BAB II URAIAN TEORITIS
2.1 Pola Tabungan dan Investasi Islami Menabung adalah tindakan yang dianjurkan oleh Islam, karena dengan menabung berarti seorang muslim mempersiapkan diri untuk pelaksanaan perencanaan masa yang akan datang sekaligus untuk menghadapi hal – hal yang tidak diinginkan. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang secara tidak langsung telah memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan hari esok secara lebih baik, seperti dalam Q.S. An-Nisa ayat 9 dan Q.S. Al-Baqarah ayat 266 yang menyatakan bahwa “Allah memerintahkan manusia untuk mengantisipasi dan mempersiapkan masa depan untuk keturunan baik secara rohani/iman maupun secara ekonomi”. Menabung adalah salah satu langkah dari persiapan tersebut (Antonio, 2000; 205-206). Alokasi anggaran konsumsi seorang muslim akan mempengaruhi keputusannya dalam menabung dan investasi. Seseorang biasanya akan menabung sebagian dari pendapatnya dengan beagam motif, antara lain : (1) untuk berjagajaga terhadap ketidakpastian masa depan, (2) untuk persiapan pembelian suatu barang konsumsi dimasa depan, serta (3) untuk mengakumulasikan kekayaannya. Demikian pula, seseorang akan mengalokasikan sebagian dari anggarannya untuk investasi, yaitu menanamkannya pada sektor produktif. Dengan investasi maka seseorang rela mengorbankan konsumsinya sekarang dengan harapan akan mendapat hasil (return) dimasa datang. Dengan adanya return dimasa datang
Universitas Sumatera Utara
berarti akan terjadi akumulasi kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup. Bukti lain bahwa Islam sangat mendorong kegiatan menabung dan investasi adalah bahwa dalam berbagai aturan Islam dalam mengelola harta membawa implikasi positif pada tabungan dan investasi ini, misalnya larangan terhadap penumpukan harta, pengenaan zakat pada harta yang menganggur melebihi batas waktu tertentu dan penghapusan bunga. Hal terakhir ini kemudian dijadikan alternatif sistem bagi hasil yang diperoleh melalui kerjasama investasi mudharabah dan musyarakah. (Fadhila, 2004).
2.2 Prinsip Operasional Perbankan Syariah Bank
Syariah
sebagai
lembaga
perantara
keuangan
juga
harus
melaksanakan mekanisme penghimpunan dan penyaluran dana secara seimbang, yaitu harus sesuai dengan ketentuan perbankan yang berlaku. Untuk itulah harus ada kejelasan sistem operasional perbankan. Secara umum, konsep sistem operasional bank syariah adalah: 1. Bank syariah sebagai penghimpun dana dari pihak yang surplus dana, yaitu pihak yang mempercayakan uangnya kepada bank untuk disimpan dan dikelola sesuai hukum syariah. Dana yang dimaksud adalah dana dari pihak pertama dan pemegang saham), dana pihak kedua (pinjaman dari bank dan bukan bisnis atau pinjaman dari Bank Indonesia), dan dana pihak ketiga (nasabah).
Universitas Sumatera Utara
2. Bank syariah sebagai penyalur dana bagi pihak yang membutuhkan, baik berupa kredit atau pembiayaan. Secara umum, pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah maupun tiga kerangka (aqad), yaitu pembiayaan yang beraqad syarikah (kerjasama atau kongsi) dan pembiayaan yang beraqad hasan (kebijakan). (Muhammad, 2000 dalam Ghafur, 2003; 13).
2.3 Pengertian Promosi Promosi adalah suatu perusahaan dalam kegiatan pemasarannya mengusahakan agar produknya dapat diperoleh dengan mudah oleh konsumen tetapi juga perusahaan perlu merancang dan menyebarkan informasi tentang kehadiran produk dan terjadinya produk, ciri-cirinya, kondisinya, serta manfaat yang dapat dinikmati oleh konsumen. Sebagai dasar pengembangan kegiatan promosi adalah komunikasi pemasaran. Istilah promosi di komunikasi pemasarana sering dianggap sama padahal mempunyai pengertian yang berbeda. Dimana perbedaan itu terletak pada arah penyampanan informasi. Menurut Basu Swastha DH1 “Kegiatan pemasaran dapat didefinisikan sebagai kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh pembeli dan penjual, merupakan kegiatan yang membantu dalam pengambilan keputusan di bidang pemasaran serta mengarahkan agar lebih memuaskan dengan menyadarkan semua pihak untuk berbuat lebih baik” Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa komunikasi pemasaran merupakan pertukaran informasi dua arah antara pihak-pihak / 1
Basu Swastha, Pengantar Bisnis Modern Edisi Ketiga, Cetakan ketujuh, Liberty, Yogyakarta, 1999 hal 179
Universitas Sumatera Utara
lembaga (produsen, distributor dan pembeli) yang terbuat dalam pemasaran secara langsung, sedangkan promosi dipandang menurut Basu Swasta DH4 adalah : “Arus infromasi satu arah yang dibatu untuk mengarahkan seseorang atau organisasi kepada tindakan yang menciptakan pertukaran dalam pemasaran”. Berikut menurut pendapat Basu Swasta, DH dan Irawan L. Bell, “Promosi adalah semua jenis kegiatan pemasaran yang ditujukan untuk mendorong permintaan”. Kedua pengertian tentang promosi tadi pada dasarnya sama saja, pengertian pertama menitikberatkan pada penciptaan pertukaran sedangkan pertukaran kedua menitikberatkan kepada pendorongan permintaan dan penawaran. Karena kegiatan promosi sangat penting dilakukan dalam setiap perusahaan, sebab pada hakekatnya, bahwa betapa pun besarnya manfaat produk bagi suatu konsumen namun produk tersebut tidak akan mencari sendiri pembelinya. Oleh karen aitu produsen harus menciptakan sendiri permintaan terhadap produknya. Setelah tercipta permintaan maka permintaan itu perlu dipelihara dan dikembangkan secara teratur dan terencana. Untuk dapat menciptakaan permintaan, terlebih dahulu perlu diberitahukan kepada konsumen bahwa produk tersebut telah beredar di pasar dan konsumen perlu diyakinkan atau dapat memenuhhi kebutuhan mereka sehingga mereka disarankan untuk memilihnya. Dalam dunia perbankan jasa-jasa yang dipasarkan cukup banyak dan sejalan dengan perkembangan kebutuhan dunia usaha serta aktivitas masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Belum ada defenisi secara umum tentang jasa yang digunakan oleh para pemasar. Kenyataan memangsulit di satukan tentang batas-batas yang jelas antara organisasi atau unit usaha yang menjadi bagian dari pengaturan dengan organisasi yang menawarkan jasa. Menurut Philip Khotler suatu jasa adalah setiap kegiatan atau manfaat yang dasarnya tanpa wujud atau tidak menyebabkan pemilikan sesuatu juga dapat berupa dalam bentuk berwujud atau tidak. Jasa itu tidak berwujud, karena ia dapat berupa pelayanan, rasa senang, fasilitas tidak berwujud dan sebagainya. Jasa yang diperjual belikan di pasar disebut pertukaran (Exchange service). Sedangkan menurut Murti Sumarni Jasa adalah : setiap kegiatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak lainnya yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan seseorang memiliki sesuatu. Suatu unsur yang penting dalam defenisi tersebut adalah jasa merupakan suatu produk yang tidak kentara jadi pertukaran uang dengan sesuatu yang tidak kentara berarti telah membeli jasa. 2.4 Bagi Hasil/ Profit Loss Sharing Bagi hasil atau profit loss sharing adalah prinsip pembagian laba yang diterapkan dalam kemitraan kerja, dimana posisi bagi hasil ditentukan pada saat akad kerjasama. Jika usaha mendapatkan keuntungan, porsi bagi hasil adalah sesuai dengan kesepakatan, namun jika terjadi kerugian maka prosi bagi hasil disesuaikan dengan kontribusi model masing-masing pihak. Dasar yang digunakan dalam perhitungan bagi hasil adalah berupa laba bersih usaha, setelah dikurangi dengan biaya operasional. (Fadhila, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Pengertian lain menyatakan bahwa bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan nasabah, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip bagi hasil ini adalah mudharabah dan musyarakah, lebih jauh prinsip mudharabah dapat dipergunakan sebagai dasar baik untuk produk pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan, sedangkan musyawarah lebih banyak untuk pembiayaan. (Muhammad, 2000). Besarnya bagi hasil (Profil – Sharing) ini ditentukan di awal perjanjian. Berbeda dengan bunga, prosentase bagi hasil ini belum tentu sama tiap bulannya. Sedangkan nominal yang diterima tentunya menyesuaikan dengan besarnya keuntungan yang didapat oleh peminjam itu sendiri. Konsekuensi dari konsep ini adalah adanya untung dan rugi. Jika hasili usaha peminjam menunjukkan keuntungan yang besar, maka bagi hasilnya pun akan besar dan sebaliknya jjika keuntungan kecil atau bahkan merugi maka pihak peminjam harus ikut pula menanggung kerugian tersebut. Berdasarkan hasil penelitian (center for Business and Islamic Economic Studies, 1999 dalam Muhammad, 2002 : 125) menunjukkan bahwa 17,7% nasabah BPR Syari’ah mengatakan bahwa bagi hasil bank Syari’ah adalah tidak pasti dan bagi hasil yang diberikan bisa lebih rendah bila dibanding dengan sistem bunga sehingga berpengaruh pada volume simpanan mudharabah. Tidak diketahuinya berapa tingkat keuntungan yang akan diperoleh oleh bank syari’ah, akan menimbulkan pertanyaan apakah perilaku para nasabah di bank syariah itu juga mengacu pada perilaku ekonomis secara umumnya, yaitu
Universitas Sumatera Utara
lebih mengutamakan keuntungan. Jika perilakku tersebut mengacu pada keuntungan, dengan adanya tingkat keuntungan yang sama antara bank syariah dan bank konvensional maka sikap nasabah akan dihadapkan pada dua pilihan, apakah nasabah memilih menabung di bank syariah atau bank konvensional. Dalam situasi dunia perbankan yang masih didominasi oleh sistem perbankan konvensional, maka ktingkat bunga masih menjadi rujukan (bench – mark) bagi nasabah bank. Tetapi tidak bagi sebagian orang yang tidak mau berhubungan dengan bank konvensional, karena adanya riba. Dalam kondisi perekonomian yang mengalami krisis, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan sektor riil yang kecil, berarti bagi hasil yang diperoleh bank syariah pun akan kecil, jauh lebih kecil dari tingkat bunga. Akibatnya menabung di bank syariah dianggap tidak menarik bagi masyarakat yang masih memiliki sikap bermotif keuntungan ekonomi (Karim, 2000 dalam Khoirunnisa, 2002:129). Pada dasarnya, bank syariah selalu bersaing dengan perbankan konvensional. Jika bank syariah tidak mampu memberikan tingkat keuntungan yang memadai, maka berdasarkan perhitungan opportunity cost, orang tidak bersedia menaruhkan uangnya di bank syariah. Hal ini bergantung pada tingkat suku bunga (Muhammad, 2002:).
2.5 Konsep Dasar kegiatan Bank Syariah Dalam operasionalnya, bank Islam selalu berdasarkan prinsip jual beli dan bagi hasil sesuai dengan syariah Islam. Adapun yang menjadi konsep dasar kegiatan bank syariah yaitu :
Universitas Sumatera Utara
2.5.1 Al – Wadiah Yaitu perjanjian antara pemilik barang (uang) dengan pihak bank (penyimpan) dimana pihak bank bersedia untuk menyimpan dan menjaga keselamatan barang dan atau uang yang dititipkan kepadanya. 2.5.2 Al-Mudharabah Yaitu perjanjian antara pemilik modal (uang atau barang) dalam hal ini adalah pihak bank dengan pengusaha. Dimana pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek atau usaha yang akan dijalankan atau dikelola pengusaha dengan pembagian hasil sesuai 2.5.3
Al-Ta’jiri Yaitu perjanjian antara pemilik barang (pihak bank) dengan penyewa yang membolehkan penyewa memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. Dan setelah masa sewa berakhir maka pemilik barang menjual barang tersebut kepada penyewa dengan harga yang telah disepakati.
2.5.4 Pembiayaan Al-Mudharabah Yaitu suatu perjnajian pembiayaan antara bank dengan nasabah, dimana bank menyediakan 100% pembiayaan bagi usaha dari nasabah. Nasabah mengelola usaha itu tanpa campur tangan dari bank dan bank mempunyai hak untuk mengajukan usul dan pengawasan. 2.5.5
Pembiayaan Musyarakah Yaitu suatu perjanjian dimana bank menyediakan sebagian dari pembiayaan dari pembiayaan bagi usaha dan sebagian lagi disediakan oleh
Universitas Sumatera Utara
mitra usaha. Dalam hal ini bank dapat ikut serta dalam manajemen usaha tersebut. 2.5.6
Pembiayaan Al-Murabahah Yaitu suatu perjanjian pembiayaan dimana bank membiayai pembelian barang yang diperlukan nasabah dengan sistem pembayaran ditangguhkan.
2.6. Bank Perkreditan Rakya Syariah 2.6.1. Pengertian Bank
Perkredita
Rakyat
(BPR)
menurut
Undang-Undang
(UU)
Perbangkan No. 7 tahun 1992, adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dlam bentuk deposito derjangka tabungan dan/ atau bentuk lainya yang dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Sedangkan pada UU Perbankan No. 10 tahun 1998, disebutkan bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip-prinsip syariah. 2.6.2. Sejarah Bordirnya BPR Syariah Status hukum BPR diakui kali dalma Pakto tanggal 27 Oktober 1988, sebagian dari dalam Paket Kebijakan Keuangan, Moneter, dan Perbankan. Secara historis, BPR adalah penjelmaan dari banyak lembaga keuangan, seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai Lumbung Pilih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD) dan atau lembaga lainya yang dapat dipersembahkan dengan itu4. Sejak dikeluarkannya UU No. 7 tahun
Universitas Sumatera Utara
1992 tentang Pokok Perbankan, keberadaan lembaga-lembaga keuangan tersebut diperjelas melalui ijin dari Menteri Keuangan. Berdirinya BPR syariah tidak bisa dilepaskan dari pengaruh berdirinya lmbaga-lembaga keuangan sebagaimana disebut di atas. Lebih jelasnya keberadaan lembaga keuangan tersebut dipertegas munculnya pemikiran untuk mendirikan bank sariah yang dimaksud adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang berdiri tahun 1992. Namun jangkauan BMI terbatas pada wilayah-wilayah tertentu, misalnya di kabupaten, kecamatan dan desa. Oleh karenanya peran BPR syariah diperlukan untuk menangani masalah keuangan masyarakat di wilayahwilayah tersebut. Sebagai langkah awal, ditetapkan tiga lokasi berdirinya BPR syariah. Ketiga BPR syariah tersebut adalah : 1) PT. BPR Dana Mardhatillah, kec. Margahayu, Bandung. 2) PT. BPR Berkah Amal Sejahtera, kec. Padalarang, Bandung. 3) PT. BPR Amanah Rabbaniyah, kec. Banjaran, Bandung. Tanggal 8 Oktober 1990, ketiga BPR syariah tersebut telah mendapatkan ijin, prinsip dari Menteri Keuangan RI. Selanjutnya, dengan technica assistance dari Bank Bukopin cabang Bandung yang memperlancar penyelenggaraan pelatihan dan pertemuan para perbankan, pada tanggal 25 Juli 1991, BPR Dana Mardhatillah, BPR Berkah Amal Sejahtera, dan BPR Amanah Rabbaniyah terebut masing-masing mendapatkan ijin usaha dari Menteri Keuangan RI. Untuk mempercepat proses berdirinya BPR-BPR syariah yang lain dibentukah lembaga-lembaga penunjang, antara lain5 : 1) Institute For Syariah Economic Development (ISED).
Universitas Sumatera Utara
ISED bertugas melaksanakan program pendidikan/ pemberian bantuan teknis pendirian BPR syariah di Indonesia, khususnya di daerah-daerah berpotensi. Hasil yang telah dicapai ISED, antara lain : -
BPR Harcukat di Provinsi Aceh
-
BPR Amanah Umah, kec Leuweliang, Bogor
-
BPR Pembangunan Cikajang Raya, kec Cikajang, Garut
-
BPR Bina Amwalul Hasanah, Kec Sawang, Bogor
2) Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Bank Syariah (YPPBS). YPPBS
membantu perkembagan BPR syariah di Indonesia dengan melakukan kegiatan-kegiatan : -
Pendidikan, baik tingkat dasar untuk sarjana baru maupun tingkat menengah untuk para prakis yang berpengalaman minimal 2 tahun di perbankan.
-
Membantu proses pendirian dan memberikan techinacal asistance.
2.6.3. Tujuan BPR Syariah Adapun tujuan yang dikehendaki dengan berdirinya BPR siaryah adalah6 : 1) Meningkat kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan. 2) Menambah lapangan kerje terutama di tingka kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi. 3) Meminta semangat ukbuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka menigkatkan pendapat per kapita menuju kualitas hidup yang memadai. Untuk mencapai tujuan operasional BPR syariah tersebut diperlukan strategi operasional sebagai berikut7 :
Universitas Sumatera Utara
1) BPR syariah tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan, melainkan bersifat aktif dengan melaukan sosialisasi/penelitian kepada usahausaha yang berakal kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga memiliki prospek bisnis yang baik. 2) BPR syariah memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil. 3) BPR syariah mengkaji Bangsa Pasar, Tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnya produk yang akan diberi pembiayaan. 2.6.4. Usaha-Usaha BPR Syaryah Pada dasarnya, sebagai lembaga keuangan syariah BPR syariah dapat memberikan jasa-jasa keuangan yang serupa dengan bank-bank umum syariah. Dalam usaha pengerahan dana masyarakat, BPR syariah dapat memberikan jasajasa keuagan dalam berbagai bentu, antara lain8 : 1) Simpanan Amanah Disebut dengan simpanan amanah, sebab dalam hak bank penerima titipan amanah (trustele accound) dari naskah. Disebut dengan titipan amanah karena bentuk perjanjian adalah wadiah, yaitu titipan yang tidak menanggung resiko. Namun demikian, bank akan memberikan bonus dari bagi hasil keuntungan yang diperoleh bank melalui pembiayaan kepada nasabahnya. 2) Tabungan Wadiah Dalam tabungan ini bank menerima tabungan saving accoumt) dari nasabah dalam bentuk tabungan bebas. Sedangkan akad yang diikat oleh bank dengan nasabah dalam bentuk Waidah. Titipan nasabah tersebut tidak menanggung risiko kerugian, dan bank memberikan bonus kepada nasabah. Bonus itu
Universitas Sumatera Utara
diperoleh bank dari bagi hasil dan
kegiatan permbiayaran kredit kepada
nasabah lainya. Bobunus tabungan hadiah itu dapat diperhitungkan secara harian dan dibayarkan kepada nasabah pada setiap bulanya. 3) Deposito wadiah Mudharabah Dalam produk ini bank menerima deposito berjangka (time and investimant account) dari nasabahnya. Akal yang dilakukan dapat berbentuk wadi’ah dan dapat pula berbentuk mudharabah. Lazimnya jangka waktu deposito itu adalah 1, 2, 6, 12 bulan dan seterusnya sebagai bentuk penyertaan modal (sementara). Maka nasabah/deposan mendapat bonus keuntungan dari bagi hasil yang diperoleh bank dari pembiayaan yang dilakukan kepada nasabahnasabah lainya. Fasilitas penyerahan dana tersebut, juga dapat dipergunakan untuk menitip sedekah, infak, zakat, tabungan haji, tabungan kurba, tabungan aqiqah, tabungan keperluan pendidikan, tabungan pemilikan kendaraan, tabungan pemilikan rumah, bahkan bisa digunakan untuk sarana penitipan dana-dana masjid, dana pesantren, yayasan dan lain sebagainya. Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksudkan di atas, BPR, syariah dapat pula bertindak sebagai lembaga baitul maal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakatm infaq, shadaqah, maqaf, hibah, atau dana sosial lainya dan menyalurkan kepada yang berhak dalam bentuk sentunan dan atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan). Sementara, dalam meyalurkan dana masyrakat BPR syariah dapat memberikan jasa-jasa keuangan seperti :
Universitas Sumatera Utara
1) Pembiayaan Mudharabah Dalam Pembiayaan mudharabah bank mengadakan akad dengan nasabah (pengusaha). Bank menyediakan pembiayaran modal usaha bagi proyek yang dikelola oleh pengusaha. Keuntungan yang diperoleh akan dibagi (perjanjian bagi hasil) sesuai dengan kesepakatan yang telah diikat oleh banyak dan pengusaha tersebut. 2) Pembiayaan Musyarakah Dalam pembiayaan masyarakat ini bank dengan pengusaha mengadakan perjanjian. Bank dan pengusaha berjanji bersama-sama membiayai suatu proyek yang juga di kelola secara bersama-sama. Keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut akan dibagi sesuai dengan pernyataan masing-masing. 3) Pembiayaan Bai’Bithaman Ajil Dalam bentuk pembiayaan ini, bank mengikat perjanjian dengan nasabah. Bank menyediakan dana untuk pembelian sesuatu batang/aset yang dibutuhkan oleh nasabah guna mendukung usaha atau proyek yang sedang diusahakan. Namun begitu, sesuai UU Perbankan No. 10 tahun 1998, BPR syariah hanya dapat melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut : 1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainya yang dipersamakan dengan itu. 2) Memberikan kredit. 3) Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
4) Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangk, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain. Pmbatasan usaha BPR syaria secara lebih tegas dijelaskan dalam pasal 27 SK Direktur BI No. 32/36/KEP/DIR/1999. Menurut surat keputusan ini, kegiatan operasional BPR syariah adalah : 1) Menghimpun dana dari masiarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi : a. Tabungan dana dari masyarakat prinsip wadiah atau Mudharabah. b. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah. c. Bentuk lain yang menggunakan prinsip wadiah atau mudharabah. 2) Melakukan penyaluran dana melaui : a. Transaksi jual-beli berdasarkan prinsip : a) Murababah b) Istisbna c) Ijarah d) Salam e) Jual-beli lainya. b. Pembelian bagi hasil berdasarkan prinsip : a) Mudharabah b) Musyarakah c) Bagi hasil lainya. c. Pembiayaan lain berdasarkan prinsip : a) Rabn b) Qaradb
Universitas Sumatera Utara
3) Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan BPR syariah sepanjang disetujui oleh Dewan Syariah Nasional. Dibanding bank umum syariah, kegiatan operasional yang dapat dilakukan BPR syariah lebih terbatas. Sebagaimana diatur
dalam SK Direktur BI No.
32/35/KEP/DIR/1999, BPR syariah tidak di izinkan untuk menerima dana simpanan dalam bentuk giro sekalipun hal itu dilakukan dalam bentuk wadiah9. Begitu BPR syariah dilarang untuk : a. Melakkan kegiatan usaha dalam valuta asing. b. Melakukan penyertaan modal. c. Melakukan usaha peransuransian . 2.6.5. Ketentuan Dalam Pendirian BPR Syariah A. Syariah Pendirian Dalam mendirikan BPR syariah harus mengacu pada bentuk hukum BPR syariah yang telah ditentukan dalam UU Perbankan. Sebagaimana dalam UU Perbankan No. 10 tahun 199 pasal 2, bentuk hukum suatu BPR syariah dapat berupa : 1) Perseroan Terbatas 2) Koperasi 3) Perusahaan Daerah Adapun syarat-syarat untuk pendirian BPR syariah adalah sebagai berikut10. : 1. BPR syariah hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip-prinsip syariah dengan izin Direksi Bank Indonesia. 2. BPR Syariah hanya didirikan dan dimiliki oleh :
Universitas Sumatera Utara
a. Warga negara Indonesia b. Badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya oleh warga negara Indonesia. c. Pemerintah Daerah d. Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c. Permberian izin pendirian BPR syariah, sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan dengan dua tahap : 1. Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan unutk melakukan persiapan pendirian BPR syariah. 2. Izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR syariah setelah persiapan persetujuan prinsip dilakukan. Sk DIR BI No. 32/36/1999 tidak memberikan kemungkinan bagi pihak asing untuk mendirikan BPR syariah. Menurut ketentuan pasal 15 SK DIR BI tersebut, yand dapat menjadi pemilik BPR syariah adalah pihak-pihak yang : 1. Tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang perbankan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 2. Menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas yang baik, antara lain : a. Memiliki akhlak dan moral yang baik. b. Mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Bersedia mengembangkan BPR syariah yang sehat. Selain dari persyaratan di atas, khusu untuk dapat menjadi anggota Dewan Komisaris BPR syariah ditentukan pula bahwa yang bersangkutan wajib memiliki
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan dan atau pengalaman
di bidang perbankan. Ketentuan ini tidak
mengharuskan yang bersangkutan memiliki pengetahuan. Ketentuan ini tidak mengharuskan yang berangkutan memiliki pengetahuan dan atau pengalaman di perbankan
syariah.
Sedangkan
Anggota
Direksi
sekurang-kurangnya
berpendidikan formal setingkat Diploma III atau Sarjana Muda. Menyangkut komposisi Angta Direks, sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari anggota Direksi BPR syariah wajib berpengalaman operasional di bidang perbankan syariah sekurang-kurangnya 2 (dua) tahuh sebagai pejabat di bidang pendanaan dan atau pembiayaan. Berbeda dengan persyaratan aggota Dewan Komisaris dalam ha peryaratan bagi Anggota Direksi ditegaskan bahwa yang berangkutan harus memiliki pengalamannya itu sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun dan harus di
bidang
pendanaan dan atau pembiayaan. Bagi Anggota Direksi yang belum berpengalaman operasional di bidang perbankan syariah wajib mengikuti pelatihan perbankan syariah. Direksi BPR syariah dilarang untuk merangkap jabatan sebagai Anggota Direksi atau pejabat eksekutif pada lembaga perbankan, perusahaan atau lembaga lain. Hal ini untuk menghindari agar jangan sampai tugas Anggota Dewan Komisaris BPR syariah yang bersangkutan, karena terlalu banyakanya melakukan perangkapan jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris di tempat lain. Anggota Dewan Komisaris BPR syariah tidak dilarang merangkap jabatan lain, namun, membatasi perangkap itu sebagaimana ditentukan dalam pasal 22 ayat (3), yaitu hanya dapat merangkap jabatan sebagai komisaris sebanyakbanyaknya pada 3 (tiga) BPR syariah. Anggota Dewan Komisaris BPR syariah
Universitas Sumatera Utara
dilarang menjabat sebagai anggota Direksi Bank Umum. Anggota Dewan Komisaris BPR syariah tidak dilarang untuk menjadi Anggota Direksi BPR syariah lain. Dalam hal terjadi penggantian anggota Dewan komisaris dan atau Direksi BPR syariah, calon pengganti jabatan tersebu wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya. Demikian juga kalau ada pengganti atau penambahan pemilik BPR syariah wajib terlebih dahulu mampu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. B. Modal Modal yang harus di setor untuk mendirikan BPR syariah di tetapkan sekurang-kurangnya sebesar : 1) Rp 2.000,000,000 (dua miliar rupiah) untuk BPR syariah yang didirikan di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya dan Kabupaten/Kota Madya Tanggerang, Bogor, Bekasi dan Karawang. 2) Rp 1.000,000,000 (satu miliar rupiah) untuk BPR syariah yang didirikan di wilayah Ibu Kota propinsi di luar wilayah seperti tersebut pada butir a di atas. 3) Rp 500,000,000 (lima ratus juta rupiah) untuk BPR syariah yang didirikan di luar wilayah yand disebut pada butir a dan b di atas. Modal yang disetor tersebut, yang digunakan unutk modal BPR syariah, wajib sekurang-kurangnya berjumlah 50% (lima puluh persen). Dengan kata lain, biasanya investasi dalam rangka pendirian BPR syariah itu tidak boleh melebihi 50% dari modal yang disetor oleh pendirian. Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan dilarang :
Universitas Sumatera Utara
1) Berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan atau pihak lain di Indonesia. 2) Berasal dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah, termasuk kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum. 2.6.6. Organisasi/Manajemen BPRS A. Kepengurusan Menurut ketentua pasal 19 SK DIRI BI 32/36/1999, keperguruan BPR syariah terdiri dari Dewan Komisaris dan Direksi di samping kepengurusan, suatu BPR syariah wajib pula memiliki Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi mengawasi kegiatan BPR syariah. Jumlah anggota Dewan Komisaris BPR syariah harus sekurang-kurangnya 1 (satu) orang. Sedangkan direksi BPR syrat sekurangkurannya harus berjumlah 2 (dua) orang. Anggota direksi dilarang mempunyai hubungan sebagai keluarga dengan : Aggota Direksi lainya dalam hubungan sebagai orang tua, termasuk mertua, anak termasuk menantu, saudara kandung termasuk iparm/istri. Dewan Komisaris dalam hubungan sebagai orang tua, anak dan suami/istri Untuk mencaapi konsistensi dan kelangsungan usaha BPR syariah, ditentukan bahwa : 1. BPR syariah dilarang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. BPR syariah tidak diperkenalkan untuk mengubah kegiatan usaha menjadi BPR konvensional. 3. BPR syariah yang semula memilii izin usaha sebagai BPR konvensional dan telah memperoleh izin perubahan kegiatan usaha menjadi berdasarkan prinsip
Universitas Sumatera Utara
syariah,
tdak
diperkenankan
untuk
mengubah
status
menjadi
BPR
konvensional. BPR syariah yang telah mendapatkan izin usaha dari Direksi Bank Indonesia wajib melakukan kegiatan usaha selambat-lambatnya 60 (enampuluh) hari perhitungan sejak tanggal izin usaha dikeluarkan. Sedangkan laporan pelaksana kegiatan usaha wajib disampaikan oleh Direksi BPR syariah kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal dimulainya kegiatan operasional. Apabila dalam waktu melakukan kegiatan Direksi Bank Indonesia mebatalkan, izin usaha yang telah dikeluarkan. B. Pembukaan Kantor Cabang BPR syariah dapat membuka kantor cabang hanya dalam wilayah provinsi yang dengan kantor pusatnya. Pembukaan kantor cabang BPR syariah dapat dilakukan hanya dengan ijin Direksi Bank Indonesia. Rencana pembukaan kantor cabang wajib dicantumkan dalam rencaa kerja tahunan BPR syariah. BPR syariah yang akan membuka kantor cabang wajib memenuhi persyaratan tingkat kesehatan selama 12 (duabelas) bulan terakhir tergolong sehat. Dan dalam pembukaan kantor cabang BPR syariah wajib menambah modal disetor sekurang-kurangya sebesar jumlah untuk mendirikan BPR syariah untuk setiap kantor.
2.6.7. Kendala Perkembangan BPR Syariah Dalam prekteknya BPR syariah mengalami kendala, kendala tersebut di antaranya adalah :
Universitas Sumatera Utara
1) Kiprah BPR syariah kurang dikena masyrakat sebagai BPR yang berprinsipkan syariah, bahkan beberapa pihak menganggap BPR syariah sama dengan BPR konvensional. Oleh karena itu, BPR syariah perlu menegaskan dan meneguhkan indentitasnya sebgai BPR yang menggunakan prinsip-prinsip syariah. 2) Upaya untuk meningkatkan profesional kadang terhalang rendahnya sumber daya yang dimilii oleh BPR syariah sehingga proses BPR syariah dalam melakukan sktivitasnya cenderung lambat dan respon terhadap permasalahan ekonomi rendah. Maka upaya untuk meningkatakan SDM perlu diarahkan di semua posisi, baik di posisi pemegang kebijakan ataupun berposisi di lapangan. 3) Kurang adanya koordinasu di antara BPR syariah, demikian juga dengan bank syariah dan BMT, sebagai lembaga keuangan yang mempunyai tujuan syair Islam tentunya langkah koordinasi dalam rangka mendapatkan strategi yang terpadu dapat dilakukan guna mengangkat ekonomi masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan franework yang bisa dijadikan acuan di antara lembaga keuangan di tingkat kabupaten, kecamatan, desa ataupun pasar dalam melangsungkan aktivitasnya tanpa mengeyampingkan keberadaan lembaga keuangan yang lain. 4) Sebagai lembaga keuangan yang memiliki konsep Islam tentunya juga bertangung jawab terhadap nilai-nilai keislaman masyarakat yang ada disekitar BPR syariah tersebut. Aktivitas BPR syariah di bidang keuangan sering kali tidak “menyisahkan” waktu untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan syair Islam, artinya aktivitas keuangan BRS syariah
Universitas Sumatera Utara
termasuk syair Islam di bidang keuangan, tetapi aktivitas keislaman yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat secara umum perlu juga diperhatikan. BPR syariah perlu memprakarsai terbentuknya majelis-majelis taklim dan semacamnya. 5) Nama Bank Perkreditan Rakyat Syariah, masih menyisahkan kesan sistem BPR syariah menggunakan sistem BPRS konvensional. Kata “perkreditan” tidak ada dalam terminologi bank dan lembaga keuangan syariah. Oleh karenanya, baik kiranya nama BPR syariah diganti. 2.6.8. Strategi Pengembangan BPR Syariah Adapun strategi pengembangan BPR syariah yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut : 1) Langkah-langkah untuk mensosialisasikan keberadaan BPR syariah, bukan saja produknya tetapi sistem yang digunakan perlu diperhatikan. Upaya ini dapat dilakukan melalui BPR syariah sendiri dengan menggunakan strategi pemasaran yang halal, seperti : melalui informasi mengenai BPR syariah di media-media masa. Hal lain yang ditempuh adalah perlunya kerjasama BPR syariah dengan lembaga pendidikan atau non pendidikan yang mempunyai relevasi dengan visi dan misi BPR syariah. 2) Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas SDM dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan mengenai lembaga keuangan syariah serta lingkungan yang mempengaruhinya. Untuk itu diperlukan kerjasama di antara BPR syariah atau kerjasama di antara BPR syariah atau kerjasama BPR syariah dengan lembaga pendidikan unutk membuka pusat pendidikan lembaga keuangan syariah atau kursus pendek (shortcourse) lembaga keuangan
Universitas Sumatera Utara
syariah. Pusat pendidikan dan shortcourse tersebut memiiki tujuan unutk menyediakan SDM yang siap kerja di lembaga keuangan syariah, khusus BPR syariah. 3) Melalui pemetaan potensi dan optimasi ekonomi daerah akan di ketahui berapa besar kemampuan BPR syariah dan lembaga keuangan syariah yang lain dalam mengelola sumber-sumber ekonomi yang ada. Dengan cara itu pula dapat dilihat kesinambungan kerja di antara BPR syariah, demikian juga kesinambungan kerja BPR syariah dengan bank syariah dan BM T. sehingga hal ini akan meningkatkan koordinasi di antara lembaga keuangan syariah. 4) BPR syariah bertanggung jawab terhadap masalah ke Islaman masyarakat dimana BPR syariah tersebut berada. Maka perlu dilakukan kegiatan rutin keagamaan dengan tujuan meningkatkan kesadaran akan peran Islam dalam bidang ekonomi. Demikian juga dengan pola ini dapat memnbantu BPR syariah
dalam
mengetahui
gejala-gejala
ekonomi-sosial
yang
ada
dimasyarakat. Hal ini akan menjadika kebijaka BPR syariah di bidang keuangan lebih sesuai dengan kondisi masyarakat (marketable).
Universitas Sumatera Utara