bab 3
Sektor Pendidikan Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Temuan Pokok
•
•
• •
Anggaran untuk sektor pendidikan sebesar 17,2 persen telah menempatkan Indonesia sejajar dengan negara berkembang lainnya, juga dengan negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Co-operation and Development OECD). Akan tetapi, tingkat pengeluaran di Indonesia tersebut relatif masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya di kawasan Asia Timur. Penafsiran saat ini tentang ketentuan dalam konstitusi yang menyatakan “20 persen ” untuk anggaran pendidikan, khususnya dengan mengeluarkan gaji guru sebagai komponen 20 persen dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, merupakan sesuatu yang tidak realistis dan pada saat yang sama akan menimbulkan masalah. Jika ingin mencapai angka 20 persen untuk anggaran pendidikan, dengan definisi saat ini, pemerintah pusat perlu menaikkan tingkat pengeluaran yang ada sekarang menjadi lebih dari dua kali lipat dan menggunakan kenaikan anggaran itu untuk pengeluaran bukan gaji, sementara itu pengeluaran daerah secara keseluruhan untuk sektor pendidikan (termasuk gaji) perlu ditingkatkan setidaknya menjadi 45 persen dari total pengeluaran. Ada perbedaan yang cukup besar di bidang akses pendidikan dan mutu pendidikan di berbagai wilayah Indonesia. Penentuan target sumber-sumber daya tambahan yang efektif diperlukan untuk menyediakan dana yang memadai di kabupaten/kota dan provinsi yang masih tertinggal agar dapat setara dengan daerah lain. Indonesia kini memiliki kelebihan jumlah guru di tingkat sekolah dasar dan di wilayah perkotaan, sementara untuk daerah-daerah terpencil masih terjadi kekurangan jumlah guru yang cukup besar.
Rekomendasi Utama
• • •
•
30
Dengan tingginya angka partisipasi pada tingkat Sekolah Dasar, diperlukan pengeluaran dana yang lebih banyak untuk peningkatan angka partisipasi sekolah pada jenjang SMP, dan pada saat yang sama meningkatkan mutu pengajaran, dan memperbaiki infrastruktur pendidikan yang ada. Definisi yang lebih tepat mengenai ketentuan anggaran sebesar 20 persen adalah dengan memasukkan gaji guru dan menggabungkan pengeluaran dari seluruh tingkat pemerintahan. Dengan definisi tersebut, Indonesia mengeluarkan sekitar 17,2 persen untuk sektor pendidikan pada tahun 2006. Untuk memastikan bahwa ketentuan dalam Undang-undang No. 14/2005 tentang Guru dapat mencapai hasil belajar yang lebih tinggi, diperlukan mekanisme pengendalian kinerja dan akuntabilitas yang harus diterapkan secara bersamaan. Penentuan akuntabilitas kelembagaan yang tinggi baik dalam sektor maupun dalam masyarakat madani merupakan prasyarat untuk melakukan kontrol yang efektif terhadap kinerja. Program dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dapat menjadi alat yang tepat dan baik untuk meningkatkan pemerataan pendidikan jika mekanisme alokasi bantuan ini direvisi dengan mempertimbangkan calon siswa (dan tidak hanya memperhitungkan siswa yang telah terdaftar) serta penentuan indikator terhadap kinerja yang baik, dan pelaksanaan anggaran yang transparan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Pendidikan di Indonesia: Kemajuan dan Tantangan
27
Pada tahun akademis 2004/2005, sekolah negeri dan swasta di semua jenjang pendidikan menerima sebanyak 50,6 juta siswa di lebih dari 270.000 sekolah. Berdasarkan UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan formal di Indonesia dimulai dengan dua tahun belajar di taman kanak-kanak (TK) dilanjutkan dengan pendidikan sekolah dasar (SD) yang lamanya enam tahun. Lulusan dari sekolah dasar dapat meneruskan pendidikan mereka ke pendidikan menengah, yang dibagi menjadi sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Baik pendidikan SMP maupun SMA masing-masing memerlukan waktu selama tiga tahun. Lulusan pendidikan sekolah menengah atas dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi (akademi atau perguruan tinggi). Lama studi untuk pendidikan tinggi tergantung pada jenis program. Dalam tahun akademis 2004/2005, distribusi siswa di berbagai jenjang pendidikan adalah: 5 persen untuk taman kanak-kanak, 59 persen untuk sekolah dasar, 17 persen untuk sekolah menengah pertama, 13 persen untuk sekolah menengah atas, dan 6 persen untuk pendidikan tinggi. Indonesia menargetkan 100 persen angka partisipasi kasar (gross enrollment rates) di tingkat sekolah dasar dan 96 persen di sekolah menengah pertama pada tahun 2009. UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa setiap anak yang berumur 7 sampai 15 tahun harus mengenyam pendidikan dasar. UU ini memberikan implikasi bahwa pemerintah harus menyediakan layanan pendidikan gratis bagi seluruh siswa usia pendidikan dasar. Pencapaian target angka partisipasi ini dalam pendidikan Indonesia, ditambah dengan investasi untuk meningkatkan mutu pendidikan, merupakan faktor penting untuk mempertahankan pertumbuhan Indonesia agar mampu bersaing di kawasan regional di tahun-tahun yang akan datang. Oleh karena itu, pengeluaran pendidikan yang efisien dan efektif merupakan unsur penting dalam strategi penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Sejak tahun 1970-an, angka partisipasi sekolah telah meningkat cukup besar sebagai akibat dari upaya pemerintah untuk terus membangun gedung sekolah di seluruh Indonesia. Hasilnya sangat mengesankan: angka partisipasi murni sekolah dasar meningkat dari 72 persen pada 1975 menjadi hampir seluruhnya pada 1995 dan tetap berada pada tingkat yang tinggi selama masa krisis ekonomi pada akhir 1990-an. Pada tahun 2005, angka partisipasi murni sekolah dasar mencapai 93.2 persen (dan angka partisipasi kasar bahkan di atas 100 persen).28 Angka partisipasi murni pada tingkat sekolah menengah pertama bahkan menunjukkan peningkatan yang mengejutkan, yaitu naik dari 17 persen pada 1970-an menjadi sekitar 65.2 persen pada 2005 (dengan angka partisipasi kasar sebesar 81.7 persen). Angka partisipasi sekolah pada tingkat sekolah menengah atas juga mengalami peningkatan walaupun pada tingkat yang lebih rendah (Tabel 3.1). Tabel 3.1 Angka partisipasi kasar dan sekolah pada berbagai jenjang pendidikan, 1995–2005 Angka partisipasi sekolah Tingkat SD Tingkat SMP Tingkat SMA Angka partisipasi kasar Tingkat SD Tingkat SMP Tingkat SMA
1970
1980
1995
1998
2000
2002
2004
2005
72 (a) 17 (a) 17 (a)
88 ---
91.5 51.0 32.6
92.3 58.4 36.9
92.4 61.7 39.5
92.7 60.9 36.8
93.0 65.2 42.9
93.2 65.2 41.7
80 16 16
107 29 --
107.0 65.7 42.4
109.3 70.3 46.4
110.1 76.0 51.5
106.1 79.5 50.4
107.0 82.2 54.4
107.1 81.7 52.9
Sumber: Tinjauan World Bank terhadap Sektor Pendidikan 2005; Susenas dari berbagai tahun. Catatan: (a) Data berkaitan dengan data pada 1975.
27 Bab ini menampilkan rangkuman atas laporan yang terpisah tentang pengeluaran pendidikan. Jika ingin mengenai lebih lengkap tentang studi tersebut, lihat laporan Bank Dunia, 2007a. 28 Angka partisipasi kasar (gross enrollment rates) merupakan total partisipasi siswa pada jenjang pendidikan tersebut, tanpa memperhitungkan umur, sebagai persentase dari populasi usia sekolah untuk jenjang tersebut. Rasio yang ideal adalah 100 persen, tetapi rasio itu lebih besar daripada 100 persen dapat terjadi ketika terdapat jumlah siswa yang banyak dalam satu jenjang yang tidak terkait dengan tingkat pendidikan untuk kelompok usia sekolah tersebut. Rasio angka partisipasi kasar yang tinggi (lebih besar dari 100 persen) dapat menjadi indikator sistem pendidikan yang tidak efisien. Rasio angka partisipasi sekolah memberikan informasi tentang jumlah siswa pada kelompok usia sekolah yang ditentukan dan yang sudah terdaftar di sekolah tertentu lalu dibagi dengan jumlah siswa pada kelompok usia sekolah tersebut.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
31
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Akan tetapi, layanan pendidikan masih belum sesuai dengan tingkat yang diharapkan. Tantangan berat masih harus dihadapi untuk mencapai tujuan “Pendidikan untuk Semua.” Tantangan ini meliputi pengurangan kesenjangan 29 dalam angka partisipasi sekolah (kesenjangan pendapatan dan geografis) dan peningkatan mutu pendidikan. Subbagian di bawah ini memberikan analisis mendalam mengenai tantangan tersebut.
Mengurangi kesenjangan angka partisipasi sekolah Peningkatan angka partisipasi sekolah yang sangat besar di masa lalu dapat menutup kesenjangan angka partisipasi pada tingkat pendidikan dasar untuk kelompok masyarakat dengan berbagai tingkat penghasilan, walaupun kesenjangan yang cukup besar masih terjadi pada jenjang pendidikan SMP dan SMA (Diagram 31). Pada tahun 2005 angka partisipasi kasar pada tingkat sekolah dasar siswa 107.1 persen dan angka partisipasi murni sebesar 93.2 persen. Masalah akses pendidikan menjadi lebih signifikan untuk tingkat pendidikan SMP. Pada jenjang ini masih terdapat perbedaan jumlah partisipasi yang sangat besar di antara kelompok masyarakat dengan jumlah pendapatan yang berbeda (Diagram 31). Seorang anak yang berasal dari keluarga miskinmempunyai kemungkinan 20 persen lebih rendah untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan sekolah menengah pertama dibandingkan anak yang tidak berasal dari keluarga miskin (World Bank, 2006). Secara resmi, pendidikan dasar (kelas 1 sampai 9) adalah wajib bagi anak yang berumur antara 7 sampai 15 tahun, namun permasalahan yang utama adalah kurangnya akses untuk menjangkau 30 layanan pendidikan sekolah menengah pertama. Diagram 3.1 Angka partisipasi sekolah siswa SD dan SMP berdasarkan tingkat pendapatan Angka Partisipasi Murni Jenjang Pendidikan Menengah Pertama
Angka Partisipasi Murni untuk Jenjang Pendidikan Dasar
0.9 0.8
0.95
Angka Partisipasi Sekolah
Angka Partisipasi Sekolah
1
0.9 0.85 0.8 0.75 0.7
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1 (miskin)
2
3
4
5
0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1 (Miskin) 2 3 4 5
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan data dasar dari Susenas 2005.
Walaupun terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah yang mengesankan di tingkat nasional, perbedaan angka partisipasi sekolah antardaerah masih cukup besar. Untuk negara dengan keanekaragaman seperti Indonesia, perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain memang dapat diprediksi dengan mudah. Walaupun lebih dari 90 persen anak-anak Indonesia telah memiliki akses terhadap pendidikan sekolah dasar, namun beberapa daerah masih tertinggal jauh di belakang dan memerlukan perhatian dan bantuan lebih. Pada tahun 2004, angka partisipasi murni untuk pendidikan dasar berkisar antara 80 persen di Provinsi Papua sampai 95 persen di Kalimantan Tengah. Pada tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, angka partisipasi murni bervariasi antara sekitar 41 persen di Papua sampai 77 persen di Yogyakarta, dan untuk pendidikan sekolah menengah atas angka partisipasi murni berkisar sekitar 20 persen di Sulawesi sampai 62 persen di Yogyakarta.
29 Program “Pendidikan untuk Semua” bertujuan untuk mencapai: (i) seluruh siswa dapat ditampung sampai tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, (ii) menjamin bahwa anak-anak dari keluarga miskin memiliki akses yang sama dan penuh terhadap sekolah yang menyediakan lingkungan belajar yang menarik dan pengajaran yang efektif, dan (iii) menyediakan pendidikan dengan mutu yang dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi Indonesia. 30 Pendidikan tinggi tidak dimasukkan dalam lingkup laporan ini. Angka partisipasi kasar (APK) di tingkat pendidikan tinggi sangat rendah, hanya 16 persen. Kelompok yang paling miskin hanya memiliki angka partisipasi sebesar 1 persen, sementara kelompok masyarakat kaya mendekati angka 50 persen.
32
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Meningkatkan mutu pendidikan Mutu pendidikan di Indonesia masih sangat rendah sementara kondisi infrastruktur pendidikan pun telah rusak berat. Beberapa indikator penentu dalam mutu pendidikan yang perlu diperhatikan meliputi kualifikasi para guru, struktur gaji guru , mutu ruang kelas, tingkat kehadiran guru , dan jumlah siswa dalam satu kelas. Ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan prestasi guru di Indonesia. Untuk tingkat pendidikan dasar dan sekolah menengah pertama, masing-masing hanya 55 persen dan 73 persen dari guru yang memenuhi kualifikasi minimal yang dipersyaratkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2005a). Pemerintah sedang berusaha menangani masalah tersebut dengan memberlakukan UU tentang Sertifikasi guru sejak Desember 2005 melalui penyediaan dana tunjangan kepada para guru agar mendapatkan sertifikat. Tunjangan tambahan ini akan dapat meningkatkan pendapatan guru dalam jumlah yang cukup besar. Peningkatan ini dapat berdampak terhadap hasil pembelajaran yang lebih tinggi jika kontrol terhadap mekanisme dan kinerja kelembagaan (yaitu, tingkat kehadiran guru dan mutu pengajaran) benar-benar dapat dilaksanakan. Selanjutnya, akuntabilitas yang kuat merupakan prasyarat untuk melakukan kontrol efektif terhadap kinerja para guru. Mekanisme untuk melakukan kontrol terhadap akuntabilitas di negara-negara lain adalah dengan menggabungkan akuntabilitas top-down (dari sekolah sampai ke tingkat kabupaten/kota/provinsi) dengan pendekatan akuntabilitas bottom-up (dari sekolah sampai ke konstituen dan 31 Komite orang tua siswa). Mutu ruang kelas yang semakin rusak merupakan masalah serius dalam sistem pendidikan Indonesia, terutama di tingkat sekolah dasar, dimana hanya 44 persen dari ruang kelas yang ada yang memenuhi standar minimum yang ditentukan oleh Depdiknas (Depdiknas, 2005b). Sehingga, walaupun perbandingan muridguru yang masih rendah, fakta dengan masih banyaknya guru paruh waktu dan tidak hadirnya guru mengakibatkan rasio murid-kelas yang tinggi. Sistem pendidikan Indonesia tidak cukup menghasilkan jumlah lulusan yang menguasai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk bekerja di sektor ekonomi yang memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi. Berbagai koran Indonesia sering melaporkan adanya kesenjangan antara apa yang diajarkan di sekolah dengan kebutuhan masyarakat sipil untuk dapat berpartisipasi dalam sistem elektorat, serta kebutuhan sektor industri terhadap karyawan dan wirausahawan dengan daya nalar dan keahlian memecahkan masalah. Hasil ujian nasional 2002 menunjukkan bahwa dari nilai tertinggi 10 untuk setiap mata pelajaran, lebih dari 2.2 juta siswa dari hampir 20.000 sekolah yang mengikuti ujian tersebut hanya mampu mencapai nilai rata-rata sebesar 5.79 untuk matematika, 5.11 untuk Bahasa Indonesia dan 5.29 untuk Bahasa Inggris. Data untuk tahun akademis 2005/2006 menunjukkan terjadinya peningkatan nilai ujian yang cukup besar, dengan nilai rata-rata sebesar 7.13 untuk matematika, 7.46 untuk 32 Bahasa Indonesia dan 6.62 untuk Bahasa Inggris. Namun, tingkat reliabilitas hasil ujian tersebut memang masih dapat dipertanyakan, dan validitas atas perbandingan nilai tes dari satu tahun ke tahun sebelumnya baru dapat dikatakan valid jika semua tes yang digunakan tidak mengalami perubahan secara substantial.
Pengeluaran Publik Sejak pertengahan tahun 1990-an, Indonesia telah mengalami kenaikan pengeluaran pemerintah untuk 33 sektor pendidikan. Dua perkecualian telah terjadi, yaitu penurunan yang sifatnya sementara pada masa krisis ekonomi dan sedikit penurunan pada tahun 2004. Penurunan pengeluaran pada tahun 2004 disebabkan oleh pelaksanaan anggaran yang rendah dan tergesernya anggaran di semua sektor sosial akibat kenaikan subsidi BBM. Pengeluaran untuk sektor pendidikan di tingkat nasional mencapai puncaknya pada 2003, ketika pengeluaran pendidikan mencapai sekitar 16 persen dari seluruh pengeluaran di tingkat nasional (Tabel 3.2). Pada tahun 2004, total pengeluaran nasional meningkat sekitar 4 persen. Akan tetapi, proporsi pengeluaran untuk sektor pendidikan menurun menjadi sekitar 14 persen. Pengeluaran untuk sektor pendidikan sebagai proporsi dari PDB juga menurun pada tahun 2004 jika dibandingkan dengan pengeluaran pada tahun 2003, dari sekitar 3.2 persen menjadi sekitar 2.8 persen, sebagaimana proporsi pengeluaran secara keseluruhan di tingkat nasional terhadap PDB yang telah turun dari 19.8 persen menjadi 19.6 persen 31 Contoh peran serta masyarakat yang banyak dipuji dari akuntabilitas dengan pendekatan bottom-up adalah EDUCO yang dilakukan di El Salvador. 32 Depdiknas, data dari Pusat Penilaian. 33 Dalam bab ini pengeluaran pendidikan oleh pemerintah pusat mengikuti klasifikasi anggaran sektoral, juga dari Sektor 11: Pendidikan, Budaya Nasional, Ketuhanan Yang Maha Esa, Sektor Kepemudaan dan Olahraga, Sub-sektor 11.1 Pendidikan dan Sub-sektor 11.2 dan Pendidikan Formal dan non-formal dimasukkan ke dalam analisis ini, secara bersama-sama berjumlah 98 persen dari total pengeluaran untuk sektor ini..
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
33
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel 3.2 Pengeluaran publik secara nasional (pusat + provinsi + kab/kota) untuk sektor pendidikan (Rp triliun)
2001
2002
2003
2004
2005
2006*
2007**
40.5
48.2
64.8
63.1
79.7
120.2
137.8
40.5
43.1
54.3
49.8
56.9
76.2
82.2
40.3
6.4
26.2
-8.4
14.4
33.8
7.8
11.4 2.4 353.6 353.6 21.0
14.3 2.6 337.6 301.8 18.1
16.0 3.2 405.4 339.9 19.8
14.2 2.8 445.3 351.6 19.6
14.9 2.9 535.8 382.9 19.6
17.2 3.6 698.2 442.4 21.1
17.5 3.9 785.4 468.3 22.2
Nominal pengeluaran nasional untuk sektor pendidikan Pengeluaran nasional untuk sektor pendidikan ( harga untuk 2001) Pertumbuhan riil pengeluaran nasional untuk sektor pendidikan Pengeluaran pendidikan (%Total pengeluaran nasional) Pengeluaran nasional untuk pendidikan (% PDB) Total nominal pengeluaran di tingkat nasional Total riil pengeluaran di tingkat nasional Ukuran pemerintah (Total pengeluaran, % dari PDB)
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan DepKeu dan Data SIKD. Catatan: * = Realisasi awal dari APBN dan perkiraan untuk pengeluaran daerah, ** = APBN dan perkiraan untuk pemerintah daerah. Lihat Lampiran F.9 untuk keterangan lebih rinci.
Pengeluaran untuk sektor pendidikan meningkat sebesar 14.4 persen pada tahun 2005 dan bahkan anggaran untuk tahun 2006 menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi yaitu hampir mencapai 34 persen. Walaupun masih ada perbedaan antara alokasi secara keseluruhan berdasarkan anggaran dan realisasi sebenarnya, perbedaan ini cenderung sangat kecil. Perkiraan untuk pengeluaran sektor pendidikan pada tahun 2007 meningkat sebesar 8 persen. Penurunan pengeluaran sektor pendidikan yang terjadi pada 2004 lebih dikarenakan oleh penurunan pengeluaran pembangunanutamanya di tingkat pusat, walaupun dengan penurunan ini juga terjadi di tingkat daerah. Penurunan dalam agregat pengeluaran pembangunan, pengeluaran rutin di tingkat daerah dan di tingkat pusat yang stabil/ 34 berkelanjutan pada tahun 2001–04. Sebagai akibat dari terjadinya peningkatan pengeluaran akhir-akhir ini, pengeluaran untuk sektor pendidikan di Indonesia hampir sama dengan yang dimiliki oleh negara-negara berkembang lainnya. Indonesia memiliki proporsi tingkat pengeluaran sektor pendidikan terhadap PDB yang rendah, tetapi saat ini pengeluaran pendidikan Indonesia hampir sama dengan negara lain yang memilki kemiripan pendapatan per kapita maupun hambatan geografis dan logistik (Diagram 3.2). Diagram 3.2 Perbandingan secara internasional terhadap pengeluaran untuk pendidikan, 2004 30 Pengeluaran untuk Sektor Pendidikan sebagai % dari Belanja Pemerintah
25
Pengeluaran untuk Sektor Pendidikan sebagai % dari PDB
20 15 10
Malaysia
Thailand
Hong Kong, China
Kenya
Azerbaijan
Chili
K osta Rika
Belize
Bolivia
Kamerun
Fillipina
Indonesia 2006
Republik Korea
Bangladesh
Argentina
Indonesia 2004
Lebanon
Russian Federation
K olombia
Lao PDR
Paraguay
India
Uruguay
0
Afrika Selatan
5
Sumber: Data Depdiknas dan Perhitungan staf Bank Dunia, Catatan: Pengeluaran untuk sektor pendidikan ditentukan sebagai rasio pengeluaran nasional (pusat dan daerah) untuk sektor pendidikan terhadap pengeluaran nasional secara keseluruhan. Data untuk Indonesia merupakan perkiraan yang terkait dengan Tahun Fiskal 2004 (berdasarkan perhitungan Bank Dunia menggunakan data SIKD). di mana untuk negara lain perkiraan tersebut adalah untuk Tahun Fiskal 2003 (berdasarkan perhitungan Bank Dunia menggunakan data SIKD, GFS dan Edstats).
34 Tabel 3.4 menunjukkan pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin yang lebih rinci berdasarkan tingkat pemerintahan.
34
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Akan tetapi, pengeluaran Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara tetangga Asia Timur Jauh, terutama Malaysia dan Thailand (Tabel 3.3). Malaysia menganggarkan jumlah yang lebih besar sebagai proporsi dari total angggaran dan dari PDB dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini. Sebaliknya, Indonesia menduduki peringkat paling bawah untuk pengalokasian anggaran pendidikan sebagai proporsi dari PDB. Akan tetapi, anggaran yang rendah ini terjadi hampir di setiap sektor karena sektor pemerintah memang rendah dan alokasi untuk pengeluaran rutin terutama subsidi yang sangat besar. Tabel 3.3 Pengeluaran publik sektor pendidikan di negara tetangga Indonesia Tertinggi % Pengeluaran untuk sektor publik pendidikan dari total pengeluaran % Pengeluaran untuk sektor publik pendidikan dari PDB % Total pengeluaran publik dari PDB (Ukuran sektor pemerintahan) Per kapita PDB (harga US$ pada konstan 2000) Jumlah penduduk (juta) Persentase jumlah penduduk berumur 0-14
Terendah
Malaysia 27 Malaysia 8.1 Malaysia 29.7 Malaysia 4,290 Indonesia 217.6 Thailand 4.1
= > > > > >
Thailand 27 Thailand 4.6 Indonesia 19.6 Thailand 2,356 Philippines 81.6 Indonesia 3.5
Philippines 16 Philippines 3.1 Philippines 19.6 Philippines 1,085 Thailand 63.7 Malaysia 3.0
> > = > > >
> > > > > >
Indonesia 14.2 Indonesia 2.8 Thailand 16.8 Indonesia 906 Malaysia 24.4 Philippines 2.8
Sumber: Indikator pembangunan Bank Dunia.
Komposisi ekonomi berdasarkan tingkat pemerintahan Pada tahun 2004, sebagian besar pengeluaran untuk sektor pendidikan—sekitar 70 persen—digunakan di tingkat daerah. Pemerintah kabupaten/kota adalah yang paling banyak menyedot anggaran, sebesar 64 persen dari total pengeluaran, sementara pemerintah tingkat provinsi hanya 6 persen. Total pengeluaran untuk sektor pendidikan ini tetap stabil sejak 2001 (Tabel 3.4). Tabel 3.4 Pengeluaran nominal sektor pendidikan berdasarkan tingkat pemerintahan, 2001–04 (Rp Triliun)
2001
Pusat 14.1 Pembangunan 8.5 Rutin 5.6 Provinsi 1.9 Pembangunan 1.4 Rutin 0.6 Kabupaten/kota 26.2 Pembangunan 3.0 Rutin 23.2 Total Pengeluaran 42.3 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu.
%
2002
%
2003
%
2004
%
33 60 40 4.6 70 30 62 11 89 100.0
14.7 9.2 5.6 4.0 2.6 1.4 32.6 4.6 28.0 51.3
29 62 38 7.8 66 34 63 14 86 100.0
22.5 15.6 6.9 3.9 3.1 0.8 38.3 5.3 33.0 64.8
35 69 31 6.1 80 20 59 14 86 100.0
19.4 12.3 7.1 3.8 3.0 0.8 39.8 4.6 35.2 63.1
31 63 37 6 79 21 63 12 88 100.0
Walaupun kabupaten/kota membelanjakan sebagian besar dari total anggaran untuk pendidikan, pengeluaran ini sebagian besar merupakan pengeluaran rutin non-diskresioner. Selanjutnya, meskipun dalam pelaksanaan sistem desentralisasi secara formal, tanggung jawab sektor pendidikan beralih dari pusat ke tingkat kabupaten/kota, sebagian besar anggaran pembangunan masih dijalankan oleh pemerintah pusat. Sejak 2001, besarnya pengeluaran pembangunan pemerintah pusat secara konsisten lebih dari 55 persen dari total pengeluaran pembangunan (dan bahkan lebih dari 60 persen), sementara pemerintah kabupaten/kota hanya mengelola sekitar seperempat (Tabel 3.5). Jadi, pemerintah daerah hanya mempunyai sedikit kebebasan dalam mengelola dana dan mengambil keputusan kunci untuk sektor pendidikan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
35
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel 3.5 Pembagian pengeluaran pembangunan dan rutin pada tingkat pemerintahan,2001–04 Komposisi Pengeluaran Total Pengeluaran pembangunan (Rp triliun) Total % pembangunan pusat Total % pembangunan provinsi Total % pembangunan Kabupaten/kota Total pengeluaran rutin (Rp triliun) Total % pengeluaran rutin untuk pusat Total % pengeluaran rutin untuk provinsi Total % pengeluaran rutin untuk Kabupaten/kota
2001 12.9 66 11 23 27.9 14 4 82
2002 16.5 56 16 28 33.9 13 4 82
2003 24.4 65 13 22 39.2 14 3 83
2004 20.1 61 15 24 42.3 15 2 83
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depdiknas.
Sebagian besar pengeluaran rutin di daerah dialokasikan untuk gaji pegawai dan diikuti oleh pengadaan barang. Selanjutnya, walaupun pemerintah daerah memiliki tingkat pengeluaran yang cukup besar untuk sektor pendidikan, namun ruang gerak untuk pengeluaran pembangunan mereka sangat sempit. Pada tahun 2004, pengeluaran pembangunan berjumlah sekitar 32 persen dari konsolidasi pengeluaran nasional untuk pendidikan, sementara pada tahun 2003 jumlah ini sedikit lebih besar yaitu sekitar 38 persen. Penurunan pengeluaran untuk sektor pendidikan pada tahun 2004 terutama disebabkan oleh penurunan pengeluaran pembangunan di tingkat pusat (Tabel 3.5). Pengeluaran rutin untuk pengadaan barang dan jasa di tingkat daerah masih rendah dibandingkan dengan pengeluaran untuk gaji (Tabel 3.6). Tabel 3.6 Distribusi pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan daerah 2002–04 (%) Komposisi pengeluaran rutin Pengeluaran untuk kepegawaian Pengeluaran untuk pengadaan barang Pengeluaran untuk O&P Pengeluaran untuk perjalanan dinas Pengeluaran lain-lain Pengeluaran lain Total pengeluaran rutin
Kabupaten/kota 2002 94 4 0 0 2 0 100
2003 95 3 0 0 1 0 100
Provinsi 2004 96 3 0 0 0 0 100
2002 69 22 6 1 2 0 100
2003 62 25 9 2 3 0 100
2004 71 21 5 3 0 0 100
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu. Catatan: Pengeluaran pembangunan meliputi pengeluaran untuk sub-sektor pendidikan non-formal dan kejuruan untuk 2001–02. Untuk 2003–04 klasifikasi ulang pengeluaran modal dan operasional & pemeliharaan (O&P). Angka persentase mengalamim pembulatan sehingga ada kemungkinan jumlahnya tidak genap seratus.
Pengeluaran dan efisiensi berdasarkan sub-sektor pendidikan Pada tahun 2004, jumlah pengeluaran nasional untuk pendidikan dasar sebesar 56 persen dari total pengeluaran pendidikan, untuk pendidikan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas masingmasing sebesar 15 persen, dan untuk pendidikan tinggi sebesar 12 persen. Dengan melakukan analisis terhadap klasifikasi fungsional atas pengeluaran pendidikan, pada tahun 2004 pemerintah pusat menggunakan sebesar Rp 19.4 triliun untuk sektor pendidikan. Sebagian besar dari pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan, Rp 15.8 triliun atau sekitar 81 persen disalurkan melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Sisanya sebesar Rp 3.7 triliun disalurkan melalui Departemen Agama. Pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan dasar berjumlah Rp 7.4 triliun, sebagian besar terdiri dari balanja pembangunan (sekitar 91 persen ). Sementara pengeluaran untuk sub-sektor pendidikan tinggi yang jumlahnya Rp 7.0 triliun terutama terdiri atas pengeluaran rutin (sekitarkira74 persen ). Pendidikan menengah, terutama pendidikan sekolah menengah pertama, merupakan prioritas untuk Indonesia. Dalam kaitannya dengan peningkatan anggaran untuk sektor pendidikan, pemerintah diharapkan mengalokasikan jumlah anggaran yang lebih besar untuk pendidikan sekolah menengah pertama. Depdiknas mengakui adanya kebutuhan untuk meningkatkan anggaran pada tingkat pendidikan menengah dan dalam
36
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
rencana strategisnya (Renstra) dinyatakan bahwa untuk rencana pembangunan jangka menengah diupayakan untuk meningkatkan anggaran menjadi Rp 8.9 triliun pada tahun 2009. Ini akan digunakan untuk mendanai program-program strategis termasuk pengembangan tema perluasan jangkauan dan pemerataan pendidikan, serta peningkatan mutu dan kesesuaian (Renstra dan Depdiknas, 2005a). Dalam sistem desentralisasi, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menyediakan layanan pendidikan menengah yang memadai. Sementara pengeluaran untuk pendidikan sekolah menengah pertama untuk setiap kabupaten/kota secara signifikan lebih rendah dari pengeluaran untuk pendidikan dasar, alokasi pengeluaran pemerintah pusat yang lebih tinggi untuk pendidikan sekolah menengah pertama setidaknya akan memberikan kompensasi terhadap perbedaan ini.35 Jumlah terbesar dari pengeluaran rutin pemerintah pusat dialokasikan untuk pendidikan tinggi. Pengeluaran gaji untuk pendidikan dasar dan menengah merupakan komponen pengeluaran rutin terbesar dari pemerintah kabupaten/kota, yang didanai melalui DAU dan ini merupakan pos pengeluaran di tingkat daerah. Penentuan alokasi optimal terhadap berbagai sumber dalam sektor pendidikan merupakan hal yang Tingkat Pendidikan Tingkat Pengembalian (%) sangat penting untuk dilakukan jika Sekolah dasar 4 pemerintah hendak meningkatkan Sekolah menengah pertama 25 anggaran untuk sektor pendidikan, Sekolah menengah atas 28 seperti yang dinyatakan di dalam UUD. Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia Angka partisipasi sekolah yang masih rendah pada tingkat sekolah menengah pertama merupakan indikator yang jelas bahwa upaya yang lebih kuat sangat diperlukan untuk meningkatkan akses pada jenjang pendidikan ini. Selain itu, tingkat pengembalian sosial (social rates of return) pada pendidikan menengah lebih tinggi daripada tingkat pengembalian untuk pendidikan dasar. Analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analysis) memberikan pandangan yang sangat bermanfaat dengan membuat perbandingan program pendidikan berdasarkan tingkat pengembalian sosial. Perkiraan tingkat pengembalian investasi pendidikan didefinisikan sebagai tingkat diskon yang menyeimbangkan arus manfaat yang diperoleh dari tingkat pendidikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan layanan pendidikan pada jenjang yang berbeda dan pada kurun waktu yang berbeda pula. Pendidikan sekolah menengah atas menerima tingkat pengembalian tertinggi sebesar 28 persen, sedikit di atas pendidikan sekolah menengah pertama yang besarnya 25 persen. Sebaliknya, tingkat pengembalian untuk pendidikan dasar sangat rendah, diperkirakan sekitar 4 persen (Tabel 3.7).36 Tabel 3.7 Hasil pengembalian sosial berdasarkan tingkat pendidikan, 2004
35 Sementara pengeluaran per siswa sebenarnya lebih tinggi untuk pendidikan sekolah menengah pertama. Hal ini tidak menunjukkan tingkat pengeluaran yang memadai untuk tingkat tersebut. Hal ini mencerminkan adanya fakta bahwa biaya untuk menyediakan pendidikan menengah lebih tinggi dan bahwa jumlah partisipasi siswa untuk sekolah menengah pertama masih rendah. 36 Manfaat program pendidikan dihitung berdasarkan perbedaan upah (tambahan penghasilan rata-rata dibandingkan dengan mereka yang memiliki kualifikasi jenjang pendidikan yang sama pada jenjang pendidikan sebelumnya). Dari survei tenaga kerja nasional (Sakernas) 2006 dan survei biaya pendidikan dari perkiraan satuan biaya yang disampaikan oleh Depdiknas (2005a). Lihat Lampiran F.2 untuk pembahasan lebih rinci mengenai metodologi yang digunakan untuk menghitung tingkat balikan sosial terhadap pendidikan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
37
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Pemerintah Pusat APBN
Departemen Pendidikan Nasional Depdiknas
Rutin 0 . 01
6 .5
P rovinsi
Kabupaten/ Kota
3. 2
24 . 9
Pembangunan 1.1
Pembangunan 2.7
Pembangunan 4.1
Rutin 0.6
Rutin 0.5
Rutin 20 . 8
0.4
8.4
0.3
T otal Nasional
30 .9 Pembangunan 8.9 Rutin 21 . 9
15 .6
Pendidikan Menengah Lanjutan
Pendidikan Tinggi
Pembangunan
7 .0
0. 6
Sub-total
1.8 Pembangunan 1.0
2 .0
Total
Pemerintah Daerah APBD
Departemen Agama Depag
1 .04
Pendidikan Informal
Pendidikan Pre-school & Menengah Awal Pendidikan Dasar
Unit Pengguna Anggaran
Tingkat Pemerintahan
Diagram 3.3 Pengeluaran untuk pendidikan berdasarkan program dan tingkat pemerintah, 2004
6.5
Pembangunan 0. 1
Rutin 0 . 01
Rutin 0.2
0.8 Permbangunan 1.8
Pembangunan 0.4
Rutin 0 . 02
Rutin 0.4
Pembangunan 0.2 Rutin 0.2
0.
Pembangunan 0.4
Pembangunan 7.2
Rutin 8.0
Rutin 8.4
.5
Pembangunan 0.1 Rutin 0.1
Rutin 7.0
Rutin 6.4
7. 8
Pembangunan 0.4
Pembangunan 2.1
Rutin 0.5
Rutin 5.2
Rutin 5.7
0. 6
0.02
Pembangunan 0 . 57
Pembangunan 0 . 57
Pembangunan 0 . 02
Rutin 0 . 05
17 . 1
Pembangunan 2.5
Pembangunan 0.1
0.9 Pembangunan 1.8
9. 5
Rutin 0 . 07
3. 7 Pembangunan 2.0
Rutin 5.4
Rutin 1.7
Pembangunan 11 . 7
39.8
3. 8
Pembangunan 11 . 7
Rutin 5.4
20 . 8
Pembangunan 3.0 Rutin 0.8
Pembangunan 8.0
Pembangunan 4.. 6
Pembangunan 21 . 3
Rutin 35.2
Rutin 43 . 1
Rutin 36 . 0
43 .6
64 .4
Pembangunan 21 . 3
Rutin 43 . 1
64 .4
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan DepKeu dan Data SIKD, Catatan: Sub-komponen tidak perlu ditambahkan pada total karena sudah dilakukan pembulatan. Klasifikasi fungsional meliputi sub-sektor pendidikan (11.1) dan pendidikan non-formal (11.2). Sementara dua sub-sektor yang lain (11.3 dan 11.4) diagregatkan di bawah fungsi Departemen Pariwisata dan Kebudayaan (08). Fungsi pendidikan juga meliputi sub-sektor pendidikan agama (15.2).
38
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Alokasi anggaran ke tingkat sekolah Berbagai sumber dana berkontribusi terhadap anggaran sekolah dengan pendanaan utama yang berasal dari pemerintah kabupaten/kota sebelum 2005. Menurut survei GDS 1+ tentang data anggaran untuk 2002– 03, 92 persen dari anggaran sekolah dasar didanai oleh pemerintah kabupaten/kota. Angka tersebut mengalami penurunan besar pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan atas, masing-masing menjadi 82 persen dan 77 persen. Hal ini disebabkan meningkatnya kontribusi orang tua dari 4 persen pada pendidikan dasar menjadi 13 persen pada pendidikan sekolah menengah pertama, dan 17 persen pada pendidikan sekolah menengah atas. Mekanisme pendanaan yang baru dengan mengalokasi biaya operasional langsung ke sekolah. Sejak tahun 2001 sampai Juni 2005, pemerintah telah mengalokasikan sebagian dari penghematan subsidi BBM sebagai dana bantuan khusus murid (BKM) bagi keluarga miskin. Untuk periode Juli–Desember 2005, pemerintah menegaskan untuk melakukan perubahan penerima langsung dana tersebut,dari keluarga ke sekolah berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program BOS ini didasarkan pada jumlah siswa yang terdaftar dalam satu sekolah. Sejak Juli 2005, pemerintah telah menyerahkan dana BOS ke seluruh sekolah SD dan SMP, dan secara terbatas masih melanjutkan 37 program BKM. Mekanisme alokasi bantuan yang baru ini telah banyak mengubah anggaran pendidikan dasar dan pendidikan menengah pertama. Perubahan ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat kini medanai bagian yang cukup besar untuk biaya operasional sekolah. Program BOS mencakup sekitar 41 juta siswa dengan rincian 62 persen berada pada jenjang sekolah dasar dan 38 persen pada pendidikan sekolah menengah pertama. Program BOS telah menyalurkan sebanyak Rp 5.3 triliun antara Juni–Desember 2005 dan selanjutnya Rp 11.12 triliun di tahun 2006, atau sekitar 25 persen dari keseluruhan anggaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan. Besarnya anggaran untuk setiap sekolah ditentukan oleh jumlah siswa, untuk sekolah dasar menerima Rp 235.000 (sekitar AS$25) per siswa per semester, dan siswa sekolah menengah pertama menerima Rp 324.500 (kira-kira AS$35). Dana BOS tersebut digunakan untuk menanggulangi biaya operasional sekolah dan sekolah pun diharapkan dapat menurunkan atau bahkan menghapuskan uang SPP (sumbangan pembinaan pendidikan). Dana BOS disalurkan secara langsung ke sekolah. Sekolah harus memiliki nomor rekening bank yang akan digunakan untuk menyimpan dana tersebut untuk mencegah terjadinya kebocoran, serta untuk meningkatkan transparansi. Evaluasi yang dilakukan baru-baru ini terhadap program BOS menunjukkan bahwa program ini berdampak 38 positif dan berhasil di sejumlah daerah. Namun demikian, masih banyak permasalahan yang harus dipecahkan. Dari sudut pandang pendanaan, metode alokasi yang digunakan dalam program ini memiliki dampak positif maupun negatif, yaitu: Pengiriman dana secara langsung memungkinkan terjadinya sedikit kebocoran, karena hampir seluruh sekolah menerima dana secara penuh (walaupun kadang-kadang terjadi penundaan). Uang SPP yang lebih rendah memungkinkan untuk meningkatkan daya tarik minat siswa dari keluarga miskin untuk bersekolah. (Hal ini merupakan dampak tidak langsung dari program BOS, karena program ini tidak secara khusus ditarget untuk keluarga miskin, sekolah, atau kabupaten/kota tertentu). Mekanisme penyaluran bantuan secara langsung dapat menyebabkan distorsi karena menimbulkan insentif bagi pihak sekolah untuk mengggelembungkan jumlah siswa yang terdaftar di sekolahnya. Karena pemberian dana tidak melalui pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, maka pengeluaran pembangunan ini tersentralisir kembali, yang bertentangan dengan pelaksanaan sistem desentralisasi yang berlaku saat ini. Program ini tidak mempersyaratkan kinerja yang baik atau transparansi anggaran dari pihak sekolah, sehingga menyulitkan penilaian terhadap dampak aktual serta kecukupan dana.
• • • • •
Pemerintah sedang berdebat mengenai kemungkinan peningkatan dana bantuan ini, karena Depdiknas meminta peningkatan bantuan per siswa SD (sekolah dasar) menjadi Rp 300.000, dan untuk pendidikan SMP (sekolah menengah pertama) menjadi Rp 420.000. Dengan kenyataan bahwa angka yang disebutkan selama ini 37 Sekolah yang memilih untuk ikut dalam program harus menandatangani Surat Perjanjian tentang Penyediaan Bantuan. Jika sekolah sepakat untuk mengambil bantuan dana operastional dari pemerintah, mereka harus mentaati ketentuan mengenai uang SPP, pendaftaran, buku ajar, dan bahan penunjang lainnya, perpustakaan, biaya pelatihan untuk guru, uang ujian, dan kegiatan sekolah. Lihat juga (World Bank, 2006g) tentang dampak program BOS terhadap rakyat miskin. 38 Dilakukan oleh SMERU bekerja sama dengan Bank Dunia.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
39
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
didasarkan pada perhitungan unit biaya nominal harga tetap pada tahun 2003, maka peningkatan bantuan per siswa memang diperlukan.39 Sehingga yang menjadi persoalan adalah bahwa penentuan bantuan siswa itu ditentukan secara nasional dan tidak memperhitungkan fluktuasi harga di tingkat daerah. Walaupun ini hanya merupakan masalah untuk beberapa daerah saja, hal ini dapat mengurangi daya beli dana yang transfer secara signifikan. Misalnya, di Aceh, inflasi berfluktuasi pada kisaran 20 persen, dana bantuan BOS untuk provinsi akan mempengaruhi 20 persen lebih rendah (dalam hal ini untuk pengadaan barang-barang dan jasa-jasa operasional) jika dibandingkan dengan daerah lain.
Meningkatkan penyediaan sumber dana (resource envelope): mandat 20 persen anggaran untuk sektor pendidikan Besarnya dana untuk pengeluaran pada sektor pendidikan tahun anggaran 2006 telah menjadi topik perdebatan yang sengit, setelah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) meminta Mahkamah Konstitusi untuk meninjau kembali tingkat pengeluaran dan menilai kesesuaian anggaran tersebut dengan undangundang atau tidak. Ketentuan asli di dalam UUD 1945 berisi pernyataan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan. Pada tahun 2002, dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah harus mengalokasikan anggaran setidaknya 20 persen dari anggaran pemerintah pusat dan daerah. Selanjutnya, sejak 2003, gaji guru tidak lagi dimasukkan di dalam ketentuan 20 persen tersebut, sehingga mendorong pemerintah untuk meningkatkan pengeluaran diskresioner pada sektor pendidikan. Kotak 3.1 Landasan belakang hukum Indonesia - “ketentuan 20 persen” 1945: Undang-undang Dasar Indonesia Pasal 31 menyatakan bahwa: (1) “Setiap warganegara berhak untuk mendapatkan pendidikan” dan; (2) “Pemerintah harus menyelenggarakan dan menjalankan sistem pendidikan nasional yang diatur di dalam undang-undang,” 2002: Hampir 60 tahun kemudian yaitu pada tahun 2002, pasal di dalam UU Dasar ini diamandemen yang secara khusus menyatakan: “Negara memberikan prioritas anggaran untuk pendidikan setidaknya 20 persen dari anggaran nasional dan anggaran pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan nasional.” Amandemen tahun 2002 tersebut disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 2003: Selanjutnya, UU Pendidikan Nasional No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bab 4, pasal, 49) sekali lagi menyatakan ketentuan anggaran pada amandemen 2002 tersebut. Undang-undang tahun 2003 mempersempit rentang pos-pos pengeluaran yang dapat diperhitungkan dalam ketentuan sasaran anggaran 20 persen tersebut yaitu tidak termasuk gaji guru. Seperti yang dinyatakan di dalamnya: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).”
Tiga dimensi pokok yang diperlukan untuk memperjelas perdebatan ini, adalah: • • •
Meninjau secara cermat ketentuan anggaran 20 persen tersebut dan sasaran yang hendak dicapai (sebagai kebalikan dari rumusan pengeluaran berdasarkan kebutuhan pendidikan). Mengklarifikasi berbagai penafsiran yang telah dilakukan atas UU Pendidikan dan melakukan penelaahan apakah pengeluaran di tingkat nasional dan daerah sesuai dengan ketentuan baku. Menentukan cara melakukan alokasi tambahan terhadap program yang berbeda dan masukan lainnya, jika dana tambahan dalam pendidikan memang diperlukan.
Pada tahun 2006, pemerintah pusat mengalokasikan sekitar Rp 44.1 triliun, atau sekitar 9.4 persen dari total 40 anggaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan (Diagram 3.4). Dengan tidak memasukkan pengeluaran untuk gaji guru, seperti yang dinyatakan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, total pengeluaran pemerintah pusat untuk pendidikan berjumlah hanya sekitar 7.4 persen dari APBN 2006 (lihat Tabel 3.7). Melalui metode perhitungan tersebut, maka tingkat pengeluaran itu tidak cukup untuk menjangkau ketentuan 20 persen dalam anggaran pemerintah pusat (APBN). Dengan demikian, tambahan sejumlah Rp 59.2 triliun, atau 12.6 persen 39 Biaya per unit ini hanya mampu menutup pengeluaran operasional. Komponen gaji yang merupakan unit biaya tradisional (sekitar 80 persen) tidak dimasukkan di dalamnya. 40 Sektor pendidikan termasuk pendidikan TK, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan non-formal dan informal, pendidikan untuk PNS, pendidikan tinggi, pendidikan agama, penelitian dan pengembangan untuk sektor pendidikan, layanan penunjang pendidikan, dan pengeluaran lain untuk pendidikan.
40
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
dari anggaran perlu dialokasikan lagi untuk sektor pendidikan agar ketentuan anggaran sebesar 20 persen dapat tercapai. Diagram 3.4 Alokasi anggaran pusat dan daerah untuk sektor pendidikan
% dari Total Pengeluaran Pemerintah Pusat
10 9 8
% Belanja Pegawai
Layanan Pedukung & Lain-lain
7
Pendidikan bagi Pegawai Negeri
6 5 4 3
Pendidikan: preschool, dasar, menengah, tinggi & pendidikan agama
2
Pendidikan Non Formal & Informal
35
%
30 25 20 15 10 5 2001
1 Anggaran Pemerintah Pusat tahun 2006
2002 2003 2004 Keseluruhan Belanja Pegawai Rutin Pemerintah Daerah Keseluruhan Belanja Rutin Pemerintah Daerah Keseluruhan Belanja Non-Pegawai Rutin Pemerintah Daerah
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Perkiraan untuk pemerintah pusat termasuk seluruh komponen dari klasifikasi fungsional, yaitu sub-fungsi 10.01-10.90, pengeluaran untuk kepegawaian yang merupakan bagian dari diagram balok di atas merupakan agregat dari pengeluaran untuk kepegawaian dari masingmasing sub-fungsi pendidikan.
Pelaksanaan ketentuan anggaran 20 persen pada pengertian atau definisi yang ada sekarang tidak realistis dan juga bermasalah. Walaupun ketentuan anggaran pendidikan sebesar “20 persen” tersebut masih terbuka untuk berbagai penafsiran, namun berbagai perhitungan besarnya rasio telah dikaji. Kebanyakan dari hasil pengkajian itu menunjukkan bahwa alokasi 20 persen di pemerintah pusat atau tingkat daerah tanpa memasukkan pengeluaran untuk gaji tampaknya sulit tercapai (lihat Lampiran F.9 untuk simulasi rasio pengeluaran untuk sektor pendidikan berdasarkan pengertian atau definisi yang berbeda).
• • •
Di tingkat pusat, anggaran tahun 2006 mengalokasikan sekitar 9.4 persen untuk sektor pendidikan (Rp 44.1 triliun). Di luar pengeluaran untuk kepegawaian, jumlah ini mengalami penurunan menjadi sekitar 7.4 persen (Tabel 3.8). Di tingkat daerah, pada tahun 2004, pengeluaran untuk sektor pendidikan berjumlah 29.9 persen dari total pengeluaran daerah (Rp 44 triliun dari total pengeluaran daerah— yaitu, APBD Tk I + APBD Tk II— total sebesar Rp 151 triliun). Namun demikian, sebanyak 79 persen dari jumlah ini diserap untuk gaji. Tanpa memasukkan pengeluaran untuk gaji, maka pengeluaran pendidikan di daerah hanya berjumlah 6.1 persen dari total pengeluaran di tingkat daerah (Tabel 3.8). Jika program pendidikan dari seluruh tingkat pemerintahan, jajaran departemen, dan lembaga pemerintah yang lain, sebagaimana pula pengeluaran untuk gaji dihitung sebagai pengeluaran untuk sektor pendidikan, maka jumlah anggaran untuk pendidikan nasional (APBN + APBD Tk I + APBD Tk II) akan mencapai 17.2 persen (Tabel 3.8).
Di luar pengeluaran untuk gaji, pengeluaran pemerintah pusat dan daerah untuk sektor pendidikan jauh lebih rendah daripada sasaran yang ditentukan oleh UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa sejak pelaksanaan sistem desentralisasi dalam layanan pendidikan, yang mulai diberlakukan sejak 2001, maka gaji guru merupakan pengeluaran terbesar di tingkat daerah untuk sektor pendidikan. Jika pemerintah daerah ingin mengalokasikan tambahan anggaran sebesar Rp 21 triliun untuk mencapai target anggaran sebesar 20 persen tersebut, di luar gaji guru, keseluruhan pengeluaran untuk sektor pendidikan di daerah akan berjumlah sebesar 45 persen dari total APBD. Untuk meningkatkan jumlah pengeluaran sektor pendidikan dalam APBD di luar gaji, pemerintah kabupaten/kota dan provinsi perlu melakukan pengurangan anggaran yang signifikan pada sektor lain. Sudah barang tentu hal ini tidak dapat dilaksanakan jika dilihat dari kacamata politik, dan bahkan sangat tidak diinginkan dengan berbagai alasan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
41
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel 3.8 Pengeluaran pendidikan sebagai persentase pengeluaran pemerintah pusat dan daerah 41 Pengeluaran pendidikan (definisi resmi) 7.4 6.1
(%) Pemerintah pusat Pemerintah daerah Total pengeluaran nasional
Pengeluaran pendidikan (termasuk gaji) 9.4 29.9
6.9
17.2
Total pengeluaran pemerintah pusat 65 35 100
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Untuk definisi dan perhitungan yang berbeda dari ketentuan anggaran 20 persen.
Penganggaran sebesar 20 persen akan memberikan tekanan kepada pemerintah pusat untuk melaksanakan pengeluaran pendidikan di tingkat kabupaten/kota, yang tidak sesuai dengan pelaksanaan sistem desentralisasi. Sasaran yang ditentukan di kedua tingkat pemerintahan tidak didasarkan pada perhitungan kebutuhan pendanaan yang muncul dari distribusi fungsi pendidikan antar-tingkat pemerintah atau distribusi vertikal terhadap sumber-sumber daya fiskal yang ada. Pada saat Depdiknas diharapkan menyerahkan sebagian besar dari tugas dan fungsi pendidikan kepada pemerintah daerah, alokasi anggaran sebesar 20 persen dari APBN memang bermaksd baik tetapi tidak akan menguntungkan APBN. Alokasi anggaran sebesar itu mendorong Depdiknas untuk menyusun rencana pengeluaran untuk daerah. Dinamika ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari investasi modal pada sektor pendidikan akan terpusat dan berada di luar kontrol pemerintah kabupaten/kota.
Pengeluaran Sektor Publik untuk Pendidikan dan Pemerataan Pemerataan angka partisipasi di seluruh jenjang dan daerah Pengeluaran untuk sektor pendidikan di Indonesia sebagian besar diarahkan untuk pendidikan dasar, yang cenderung berpihak pada masyarakat miskin. Lebih dari setengah pengeluaran untuk sektor pendidikan gabungan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dialokasikan untuk tingkat sekolah dasar. Alokasi dana cenderung ditujukan kepada masyarakat miskin, mengingat sebagian besar anak-anak dari keluarga miskin bersekolah di tingkat sekolah dasar. Sebaliknya, di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, dari seperlima rakyat paling miskin hanya tercatat sekitar 6 persen, sementara di tingkat pendidikan sekolah menengah atas, proporsi mereka hanya 3 persen. Diagram 3.5 Time trend angka partisipasi sekolah 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 1998 Dasar
1999
2000
2001
Menengah awal
2002
2004
2005
Menengah lanjutan
Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia, berdasarkan data dari Susenas 1998–2005.
Kemajuan yang telah dicapai dalam meningkatkan angka partisipasi sekolah telah mampu mengurangi kesenjangan angka partisipasi di tingkat pendidikan sekolah dasar diantara berbagai kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Akan tetapi, kesenjangan yang besar masih tampak di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama dan pendidikan sekolah menengah atas. Pada tahun 2005, angka partisipasi kasar pada tingkat sekolah dasar mencapai 107.1 persen dan angka partisipasi murni 91 persen. Masalah yang berkaitan dengan akses menjadi lebih besar di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, dengan angka partisipasi kasar 81.7 persen, sementara angka partisipasi murni hanya 65.2 persen. Secara resmi, pendidikan dasar (kelas 1–9) adalah wajib untuk anak-anak yang berumur antara 7–15 tahun. Akan tetapi, ketentuan hukum ini tidak diterapkan secara ketat. Sementara itu, akses untuk pendidikan sekolah dasar mungkin masih menjadi suatu masalah di wilayah-wilayah terpencil. Untuk sebagian besar rakyat miskin di Indonesia masalah utama dalam akses pendidikan adalah untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah awal. 41 Pada saat penyusunan laporan ini, pengeluaran pemerintah daerah untuk 2004 baru tersedia akhir-kahir ini. Total pengeluaran daerah untuk 2006 diperkirakan berdasarkan pengeluaran DAU pada anggaran daerah dan pengeluaran pendidikan pada 2004.
42
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Diagram 3.6 Pendidikan SD: angka partisipasi sekolah antar kabupaten/kota pada satu provinsi 1 0.95 0.9 0.85 0.8 0.75 0.7 0.65 0.6 0.55 0.5
KalimantanTengah
NanggroeAcehDarussalam
Bengkulu
Riau
Banten
Sumatera Utara
Jawa Timur
KepulauanRiau
Jambi
KalimantanTimur
KalimantanSelatan
Jawa Tengah
Bali
Jawa Barat
Sumatera Barat
MalukuUtara
Lampung
Nusa Tenggara Barat
KalimantanBarat
Papua Barat
DK I Jakarta
DK I Jakarta
DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Tengah
Maluku
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
KepulauanBangka Belitung
Papua
Gorontalo
Sumber: Susenas 2004.
Akan tetapi, angka partisipasi sekolah di Indonesia masih sangat berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain, dan bahkan kesenjangan ini lebih besar daripada masalah kesenjangan angka partisipasi sekolah berdasarkan perbedaan tingkat pendapatan. Kecenderungan angka partisipasi sekolah untuk rakyat miskin sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, bahkan dalam kuintil pendapatan yang sama. Rakyat miskin di Papua memiliki angka partisipasi murni yang rendah bahkan pada tingkat sekolah dasar (80 persen). Bahkan, perbedaan daerah memang mendominasi kesenjangan tersebut, seperti terlihat dari kuintil untuk penduduk kaya di Papua pun masih memiliki angka partisipasi sekolah yang lebih rendah (92 persen) daripada kuintil rakyat miskin di Sumatera (World Bank, 2006). Di jenjang pendidikan sekolah menengah pertama, tingkat akses pendidikan sangat bervariasi di setiap provinsi. Indonesia memiliki angka partisipasi sekolah yang hampir sama untuk jenjang sekolah dasar di setiap provinsi. Akan tetapi, perbedaan utama dalam angka partisipasi sekolah tampak pada anak-anak usia 13-15 tahun. Sementara Jakarta dan Yogyakarta berhasil mencapai angka partisipasi sekolah di atas 90 persen, sebagian besar provinsi yang tercantum pada analisis ini memiliki angka partisipasi sekolah yang masih di bawah 80 persen. Provinsi Sulawesi Selatan bahkan hanya mencapai tingkat di bawah 70 persen.
Pemerataan pengeluaran di seluruh kabupaten/kota Perbedaan dalam angka partisipasi sekolah di antara kabupaten/kota setidaknya terkait dengan tingkat 42 pengeluaran pemerintah kabupaten/kota untuk pendidikan. Analisis regresi menunjukkan bahwa angka partisipasi murni berhubungan positif dengan pengeluaran pendidikan per siswa dan juga terhadap persentase pengeluaran pendidikan secara keseluruhan di tingkat kabupaten/kota. Walaupun potensi dampak pengeluaran tambahan terhadap angka partisipasi masih kecil, peningkatan pengeluaran per siswa merupakan sebagian dari solusi untuk meningkatkan angka partisipasi untuk jenjang menengah pertama. Terutama untuk meningkatkan atau realokasi pengeluaran untuk gaji menjadi pengeluaran non-gaji (pengeluaran untuk pengadaan barang dan material) 43 berkorelasi positif terhadap angka partisipasi sekolah . Pola pengeluaran untuk sektor pendidikan di tingkat kabupaten/kota menunjukkan bahwa kabupaten/ kota yang kaya tidak hanya memiliki tingkat pengeluaran per-kapita yang lebih tinggi untuk pendidikan, tetapi juga memiliki tingkat pengeluaran per-siswa yang lebih tinggi. Kondisi yang kedua ini sebagian dapat dijelaskan dengan adanya fakta bahwa kabupaten/kota yang lebih kaya memiliki jumlah siswa lebih banyak untuk 42 Angka partisipasi sekolah sebagian ditentukan oleh tingkat pengeluaran per kabupaten/kota untuk sektor pendidikan, sebab pemerintah kabupaten/kota menggunakan sebagian besar dari anggaran mereka untuk biaya kepegawaian, yang tidak berkorelasi positif terhadap angka partisipasi sekolah. Analisis selanjutnya, termasuk pengeluaran DAK dan pengeluaran lain dari pemerintah pusat untuk pendidikan di tingkat kabupaten/kota, sedang dilakukan karena pengeluaran ini merupakan jumlah terbesar pengeluaran untuk infrastruktur pendidikan —yang dianggap borelasi sangat kuat dengan angka partisipasi. 43 Lihat Lampiran E.3 untuk hasil analisis regresi yang lebih rinci. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
43
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
tingkat pendidikan yang lebih tinggi sehingga biaya per unit mereka juga cenderung menjadi lebih tinggi. Tabel 3.9 memberikan gambaran mengenai pengeluaran berdasarkan kuintil kemiskinan di tingkat kabupaten/kota. Kabupaten/kota yang kaya (terutama kuintil 4 dan 5) cenderung mengeluarkan anggaran dana lebih besar untuk sektor pendidikan per siswa, namun di kabupaten/kota paling miskin pun tidak terlalu besar perbedaannya. Kabupaten/kota yang lebih miskin cenderung menggunakan upaya fiskal yang lebih besar karena mereka mengalokasi anggaran yang lebih tinggi untuk sektor pendidikan (34 persen di kabupaten/kota termiskin vs. 31 persen di kabupaten/kota terkaya). Sebanyak 40 persen kabupaten/kota termiskin menggunakan rata-rata sebesar 35.4 persen dari anggaran mereka untuk pendidikan, sementara kabupaten/kota yang terkaya menggunakan 31.5 persen (Tabel 3.9). Tabel 3.9 Pengeluaran kabupaten/kota untuk pendidikan berdasarkan kuintil kemiskinan Kuintil Kabupaten/ kota
Total Pengeluaran per kapita Kabupaten/kota
Pengeluaran untuk sektor pendidikan per siswa sekolah negeri
Pengeluaran pendidikan secara keseluruhan (%)
Total pengeluaran pendidikan Non-gaji (%)
2001 2004 2001 2004 2001 2004 2001 2004 Termiskin 558,116 725,459 165,486 215,523 35.7 34.4 5.5 5.3 2 364,804 724,234 148,595 228,492 40.1 36.3 4.4 4.7 3 393,305 690,836 144,850 209,021 43.0 35.0 4.3 4.6 4 493,893 899,841 184,214 245,510 40.0 32.0 4.9 5.6 Terkaya 619,163 950,714 182,893 272,704 32.9 31.1 5.2 3.9 Total 484,758 798,819 165,168 234,718 38.2 33.7 4.8 4.8 Sumber: Data Bank Dunia untuk pengeluaran tingkat kabupaten/kota, 2001-04. Catatan: Berdasarkan data dari 350 kabupaten/kota; kabupaten/kota yang baru cenderung tidak memiliki data. Kuintil berdasarkan kuintil BPS tahun 2004 untuk tingkat kemiskinan.
Oleh karena itu, kabupaten/kota yang lebih miskin tidak selalu harus tertinggal karena tidak memadainya proporsi anggaran pendidikan terhadap total anggaran mereka tidak memadai. Akan tetapi, perbedaan ini diakibatkan oleh alokasi anggaran yang memang lebih rendah untuk sektor. Sehingga peningkatan untuk keseluruhan anggaran mungkin dapat dipertimbangkan. Peningkatan ini dapat dikombinasikan dengan upaya berkelanjutan untuk menggunakan anggaran yang memadai pada sektor pendidikan.
Peningkatan akses: implikasi biaya adalah pendidikan yang bermutu untuk semua Untuk memastikan pemerataan angka partisipasi sekolah yang lebih luas melalui program “Pendidikan untuk Semua” (PUS) diperlukan peningkatan total pengeluaran, serta peningkatan pengeluaran per siswa. Tujuan PUS adalah untuk meningkatkan angka partisipasi murni baik untuk tingkat pendidikan dasar maupun sekolah menengah pertama dengan menjangkau masyarakat miskin dan tertinggal serta untuk meningkatkan 44 mutu pendidikan yang ada. Implikasi biaya dari tujuan ini dihitung oleh McMahon pada tahun 2003. A Konsep kunci perhitungannya adalah kecukupan, atau “apakah cukup tersedia buku pelajaran, materi ajar, kemampuan dan kualifikasi guru, perpustakaan sekolah, dan sebagainya untuk menghasilkan tingkat pendidikan yang memadai bagi 45 setiap anak” (McMahon, 2003).
44 Perhitungan biaya berdasarkan target PUS dengan tujuan mencapai 100 persen angka partisipasi sekolah pada 2008 untuk pendidikan dasar dan 95 persen untuk pendidikan sekolah menengah pertama, berdasarkan hasil Tinjauan Sektor Pendidikan oleh Bank Dunia pada 2005. Walaupun target ini—terutama untuk pendidikan sekolah menengah pertama—lebih tinggi, Ini menunjukkan bahwa perkiraan biaya jauh lebih tinggi daripada apa yang mereka perhitungkan. 45 Lihat Lampiran E.9 untuk perhitungan yang lebih lengkap.
44
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Tabel 3.10 Perkiraan biaya untuk program “Pendidikan untuk Semua” (PUS) Pendidikan Dasar 2004–05 Biaya per-siswa (Rp ’000) Kenaikan biaya PUS 179 Biaya sekarang 966 Total 1,145 Total Biaya ( = Biaya per-siswa X jl. siswa yang terdaftar) (Rp triliun) Kenaikan biaya PUS 5.1 Biaya sekarang 27.3 Total 32.3
Pendidikan Menengah 2008–09
2004–05
2008–09
209 966 1,175
509 1,449 1,958
834 1,449 2,283
5.7 26.4 32.1
5.3 15.5 20.8
10.2 18.0 28.4
Sumber: McMahon 2003.
Kenaikan biaya yang terkait dengan program PUS per siswa untuk 2004–05 adalah sebesar 18 persen dari biaya per-siswa untuk sekolah dasar tahun 2004 dan 35 persen untuk sekolah menengah pertama. Biaya ini jauh lebih tinggi daripada jumlah sebenarnya yang dikeluarkan di tingkat daerah untuk setiap siswa. Biaya pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama seharusnya berjumlah Rp 53 triliun pada 2004 (Tabel 3.4). Akan tetapi, pengeluaran di daerah hanya Rp 43.6 triliun. Untuk 2008–09, total perkiraan pengeluaran yang diperlukan akan mencapai hampir Rp 60 triliun untuk sistem pendidikan Indonesia agar tercapai target angka partisipasi sekolah. Dengan perhatian pemerintah untuk meningkatkan pengeluaran di sektor pendidikan, hal ini mungkin akan dapat menutup kesenjangan pendanaan dan mencapai tingkat pengeluaran yang diperlukan untuk setiap siswa. Namun demikian, peningkatan pengeluaran saja tidak akan dapat menjamin pencapaian tujuan PUS. Pembiayaan PUS merupakan langkah yang penting untuk memahami apa yang dibutuhkan untuk memenuhi citacita nasional, tetapi penyediaan sumber dana saja belum cukup. Untuk memperbaiki tingkat partisipasi siswa sekolah secara memadai, perubahan manajemen sekolah dan sistem pendidikan secara keseluruhan perlu dilakukan.
Pengeluaran Publik untuk Sektor Pendidikan: Efisiensi dan Hasil Efisiensi dalam manajemen sumber daya manusia: distribusi guru Walaupun anggaran pendidikan mengalami peningkatan, rasio murid dan guru (RMG) di Indonesia sangat rendah, yang menunjukkan tidak efisiensinya pengeluaran untuk sektor pendidikan. Sementara tingkat RMG yang rendah memberikan peluang yang lebih besar untuk meningkatkan interaksi antara guru dan siswa, konsensus umum menunjukkan bahwa RMG 30:1 adalah yang paling tinggi, sementara perbandingan rasio yang lebih kecil dari ini akan memberikan pengembalian marginal yang sangat rendah. Karena gaji guru merupakan komponen biaya yang cukup signifikan, RMG yang rendah cenderung akan menyebabkan beban keuangan yang berat. Perbandingan jumlah guru-murid di Indonesia merupakan salah satu dari yang terendah di kawasan Asia/Pasifik, seperti yang tampak pada Diagram 3.7. Perbandingan rata-rata RMG untuk negara-negara kawasan Asia/Pasifik sekitar 31:1 untuk pendidikan 46 dasar dan 25:1 untuk pendidikan sekolah menengah pertama. Indonesia masih jauh lebih rendah, sekitar 20 untuk pendidikan dasar dan sekitar 14 untuk pendidikan sekolah menengah pertama (Diagram 3.7). Rasio untuk Indonesia akan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Amerika dan dengan beberapa negara Eropa. Angka ini juga jauh di bawah angka yang ditentukan secara nasional, yaitu 40:1 untuk pendidikan dasar dan 28:1 untuk pendidikan sekolah menengah pertama (World Bank, 2006h).
46 Sumber: Database EdStats. Rasio untuk SD sudah ditentukan jelas, tetapi untuk rasio tingkat SMP ditentukan oleh penulis karena ketidaktersediaan data.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
45
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 3.7 RMG untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pada negera-negara terpilih, 2003 Sekolah dasar
Sekolah Menengah
Kamboja
56.24
India
31.26
Vietnam
Mongolia
30.77
Thailand
Lao PDR
China
21.05
Inggris
20.68
China
20.29
Korea, Rep.
10
14.92 14.23
Jepang
14.81 0
18.24 17.72
Indonesia
17.1
Amerika Serikat
19.05 18.61
Amerika Serikat
18.92
Inggris
23.59 21.52
Malaysia
19.56
Malaysia
25.59 24.86
Mongolia
Thailand
J epang
25.66
Kamboja
30.64 24.65
Indonesia
32.32
Lao PDR
34.93
Korea, Rep.
Vietnam
37.09
India
41.33
Filliphina
Filliphina
20
30
40
50
60
13.22 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Sumber: Edstats 2003.
Isu yang berkaitan dengan ketersediaan guru berhubungan dengan pendistibusian guru yang tidak efisien. Berdasarkan standar yang ditentukan saat ini yaitu dengan formula penempatan guru untuk sekolah dasar (minimal 9 guru dengan tingkat RMG 40:1), ternyata sekitar 55 persen sekolah mengalami kelebihan guru, sementara 34 persen 47 mengalami kekurangan guru (Diagram 3.8). Ketidaksetaraan distribusi tersebut sangat jelas terutama ketika melihat ketersediaan guru di wilayah perkotaan, pedesaan, dan sekolah terpencil. Sekolah di wilayah perkotaan dan pedesaan mengalami kelebihan guru yang cukup besar (dengan 68 persen dan 52 persen sekolah mengalami kelebihan guru untuk masing-masing kedua wilayah tersebut), sementara sekolah di wilayah terpencil mengalami defisit guru yang serius, yaitu 66 persen sekolah mengalami kekurangan guru. Kebijakan pemerintah yang baru dengan melipatgandakan gaji pokok untuk guru yang bekerja di wilayah terpencil diharapkan mampu mendorong lebih banyak guru untuk mau bekerja di sekolah di wilayah tersebut. Diagram 3.8 Persentase sekolah dasar yang kelebihan dan kekurangan tenaga guru berdasarkan formula penggajian yang baru (%) 80 60 40 20
68
55
17
0
-20
52
-21
-3 4
-3 7 -6 6
-40 -60 -80 To t a l
Urban
Persentasi Sekolah-sekolah yang Mengalami Kelebihan Tenaga Guru
Perdesaan
Terpencil
Persentasi Sekolah-sekolah yang Mengalami Kekurangan Tenaga Guru
Sumber: Survei pengangkatan dan penugasan guru, 2005. Catatan: Berdasarkan formula penugasan yang berlaku.
47 Total kelebihan dan kekurangan guru dihitung berdasarkan hasil survei Pengangkatan dan Penugasan Guru tahun 2005 untuk sekolah di wilayah perkotaan dan wilayah terpencil. Total dihitung berdasarkan data Susenas 2004 terhadap persentase anak-anak yang berumur 7-15 tahun yang tinggal di kota dan desa, dan dengan asumsi 10 persen sekolah berada di wilayah terpencil. Guru paruh waktu diperhitungkan sebagai guru tetap.
46
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Metode yang digunakan sekarang untuk menentukan persyaratan penyediaan guru menyebabkan terjadinya kelebihan guru. Berdasarkan sistem yang kini berlaku, pihak sekolah menyampaikan kebutuhan guru kepada kantor pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota lalu meminta penambahan guru kepada kantor Departemen Pendidikan Nasional di tingkat pusat. Pemerintah pusat lalu mengalokasikan guru untuk kabupaten/kota tersebut sekaligus menyediakan tambahan pembayaran gaji guru melalui DAU. Berdasarkan sistem ini, pihak sekolah dan kabupaten/kota—yang sebenarnya tidak membayar gaji—memiliki alasan yang kuat untuk menyampaikan bahwa mereka kekurangan guru dan meminta tambahan sumber dana (yang pada dasarnya gratis), dan hampir tidak ada insentif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya guru. Hal ini terlihat pada kenyataan di lapangan, dimana sekolah hampir mengeluh bahwa mereka kekurangan guru, walaupun sebenarnya mereka sudah kelebihan guru. Survei yang dilakukan pada tahun 2005 (Survei Tenaga Kerja dan Pembangunan 2005, Depdiknas dan Bank Dunia) menunjukkan bahwa dari 276 sekolah dasar, 65 persen menyatakan mereka kekurangan guru sementara hanya 8 persen yang menyatakan kelebihan guru. Akan tetapi, berdasarkan formula perhitungan, tercatat 55 persen sekolah mengalami kelebihan guru dan 34 persen mengalami kekurangan guru. Dari seluruh sekolah yang menyatakan kekurangan guru, 41 persen sebenarnya sudah mengalami kelebihan guru. Ketika memperhitungkan kelebihan guru, perlu dipertimbangkan besarnya jumlah guru bantu honorer yang begitu banyak di Indonesia. Sekitar 6 persen dari guru sekolah dasar di Indonesia dan 25 persen dari guru sekolah 48 menengah negeri bekerja sebagai guru bantu. Ini merupakan tambahan atas keluhan kekurangan guru di beberapa daerah tertentu. Penggunaan guru bantu hanya sedikit mengurangi beban biaya kepegawaian untuk sementara, sebab gaji guru bantu tidak lebih rendah secara signifikan daripada gaji guru tetap. Gaji guru bantu untuk sekolah dasar (termasuk kabupaten/kota dan tunjangan sekolah) anehnya hanya sedikit perbedaannya dengan guru tetap jika berdasarkan jumlah jam kerja. Hal ini pun berlaku juga untuk guru sekolah menengah pertama. Kenyataan bahwa gaji guru bantu tidak lebih kecil secara signifikan daripada guru tetap artinya guru bantu lebih mahal jika dihitung berdasarkan honor per jam. Di tingkat sekolah menengah pertama, guru-guru untuk bidang keahlian tertentu dibayar per jam. Untuk meningkatkan efektivitas biaya, bagaimanapun juga, guru-guru ini harus didorong untuk meningkatkan sertifikasi mereka agar mereka tetap dapat dipekerjakan secara penuh. Di tingkat sekolah dasar, hanya terdapat sedikit guru bantu (6 persen secara nasional), walaupun guru sekolah dasar sering mempunyai tanggung jawab lain selain mengajar di ruang kelas dan mempunyai jam kerja yang cenderung lebih pendek dari pada rata-rata 49 guru yang mengajar di dalam kelas. Pertimbangan dasar dari perspektif pendanaan adalah bahwa kelebihan guru menimbulkan beban biaya yang signifikan. Dengan menggunakan realisasi nilai RMG50 apabila mengikuti standar internasional dan nilai ratarata kawasan regional, Indonesia menunjukkan tingkat kelebihan guru sekitar 21 persen (Lampiran E.6). Bahkan ketika menggunakan perkiraan yang konservatif dan dengan memperhatikan tingginya jumlah guru bantu, biaya untuk pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama saja telah mencapai lebih dari Rp 5 triliun, atau sekitar 8 persen dari total anggaran pendidikan. Biaya tinggi ini akan semakin memburuk ketika gaji guru naik cukup besar sebagai konsekuensi adanya tunjangan baru yang dinyatakan dalam UU No.14/2005 tentang guru.
Gaji guru, tunjangan dan mutu pendidikan Dengan pemberlakuan UU No. 14/2005 tentang guru pada Desember 2005, pemerintah ,memberlakukan persyaratan baru mengenai sertifikat pendidik yang meningkatkan kompensasi sekaligus memperbaiki kualitas guru. Merancang struktur gaji dan tunjangan guru untuk mendapatkan kandidat guru terbaik dalam profesi keguruan merupakan tugas yang sangat rumit. Kenyataan ini benar terutama untuk Indonesia, dimana gaji para guru dianggap masih relatif rendah. Gaji yang rendah sepertinya merupakan salah satu alasan penting atas kinerja guru yang buruk, semangat yang rendah, dan cenderung memiliki kualifikasi yang rendah. Tingkat gaji guru di Indonesia, yang disesuaikan untuk daya beli, secara signifikan lebih rendah daripada gaji guru di negara lain (Unesco-UIS/OECD, 2005). 48 Jika sekolah swasta diperhitungkan, persentase guru sekolah menengah pertama adalah 39 persen. 49 Misalnya, di tingkat sekolah dasar, 20 persen dari guru mengajar olahraga dan agama dan 11 persen adalah kepala sekolah, yang masih sering bertanggung jawab mengajar pada taraf sekolah kecil, tetapi mempunyai peran manajemen yang lebih besar pada taraf sekolah yang lebih besar (lihat Lampiran E.7). 50 Yang diusulkan saat ini adalah minimal ada empat guru untuk setiap sekolah dasar dengan target RMG 32:1, dan minimal tujuh guru untuk setiap pendidikan sekolah menengah pertama dengan target RMG 28:1, sehingga hasil RMG sebenarnya masing-masing adalah 26:1 dan 22:1.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
47
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Gaji guru di Indonesia lebih rendah dibandingkan negara setara lainnya. Sebuah survei terhadap sampel negaranegara yang tergabung dalam Indikator Pendidikan Dunia (IPD) menunjukkan bahwa tingkat gaji guru di Indonesian paling rendah dari negara-negara yang tergabung dalam IPD untuk seluruh jenjang dan tingkat pendidikan. Tetapi, perbandingan antarnegara dapat juga bermasalah, karena beberapa negara mungkin memberikan tunjangan tambahan yang tidak diperhitungkan dalam perbandingan. Namun demikian, hasilnya tetap menunjukkan bahwa guru di Indonesia menerima gaji yang relatif rendah. Bahkan kalau saja pendapatan guru dilipatgandakan melalui struktur tunjangan, gaji guru Indonesia masih tetap lebih rendah dari sampel negara-negara IPD kecuali Mesir. Tabel 3.11 Perbandingan gaji guru di beberapa negara terpilih dalam Indikator Pendidikan Dunia (IPD)
Tahun
Cili
Pendidikan menengah awal
Pendidikan dasar Gaji Awal
Gaji paling tinggi
Gaji Awal
Gaji paling tinggi
Pendidikan menengah lanjutan Gaji paling tinggi
Gaji Awal
2003
11,709
18,437
11,709
18,473
11,709
19,302
Mesir
2002/03
1,046
--
1,046
---
---
--
Indonesia
2002/03
1,002
3,022
1,002
3,022
1,042
3,022
2002
9,230
17,470
13,480
29,151
13,480
29,151
Malaysia Paraguay
2002
7,950
7,950
12,400
12,400
12,400
12,400
2002/03
9,890
11,756
9,890
11,756
9,890
11,765
Sri Lanka
2002
3,100
3,945
3,100
4,509
3,945
5,073
Thailand
2003/04
6,048
28,345
6,048
28,345
6,048
28,345
Uruguay
2002
4,850
7,017
4,850
7,017
5,278
7,444
Rata-rata OECD
2003
24,287
40,539
26,241
43,477
27,455
45,948
Filipina
Sumber: Unesco-UIS/OECD 2005 Tren Pendidikan dalam Perspektif: Analisa Indikator Pendidikan Dunia (IPD). Note: Angka dalam tabel dalam AS$ PPP.
Akan tetapi, secara nasional ketika membandingkan tingkat gaji untuk guru terhadap upah untuk pekerja lain dengan tingkat pendidikan yang sama, ternyata besarnya perubahan gaji bervariasi berdasarkan tingkat pendidikan. Besarnya gaji guru kontradiktif menurun secara aktual dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Analisis tentang Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2004 menunjukkan gaji pokok per bulan guru sekolah dasar dengan kualifikasi lebih rendah dari lulusan diploma (kira-kira 40 persen dari seluruh guru), yaitu 16 persen lebih tinggi daripada upah pekerja lain. Perbedaan turun menjadi sebesar 6 persen dibandingkan upah pekerja lainnya untuk guru yang memiliki ijazah D-I dan D-II (kira-kira 32 persen dari seluruh guru), bahkan perbedaan ini menjadi negatif untuk guru sekolah dasar yang memiliki ijazah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, terutama guru yang memiliki ijazah Diploma III (kira-kira 8 persen) atau ijazah sarjana S1 (kira-kira 19 persen) masing-masing dengan tingkat pendapatan 21 persen dan 35 persen lebih kecil daripada pekerja di sektor lain. Hasil survei ini menunjukkan bahwa guru dengan tingkat pendidikan yang rendah relative menerima pembayaran lebih tinggi, sementara guru dengan tingkat pendidikan lebih tinggi relatif dibayar terlalu rendah. Akan tetapi, gaji guru per jam masih cukup baik jika dibandingkan dengan pekerja lain, sebab jam kerja guru cenderung lebih pendek sehingga jam pembayaran per jam menjadi lebih tinggi. Menurut data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) 2004, guru bekerja sekitar 34 jam per minggu, sementara pekerja lain dengan tingkat pendidikan yang sama bekerja antara 43–46 jam per minggu (lihat Lampiran E..8). UU No.14/2005 tentang Guru akan secara signifikan menambah tingkat pengeluaran rutin untuk upah guru (gaji dan tunjangan ) selama 10 tahun ke depan ini. Undang-undang Desember 2005, menyatakan bahwa semua guru wajib memiliki sertifikat pendidik paling lambat 10 (sepuluh) tahun sejak berlakunya UU dan guru yang bersertifikat mendapatkan tunjangan profesi setara dengan satu kali gaji pokok guru ditambah dengan tunjangan 51 fungsional sebesar 50 persen dari gaji pokok. UU ini menyatakan adanya tunjangan khusus, yang akan diberikan kepada guru yang bertugas di wilayah konflik, terkena bencana alam, wilayah terpencil, dan wilayah-wilayah yang mengalami permasalahan khusus lainnya. 51 Spesisfikasi tunjangan fungsional sebesar 50 persen dari gaji pokok untuk gutu yang sudah mendapatkan sertifikasi guru merupakan bagian dari draft undang-undang yang diharapkan untuk disahkan sebelum akhir 2006.
48
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Diagram 3.9 Perkiraan biaya untuk gaji guru dan tunjangan baru 120 100
R p triliun
80
Pengeluaran Sektor Pendidikan Nasional tahun 2005
60 40
16 20
15
14
20
12
11
13
20
20
20
10
20
09
20
07
08
20
20
20
20
06
20
Total pengeluaran untuk gaji guru akan menjadi dua kali lipat dalam waktu delapan tahun dan akan melebihi total pengeluaran untuk sektor pendidikan pada 2005. Pengeluaran untuk tunjangan profesional akan meningkat secara perlahan setiap tahun karena semakin banyak guru yang akan memperoleh sertifikat pendidik (Diagram 3.9). Pada 2016, perkiraan pengeluaran sebesar Rp 102.7 triliun akan dialokasikan untuk gaji dan tunjangan (130 persen dari seluruh pengeluaran nasional 2005 untuk 52 sektor pendidikan). Depdiknas mungkin akan menggunakan tunjangan profesi untuk menentukan alokasi yang lebih besar dari keseluruhan anggaran untuk sektor pendidikan. Tindakan ini didasarkan atas ketentuan anggaran sebesar “20 persen” di dalam UU Pendidikan, terutama semenjak semua tunjangan-tunjangan ini tidak dimasukkan sebagai “pengeluaran untuk gaji.”
Pengeluaran untuk Bidang Pendidikan tahun 2005 Tunjangan Profesional
Tunjangan Fungsional
Tunjangan Daerah Khusus
Pengeluaran untuk Gaji Guru
Hasil pendidikan: kinerja siswa dan nilai ujian
Indonesia menduduki peringkat yang rendah dalam tes standar internasional—yang sesuai dugaan karena Indonesia merupakan satu-satu negara dengan tingkat pendapatan rendah-menengah yang ikut berpartisipasi dalam tes ini. Pada tahun 2003, Indonesia menduduki peringkat 34 dari 45 negara dalam Olimpiade Studi Ilmu Matematika Internasional Ketiga (TIMMS). Khususnya, siswa kelas 8 dari Indonesia memiliki hasil yang buruk untuk bidang kognitif seperti pemecahan masalah (Mullis dkk., 2006). Pada program ujian internasional penilaian siswa (PISA) tahun 2003, Indonesia menduduki peringkat terakhir dari 40 negara baik dalam pelajaran matematika maupun bahasa. Selanjutnya, pada skala kemahiran dari 0 - 6 untuk matematika, lebih dari 50 persen siswa tidak mampu mencapai tingkat 1. Untuk membaca, hanya 31 persen yang mampu menyelesaikan sebagian besar dari tugas-tugas pokok membaca. Para siswa dari Indonesia memiliki kemampuan yang lebih rendah daripada negara lain bahkan setelah memperhitungkan status sosioekonomi keluarga. Temuan ini menunjukkan bahwa sistem persekolahan mengalami defisiensi, dan bukan karena siswa berasal dari latar belakang keluarga miskin (EFA Global Monitoring Laporan 2005). Akan tetapi, pada saat yang sama, perlu dicatat bahwa pada dasarnya ujian PISA diperuntukkan bagi negara maju dan negara berpenghasilan menengah, dan Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki penghasilan dengan kategori rendah-menengah pada kelompok tersebut. Sumber: Perhitungan Bank Dunia menggunakan data guru dari Depdiknas 2004–05
Diagram 3.10 Tren nilai ujian membaca dan matematika menurut Tes Standar Internasional PISA Hong Kong- Chin a
Jepang
Korea
Brazil 600 550 500 450 400 350 300 250
Indonesia
Mexico
Thailand
Polandia
Yunani
Spanyol
Port ugal Federasi Rusia
Membaca thn 2000 Membaca thn 2003
Sumber: OECD, 2003.
Matematika thn 2000 Matematika thn 2003
Kecenderungan skor Indonesia pada ujian internasional menunjukkan sedikit peningkatan. Indonesia berpartisipasi pada PISA selama dua ronde berturutturut pada 2000 dan 2003. Sementara siswa Indonesia masih tetap ketinggalan dibandingkan dengan negara lain, namun mereka telah menunjukkan peningkatan kinerja dalam keterampilan membaca dan matematika selama kurun waktu tersebut (Diagram 3.10). Mutu pendidikan yang begitu rendah mengundang pertanyaan tentang kesesuaian sistem pendidikan di tingkat sekolah menengah dalam kaitannya dengan tingkat pengembalian sosial, kesiapan bekerja serta prospek pendapatan. Rendahnya mutu pendidikan merupakan masalah besar terutama bagi siswa yang migrasi dari daerah pedesaan yang miskin ke wilayah perkotaan.
52 Perkiraan ini tidak termasuk tunjangan kabupaten/kota dan sekolah yang kadang-kadang juga diberikan untuk guru.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
49
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Walaupun, terdapat (trade off) dalam hal alokasi sumber dana untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, tapi investasi dalam mutu pengajaran untuk menaikkan tingkat pengembalian sosial dalam sektor pendidikan. Kinerja yang rendah dari sistem pendidikan Indonesia berdasarkan peringkat internasional memberikan kesan bahwa sistem pendidikan yang ada sekarang tidak mampu memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan belum memberikan tingkat pengembalian sosial yang maksimal atas investasi yang dilakukan pada sektor ini.
50
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Rekomendasi Kebijakan Menentukan tingkat pengeluaran pendidikan yang “memadai” Dengan membandingkan pengeluaran untuk sektor pendidikan secara internasional, pengeluaran Indonesia relatif lebih kecil daripada pengeluaran pendidikan negara tetangga di Asia Timur, akan tetapi mendekati pengeluaran negara-negara berkembang lainnya. Dengan meningkatnya ruang gerak fiskal, pengeluaran untuk sektor pendidikan di Indonesia akan mengalami peningkatan sekurang-kurangnya 17 persen dari keseluruhan anggaran. Indikator yang dianalisis di dalam laporan ini adalah pengeluaran untuk sektor pendidikan sebagai proporsi produk domestik bruto (PDB) dan pengeluaran untuk sektor pendidikan sebagai proporsi dari total pengeluaran dan pengeluaran yang disesuaikan dengan daya beli di berbagai tingkat pendidikan. Menurut indikator ini, kecenderungan pengeluaran Indonesia hanya sedikit lebih rendah daripada negara berkembang, bahkan di antara negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Tingkat pengeluaran Indonesia untuk sektor pendidikan bagaimanapun juga meningkat. Kecenderungan pengeluaran dan proyeksi anggaran menunjukkan peningkatan, artinya pemerintah sudah memenuhi komitmen untuk memperbaiki layanan masyarakat. Berdasarkan perkiraan yang sudah memperhitungkan beberapa faktor penentu dalam alokasi pengeluaran sektor 53 pendidikan, tingkat pengeluaran pendidikan Indonesia (pada 2000) diharapkan menjadi setidaknya 17 persen dari keseluruhan anggaran. Dengan ruang gerak fiskal yang semakin membaik, tingkat pengeluaran saat ini diharapkan setidaknya mencapai angka 17 persen. Penafsiran yang berkembang sekarang mengenai ketentuan anggaran sebesar “20 persen” di luar gaji guru menurut UU Pendidikan adalah hal yang tidak realistis baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan mengikuti ketentuan 20 persen tersebut sesuai ketentuan UU pendidikan akan memberikan arti bahwa:
• •
•
Di daerah: Peningkatan pengeluaran pendidikan sebesar Rp 21 triliun. Dengan melakukan hal tersebut akan meningkatkan pengeluaran sektor pendidikan menjadi sekitar 45 persen dari total anggaran daerah (APBD). Hal ini secara politik akan menimbulkan masalah dan secara ekonomi hal itu tidak mungkin dapat dilaksanakan karena akan mengurangi pengeluaran untuk sektor lain (kesehatan, infrastruktur) di tingkat kabupaten/kota. Di tingkat pusat: Dengan anggaran pendidikan sekitar Rp 46 triliun (2006), atau 9,4 persen dari anggaran pemerintah pusat (APBN), penentuan alokasi tambahan anggaran sebesar Rp 59 triliun akan diperlukan untuk memenuhi ketentuan dalam UU tersebut. Perhitungan ini hanya satu dari begitu banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja sektor pendidikan dengan menafsirkan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang. Akan tetapi, kebanyakan dari perhitungan ini disampaikan pada suatu kesimpulan, yang mana bahwa di tingkat pusat, pengeluaran untuk sektor pendidikan perlu dilipatduakan. Peningkatan sumber dana yang begitu besar di tingkat pusat bertentangan dengan pelaksanaan sistem desentralisasi karena yang terjadi adalah peningkatan peran pusat di daerah dalam hal pengambilan keputusan kebijakan, sementara itu mengurangi ruang gerak fiskal dan wewenang pengambilan keputusan pemerintah daerah. Dengan adanya implikasi-implikasi seperti yang disebutkan diatas dan fakta bahwa hanya klausul diluar gaji ditambahkan dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sedangkan hal ini tidak ditentukan di dalam UUD, pemerintah semestinya bertindak bijaksana untuk kembali mempertimbangkan atas definisinya. Penafsiran atas ketentuan 20 persen termasuk pengeluaran untuk gaji kelihatannya akan lebih realistis.
Memperbaiki struktur pengeluaran Karena angka partisipasi sekolah di tingkat sekolah dasar telah mendekati angka 100 persen, fokus di tingkat ini harus diarahkan pada investasi untuk infrastruktur pendidikan dan mutu masukan lainnya seperti ruang kelas, mutu pendidikan guru yang masih jauh dari kategori memuaskan. Indonesia hampir mencapai angka partisipasi sekolah penuh untuk pendidikan dasar. Jadi, di tingkat sekolah dasar, kebutuhan terhadap akses pendidikan perlu ditingkatkan di beberapa wilayah terpencil. Namun demikian, angka partisipasi sekolah sebesar 100 persen mungkin tidak akan berkontribusi terhadap pengurangan pertumbuhan angka kemiskinan dan pertumbuhan apabila mutu pendidikan dasar rendah. Banyak sekolah dasar tidak memiliki infrastruktur yang memadai dan guruguru yang tidak memenuhi persyaratan minimal untuk menjadi guru. Struktur pengeluaran dari berbagai program perlu diubah untuk menjaring berbagai masukan (inputs) yang berkualitas. 53 Termasuk seluruh penduduk, kepadatan penduduk, PDB per kapita, tingkat desentralisasi fiskal dan keseimbangan anggaran. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
51
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Penentuan alokasi tambahan terhadap sumber daya pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan lanjutan akan memberikan nilai pengembalian sosial yang tinggi. Sementara mutu pendidikan dasar masih merupakan permasalahan yang memerlukan tingkat investasi yang serius, pemerintah harus mempertimbangkan pendidikan menengah sebagai prioritas lanjutan. Menurut analisis komposisi pengeluaran untuk sektor pendidikan dan estimasi tingkat pengembalian sosial terhadap pendidikan, tambahan sumber dana paling baik jika dialokasikan pada tingkat pendidikan menengah pertama dan lanjutan, karena memiliki dampak pengembalian sosial yang tertinggi. Di samping itu, analisis komposisi fungsional terhadap anggaran menunjukkan bahwa pemerintah pusat saat ini sedang mengalokasikan sebagian besar sumber dana untuk program pendidikan dasar dan tinggi. Pemerintah mungkin perlu mempertimbangkan kembali distribusi pengeluaran tersebut. Selanjutnya, berdasarkan angka partisipasi sekolah di seluruh jenjang pendidikan menunjukkan bahwa pemerintah harus meningkatkan akses dan menurunkan angka putus sekolah untuk jenjang pendidikan menengah pertama dan atas. Walaupun kedua masalah pendidikan tersebut merupakan masalah umum di Indonesia, tetapi masyarakat miskinlah yang paling mungkin mengalami.
Membuat pengeluaran untuk sektor pendidikan lebih merata Perbedaan daerah dalam akses dan kualitas antar daerah harus dikurangi dengan menentukan sasaran lokal. Analisis mengenai angka partisipasi sekolah memberikan indikasi perbedaan akses dan mutu yang begitu luas terhadap pendidikan di Indonesia. Pemerintah seharusnya mengalokasikan dana pendidikan yang memadai bagi kabupaten/kota dan provinsi yang tertinggal agar mereka dapat “mengejar ketertinggalannya”. Pemerintah daerah yang lebih miskin cenderung menggunakan anggaran yang cukup besar untuk sektor pendidikan. Akan tetapi, tingkat pengeluaran absolut mereka masih rendah. Transfer dana dari pemerintah pusat akan dapat menjamin pemerataan yang lebih besar terhadap akses layanan pendidikan. Transfer Dana Alokasi Khusus (DAK) dapat lebih ditingkatkan atau disesuaikan dengan kemiskinan yang misalnya melalui akses terhadap pendidikan. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan perkembangan yang penting dalam pendanaan sektor pendidikan dan juga merupakan instrumen yang penting untuk meningkatkan keterjangkauan walaupun sebenarnya masih banyak hal yang perlu ditingkatkan. Jika pemerintah terus mengalokasikan dana bantuan BOS (yang saat ini berjumlah sekitar 12 persen dari total konsolidasi anggaran pendidikan ) untuk sekolah, maka kita perlu mempertimbangkan hal-hal berikut :
• • • •
Walaupun pengiriman dana secara langsung kepada sekolah dapat mengurangi tingkat kebocoran anggaran, masih diperlukan pemantauan dan penelusuran arus keuangan untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan dan alokasi yang tidak pada tempatnya dari dana ini. Mekanisme alokasi yang tidak melalui pemerintah provinsi dan kabupaten/kota akan mengakibatkan terjadinya re-sentralisasi pengeluaran dengan. Karena besarnya dana bantuan BOS ditentukan berdasarkan jumlah siswa, sekolah memiliki intensif untuk menggelembungkan jumlah siswa jika tidak ada mekanisme kontrol yang memadai. Program tersebut tidak memberikan petunjuk untuk mengukur kinerja atau transparansi anggaran kepada sekolah. Dengan demikian, sulit untuk mengukur dampak yang sebenarnya dari program tersebut terhadap besarnya uang sekolah dan mutu pengajaran.
Upaya untuk menjamin pemerataan akses kepada pendidikan merupakan isu utama di tingkat sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Upaya untuk menangani hal ini seharusnya ditingkatkan. Pemerintah seharusnya berfokus pada peningkatan penerimaan siswa yang berasal dari keluarga miskin terutama di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, yang memiliki angka putus sekolah yang tinggi dan angka partisipasi sekolah yang rendah. Program dengan target yang lebih jelas seharusnya bertujuan untuk menanggulangi isu-isu tersebut dari dua sisi:
• •
52
Sisi permintaan, dengan mengurangi tingkat pengeluaran dari pihak keluarga atau meminjamkan pendapatan yang hilang melalui mekanisme tertentu seperti transfer tunai. Sisi penawaran, dengan menanggulangi potensi kurangnya investasi infrastruktur pendidikan, yang berfokus pada sekolah menengah, melalui pembangunan gedung baru dan peningkatan input untuk perbaikan mutu.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Meningkatkan efisiensi pengeluaran untuk sektor pendidikan Untuk menanggulangi distribusi guru yang tidak merata, perlu dilakukan re-evaluasi terhadap kebijakan penerimaan pegawai, terutama yang berkaitan dengan formula penempatan saat ini, serta kebijakan yang terkait dengan perpindahan staf atau guru dan penempatan guru di wilayah-wilayah terpencil. Potensi pilihan yang ada untuk penentuan tenaga sekolah di masa yang akan datang adalah menentukan jumlah guru setiap sekolah berdasarkan jumlah siswa dan bukan pada jumlah kelas. Dengan mempertimbangkan sekolah-sekolah yang lebih kecil, kebijakan ini seharusnya diikuti oleh fleksibilitas yang lebih luas mengenai mata pelajaran yang harus diajarkan guru. Selanjutnya, layanan pengajaran merupakan bagian dari layanan masyarakat secara nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu untuk menyediakan tidak hanya perpindahan guru antarsekolah dalam satu kabupaten/ kota tetapi juga antara satu kabupaten/kota atau provinsi dengan yang lain. Pada akhirnya nanti, perlu juga untuk melakukan peninjauan sistem pengadaan guru yang ada sekarang untuk memastikan fleksibilitas dukungan kebijakan yang dapat meningkatkan akses, pemerataan, dan mutu. Akhirnya, Indonesia telah memiliki kebijakan atas layanan kebutuhan guru di wilayah-wilayah terpencil. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi sekarang adalah menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyediakan layanan tersebut. UU guru yang baru sebagian menimbulkan masalah karena UU menjamin penyediaan tambahan tunjangan pendanaan untuk guru yang bekerja di wilayah-wilayah terpencil. Kelebihan guru secara keseluruhan berdampak besar dan berkelanjutan terhadap efektivitas biaya dalam sistem pendidikan Indonesia. Pengurangan jumlah guru akan menambah penyediaan dana yang dapat digunakan untuk mendukung peningkatan mutu pendidikan sekarang ini. Akan tetapi, kelebihan guru seperti itu merupakan masalah lokal dan dapat diatasi sebagian dengan menyediakan tunjangan lokal dengan mencantumkannya di dalam UU guru yang baru. Di samping itu, kelebihan guru dalam beberapa hal merupakan konsekuensi dari adanya kenyataan bahwa banyak guru bantu yang bekerja di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Namun demikian, total kelebihan guru menunjukkan adanya beban biaya sekitar 10 persen dari total anggaran. Beban ini akan bertambah buruk sebagai akibat dari ketentuan UU yang melipatduakan gaji pokok guru. Pilihannya adalah mengurangi jumlah guru dengan tujuan memperbaiki mutu pendidikan. Tergantung pada skala pengurangan tersebut, sejumlah dana dapat digunakan untuk mendukung peningkatan gaji dan tunjangan. Sementara pelaksanaan kebijakan pemindahan guru akan lebih meratakan distribusi guru, upaya untuk mengurangi dampak akibat kelebihan guru mungkin akan menjadi tantangan terbesar sistem pendidikan Indonesia saat ini. Dengan adanya fakta bahwa para guru berada pada jajaran layanan masyarakat, ada sedikit opsi selain memperlambat atau “membayar” akibat dampak pengurangan tersebut. Pilihan yang kedua ini memiliki implikasi jangka pendek terhadap anggaran. Strategi tambahan penting lainnya yang mungkin dilakukan adalah mengurangi jumlah penerimaan mahasiswa keguruan di lembaga pendidikan. Untuk menjamin bahwa guru terdorong untuk memperoleh kualifikasi yang benar dan memadai, maka gaji guru perlu disesuaikan dengan kualifikasi mereka. Gaji guru biasanya masih dianggap lebih rendah dibandingkan dengan pekerja lain dan PNS lainnya dengan tingkat pendidikan yang sama. Analisis berdasarkan pendapatan per jam, ternyata pendapatan guru memang lebih kecil dibandingkan dengan PNS yang bertugas pada bidang nonkeguruan. Selanjutnya, masih terdapat disparitas wilayah yang begitu luas dalam hal tingkat upah untuk guru yang akan mempersulit pelaksanaan re-distribusi tenaga kependidikan. UU keguruan yang baru memperkenalkan kebijakan untuk menanggulangi isu-isu semacam ini dengan menghubungkan peningkatan gaji pokok untuk guru sesuai dengan kualifikasi dan kinerja yang baik. Di samping itu, penyediaan tunjangan untuk guru yang bertugas di wilayah terpencil akan memberikan kompensasi terhadap perbedaan upah lokal dan peningkatan distribusi guru. Peningkatan gaji guru setelah proses sertifikasi tampaknya dapat dimengerti. Akan tetapi, jika peningkatan ini menyebabkan pengurangan anggaran inti lainnya untuk sektor pendidikan, hal ini dapat berdampak negatif terhadap keluaran pendidikan. UU keguruan yang baru secara substansial mempengaruhi anggaran pendidikan. Dengan adanya berbagai jenis tunjangan baru untuk kurun waktu lima tahun ke depan, hal ini akan berpengaruh terhadap anggaran pendidikan nasional yang ada sekarang. Besarnya dampak keuangan terhadap peningkatan pembayaran tunjangan dapat dikurangi jika mampu secara bersamaan menurunkan tingkat kelebihan guru di Indonesia dan mengurangi jumlah guru bantu.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
53
BAB 3 Sektor Pendidikan
54
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007