BAB II URAIAN TEORITIS
2.1
Pendidikan di Indonesia dan Pengeluaran Pemerintah untuk Sektor Pendidikan Amanat pembangunan pendidikan tertuang dalam pembukaan UUD 1945
yaitu bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28C ayat (1) setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia; ayat (2) setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 28E ayat (1) setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta hak kembali. Pasal 31 ayat (1) tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran; ayat (2) pemerintah mengusahakan dan menyelenggara satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara indonesia.
Berdasarkan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20/2003 tentang sistem pendidikan Nasional, pendidikan formal di indonesia dimulai dengan dua tahun belajar di Taman Kanak-Kanak (TK) dilanjutkan dengan pendidikan Sekolah Dasar (SD) yang lamanya enam tahun. Lulusan dari Sekolah Dasar dapat meneruskan ke pendidikan yang lebih tinggi. Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20/2003 juga menyatakan bahwa setiap anak yang berumur 7 sampai 15 tahun harus mengenyam pendidikan dasar. Berdasarkan Undang-Undang tersebut dapat di implikasikan yaitu dalam hal ini pemerintah harus menyediakan layanan pendidikan gratis bagi seluruh siswa usia pendidikan dasar. Maka pencapaian target Angka Partisipasi Kasar dalam pendidikan di indonesia, dan investasi untuk meningkatkan mutu pendidikan, menjadi faktor yang sangat penting dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi indonesia sehingga mampu bersaing dikawasan regional di tahun yang akan datang. Menurut Bank Dunia (Peningkatan Kualitas Pendidikan, 2007 dalam Septiana, 2008) masalah yang dihadapi Indonesia di bidang pendidikan yaitu partisipasi sekolah yang sangat timpang antar daerah karena tidak semua anak mampu bersekolah. Anak dari kelompok miskin keluar dari sekolah lebih dini karena pendapatan orangtua yang masih rendah, kualitas sekolah di Indonesia masih rendah dan cenderung memburuk, persiapan dan kehadiran tenaga pengajar yang masih kurang, serta pemeliharaan sekolah tidak dilakukan secara berkala.
Keterbatasan
anggaran
dalam
penyelenggaraan
pendidikan
sangat
mempengaruhi keberlangsungan penyelenggaraan tersebut. Anggaran Pendidikan yang memadai akan sangat mempengaruhi mutu pendidikan (Hasbullah, 2006, p. 45). Menurut Glosarium pendidikan (www.mandikdasmen.depdiknas.go.id) Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, termasuk gaji pendidik, namun tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Proporsi pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan, baik terhadap total pengeluaran pembangunan maupun Produk Domestik Bruto, secara tidak langsung menunjukkan reaksi pemerintah atas semakin tingginya permintaan atas sarana dan prasarana pendidikan. Secara tidak langsung hal itu menunjukkan seberapa jauh masyarakat menyadari pentingnya peranan pendidikan. Ketentuaan anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 pasal 49 tentang pengalokasian dana pendidikan yang menyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan kenaikan jumlah alokasi anggaran pendidikan diharapkan terjadi pembaharuan sistem pendidikan nasional yaitu dengan memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara
Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Pada tingkat propinsi dan kabupaten/kota, anggaran untuk sektor pendidikan sebagian besar berasal dari dana yang diturunkan dari pemerintah pusat ditambah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dituangkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Pada era sentralisasi di masa lalu, sebagian besar (bahkan hampir semua) dana pendidikan yang ada di tingkat propinsi dan kanupaten/kota berasal dari pemerintah pusat, sementara pemerintahan daerah hanya mengelola dan menyalurkannya sesuai dengan perunutukannya yang telah di rencanakan sebelumnya. Hanya sebagian kecil (kurang dari 1 persen) dana pendidikan di daerah yang berasal dari anggaran daerah. Pada era otonomi daerah sekarang, keadaan tersebut sesungguhnya masih belum banyak mengalami perubahan. Sebagian besar dana dalam RAPBD propinsi dan kabupaten/kota diperoleh dari pusat yang disalurkan dalam bentuk paket yang disebut Dana Alokasi Umum (DAU) dan untuk sebagian ditambah lagi dengan Dana Alokasi Khusus (DAK). Perbedaannya hanya terletak pada tanggung jawab pengalokasiannya yang diserahkan sepenuhnya kepada daerah, namun terdapat pengecualiaa. Daerah-daerah yang memiliki Sumber Daya Alam yang dikuasai oleh negara mendapatkan bagian dalam proporsi tertentu dari keuntungan yang diperoleh dengan mengacu pada UU No.33/2004 tentang perimbangang keuangan.
Menurut Achsanah dalam Rica Amanda, 2010 (Efisiensi Teknis bidang pendidikan dalam implementasi model kota layak anak) bahwa Peranan dominan pemerintah terhadap pasar pendidikan tidak hanya mencerminkan masalah kepentingan pemerintah tetapi juga aspek ekonomi khusus yang dimiliki oleh sektor pendidikan, karena karakteristik yang ada pada sektor pendidikan yaitu sebagai berikut: 1. Pengeluaran pendidikan sebagai investasi
Pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan mencerminkan investasi dalam sumber daya manusia. Karakteristik khusus dari pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidakan adalah dampaknya yang tidak secara langsung dapat dilihat. Misalnya, pengeluaran pemerintah dalam program wajib belajar 9 tahun tidak serta merta dapat di rasakan tapi membutuhkan waktu misalnya 5 atau 10 tahun ke depan. Dan Menurut Almasdi Syahza dalam Model Pengembangan wajib belajar 12 tahun, Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang yang perlu di utamakan, yaitu: Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan
untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. 2. Eksternalitas
Pendidikan menawarkan eksternalitas positif yang lebih luas kepada masyarakat. Pendidikan akan meningkatkan kualitas tenaga kerja ,dengan demikian meningkatkan tingkat pengembalian investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pendidikan juga mendorong terciptanya spesialisasi tenaga kerja serta dapat memfasilitasi pembangunan ekonomi yang lebih berorientasi ke luar (outward looking). Intervensi pemerintah dalam bidang pendidikan juga dalam kerangka penanaman nasionalisme serta nilai-nilai kebangsaan lainnya. Pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan cenderung diwujudkan dalam bentuk pelayanan langsung, misalnya pendirian sekolah negeri dibandingkan misalnya dengan pemberian subsidi pada sekolah swasta. Dengan mensuplai pelayanan pendidikan secara langsung, pemerintah lebih dapat mengkontrol kurikulum dan standar pendidikan.
3. Pengeluaran bidang pendidikan dan implikasinya terhadap kebijakan publik
Adanya kegagalan pasar serta eksternalitas positif dari pendidikan mendorong pentingnya intervensi pemerintah dalam bidang pendidikan dalam kerangka untuk meningkatkan efisiensi serta untuk mendistribusikan pendidikan ke seluruh lapangan masyarakat 4. Rate of return pendidikan
Rate of return investasi dalam bidang pendidikan sangat tinggi terutama untuk negara-negara berkembang maupun negara miskin dimana suplai tenaga terdidik relatif masih sangat sedikit. Besar kecilnya biaya pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan, berhubungan dengan berbagai indikator mutu pendidikan, angka partisipasi, prestasi belajar siswa. Sumatera Utara tahun 2008, belum maksimal dalam mengalokasikan anggaran, Meski telah menjadi ketetapan undang-undang agar anggaran pendidikan ditetapkan sebesar 20 persen, tapi Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara belum juga mampu memenuhi ketentuan itu. Pempropsu mengalokasikan anggaran pendidikan berkisar 11 persen, (Statistik Sumatera Utara, 2008). Ini berbanding terbalik dengan Kabupaten Deli Serdang sendiri untuk tahun 2008 alokasi anggaran pendidikan sebesar 38,47 persen dan terus meningkat sebesar 44,11 persen ditahun 2009. Hal ini sudah melebihi anggaran yang ditetapkan dalam UU No.20/2003 pasal 49 sebesar 20 persen, hal ini disebabkan oleh terselanggaranya dengan baik konsep percepatan pendidikan yang mengusung konsep Cerdas dengan skala prioritas pembangunan pendidikan Kabupaten Deli Serdang. Tetapi Besarnya anggaran pemerintah
Kabupaten Deli Serdang hanya dimaksimalkan pada Pendidikan dasar dengan lebih fokus terhadap program wajib belajar sembilan tahun, hal ini dapat dilihat dari besarnya perolehan Angka Partisipasi Kasar pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama dengan masing-masing perolehan Angka Partisipasi Kasar sebesar 122,77 persen Untuk Sekolah Dasar dan 98,11 persen untuk Sekolah Menengah Pertama di tahun 2009, sedangkan untuk jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas perolehan Angka Partisipasi Kasar di tahun yang sama sebesar 86, 90 persen atau paling rendah di antara jenjang pendidikan yang lain, hal ini dapat terjadi akibat anggaran yang belum maksimal di terima pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas itu sendiri, di Sumatera Utara sendiri jumlah alokasi terbesar kedua setelah dana BOS adalah program peningkatan mutu tenaga kependidikan. Peningkatan jumlah anggaran berbagai program seperti tunjangan fungsional, tunjangan profesi, tunjangan guru untuk daerah khusus, tunjangan kualifikasi, dan tunjangan akhir masa bakti. Baru Sisanya terbagi bagi dalam program- program pendidikan lainnya seperti pendidikan menengah umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar sekolah (PLS), dan lainnya. Hal ini menunjukkan perhatian untuk jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas di Sumatera Utara juga belum mendapat perhatian yang cukup besar seperti hal nya untuk jenjang pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Maka disini lah betapa penting peran swasta dalam penyelenggaraan pendidikan, terlebih demi melihat keterbatasan kemampuan pemerintah (Negara) dalam menyediakan layanan pendidikan bagi masyarakat, maka sekolah-sekolah swasta sangat dibutuhkan keberadaannya meski status badan hukumnya masih belum
sempurna. Tetapi tidak dapat dipungkiri juga realitasnya masyarakat awam masih berbondong-bondong mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah negeri, hanya karena biaya pendidikan di sekolah negeri lebih murah jika dibandingkan dengan biaya pendidikan di sekolah swasta. Itulah cara masyarakat awam dalam memilih sekolah untuk anaknya, hanya memakai standar murah atau mahalnya biaya pendidikan, apalagi ada pendidikan gratis. Cara ini logis, mengingat kemampuan rata-rata perekonomian masyarakat mayoritas adalah menengah ke bawah, masih hanya memikirkan untuk makan dan tetap sehat sehingga menomor dua kan pendidikan 2.2
Konsep Produk Domestik Bruto Produk Domesti Bruto adalah “nilai barang dan jasa akhir berdasarkan harga
pasar, yang diproduksi oleh sebuah perekonomian dalam satu priode (kurun waktu) dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang berada dalam perekonomian tersebut.” (case dan fair, 1996 dalam prathama rahardja, 2001). Salah satu indikator penting untuk mengetahui bagaimana kondisi ekonomi disuatu negara atau wilayah pada satu periode tertentu adalah dalam data Produk Domestik Bruto (PDB)/Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB/PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB/PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDB/PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai tahun dasar (Badan Pusat Statistik Sumatera Utara,
2007). Sedangkan pendapatan perkapita adalah total pendapatan suatu daerah dibagi jumlah penduduk tersebut untuk tahun yang sama. 2.2.1 Metode Penghitungan Pendapatan Regional Ada dua metode yang dapat dipakai untuk menghitung PDRB, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung adalah penghitungan didasarkan sepenuhnya pada data daerah, hasil penghitungannya mencakup seluruh produk barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Pemakaian metode ini dapat dilakukan melalui tiga pendekatan (Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2007). 2.2.1.1 Pendekatan Produksi PDRB merupakan jumlah Nilai Tambah Bruto (NTB) atau nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di suatu wilayah/region dalam suatu periode tertentu, biasanya satu tahun. Sedangkan NTB adalah Nilai Produksi Bruto (NPB/Output) dari barang dan jasa tersebut dikurangi seluruh biaya antara yang digunakan dalam proses produksi. Perkirakan nilai tambah dari sektor produknya berbentuk fisik atau barang seperti : a. Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan b. Pertambangan dan penggalian c. Industri pengolahyan d. Listrik, gas dan air bersih e. Bangunan f. Perdagangan, hotel dan restoran g. Pengangkutan dan komunikasi
h. Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan i. Jasa-jasa j. Nilai tambah yang merupakan selisih antara nilai produksi (output) dan nilai biaya antara (intermediate cost), yaitu bahan baku/penolong dari luar yang dipakai dalam proses produksi. Atau dengan rumus: PDRB
= P1Q1 + P2Q2 + ........ + PnQn
Dimana: P1,P2,...,Pn
= Harga satuan produk masing-masing sektor ekonomi
Q1,Q2,..,Qn
= Jumlah Produk pada satuan masing-masing sektor ekonomi
2.2.1.2 Pendekatan Pendapatan PDRB adalah jumlah seluruh balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah/region dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. Berdasarkan pengertian tersebut, maka NTB adalah jumlah dari upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam pengertian PDRB ini termasuk pula komponen penyusutan dan pajak tak langsung netto. Dengan rumus: PDRB = R + W + i + π Dimana: R
= Sewa
W
= Upah
I
= Bunga
Π
= Laba
2.2.1.3 Pendekatan Pengeluaran PDRB adalah jumlah seluruh pengeluaran yang dilakukan untuk pengeluaran perubahan inventori dan ekspor netto (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor), di dalam suatu wilayah/region dalam periode tertentu, biasanya satu tahun. Dengan metode ini, penghitungan konsumsi rumahtangga dan lembaga swasta nirlaba, pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, NTB bertitik tolak pada penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi. Dengan rumus: PDRB = C + I + G + ( X-M ) Dimana: C
= Konsumsi
I
= Investasi
G
= Pengeluaran Pemerintah
X
= Ekspor
M
= Impor 2.2.2 Metode Tidak Langsung/Alokasi Metode Tidak Langsung dilakukan dengan menghitung nilai tambah suatu
kelompok ekonomi dengan mengalokasikan nilai tambah nasional ke dalam masingmasing kelompok kegiatan ekonomi pada tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator yang paling besar pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktivitas kegiatan ekonomi tersebut. Maka untuk dapat mengetahui tingkat perkembangan pendapatan penduduk pada suatu daerah secara rata-rata dapat digunakan dengan angka PDRB per kapita.
PDRB perkapita penduduk pada suatu daerah dihasilkan dengan membagi pendapatan domestik dan jumlah penduduk pertengahan tahun di daerah bersangkutan. PDRB per kapita merupakan salah satu indikator untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat secara makro. PDRB per kapita menggambarkan rata-rata pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk selama satu tahun. Tingginya PDRB per kapita mencerminkan keadaan ekonomi masyarakat yang lebih baik, dan sebaliknya PDRB per kapita yang rendah mencerminkan keadaan ekonomi masyarakat yang kurang berkembang. Dalam hal ini pendapatan digunakan untuk biaya pendidikan, dengan meningkatnya Pendapatan Per kapita, kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan menjadi lebih tinggi, sehingga permintaan akan jenjang pendidikan menjadi lebih tinggi dan waktu sekolah pun menjadi lebih lama (susanti, 1995). Becker (1975) dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Sirojuzilam (2009), mengkaitkan diantara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas tenaga kerja dengan asumsi semakin tinggi kualitas dan mutu pendidikan, maka akan semakin tinggi produktivitas tenaga kerja dan semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori ini selanjutnya mengungkapkan bahwa produktivitas tenaga kerja akan menyebabkan kenaikan dalam pendapatan masyarakat lebih tinggi karena pendidikan yang lebih tinggi, sehingga dengan demikian akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun demikian pengalaman di negara maju dengan menggunakan asumsi yang digunakan oleh teori tersebut tidak selalu benar. Dalam pidato pengukuhan Guru Besar Sirojuzilam (2009) juga memperlihatkan Studi yang dilakukan oleh Blau dan Duncan (1967) di Amerika
Serikat, Blaug (1974) di Inggris dan Cummings (1980) di Indonesia, menunjukkan bahwa pendidikan formal memberikan peranan yang relatif kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan. Hal ini sejalan pula dengan asumsi yang harus dipenuhi bahwa lapangan kerja di sektor modern masih sangat terbatas jumlahnya, sehingga jumlah tenaga kerja terdidik yang relatif besar tidak dapat tertampung oleh lapangan kerja yang ada. Kemudian lulusan pendidikan belum siap bekerja yang sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Sehingga kebanyakan masyarakat terutama di daerah pedesaan atau pesisir pantai bekerja atau memperoleh penghasilan dari sektor informal yang sejalan dengan itu memperkecil kesadaran akan pentingnya pendidikan. Menurut Michael P.Todaro (2000) ada dua biaya pendidikan, yaitu: biayabiaya pendidikan individual dan biaya-biaya pendidikan tidak langsung. Biaya pendidikan langsung individual ini yang kemudian berkenaan langsung pada pendapatan perkapita masyarakat. Biaya pendidikan langsung individual adalah segenap biaya moneter (uang) yang harus dipikul oleh siswa dan keluarganya untuk membiayai pendidikan. Biaya-biaya ini meliputi uang iuran sekolah, buku-buku, pakaian seragam, serta ongkos lainnya. Tingkat permintaan terhadap pendidikan berbanding terbalik dengan besarnya ongkos-ongkos yang bersifat langsung ini, dan semakin tingginya jenjang pendidikan yang diterima seorang anak maka semakin besar ongkos/biaya pendidikan langsung individual yang dibebani. Bagi penduduk yang berpenghasilan rendah, biaya-biaya langsung dari penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar saja sudah membebankan mereka dan menghabiskan sejumlah besar pendapatan rill mereka. Di banyak negara Afrika,misalnya, biaya untuk mengirim
seorang anak ke sekolah dasar, rata-rata menghabiskan lebih dari 20 persen pendapatan perkapita keluarga tersebut. 2.3
Tenaga Pendidik/ Guru Karena “tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan karena segala
bentuk kebijakan dan program pada akhinrya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan yaitu guru” (Mohamad Surya, 2000 dalam Ono Wiharna, 2007, Perencanaan Kebutuhan Guru ). Artinya ketersediaan guru di sekolah dasar merupakan kunci utama dalam berlangsungnya proses belajar mengajar. Peningkatan mutu pendidikan merupakan sebuah keharusan, walaupun dalam perjalanannya membutuhkan banyak perbaikkan di pada sektor yang mendukung dunia pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini persyaratannya adalah terdapat sarana dan prasarana yang tentu saja memadai, di antaranya seperti gedung sekolah yang representatif, terdapat perpustakaan yang lengkap, sistem pendidikan, anggaran yang cukup, dan guru sebagai tenaga pendidik. Guru/Tenaga
Pendidik
akan
menjadi
sorotan
dalam
mengupayakan
peningkatan mutu pendidikan, sebab tidak bisa dipungkiri dengan fasilitas yang bisa di katakan seadanya apalagi pada daerah-daerah yang terpencil tenaga pendidik di tuntut untuk tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar dan harus secara profesional. Menurut agus sumarsono dalam “Antara tuntutan profesionalitas guru/tenaga pendidik dan perwujudan kesejahteraan” ada beberapa saran dan tuntutan antara lain sebagai berikut ;
1. Kualifikasi akademis. Guru/ tenaga pendidik harus memenuhi kualifikasi berupa ijazah S-1 atau D-4 yang dalam pelaksanaan diterapkan secara pukul rata termasuk guru senior yang sudah mempunyai pengalaman bertahun-tahun tentu akan menjadi beban tersendiri. Dalam hal ini pada prakteknya kemudian dipaksakan hanya sekedar mencari formalisasi ijazah agar memenuhi prasyarat menjadi guru/ tenaga pendidik dengan tanpa memperhitungkan ilmu pengetahuan yang harus dipertanggungjawabkan dalam dunia keilmuan. 2. Kreatif innovatif. Sebagai seorang guru/ tenaga pendidik dituntut untuk mempunyai daya kreatifitas yang memadai. Kreatifitas ini menjadi tuntutan untuk menunjang keberlangsungan proses belajar mengajar agar dapat berjalan dengan baik di tengah keterbatasan fasilitas pendidikan yang oleh pemerintah belum sepenuhnya mampu untuk memenuhinya. Penting bagi seorang guru/ tenaga pendidik untuk menciptakan sebuah innovasi agar anak didik dapat menyerap proses pendidikan secara baik sehingga nantinya dapat dihasilkan lulusanlulusan yang berkualitas. 3. Pengabdian yang tulus. Bagi
seorang
guru/
tenaga
pendidik
mempunyai
kewajiban
untuk
mendarmabaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan dunia pendidikan dengan tanpa pamrih. Jargon pahlawan tanpa tanda jasa merupakan paling ampuh yang sampai sekarang diterapkan kepada para guru/ tenaga pendidik. Sehingga muncul sebuah semangat membara dalam diri guru/ tenaga pendidik
untuk selalu bekerja keras walaupun berada di sebuah kawasan yang terpelosok sekalipun. Tidak boleh mengeluh dengan kondisi yang ditemukan di lapangan yang menghambat jalannya proses belajar mengajar. Selama ini para guru/ tenaga pendidik menjalankan tugas lebih didasarkan pada panggilan hati nurani. Penghormatan dan penghargaan disematkan sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa" menjadi apresiasi yang kerap merugikan. Dalam artian, keberhasilan memajukan kualitas pendidikan merupakan suatu tugas mulia dan pahlawan tidak perlu diberikan kapabilitas berkat jasa-jasanya. Tugas sebagai profesi guru/ tenaga pendidik kerap dimarginalisasikan. Padahal, peran yang dijalankannya adalah membangun peradaban manusia agar lebih manusiawi, dengan aspek kognitif, keterampilan, sikap, dan perilaku. Dan ada lima ukuran seorang guru/ tenaga pendidik dinyatakan profesional, yaitu: Pertama, memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Kedua, secara mendalam menguasai bahan ajar dan cara mengajarkan. Ketiga, bertanggung jawab memantau kemampuan belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi. Keempat, mampu berpikir sistematis dalam melakukan tugas, dan kelima; seyogyanya menjadi bagian dari masyarakat belajar di lingkungan profesinya. Maka akan menjadi sangat berat tugas yang diberikan kepada Tenaga Pendidik/Guru dengan tuntutan seperti di atas. Di lain pihak Tenaga Pendidik/Guru masih juga dihadapkan pada masalah masih rendahnya kesejahteraan yang seringkali dijadikan sebagai faktor penyebab rendahnya motivasi Tenaga Pendidik/Guru dalam melaksanakan tugas belajar mengajar dengan berbagai disiplin ilmu yang dimilikinya.
Dan kemudian masalah inilah yang mempengaruhi proses pembelajaran di kelas sehingga cenderung berlangsung tidak efektif dan efisien. Maka tidak mengherankan pada akhirnya pencapaian belajar siswa termasuk dalam Ujian Nasional menjadi di bawah target yang ditetapkan, yang berdampak kepada menurunnya mutu pendidikan itu sendiri. Tentu saja menjadi kontradiksi antara idealitas peningkatan mutu pendidikan yang dicapai dengan realitas yang dihadapi oleh para Tenaga Pendidik/Guru. Bagaimana mungkin kita kemudian mengatakan bahwa Tenaga Pendidik/Guru bisa profesional kalau kondisinya masih cukup memprihatinkan. Ironis kalau kita terlanjur mengatakan bahwa seorang Tenaga Pendidik/Guru adalah jabatan profesional, tetapi dalam hal perlakuan yang didapatnya jauh dari itu. Tenaga Pendidik/Guru adalah jabatan profesional harus mendapatkan perlakuan yang profesional pula. Maka harus adanya keseimbangan antara tuntutan yang dibebankan pada Tenaga Pendidik/Guru dengan penghargaan yang harus juga diterima guna menunjang kesejahteraan. Tidak mudah, namun bukan berarti tidak mungkin untuk direalisasikan oleh para pengambil kebijakan (dalam hal ini pemerintah/ eksekutif dan legislatif) terus mengupayakan secara serius. Sebab profesionalitas Tenaga Pendidik/Guru tidak saja dilihat dari kemampuannya dalam mengembangkan dan memberikan pembelajaran yang baik kepada peserta didik. Profesionalitas Tenaga Pendidik/Guru juga harus dilihat oleh pemerintah dengan cara memberikan gaji yang pantas serta layak. Bila kebutuhan dan kesejahteraan telah diberikan oleh pemerintah, maka kemungkinan besar (bukan berarti jaminan 100%) tidak akan ada lagi Tenaga
Pendidik/Guru yang membolos karena harus banting tulang nyari pendapatan lain demi menambah penghasilan. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi peserta didik ( Pasal 1 UU no. 14 Tahun 2005). Tidak dapat dipungkiri, bahwa salah satu faktor penting dalam mewujudkan sitem pendidikan yang bermutu dan relevan adalah guru sebagai ujung tombak dalam melaksanakan misi pendidikan di sekolah (Silverius, 2000 dalam Statistik pendidikan 2009). Guru merupakan faktor yang utama yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan, oleh sebab itu di perlukan kebijakan untuk memonitor dan mengevaluasi pemerataan dan kecakupan tenaga guru baik kuantitas maupun kualitas di semua jenjang pendidikan, sehingga proses pendidikan dari jenjang dasar maupun yang lebih tinggi dapat terselenggara dan berjalan dengan baik. 2.4 Angka Partisipasi Kasar Pendidikan merupakan suatu cara untuk meningkatkan pengetahuan dengan menyatukan insting, pikiran, dan pengalaman manusia, sehingga bisa menciptakan sesuatu menjadi lebih sempurna dan berbudaya. Pendidikan seperti ini bersifat natural yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri dan tidak perlu dipelajari terlebih dahulu. Mendidik dapat juga dikatakan membudayakan manusia (Made Dwi, 2009). Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu. APK didapat dengan membagi jumlah penduduk yang sedang bersekolah (atau jumlah siswa), tanpa memperhitungkan umur, pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk
kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tersebut. Misal, APK SD sama dengan jumlah siswa yang duduk di bangku SD dibagi dengan jumlah penduduk kelompok usia 7 sampai 12 tahun (Statistik Indonesia, 2009). Nilai APK bisa lebih dari 100 persen karena populasi murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan mencakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan (misalnya anak bersekolah di SD berumur kurang dari 7 tahun atau lebih dari 12 tahun). APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan dan APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan. Meningkatnya partisipasi sekolah berarti menunjukkan adanya keberhasilan di bidang pendidikan, utamanya yang berkaitan dengan upaya memperluas jangkauan pendidikan. Angka partisipasi murni (APM) tidak digunakan dalam penelitian ini karena terkadang akan terdapat kasus dimana terdapat siswa yang berusia lebih tua dari pada usia jenjang pendidikan tertentu yang di jalaninya, kasus ini bisa terjadi karena orang tersebut tinggal kelas, terlambat masuk, sakit dan lainnya, maka begitu juga sebaliknya akan di temui kasus dimana seseorang tersebut berusia lebih muda dibandingkan usia jenjang pendidikan yang dijalaninya, hal ini bisa di sebabkan oleh terlalu cepat masuk sekolah atau mendapat kelas akselerasi. Oleh karena itu Angka Partisipasi Kasar penulis menilai lebih tepat di gunakan untuk menunjukkan berapa besar tingkat partisipasi masyarakan secara umum disuatu tingkat pendidikan.
Pada jenjang sekolah yang lebih tinggi (SMA/SLTA) angka partisipasi sekolah penduduk masih rendah. Hal ini berkaitan dengan kegiatan ekonomi penduduk pada usia tersebut yang sebagian besar membantu orang tua untuk bekerja atau pada usia tersebut sudah menikah. Rendahnya partisipasi menurut Sidi (kompas, 17 april 2001 dan septiana, 2008) penyebab anak tidak melanjutkan sekolah adalah adanya faktor budaya dan kurangnya kesadaran orangtua terhadap pendidikan anak, keadaan geografis yang kurang menguntungkan dan kondisi ekonomi orangtua yang miskin. Mengetahui keadaan angka partisipasi pada pendidikan sangat penting bagi semua pihak, dengan mengetahui angka partisipasi maka kita akan dapat mengetahui sejauh mana upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan telah dicapai? Dan dengan angka partisipasi maka kita dapat mengetahui karakter atau variable apa saja, ketidakmerataan atau kesenjangan dalam memperoleh akses pendidikan itu terjadi? Mengingat akhir-akhir ini mengenai 20% anggaran pendidikan (APBN dan APBD) menjadi bahan perhatian utama dan akan menjadi menarik ketika indikator APK ini bisa dijadikan sebagai salah satu instrument untuk menilai efisiensi dan efektifitas kebijakan pendidikan di lihat dari segi akuntabilitas anggaran pendidikan. Dengan demikian maka kita akan mengetahui apakah anggaran pendidikan, PDRB perkapita dan Jumlah Tenaga Pendidik yang semakin besar berkorelasi positif terhadap pemerataan dan perluasan akses pendidikan pada berbagai jenjang pendidikan terutama jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas.
2.5 Penelitian Empiris Penelitian yang dilakukan Made Dwi Setyadhi Mustika (2009) dalam Jurnal Pendapatan Domestik Regional Bruto Per Kapita dan Angka Partisipasi Sekolah (APS) di provinsi Bali (Sebuah Analisis Tipologi Daerah) penelitian ini menunjukkan adanya suatu keterkaitan antara PDRB per kapita dengan APS. Selain itu, hasil studi yang dilakukan Septiana (2008) dalam skipsi Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Angka Partisipasi Sekolah Kasar di Sumatera (Studi kasus perbandingan antara Propinsi Bengkulu dan Sumatera Utara) menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Kasar di pengaruhi oleh Angka Kematian Bayi, Pendapatan Per kapita dan Pengeluaran Pemerintah di sektor Pendidikan.
Hasil Penelitian yang
dilakukan Ono Wiharna (2007) dalam junal Perencanaan Kebutuhan Guru Sekolah Dasar Berdasarkan Pendekan Wilayah menunjukan bahwa Guru mempunyai peran besar dalam perkembangan pendidikan.