat erat hubungannya dengan apa yang disebut in group feeling (keikut sertaan dalam kelompok) tinggi (Purwasito, 2003). Biasanya dalam suatu kelompok sosial sering kita melihat perang antar desa, perang antar suku ataupun perang dalam agama dan sebagainya. Tapi entosentris lebih kepada anggapan suatu kelompok sosial bahwa kelompoknyalah yang paling unggul. Jadi, yang dimaksud dengan etnosentris adalah suatu anggapan dari kelompok sosial bahwa kelompoknyalah yang paling unggul (Budiman, 2005). Dari definisi di atas kita dapat memahami bahwa dalam suatu masyarakat majemuk terdapat suatu kelompok yang beranggapan bahwa kelompoknyalah yang paling unggul dari kelompok-kelompok sosial lain. Etnosentris merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai-nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertingkah terhadap semua kebudayaan lain. Etnosentris menyebabkan adanya prasangka dalam setiap etnis yang dapat memandang orang dari kelompok etnis lain sebagai barbar, kafir, dan tidak mempunyai peradaban. Suatu kekeliruan persepsi terhadap orang yang berbeda adalah prasangka, yang mana merupakan suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip. Prasangka adalah sikap yang tidak adil terhadap seseorang atau suatu kelompok (Lubis, 2012). Poortinga (dalam Liliweri, 2005: 176-179), menyatakan bahwa ada 3 faktor penentu prasangka yang diduga mempengaruhi komunikasi antarbudaya, yaitu : a.
Stereotip Stereotip dapat diartikan sebagai suatu sikap atau karakter yang dimiliki oleh seseorang untuk menilai orang lain semata-mata berdasarkan kelas atau pengelompokan yang dibuatnya sendiri dan biasanya bersifat negatif. Menurut Gerungan (2002), stereotip merupakan suatu gambaran atau tanggapan tertantu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang golongan lain yang umumnya bercorak negatif. Stereotip mengenai orang lain telah terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang-orang lain yang dikenakan prasangka itu. Dapat disimpulkan, jika komunikasi diantara mereka yang berbeda etnis didahului oleh stereotip negatif antaretnik akan mempengaruhi efektivitas komunikasi (Liliweri, 2005).
Universitas Sumatera Utara
b.
Jarak Sosial Jarak sosial merupakan perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain. Liliweri beranggapan semakin dekat jarak sosial seorang komunikator dari suatu etnis dengan seorang komunikan dari etnis lain, maka semakin efektif komunikasi yang terjalin diantara mereka, begitu juga sebaliknya.
c.
Sikap diskriminasi Secara teoritis menurut Doob, diskriminasi dapat dilakukan melalui kebijaksanaan untuk mengurangi, memusnahkan, menaklukkan, memindahkan, melindungi secara legal, menciptakan pluralisme budaya, dan tindakan asimilasi terhadap kelompok lain. Ini juga berarti bahwa sikap diskriminasi tidak lain dari suatu kompleks berpikir, berperasaan, dan kecenderungan untuk berperilaku maupun bertindak dalam suatu bentuk negatif maupun positif. Sikap ini dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi antaretnik (Liliweri, 2005 : 178).
2.2
Kerangka Konsep Setiap penelitian kuantitatif dimulai dengan menjelaskan konsep penelitian yang digunakan, karena konsep penelitian ini merupakan kerangka acuan peneliti di dalam mendesain instrumen penelitian. Konsep harus merupakan atribut berbagai kesamaan dari fenomena yang berbeda. Dalam mendesain konsep penelitian, yang terpenting adalah peneliti harus mendesain konsep interaksi antarvariabelvariabel penelitiannya, oleh karena itu peneliti harus menentukan pilihan sebenarnya dari interaksi antarvariable-variabel penelitian itu (Bungin, 2005 : 57). Dalam penelitian ini ada 2 variabel yang digunakan, yaitu variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y). Variabel bebas adalah variabel yang menjadi penyebab dari variabel lain atau yang mempengaruhi munculnya variabel lain (Y). Variabel X dalam penelitian ini adalah komunikasi antarbudaya. Variabel terikat (Y) adalah variabel yang muncul setelah adanya variabel bebas (X) dan masih mempunyai kaitan gejala dengan variabel X. Variabel Y dalam penelitian ini adalah hubungan yang harmonis.
2.3
Model Teoritis Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, untuk memudahkan kelanjutan penelitian maka dibuatlah model teoritis dengan memasukkan keseluruhan unsur variabel tersebut ke dalam skema.
Universitas Sumatera Utara
Model teoritisnya adalah sebagai berikut: Gambar 2.1 Model Teoritis
Variabel X
Variabel Y
Komunikasi Antarbudaya
Hubungan yang Harmonis
Karakteristik Responden : a. Etnis b. Jenis Kelamin c. Agama d. Tingkat Pendidikan
2.4
Keterangan
:
X
: Variabel Bebas
Y
: Variabel Terikat
Operasional Variabel Operasional variabel berguna untuk memudahkan penggunaan kerangka konsep yang telah disusun operasionalisasinya. Berdasarkan hal itu, maka operasional variabel dalam penelitian ini adalah : Tabel 2.2 Operasional Variabel
Universitas Sumatera Utara
Variabel Teoritis 1. Komunikasi
Antarbudaya
(Variabel X)
Variabel Operasional 1. Dimensi berkomunikasi : a. Partisipasi siswa dalam berkomunikasi : - Frekuensi berkomunikasi - Pesan yang disampaikan - Intensitas komunikasi b. Konteks sosial : - Tempat - Waktu - Suasana c. Saluran yang digunakan : - Komunikasi Antar Pribadi - Komunikasi Bermedia 2. Bahasa Verbal a. Bahasa Indonesia b. Bahasa Inggris c. Bahasa Mandarin/Hokian
2. Hubungan yang Harmonis (Variabel Y)
1. Openese : a. Terbuka b. Tertutup 2. Supportiveness : a. Saling Mendukung b. Bersaing
Universitas Sumatera Utara
c. Saling Menjatuhkan 3. Positiviness : a. Berpikir positif b. Berpikir negatif 4. Empati : a. Sukacita b. Dukacita 5. Equility : a. Setara b. Berbeda 3. Karakteristik Responden
1. Kelas : a. Kelas 2 SMA b. Kelas 3 SMA 2. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan 3. Agama : a. Kristen Protestan b. Kristen Katolik c. Islam d. Budha
2.5
Defenisi Operasional a.
Komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi yan terjadi diantara komunikator dan komunikan yang berbeda latar belakang budaya.
b.
Komunikasi antarbudaya sebagai suatu proses yang mempengaruhi perilaku sumber (komunikator) dan penerimanya (komunikan) dengan sengaja menyandi (to code) perilaku mereka untuk menghasilkan pesan yang mereka salurkan lewat suatu saluran (channel) guna merangsang atau memperoleh sikap/perilaku tertentu.
Universitas Sumatera Utara
c.
Masyarakat multikultural adalah merupakan masyarakat yang terbagi dalam subsub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing sub sistem terkait oleh ikatan-ikatan primordial.
d.
Tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai dan dikatakan berhasil jika bentukbentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antar komunikator dan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manajemen komunikasi yang efektif, lahirnya sikap dan semangat kesetiakawanan, persahabatan, pertemanan, kekerabata, hingga kepada pengurangan konflik antar keduanya.
e.
Partisipasi dalam berkomunikasi dilihat dari keikutsertaan seseorang dalam berkomunikasi, apakah dia terlibat secara aktif maupun pasif.
f.
Konteks
sosial
merupakan
tempat
berlangsungnya
komunikasi,
waktu
berlangsungnya komunikasi, maupun bagaimana suasana komunikasi itu terjadi. g.
Saluran yang digunakan penting untuk dilihat karena syarat melakukan komunikasi salah satunya adalah menggunakan media.
h.
Prasangka sosial adalah sikap perasaan orang-orang terhadap golongan tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berlainan dengan golongannya.
i.
Stereotip adalah suatu sikap atau karakter yang dimiliki oleh seseorang untuk menilai orang lain semata-mata berdasarkan kelas atau pengelompokan yang dibuatnya sendiri dan biasanya bersifat negatif.
j.
Jarak sosial adalah perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain.
k.
Komunikasi yang harmonis adalah komunikasi yang efektif dan iklim komunikasi yang kondusif dapat menyelesaikan konflik secara efektif.
2.6
Hipotesis Hipotesis adalah pernyataan yang bersifat dugaan sementara mengenai hubungan antara dua variabel atau lebih. Menurut Champion, hipotesis merupakan penghubung antar teori dan dua empiris (Kriyantono, 2006). Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Ho = Tidak ada pengaruh antara komunikasi antarbudaya terhadap hubungan yang harmonis antara siswa Pribumi dan siswa Tionghoa. Ha = Ada pengaruh antara komunikasi antarbudaya terhadap hubungan yang harmonis antar siswa Pribumi dan siswa Tionghoa.
Universitas Sumatera Utara