BAB II URAIAN TEORITIS
A. Penelitian Terdahulu Penelitian di luar negeri yang dilakukan oleh Fama dan French (1993) dalam Ginting (2004) berpendapat bahwa rasio PBV adalah alat pengukur dari keadaan kesulitan keuangan (financial distress). Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan akan lebih sensitif terhadap perubahan dunia bisnis. Penelitian di dalam negeri dilakukan oleh Sidharta dan Anton (1998) menemukan bahwa di antara faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi rasio PBV, ternyata ROE yang secara konsisten dan signifikan mempunyai hubungan positif dengan rasio PBV. Penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2005) yang menemukan bahwa di antara faktor-faktor fundamental yang dianalisis, yaitu: Dividend Payout Ratio (DPR), Growth dan Return on Equity (ROE); ternyata hanya ROE yang secara konsisten dan signifikan mempengaruhi rasio PBV. Selain itu, penelitian tersebut juga melihat bagaimana rasio PBV sebagai salah satu inforamsi akuntansi berguna dalan penilaian saham sehingga berguna bagi pengambilan keputusan investasi. Penelitian Fama dan French (1992) dalam Jones (2004) menyatakan bahwa Price to Book Value Ratio (PBV) yang rendah lebih baik karena saham mengalami undervalued mampu menghasilkan return yang besar.
18 Universitas Sumatera Utara
B. Model Penilaian Saham Ada berbagai model yang digunakan dalam penilaian saham. Walaupun terdapat perbedaan pendekatan untuk menilai suatu saham, namun tujuan dari semua model untuk melihat apakah suatu saham mempunyai harga overvalued, wajar dan undervalued (Fabozzi, 1999: 289-303). 1. Model diskonto dividen Model dasar untuk menilai saham perusahaan adalah Model Diskonto Dividen (MDD) atau Dividend Discount Model. Dasar dari MDD adalah analisis nilai sekarang yang menyebutkan bahwa harga aktiva merupakan nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan. Dalam saham biasa, arus kas merupakan pembayaran dividen yang diharapkan dan harga penjualan saham yang diharapkan di masa depan. Harga penjualan disebut juga harga akhir (terminal price). MDD dapat dinyatakan secara sistematis sebagai berikut: P=
Dn Pn D1 D2 + + .... + + n (1 + k1 ) (1 + k 2 ) (1 + k n ) (1 + rn )n
P
= nilai intrinsik saham
(Fabozzi, 1999: 289)
D t = dividen yang diharapkan pada tahun t Pn = harga penjulan yang diharapkan dalam kurun waktu n tahun n
= jumlah tahun
k t = tingkat diskonto pada tahun t
Universitas Sumatera Utara
Ada tiga jenis Dividend Discount Model (Jones, 2004: 252-257), yaitu: a. The Zero-Growth Rate Model Model ini biasanya digunakan untuk penilaian saham preferen di mana dividen yang diterima tidak pernah berubah dari periode sebelumnya. Jadi, diasumsikan bahwa pertumbuhan dividen adalah nol (g=0) dan k tingkat diskonto tunggal. Maka model persamaan yang digunakan adalah: P=
D0 k
b. The Constant-Growth Rate Model Model pertumbuhan ini disebut juga dengan Model GordonShapiro. Diasumsikan bahwa tingkat pertumbuhan dividen g setiap tahun adalah tetap dan digunakan k tingkat diskonto tunggal. Maka persamaan model ini adalah: P=
D0 (1+ g ) D1 = k−g k−g
c. The Multiple-Growth Rate Model Banyak perusahaan memiliki persentase pertumbuhan yang pesat untuk beberapa tahun, namun di tahun berikutnya terjadi penurunan persentase perumbuhan. Pada saat pertumbuhan perusahaan menurun, biasanya perusahaan membayar dividen yang lebih sedikit bahkan tidak membayar dividen sama sekali dibandingkan dengan periode sebelumnya. Model ini menjelaskan bahwa pertumbuhan dividen tersebut harus menggunakan dua atau lebih pertumbuhan yang dapat dinyatakan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
n
P=∑
(
D0 1 + g s
t =1
k−g
) + D (1+ g ) n
k− g
c
1 (1+ k )n
P0 = nilai intrinsik saham D 0 = dividen saat ini g s = tingkat pertumbuhan dividen supernormal/subnormal g c = tingkat pertumbuhan dividen konstan k = tingkat diskonto n = jumlah periode pada pertumbuhan supernormal/subnormal D n = dividen pada akhir periode pertumbuhan abnormal 2. Model rasio P/E rendah Model
investasi rasio P/E rendah diusulkan oleh Benjamin
Graham pada tahun 1949. Model ini memang dikhususkan bagi “investor defensi”, yaitu investor yang tidak memiliki waktu, keahlian, maupun sifat untuk melakukan investasi yang agresif. Graham selalu memperbaharui model ini pada setiap edisi terbaru bukunya. Menurut Graham dalam bukunya yang berjudul The Intelligent Investor tahun 1973, beberapa kriteria investasi yang dianggap mewakili model ini adalah (Fabozzi, 1999: 289): a. Perusahahan harus selalu membayar dividen selama 20 tahun terakhir. b. Perusahaan sedikitmya memiliki ukuran penjualan tahunan sebesar $100 juta bagi perusahaan industrial dan $50 juta bagi BUMN. c. Perusahaan selalu mengalami keuntungan (pendapatan positif) dalam 10 tahun terakhir.
Universitas Sumatera Utara
d. Harga berlaku tidak boleh melebihi 1,5 kali dari nilai buku yang beredar. e. Harga pasar tidak boleh melebihi 15 kali dari rata-rata pendapatan tiga tahun terkhir. Rasio P/E sebagai alat ukur harga yang dibayarkan atas nilai yang diterima. Rasio P/E sebagai sesuatu yang tidak terlalu baik karena menunjukkan premi yang tinggi bagi pertumbuhan laba di masa depan yang sulit diramalkan. Dengan demikian, perusahaan dengan kualitas tinggi dan rasio P/E yang lebih rendah akan lebih dipilih karena dianggap memiliki potensi penurunan pendapatan dan harga yang lebih kecil (Graham dalam Fabozzi, 1999: 289). 3. Model kekuatan relatif Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Robert Levy melalui disertasi doktoral yang ditulis pada tahun 1966 dan melalui artikel yang ditulisnya pada Financial Analysts Journal pada tahun 1967
(Fabozzi,
1999: 289-299). Model kekuatan relatif memiliki berbagai bentuk, namun ide dasarnya saham yang memiliki kinerja harga di atas rata-rata di masa lalu akan terus mempertahankan kinerjanya selama beberapa tahun mendatang. Model ini secara umum memperhitungkan perubahan persentase perubahan harga pasar selama beberapa periode dan memberikan peringkat berdasarkan persentase dari tinggi hingga rendah. Kemudian membeli saham dengan persentase peningkatan terbesar.
Universitas Sumatera Utara
4. Model rotasi kelompok homogen Model kelompok homogen yang dikembangkan oleh James Farrell menggunakan
analisis
kelompok,
suatu
teknik
statistik
yang
mengidentifikasikan kelompok saham yang pengembaliannya saling berhubungan erat masing-masing kelompok dan yang relatif tidak berhubungan dengan kelompok.dengan menggunakan teknik ini, Farrell menentukan sedikitnya ada empat kelompok saham di pasar, yaitu: pertumbuhan, siklikal, stabil, dan energi. Manajer yang menggunakan pendekatan rotasi kelompok dapat menerapkan analisis kelompok untuk menentukan kelompok homogen saham
yang
pengembaliannya
saling
berhubungan
erat.
Farrell
menunjukkan adanya keutungan besar yang dapat diperoleh manajer yang dapat memilih kelompok yang benar dan dapat meramalkan dengan benar kelompok yang disukai oleh pasar. Walaupun jumlah manajer yang dapat melakukan peramalan dengan tepat sangat sedikit, hasil penelitian yang ada menunjukkan dengan jelas bahwa ketepatan yang wajar dapat menghasilkan pengembalian yang menarik. 5. Model multifaktor Pemikiran bahwa harga saham biasa dapat dijelaskan oleh model ekonometri dengan sejumlah kecil variabel penjelas yang terpilih baik yang muncul setidaknya pada tahun 30-an. Dalam banyak hal, variabelvariabel tersebut merupakan data keuangan atau koefisiensi regresi yang melekat, namun karena adanya istilah tehadap variabel yang diperoleh melalui prosedur statistik disebut analisis faktor, maka saat ini variabel-
Universitas Sumatera Utara
variabel tersebut disebut faktor. Beberapa praktisi menyebutnya atribut atau indeks. Pemikiran paling sederhana adalah bahwa satu faktor (beta) sudah mencukupi, namun para analis kuantitatif berpendapat model-model yang lebih canggih akan memberikan pandangan yang lebih akurat. Contoh model sederhana yang digunakan adalah: r i = B i,0 + B i,1 (BETA) + B i,2 (SIZE) + B i,3 (P/E) + e i
(Fabozzi, 1999:
300) yang menyatakan bahwa pengembalian saham i (r i ), adalah fungsi dari beta (BETA), kapitalisasi (SIZE), rasio harga-pendapatan (P/E), dan kepekaan terhadap setiap varabel (B i,j ) dan juga pengaruh-pengaruh tidak terukur lainnya yang diasumsikan bertindak sebagai kesalahan independen (e i ). Dengan menggunakan teknik statistik dari analisis regresi berganda, akan mudah untuk memperkirakan koefisien kepekaan rata-rata bagi kelompok saham. 6. Model anomali (penyimpangan) pasar Pasar saham jika sepenuhnya efisien, maka tidak ada pendapatan sistematis dari investasi dalam saham dengan karakteristik tertentu yang mudah dikenal seperti rasio P/E yang rendah, kapitalisasi yang kecil, dan cakupan yang kurang dari analis. Bagaimanapun, sejumlah penelitian akademi telah menunjukkan adanya anomali pasar. Lima penyebab penyimpangan pengembalian dalam pasar saham (Keim dalam Fabozzi, 1999:301), yaitu: a. Saham dengan dividen tinggi.
Universitas Sumatera Utara
b. Saham dengan kapitalisasi kecil. c. Saham dengan rasio P/E yang kecil. d. Pengembalian tinggi yang tidak normal di bulan Januari. e. Pengembalian tinggi yang tidak normal bagi saham-saham pada peringkat 1 dalam value line. Pada penelitian-penelitian lain menunjukkan adanya pengembalian rendah yang tidak normal pada hari Senin dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Keberadaan anomali pasar ini memberikan peluang bagi para investor untuk memperoleh tambahan pengembalian saham.
C. Jenis-jenis Rasio Penilaian Saham Rasio penilaian merupakan ukuran prestasi perusahaan yang paling lengkap. Hal ini disebabkan rasio-rasio tersebut mencerminkan kombinasi pengaruh dari rasio resiko dengan rasio hasil pengembalian (Weston dan Copeland,1999:235-236). Menurut Weston dan Copeland (1999), ada dua jenis rasio yang digunakan dalam penilaian saham, yaitu: 1. Price Earning Ratio (PER) Selain mengunakan arus kas atau arus dividen dalam menghitung nilai fundamental atau nilai intrinsik saham, alternatif yang lain adalah menggunakan nilai laba perusahaan (earning). Salah satu pendekatan yang paling populer adalah pendekatan Price Earning Ratio (PER) atau disebut juga pendekatan earnings multiplier. Price Earning Ratio menunjukkan rasio dari harga saham terhadap earnings. Rasio ini menunjukkan berapa
Universitas Sumatera Utara
besar investor menilai harga saham terhadap kelipatan earnings (Jogiyanto, 2003:104). Nilai PER adalah 5, maka hal ini menunjukkan bahwa harga saham merupakan kelipatan dari lima kali earnings perusahaan. Jadi, untuk mendapatkan Rp1,- earning perusahaan, investor harus membayar Rp5,(Tandelilin, 2001:191). Misalkan earnings yang digunakan adalah earnings
tahunan, maka nilai PER sebesar 5 menunjukkan lama
investasi saham akan kembali selama 5 tahun. 2. Price to Book Value Ratio (PBV) Price to Book Value Ratio (PBV) dikenal juga dengan istilah Market to Book Value. Rasio ini juga merupakan rasio penilaian yang penting. Salah satu artinya adalah menunjukkan bahwa pasar keuangan juga berkaitan erat dengan manajemen perusahaan dan organisasi dari perusahaan yang berjalan (going concern). Dalam beberapa pengertian lain, nilai buku merupakan biaya historis dari aktiva fisik perusahaan. Suatu perusahaan yang sehat dengan manajemen dan organisasi yang kuat serta berfungsi secara efisien akan memilliki nilai pasar yang lebih tinggi daripada nilai bukunya atau sama dengan nilai bukunya (Weston dan Copeland, 1999:236).
D. Model Penilaian Saham dengan Price to Book Value Rasio Price to Book Value (PBV) adalah rasio yang menunjukkan apakah harga saham (harga pasar) yang diperdagangkan berada di atas (overvalued), wajar, atau di bawah (undervalued) nilai buku saham tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Model penilaian suatu saham menyatakan bahwa nilai intrinsik suatu saham adalah nilai sekarang dari penjumlahan arus kas yang diterima pemegang saham di masa datang. Arus kas tersebut didiskontokan dengan menggunakan tingkat biaya modal (cost of capital) yang mencerminkan tingkat resiko saham yang bersangkutan. Bagi pemegang saham, arus kas yang diterima adalah dalam bentuk dividen. Jadi, nilai intrinsik saham menunjukkan nilai sekarang dari seluruh dividen yang akan dibayar perusahaan di masa datang. Besarnya dividen yang akan dibayar perusahaan sangat tergantung pada prospek pertumbuhan perusahaan. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan perusahaan, maka semakinbesar pula jumlah dividen yang akan dibayar oleh perusahaan. Jika perusahaan mengalami laju pertumbuhan konstan, maka nilai intrinsik dapat dinyatakan dengan persamaan berikut (Bodie, Kane dan Marcus, 2005): V0 =
Div1 r−g
Keterangan: V0
= nilai intriinsik saham pada priode 0
Div 1 = dividen yang akan dibayarkan pada priode 1 r
= tingkat biaya modal
g
= tingkat pertumbuhan konstan
Karena dividen dapat dinyatakan sebagai hasil kali dari nilai buku perusahaan (book value) BV dengan ROE (Return on Equity) dan DPR (Dividend Payout Ratio), maka persamaan di atas dapat dinyatakan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
V0 =
BV0 ROE DPR (1 + g ) r−g
Kedua sisi persamaan dibagi BV 0 dan diasumsikan bahwa nilai intrinsik saham sama dengan harga saham, maka persamaan di atas dapat dinyatakan sebagai berikut: PBV =
ROE DPR (1 + g ) r−g
ROE didasarkan pada laba yang diharapkan pada periode berikutnya, persamaan dapat disederhanakan menjadi: PBV =
ROE DPR r−g Rasio PBV tergantung pada tiga hal, yaitu: ROE yang
mencerminkan profitabilitas perusahaan, DPR yang mencerminkan kebijakan dividen dan pertumbuhan perusahaan yang mencerminkan prospek perusahaan di masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara