32
BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian
terdahulu
berfungsi
sebagai
pendukung
untuk
melakukan penelitian. Penelitian-penelitian sebelumnya telah mengkaji masalah manajemen konflik berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Berdasarkan penelitian oleh Afzal seorang Peneliti Independen pada Universitas Hitec Taxila, Pakistan yang berjudul “Hubungan antara Konflik dan Kinerja Karyawan pada Skenario Perbankan”. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 450 individu pada bank-bank komersial yang berbeda dipilih. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hubungan konflik terhadap kinerja karyawan berpengaruh secara signifikan. Kinerja karyawan menghabiskan waktu berkisar antara 28 persen sampai 46 persen karena hubungan konflik. Model ini signifikan pada 95% tingkat kepercayaan (p <0,05) dan terdapat hubungan negatif antara hubungan konflik dan performa karyawan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rosalita (2008) dengan judul “Analisis Pengaruh Penerapan Manajemen Konflik Oleh Atasan Terhadap Kinerja Karyawan PT. PLN Cabang Surabaya Selatan”, menghasilkan kesimpulan bahwa penerapan manajemen konflik oleh atasan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan. Hasil pengujian menunjukkan, nilai F hitung sebesar 130.076 dengan nilai signifikansi uji F hitung adalah sebesar 0,000 ( p < 0.05 ) yang berarti ada pengaruh yang signifikan variabel manajemen konflik yang terdiri dari competing, colaborating, accomodating, avoiding, compromising secara bersamasama terhadap
kinerja karyawan
PT.
PLN cabang
Surabaya
selatan.
Universitas Sumatera Utara
33
Koefisien determinasi berganda (R) atau R square = 0,809, berarti secara bersama- sama 80,90% perubahan variabel kinerja karyawan PT PLN cabang Surabaya selatan disebabkan oleh variabel manajemen konflik yang terdiri dari competing, colaborating, accomodating, avoiding, compromising Sedangkan sisanya 19,1 % disebabkan oleh variabel lain yang tidak masuk dalam model. Dari hasil penelitian ini variabel colaborating merupakan variabel yang berpengaruh dominan dengan nilai beta terbesar yaitu 0.333.
B. Manajemen Konflik 1. Pengertian Konflik dan Manajemen Konflik Konflik adalah pergesekan atau friksi yang terekspresikan di antara dua pihak atau lebih, di mana masing-masing mempersepsikan adanya intervensi dari pihak lain, yang dianggap menghalangi jalan untuk mencapai sasaran. Konflik hanya terjadi bila semua pihak yang terlibat, mencium adanya ketidaksepakatan. Menurut Robins dalam Wirawan (2009:5) “Konflik adalah suatu proses dimana A melakukan usaha yang sengaja dibuat untuk menghalangi sehingga mengakibatkan frustasi pada B dalam usahanya untuk mencapai tujuan atau meneruskan kepentingannya. Menurut Digilamo dalam Wirawan (2009:5) “Konflik adalah suatu proses yang dimulai ketika individu atau kelompok merasa ada perbedaan dan oposisi antara dirinya sendiri dan orang lain atau kelompok tentang kepentingannya dan sumber daya, kepercayaan, nilai-nilai, atau kebiasaan itu berarti bagi mereka”. Sedarmayanti
(2000:137)
mengemukakan
“konflik
merupakan
perjuangan antara kebutuhan, keinginan, gagasan, kepentingan atau pihak
Universitas Sumatera Utara
34
saling bertentangan, sebagai akibat dari adanya perbedaan sasaran (goals); nilai (values); pikiran (cognition); perasaan (affect); dan perilaku (behavior)”. Beberapa defenisi tentang konflik tersebut, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu proses yang terjadi antara manusia dalam interaksinya dengan orang lain disebabkan perbedaan kebutuhan, perbedaan aktivitas dan perbedaaan pandangan dalam suatu masalah. Menurut Irvine dalam Wirawan (2009:131) “Manajemen konflik adalah strategi dimana organisasi dan individu bekerja untuk mengenali dan mengendalikan perbedaan-perbedaan, dengan cara pengurangan biaya keuangan dan manusia dari kesulitan pengendalian konflik, sementara keselarasan konflik sebagai sumber pembaharuan dan perkembangan”. Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkahlangkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan
dan
penafsiran
terhadap
konflik
(http://blog.unila.ac.id/young/manajemen-konflik/ : Maret 2010).
Universitas Sumatera Utara
35
Defenisi manajemen konflik diatas memiliki formulasi yang berbeda, tetapi memiliki inti dan makna yang sama dan penulis dapat menyimpulkan bahwa manajemen konflik adalah sebagai proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Defenisi tersebut terdapat sejumlah kata kunci yang perlu mendapat penjelasan lebih jauh yaitu : a. Pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga Manajemen konflik bisa dilakukan oleh pihak yang terlibat konflik untuk menyelesaikan konflik yang dihadapinya. Dalam menghadapi konflik, pihak yang terlibat konflik berupaya mengelola konflik untuk menciptakan solusi yang menguntungkan dengan menggunakan berbagai sumber sekecil dan seefisien mungkin. Manajemen konflik juga dapat dilakukan oleh pihak ketiga – mediator, arbiter, atau ombudsman – yang mendapat tugas dari pihak - pihak yang terlibat konflik untuk menyelesaikan konflik. b. Strategi konflik Manajemen konflik merupakan proses penyusunan strategi konflik sebagai rencana untuk memanajemni konflik. Jika tidak dikendalikan, konflik bisa berkembang menjadi konflik destruktif, dimana masing-masing pihak akan memfokuskan perhatian, tenaga, dan pikiran serta sumber-sumber organisasi bukan untuk mengembangkan produktivitas, tetapi untuk merusak dan menghancurkan lawan konfliknya. Hal ini berarti merusak potensi produktivitas mereka. Akibatnya kinerja mereka akan menurun sehingga menurunkan produktivitas sistem sosial.
Universitas Sumatera Utara
36
c. Mengendalikan konflik Bagi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, manajemen konflik merupakan aktivitas untuk mengendalikan dan mengubah konflik demi menciptakan keluaran konflik yang menguntungkan (atau minimal tidak merugikannya). Bagi pihak ketiga, manajemen konflik merupakan upaya untuk mengarahkan konflik dari konflik destruktif menjadi konflik yang konstruktif. Konflik konstruktif akan mengembangkan kreativitas dan inovasi pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menciptakan win & win solution. d. Resolusi konflik Jika manajemen konflik dilakukan oleh pihak yang terlibat konflik, hal ini bertujuan untuk menciptakan solusi konflik yang menguntungkan. Jika dilakukan oleh pihak ketiga, manajemen konflik bertujuan menciptakan solusi yang bisa diterima oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Jika manajemen konflik dilakukan oleh organisasi untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam organisasi, tujuannya juga untuk menciptakan kesehatan organisasi. Organisasi yang sehat tidak hanya akan survive dalam perubahan lingkungan organisasi, tetapi juga mampu menyesuaikan diri dan berkembang dalam jangka panjang. 2. Jenis Konflik Konflik dapat dikelompokkan berdasarkan berbagai kriteria diantaranya adalah berdasarkan latar belakang terjadinya konflik, pihak yang terlibat dalam konflik, dan substansi konflik.
Universitas Sumatera Utara
37
a. Konflik Personal dan Konflik interpersonal Konflik personal adalah konflik yang terjadi dalam diri seorang individu karena harus memilih dari sejumlah alternatif pilihan yang ada atau karena mempunyai kepribadian ganda. Konflik ini terdiri dari sebagai berikut : 1. Konflik pendekatan ke pendekatan. Konflik yang terjadi karena harus memilih dua alternatif yang berbeda, tetapi sama-sama menarik atau sama baik kualitasnya. 2. Konflik menghindar ke menghindar. Konflik yang terjadi karena harus memilih alternatif yang sama-sama harus dihindari. 3. Konflik pendekatan ke menghindar. Konflik yang terjadi karena seseorang mempunyai perasaan positif dan negatif terhadap sesuatu yang sama. Konflik interpersonal adalah konflik yang terjadi pada suatu organisasi di antara pihak-pihak yang terlibat konflik dan saling tergantung dalam melaksanakan pekerjaan untuk mencapai tujuan organisasi. Konflik interpersonal dapat terjadi dalam enam bentuk, antara lain sebagai berikut : 1. Konflik antar manajer. Bentuk konflik di antara manajer atau birokrat organisasi dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai pimpinan organisasi. 2. Konflik antar pegawai dan manajernya. Konflik ini terjadi antara manajer unit kerja dengan karyawan dibawahnya. Objek yang
Universitas Sumatera Utara
38
menjadi konflik sangat bervariasi tergantung dari aktivitas organisasinya. 3. Konflik hubungan industrial. Konflik yang terjadi antara organisasi atau perusahaan dan para karyawannya atau dengan serikat pekerja; serta konflik antar serikat pekerja. 4. Konflik antar kelompok kerja. Dalam organisasi terdapat sejumlah kelompok kerja yang melaksankan tugas yang berbeda untuk mencapai tujuan organisasi yang sama. Masing-masing kelompok harus memberikan kontribusi untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam memberikan kontribusi, kelompok-kelompok kerja tersebut saling memiliki ketergantungan. 5. Konflik antar anggota kelompok kerja dan kelompok kerjanya. Suatu kelompok kerja mempunyai anggota yang memiliki keragaman pendidikan, agama, latar belakang budaya, pengalaman, dan kepribadian. Semua perbedaan ini menimbulkan konflik dalam melaksanakan tugas dan fungsi tim kerjanya. 6. Konflik antara organisasi dan pihak luar organisasi. Konflik yang terjadi antara suatu perusahaan atau organisasi dan pemerintah; perusahaan dan perusahaan lainnya; perusahaan dengan pelanggan; perusahaan dengan lembaga swadaya masyarakat; serta perusahaan dan masyarakat. b. Konflik Interes Jenis konflik yang mempunyai ciri konflik individual dan konflik interpersonal adalah konflik kepentingan. Konflik interes adalah suatu
Universitas Sumatera Utara
39
situasi konflik dimana seorang individu – pejabat atau aktor sistem sosial – mempunyai interes personal lebih besar dari pada interes organisasinya sehingga memengaruhi pelaksanaan kewajibannya sebagai pejabat sistem sosial dalam melaksanakan kepentingan sistem sosial. c. Konflik Realistis dan Konflik Nonrealistis Menurut Lewis Coser dikutip oleh Folger dan Poole dalam Wirawan (2009:59) mengelompokkan konflik realistis dan konflik nonreslistis. 1. Konflik realistis. Konflik yang terjadi karena perbedaan dan ketidaksepahaman cara pencapaian tujuan atau mengenai tujuan yang
akan dicapai.
Dalam konflik
ini,
interaksi konflik
memfokuskan pada isu ketidaksepahaman mengenai substansi yang harus diselesaikan oleh pihak yang terlibat konflik. Metode manajemen konflik yang digunakan adalah dialog, persuasi, musyawarah, voting, dan negoisasi. 2. Konflik Nonrealistis. Konflik yang terjadi tidak berhubungan dengan isu substansi penyebab konflik. Konflik ini dipicu oleh kebencian atau prasangka terhadap lawan konflik yang mendorong melakukan agresi untuk mengalahkan lawan konfliknya. d. Konflik Destruktif dan Konflik Konstruktif Konflik konstruktif adalah konflik yang prosesnya mengarah kepada mencari solusi mengenai substansi konflik. Konflik jenis ini membangun sesuatu yang baru atau mempererat hubungan pihak-pihak
Universitas Sumatera Utara
40
yang terlibat konflik; atau mereka memperoleh sesuatu yang bermanfaat dari konflik. Dalam konflik konstruktif terjadi siklus konflik konstruktif yaitu siklus dimana pihak-pihak yang terlibat konflik sadar akan terjadinya konflik dan merespons konflik secara positif untuk menyelesaikan konflik secara give and take. Kedua belah pihak berupaya berkompromi atau kolaborasi sehingga tercipta win & win solution yang memuaskan kedua belah pihak. Pihak-pihak yang terlibat konflik destruktif tidak fleksibel atau kaku karena tujuan didefenisikan secara sempit yaitu untuk mengalahkan satu sama lain. Interaksi pihak-pihak yang terlibat konflik membentuk spiral yang panjang yang makin lama makin menjauhkan jarak pihak-pihak yang terlibat konflik. Pihak-pihak yang terlibat menggunakan teknik manajemen konflik kompetisi, ancaman, konfrontasi, kekuatan, agresi, dan menciptakan win & lose solution. Konflik ini merusak kehidupan dan menurunkan kesehatan organisasi. 3. Tujuan Manajemen Konflik Konflik merupakan suatu fenomena yang sering kali tidak bisa dihindari dan menghambat pencapaian tujuan organisasi. Sumber daya organisasi – sumber daya manusia, sumber daya financial, dan sumber daya teknolgi – digunakan untuk menyelesaikan suatu konflik bukan untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Oleh karena itu, manajemen konflik harus dilakukan secara sistematis untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Wirawan (2009:132-133) tujuan-tujuan dari manajemen konflik yaitu :
Universitas Sumatera Utara
41
a. Mencegah gangguan kepada anggota organisasi untuk memfokuskan diri pada visi, misi dan tujuan organisasi. b. Menghormati orang lain dan memahami keberagaman c. Meningkatkan kreativitas. d. Meningkatkan keputusan melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran berbagai informasi dan sudut pandang. e. Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman bersama, dan kerja sama. f. Menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik. 4. Gaya Manajemen Konflik Orang akan berperilaku tertentu untuk menghadapi lawannya ketika menghadapi situasi konflik. Perilaku mereka membentuk satu pola atau beberapa pola tertentu. Pola perilaku orang dalam menghadapi situasi konflik disebut sebagai gaya manajemen konflik. Ting dan Toomey dalam Wirawan (2009:134), menggunakan istilah “Gaya komunikasi konflik bukan gaya manajemen konflik”. Seorang pemimpin yang autokratis cenderung menggunakan gaya manajemen konflik represif, supresif, kompetitif, serta agresif dan berupaya mengalahkan lawan konfliknya. Sebaliknya, seorang pemimpin yang demokratis jika menghadapi konflik akan
menggunakan
musyawarah,
mendengarkan
pendapat
lawan
konfliknya, dan mencari win & win solution. Gaya manajemen konflik yang digunakan pihak-pihak yang terlibat dipengaruhi oleh sejumlah faktor (Wirawan, 2009:135). Faktor – faktor tersebut antara lain sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
42
a. Asumsi mengenai konflik Asumsi seseorang mengenai konflik akan memengaruhi pola perilakunya dalam menghadapi situasi konflik. Birokrat yang berpendapat konflik merupakan sesuatu yang buruk akan berusaha untuk menekan lawan konfliknya dengan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi. Ia menganggap konflik merupakan pelanggaran norma, peraturan, atau tatanan birokrasi. Sebaliknya, seorang birokrat menganggap konflik adalah baik dan toleran terhadap konflik akan menggunakan gaya manajemen konflik kompromi atau kolaborasi dalam memanajemeni konflik. b. Persepsi mengenai penyebab konflik Persepsi seseorang mengenai penyebab konflik akan memengaruhi gaya manajemen konfliknya. Persepsi seseorang yang menganggap penyebab konflik menentukan kehidupan atau harga dirinya akan berupaya berkompetisi dan memenangkan konflik. Sebaliknya, jika orang menganggap penyebab konflik tidak penting bagi kehidupan dan harga dirinya, ia akan menggunakan pola perilaku menghindar dalam menghadapi konflik. c. Ekspektasi atas reaksi lawan konfliknya Seseorang yang menyadari bahwa ia menghadapi konflik akan menyusun strategi dan taktik untuk menghadapi konfliknya. Jika ia memprediksi bahwa lawan konfliknya akan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi dan agresi – objek konfliknya sangat esensial bagi kariernya, ia akan menghadapinya
dengan gaya
Universitas Sumatera Utara
43
manajemen
konflik
berkompetisi
dan
melawan
agresi
lawan
konfliknya. d. Pola komunikasi dalam interaksi konflik Konflik merupakan proses interaksi komunikasi diantara pihakpihak yang terlibat konflik. Jika proses komunikasinya berjalan dengan baik, pesan kedua belah pihak akan saling dimengerti dan diterima secara persuasif, tanpa gangguan (noise) dan menggunakan humor segar. Hal ini menunjukkan kemungkinan besar bahwa kedua belah pihak akan menggunakan manajemen konflik kolaborasi dan kompromi tinggi. Sebaliknya, jika komunikasi kedua belah pihak tidak baik, maka akan menggunakan kata-kata keras dan kotor, serta agresif, ada kemungkinan kedua belah pihak akan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi. e. Kekuasaan yang dimiliki Konflik merupakan permainan kekuasaan diantara kedua belah pihak yang terlibat konflik. Jika pihak yang terlibat konflik merasa mempunyai
kekuasaan
lebih
besar
dari
lawan
konfliknya,
kemungkinan besar, ia tidak mau mengalah dalam interaksi konflik. Terlebih
lagi,
jika
masalah konfliknya sangat
esensial bagi
kehidupannya. Sebaliknya, jika ia mempunyai kekuasaan lebih rendah dan memprediksi bahwa dirinya tidak bisa menang dalam konflik, ia akan menggunakan gaya manajemen konflik kompromi, akomodasi, atau menghindar.
Universitas Sumatera Utara
44
f. Pengalaman menghadapi situasi konflik Seorang panasehat hukum (advokat) selalu menghadapi konflik dalam membela kliennya. Pengalaman yang panjang memberikan kemampuan bagi advokat untuk menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi dalam membela kliennya, walaupun mungkin kliennya posisinya salah. Hal ini yang menyebabkan ada yang mengatakan bahwa advokat itu : “Maju tak gentar membela yang yang bayar”. g. Kecerdasan emosional Lee Fen Ming dalam Wirawan (2009:136) pada disertasinya mengemukakan telaah literatur yang menjelaskan bahwa manajemen konflik memerlukan keterampilan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional. Dari telaah ini ia mengemukakan beberapa dimensi kecerdasan emosional, yaitu kesadaran diri mengenai kecerdasan emosional, memanajemeni emosi, empati, dan membangun hubungan berdasarkan kecerdasan emosional. h. Kepribadian Kepribadian seseorang memengaruhi gaya manajemen konfliknya. Seseorang yang punya kepribadian pemberani, garang, tidak sabar dan berambisi untuk menang cenderung memilih gaya kepemimpinan berkompetisi. Sedangkan, orang yang penakut dan pasif cenderung untuk menghindari konflik.
Universitas Sumatera Utara
45
i.
Situasi konflik dan posisi dalam konflik Seseorang dengan kecenderungan gaya nanagemen konflik berkompetisi akan mengubah gaya manajemen konfliknya jika nenghadapi situasi konflik yang tidak mungkin ia menangkan. Gaya manajemennya bisa berubah menjadi gaya manajemen konflik kompromi dan kolaborasi. Demikian juga, apabila konflik terjadi dengan atasannya, maka ia mungkin akan menggunakan gaya manajemen konflik menghindari atau akomodasi.
j.
Budaya organisasi sistem sosial Budaya organisasi sistem sosial (organisasi militer, tim olah raga, pondok pesantren, dan biara) dengan norma perilaku yang berbeda menyebabkan para anggotanya memiliki kecenderungan untuk memilih gaya manajemen konflik yang berbeda. Dalam masyarakat barat, anak semenjak kecil diajarkan untuk berkompetisi. Disisi lain, di masyarakat
indonesia,
anak
diajarkan
untuk
kompromi
atau
menghindari konflik. k. Prosedur yang mengatur pengambilan keputusan jika terjadi konflik Organisasi birokratis atau organisasi yang sudah mapan umumnya mempunyai prosedur untuk menyelesaikan konflik. Dalam prosedur tersebut, gaya manajemen konflik pimpinan dan anggota organisasi akan tarcermin. l.
Pengalaman menggunakan salah satu gaya manajemen konflik Jika a terlibat konflik dengan b, c, dan d serta dapat memenangkan konflik dengan menggunakan gaya manajamen koanflik kompetisi, ia
Universitas Sumatera Utara
46
memiliki kecenderungan untuk menggunakan gaya tersebut bila terlibat konflik dengan orang yang sama atau orang lain. m. Keterampilan berkomunikasi Keterampilan berkomunikasi seseorang akan memengaruhinya dalam
memilih
gaya
manajemen
konflik.
Seseorang
yang
berkemampuan komunikasinya rendah akan mengalami kesulitan jika menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi, kolaborasi, atau kompromi. Ketiga gaya manajemen konflik tersebut memerlukan kemampuan komunikasi yang tinggi untuk berdebat dan berinisiasi dengan lawan konflik. Disisi lain, gaya manajemen konflik menghindar dan akomodasi tidak memerlukan banyak debat dan argumentasi. Menurut Thomas dan Kilmann dalam Wirawan (2009:140) manajemen konflik berdasarkan dua dimensi yaitu : a. Kerja sama (cooperativeness) pada sumbu horizontal b. Keasertifan (assertiveness) pada sumbu vertikal Berdasarkan dua dimensi ini, Thomas dan Kilmann dalam Wirawan (2009:140-142) mengemukakan lima jenis manajemen konflik. 1. Kompetisi (competing) Gaya ini merupakan gaya yang berorientasi pada kekuasaan, dimana seseorang akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memenangkan konflik terhadap lawannya. Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi adalah :
Universitas Sumatera Utara
47
a. Merasa mempunyai kekuasaan dan sumber-sumber lainnya untuk memaksakan sesuatu kepada lawan konfliknya. b. Tindakan dan keputusan perlu diambil dengan cepat, misalnya dalam keadaan darurat. Keterlambatan mengambil keputusan akan memberikan akibat yang tidak baik. c. Dalam tindakan yang tidak popular, terdapat hal yang harus dilakukan, seperti mengurangi biaya, peraturan baru, dan pendisiplinan pegawai. d. Melindungi perusahaan dari kebangkrutan dan keadaan yang dapat merusak citra perusahaan. 2. Kolaborasi (collaborating) Gaya ini melakukan upaya bernegoisasi untuk menciptakan solusi yang sepenuhnya memuaskan pihak-pihak yang terlibat konflik. Menurut Derr dalam Wirawan (2009:140) kolaborasi merupakan gaya manajemen konflik yang paling disukai karena mendorong hubungan interpersonal, kekuatan kreatif untuk inovatif dan perbaikan, meningkatkan balikan dan aliran informasi, serta mengembangkan iklim organisasi yang lebih terbuka, percaya, pengambilan risiko dan perasaan baik terhadap integritas. Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik kolaborasi adalah : a. Menciptakan solusi integratif dan tujuan kedua belah pihak terlalu penting untuk dikompromikan. b. Tujuan pihak yang terlibat konflik untuk mempelajari lebih jauh pandangan dari lawan konflik.
Universitas Sumatera Utara
48
c. Kedua belah pihak tidak mempunyai cukup kekuasaan dan sumbersumber untuk memaksakan kehendak demi mencapai tujuannya. 3. Kompromi (compromising) Gaya manajemen konflik ini berada ditengah antara gaya kolaborasi dan kompromi. Dalam keadaan tertentu, kompromi dapat berarti membagi perbedaan diantara dua posisi dan memberikan konsesi untuk mencari titik tengah. Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik kompromi adalah : a. pentingnya tujuan konflik hanya sedang dan tidak cukup bernilai untuk dipertahankan dengan kompetisi atau kolaborasi, tetapi konflik juga terlalu penting untuk dihindari. b. Kedua belah pihak mempunyai kekuasaan dan sumber yang sama, serta mempunyai tujuan yang hampir sama. c. Untuk mencapai solusi sementara atas masalah yang kompleks. 4. Menghindar (Avoiding) Menurut Thomas dan Kilmann dalam Wirawan (2009:141) bentuk menghindar tersebut bisa berupa menjauhkan diri dari pokok masalah, menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat, atau menarik diri dari konflik yang mengancam dan merugikan. Alasan pihak yang terlibat konflik menggunakan gaya manajemen konflik menghindar adalah : a. kepentingan objek konflik rendah atau ada konflik lain yang sangat penting dan perlu mendapatkan perhatian
Universitas Sumatera Utara
49
b. potensi biaya yang dibutuhkan untuk memenangkan konflik lebih besar daripada nilai solusinya. c. Untuk menenangkan para karyawan dan mengurangi ketegangan, serta menciptakan suasana kerja
yang kondusif dan tenang
sehingga dapat meningkatkan kinerja karyawan. 5. Mengakomodasi (accommodating) Gaya ini mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan berupaya memuaskan kepentingan lawan konfliknya. Gaya akomodasi memberi kesan seakan-akan mudah menyetujui ide seorang dan ingin bekerja sama dan kesan demikian hanya bersifat diperlukan bukan kenyataan. Gaya ini bermanfaat apabila sebuah persoalan konflik bersifat lebih penting bagi orang lainnya. K e a s e r t i f a n
Kompetisi
Kolaborasi
Kompromi
Menghindar
Mengakomodasi
Kerja sama
Gambar. 2.1 Kerangka Gaya Manajemen Konflik Thomas dan Kilmann Sumber : Wirawan (2009) 5. Dampak Konflik terhadap Kinerja Organisasi Mengingat bahwa konflik tidak dapat dihindari, maka pendekatan yang baik untuk diterapkan para manajer adalah pendekatan yang mencoba memanfaatkan
konflik
sedemikian
rupa
sehingga
konflik
dapat
memberikan sumbangan yang efektif untuk mencapai sasaran-sasaran
Universitas Sumatera Utara
50
yang diinginkan. Konflik sesungguhnya dapat menjadi energi yang kuat jika dikelola dengan baik, sehingga dapat dijadikan alat inovasi. Akan tetapi sebaliknya jika tidak dapat dikendalikan mengakibatkan kinerja organisasi rendah. Berkaitan dengan hal ini Robbins (2003:162) mengemukakan bahwa konflik dapat konstruktif maupun destruktif terhadap berfungsinya suatu kelompok atau unit. Tingkat konflik dapat terlalu tinggi atau terlalu rendah. Suatu tingkat yang optimal adalah kalau ada cukup konflik untuk mencegah kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya ketegangan, dan memprakarsai benih-benih untuk perubahan, namun tidak terlalu banyak, sehingga tidak menggangu atau mencegah koordinasi kegiatan. Tingkat konflik yang tidak memadai atau berlebihan dapat merintangi keefektifan dari suatu kelompok atau organisasi, dengan mengakibatkan berkurangnya kepuasan dari anggota, meningkatnya kemangkiran dan tingkat keluarnya karyawan, dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas. Tetapi bila konflik itu berada pada tingkat yang optimal, puas-diri dan apatis seharusnya diminimalkan, motivasi ditingkatkan lewat penciptaan lingkungan yang menantang dan mempertanyakan dengan suatu vitalitas yang membuat kerja menarik, dan sebaiknya ada sejumlah karyawan yang keluar untuk melepaskan yang tidak cocok dan yang berprestasi buruk dari organisasi itu.
Universitas Sumatera Utara
51
Kinerja Unit
Tinggi
A
B
C
Rendah Tingkat Konflik Rendah
Tinggi
Gambar 2.2 Konflik Dan Kinerja Unit Sumber : Stephen P. Robins dalam Wirawan (2009:116)
Situasi
Tabel 2.1 Hubungan tingkat konflik dan kinerja Tingkat Tipe Konflik Karakteristik Konflik Unit
A
Rendah atau Tidak Ada
Tidak Berfungsi
B
Optimal
Berfungsi
C
Tinggi
Tidak Berfungsi
Apatis Stagnasi Tidak ada tanggapan pada perubahan Kurang pada ide baru Bersemangat terhadap inovasi yang mengarah pada diri sendiri Mengacau Kacau balau Tidak dapat bekerja sama
Hasil Kerja Unit
Rendah
Tinggi
Rendah
Sumber : Stephen P. Robins dalam Wirawan (2009:116)
Universitas Sumatera Utara
52
C. Kinerja Karyawan 1. Pengertian Kinerja Istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Prestasi kerja pada umumnya dipengaruhi oleh kecakapan, keterampilan, pengalaman, dan kesungguhan kerja dari tenaga kerja yang bersangkutan. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi. Perbaikan kinerja baik untuk individu atau kelompok menjadi pusat perhatian dalam meningkatkan kinerja organisasi (Mathis & Jackson, 2002:78). Kinerja adalah prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya (Siswanto, 2002:235). Pengertian kinerja atau prestasi kerja diberi batasan oleh Maier dalam As’ad (2001:47) sebagai kesuksesan seseorang di dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Lebih tegas lagi Lawler dan Poter menyatakan bahwa kinerja adalah ”succesfull role achievement” yang diperoleh seseorang dari perbuatan-perbuatannya. Dari batasan tersebut, As’ad menyimpulkan bahwa kinerja adalah hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Meningkatnya kemungkinan
kinerja besar
perorangan juga akan
(individual
performance)
maka
meningkatkan kinerja perusahaan
Universitas Sumatera Utara
53
(corporate performance) karena keduanya mempunyai hubungan yang erat. Dalam pembahasan mengenai permasalahan kinerja, maka tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. a. Faktor Kemauan Secara psikologis kemampuan (ability) karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (Knowledge and skill). Artinya karyawan yang memiliki IQ diatas rata-rata (110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan lebih mudah tercapai kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu, karyawan perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. b. Faktor Motivasi Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Notivasi merupakan kondisi menggerakkan diri karyawan yang terarah untuk mencapai tujuan. Menurut Mathis (2006:113) kinerja individual dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : a. Kemampuan individual untuk melakukan pekerjaan tersebut. b. Tingkat usaha yang dicurahkan c. Dukungan organisasi. 2. Penilaian Kinerja Penilaian kinerja adalah salah satu tugas penting untuk dilakukan seorang manajer atau pimpinan. Walaupun demikian, pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
54
penilaian kinerja yang objektif bukanlah tugas yang sederhana. Penilaian harus dihindarkan adanya ”like dan dislike” dari penilai, agar objektivitas penilaian dapat terjaga. Kegiatan penilaian ini penting karena dapat digunakan untuk memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada para karyawan tentang kinerja mereka. Penilaian kinerja dapat menjadi sumber informasi utama dan umpan balik untuk karyawan yang merupakan kunci pengembangan bagi mereka di masa yang datang. Di saat atasan mengidentifikasi kelemahan, potensi, dan kebutuhan pelatihan melalui umpan balik penilaian kinerja, mereka dapat memberikan karyawan mengenai kemajuan mereka, mendiskusikan keterampilan apa yang perlu mereka kembangkan dan melaksanakan perencanaan pengembangan (Mathis dan Jackson, 2002:83) Ada beberapa pendekatan yang dilakukan dalam menilai prestasi kerja (As’ad, 2001: 22), yaitu : a. Subjective procedures Prosedur ini meliputi penilaian ataupun pertimbangan-pertimbangan terhadap kecakapan kerja yang dilakukan oleh : Superior (atasannya), sub ordinates (bawahannya), Peers (kelompok kerja), rekan-rekan sekerja, out-side observer (para observer dari luar) dan Self (diri sendiri). Prosedur sangat tergantung pada opini manusia, maka prosedur ini memiliki kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh manusia (human error), yaitu: 1) Tipe Liniency, terjadi kalau penilai cenderung memberikan nilai yang tinggi kepada bawahannya.
Universitas Sumatera Utara
55
2) Tipe Strictness, terjadi kalau penilai cenderung memberikan nilai yang rendah kepada bawahannya. 3) Tipe Central Tendency, terjadi apabila orang yang dinilai enggan memberikan nilai yang tinggi kepada bawahannya. 4) Halo Effect Error, adalah kesalahan kesan umum dari si penilai karena pengaruh pengalaman sebelumnya 5) Personal Bias, adalah bentuk kesalahan karena adanya prasangkaprasangka, baik ke arah positif maupun ke arah negatif. b. Direct Measures Metode ini tidak seperti metode yang terdahulu dimana evaluator dimintai pertimbangannya terhadap prilaku kerja karyawan yang menjadi bawahannya. Ada 2 (dua) tipe untuk evaluasi ini yaitu: 1) Berhubungan dengan produksi, yaitu menyangkut unit-unit yang diproduksi dan kualitas produk. 2) Berhubungan dengan personal information, yaitu meliputi absensi, ketepatan datang, keluhan-keluhan dari karyawan, waktu yang dipergunakan untuk mempelajari pekerjaan dan sebagainya. c. Proficiency Testing Merupakan
pendekatan
lain
dalam
mengevaluasi kecakapan
karyawan. Dalam hal ini karyawan yang dites diminta untuk memerankan pekerjaan seperti keadaan yang sesungguhnya
Universitas Sumatera Utara