BAB II URAIAN TEORITIS
II.1 Komunikasi Antarbudaya II.1.1 Pengertian Komunikasi Antarbudaya Terdapat beberapa pengertian komunikasi antarbudaya yang telah diuraikan oleh beberapa ahli, diantaranya Fred. E. Jandt yang mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka diantara orang yang berbeda-beda
budaya.
Komunikasi
antarbudaya
merupakan
bagian
dari
komunikasi multikultural. Colliers dan Thomas mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai komunikasi yang terjadi diantara orang yang memiliki perbedaan budaya. Stephen Dahl sendiri mengartikan komunikasi antarbudaya secara spesifik, yaitu komunikasi yang terjadi didalam masyarakat yang berasal dari dua ataupun lebih kebangsaan yang berbeda, seperti perbedaan rasial dan latar belakang etnik. Definisi lain tentang komunikasi antarbudaya dikemukakan oleh Stuward L. Tubbs. Beliau mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai komunikasi yang terjadi diantara dua anggota yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda baik secara rasial, etnik maupun sosial-ekonomi. Dari definisi yang telah diuraikan oleh beberapa ahli, maka dikemukakan kesimpulan definisi komunikasi antarbudaya, yaitu suatu tindak komunikasi dimana para partisipan berbeda latar belakang budayanya (Purwasito, 2003:122-124). Hal yang membedakan komunikasi antarbudaya dengan studi komunikasi lainnya yaitu perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikator yang berbeda latar belakang kebudayaan. Perbedaan kebudayaan di-
Universitas Sumatera Utara
antara pelaku komunikasi menjadi permasalahan yang inheren dalam proses komunikasi manusia. Komunikasi antarbudaya memiliki dua aspek, yaitu komunikasi intrabudaya dan komunikasi lintas budaya (Senjaya. 2007: 7.10-7.11). Sitaram dan Cogdell (1976) mengidentifikasi komunikasi intrabudaya sebagai komunikasi yang berlangsung antara para anggota kebudayaan yang sama namun tetap menekankan pada sejauh mana perbedaan pemahaman dan penerapan nilai-nilai budaya yang mereka miliki bersama. Analisis komunikasi intrabudaya selalu dimulai dengan mengulas keberadaan kelompok/subbudaya dalam satu kebudayaan, juga tentang nilai subbudaya yang dianut. Jadi, studi intrabudaya memusatkan perhatian pada komunikasi antara para anggota subbudaya dalam satu kebudayaan. Komunikasi intrabudaya pun dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur tingkat efektivitas pengiriman, penerimaan dan pemahaman bersama atas nilai yang ditukar diantara partisipan komunikasi yang kebudayaannya homogeny (Liliweri, 2001:9). Setiap hubungan antarmanusia dalam satu budaya selalu diatur dengan sosialisasi indoktrinasi dan instruksi-instruksi nilai. Perlu diketahui bahwa komunikasi intrabudaya merupakan suatu gejala yang selalu ada dalam konteks kebudayaan tertentu. Hubungan intrabudaya selalu didasarkan pada sikap diskriminasi geopolitik dan lain-lain (Liliweri. 2001:11-13). Komunikasi lintas budaya didefinisikan sebagai analisis perbandingan dengan mengutamankan hubungan didalam kegiatan kebudayaan. Hubungan antara komunikasi lintas budaya dengan komunikasi multicultural yaitu terfokus pada hubungan antarbangsa tanpa membentuk kultur baru (Purwasito, 2003:125).
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini, penulis menggunakan komunikasi intrabudaya sebagai teori dasar pada penelitian, karena sesuai dengan permasalahan penelitian.
II.1.2 Hakikat Proses Komunikasi Antarbudaya Komunikasi merupakan proses yang menghubungkan manusia melalui sekumpulan tindakan yang terus menerus diperbaharui. Komunikasi melibatkan pertukaran tanda-tanda melalui suara, kata-kata, atau suara dan kata-kata. Pada hakikatnya proses komunikasi antarbudaya sama dengan proses komunikasi lainnya, yakni suatu proses yang interaktif, transaksional dan dinamis. Komunikasi antarbudaya yang interaktif yaitu dilakukan oleh komunikator dengan komunikan dalam dua arah/timbal balik (two ways communication). Komunikasi transaksional meliputi 3 unsur, yaitu keterlibatan emosi yang tinggi yang berkesinambungan atas pertukaran pesan, berkatitan dengan masa lalu, kini dan yang akan datang dan berpartisipasi dalam komunikasi antarbudaya untuk menjalankan suatu peranan (Liliweri, 2004:24-25).
II.1.3 Unsur-Unsur Proses Komunikasi Antarbudaya Unsur pertama dalam proses komunikasi antarbudaya adalah komunikator. Komunikator dalam komunikasi antarbudaya merupakan pihak yang mengawali proses pengiriman pesan terhadap komunikan. Baik komunikator maupun komunikan ditentukan oleh faktor-faktor makro seperti penggunaan bahasa minoritas dan pengelolaan etnis, pandangan tentang pentingnya sebuah
Universitas Sumatera Utara
percakapan dalam konteks budaya, orientasi terhadap konsep individualitas dan kolektivitas dari suatu masyarakat, orientasi terhadap ruang dan waktu. Sedangkan faktor mikronya adalah komunikasi dalam konteks yang segera, masalah subjektivitas
dan objektivitas dalam komunikasi antarbudaya, kebiasaan
percakapan dalam bentuk dialek dan aksen, dan nilai serta sikap yang menjadi identitas sebuah etnik (Liliweri, 2004: 25-26). Unsur kedua dalam proses komunikasi antarbudaya adalah komunikan. Komunikan merupakan penerima pesan yang disampaikan oleh komunikator. Dalam komunikasi antarbudaya, komunikan merupakan seorang yang berbeda latar belakang dengan komunikator. Tujuan komunikasi yang diharapkan ketika komunikan menerima pesan dari komunikator adalah memperhatikan dan menerima secara menyeluruh. Ketika komunikan memperhatikan dan memahami isi pesan, tergantung oleh tiga bentuk pemahaman, yaitu kognitif, afektif dan overt action. Kognitif yaitu penerimaan pesan oleh komunikan sebagai sesuatu yang benar, kemudian afektif merupakan kepercayaan komunikan bahwa pesan tidak hanya benar namun baik dan disukai, sedangkan overt action merupakan tindakan yang nyata, yaitu kepercayaan terhadap pesan yang benar dan baik sehingga mendorong suatu tindakan yang tepat (Liliweri, 2004:26-27). Unsur yang ketiga adalah pesan atau simbol. Pesan berisi pikiran, ide atau gagasan, dan perasaan yang berbentuk simbol. Simbol merupakan sesuatu yang digunakan untuk mewakili maksud tertentu seperti kata-kata verbal dan simbol nonverbal. Pesan memiliki dua aspek utama, yaitu content (isi) dan treatment (perlakuan). Pilihan terhadap isi dan perlakuan terhadap pesan tergantung dari
Universitas Sumatera Utara
keterampilan komunikasi, sikap, tingkat pengetahuan, posisi dalam sistem sosial dan kebudayaan (Liliweri, 2004: 27-28). Unsur keempat yaitu media. Dalam proses komunikasi antarbudaya, media merupakan saluran yang dilalui oleh pesan atau simbol. Terdapat dua tipe saluran yang disepakati para ilmuwan sosial, yaitu sory channel, yakni saluran yang memindahkan pesan sehingga akan ditangkap oleh lima indera manusia. Lima saluran dalam channel ini yaitu cahaya, bunyi, tangan, hidung dan lidah. Saluran kedua yaitu institutionalized channel yaitu saluran yang sudah sangat dikenal manusia seperti percakapan tatap muka, material percetakan dan media elektronik. Para ilmuwan sosial menyimpulkan bahwa komunikan akan lebih menyukai pesan yang disampaikan melalui kombinasi dua atau lebuh saluran sensoris (Liliweri, 2004:28-29). Unsur proses komunikasi antarbudaya yang kelima adalah efek atau umpan balik. Tujuan manusia berkomunikasi adalah agar tujuan dan fungsi komunikasi dapat tercapai. Tujuan dan fungsi komunikasi antarbudaya, antara lain memberikan informasi, menerangkan tentang sesuatu, memberikan hiburan dan mengubah sikap atau perilaku komunikan. Didalam proses tersebut, diharapkan adanya reaksi atau tanggapan dari komunikan dan hal inilah yang disebut umpan balik. Tanpa adanya umpan balik terhadap pesan-pesan dalam proses komunikasi antarbudaya, maka komunikator dan komunikan sulit untuk memahami pikiran dan ide atau gagasan yang terkandung didalam pesan yang disampaikan. Unsur keenam dalam proses komunikasi antarbudaya adalah suasana. Suasana merupakan salah satu dari 3 faktor penting (waktu, tempat dan suasana) didalam komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2004:29-30).
Universitas Sumatera Utara
Unsur ketujuh dalam proses komunikasi antarbudaya adalah gangguan. Gangguan didalam komunikasi antarbudaya merupakan segala sesuatu yang menghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dan komunikan dan dapat
juga
mengurangi
makna pesan antarbudaya.
Gangguan
tersebut
menghambat penerimaan pesan dan sumber pesan. Gangguan yang berasal dari komunikator bersumber akibat perbedaan status sosial dan budaya, latar belakang pendidikan dan keterampilan berkomunikasi. Gangguan yang berasal dari pesan disebabkan oleh perbedaan pemberian makna pesan yang disampaikan secara verbal dan perbedaan tafsir atas pesan non verbal. Sedangkan gangguan yang berasal dari media, yaitu karena kesalahan pemilihan media yang tidak sesuai dengan
konteks
komunikasi
sehingga
kurang
mendukung
komunikasi
antarbudaya. De Vito (1997) menggolongkan tiga macam gangguan, yaitu fisik, psikologis dan semantik. Gangguan fisik berupa interfensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain, gangguan psikologis berupa interfensi kognitif atau mental, sedangkan gangguan semantik berupa pembicara dan pendengar memiliki arti yang berlainan (Liliweri, 2004:30-31).
II.1.4 Asumsi-Asumsi Komunikasi Antarbudaya Komunikasi antarbudaya merupakan salah satu kajian ilmu komunikasi. Hammer (1995) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya telah memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai salah satu kajian dalam ilmu komunikasi. Hal ini dikarenakan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. secara teoritis memindahkan fokus dari satu kebudayaan kepada kebudayaan yang dibandingkan. 2. membawa konsep aras makro kebudayaan ke aras mikro kebudayaan. 3. menghubungkan kebudayaan dengan proses komunikasi. 4. membawa perhatian kita kepada peranan kebudayaan yang mempengaruhi perilaku (Liliweri, 2004:14). Asumsi teori komunikasi antarbudaya merupakan seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan tempat yang valid dimana teori-teori komunikasi antarbudaya itu dapat diterapkan. Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya maka dikenal beberapa asumsi, yaitu : 1. komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. 2. dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi. 3. gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi. 4. komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian. 5. komunikasi berpusat pada kebudayaan. 6. efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2004:15).
II.1.5 Dimensi-Dimensi Komunikasi Antarbudaya Dalam mencari kejelasan dan mengintegrasi berbagaii konsep kebudayaan dalam komunikasi antarbudaya, terdapat tiga dimensi yang perlu diperhatikan, yaitu tingkat masyarakat kelompok budaya dari para partisipan, konteks sosial dimana terjadinya proses komunikasi antarbudaya, dan saluran yang dilalui oleh pesan-pesan komunikasi antarbudaya baik secara verbal dan nonverbal. Dimensi pertama dalam komunikasi antarbudaya merujuk pada bermacam tingkatan lingkup dan kompleksitas organisasi sosial. Dimensi kedua dalam komunikasi antarbudaya merujuk pada konteks sosial komunikasi antarbudaya yang meliputi organisasi, pendidikan, akulturasi imigran, difusi inovasi, dan lain sebagainya. Pada dasarnya komunikasi didalam semua konteks sosial memiliki persamaan
Universitas Sumatera Utara
dalam unsur-unsur dasar dan proses komunikasi, namun dengan pengaruh kebudayaan yang tercakup dalam latar belakang pengalaman individu membentuk pola persepsi, pemikiran, penggunaan pesan verbal dan perilaku nonverbal dan hubungan yang ada didalamnya. Pada dimensi ketiga berkaitan dengan saluran komunikasi. Saluran tersebut dibagi atas saluran antarpribadi/perorangan dan media massa. Bersama dengan dua dimensi sebelumnya, dimensi ketiga ini mempengaruhi proses dari hasil keseluruhan proses komunikasi antarbudaya. Ketiga dimensi ini dapat digunakan secara terpisah maupun bersamaan (Senjaya, 2007:7.12-7.14).
II.2. Identitas Etnis II.2.1 Pengertian Identitas Etnis Alasan utama manusia cenderung untuk bereaksi daripada merespon adalah karena melihat kesamaan absolut atau disebut juga dengan identitas. Identitas berkaitan dengan dua konstruk didalam teori general semanticsi, yaitu nonallness yang berarti bahwa manusia tidak dapat mengatakan sesuatu secara tentang segala hal dan nonadditivity memberikan gambaran bahwa terdapat halhal yang tidak diketahui tentang sesuatu pada saat berbicara (Senjaya, 2007:6.436.44). Identitas merupakan suatu konsep abstrak, kompleks dan dinamis. Identitas memiliki banyak gambaran oleh ahli komunikasi, karena identitas tidak mudan untuk diartikan. Gardiner dan Kosmitzki melihat identitas sebagai suatu definisi dari seseorang sebagai individu berbeda dan terpisah baik perilaku,
Universitas Sumatera Utara
kepercayaan dan sikap. Ting Tomey beranggapan bahwa identitas merupakan gambaran seorang individu atau konsep diri individu yang direfleksikan. Pada dasarnya identitas merujuk kepada pandangan refletif tentang diri sendiri maupun persepsi orang lain tentang gambara diri kita. Bagi Matthews, identitas didefinisikan sebagai bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Fong menjelaskan identitas budaya sebagai berikut : “Identitas komunikasi dari sistem perilaku simbolis verbal dan non-verbal yang memiliki arti dan yang dibagikan di antara anggota kelompok yang memiliki rasa saling memiliki dan yang membagi tradisi, warisan, bahasa, dan norma-norma yang sama. Identitas budaya merupakan konstruksi sosial” (Samovar,dkk , 2010:184). Identitas adalah suatu hal yang dinamis dan beragam, yang berarti bahwa identitas bukan merupakan suatu yang yang statis, tetapi berubah menurut pengalaman hidup manusia. Identitas sosial merupakan perwakilan dari kelompok dimana seseorang bergabung, misalnya etnisitas, ras, umur, pekerjaan, kampung halaman dan kehidupan dimana seseorang berada. Masyarakat menggambarkan identitas mereka didalam suatu lingkungan secara pribadi. Identitas etnis atau disebut juga etnisitas, berasal dari sejarah, tradisi, warisan, nilai, kesamaan perilaku, asal daerah dan bahasa yang sama. Masyarakat yang memiliki etnis yang sama didaerah tempat perpindahan akan membentuk komunitas etnisnya sendiri. Pada komunitas etnis ini, identitas etnis cenderung tetap kuat, hal ini dikarenakan praktik, kepercayaan, dan bahasa dari bahasa tradisional yang dipertahankan dan dipelihara (Samovar, dkk, 2010:189). Identitas etnis merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Ting Toomey mendefinisikan identitas kultural sebagai perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk turut memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi terhadap kultur tertentu (Rahardjo, 2005:1-2).
Universitas Sumatera Utara
II.2.2 Pendekatan Objektif dan Subjektif terhadap Identitas Etnis Terdapat dua pendekatan didalam identitas etnis, yaitu pendekatan objektif (struktural) dan pendekatan subjektif (fenomenologis). Pendekatan objektif melihat sebuah kelompok etnis sebagai kelompok yang dapat dibedakan dari kelompok lainnya berasarkan ciri-ciri budaya seperti bahasa, agama maupun asal usul kebangsaan. Sedangkan pendekatan subjektif merumuskan identitas etnis sebagai proses orang-orang menjadi bagian dari suatu kelompok etnis dan memusatkan perhatiannya kepada kelompok etnis yang diteliti (Mulyana & Jalaludin, 2005:152). Pendekatan subjektif (fenomenologis) mengkritik pendekatan positivistik dalam arti bahwa ia membatasi kemungkinan perilaku manusia dapat dipelajari. Menurut Barth, ciri-ciri penting dari suatu kelompok etnis adalah atribusi yang diberikan oleh kelompok internal dan kelompok eksternal (Mulyana & Jalaludin, 2005:156). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan subjektif sebagai dasar teori karena sesuai dengan penelitian.
II.3 Interaksi Simbolik II.3.1 Pengertian Teori Interaksi Simbolik Didalam proses manusia berkomunikasi, simbol merupakan ekspresi yang mewakili suatu hal yang lain. Salah satu dari karakteristik simbol adalah bahwa simbol tidak memiliki hubungan langsung dengan yang diwakilinya. Simbol dapat berbentuk suara, tanda pada kertas, gerakan dan lain sebagainya. Manusia menggunakan simbol tidak hanya sebagai alat untuk berinteraksi, namun simbol
Universitas Sumatera Utara
digunakan dalam menyampaikan suatu budaya dari generasi ke generasi. Menurut Gudykunst dan Kim, hal yang penting yang harus diingat yaitu simbol dijadikan ketika orang sepakat untuk menjadikannya suatu simbol (Samovar, dkk: 2010:1820). Partisipan komunikasi menyampaikan pesan dengan menggunakan simbol-simbol dan lambang-lambang yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama. Pesan diartikan sebagai isi, pikiran, idea tau gagasan yang dikirim kepada penerima dengan tujuan mempengaruhi pikiran dan gagasan orang lain. Pesan diwujudkan dalam bentuk pesan verbal dan perilaku nonverbal. Komunikasi juga merupakan suatu sistem simbolik, karena disepakati bersama sebagai wahana pertukaran pesan. Bahasa merupakan alat utama berkomunikasi dalam mengungkapkan pikiran, idea tau gagasan, pengalaman-pengalaman, tujuan agar komunikasi berjalan secara alami. De Saussure menyatakan bahasa sebagai simbol-simbol komunikasi dengan sebuah tanda. Tanda merupakan representasi abstrak yang berubah-ubah, bersifat bebas dan didefinisikan sebagai sesuatu yang ambigu dan memiliki makna sesuai latar budaya. Bahasa tidak saja berinteraksi antarsesama sebagai alat komunikasi, tetapi digunakan juga sebagai alat untuk menggalang kekuasaan, ideologi, hegemoni dan imperialisme (Purwasito, 2003:206-208). Kebudayaan adalah suatu sistem simbolik yang mempunyai makna. Para sosiolog seperti Mead, Cooley, Thomas member premis sebagai landasan teori sebagai berikut: “Manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal kepada mereka”. Dengan premis ini orang-orang yang berinteraksi selalu didasarkan atas dasar makna yang terkandung dalam berbagai
Universitas Sumatera Utara
hal itu. Premis kedua, mengutip Blumer (1969), adalah interaksionisme simbolik yang mengatakan bahwa “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain”. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan dan didefinisikan dalam konteks orang yang berkomunikasi. Premis ketiga, dari interaksionisme simbolik tersebut “makna digunakan dan dimodifikasi melalui proses penafsiran yang dirangsang oleh persoalan yang dihadapi” (Purwasito, 2003:208,210). Proses dimana manusia secara arbiter menjadikan hal-hal tertentu untuk mewakili hal-hal lainnya disebut dengan proses simbolik. Kebebasan untuk menciptakan simbol-simbol dengan nilai-nilai tertentu menciptakan simbolsimbol bagi simbol-simbol lainnya penting bagi proses simbolik. Proses simbolik menembus kehidupan manusia dalam tingkatan paling primitif dan tingkat paling beradab (Mulyana dan Rahmat, 2005:101-102).
II.3.2 Pesan Verbal, Perilaku Non Verbal dan Bahasa II.3.2.1 Pesan Verbal Komunikasi verbal yaitu penyampaian pesan yang disampaikan secara oral/ lisan serta dalam bentuk tertulis. Terdapat beberapa teori didalam komunikasi verbal, yaitu pendekatan natural (nature approach), pendekatan nurtural (nurture approach) dan teori fungsional tentang bahasa (general semantics). Pada teori pendekatan natural terdapat tiga struktur dalam sebuah bahasa, yaitu hubungan antara subjek dan predikat, hubungan antara kata kerja
Universitas Sumatera Utara
dengan objek yang mengekspresikan hubungan sebab akibat dan modifikasi yang menunjukan pertautan kelas. Pada teori pendekatan nurtural, Edward Sapir dan Benyamin Whorf mengemukakan bahwa teori ini menentang teori pendekatan alamiah. Pusat kajian teori ini adalah makna dari kata suatu teori kultural mengenai bahasa. Sedangkan pada teori fungsional tentang bahasa hanya difokuskan pada makna dari kata dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku manusia. Dalam teori ini, harus dipahami sifat-sifat dari simbol dan bagaimana menggunakan simbol tersebut (Senjaya, 2007:6.38-6.41).
II.3.2.2 Perilaku Non Verbal Yang dimaksud dengan komunikasi non verbal, yaitu : 1. Komunikasi non verbal merupakan tindakan dan atribusi (lebih dari penggunaan kata-kata) yang dilakukan seseorang kepada orang lain bagi pertukaran makna, yang selalu dikirimkan dan diterima secara sadar oleh dan untuk mencapai umpan balik atau tujuan tertentu. (Burgoon and Saine 1978). 2. Komunikasi non verbal meliputi ekspresi wajah, nada suara, gerakkan anggota tubuh, kontak mata, rancangan ruangan, pola-pola peradaban, gerakan ekspresif, perbedaan budaya dan tindakan tindakan non verbal lain yang tak menggunakan kata-kata. Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa komunikasi non verbal itu sangat penting untuk memahami perilaku antarmanusia daripada memahami kata-kata verbal yang diucapkan atau yang ditulis, pesan-pesan non verbal memperkuat apa yang disampaikan secara verbal. 3. Studi tersendiri untuk menggambarkan bagaimana orang berkomunikasi melalui perilaku fisik, tanda-tanda vokal dan relasi ruang atau jarak. Akibatnya penelitian tentang komunikasi non verbal acapkali menekankan pada dimensi beberapa aspek tertentu dari bahasa. (Terrence A.
[email protected] June 20, 2001 00:59:56). 4. Komunikasi non verbal merujuk pada variasi bentuk-bentuk komunikasi yang meliputi bahasa. Bagaimana seorang itu berpakaian, bagaimana seseorang melindungi dirinya, menampilkan eskpresi wajah, gerakan tubuh, suara, nada dan kontak mata dll. (Eugene Matusov-Email:
[email protected], University of California at Santa Cruz-1996).
Universitas Sumatera Utara
5. Komunikasi non verbal meliputi semua stimuli non verbal dalam setting komunikatif digeneralisasikan oleh individu dan lingkungan yang memakainya. 6. Komunikasi non verbal meliputi pesan non verbal yang memiliki tujuan ataupun tidak memiliki tujuan tertentu (Purwasito, 2003:138-139). Dari definisi diatas disimpulkan bahwa komunikasi non verbal merupakan cara berkomuikasi melalui pernyataan wajah, nada suara, isyarat-isyarat, kontak mata, dan lain-lain (Purwasito, 2003:140). Menyangkut kepada interaksi non verbal, Beamer dan Varnet menyatakan bahwa komunikasi non verbal dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah latar belakang budaya, latar belakang sosial ekonomi, pendidikan, gender, usia, kecenderungan pribadi dan indionkrasi. Banyak perilaku non verbal manusia dilaksanakan secara tidak sadar dan spontan. Kesamaan budaya dan perilaku non verbal yaitu keduanya dikerjakan melalui naluri dan dipelajari. Dengan memahami budaya dalam perilau non verbal, manusia dapat memahami pesan dalam proses interaksi dan mengumpulkan petunjuk mengenai tindakan serta nilai yang disadarinya. Komunikasi non verbal terkadang menunjukkan sifat dasar suatu budaya (Samovar, dkk, 2010:296-298). III.3.2.3 Bahasa Bahasa setiap hari digunakan oleh manusia di seluruh dunia. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat berkomunikasi. Bahasa berperan penting secara langsung sebagi bentuk pernyataan dan pertukaran pemikiran ataupun pandangan mengenai orang lain. Penggunaan bahasa berperan untuk mengatur manusia sesuai dengan faktor-faktor usia, jenis kelamin dan bahkan sosial-ekonomi. Bahasa adalah sejumlah simbol atau tanda yang disetujui untuk digunakan oleh sekelompok orang untuk mengahasilkan suatu arti atau makna (Samovar,
Universitas Sumatera Utara
2010:268). Bahasa merupakan medium untuk menyatakan kesadaran dalam suatu konteks sosial. Dalam komunikasi antarmanusia sehari-hari kita diperkenalkan oleh istilah-istilah seperti bahasa lisan, bahasa tulisan, bahasa isyarat, bahasa jarak dan lain sebagainya (Liliweri, 2004:130). Ohoiwutun (1997) menulis dalam bukunya yang berjudul Sosio-Linguistik, Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan, bahwa bahasa dipelajari dua dimensi, yaitu dimensi penggunaan dan dimensi struktur. Dimensi penggunaan menjadi kepedulia berbagai bidang studi, salah satunya komunikasi. Dalam kajian penggunaan dimensi ini yaitu yang dimaksudkan dengan yang dituturkan oleh mereka. Bahasa merupakan cara khusus kata-kata diseleksi dan digabung menjadi ciri khas seseorang, satu kelompok atau masyarakat tertentu. Sedangkan dimensi struktur, bahasa diberi definisi dan tergantung pendekatan yang dilakukan. Didalam studi kebudayaan, bahasa ditempatkan sebagai unsur penting seperti sistem pengetahuan, mata pencaharian, adat istiadat, kesenian, sistem peralatan hidup, dan lain sebagainya. Bahasa digunakan sebagai unsur kebudayaan yang berbentuk non material selain nilai, norma, dan kepercayaan (Liliweri, 2004:132-133).
Universitas Sumatera Utara