41
BAB II URAIAN TEORITIS
II.1 Teori Kultivasi Riset pertama yang dilakukan oleh Gerbner pada tahun 1960 bersama koleganya di Annenberg School for Communication bertujuan untuk mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan dan dipersepsikan oleh penonton televisi. Tradisi pengaruh media dalam jangka waktu panjang dan efek yang tidak langsung menjadi kajiannya dalam penelitian ini. Argumentasi awalnya adalah, “televisi telah menjadi anggota keluarga yang penting, anggota yang bercerita paling banyak dan paling sering” (dalam Severin dan Tankard, 2001:268). Dalam riset Proyek Indikator Budaya terdapat lima asumsi yang dikaji Gerbner dan koleganya yakni: 1. Televisi secara esensial dan fundamental berbeda dari bentuk media massa lainnya. Televisi terdapat hampir di setiap rumah tangga. Televisi tidak menuntut melek huruf seperti pada media suratkabar, majalah dan buku. Televisi bebas biaya, sekaligus menarik karena kombinasi gambar dan suara. 2. Medium televisi menjadi “the central cultural arm” masyarakat Amerika, karena menjadi sumber sajian hiburan dan informasi. Televisi telah menjadi anggota keluarga yang penting, yang paling sering dan paling banyak bercerita. 3. Persepsi seseorang akibat televisi memunculkan sikap dan opini yang spesifik tentang fakta kehidupan. Karena kebanyakan stasiun televisi mempunyai target
42
khalayak sama, dan bergantung pada bentuk pengulangan program acara dan cerita (drama). 4. Fungsi utama televisi adalah untuk medium sosialisasi dan enkulturasi melalui isi tayangannya (berita, drama, iklan) sehingga pemahaman akan televisi bisa menjadi sebuah pandangan ritual (ritual viewer/berbagi pengalaman) daripada hanya sebagai medium transmisi (transmissional view). 5. Observasi, pengukuran, dan kontribusi televisi kepada budaya relatif kecil, namun demikian dampaknya signifikan. Menurut teori ini televisi menjadi alat media utama dimana audience belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya, sehingga persepsi apa yang terbangun di benak audience tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Hambatan sejarah yang turun temurun yaitu melek huruf dan mobilitas teratasi dengan keberadaan televisi. Televisi telah menjadi sumber umum utama dari sosialisasi dan informasi sehari-hari (kebanyakan dalam bentuk hiburan) dari populasi heterogen yang lainnya. Pola berulang dari pesan-pesan dan kesan yang diproduksi massal dari televisi membentuk arus utama dari lingkungan simbolis umum. Garbner menamakan proses ini sebagai cultivation (kultivasi), karena televisi dipercaya dapat berperan sebagai agen penghomogen dalam kebudayaan. Bagi Gerbner, dibandingkan media massa yang lain, televisi telah mendapatkan tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita, dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya (McQuail,1996:254).
43
Kultivasi secara makna kata berarti menanam, sehingga secara makna kata teori kultivasi dapat diartikan sebagai teori yang menfokuskan pada proses penanaman nilai. Teori Kultivasi (Cultivation Theory) merupakan salah satu teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan dampak media bagi khalayak. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukan oleh Gerbner lebih menekankan pada “dampak”. Asumsi mendasar dalam teori ini adalah terpaan media yang terus menerus akan memberikan gambaran dan pengaruh pada persepsi pemirsanya. Artinya, selama pemirsa melakukan kontak dengan televisi mereka akan belajar tentang dunia, mengubah persepsi mereka akan dunia, belajar bersikap dan nilai-nilai orang. Penelitian kultivasi menekankan bahwa media massa sebagai agen sosalisasi dan menyelidiki apakah penonton televisi itu lebih mempercayai apa yang disajikan televisi daripada apa yang mereka lihat sesungguhnya. Gerbner dan kawan-kawannya melihat bahwa film drama yang disajikan di televisi mempunyai sedikit pengaruh tetapi sangat penting di dalam mengubah sikap, kepercayaan, pandangan penonton yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Gerbner melakukan penelitian dampak televisi dengan menggunakan metode survey analisis, dimana populasi dan sampel adalah pria dan wanita yang dibedakan berdasarkan usia dewasa, anak-anak, dan remaja. Gerbner juga menggunakan data bahwa rata-rata orang menonton televisi di Amerika Serikat adalah 7 jam sehari. Data ini digunakan untuk membagi kelompok responden menjadi dua berdasar lama mereka menonton televisi setiap harinya, yaitu kelompok heavy viewers atau pecandu berat televisi dan light viewers atau penonton biasa.Pada
44
awalnya teori ini lebih menfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience pada tema-tema kekerasan, namun seiring dengan perkembangannya teori ini juga digunakan pada masalah-masalah sosial yang lain diluar tema kekerasan. Teori Kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa para pecandu berat televisi (heavy viewers) membangun keyakinan yang berlebihan bahwa “dunia itu menakutkan.” Hal tersebut disebabkan keyakinan mereka bahwa apa yang mereka lihat di televisi, yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan, adalah apa yang mereka yakini terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, Gerbner menyatakan bahwa televisi merupakan suatu kekuatan yang secara dominan dapat mempengaruhi masyarakat modern. Kekuatan tersebut berasal dari kemampuan televisi melalui berbagai simbol untuk memberikan berbagai gambaran yang terlihat nyata dan penting seperti sebuah kehidupan sehari-hari. Televisi mampu mempengaruhi penontonnya, sehingga apa yang ditampilkan di layar kaca dipandang sebagai sebuah kehidupan yang nyata, kehidupan sehari-hari. Realitas yang tampil di media dipandang sebagai sebuah realitas objektif. Menurut Wimmer dan Dominick terdapat dua cara dalam menganalisis kultivasi. Pertama, deskripsikan dunia media yang diperoleh dari analisis periodik atas isi media. Hasil dari analisis isi adalah mengidentifikasi pesan dari dunia televisi. Pesannya mewakili gambaran konsisten atas isu spesifik, kebijakan, dan topik yang sering terjadi dalam kehidupan nyata. Kedua, meneliti khalayak dengan menghubungkan pada terpaan televisi, membagi sampel ke dalam heavy viewers, moderate viewer dan light viewers serta membandingkan jawaban
45
mereka atas pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan realitas televisi dan realitas dunia nyata. Sebagai tambahan data yang dikoleksi sebagai variabel kontrol mencakup gender, usia, dan status sosial ekonomi. Menurut Gerbner televisi tidak hanya disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari-hari di sekitar kita, tetapi dunia itu sendiri. Gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan. Dengan kata lain, perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jika adegan kekerasan merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi seperti yang digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi ini merupakan yang sebenarnya. Kekerasan yang ditayangkan televisi dianggap sebagai kekerasan yang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang bisa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang ditayangkan televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini. Inilah yang kemudian dalam analisis kultivasi televisi memberikan homogenisasi budaya atau kultivasi terjadi dalam dua hal mainstreaming (pelaziman) dan resonance (resonansi). Mainstreaming atau pelaziman dalam analisis kultivasi terjadi pada pecandu berat televisi (menonton lebih dari 4 jam perhari) yang mana simbol-simbol televisi telah memonopoli dan mendominasi sumber informasi dan gagasan tentang dunia. Orang menginternalisasi realitas sosial dominannya lebih kepada aspek kultural, karena ini lebih dekat dengan kesehariannya. Sementara, resonance terjadi ketika pemirsa melihat sesuatu di televisi yang sama dengan realitas kehidupan mereka sendiri, realitas televisi tak berbeda dengan realitas di dunia
46
nyata. Artinya, mereka menganggap bahwa pemberitaan perang, kriminalitas, maupun konflik para pesohor di televisi adalah realitas dunia yang sesungguhnya. Peneliti ini percaya bahwa karena televisi adalah pengalaman bersama dari semua orang, dan mempunyai pengaruh memberikan jalan bersama dalam memandang dunia. Televisi adalah bagian yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari kita. Dramanya, iklannya, beritanya, dan acara lain membawa dunia yang relatif koheren dari kesan umum dan mengirimkan pesan ke setiap rumah. Televisi mengolah dari awal kelahiran predisposisi yang sama dan pilihan yang biasa diperoleh dari sumber primer lainnya. Menurut Baron dan Byrne terdapat tiga fase riset mengenai kultivasi. 1). Fase Bobo Doll, 2). Fase penelitian laboratorium 3). Fase riset lapangan (Baron dan Byrne dalam Rakhmat, 1999:234). Fase pertama dirintis oleh Bandura dan kawan-kawannya yang mencoba meneliti apakah anak-anak yang melihat orang dewas melakukan tindakan agresi juga akan melakukan agresi sebagaimana yang mereka lihat. Seratus anak-anak setingkat taman kanak-kanak dibagi ke dalam empat kelompok, dengan treatment yang berbeda. Satu kelompok pertama melihat seorang dewasa menyerang boneka balon “Bobo Doll” sambil berteriak garang, “Hantam! Sikat hidungnya!”. Kelompok kedua dari anak-anak tersebut melihat tindakan yang sama dalam film berwarna pada pesawat televisi. Kelompok ketiga juga melihat adegan film televisi, namun yang tidak menampilkan adegan kekerasan. kelompok terakhir, sama sekali tidak diberi akses menonton adegan kekerasan sama sekali. Setelah treatment tersebut setiap anak diberikan waktu untuk bermain selama 20 menit
47
sembari diamati melalui kaca yang tembus pandang. Di ruangan bermain disediakan “Bobo Doll” dan alat-alat permainan lainnya, dan terbukti kelompok pertama dan kedua melakukan tindakan agresif, sebanyak 80 – 90 persen dari jumlah kelompok tersebut. Fase kedua penelitian kultivasi yang mencoba mengganti obyek perilaku agresif secara lebih realitis, yaitu bukan lagi boneka plastik melainkan manusia. Adegan kekerasan diambilkan dari film-film yang dilihat para remaja yaitu film serial televisi The Untouchtables. Liebert dan Baron, yang melakukan penelitian generasi kedua ini di tahun 1972, membagi para remaja menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama melihat film The Untouchtables yang berisi beragam adegan kekerasan, dan yang kedua melihat adegan menarik dari televisi tapi tidak dibumbui adegan kekersan sama sekali. Kemudian mereka diberi kesempatan untuk menekan tombol merah yang dikatakan dapat menyakiti remaja yang berada di ruangan lain. ternyata kelompok pertama lebih banyak dan lebih lama menekan tombol merah daripada kelompok kedua. Fase ketiga dilakukan Layens dan kawan-kawan di Belgia tahun 1975. Perilaku agresif diamati pada situasi ilmiah bukan di laboratorium dan dengan jangka waktu yang lama. kegiatan obyek yang diteliti juga tidak diganggu sama sekali. Mereka dibagi kedalam dua kelompok, di mana kelompok pertama menonton lima film berisi adegan kekerasan selama seminggu dan kelompok kedua menonton lima film tanpa adegan kekerasan. Selama seminggu itu pula perilaku mereka diamati secara intens, dan ternyata kelompok pertama lebih sering melakukan adegan kekerasan (Rakhmat, 1999:243 – 245).
48
II.1.1 KONSEP KULTIVASI Kultivasi melihat kontribusi terhadap konsepsi realitas sosial bukan sebagai proses ’push’ monolitis satu arah, melainkan sebagai proses gravitasional dengan sudut pandang dan arah ’pull’ yang bergantung pada tempat kelompok pemirsa dan gaya hidup mereka sejajar dengan referensi garis gravitasi, mainstream dunia televisi. Jadi, kultivasi adalah proses interaksi di antara pesan, audiens, dan konteks, yang terus berlangsung, kontiniu, dan dinamis. II.1.2 METODE - METODE ANALISIS KULTIVASI Analisis
kultivasi
dimulai
dengan
analisis
sistem
pesan
untuk
mengidentifikasi pola-pola permanen, kontiniu, dan overarching dari konten televisi. Klasifikasi light viewer, medium viewer, dan heavy viewer diukur dengan jumlah waktu responden menonton televisi rata-rata setiap hari. Yang penting adalah adanya perbedaan tingkatan menonton, bukan pada jumlah akurat menonton. Bukti kultivasi yang bisa diobservasi tergolong sederhana karena light viewer sekalipun dapat menonton televisi beberapa jam sehari dan hidup dalam kultur umum yang sama dengan heavy viewer. Karena itu, penemuan pola konsisten berbeda yang kecil tapi pervasive di antara light dan heavy viewer sangat mungkin. (Bryant, J & D Zillmann : 2002). Pergeseran kecil tapi pervasif dalam perspektif kultivasi dapat mengubah kondisi kultural dan membalik keseimbangan pembuatan keputusan politis dan sosial. II.2 Terpaan Media Massa Media
massa
diyakini
memiliki
kekuatan
yang
dahsyat
untuk
mempengaruhi sikap dan perilaku manusia. Bahkan media massa mampu untuk
49
mengarahkan masyarakat seperti apa yang akan dibentuk di masa yang akan datang. Media mampu membimbing dan mempengaruhi kehidupan dimasa kini dan masa datang. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nikolaus Georg Edmund Jackob yang berjudul The Relationship between Perceived Media Dependency, Use of Alternative Information Sources, and General Trust in Mass Media dalam International Journal of Communication menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang cukup signifikan antara ketergantungan dengan media, penggunaan sumber informasi alternatif, dan kepercayaan terhadap media. Dalam artikel tersebut tertulis: “Respondents who actively search for non-media information feel less dependent on the media, as do respondents with low confidence in the media. Respondents feeling somewhat independent on the media express lower levels of trust, as do frequent users of non-media information sources. Media skeptics tend to search more actively for alternative sources, as do respondents feeling somewhat independent from the media.” Responden yang secara aktif mencari informasi dari sumber selain media hanya sedikit bergantung pada media seperti halnya mereka yang dengan keyakinan rendah pada media. Responden yang merasa tidak bergantung pada media menunjukkan tingkat kepercayaan yang rendah, sepertihalnya mereka yang rutin menggunakan sumber informasi non media. Mereka yang skeptis terhadap media lebih aktif mencari sumber informasi alternatif, sehingga responden merasa tidak bergantung pada media. Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bagaimana pengaruh penggunaan media berhubungan dengan tingkat kepercayaan terhadap media
50
tersebut. Bila dikaitkan dengan penelitian ini maka antara terpaan program reality maka akan mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap program reality tersebut. Penelitian lain tentang peran media dilakukan oleh Michael Meadows, Susan Forde, Jacqui Ewart, dan Kerrie Foxwell berjudul The Power and The Passion: A Study of Australian Community Broadcasting Audiences 2004-2007. Penelitian ini adalah penelitian tentang siaran komunitas di Australia. Dalam jurnal penelitian ini disebutkan bahwa: “Community broadcasting’s very ability to create ‘communities of interest’ places it in an ideal position to transform “common sense” into “good sense” – an objective proclaimed, albeit in a different language, in virtually all community media sectors’ mission statements.” Siaran komunitas memiliki kemampuan untuk menciptakan komunitas ketertarikan dan menempatkannya pada posisi yang ideal untuk mengubah pandangan yang umum atau biasa menjadi pandangan yang lebih baik. Di sini, meskipun tidak secara jelas, disebutkan mengenai peranan media dalam mengubah dan membentuk pola pikir dan pandangan audiens-nya. Artikel dari Ido Prijana Hadi yang berjudul “Cultivation Theory: SebuahPerspektif Teoritik dalam Analisis Televisi” menyebutkan bahwa apa yang ditampilkan dalam tayangan televisi (realitas media) dipersepsi sebagai dunia nyata (realitas nyata). Sehingga pemirsa yang meluangkan waktu lebih banyak dalam menonton televisi lebih meyakini bahwa dunia nyata adalah seperti apa yang digambarkan televisi. Nawiroh Vera dalam “Kekerasan Media Massa : Perspektif Kultivasi” menyebutkan bahwa penumpulan kepekaan terhadap kekerasan merupakan gejala yang umum terjadi ketika kekerasan tak lagi dianggap sebagai hal yang luar biasa. Maka, tatkala masyarakat diterpa oleh informasi kekerasan, dan menganggap
51
realitas media tak beda dengan realitas nyata (prespektif kultivasi), perilaku kekerasan pun disahkan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua tulisan tersebut menyebutkan tentang efek kultivasi media televisi dimana semakin tinggi terpaan media yang diterima khalayak maka realitas media akan semakin dianggap sama dengan realitas nyata, sehingga khalayak tidak mampu membedakan antara realitas ciptaan media dengan realitas yang sebenarnya. Media massa mempunyai kemampuan untuk mengkonstruksikan suatu peristiwa, bahkan mampu untuk membnetuk suatu realita sosial. Media massa dengan sendirinya akan mampu memberi pengaruh dan dampak pada khalayaknya. Dampak tersebut dapat terjadi dalam tiga aspek, yaitu : a. Aspek Kognitif, yaitu berhubungan dengan gejala pikiran, berwujud pengetahuan dan keyakinan serta harapan-harapan tentang obyek atau kelompok obyek tertentu. b. Aspek Afektif, berwujud proses berhubungan dengan perasaan tertentu seperti ketakutan, kebencian, simpati, antipati, dan sebagainya, yang ditunjukkan kepada obyek-obyek tertentu. c. Aspek Konatif, berwujud proses tendensi atau kecendrungan, berhubungan dengan perilaku mendekati atau menjauhi suatu obyek tertentu. Menurut Masri Singarimbun terpaan media diartikan sebagai peristiwa sentuhan
media
kepada
khalayak.
Sedangkan
Jalaluddin
Rakhmat
mendefinisikannya sebagai pertemuan antara khalayak dengan media. Terpaan media adalah keadaan terkena pada khalayak akan pesan-pesan yang disebarluaskan oleh media massa (kondisi di mana khalayak/audiens terkena
52
‘sentuhan’ atau bertemu dengan isi-isi/pesan dari program acara dari media massa, dalam hal ini tayangan infotainment di televisi). II.3 Persepsi Manusia dalam berbagai gerak kehidupannya memerlukan interaksi dengan factor luar individu atau lingkungan eksternal. Faktor eksternal ini bisa muncul dari lingkungan fisik, maupun lingkungan sosialnya. Untuk berinteraksi dengan lingkungan tentunya setiap orang harus dapat menyerap unsure dari luar. Unsur atau gejala dari luar dapat ditangkap melalui lima alat indera yang dimiliki oleh manusia. Proses penerimaan rangsangan ini disebut dengan penginderaan (sensation). Persepsi menurut defenisi Desirato yang dikutif dari Rakhmat mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi adalah pemberian makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli) (Rakhmat, 200:55). Sensasi adalah bagian dari persepsi, namun walaupun begitu menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, interpretasi, ekspektasi, motivasi dan memori. Menurut Kenneth E. Anderson, atensi atau perhatian adalah proses mental ketika stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah (Rakhmat, 2005: 52). Terdapat 2 faktor eksternal daninternal dalam menarik perhatian; 1. Faktor internal penarik perhatian yaitu: •
Gerakan
53
•
Intensitas stimuli
•
Kebaruan (Novelty)
•
Perulangan
2. Faktor eksternal penarik perhatian, yaitu: •
Faktor biologis
•
Faktor sosiopsikologis Menurut Mc Mahon yang dikutif dalam buku Psikologi Pekerja
Sosial dan Ilmu Sosial
mengatakan apabila orang berbicara tentang
persepsi, yang dimaksud adalah apa yang ingin dilihat seseorang belum tentu sama dengan fakta sebenarnya. Keinginan seseorang itulah yang menyebabkan mengapa dua orang melihat atau mengalami hal yang sama memberikan interpretasi yang berbeda tentang apa yangdilihat atau dialaminya itu. Persepsi adalah proses menginterpretasi rangsang (input) dengan menggunakan alat penerima informasi (sensory information) (Adi, 1994: 105). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah merupakan proses menginterpretasi rangsangan berupa pengalaman, objek, peristiwa yang dilakukan setipa orang secara berbeda II.5 Ciri-ciri Persepsi Penginderaan terjadi dalam suatu konteks tertentu, konteks ini disebut sebagai dunia persepsi (Adi, 1994; 107). Agar dihasilkan suatu penginderaan yang bermakna, di bawah ini ciri-ciri umum tentang persepsi, sebagai berikut:
54
1) Rangsang-rangsang yang diterima harus sesuai dengan modalitas tiap-tiap indera, yaitu sifat sensoris dasar dari masing-masing indera (cahaya untuk penglihatan, bau untuk penciuman, suhu sebagai perasa, bunyi bagi pendengaran, sifat permukaan bagi peraba dan sebagainya). 2) Dunia persepsi mempunyai sifat ruang (dimensi ruang), kita dapat mengatakan atas bawah, tinggi rendah , luas-sempit dan lain-lain. 3) Dunia persepsi mempunyai dimensi waktu, seperti cepat- lambat, tua- muda, dan lain sebagainya. 4) Objek-objek
atau
gejala-gejala
dalam
dunia
pengamatan
mempunyai struktur yang menyatu dengan konteksnya. Struktur atau konteks ini merupakan keseluruhan yang menyatu. Kita melihat meja tidak berdiri sendiri dalam ruang tertentu dan lainlain. 5) Dunia persepsi adalah duni penuh arti. Kita cenderung melakukan pengamatan pada gejala-gejala yang mempunyai makna bagi kita, yang ada hubungannya dengan tujuan dalam diri kita. II.6 Proses Persepsi Salah satu pandangan yang dianut secara luas menyatakan bahwa psikologi sebagai telaah ilmiah, berhubungan dengan unsur dan proses yang merupakan perantara rangsangan di luar organism dengan tanggapan fisik organisme yang dapat diamati terhadap rangsangan. Menurut rumusan ini, yang dikenal dengan toeri rangsangan-tanggapan (stimulus-response/SR), persepsi merupakan bagian dari keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah
55
rangsangan diterapkan kepada manusia. Subproses psikologi lainnya adalah pengenalan, perasaan, dan penalaran (Sobur, 2003: 446). Seperti dinyatakan pada bagan berikut, persepsi dan kognisi diperlukan dalam semua kegiatan psikologis. Bahkan diperlukan bagi orang yang paling sedikit terpengaruh atau sadar akan adanya rangsangan menerima dan dengan cara menahan dampak dari rangsangan. Penalaran Rangsangan
Persepsi
Pengenalan
tanggapan Perasaan
Gambar II.1: Variabel psikologis Antara Rangsangan dan Tanggapan (Sobur,2003:446)
Persepsi, pengenalan, penalaran dan perasaan disebut sebagai variabel psikologis yang muncul diantara rangsangan dan tanggapan. Sudah tentu ada pula cara lain untuk mengonsepsikan lapangan psikologis, namun rumus S-R dikemukakan disini karena unsur dasarnya telah diterima secara luas oleh para psikolog dan telah dipahami dan digunakan oleh ilmu sosial lainnya. Dalam proses persepsi, terdapat tiga komponen utama; 1. Seleksi, yakni proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar, intensitas, dan jenisnya dapat banyak atau sedikit. 2. Interpretasi, yaitu proses mengorganisasi informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman masa lalu, system nilai yang dianut, motivasi, kepribadian dan
56
kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengkategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana. 3. Interpretasi dan persepsi kemuudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku asebagai reaksi. Jadi, proses persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi dan pembulatan terhadap informasi yang sampai. II.6 Sifat-sifat Persepsi Persepsi terjadi dalam benak individu yang mempersepsi, bukan di dalam objek dan selalu merupakan pengetahuan tentang dampak. Maka apa yang mudah bagi kita boleh jadi tidak mudah bagi orang lain, atau apa yang jelas bagi orang lain terasa membingungkan bagi kita. Dalam konteks inilah kita perlu memahami persepsi dengan melihat jauh sifat-sifat persepsi (Sendjaja, 1994: 5455). Pertama, persepsi adalah pengalaman. Untuk mengartikan makna dari seseorang, objek atau peristiwa, kita harus memiliki dasar/basis untuk melakukan interpretasi. Dasar ini biasanya kita temukan pada masa lalu kita dengan orang lain, objek atau peristiwa tersebut dengan hal-hal yang menyerupai. Tanpa landasan pengalaman sebagai pembanding, tidak mungkin untuk mempersepsi auatu makna, sebab ini akan membawa kepada kita suatu kebingungan. Kedua, persepsi adalah selektif . Ketika mempersepsi sesuatu, kita cenderung hanya memperhatikan bagian-bagian tertentu dari suatu objek atau orang. Dengan kata lain, kita melakukan seleksi hanya pada karakteristik tertentu dari objek persepsi kita dan mengabaikan yang lain. Dalam hal ini biasanya kita
57
mempersepsikan apa yang kita inginkan atas dasar sikap, nilai, dan keyakinan yang ada dalam diri kita, yaitu mengabaikan karakteristik yang tidak relevan atau berlawanan dengan nilai dan keyakinan tersebut. Ketiga, persepsi adalah penyimpulan. Proses psikologi dari persepsi mencakup penarikan kesimpulan melalui proses induksi secara logis. Interpretasi yang dihasilkan melalui persepsi pada dasarnya adalah penyimpulan atas informasi yang tidak lengkap. Dengan kata lain, mempersepsi makna adalah melompat pada suatu kesimpulan yang tidak sepenuhnya didasarkan atas data yang dapat ditangkap oleh indera kita. Sifat ini saling mengisi dengan sifat kedua. Pada sifat kedua persepsi adalah selektif, karena keterbatasan kapasitas otak, maka kita hanya dapat mempersepsi sebagian karakteristik dari objek. Melalui penyimpulan ini kita berusaha untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai objek yang kita persepsikan atas dasar sebagian karakteristik dari objek tersebut. Keempat, persepsi adalah evaluatif. Persepsi tidak akan objektif, karena kita melakukan interpretasi berdasarkan pengalaman dan merefleksikan sikap, nilai dan keyakinan pribadi yang digunakan untuk member makna. Karena persepsi merupakan proses kognitif psikologi yang ada dalam diri kita, maka bersifat subjektif. Suatu hal yang tidak terpisahkan dari interpretasi subjektif adalah proses evaluasi. Rasanya hampir tidak mungkin kita mempersepsi suatu objek tanpa mempersepsi pula baik atau buruk objek tersebut. Adalah sangat langka kita dapat mempersepsi suatu acara sepenuhnya netral. Hal ini dapat kita telusuri dari
58
pengalaman kita sendiri. Kita cenderung untuk mengingat hal-hal yang memiliki nilai tertentu bagi diri kita, dan hal-hal yang saangat(baik maupun buruk) yang dapat kita ingat dengan baik. Selebihnya, hal-hal yang netral dan “biasa saja” cenderung kita lupakan atau tidak bisa kita ingat dengan baik (kabur). Jadi, ketika pengalaman mendasari persepsi yang kita lakukan, maka tidak dapat dihindari terjadinya proses evaluasi. II.7 Infotainment Infotainment berasal dari kata “Informasi” dan “entertainment”. Infotainment sebenarnya adalah tayangan program televisi yang menyampaikan sebuah informasi yang disajikan dalam bentuk hiburan. Namun di Indonesia infotainment berubah dari tayangan informasi tentang dunia hiburan menjadi tayangan informasi mengenai kehidupan para artis di dunia hiburan. Produksi sebuah program televisi, termasuk juga di dalamnya adalah infotainment, selalu dimulai dari ide atau gagasan yang kemudian dituangkan kedalam sebuah naskah atau script. Naskah menjadi sebuah landasan atau basis yang diperlukan untuk membuat sebuah program televisi apapun bentuknya. Penulisan sebuah naskah program video dan televisi yang didasarkan pada sebuah ide biasanya mempunyai tujuan yang spesifik yaitu memberi informasi (to inform), member inspirasi (to inspire), menghibur (to entertain) dan propaganda, yang sebenarnya tidak jauh dari hakikat tujuan komunikasi massa. Untuk mengetahui bagaimana tahapan proses yang dilakukan dalam proses produksi infotainment, maka kita perlu memahami tentang naskah produksi terlebih dahulu. Sebuah naskah mempunyai peran sentral dalam produksi sebuah
59
program televisi. Sebuah naskah adalah ide dasar yang diperlukan dalam sebuah produksi program video. Kualitas sebuah naskah sangat menentukan hasil akhir dari sebuah program. Dalam tayangan fiksi seperti drama fungsi naskah ini menjadi kian penting karena sebuah naskah pada umumnya berisi gambaran atau deskripsi tentang pesan atau informasi yang disampaikan seperti alur cerita, karakter tokoh utama, dramatisasi, peran/figuran, setting, dan property atau segala hal yang berkaitan dengan pembuatan sebuah program televisi. Namun demikian fungsi naskah juga tidak kalah penting dalam produksi tayangan yang bersifat non fiksi, termasuk juga di dalamnya infotainment. Uraian ringkas secara deskriptif, bukan tematis, yang dikembangkan dari synopsis dengan bahasa visual tentang suatu episode cerita, atau ringkasan dari rangkaian suatu peristiwa. Artinya dalam membuat treatment bahasa yang digunakan adalah bahasa visual. Sehingga apa yang dibaca dapat memberikan gambaran mengenai apa yang akan dilihat. Dengan membaca treatment bentuk program yang akan dibuat sudah dapat dibayangkan.Dari treatment kemudian dibuat naskah produksi atau skenario. Penulisan naskah produksi atau scenario harus operasional karena digunakan sebagai panduan tidak saja kerabat kerja (crew) tetapi juga pemain dan pendukung lain yang terlibat. Penulisan naskah (skenario) pada dasarnya menggambarkan sekaligus menyuarakan apa yang ingin disampaikan. Urutan sinopsis-treatment-skenario merupakan rangkaian yang baik untuk membuat naskah video (televisi), Sudah menjadi standar dalam produksi tayangan televisi,
60
termasuk tentu saja infotainment, ada tiga tahap dalam menulis naskah, yaitu : concept, story board, dan script. Dalam pembuatan naskah,yang penting juga adalah riset tentang apa yang akan ditulis di dalam naskah produksi. Secara standar tahap-tahapnya bisa dipetakan sebagai berikut. Pertama adalah merumuskan ide dari apa yang akan diproduksi. Dalam produksi infotainment ide ini bisa didapatkan dari perkembangan terkini dalam dunia selebritis. Kemudian dari ide ini dilakukan riset terhadap ide tersebut sebagai pengembangan dari ide tersebut. Pekerja infotainment selalu berusaha mendapatkan data terbaru dari kehidupan artis, bahkan dengan mengawasi selama beberapa hari keseharian artis bersangkutan. Antar program infotainment saling bersaing agar data terbaru yang mereka kuasai lebih update dan lebih mendalam dibandingkan program sejenis di stasiun televisi lain. Persaingan antar program infotainment, membuat masing-masing program tayangan infotainment berinovasi, seperti dengan melakukan model jurnalisme yang diklaim sebagai jurnalisme investigasi, seperti yang dilakukan oleh Insert. Setelah mendapatkan data dari riset dilakukan penulisan outline, yang menjadi garis besar dari rencana produksi. Dari naskah outline kemudian dilakukan penulisan sinopsis dan treatment terhadap sinopsis. Di dalam naskah ini ada kolom tentang video dan audio yang akan ditampilkan lengkap beserta durasinya. Naskah yang sudah final kemudian diserahkan ke editor dan narator untuk siap digunakan sebagai panduan dalam editing dan tayangan live. Untuk memudahkan dalam proses produksi, desk infotainment juga menggunakan data yang ada di library, seperti koleksi dari divisi atau desk news.
61
Namun, untuk membedakan dengan news, infotainment memiliki kebijakan redaksional yang lebih mengutamakan pada sisi human interest. Di sisi yang lain, desk news juga bisa mengambil bagian dari tayangan infotainment, karena artis adalah sosok yang laku secara pemberitaan. Sebagai sebuah pemberitaan, infotainment juga tidak lepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, seperti faktor intra media dan ekstra media.