BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Paradigma Ilmu Sosial merupakan suatu “multi paradigm science,” tidak seperti ilmu alam fisika, dalam ilmu sosial berbagai paradigma bisa tampil bersama-sama dalam satu era. Sejauh ini telah dilakukan pengelompokan teori-teori sosial ke dalam paradigm yang menghasilkan criteria yang beragam dari beberapa ilmuan sosial. Salah satunya adalah pengelompokan yang dilakukan oleh Guba dan Lincoln (1994). Teori-teori sosial dikelompokkan ke dalam tipologi yang mencakup empat paradigma dengan implikasi metodologi tersendiri yaitu, positivism, post positivism, critical paradigm, dan constructivisme. Sejumlah ilmuwan sosial menggabungkan positivism edan post positivisme menjadi classical paradigm karena dalam prakteknya implikasi metodologi keduanya tidak jauh berbeda.
Berdasarkan tipologi tersebut, teori-teori dan penelitian ilmiah
dalam komunikasi dibagi atas 3, yakni : 1. Classical Paradigm yang mencakup Positivisme dan Post Positivisme 2. Critical Paradigm 3. Constructivisme Paradigm Sejumlah hal mendasar yang membedakan ketiga paradigma di atas antara lain konsepsi tentang ilmu-ilmu sosial, asumsi-asumsi tentang masyarakat, manusia, realitas sosial, keberpihakan moral, dan juga komitmen terhadap hal-hal tertentu. Teori kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan konstruktivisme yang kurag sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Analisis teori kritis tidak dipusatkan pada kebenaran/ ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada konstruktivisme. Analisis kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya,
Universitas Sumatera Utara
karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. bahasa komunikasi tiak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses komunikasi: batasanbatasan apa yang diperkenankan, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Teori kritis dapat dianggap sama dengan paradigm konstruktivisme dengan alasan sebagai berikut: 1. Teori kritis meyakini bahwa ilmu pengetahuan itu dikonstruksi atas dasar kepentingan manusiawi. 2. Dalam praksis penelitian (dari pemilihan masalah untuk penelitian, instrument dan metode analisis yang digunakan. Interpretasi, kesimpulan dan rekomendasi) dibuat sangat bergantung pada nilai-nilai peneliti. 3. Standar penelitian ilmiah bukan ditentukan oleh prinsip verifikasi atau falsifikasi melainkan didasarkan konteks sosial historis serta kerangka pemikiran yang digunakan ilmuwan. Aliran teori kritis ini sebenarnya tidak dapat dkatakan sebagai suatu paradigm, tetapi lebih tepat disebut ideologically oriented inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Nep-Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme, partisipatory inquiry, dan paham-paham yang setara (Denzin dan Guba, 2001:41). Lebih jauh, Denzin dan Guba (2001) menyebutkan dilihat dari sisi ontologism, paham perspektif ini sama dengan post-positivisme yang menilai objek atau realitas secara kritis (critical realism), yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatai masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan metode dialog dengan transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara epistimologis, hubungan
Universitas Sumatera Utara
antara pengamat dengan realitas yang menjadi objek merupakan suatu hal yang tidak
bia dipisahkan. Karena itu, aliran ini lebih menekankan pada konsep
subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan kebenaran tentang suatu hal. Paradigma kritis dipengaruhi oleh ide dan gagasan Marxis yang melihat masyarakat sebagai suatu sistem kelas dimana kelas/kelompok yang dominan melakukan dominasi terhadap kelompok yang tidak dominan. Media adalah salah satu bagian dari system dominasi yang dijadikan kelompok dominan sebagai alat untuk memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok yang tidak dominan (Eriyanto, 2001 : 22-23). Perkembangan paradigma kritis tidak dapat dipisahkan dari pemikiran sekolah Frankfurt yang tumbuh di Jerman pada masa berlangsungnya propaganda besar-besaran yang dilakukan oleh Hitler. Pada masa tersebut media dipenuhi dengan prasangka, retorika, dan propaganda. Media menjadi sarana pemerintah untuk mengontrol publik dan mengobarkan semangat perang. Pemikiran kritis yang lahir dari sekolah Frankfurt memendang adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses komunikasi. Media adalah sarana dimana kelompok dominan mengontrol bahkan memarjinalkan kelompok yang tidak dominan dengan menguasai dan mengontrol media (Eriyanto, 2001 : 23-24). Stuart Hall kemudian mengembangkan pemikiran dari mazhab Frankfurt dengan menekankan ideologi sebagai bagian yang penting dalam studi media. Menurut hal, media memang memainkan peranan penting dalam pembentukan konsensus di dalam masyarakat. tetapi media tidak secara sederhana dipandang sebagai refleksi dari konsensus . Konsensus terbentuk melalui proses yang kompleks dan melibatkan legitimasi dari kekuatan-kekuatan sosial dlam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Kalangan pluralis memandang realitas sebagai sesuatu yang terbentuk secara alamiah, tetapi bagi Hall, realitas diproduksi oleh representasi dari kekuatankekuatan sosial yang ada dalam masyarakat melalui sarana media sebagai bentuk dari pertarungan kekuasaan untuk memapankan nilai-nilai kelompok dominan. Dalam proses pembentukan realitas tersebut, Hall menjadikan bahasa dan politik penandaan sebagai titik perhatiannya. Bahasa dipandang sebagai arena pertarungan sosial dan bentuk pendefinisian realitas. Sedangkan politik penandaan adalah bagaimana praktik sosial dalam membentuk, mengontrol, dan membentuk makna. 2.2 Analisis Wacana Analisis wacana, dalam arti paling sederhana adalah kajian terhadap satuanbahasa di atas kalimat. Lazimnya, perluasan arti istilah ini dikaitkan dengan kontekslebih luas yang mempengaruhi makna rangkaian ungkapan secara keseluruhan. Paraanalis wacana mengkaji bagian lebih besar bahasa ketika mereka saling bertautan.Beberapa analis wacana mempertimbangkan konteks yang lebih luas lagi untukmemahami bagaimana konteks itu mempengaruhi makna kalimat.Sebagai pendekatan analitik yang sedang berkembang (in status ascendi),analisis wacana tidak hanya mengemuka dalam kajian bahasa, tetapi juga dalamberbagai lapangan kajian lain. Kalau dalam linguistik, analisis wacana menunjukpada kajian terhadap satuan bahasa di atas kalimat yang memusatkan perhatian padaaras lebih tinggi dari hubungan ketata-bahasaan (grammatical), dalam sosiologi,analisis wacana menunjuk pada kajian hubugan konteks sosial dengan pemakaianbahasa. Kalau dalam psikologi sosial, analisis wacana menunjuk pada kajian terhadapstruktur dan bentuk percakapan atau wawancara, dalam ilmu politik, analisis wacanamenunjuk pada kajian terhadap praktik pemakaian bahasa dan talitemalinya dengankekuasaan. Tampak jelas, digunakan dalam lapangan kajian apa pun, istilah analisis wacana niscaya menyertakan telaah bahasa dalam pemakaian.Seperti dialami oleh semua cabang kajian dalam ilmu-ilmu kemanusiaan(human sciences), pendekatan analisis wacana juga terpilah berdasarkan paradigmakajian (paradigm of inquiry) yang mendasarinya. Secara umum ada tiga paradigmakajian yang berkembang dan saling bersaing dalam
Universitas Sumatera Utara
ilmu-ilmu kemanusiaan. Masing-masingadalah analisis wacana positivisme (positivist discourse analysis), analisis wacana interpretivisme (interpretivist discourse analysis), dan analisis wacanakritisisme (critical discourse analysis). Bersandar pada paradigma positivisme, bahasa dilihat sebagai jembatan antaramanusia dengan objek di luar dirinya. Terkait dengan analisis wacana, para penelitibahasa tidak perlu mengetahui makna-makna atau nilai subjektif yang mendasarisuatu pernyataan. Analisis wacana positivistik memperhatikan dan mengutamakanpemenuhan seperangkat kaidah sintaksis dan semantik. Kebenaran semantik dan ketepatan sintaksis menjadi takaran utama dalam aliran ini. Karena itu, analisis wacana positivistik diarahkan pada penggambaran tata-aturan kalimat dan paragraph beserta kepaduan makna yang diasumsikan berlaku umum. Kohesi dan koherensi menjadi tolok-ukur utama dalam setiap analisis wacana positivistik Penganjur paradigma interpretivisme menolak pemisahan manusia sebagaisubjek dengan objek. Bahasa tidak dapat dipahami terkecuali dengan memperhatikansubjek
pelakunya.
Subjek
manusia
diyakini
mampu
mengendalikan maksud-maksudtertentu dalam tindak berwacana. Karena itu, setiap pernyataan pada hakikatnya adalah tindak penciptaan makna. Dalam perspektif ini pula berkembang teori tindak- tutur, serta keberlakuan kaidahkaidah kejasama dalam percakapan. Analisis wacana dimaksudkan untuk mengungkap maksud-maksud dan makna-makna tertentudari subjek. Dalam perspektif ini, bila berkehendak memahami suatu wacana, makatidak ada jalan masuk lain kecuali pengkaji mampu mengembangkan empati terhadap subjek pelaku wacana. Penganjur paradigma kritisisme menilai bahwa baik paradigma positivisme maupun paradigma interpretivisme tidak peka terhadap proses produksi dan reproduksi makna. Kedua paradigma tersebut mengabaikan kehadiran unsur kekuasaan dan kepentingan dalam setiap praktik berwacana. Karena itu, alih-alih mengkaji ketepatan tata-bahasa menurut tradisi positivisme atau proses penafsiran sebagaimana tradisi interpretivisme, paradigma kritisisme justru memberi bobot
Universitas Sumatera Utara
lebih besar terhadap pengaruh kehadiran kepentingan dan jejaring kekuasaan dalam proses produksi dan reproduksi makna suatu wacana. Baik sebagai subjek maupun objek praktik wacana, individu tidak terbebas dari kepentingan ideologik dan jejaring kekuasaan. Meskipun ada banyak ranting aliran (variance) dalam paradigma ini, semuanya memandang bahwa bahasa bukan merupakan medium yang netral dari ideologi, kepentingan dan jejaring kekuasaan. Karena itu, analisis wacana kritis perlu dikembangkan dan digunakan sebagai piranti untuk membongkar kepentingan, ideologi, dan praktik kuasa dalam kegiatan berbahasa dan berwacana. Dua di antara sejumlah ranting aliran analisis wacana kritis yang belakangan sangat dikenal adalah buah karya Norman Fairclough dan Teun van Dijk.18 Dibanding sejumlah karya lain, buah pikiran van Dijk dinilai lebih jernih dalam merinci struktur, komponen dan unsur-unsur wacana. Karena itu, model analisis wacana kritis ini pula terkesan mendapat tempat tersendiri di kalangan analis wacana kritis. 2.3 Analisis Wacana Kritis Kata kritis (critical) dalam CDA membawa konsekuensi yang tidak ringan. Pengertian kritis di sini bukan untuk diartikan secara negatif sebagai menentang atau memperlihatkan keburukan-keburukan dari subjek yang diperiksa semata. Kata kritis menurut Wodak hendaknya dimaknai menggeneralisir
persoalan
melainkan
sebagai sikap tidak
memperlihatkan
kompleksitasnya;
menentang penciutan, penyempitan atau penyederhanaan, dogmatisme dan dikotomi. Kata kritis juga mengandung makna refleksi diri melalui proses, dan membuat struktur relasi kekuasaan dan ideologi yang pada mulanya tampak keruh, kabur dan tak jelas menjadi terang. Kritis juga bermakna skeptis dan terbuka pada pikiran-pikiran alternatifAnalisis wacana kritis menggunakan pandangan kritis yang melihat suatu wacana bukan dari kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran. Analisis wacana pada paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan
Universitas Sumatera Utara
dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. bahasa di sini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif tertentu, dengan situsi, intuisi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa menampilkan efek ideologi : ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat terjadi. Media bukan saluran yang bebas dan netral tetapi justru dipengaruhi dan digunakan oleh kekuatan ekonomi, politik, dan sosial di dalam masyarakat. media adalah saluran yang digunakan oleh kelompok tertentu untuk menyebarluaskan kekuasaannya di dalam masyarakat. teks berita diproduksi dan direproduksi sedemikian rupa sehingga menghasilkan pemaknaan tertentu. Dengan kata lain, teks dan pembaca mempunyai peranan yang sama besar dalam proses pemaknaan. Hubungan ini menghasilkan suatu tata nilai yang lebih besar dan kompleks di mana ideologi bekerja. Teun Van Dijk memberi definisi analisis wacana kritis sebagai berikut, Critical discourse analysis (CDA) is a type of discourse analytical research that primarily studies the way social power abuse, dominance, and inequality are enacted, reproduced, and resisted by text and talk in the social and political context. With such dissident research, critical discourse analysts take explicit position, and thus want to understand, expose, and ultimately resist social inequality.
Universitas Sumatera Utara
Dari paparan di atas tampak bahwa agenda utama CDA adalah mengungkap bagaimana kekuasaan, dominasi dan ketidaksetaraan dipraktikkan, direproduksi atau dilawan oleh teks tertulis maupun perbincangan dalam konteks sosial dan politis. Dengan demikian CDA mengambil posisi non-konformis atau melawan arus dominasi dalam kerangka besar untuk melawan ketidakadilan sosial. Fairclough dan Wodak mengidentifikasi karakteristik CDA sebagai berikut, 1. Memberi perhatian pada masalah-masalah sosial; 2. Percaya bahwa relasi kekuasaan bersifat diskursif, atau mengada dalam wacana; 3. Percaya bahwa wacana berperan dalam pembentukan masyarakat dan budaya; 4. Percaya bahwa wacana berperan dalam membangun ideologi; 5. Percaya bahwa wacana bersifat historis; 6. Memediasikan hubungan antara teks dan masyarakat siosial ; 7. Bersifat interpretatif dan eksplanatif; 8. Percaya bahwa wacana merupakan suatu bentuk aksi sosial.
Sekalipun berangkat dari basis yang sama, yakni linguistik, tetapi karena mendapat pengaruh dan paradigma yang berbeda, Analisis Wacana Kritis memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dengan Analisis Wacana (AW/DA). Pengaruh yang kuat dari Faucault menjadikan AWK/CDA tertarik untuk melihat fenomena sosial, politik dan kultural yang mengejawantah dalam bahasa. Jørgensen and Phillips, menyebut bahwa CDA adalah pendekatan konstruktivis sosial yang meyakini bahwa representasi dunia bersifat linguistis diskursif, makna bersifat historis dan pengetahuan diciptakan melalui interaksi sosial .15 Itulah mengapa CDA bersifat inter/multidisiplin, dan persentuhannya dengan ilmu sosial, politik dan budaya tidak terelakkan. Dengan demikian peneliti CDA dituntut untuk membuka diri terhadap prinsip-prinsip yang dikukuhi oleh disiplin ilmu yang lain. Dalam banyak literatur, CDA bahkan sering disebut sebagai metode analisa yang mempertemukan ilmu bahasa (linguistik dan susastra), sosial, politik dan budaya.
Universitas Sumatera Utara
Berikut ini karakterisrik penting dari analisis wacana kritis yang diambil dari tulisan Teun A. van Dijk, Fairclough dan Wodak : 1. Tindakan Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Dengan pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Wacana bukan ditempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal. Orang berbicara atau menulis bukan ditafsirkan sebagai ia menulis atau berbicara dengan dirinya sendiri. Seseorang berbicara, menulis, dan menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubunga dengan orang lain.
Dengan pemahaman
semacam ini, ada beberapa konsekuensi bagaimana wacana harus dipandang. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran. 2. Konteks Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana disini dipandang diproduksi, dimengeti, dan dianalsisi pada suatu konteks tertentu. Titik tolak dari analisi wacana disini, bahasa tidak dapat dimengerti sebagai mekanisme internal dari linguistik semata, bukan suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Di sini, dibutuhkan tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran spesifik dari budaya yang dibawa. Wacana tidak dianggap sebagai wilayah yang konstan, terjadi di mana saja, dalam situasi apa saja. Wacana dibentuk sehingga harus ditafsirkan dalam kondisi dan situasi yang khusus. Meskipun demikian, tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya yang relevan dan dalam banyak hal berpengaruh atas produksi dan penafsiran teks yang dimasukkan dalam analisis.
Universitas Sumatera Utara
3. Historis Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Misalnya, kita melakukan analisis wacana teks selebaran mahasiswa menentang Soeharto. Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Bagaimana situasi sosial politik, suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.
4. Kekuasaan Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya. Di sini, setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakaan, atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. analisis wacana kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya tertentu. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Satu orang atau kelompok mengontrol orang taua kelompok lain lewat wacana. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Kelompok yang dominan mungkin membuat kelompok lain berrtindak sesuai dengan yang diinginkan. Kenapa hanya bisa dilakukan oleh kelompok dominan ? karena menurut Van Dijk, mereka lebih mempunyai akses dibandingkan dengan
Universitas Sumatera Utara
kelompok yang tidak dominan. Kelompok dominan lebih mempunyai akses seperti pengetahuan, uang, dan pendidikan dibandingkan dengan kelompok yang tidak dominan.
5. Ideologi Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan,, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang ideologi diantaranya mengatakan bahwa ideology dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima secara taken for granted. Wacana dalam pendekatan semacam ini dipandang sebagai medium melalui
mana
kelompok
yang
dominan
mempersuasi
dan
mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak abash dan benar (Van Dijk, 1997 : 25). Ideologi dari kelompok dominan hanya akan efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang didominasi menganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran. 2.3 Analisis Wacana Kritis Teun A. van Dijk Model analisis wacana yang dipakai oleh van Dijk mengelaborasi elemenelemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara praktis. Model yang dipakai oleh van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial”. Menurut van Dijk, penelitisn atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analsis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Di sini juga harus dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi, teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus, suatu prkatek wacana.
Universitas Sumatera Utara
Titik perhatian van Dijk terutama pada studi mengenai rasialisme. Dari berbagai kasus, dengan ribuan berita, van dijk terutama menganalisis bagaimana wacana media turut memperkuat rasialisme yang ada dalam masyarakat. Banyak sekali rasialisme yang diwujudkan dan diekspresikan melalui teks. Berbagai masalah tersebut lah yang coba digambarkan dalam model van Dijk. Oleh karena itu, van Dijk tidak mengeksklusi modelnya semata-mata dengan menganalisis teks semata. Ia juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Dalam analisis wacana ada tiga hal penting yang mempengarui produksi maupun analisis wacana yakni: ideologi, pengetahuan dan wacana. Ideologi mempengaruhi produksi wacana. Tidak ada wacana yang benar-benar netral atau steril dari ideologi penutur atau pembuatnya. Ideologi adalah sistem kepercayaan baik kepercayaan kolektif masyarakat maupun skemata kelompok yang khas, yang tersusun dari berbagai kategori yang mencerminkan identitas, struktur sosial, dan posisi kelompok. Ideologi merupakan basis sikap sosial. Pengetahuan adalah kepercayaan yang dibuktikan dengan benar (dijustifikasi). Kepercayaan menjadi pengetahuan apabila dimiliki oleh kelompok yang bersangkutan. Dalam kondisi tertentu terdapat pengetahuan yang belum menjadi idiologi sekalipun dimiliki secara kolektif oleh suatu kelompok. Pengetahuan semacam itu dalam analisis wacana disebut common ground. Dalam produksi wacana, struktur pengetahuan akan mempengaruhi dan mengontrol semantik dan perangkat wacana yang lain. Oleh karena pengetahuan tersebut tidak hanya berkaitan dengan penutur, tetapi berkaitan pengetahuan lain yang dimiliki pendengar, pembaca atau partisipan; maka diperlukan suatu model mental yang komplek tentang situasi pengetahuan lain dari peristiwa komunikatif yang disebut konteks. Oleh Van Dijk wacana digambarkan memiliki tiga demensi: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis wacana adalah menggabungkan ketiga demensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada tingkat kognisi sosial
Universitas Sumatera Utara
dipelajari proses produksi berita yang melibatkan kognisi individu penulis berita. Aspek ketiga adalah mempelajari bangunan wacana yang berkembang di masyarakat. 1. Teks Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa strukstur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga tingkatan. Yang pertama, struktur makro, yakni makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik/tema yang diangkat oleh suatu teks. Kedua, superstruktur yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup dan kesimpulan. Ketiga, struktur mikro yakni makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat dan gaya yang dipakai oleh suatu teks. 2. Kognisi Sosial Dalam pandangan van Dijk wacana tidak dibatasi hanya pada struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk membongkar bagaimana makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis kognisi dan konteks sosial. Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahsa, atau lebih tepatnya proses kesadaran mental dari pemakai bahasa. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas representasi kognisi dan strategi wartawan dalam memproduksi suatu berita. Karena pada dasarnya setiap teks dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. 3. Analisis Sosial Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur dari teks. Van Dijk memanfaatkan dan mengambil analisis linguistic tentang kosakata, kalimat, proposisi, dan paragraf untuk menjelaskan dan memaknai suatu teks. Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagimana suatu teks diproduksi oleh individu/kelompok pembuat teks. Cara memandang atau melihat suatu realitas
Universitas Sumatera Utara
sosial itu yang melahirkan teks tertentu. Analisis sosial melihat bagaimana teks itu dihubungkan lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat atas suatu wacana. Model dari analisis van Dijk tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 1 Konteks Kognisi Sosial Teks
Sumber : (Eriyanto, 2009 : 225)
Skema penelitian dan metode yang biasa dilakukan dalam kerangka van Dijk adalah sebagai berikut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1
Skema Penelitian dan Metode Van Dijk
STRUKTUR METODE
METODE Critical linguistic
Teks Menganalisis bagaimana strategi wacana yang digunakan untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk memarjinalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu. Kognisi Sosial
Wawancara Mendalam
Manganalisis bagaimana kognisi penulis dalam memahami seseorang atau suatu peristiwa yang akan ditulis. Analisis Sosial
Studi pustaka, penelusuran sejarah dan
Menganalisis bagaimana wacana yang
wawancara
berkembang dalam masyarakat, proses reproduksi dan reproduksi sesorang atau peristiwa digambarkan.
Sumber : (Eriyanto, 2009:275)
Universitas Sumatera Utara
Kerangka Analisis Van Dijk A. Dimensi Teks Van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat digunakan, untuk melihat suatau wacana yang terdiri dari berbagai tingkatan atau struktur dari teks. Van Dijk membaginya ke dalam tiga tingkatan, yaitu ; Tabel 2.2 Struktur Teks Van Dijk Struktur Makro
Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat oleh suatu teks
Superstruktur
Kerangka
suatu
teks:
bagaimana
struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh, seperti bagian pendahuluan,
isi,
penutup,
dan
kesimpulan.
Struktur Mikro
Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pemilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks.
Sumber : (Eriyanto, 2009 : 227)
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan struktur atau elemen yang dikemukakan van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 2.3 Elemen Wacana Van Dijk Struktur Wacana
Hal yang Diamati
Struktur Makro
Elemen Topik
TEMATIK Tema
apa
dikedepankan
yang dalam
suatu berita Superstruktur
SKEMATIK
Skema atau Alur
Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh Struktur Mikro
SEMANTIK
Latar, Detil, maksud,
Makna yang ingin
Praanggapan,
ditekankan dalam teks
Nominalisasi
berita. Misal, dengan member detil pada satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi dan mengurangi sisi lain. Struktur Mikro
SINTAKSIS Bagaimana kalimat
Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti
(bentuk susunan) yang dipilih Struktur Mikro
STILISTIK
Leksikon
Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita Struktur Mikro
RETORIS Bagaimana dan dengan
Grafis, Metafora, Ekspresi
cara apa penekanan
Universitas Sumatera Utara
Berbagai elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Untuk memperoleh gambaran dari elemen-elemen yang harus diamati tersebut, berikut adalah penjelasan singkatnya, yaitu : a. Tematik (Tema/Topik) Elemen ini menunjuk pada gambaran umum dari teks, disebut juga sebagai gagasan inti atau ringkasan. Topic menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topic menunjukkan konsep yang dominan, sentral, dan yang paling penting dalam berita. b. Skematik (Skema atau Alur) Teks pada umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur menunjukkan bagian-bagian dalam teks yang disusun dan diurutkan hingga membentuk kesatuan arti. Menurut van Dijk, makna yang terpenting dari skematik adalah strategi wartawan untuk mendukung topic tertentu yang ingin disampaikan dengan urutan tertentu. c. Semantik (Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi) Semantik dalam skema van Dijk dikategorikan sebagai makna lokal (local meaning), yakni makna yang muncul dari hubungan antarkalimat, antarproposisi, yang membangun makna tertentu dari suatu teks. Analisis wacana memusatkan perhatian pada dimensi teks, seperti makna yang eksplisit maupun implisit. Latar teks merupakan elemen yang berguna untuk membongkar apa maksud yang ingin disampaikan oleh wartawan. Latar peristiwa itu dipakai untuk menyediakan dasar hendak ke mana makna teks itu hendak dibawa. Elemen detil berhubungan dengan kontrol informasi dari yang ingin ditampilkan oleh wartawan. Detil ini adalah strategi dari wartawan untuk menampilkan bagian mana yang harus diungkapkan secara detil lengkap dan panjang, dan bagian mana yang diuraikan dengan detil sedikit.
Universitas Sumatera Utara
Detil hampir mirip dengan elemen maksud, kalau detil itumengekspresikan secara implisit sedangkan maksud yaitu secara eksplisit atau jelas atas maksud pengungkapan informasi dari wartawan. Praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna dari suatu teks. Dengan cara menampilkan narasumber yang dapat memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. d. Sintaksis (Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti) Ramlan (Pateda 1994:85) mengatakan, “Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase… dalam sintaksis terdapat bentuk kalimat, koherensi dan kata ganti. Dimana ketiga hal tersebut untuk memanipulasi politik dalm menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan secara negatif, dengan cara penggunaan sintaksis (kalimat). e. Stilistik (Leksikon) Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Seperti kata „meninggal‟ yang memiliki kata lain seperti wafat, mati, dan lain-lain. f. Retoris (Grafis, Metafora, Ekspresi) Retoris ini mempunyai daya persuasif, dan berhubungan dengan bagaimana pesan ini ingin disampaikan kepada khalayak. Grafis, penggunaan kata-kata yang metafora, serta ekspresi dalam teks tertulis adalah untuk meyakinkan kepada pembaca atas peristiwa yang dikonstruksi oleh wartawan.
Universitas Sumatera Utara
B. Dimensi Kognisi Sosial Dalam kerangka analisi van Dijk, intinya kognisi sosial yaitu kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut. Karena, setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Di sini, wartawan tidak dianggap sebagai individu yang memiliki beragam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapat dari kehidupannya. Peristiwa
dipahami
berdasarkan
skema
atau
model.
Skema
dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara pandang terhadap manusia, peranan sosial, dan peristiwa. Ada beberapa skema/model yang dapat digunakan dalam analsis kognisi sosial penulis, digambarkan sebagai berikut: Tabel 2.4 Skema/Model Kognisi Sosial Van Dijk Skema Person (Person Schemas) Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang menggambarkan dan memandang orang lain Skema Diri ( Self Schemas) Skema ini berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang, dipahami, dan digambarkan oleh seseorang. Skema Peran (Role Schema) Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi seseorang dalam masyarakat. Skema Peristiwa (Event Schema) Skema ini yang paling sering dipakai, karena setiap peristiwa selalu ditafsirkan dan dimaknai dengan skema tertentu.
Sumber : (Eriyanto, 2009 : 272)
Universitas Sumatera Utara
C. Dimensi Konteks Sosial Dimensi ketiga dari analisis van Dijk ini adalah konteks sosial, yaitu bagaimana
wacana komunikasi diproduksi dalam masyarakat. Titik
pentingnya adalah untuk menunjukkan bagaimana makna dihayati bersama, kekuasaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi. Menurut van Dijk, ada dua poin penting yakni, praktik kekuasaan (power) dan akses (access).
Praktik kekuasaaan didefenisikan sebagai kepemilikan oleh suatu kelompok atau anggota untuk mengontrol kelompok atau anggota lainnya. Hal ini disebut dengan dominasi, karena praktik seperti ini dapat memengaruhi di mana letak atau konteks sosial dari pemberitaan tersebut. Kedua, akses dalam mempengaruhi wacana. Akses ini maksudnya adalah bagaimana kaum mayoritas memiliki akses yang lebih besar dibandingkan kaum minoritas. Makanya, kaum mayoritas lebih punya akses kepada media dalam memegaruhi wacana.
2.4 Komunikasi Massa 2.4.1 Agenda Setting Hubungan kuat antara berita yang disampaikan dengan isu-isu penting yang dinilai penting oleh publik merupakan salah satu jenis efek media massa yang paling populer yang dinamakan dengan Agenda Setting. Istilah „Agenda Setting‟ diciptakan oleh mc. Combs dan Shaw (1972, 1993), untuk menggambarkan fenomena yang telah lama diketahui dan diteliti dalam konteks kampanye pemilu. Ide intinya adalah bahwa media berita mengindikasikan kepada publik apa yang menjadi isu utama hari ini dan hal ini tercermin dalam apa yang dipersepsikan publik sebagai isu utama. Sebagaimana yang disebutkan oleh Trenaman dan Mc.Quail (1961:178), „bukti yang ada secara kuat menyatakan bahwa orang-orang berpikir mengenai apa yang dikatakan kepada mereka, tetapi dalam tingkatan manapun mereka tidak memikirkan apa yang dikatakan kepada mereka.”
Universitas Sumatera Utara
Bukti yang dikumpulkan saat itu dan banyak lagi setelahnya terdiri atas data yang menunjukkan hubungan antara susunan kepentingan yang diberikan oleh media terhadap “isu” dan susunan kepentingan yang dilekatkan kepada isu yang sama oleh politikus dan publik. Dearing dan Rogers (1996) mendefinisikan proses ini sebagai “persaingan yang terus menerus diantar isu-isu protagonis untuk mendapatkan perhatian dari pekerja media, publik, dan elite pembuat kebijakan‟. Lazarsfeld et all. (1994) merujuk hal ini sebagai kekuatan untuk membentuk „isu‟. Politikus mencoba meyakinkan pemilih bahwa isu yang paling penting adalah mereka yang paling dekat diidentifikasikan. Ini adalah bagian yang esensial dari dukungan dan upaya mempengaruhi opini publik. sebagai sebuah hipotesis, agenda/setting nampaknya terhindar dari kesimpulan umum bahwa kampanye persuasif tidak berefek atau hanya berefek sedikit sekali. Agenda setting terjadi karena media massa sebagai penjaga gawang informasi (gatekeeper) harus selektif dalam menyampaikan berita. Media harus melakukan pemilihan mengenai apa yang harus dilaporkan dan bagaimana melaporkannya. Apa yag diketahui publik tentang suatu keadaan pada waktu tertentu sebagian besar ditentukan oleh proses penyaringan dan pemilihan berita yang dilakukan media massa. Dalam hal ini agenda setting dapat dibagi ke dalam dua tingkatan (level). Agenda setting level pertama adalah membangin isu umum yang dinilai penting, dan level kedua adalah menentukan bagian-bagian atau aspek-aspek dari isu umum tersebut yang dianggap penting. Level kedua adalah sama pentingnya dengan level pertama. Level kedua penting karena memberitahu kita bagaimana cara membingkai isu atau melakukan framing terhadap isu, yang akan menjadi agenda media dan juga agenda publik. Misal, media mengemukakan bahwa pemilu yang demokratis sebagai hal yang penting (level pertama), tetapi media juga menyatakan bahwa tingkat kemiskinan menyebabkan masyarakat mudah terjebak praktik politik uang (money politic), dalam hal ini media membingkai isu mengenai bagaimana mencapai pemilu yang demokratis (level kedua).
Universitas Sumatera Utara
Dearing dan Rogers (1996) menawarkan beberapa generalisasi mengenai agenda setting. Salah satunya adalah media yang berbeda cenderung setuju atas kepentingan relatif dari seperangkat isu. Kedua, agenda media tidak begitu sesuai dengan indikator “dunia nyata.” Karena yang penting bukanlah signifikansi absolut dari suatu isu tetapi kekuatan yang relatif dari kekuasaan dan masyarakat yang mencoba mendefinisikan dan mempromosikan suatu isu. Terakhir, “posisi isu dalam agenda media secara penting menentukan bahwa isu itu penting dalam agenda publik” (1996:192). Menarik untuk dicatat bahwa meskipun fakta bahwa agenda setting merupakan inti dari penelitian mengenai efek komunikasi politik, efek itu sendiri cenderung dinilai sebagai efek “periferi” dalam kaitannya dengan model ELM karena muncul dari petunjuk sampingan yang diberikan oleh penyajian (Perse,2001;100). Hal ini tidak membuat efek semacam itu menjadi kurang penting karena mereka berkontribusi untuk membentuk persepsi publik akan realitas politik dan sosial. Satu kondisi yang umum untuk agenda setting adalah bahwa media massa yang berbeda cenderung berbagi seperangkat prioritas berita yang sama. Kondisi ini ditantang dengan tersedianya banyak layanan berita daring yang baru, ditambah kesempatan yang lebih besar dari “pengguna berita” untuk mencari berita menurut agenda pribadi masing-masing. Ketika diadakan penelitian tentang pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 1968 ditemukan hubungan yang tinggi antara penekanan berita dengan bagaimana berita itu dinilai tingkatannya oleh pemilih. Meningkatnya nilai penting suatu topik berita pada media massa menyebabkan meningkatnya nilai topik tersebut bagi khalayaknya. Secara singkat teori penyusunan agenda ini mengatakan bahwa media (khususnya media berita) tidak selalu berhasil memberitahu apa yang kita piker, tetapi media tersebut benar-benar berhasil memberitahu kita berpikir tentang apa. Media massa selalu mengarahkan kita pada apa yang harus kita lakukan. Media memberikan agenda-agenda melalui pemberitaannya, sedangkan masyarakat akan mengikutinya. Menurut asumsi teori ini media mempunyai kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa
Universitas Sumatera Utara
tertentu. Media mengatakan pada kita apa yang penting dan apa yang tidak penting. Media pun mengatur apa yang harus kita lihat, tokoh siapa yang harus kita dukung. Dengan kata lain, agenda media akan menjadi agenda masyarakatnya. Jika agenda media adalah pemberitaan tentang operasi pemulihan keamanan di Aceh untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM), agenda atau pembicaraan masyarakat juga sama seperti yang diagendakan media tersebut. Hal ini berarti, jika pemberitaan media massa tentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kontroversial, yang menjadi bahan pembicaraan masyarakat tentang kenaikan harga BBM itu. Agenda media juga bisa sengaja dimunculkan. Sekedar contoh adalah kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang melibatkan mantan pejabat orde baru (Orba) sudah banyak dilupakan. Secara tiba-tiba media massa mengekspos keterlibatan KKN seorang mantan pejabat Orba. Kemudian, berita itu menjadi perhatian utama media massa, baik dimunculkan di Headline (halaman muka), maupun dikupas beberapa saat. Agenda yang dilakukan media massa ini akhirnya akan menjadi agenda pembicaraan masyarakat, meskipun kasusnya sudah lama dilupakan. Semakin gencar media massa memberitakan, semakin hangat dan ramai topik itu dibicarakan masyarakat. Dalam kasus lain, jika media massa selalu mengarahkan untuk mendukung tokoh politik tertentu, bukan tidak mustahil khalayak akan ikut terpengaruh mendukung tokoh tertentu yang didukung media massa tersebut. Jika media mendukung kemerdekaan Timor-Timor (lepas dari Indonesia), sangat mungkin masyarakat akan mendukung gerakan kemerdekaan Timor-Timor. Coba anda perhatikan hal-hal yang kita anggap penting untuk dibicarakan dalam pertemuan pribadi. Hal-hal itu pulalah yang menjadi pusat perhatian media. Memang, kita dapat mengatakan bahwa tidak ada peristiwa penting yang dapat terjadi tanpa liputan media massa. Jika memang media tidak meliputnya, hal itu berarti tidak penting. Sebenarnya, media mengarahkan kita untuk memusatkan
Universitas Sumatera Utara
perhatian pada subjek tertentu yang diberitakan media. Ini artinya, media massa menentukan agenda kita. Mengikuti pendapat Chaffee dan Berger (1997) ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan untuk memperjelas teori ini. 1. Teori itu mempunyai kekuatan penjelas untuk menerangkan mengapa orang sama-sama menganggap penting suatu isu. 2. Teori itu mempunyai kekuatan memprediksi sebab memprediksi bahwa jika orang-orang mengekspos pada suatu media yang sama, mereka akan merasa isu yang sama tersebut penting. 3. Teori itu dapat dibuktikan salah jika orang-orang tidak mengekspos media yang sama maka mereka tidak akan mempunyai kesamaan bahwa isu media itu penting. Sementara itu, Stephen W. Litteljohn (1992) pernah mengatakan, agenda setting ini beroperasi dalam tiga bagian sebagai berikut. 1. Agenda media itu sendiri harus diformat. Proses ini akan memunculkan masalah bagaimana agenda media itu terjadi pada waktu pertama kali. 2. Agenda media dalam banyak hal memengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik atau kepentingan isu tertentu bagi publik. Pernyataan ini memunculkan pertanyaan, seberapa besar kekuatan media mampu memengaruhi agenda publik dan bagaimana publik itu melakukannya. 3. Agenda publik memengaruhi atau berinteraksi ke dalam agenda kebijakan. Agenda kebijakan adalah pembuatan kebijakan publik yang dianggap penting bagi individu. Dengan demikian, agenda setting ini memprediksikan bahwa agenda media memengaruhi agenda publik, sementara agenda publik sendiri akhirnya memengaruhi agenda kebijakan.
Universitas Sumatera Utara
Untuk memperjelas ketiga agenda (agenda media, agenda khalayak dan agenda kebijakan) dalam teori agenda setting ini, ada beberapa dimensi yang berkaitan, seperti yang dikemukakan oleh Mannheim (Severin dan Tankard Jr, 1992) sebagai berikut. 1. Agenda Media terdiri atas dimensi-dimensi berikut a. Visibility (visibilitas), yakni jumlah dan tingkat menonjolnya berita. b. Audience salience (tingkat menonjol bagi khalayak), yakni relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak. c. Valence (valensi), yakni menyenangkan atau tidak menyenangkan cara pemberitaan bagi suatu peristiwa. 2. Agenda Kahalayak terdiri atas dimensi-dimensi berikut. a. Familiarity (keakraban), yakni derajat kesadaran khalayak akan topik tertentu. b. Personal salience (penonjolan pribadi), yakni relevansi kepentingan individu dengan cirri pribadi. c. Favorability (kesenangan), yakni pertimbangan antara senang dengan tidak senang akan topik berita. 3. Agenda Kebijakan terdiri atas dimensi-dimensi berikut. a. Support (dukungan), yakni kegiatan menyenangkan bagi posisi suatu berita tertentu b. Likelihood of action (kemungkinan kegiatan), yakni kemungkinan pemerintah melaksanakan apa yang diibaratkan. c. Freedom of action (kebebasan bertindak), yakni nilai kegiatan yang mungkin dilakukan pemerintah. Kekuatan media dalam membentuk agenda publik sebagian bergantung pada hubungan media yang bersangkutan dengan pusat kekuasaan. Jika media memiliki hunbungan yang dekat dengan kelompok elite masyarakat maka kelompok tersebut akan memengaruhi agenda media dana pada gilirannya juga akan memengaruhi agenda publik. Pada umumnya pendukung teori kritis percaya bahwa media dapat menjadi, atau biasanya menjadi, instrumen ideologyi dominan
Universitas Sumatera Utara
di masyarakat, dan bila hal ini terjadi, maka ideologi dominan itu akan memengaruhi agenda publik. Dalam hal ini terdapat empat tipe hubungan kekuasaan (power relations) antara media massa dengan sumber-sumber kekuasaan di luar media, khusunya pemerintah/penguasa, yaitu : 1. High-power source, high-power media Tipe pertama adalah hubungan yang disebut dengan “sumber kekuasaan luar besar, kekuasaan media besar.” Misalnya terdapat hubungan yang dekat antara para pejabat publik dengan para pengelola atau pemilik media massa. Dalam tipe hubungan ini terdapat scenario sebagai berikut : jika keduanya bekerjasama maka terjadi hubungan yang saling menguntungkan diantara keduanya yang akan memberikan pengaruh sangat besar terhadap agenda publik. Sebaliknya, jika terjadi pertentangan diantara keduanya, maka kedua belah pihak akan saling bersaing untuk memengaruhi agenda publik. 2. High-power source, low power media Yakni sumber kekuasaan luar besar, dengan kekuasaan media kecil. Di sini, sumber kekuasaan luar kemungkinan akan melakukan kooptasi terhadap media yaitu menggunakan media untuk mencapai tujuannya. Hal ini dapat terjadi, misalnya ketika politisi atau partai politik membeli waktu tayang (airtime) media penyiaran dengan memasang iklan politik atau menjadi sponsor terhadap suatu program, atau misalnya, ketika seorang presiden memberikan kesempatan kepada media tertentu untuk melakukan wawancara khusus. 3. Lower-power source, high-power media Tipe ketiga adalah hubungan antara “sumber kekuasaan luar kecil, kekuasaan media besar.” Dalam hal ini, media bersangkutan sendirilah yang menentukan apa yang menjadi agendanya. Media dapat mengabaikan atau tidak memberitakan, atau mengurangi intensitas pemberitaan, terhadap perisiwa-peristiwa tertentu yang mungkin penting bagi masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
4. Low-power souce, low power media Tipe keempat merupakan tipe hubungan “sumber kekuasaan luar kecil” dengan “kekuasaan media kecil.” Dalam tipe hubungan keempat ini, agenda publik akan ditentukan oleh peristiwa itu sendiri dan bukan ditentukan oleh pemilik media atau para pemimpin politik. 2.5 Surat Kabar Media tidak hanya sekedar penyebar informasi. Media memiliki sejumlah tanggung jawab ikut aktif melibatkan diri dalam interaksi sosial dan kadangkala menunjukkan arah atau memimpin, serta berperanserta dalam menciptakan hubungan dan integrasi. Dalam masyarakat, media bergerak dengan ditandai oleh adanya penyebaran kekuasaan, yang diberikan kepada individu, kelompok, dan kelas sosial secara tidak merata. McQuail (1989), menyebutkan media seringkali dipandang sebagai alat kekuasaan yang efektif karenakemampuannya untuk melakukan salah satu atau lebih dari beberapa hal seperti : menarik dan mengarahkan perhatian, membujuk pendapat dan anggapan, mempengaruhi pilihan sikap, memberikan status dan legitimasi, mendefinisikan dan membentuk persepsi realitas. Salah satu media yang sering digunakan dalam membentuk persepsi realitas sebagaimana disebutkan di atas adalah surat kabar. Surat kabar telah lama dipergunakan untuk penyebaran informasi. Sejalan dengan berjalannya waktu, surat kabar tidak hanya berfungsi sebagai alat informasi saja, tetapi banyak fungsi yang dapat diberikan oleh surat kabar. Suwardi (1993) menjelaskan bahwa fungsi-fungsi dari surat kabar adalah sebagai berikut : a) Fungsi menyiarkan informasi, berbagai informasi dengan cepat dan akurat dapat disampaikan oleh surat kabar. Pembaca menjadi pembeli ataupun berlangganan surat kabar karena ingin mengetahui informasi apa yang terjadi di berbagai tempat di dunia. b) Fungsi mendidik, surat kabar secara tidak langsung memberikan fungsi pendidikan pada
pembacanya. Ini bisa dilihat dari materi isi seperti
artikel, feature dan juga tajuk. Materi isi tersebut disamping memberikan
Universitas Sumatera Utara
informasi juga menambah perbendaharaan pengetahuan pembacanya walaupun bobot pemahaman tiap pembaca berbeda-beda. c) Fungsi mempengaruhi, berita pada surat kabar secara tidak langsung mempengaruhi para pembacanya, sedangkan tajuk rencana dan artikel dapat memberikan pengaruh langsung kepada pembacanya. Pengaruh ini pada mulanya timbul dari persepsi pembaca terhadap suatu masalah yang kemudian membentuk opini pada pembacanya. Menurut Suwardi (1993), umumnya isi dari suatu surat kabar terdiri dari berita utama yang terletak di halaman depan, berita biasa, rubrik opini, reportase, wawancara, feature, iklan, cerita pendek, cerita bergambar, dan lain-lain. Semua komponen itu diramu sedemikian rupa agar pembaca tertarik membaca dan menjadi pelanggan surat kabar itu. Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan. Proses komunikasi akan berlangsung dengan melibatkan unsur-unsur sebagai berikut : sumber, pesan, saluran, penerima dan efek. Menurut McQuail (1989), komunikasi merupakan suatu proses dimana seorang individu (komunikator) menyampaikan rangsangan biasanya dalam simbol-simbol verbal untuk mengubah perilaku individu lain (komunikan). Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa saluran atau media merupakan salah satu unsur penting dalam proses komunikasi. Saluran komunikasi sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu saluran personal dan saluran massa atau media massa yang kerap disebut dengan komunikasi massa.
Universitas Sumatera Utara
2.6 Pers Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala. Secara etimologis, kata Pers (belanda), atau Press (inggris), atau presse (prancis), berasal dari bahasa latin, perssare dari kata premere, yang berarti “Tekan” atau “Cetak”, defenisi terminologisnya adalah “media massa cetak” atau “media cetak”. Media massa menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication), dalam arti, media merupkan saluran atau saran untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia. Perkembangan teknologi dewasa ini memberikan dampak yang luas bagi masyarakat. Baik dampak positif maupun dampak negatif. Terlebih dalam hal penyampaian informasi dan berita serta kebebasan pers dewasa ini, sehingga masyarakat bisa dengan mudah memperoleh serta mencari informasi yang mereka butuhkan. Baik dari media cetak maupun media elektronik. Masyarakat pun dapat ikut serta berpartisipasi atau menjadi sumber berita, karena saat ini negara pun menjamin kebebasan masyarakat dalam terpenuhinya hak dasar masyarakat dalam kemerdekaan menyampaikan pikiran, baik lisan maupun tulisan, serta kemerdekaan dalam memperoleh informasi. Pers merupakan salah satu sarana bagi
masyarakat
untuk
dapat
mengeluarkan
pemikiran-pemikiran
serta
memberikan informasi dan pemberitaan bagi masyarakat. Pers yang bebas dan bertanggung jawab amat berperan penting dalam kecerdasan masyarakat dalam negara yang demokratis. Negara demokratis adalah negara yang menjamin kebebasan pers dalam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
Universitas Sumatera Utara
Idealisme yang melekat pada pers dijabarkan dalam pelaksanaan fungsinya, selain menyebarkan informasi juga mendidik, menghibur dan mempengaruhi. Fungsi-fungsi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Fungsi menyiarkan informasi (to inform) Menyiarkan informasi merupakan fungsi pers yang pertama dan utama. Khalayak pembaca berlangganan atau membeli surat kabar karena memerlukan informasi mengenai berbagai hal di bumi ini, mengenai peristiwa yang terjadi, gagasan atau pikiran orang lain, apa yang dilakukan oleh orang lain, apa yang dikatakan oleh oranglain, dan sebagainya. b. Fungsi mendidik (to educate) Fungsi kedua dari pers ialah mendidik . sebagai sarana pendidikan massa (mass education), surat kabar dan majalah memuat tulisan-ttulisan yang mengandung
pengetahuan
sehingga
khalayak
pembaca
bertambah
pengetahuannya. Fungsi mendidik ini bisa secara implisit dalam bentuk artikel atau tajuk rencana. Kadang-kadang cerita bersambung atau berita bergambar juga mengandung aspek pendidikan. c. Fungsi menghibur (to entertain) Hal-hal yang bersifat hiburan dapat dimuat oleh surat kabar dan majalah untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel yang berbobot. Isi surat kabar dan majalah yang bersifat hiburan bisa berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, pojok, karikatur, tiak jarang juga berita yang mengandung minat insani (human interest) dan kadang-kadang tajuk rencana. Meskipun pemuatan isi mengandung hiburan, itu semata-mata untuk melemaskan ketegangan pikiran setelah para pembaca dihidangi berita dan artikel berat. d. Fungsi mempengaruhi (to influence) Fungsinya yang keempat inilah, yakni fungsi mempengaruhi, yang menyebabkan pers memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
napoleon pada masa berjayanya pernah mengatakan bahwa ia lebih takut kepada empat surat kabar daripada seratus serdadu dengan senapan bersangkur terhunus. Sudah tentu surat kabar yang ditakuti ini ialah surat kabar yang independent, yang bebas menyatakan pendapat, bebas melakukan social control, bukan surat kabar yang membawakan “his masteris voice”. Fugsi mempengaruhi dari surat kabar, secara implisit terdapat pada tajuk rencana dan artikel. Mengenai fungsi pers di Indonesia sudah jelas landasan dan pedomannya di samping fungsi pers secara universal sebagaimana dipaparkan di atas. Hal tersebut dapat dikaji dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 sehingga berbunyi sebagai berikut. 1. Pers Nasional adalah alat perjuangan nasional dan merupakan mass media yang bersifat aktif, dinamis kreatif, edukatif informatoris, dan mempunyai fungsi kemasyarakatan, pendorong dan pemupuk daya pikiran kritis dan progresif meliputi segala perwujudan kehidupan masyarakat Indonesia. 2. Dalam rangka meningkatkan peranannya dalam pembangunan, pers berfungsi sebagai penyebar informasi yang objektif, menyalurkan aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi positif antara pemerintah, pers, dan masyarakat. Rumusan fungsi pers Indonesia yang dituangkan dalam undang-undang tersebut, selain telah memenuhi fungsi pers secara universal, juga menunjukkan bahwa pers di Indonesia memiliki identitas mandiri, yakni pers pembangunan yang dilandasi “interaksi positif antara Pemerintah, pers dan masyarakat” dalam diktum undang-undang tersebut mempunyai makna yang dalam, yang selain perlu dihayati, juga direalisasikan oleh insane-insan pers Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
2.6.1 Teori tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility Theory) Pers sebagai suatu sistem sosial selalu tergantung dan berkaitan erat dengan masyarakat dimana ia beroperasi. Pers itu sendiri lahir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi sehingga ia berkedudukan sebagai lembaga masyarakat (institusi sosial). Sementara itu segala aktivitas pers tergantung pada falsafah yang dianut oleh masyarakat dimana pers itu berada. Lyod Sommerlad menyatakan, sebagai institusi sosial, pers mempunyai fungsi dan sifat yang berbeda tergantung pada sistem politik, ekonomi dan struktur sosial dari negara dimana pers itu berada. Hal senada disampaikan John C. Merril, "A nation's press or media closely tied to the political system." (John C. Merril, "A Conceptual Overview of World Journalism" dalam International Intercultural Communication, Heinz Dietrich Fischer & John C. Merril, Hasting House Publisher, New York). Bagi Siebert, Peterson dan Schramm, buku Four Theories of the Press mencoba memahami mengapa negara-negara yang berbeda memiliki pola hubungan yang berbeda pacta medianya. Pers selalu mengambil bentuk dari struktur sosial dan politik dimana pers itu beroperasi atau dengan kata lain, mempelajari suatu masyarakat dan sistem politiknya kita akan belajar memahami mengapa persnya menjadi sedemikian rupa. Jika ditelaah lebih jauh, tambah mereka dalam bagian pengantar buku tersebut, dunia barat sesungguhnya hanya mengenal dua dari teori pers, model autoritarian dan libertarian. Soviet Communist model, menurut mereka, merupakan variasi dari autoritarian sementara social responsibility model adalah perkembangan/ peningkatan dari libertarian. Dasar pemikiran utama dari teori ini ialah bahwa, kebebasan dan kewajiban berlangsung secara beriringan dan pers yang menikmati kedudukan dalam pemerintahan yang demokratis berkewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat dalam melaksanakan fungsinya.
Universitas Sumatera Utara
Pada hakikatnya fungsi pers dalam teori tanggung jawab sosial ini tidak berbeda jauh dengan yang terdapat pada teori libertarian namun pada teori yang disebut pertama terefleksi semacam ketidakpuasan terhadap interpretasi fungsi-fungsi tersebut beserta pelaksanaannya oleh pemilik dan pelaku pers dalam model libertarian yang ada selama ini. Penganut libertarian mempercayai bahwa orang dapat mengetahui kebenaran saat mereka boleh memilih dan pers sebagai penyedia ide-ide/pasar ide. Mereka percaya bahwa media itu beragam dan independen dan orang-orang memiliki akses ke media. Namun kenyataan yang terjadi adalah pers itu menjadi berorientasi profit, dimana lebih mengutamakan penjualan dan iklan di atas kebutuhan untuk menjaga publik mendapat informasi lengkap dan akurat sehingga membahayakan moral publik, melanggar hak-hak pribadi dan dikontrol oleh satu kelas sosioekonomi, yaitu kelas bisnis yang membahayakan pasar ide yang bebas dan terbuka. Teori tanggung jawab sosial berasal dari Commission on Freedom of the Press (Hutchins, 1947) sebagai reaksi atas interpretasi dan pelaksanaan model libertarian yang ada. Komisi tersebut merumuskan beberapa persyaratan pers sebagai berikut: 1. Memberitakan peristiwa-peristiwa sehari-hari dengan benar, lengkap dan
berpekerti dalam konteks yang mengandung makna. 2. Memberikan pelayanan sebagai forum untuk saling tukar komentar dan kritik. 3. Memproyeksikan gambaran yang mewakili semua lapisan masyarakat 4. Bertanggung jawab atas penyajian disertai penjelasan mengenai tujuan dan nilai- nilai masyarakat 5. Mengupayakan akses sepenuhnya pada peristiwa sehari-hari.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum suatu berita haruslah mendukung konsep non-bias, informatif dan institusi pers independen yang akan menghindari penyebab ancaman terhadap kaum minoritas atau yang mendorong tindak kejahatan, kekerasan dan kekacauan sipil. Tanggung jawab sosial seyogyanya dicapai melalui self control/kontrol diri (dari pers itu), bukan dari pemerintah. Tanggung jawab sosial jika dikaitkan dengan jurnalis melibatkan pandangan yang dimiliki oleh pemilik media yang serta merta akan dibawa dalam media tersebut haruslah memprioritaskan tiga hal yaitu keakuratan, kebebasan dan etika. Tak pelak lagi profesionalisme menjadi tuntutan utama disini. Jadi pelaku pers tidak hanya bertanggung jawab terhadap majikan dan pasar namun juga kepada masyarakat. Dalam konsep tanggung jawab sosial media dituntut sebagai berikut :
Tabel 2.5 Konsep Tanggung Jawab Sosial Media Teori Tanggung Jawab Sosial Masa berkembangnya
Di AS pada abad ke-20
Pelopor
Commission on freedom of Fress
Tujuan utama
Member informasi, menghibur, menjual (komersil) namun terutama untuk membangkitkan konflik yang membentuk diskusi
Siapa yang berhak menggunakan media ?
Setiap orang yang memiliki sesuatu yang ingin dikatakan
Bagaimana media dikontrol ?
Opini publik, aksi konsumen, etika profesi
Kepemilikan
Swasta, kecuali jika pemerintah mengambil alih untuk memastikan pelayanan publik
Perbedaan mendasar dari teori-teori lain
Media harus mengambil kewajiban dari tanggung jawab sosial, dan jika mereka lalai, harus ada yang memastikan mereka melakukannya.
Universitas Sumatera Utara
Jika teori libertarian dilahirkan dari konsep kemerdekaan negatif, yang didefinisikan sebagai kemerdekaan dari/kebebasan dari pengekangan eksternal sedangkan teori tanggung jawab sosial berpijak pada konsep kebebasan positif, yaitu kebebasan untuk menghendaki menjadi sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tabel 2.6 Kelebihan dan Kekurangan SRT Kelebihan
Kekurangan
-
-
Menjunjung tanggung jawab media
-
terhadap tanggung jawabnya
Menjunjung tanggung jawab
-
media -
Membatasi
Memberi
Kelewat optimis terhadap tanggung jawab individu
ikut
campur
-
pemerintah dalam media -
Kelewat optimis terhadap kesadaran media
ruang
Meremehkan kekuatan motivasi ekonomi, profit, dan kompetisi
pemerintah
-
Melegitimasi status quo
dalam mengawasi media -
Menjunjung tinggi perbedaan dan pluralism
-
Memberikan
ruang
kaum
“powerless” -
Menarik insting kreatif kaum praktisi media dan audiens
Sumber : (Baran & Davis, 2012: 121) Teori tanggung jawab sosial berasal dari inisiatif orang Amerika – Komisi Kebebasan Pers atau The Commision on freedom of the Press (Hutchins, 1947). Pendorongnya yang utama adalah tumbuhnya kesadaran bahwa dalam hal-hal tertentu yang penting, pasar bebas telah gagal untuk memenuhi janji akan kebebasan pers da untuk menyampaikan maslahat yang diharapkan bagi masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Secara khusus, perkembangan teknologi dan perdagangan pers dikatakan telah menyebabkan kurangnya kesempatan akses bagi orang-orang dan berbagai kelompok serta rendahnya standar prestasi dalam upaya memenuhi kebutuhan infomasi, sosial, dan moral dari masyarakat. hal itu juga dipandang telah menigkatkan kekuasaan kelas tertentu. Pada saat yang sama, munculnya media radio dan film yang baru dan tampaknya sangat berpengaruh telah menunjukkan adanya kebutuan akan pengendalian publik tertentu dan sarana yang sesuai bagi media cetak yang telah lama mapan dan terorganisasi secara profesional. Teori tanggung jawab sosial dapat diterapkan secara luas, karena ia meliputi beberapa jenis media cetak privat dan lembaga siaran publik yang dapat dipertanggungjawabkan melalui berbagai bentuk prosedur demokratis pada masyarakat. Dengan demikian teori ini harus mengawinkan kemandirian dengan kewajiban terhadap masyarakat. Landasannya yang utama adalah : asumsi bahwa media melakukan fungsi yang esensial dalam masyarakat, khususnya dalam hubungannya dengan politik demokrasi ; pandangan bahwa media seyogyanya melakukan kewajiban untuk melakukan fungsi itu – terutama dalam lingkup informasi, dan penyediaan mimbar bagi berbagai pandangan yang berbeda; penekanan pada kemandirian media secara maksimum, konsisten dengan kewajibannya kepada masyarakat; penerimaan pandangan bahwa ada standar prestai tertentu dalam karya media yang dapat dinyatakan dan seyogyanya dipedomani. Singkatnya, pemilikan dan pengendalian mediahendaknya dipandang sebagai jenis kerja pengurusan, bukan sebagai hak perdata, dan ada pergesaran nyata yang menjauh dari relativisme karakteristik dasar teori kebebasan pers dan dari optimisme bahwa “pasar bebas gagasan” benar-benar dapat memenuhi tuntutan maslahat individual dan sosial untuk kepentingannya sendiri. Dapat dilihat bahwa teori tanggung jawab sosial harus berusaha mengawinkan tiga prinsip yang agak berbeda : prinsip kebebasan dan pilihan individual; prinsip kebebasan media; dan prinsip kewajiban media terhadap masyarakat.
Boleh
dikatakan
tidak
ada
satu-satunya
cara
mengatasi
Universitas Sumatera Utara
ketidakkonsistenan itu, tetapi teori ini memiliki dua bentuk penanggulangan utama yang lebih disukai. Pertama adalah pengembangan lembaga publik, tetapi mandiri, untuk mengelola siaran, pengembangan mana pada gilirannya telah sangat berpegaruh untuk meningkatkan cakupan dan kekuatan politis dari kekuatan konsep tanggung jawab sosial. Kedua adalah pengembangan profeionalisme sebagai sarana untuk mencapai standar prestasi yang lebih tinggi, pada saat yang sama mempertahankan pengaturan oleh media sendiri. Ciri lembaga publik baru untuk siaran yang paling memiliki andil dalam merujukkan ketiga prinsip di atas adalah penekanannya pada kenetralan dan keseimbangan dalam hubungannya dengan pemerintah dan hal-hal yang menyangkut
kontroversi
masyarakat dan pencakupan mekanisme
untuk
meningkatkan daya tanggap media yang relevan terhadap tuntutan audiensnya serta bertanggung gugat dengan masyarakat atas aktivitas yang dilakukan. Juga terjadi bahwa profesionalisme didorong oleh teori tanggung jawab sosial yang tidak hanya mencakup penekanan pada standar prestasi yang tinggi tetapi juga hakikat “keseimbangan” tertentu dan kenetralan yang paling berkembang dalam media saran. Pengaruh siaran sebagai pengungkapan praktis dari teori tanggung jawab sosial atau pers yang dimiliki secara pribadi oleh diperlihatkan oleh semakin menigkatnya kehendak pemerintah untuk merenungkan atau melakukan aktivitas yag secara formal bertentangan dengan prinsip pers bebas. Ini mencakup berbagai bentuk intervensi hukum dan anggaran yang dirancang untuk mencapai tujuan sosial yang positif atau untuk membatasi dampak tekanan dan kecenderungan pasar. Upaya ini menampakkan wujudnya dalam beberapa bentuk: kode etik jurnalistik; pengaturan periklanan; peraturan antimonopoly; pembentukan dewan pers; tinjauan berkala oleh komisi pengkajian; pengkajian parlementer; system subsidi pers (Smith 1997).
Universitas Sumatera Utara
Prinsip utama teori tanggung jawab sosial sekarang dapat disajikan sebagai berikut : -
Media seyogyanya menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat
-
Kewajiban tersebut terutama dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, ketepata, obyektivitas, dan keseimbangan.
-
Dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media seyogyanya dapat mengatur diri sendiri di dalam kernagka hukum dan lembaga yang ada.
-
Media
seyogyanya
menghindari
segala
sesuatu
yang
mungkin
menimbulkan kejahatan, kerusakan atau ketidaktertiban umum atau penghinaan terhadap monoritas etnik atau agama. -
Media secara keseluruhan hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan kebhinekaan masyarakatnya, dengan memberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab.
-
Masyarakat dan publik, berdasarkan prinsip yang disebut pertama, memiliki hak untuk mengharapkan standar prestasi yang tinngi dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum.
-
Wartawan dan media profesional seyogyanya bertanggungjawab kepada masyarakat dan juga kepada majikan juga pasar. Dalam pelaksanaannya, media di Indonesia terikat oleh Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Maksudnya, berbagai kegiatan yang dilakukan oleh para jurnalis dalam mengelola media dan menyiarkan sesuatu harus sesuai dengan isi Undang-Undang tersebut. Adapun hal tersebut disepakati bersama oleh lembaga yang berwenang dalam hal ini yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang bertugas mengawasi penyiaran oleh berbagai media yang ada di Indonesia. Apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh media tertentu, maka KPI berhak memberikan peringatan atau keputusan apa pun sesuai dengan pelanggaran yang telah dilakukan kepada media yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara