BAB II URAIAN TEORITIS II.1. Paradigma Konstruktivis Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi. (Eriyanto, 2011:43) Paradigma ini melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana seseorang mengirim pesan, tetapi bagaimana masingmasing pihak dalam lalu lintas komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Disini diandaikan tidak ada pesan dalam arti yang statis yang saling dipertukarkan dan disebarkan. Pesan itu sendiri dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial dimana mereka berada. Fokus pendekatan ini adalah bagaimana pesan politik dibuat dan diciptakan oleh komunikator dan bagaimana pesan secara aktif ditafsirkan oleh individu sebagai penerima. (Eriyanto, 2011: 46) Paradigma konstruksionis ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif Peter L. Berger. Bersama Thomas Luckman, ia banyak mengembangkan aliran ini dengan banyak menulis karya dan tesis mengenai konstruksi sosial atas realita. Tesis
Universitas Sumatera Utara
utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal dalam masyaraktnya. Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan, Berger dalam Eriyanto (2011: 16-17) menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Hal ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mngeti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia, dengan kata lain manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi –kebudayaan-itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya, atau kebudayaan non-materil dalam bentuk bahasa. Baik alat maupun bahasa tadi adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “disana” bagi setiap orang. Realitas
Universitas Sumatera Utara
objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. ketiga, eksternalisasi. Proses internalisasi merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagi gejala realitas di luar kesadrannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, namun tidak juga turun karena campur tangan Tuhan. Tapi sebaliknya ia dibentuk dan dikonstruksi (Eriyanto, 2011: 18-21) dengan pemahaman seperti ini, realitas berwajah ganda atau plural. Oleh sebab itu realitas yang sama bisa ditanggapi, dimaknai dan dikonstruksi secara berbeda-beda oleh setiap orang. Karena setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu dan lingkungan pergaulan atau kehidupan sosial tertentu, dimana kesemua itu suatu saat akan digunakan untuk menafsirkan realitas sosial yang ada disekelilingnya dengan konstruksinya masing-masing. Selain plural, konstruksi sosial juga bersifat dinamis. Sebuah teks berupa berita tidak bisa kita samakan seperti sebuah kopi dari realitas, ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan juga mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan hal itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita. Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bila merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Disini realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta.
Universitas Sumatera Utara
Dalam proses internalisasi, wartawan dilanda oleh realitas. Realitas diamati oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan. Dalam proses eksternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut. (Eriyanto, 2011: 17) Demikian
halnya
ketika
seseorang
melakukan
wawancara.
Ketika
seseorang
mewawancarai narasumber, disana terjadi interaksi antara wartawan dengan narasumber. Realitas yang terbentuk dari wawancara tersebut adalah produk interaksi antara keduanya. Realitas hasil wawancara bukan hasil operan antara apa yang dikatakan oleh narasumber dan ditulis sedemikian rupa kedalam berita. Disana juga ada proses eksternalisasi: pertanyaan yang diajukan dan juga sudut penggambaran yang dibuat oleh pewawancara yang membatasi pandangan narasumber. Proses dialektis diantara keduanya yang menghasilkan wawancara yang kita baca disurat kabar atau kita lihat di televisi. Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan dipaparkan dengan uraian berikut. Fakta/ Peristiwa Adalah Hasil Konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan. Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Realitas itu berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda. Fakta atau realitas bukan sesuatu yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta atau realitas pada dasarnya dikonstruksi.
Universitas Sumatera Utara
Media Adalah Agen Konstruksi. Dalam pandangan konstruksionis, media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefenisikan realitas. Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan media seolah-olah sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Berita Bukan Refleksi Dari Realitas. Ia Hanyalah Konstruksi Dari Realitas. Dalam pandangan konstruksionis, berita ibaratnya seperti sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu difahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas (copy of reality). Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena ada cara melihat yang berbeda. Perbedaan antara realitas yang sesungguhnya dengan berita dianggap tidak salah, tetapi difahami sebagai suatu kewajaran. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaedah baku jurnalistik. Sumber proses konstruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak.
Universitas Sumatera Utara
Berita Bersifat Subjektif/ Konstruksi Atas Realitas. Pandangan konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standar yang baku. Hal ini karena berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas” yang berbeda pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standar tidak bisa dipakai. Jika terdapat perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya maka tidak dianggap sebagai suatu kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas realitas. Penempatan sumber berita yang menonojol dibandingkan dengan sumber lain; menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain; liputan yang hanya satu sisi dan merugikan pihak lain; tidak berimbang dan secara nyata memihak satu kelompok; kesemuanya tidaklah dianggap sebagai kekeliruan atau bias, tetapi dianggap memang itulah praktik yang dijalankan oleh wartawan. Konstruksi wartawan dalam memaknai realitas yang secara strategis menghasilkan laporan yang semacam itu. Wartawan Bukan Pelapor. Ia agen Konstruksi Realitas. Dalam pandangan konstruksionis, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan abaian dari intrinsik dalam pembentukan berita. Berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Wartawan juga dipandang sebagai aktor atau agen konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefenisikan apa yang terjadi dan secara aktif membentuk peristiwa dalam pandangan mereka.
Universitas Sumatera Utara
Etika, Pilihan Moral dan Keberpihakan Wartawan Adalah Bagian yang Integral Dalam Produksi Berita. Pendekatan konstruksionis menilai aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, seperti apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu- umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu- adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Wartawan disini bukan hanya pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipan dari keragaman penafsiran dan sbubjektivitas dalam publik. Karena fungsinya tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebaggai penjelas, tapi mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati. Subjektivitas wartawan tidak bisa dihilangkan. Karena pada dasarnya semua kerja jurnalistik adalah proses yang sangat subjektif-bukan hanya melibatkan fakta, tetapi juga keinginan dan motivasi yang berbau subjektif. Nilai, Etika dan Pilihan Moral Peneliti Menjadi Bagian yang Integral Dalam Penelitian. Salah satu sifat dasar dari penelitian yang bertipe konstruksionis adalah pandangan yang menyatakan bahwa peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai. Pilihan etika, moral atau keberpihakan peneliti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses penelitian. campur tangan penelitian yang dalam banyak hal bisa berupa keberpihakan atau pilihan moral, sedikitbanyak akan mempengaruhi bagaimana realitas itu dimaknai dan dipahami. Objek penelitian yang sama akan menghasilkan temuan yang berbeda di tangan peneliti yang berbeda. Peneliti dengan konstruksinya masing-masing akan menghasilan temuan yang berbeda pula.
Universitas Sumatera Utara
Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri Atas Berita. Pandangan konstruksionis menganggap khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif. Ia juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Dalam bahasa Stuart Hall, makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan/ berita yang dibaca oleh pembaca. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi). Makna lebih tepat dipahami bukan sebagai suatu transmisi (penyebaran) dari pembuat berita ke pembaca. Ia lebih tepat dipahami sebagai suatu praktik penandaan. Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama. Kalau saja ada makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi. Karena sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwaperistiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksi berbagai realitas yang akan disiarkan. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunanan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksi (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna. Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi atau alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya, penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi (dan makna) tertentu. Sedangkan jika dicermati secara teliti, seluruh isi media baik media cetak maupun elektronik menggunakan bahasa, baik bahasa verbal seperti kata-kata tertulis atau lisan maupun menggunakan bahasa non-verbal berupa gambar, foto, gerak-gerik, grafik, angka dan tabel.
Universitas Sumatera Utara
Paradigma konstruksionis ingin menjelaskan adanya sesuatu di balik hal itu semua. Paradigma ini ingin menjelaskan isi media, wartawannya, menjelaskan tentang media itu sendiri. Sampai dengan hal-hal yang berkaitan dengan proses pembentukan isi media tersebut. Terdapat tiga pendekatan untuk menjelaskan sesuatu yang berada di balik hasil konstruksi tersebut. Pertama, pendekatan politik-ekonomi (the political economy approach). Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan politikekonomi di luar pengelolaan media. Faktor-faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media, dapat menentukan wujud isi media. Menentukan peristiwa seperti apa yang dapat dan tidak dapat diberitakan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan hendak diarahkan. Kedua, pendekatan organisasi (organisational approaches). Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan sebelumnya. Pendekatan organisasi mengatakan bahwa pihak pengelola media yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi media. Praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan yang ada dalam ruang organisasi adalah unsur-unsur dinamik yang mempengaruhi pemberitaan. Terdapat mekanisme pemilihan nilai-nilai berita di dalamnya. Ketiga, pendekatan kulturalis (culturalist approach). Pendekatan ini merupakan gabungan
antara
pendekatan
ekonomi-politik
dengan
pendekatan
organisasi.
Proses
pembentukan berita merupakan mekanisme yang rumit, karena melibatkan selain adanya rutinitas media, terdapat pula faktor eksternal media. Media yang memiliki pola aturannya sendiri tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan ekonomi-politik di luar media. Hanya pengaruh eksternal media terhadap internal media pada pendekatan kulturalis berbeda dengan pengaruh eksternal pada pendekatan-pendekatan ekonomi-politik. Pengaruh eksternal pada pendekatan kulturalis tidaklah secara langsung (pengaruhnya seperti tidak disadari oleh media).
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan pada pendekatan ekonomi-politik, pengaruh eksternalnya langsung dan koersif. Sehingga produk media tersebut kental dengan pengaruh eksternal tadi. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (dalam Agus Sudibyo, 2001:7) juga meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam proses pemberitaan. Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Seperti jenis kelamin, umur, agama, suku bangsa sedikit banyak mempengaruhi apa yang akan ditampilkan oleh media. Selain itu, level individu juga berhubungan dengan segi profesionalisme. Latar belakang pendidikan atau kecenderungan orientasi pada partai politik atau organisasi massa sedikit banyak juga dapat mempengaruhi pemberitaan. Kedua, level rutinitas media (media riutine). Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media tentu memiliki ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria berita yang baik. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang ada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada peristiwa yang hendak diliput, akan ditentukan bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebelum sampai ke proses cetak, siapa yang akan menjadi penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Ini semua akan mempengaruhi bagaimana bentuk akhir sebuah berita. Ketiga, level organisasi. Level ini berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang
Universitas Sumatera Utara
ada di dalam organisasi berita. Mereka hanya merupakan bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Dalam organisasi media terdapat, selain redaksi, ada bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Bagian-bagian ini tidak selalu sejalan satu sama lain karena mempunyai tujuan dan target masing-masing. Sekaligus strategi yang berbeda-beda pula dalam mewujudkan target itu ketika bagian redaksi menginginkan agar berita tertentu yang menjadi headline belum tentu bagian sirkulasi ataupun bagian lain menginginkan berita yang sama. Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan hal-hal di luar lingkungan media. Ada beberapa faktor pula yang termasuk ke dalam level ini, yaitu: 1. Sumber berita, sumber berita bukan sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan. Sumber berita melakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang baik baginya dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan mereka sering tidak disadari oleh media. Lalu, media secara tidak sadar pula, telah
menjadi corong dari sumber berita untuk
menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber tersebut. 2. Sumber penghasilan media. Sumber penghasilan media bisa berupa iklan, ataupun pelanggan/ pembeli produk media. Sumber ini dibutuhkan oleh media untuk dapat “bertahan hidup.” Kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Media mungkin akan mengesampingkan untuk meliput peristiwa buruk (kasus) yang berkaitan dengan pihak pengiklan mereka. Pihak pengiklan sendiri pun dapat memaksakan versinya (tentang kasus) kepada media. Media juga
Universitas Sumatera Utara
tidak akan menyia-nyiakan untuk meliput peristiwa yang disenangi banyak khalayak. Walaupun terkadang tidak masuk dalam kriteria kelayakan berita media tersebut. 3. Pihak eksternal (pemerintah atau lingkungan bisnis). Pengaruh ini sangat bergantung pada lingkungan eksternal media itu sendiri. Media-media yang tumbuh di dalam negara otoriter, akan merasakan pengaruh pemerintah yang sangat dominan dalam menentukan berita yang disajikan. Negara akan menentukan mana yang boleh diberitakan dan mana yang tidak boleh diberitakan. Media harus mengikuti berbagai lisensi yang dikeluarkan pemerintah, jika masih ingin terbit. Hal ini berbeda pada media yang tumbuh di dalam negara yang demokratis ataupun liberal. Campur tangan pemerintah sangat minim, bahkan tidak ada. Pengaruh yang besar malah datang dari lingkungan bisnis/pasar. Akan muncul persaingan-persaingan anatar media untuk menjadi yang lebih baik, yang diminati khalayaknya. 4. Ideologi. Ideologi dalam hal ini diartikan sebagai kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Level ini merupakan hal yang abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan dapat dilihat kepada yang berkuasa di dalam masyarakat dan bagaimana media menentukannya. Media hanya akan beradaptasi dengan ideologi yang sudah ada di dalam masyarakat. Hal-hal inilah yang selalu berpengaruh kepada hasil akhir dari bentukan media-media massa. Hal-hal yang dipaparkan oleh Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese serta yang diungkapkan dari studi media di atas yang akan dianalisis teks berparadigma konstruksionis ini.
Universitas Sumatera Utara
II.2 Analisis Framing Analisis framing merupakan versi yang paling baru dari pendekatan analisis wacana untuk menganalisa teks media. Gagasan mengenai anlisis framing pertama kali dilontarkan oleh Beterson pada tahun 1955. Frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Lebih jauh, konsep tersebut dikembangkan oleh Goffman pada tahun 1974. Goffman mengatakan frame merupakan kepingan perilaku-perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas. Analisis framing merupakan sebuah model analisis (yang berasal dari paradigma konstruktivisme), mengungkap rahasia di balik semua perbedaan (bahkan pertentangan) media yang dapat digunakan untuk menguak fakta yang tersembunyi. Model analisis yang dapat membantu dalam mengetahui bagaimana realitas di lapangan dibingkai oleh media. Sebab media yang berada di tengah-tengah realitas sosial, terlebih dahulu akan memahami realitas tersebut, memaknainya, dan akan mengkonstruksinya dengan bentukan dan makna tertentu. Kita keliru jika menganggap bahwa kata-kata itu mempunyai makna. Kita lah yang memberi makna pada kata-kata tersebut. Dan makna yang kita berikan kepada kata yang sama bisa berbeda-beda, tergantung pada konteks ruang dan waktu. (Dedy Mulyana, 2005:255) Analisis framing, analisis yang digunakan untuk melihat konteks sosial budaya suatu wacana. Khususnya hubungan antara berita dan ideologi, yakni proses atau mekanisme, mengubah, dan meruntuhkan ideologi. Untuk menganalisa siapa mengendalikan siapa dalam suatu struktur kekuasaan, pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan, siapa si penindas dan si
Universitas Sumatera Utara
tertindas, tindakan politik mana yang konstitusional dan yang di-inkonstitusional, kebijakan publik mana yang harus didukung dan tidak boleh didukung, dan sebagainya. Analisis inilah yang dipakai untuk melihat bagaimana upaya media menyajikan sebuah event yang mengesankan objektivitas, keseimbangan, dan non-partisipan dan mengemasnya sedemikian rupa sehingga khalayak mudah tergiring ke dalam kerangka pendefenisian realitas tertentu yang dilakukan oleh media melalui pemilihan kata, bahasa, penggunaan simbol dan sistem logika tertentu. Bidang komunikasi sendiri memandang analisis framing sebagai alat yang dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan peraturan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk mengiring interpretasi khalayak sesuai sudut pandang yang dimilikinya. Dengan kata lain analisis ini merupakan sebuah pendekatan untuk mengetahui bagaimana seorang wartawan dalam memandang dan memahami suatu masalah, menyeleksinya, dan membuatnya menjadi sebuah berita. Dan pada akhirnya, caranya memandang sebuah masalah itulah yang menentukan fakta mana yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan, atau dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut nantinya. Makna sebuah peristiwa yang diproduksi dan disebarluaskan oleh media massa sebenarnya adalah suatu konstruksi makna yang temporer, rentan, dan terkadang muskil. Peristiwa-peristiwa yang dilaporkan tersebut, berita sekalipun, bukanlah peristiwa yang sebenarnya terjadi. Proses persepsi selektif yang diperankan oleh wartawan dan para editor, disadari atau tidak, berperan dalam menghasilkan judul berita, ukuran huruf untuk judul, penempatan tiap-tiap berita (halaman depan, tengah, atau belakang-untuk media cetak),
Universitas Sumatera Utara
pengulangan-pengulangan, pemakaian grafis, pemberian label kepada orang atau peristiwa yang diberitakan, pertanda penting atau tidaknya berita itu, panjang atau tidaknya laporan, komentar siapa dan komentar mana yang akan dibuang, yang setidaknya akan menunjukkan keberpihakan media itu. Dengan begitu, berita-berita yang mereka sampaikan merupakan realitas yang diciptakan, yang diinginkan mengenai peristiwa atau kelompok orang yang dilaporkan. Berita sebenarnya merupakan laporan peristiwa yang artifisial setelah melewati beberapa proses seleksi dan reproduksi. Tetapi dapat diklaim sebagai objek oleh media itu untuk mencapai tujuan ideologis dan mungkin juga bisnis. Dengan kata lain, media massa bukan sekedar menyampaikan, melainkan juga menciptakan makna. Pippa Noris, Montague Kern, dan Marion Just dalam buku Framing Terrorism (Pippa Noris et al, 2003:11) pun menyimpulkan framing; “The essence of framing is selection to proriotize some facts, images, or develovments over others, there by unconsciously promoting one particular interpretation of events.” Mereka menyatakan bahwa esensi framing itu adalah sebuah penyeleksian yang bertujuan untuk memprioritaskan beberapa fakta, gambaran, atau perkembangan-perkembangan di atas hal-hal lainnya, oleh karena itu secara tidak sadar akan menonjolkan penafsiran yang sebahagian (bukan pemahaman secara menyeluruh) dari kejadiankejadian. Ada dua aspek penting dalam framing. Pertama, memilih fakta/ realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi karena wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinann, yaitu pada apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu dan melupakan fakta yang lain,
Universitas Sumatera Utara
memberikan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengangn kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentual foto dan gambar apa dan sebagainya. Pemakaian kata, kalimat atau foto merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi benar-benar menonjol, lebih mendapat alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan dipengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. (Eriyanto, 2011:79-81) Framing pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu hadir di hati pembaca. Apa yang kita tahu tentang realitas sosial pada dasarnya tergantung pada bagaimana kita melakukan frame atas peristiwa yang memberikan pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa. Framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan berita yang secara radikal berbeda apabila wartawan mempunyai frame yang berbeda ketika melihat peristiwa tersebut dan menuliskan pandangannya dalam berita. Apa yang dilaporkan oleh media seringkali merupakan hasil dari pandangan mereka (predisposisi perseptuil) wartawan ketika melihat dan meliput peristiwa. Analisis framing membantu kita untuk mengetahui bagaimana realitas peristiwa yang sama itu dikemas secara berbeda oleh wartawan sehingga menghasilkan berita secara radikal berbeda. (Eriyanto, 2011:97-99) Framing bukan hanya berkaitan dengan skema individu (wartawan) melainkan juga berhubungan dengan proses produksi berita, kerangka kerja dan rutinitas organisasi media. Bagaimana peristiwa dibingkai, kenapa peristiwa dipahami dalam kerangka tertentu atau bingkai
Universitas Sumatera Utara
tertentu, tidak bingkai orang lain, bukan semata-mata disebabkan skema struktur wartawan, melainkan juga rutinitas kerja dan institusi media yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pemaknaan media. Wartawan hidup dalam institusi media dengan seperangkat aturan, pola kerja dan aktivitas masing-masing, maka yang terjadi adalah institusi media itu yang mengontrol dalam pola kerja tertentu yang mengharuskan wartawan melihat peristiwa dalam kemasan tertentu. Atau bisa juga terjadi wartawan sebagai bagian dari anggota komunitas menyerap nilai-nilai yang ada dalam komunitasnya.
Wartawan hidup dan bekerja dalam suatu intitusi yang
mempunyai pola kerja, kebiasaan, aturan, norma, etika, dan rutinitas tersendiri. Semua elemen proses produksi berita tersebut mempengaruhi bagaimana peristiwa dipahami. Secara umum sebagai bagian dari komunitas tertentu, wartawan akan menyerap nilai-nilai kelompok dalam pandangannya secara pribadi. Framing berkaitan dengan bagaimana realitas dibingkai dan disajikan kepada khalayak. Dari defenisi yang sederhana ini saja sudah tergambar apa efek framing. Sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh media. Bahkan pemaknaan itu bisa jadi akan sangat berbeda. Realitas begitu kompleks, penuh dengan dimensi, maka ketika dimuat dalam berita bisa jadi menjadi akan menjadi realitas satu dimensi. Framing berhubungan dengan penafsiran realitas. Bagaimana peristiwa dipahami dan siapa sumber yang diwawancarai. Semua elemen tersebut tidak dimaknai semata sebagai masalah teknis jurnalistik, tetapi sebuah praktik. Berbagai praktik tersebut bisa mengakibatkan pendefenisian tertentu atas realitas. Peristiwa yang sama bisa menghasilkan berita yang berbeda,
Universitas Sumatera Utara
dan pada akhirnya menghasilkan realitas yang berbeda pula ketika peristiwa itu dibingkai dengan cara yang berbeda. Salah satu efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang kompleks, penuh dengan dimensi dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana, beraturan dan memenuhi logika tertentu. Framing menyediakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak. Karena itu, framing menolong khalayak untuk memproses informasi ke dalam kategori yang dikenal, kata-kata kunci dan citra tertentu. Ada tiga ciri utama dari sebuah frame. Yang pertama yaitu menonjolkan aspek tertentu-mengaburkan aspek lain. Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas. Dalam penulisan sering disebut sebagai fokus. Berita secara sadar atau tidak diarahkan pada aspek tertentu. Akibatnya, ada aspek lain yang tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Pemberitaan suatu peristiwa dari persfektif politik misalnya, mengabaikan aspek lain seperti ekonomi, sosial, dan sebagainya. Misalnya, pemberitaan media dalam skandal sebuah bank. Pemberitaan banyak memberitakan kasus ini dalam aspek ekonomi. Masalah teknis ekonomi, berapa kerugian ekonomi dari skandal bank tersebut dan seterusnya, sering menjadi berita utama. Pemberitaan yang terus menerus dari aspek ekonomi ini mengaburkan masalah tersebut sebagai masalah politik. Yang kedua yaitu menampilkan sisi tertentu-melupakan sisi lain. Sebut misalnya pemberitaan media mengenai aksi mahasiswa. Berita misalnya banyak menampilkan bagaimana demonstrasi itu akhirnya diwarnai dengan bentrokan. Berita secara panjang dan lebar menggambarkan proses bentrokan, mahasiswa yang nekad menembus barikade dan akhirnya
Universitas Sumatera Utara
diwarnai dengan puluhan mahasiswa yang luka-luka. Dengan menampilkan sisi yang seperti ini saja dalam berita, mengakibatkan ada sisi lain yang dilupakan. Yakni, apa tuntutan dari mahasiswa tersebut? Seolah dengan menggambarkan berita seperti itu, demonstrasi tersebut tidak ada gunanya. Mahasiswa hanya bermaksud mencari sensasi dan berusaha membuat keributan saja di tengah masyarakat. Berita misalnya, ditandai dengan gerutukan supir angkot yang tidak suka dengan demonstrasi karena menyebabkan kemacetan. Disini menampilkan aspek tertentu menyebabkan aspek lain yang lebih penting dalam memahami realitas tidak mendapatkan liputan yang memadai dalam berita. Ciri yang ketiga adalah menampilkan aktor tertentu-menyembunyikan aktor lain. Berita seringkali juga mempfokuskan pemberitaan pada aktor tertentu. Ini tentu saja tidak salah. Tetapi efek yang segera terlihat adalah memfokuskan pada satu pihak atau aktor tertentu menyebabkan aktor lain yang mungkin relevan dan penting dalam pemberitaan menjadi tersembunyi. (Eriyanto, 2011: 165-168) Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari lapangan psikologi dan sosiologi. Tetapi secara umum, teori framing dapat dilihat dalam dua tradisi, yaitu psikologi dan sosiologi. Pendekatan psikologi terutama melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang diri, sesuatu atau gagasan tertentu. Sementara dari sosiologi, konsep framing dipengaruhi oleh pemikiran Ervinm Goffman. Menurut Goffman, manusia pada dasarnya secara aktif mengklarifikasikan dan mengkategorisasikan pengalaman hidup ini agar mempunyai arti atau makna. Setiap tindakan manusia pada dasarnya mempunyai arti dan manusia berusaha memberi penafsiran atas prilaku tersebut agar bermakna dan berarti. Sebagai akibatnya, tindakan manusia sangat tergantung pada frame atau skema interpretasi dari seseorang. (Eriyanto, 2011: 82-83)
Universitas Sumatera Utara
Robert N. Entman mengelompokkan konsep framing ke dalam dua dimensi. Pertama, seleksi isu, dan kedua penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/ isu tertentu dan dapat mengabaikan isu-isu lainnya yang anggap media tersebut tidak penting. Penekanan ataupun seleksi yang dilakukan dapat diartikan: membuat informasi terlihat jelas, lebih bermakna atau mudah diingat oleh khalayak. Pada akhirnya isu yang dipilih tersebut dikonstruksi sedemikian rupa sehingga memiliki makna. II.2.1 Seleksi Isu Aspek ini berkaitan dengan pemilihan fakta. Bagaimana yang akan diliput oleh wartawan dari suatu isu/peristiwa? Aspek memilih fakta tidak dapat dilepaskan dari bagaimana fakta itu difahami oleh media. Ketika melihat sebuah peristiwa, wartawan harus memakai kerangka konsep dan abstraksi dalam menggambarkan realitas. Misalnya sebuah berita tentang tindakan petani tebu yang membakar perkebunan tebu dianggap sebagai tindakan anarkis, maka realitas yang akan dibentuk wartawan tidak menguntungkan petani. Sebaliknya jika tindakan tersebut dimaknai sebagai bentuk perlawanan para petani, maka realitas yang dibentuk menguntungkan petani. Entman menyebut ada empat cara yang sering dilakukan media dalam proses pendefenisian peristiwa. Keempat cara itu merupakan strategi media, dan membawa konsekuensi tertentu atas realitas yang terbentuk oleh media. Pertama pendefenisian masalah (problem identification) adalah yang pertama kali dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini merupakan bingkai yang paling utama. Elemen ini menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Sewaktu timbul permasalahan atau peristiwa, bagaimana permasalahan atau peristiwa itu dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Bingkai yang
Universitas Sumatera Utara
berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda pula, maka tidak jarang orang bingung terhadap berita-berita yang dimunculkan media karena adanya perbedaan tadi. Kedua, memperkirakan penyebab masalah (causal interpretation), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap aktor dari sebuah peristiwa. Penyebabnya dapat berupa apa (what) ataupun siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Oleh sebab itu, masalah yang dipahami secara berbeda, penyebab masalah secara tidak langsung juga akan dipahami secara berbeda pula. Dengan kata lain, pendefenisian sumber masalah ini menyertakan secara lebih luas siapa yang dianggap sebagai pelaku dan siapa yang dianggap sebagai korban. Ketiga, membuat pilihan moral (moral evaluation), yaitu elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/ memberi argumentasi pada pendefenisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefenisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip adalah yang berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh masyarakat. Keempat, menekankan penyelesaian (treatment recommendation), adalah elemen yang dipakai untuk melihat apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan seperti apa yang disajikan oleh wartawan untuk menyelesaikan masalah. Dimana penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa dipandang sebagai penyebab masalah. II.2.2. Penonjolan Aspek Tertentu dari Suatu Isu Penonjolan sebuah aspek yang tertentu ini sangat berkaitan dengan penulisan fakta. Proses tersebut sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca khalayak. Pilihan kata-kata tertentu yang dipakai tidak sekedar teknik jurnalistik,
Universitas Sumatera Utara
melainkan sebagi politik bahasa. Bagaimana sebuah bahasa-yang dalam hal ini umumnya pilihan kata-kata yang dipilih, dapat menciptakan realitas tertentu kepada khalayak. Kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu, namun juga membatasi persepsi dan mengarahkannya pada cara berfikir dan keyakinan tertentu. Dengan kata lain, katakata yang dipakai dapat membatasi seseorang dalam melihat dari sudut pandang lain, menyediakan aspek tertentu dari suatu peristiwa dan mengarahkannya untuk memahami suatu peristiwa. Hilang sudah kesempatan untuk menilai apa yang sebenarnya terjadi.
II.3. Teori Gatekeeper Salah satu konsep penting untuk memahami cara kerja komunikasi massa adalah konsep “penjaga gawang” (gatekeeper). Seorang yang disebut sebagai gatekeeper adalah orang-orang yang--dengan memilih, mengubah, dan menolak pesan—dapat mempengaruhi aliran informasi kepada seseorang atau sekelompok penerima. Meskipun konsep “penjaga gawang” ini dapat diterapkan pada konteks-konteks komunikasi lainnya, konsep ini khususnya sangat relevan bagi komuniksi massa. (Tubbs, 2005:202) Pada dasarnya komunikasi massa adalah komuniksi melalui media massa (media cetak dan elektronik). Komunikasi massa berasal dari perkembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa). Media massa adalah media atau saluran yang dihasilkan oleh teknologi modern. Jadi, media massa menunjuk pada hasil produk teknologi modern sebagai saluran dalam komunikasi massa. (Nurudin, 2004:2-3) Dalam komunikasi massa kita membutuhkan gatekeeper (penapis informasi atau palang pintu) yakni beberapa individu atau kelompok yang bertugas menyampaikan atau mengirim
Universitas Sumatera Utara
informasi dari individu atau kelompok yang bertugas menyampaikan atau mengirim informasi dari individu ke individu yang lain melalui media massa (surat kabar, majalah, televisi, radio, video, tape, compact disk, buku). Defenisi yang dikemukakan Bittner di atas menekankan akan arti pentingnya gatekeeper dalam proses komunikasi massa. Gatekeeper atau yang sering disebut panapis informasi/ palang pintu atau penjaga gawang, adalah orang yang sangat berperan dalam penyebaran informasi melalui media massa. Gatekeeper
ini
berfungsi
sebagai
orang
yang
ikut
menambah
atau
mengurangi,
menyederhanakan, mengemas, agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami. Istilah gatekeepers pertama kali digunakan oleh Kurt Lewin dalam bukunya Human Relation (1974). Istilah ini mengacu pada proses: (1) suatu pesan berjalan melalui berbagai pintu, selain juga pada (2) orang atau kelompok yang memungkinkan pesan lewat. Gatekeepers dapat berupa seseorang atau satu kelompok yang dilalui suatu pesan dalam perjalannya dari sumber kepada penerima. (Ardianto, 2004:42) Gatekeeper itu sedemikian penting sehingga menjadi ciri dalam komunikasi massa karena-sebagaimana kita ketahui, bahan-bahan, peristiwa atau data yang menjadi bahan mentah pesan yang akan disiarkan media massa itu beragam dan sangat banyak. Tentu tidak semua akan disiarkan media massa itu. Disnilah perlu ada pemilahan, pemilihan dan penyesuaian dengan media yang bersangkutan. Misalnya, televisi sangat berkepentingan untuk melihat gerak isyarat dari para kandidat calon presiden ketika melakukan kampanye. Sementara pihak media cetak hanya bisa menceritakannya, atau didukung oleh foto, tetapi tidak semua bisa diambil. Media cetak perlu memilih mana gerak yang paling menarik. Perbedaan demikian akan mempengaruhi pesan-pesan yang disebarkan.
Universitas Sumatera Utara
Fungsi utama gatekeeper adalah menyaring pesan yang akan diterima seseorang. Ketika menyampaikan pesan tersebut, gatekeeper mungkin memodifikasinya dengan berbagai cara dan alasan. Gatekeeper membatasi pesan yang diterima komunikan. Editor surat kabar, majalah, penerbitan juga disebut gatekeeper. Mereka melewatkan sebagian informasi dan menahan yang lainnya. Seorang gatekeeper dapat memilih, mengubah, bahkan menolak pesan yang akan disampaikan kepada penerima. (Ardianto: 2004:43) Untuk membahas lebih jauh tentang gatekeeper ini, berikut diilustrasikan skema fungsi gatekeeper.
S1
M1
S2
M2
S3
M3
G A T E K E E P E R
MA
R1
MB
R2
MC
R3
Skema 1. Fungsi Gatekeeper
Pesan-pesan (M1, M2, M3) diterima oleh gatekeeper dari berbagai sumber yang berbeda (S1, S2, S3). Dalam hal ini pesan diseleksi oleh getekeeper. Selanjutnya getekeeper selektif menyampaikan pesan-pesan tersebut (MA, MB, MC) kepada komunikan yang berbeda (R1, R2, R3). Aspek terpenting yang harus diperhatikan melelui proses ini adalah bahwa pesan-pesan
Universitas Sumatera Utara
yang diterima getekeepers (M1, M2, M3) tidak sama dengan pesan-pesan yang dikirim oleh getekeepers (MA, MB, MC). Keputusan penjaga gawang mengenai informasi mana yang harus dipilih dan ditolak dipengaruhi
oleh
banyak
variabel.
Bittner
(1985)
dalam
Tubbs
(2005:
204-205)
mengidentifikasikan variabel-variabel berikut. Pertama, ekonomi. Kebanyakan media massa di negeri ini mencari keuntungan, atau sangat peduli dengan bagaimana uang diperoleh dan dibelanjakan. Maka, para pemasang iklan, sponsor dan kontributor dapat mempengaruhi seleksi berita dan editorial. Kedua, pembatasan legal. Yang dimaksud dengan pembatasan legal adalah semacam hukum atau peraturan baik yang bersifat lokal maupun nasional yang dapat mempengaruhi seleksi dan penyajian berita. Contohnya seperti peraturan tentang film yang dikategorikan untuk orang dewasa di televisi harus ditayangkan pada jam-jam tertentu, hukum mengenai pencemaran nama baik dan sebagainya. Ketiga, batas waktu (deadline). Batas waktu juga mempengaruhi kedalaman dan waktu yang tersedia untuk menentukan kecermatan berita yang dipilih. Batas waktu juga mempengaruhi apa yang akan disiarkan. Bila hanya sedikit waktu yang tersedia, penjaga gawang membuat pilihan-pilihan mengenai tingkat pentingnya berita. Bila penjaga gawang harus memilih antara dua berita yang bernilai sama, biasanya berita yang dilengkapi vidio-lah yang terpilih. Keempat, etika pribadi dan profesional penjaga gawang juga mempengaruhi berita yang akan dipilih. Etika pribadi dan tingkat kesadaran penjaga gawang akan kepercayaannya sendiri akan mempegaruhi apakah kesukaan dan ketidaksukaan, sikap dan minatnya yang akan
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi seleksi berita, Misalnya, seorang kolumnis keuangan dapat mempengaruhi saham suatu perusahaan lewat tulisannya dan memperbolehkan teman-temannya memperoleh informasi dalam pracetak tulisan itu. Faktor kelima adalah kompetisi diantara media. Dalam sebuah pasar dengan beberapa sumber, kompetisi demikian cenderung meningkatkan semua tingkat profesionalisme sehingga menjamin penyajian informasi yang lebih objektif. Dipihak lain, suatu kota dengan hanya terdapat sebuah surat kabar biasanya memperoleh satu pandangan redaksi surat kabar. Keenam, nilai berita (intensitas suatu berita dibandingkan dengan berita-berita lainnya yang tersedia) dan lubang berita (jumlah ruang dan waktu yang diperlukan untuk menyajikan berita), harus diseimbangkan. Selain menyeimbangkan kedua hal ini, penjaga gawang harus menilai pandangan-pandangan lokal dan pandangan-pandangan nasional, Misalnya, berapa banyak waktu yang dialokasikan untuk suatu kampanye nasional yang baru untuk mengkonservasi air ketika presiden baru saja menyampaikan pengumuman penting mengenai kebijakan luar negeri. Faktor lain yang mempengaruhi penjaga gawang untuk memilih atau menolak berita adalah reaksi terhadap umpan balik, meskipun umpan balik itu tertunda. Misalnya, bila sebuah kartun politis menyinggung sebuah kelompok etnik, dan kelompok tersebut memiliki wakil yang menulis surat keberatan atau menuntut permohonan maaf terbuka, maka seorang editor majalah mungkin akan berpikir matang sebelum memuat kartun seperti itu lagi. Gatekeeper yang dimaksud antara lain reporter, editor film/surat kabar/buku, manajer pemberitaan, penjaga rubrik, kameramen, sutradara dan lembaga sensor film yang semuanya mempengaruhi bahan-bahan yang akan dikemas dalam sebuah pesan-pesan dari media massa masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
Gatekeeper juga berfungsi untuk menginterpretasikan pesan, menganalisis, menambah data dan mengurangi pesan-pesannya. Intinya, adalah pihak yang ikut menentukan pengemasan sebuah pesan dari media massa, semakin kompleks sistem media yang dipunyai semakin banyak pula gatekeeping (pemalangan pintu atau pentapisan informasi) yang dilakukan. Bahkan bisa dikatan, gatekeeper sangat menentukan berkualitas tidaknya informasi yang akan disebarkan. Baik buruknya dampak pesan yang disebarkan pun tergantung pada fungsi pentapisan informasi atau pemalangan pintu ini (Nurudin, 2004:24). Demikian halnya dengan Majalah Kompas dan Sabili dalam menciptakan berita mengenai Ahmadiyah. Kedua majalah ini pasti memiliki gatekeeper yang menyeleksi informasiinformasi yang telah didapatkan sebelumnya di lapangan. Gatekeepers tersebutlah yang menjadi penentu akhir apakah sebuah fakta layak untuk dijadikan sebuah berita atau tidak. Maka seorang gatekeeper bertanggung jawab penuh terhadap apa yang telah diberikannya. Dalam pola komunikasi tatap muka atau komunikasi kelompok jelas tidak harus dibutuhkan gatekeeper. Tetapi dalam komunikasi massa, hal demikian tidak bisa dihindari. Gatekeeper keberadaannya sama pentingnya dengan peralatan mekanis yang harus dipunyai media dalam komunikasi massa. Oleh karena itu, gatekeeper menjadi keniscayaan keberadaannya dalam media massa dan menjadi salah satu cirinya.
Universitas Sumatera Utara