BAB II TINJAUAN UMUM HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUMAN MATI
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak asasi yang melekat pada manusia sejak mereka dilahirkan di dunia dan hukuman mati adalah hukuman paling berat yang diberikan kepada pelaku kejahatan dengan cara menghilangkan nyawa mereka. Hukuman mati selalu dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia terutama pada hak untuk hidup. Sering timbul berbagai perdebatan mengenai hal tersebut, baik perdebatan yang terjadi di dunia maupun perdebatan yang terjadi di lingkup nasional. Dari segi HAM, hukuman mati merupakan jenis pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup. Hak fundamental ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana.62 Oleh karena itu, maka uraian berikut akan membahas definisi HAM beserta ruang lingkupnya dan hukuman mati tersebut.
2.1
Pengertian dan Ruang Lingkup Hak Asasi Manusia
2.1.1 Pengertian Hak Asasi Manusia Istilah HAM merupakan terjemahan dari istilah droits de I’homme dalam bahasa Perancis yang berarti “hak manusia”, atau dalam bahasa Inggrisnya human
62
Haryomataram, KGPH, 2007, Pengantar Hukum Humaniter, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 5.
19
20
rights, yang dalam bahasa Belanda disebut menselijke rechten.63 Di Indonesia umumnya dipergunakan istilah: “hak-hak asasi”, yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam bahasa Inggris dan grondrecten dalam bahasa Belanda.64 Sebagian orang menyebutkannya dengan istilah hak-hak fundamental, sebagai terjemahan dari fundamental rights dalam bahasa Inggris dan fundamentele rechten dalam bahasa Belanda.65 Sehingga, HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia. 66 HAM adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran di dalam kehidupan masyarakat.67 Selain itu, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum , pemerintah dan setiap otang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
2.1.2 Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Sejak Nabi Musa dibangkitkan untuk memerdekakan umat Yahudi dari perbudakan di Mesir, manusia telah menyadari tentang pentingnya penegakan hak-haknya dalam membela kemerdekaan, kebenaran dan keadilan.68 Di Babylonia, dikenal hukum Hammurabi pada 2000 tahun Sebelum Masehi (SM) yang menetapkan hukum untuk menjamin keadilan bagi warganya sebagai 63
Ramdlon Naning, 1983, Op.Cit, h. 7. Ibid. 65 Ibid. 66 Lihat Pendidikan Kewarganegaraan, “Sejarah HAM di Dunia dan Indonesia”, URL: http://www. terpelajar.com/sejarah-ham-di-dunia-dan-indonesia/. Diakses tanggal 24 Januari 2016 67 Ibid. 68 Ramdlon Naning, Op.Cit, h. 8. 64
21
jaminan bagi hak-hak asasi manusia.69 Demikian pula di Solon, Athena, 600 tahun SM, mengadakan pembaharuan
dengan
menyusun
perundang-undangan
yang
memberikan
perlindungan keadilan.70 Sejarah juga mencatat, tonggak pertama bagi kemenangan hak asasi manusia di Inggris, terjadi pada tanggal 15 Juni 1215 setelahnya Piagam Magna Charta.71 Prinsip dasar piagam yang dicetuskan bangsawan-bangsawan Inggris itu antara lain memuat bahwa kekuasaan Raja harus dibatasi dan bahwa hak asasi manusia lebih penting dari kedaulatan Raja72 Mekanisme-mekanisme perintis lainnya dalam perkembangan sejarah hakhak asasi manusia dengan berturut-turut lahirnya Habeas Conpus Act tahun 1879 di Britania Raya.73 Seperti judul penjelasannya yang menyatakan sebuah undangundang untuk lebih melindungi kebebasan warganegara dan untuk mencegah pemenjaran yang sewenang-wenang.74 Selanjutnya, Bill of Rights (Piagam hakhak) di Britania Raya tahun 1689 adalah sebuah undang-undang yang menyatakan hak-hak dan kebebasan-kebeasan warganegara dan menentukan pergantian raja.75 Perkembangan pesat terjadi usai Perang Dunia II, ketika rancangan Piagam Hak-hak Asasi Manusia disusun oleh Organisasi Kerjasama untuk Sosial Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. Sidangnya
69
Ibid Ibid. 71 Zona Siswa, “Sejarah Hak Asasi Manusia”, URL: http://www.zonasiswa.com/2014/07/sejarah-hak-asasi-manusia-ham.html?m=1. Diakses tanggal 24 Januari 2016. 72 Lihat Pendidikan Kewarganegaraan, Loc.Cit. 73 Ramdlon Naning, Op.Cit, h. 9. 74 Ibid. 75 Berbagaireviews.com, 2015, “Sejarah Dan Perkembangan Hak Asasi Manusia di Dunia, History Of Human Rights In The World”, URL: http://www.berbagaireviews.com/2015/03/sejarah-dan-perkembangan-hak-asasi-.html?m=1. Diakses tanggal 24 Januari 2016 70
22
dimulai bulan Januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Roosevelt. 76 Baru dua tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa The Universal Declaration of Human Rights yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakili dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 tidak setuju dan 2 negara lainnya abstain.77 Setelah 21 tahun berdirinya PBB yang dicetuskan pada tanggal 24 Oktober 1945 itu, hak-hak manusia telah memperoleh jaminan perlindungan dalam dua perjanjian internasional di tahun 1966.78 Perjanjian internasional yang dimaksud ialah Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). Selain itu ditetapkan protokol Opsional pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.79
2.1.3 Jenis-Jenis Hak Asasi Manusia Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara (Declaration des droits de I’homme et du Citoyen) merupakan salah satu dokumen fundamental dari Revolusi Perancis yang menetapkan sekumpulan hak-hak individu dan hak-hak kolektif manusia.80 Menurut deklarasi ini, hak asasi itu merupakan dasar hukum umum dan dasar kemerdekaan manusia sebagai konsekuensi dari pengakuan 76
Ibid. Ibid. 78 Ramdlon Naning, Op.Cit, h. 10 79 Ibid. 80 Berbagaireviews.com, Loc.Cit. 77
23
kemerdekaan dan hak persamaan yang berbunyi “bahwa manusia itu dilahirkan merdeka dan tetap tinggal merdeka, serta mempunyai hak yang sama.81 Hak-hak asasi yang tersimpul dalam deklarasi ini antara lain:82 1. 2. 3. 4.
Makhluk dilahirkan merdeka dan tetap merdeka Manusia mempunyai hak yang sama Manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak lain Warganegara mempunyai hak yang sama dan mempunyai kedudukan dan pekerjaan umum 5. Manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut undang-undang 6. Manusia mempunyai kemerdekaan agama dan kepercayaan 7. Manusia merdeka mengeluarkan pikiran 8. Adanya kemerdekaan surat kabar 9. Adanya kemerdekaan bersatu dan berapat 10. Adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul 11. Adanya kemerdekaan bekerja, berdagang dan mlekasanakan kerajinan 12. Adanya kemerdekaan rumah tangga 13. Adanya kemerdekaan hak milik 14. Adanya kemerdekaan lalu lintas 15. Adanya hak hidup dan nafkah Secara garis besar HAM itu dapat dibedakan menjadi:83 1. Hak-hak asasi pribadi (personal right), yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan sebagainya. 2. Hak-hak asasi ekonomi (property right), yaitu: hak untuk memiliki sesuatu, membeli dan menjual serta memanfaatkan. 3. Hak-hak asasi politik (political rights) yaitu: hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan umum), hak untuk mendirikan partai politik dan sebagainya. 4. Hak-hak asasi untuk mendapat perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (rights of legal equality)
81
Ibid. Ibid. 83 Ramdlon Naning, Op.Cit, h. 14-15 82
24
5. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan (social and cultural rights). Umpamanya hak untuk memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan kebudayaan dan sebagainya. 6. Hak asasi untuk mendapat perlakuan tata-cara peradilan dan perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penengkapan, penggeledahan, peradilan dan sebagainya.
2.2
Tinjauan Tentang Hukuman Mati
2.2.1 Sejarah Perkembangan Hukuman Mati di Dunia Menurut beberapa penelitian sejarah menemukan bahwa pidana mati telah digunakan pada abad 18 Sebelum Masehi (SM) dalam hukum yang diberlakukan oleh Raja Hammurabi dari Babilonia, terdapat 25 kasus kejahatan yang dijatuhi pidana mati.84 Pada abad 14 SM hingga 5 SM, pidana mati juga diberlakukan di Athnea (Dracodian Code) dan Kerajaan Romawi (Twelve Tablet).85 Pidana mati tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang cukup keji dalam pandangan modern seperti; penyaliban, penenggelaman, penyiksaan hingga tewas, dibakar, dan lain-lain.86 Pada perkembangan di abad-abad selanjutnya di jaman Romawi Kuno, pidana mati ini mengalami perkembangan yang luar biasa dalam bentuk pelaksanaannya, mulai dengan cara dipenggal, disalibkan, ditenggelamkam,
84
Ayub Torry Satriyo Kusumo, “Hukuman Mati Ditinjau Dari Persepektif Hukum Dan Hak Asasi Manusia Internasional”, URL: http://ayub.staff.hukum.uns.ac.id/artikelartikel/hukuman-mati-menurut-perspektif-ham-nasional/. Diakses tanggal 10 September 2015 85 Ibid. 86 Ibid
25
digergaji.87 Bahkan pada sekitar abad ke-4 di semua daerah jajahan Romawi, pidana mati ini tidak lagi harus dilakukan dengan cara yang sama yang telah diatur pada peraturan yang ada, sehingga ada yang sampai digantung hidup-hidup di pinggir jalan dan kemudian dibakar sebagai penerangan jalan.88 Seperti dijabarkan oleh seorang ahli sejarah yang menyatakan, “kita ketahui jalannya acara-acara peradilan itu, hukuman itu adalah dipancung kepalanya, dibuang ke salah satu pulau yang sangat jauh, dipekerjakan selaku budak, dibakar hiduphidup ataupun diterkam binatang buas di dalam gelanggang arena yang ditonton oleh beribu-ribu orang.”89 Pada abad berikutnya, Raja William tidak mengizinkan hukuman mati kecuali dalam kondisi perang, namun pada abad ke-16 kondisi ini kemudian berbalik. 90 Di bawah rezim Raja Henry ke-16, diperkirakan sekitar 72 ribu orang dihukum dengan cara direbus (dimasak), dibakar, digantung, dipenggal, dipisahkan anggota tubuhnya dengan cara ditarik dan lain-lain.91 Pada abad-abad selanjutnya, pidana mati ini kemudian telah menjadi satu “alat” yang paling efisien dan dipandang paling kuat gereja untuk menyingkirkan lawan-lawannya, ataupun untuk membuat rakyat tetap tunduk pada para penguasa yang ada.92
2.2.2 Sejarah Perkembangan Hukuman Mati di Indonesia Di Indonesia, pidana mati telah dikenal pada jaman Kerajaan Hindu yaitu
87
Asrini, 2009, “HUKUMAN MATI : Sebuah Dilema Antar penegak HAM dan Supremasi Hukum Di Indonesia”, Makalah Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES), h. 5. 88 Ibid. 89 Ibid. 90 Ayub Torry Satriyo Kusumo, loc.cit. 91 Ibid. 92 Asriani, Op.Cit, h. 6
26
pada masa Kerajaan Majapahit, pada jaman Kerajaan Islam, bahkan menurut hukum adat.93 Hukuman mati pada masa Kerajaan Majapahit dilakukan dengan banyak cara, salah satunya adalah menusuk dada (jantung) si terpidana dengan keris yang sangat tajam.94 Adapun bentuk hukuman mati lainnya yakni melemparkan
terpidana ke laut yang sebelumnya telah diberi pemberat.95
Berbeda halnya pada jaman Kerajaan Islam, yakni pada masa Kerajaan Mataram Islam, eksekusi hukuman mati dilaksanakan melalui dua opsi yang dapat dipilih, yaitu diadu dengan harimau jawa atau hukuman picis yaitu hukuman di mana tubuhnya disayat-sayat dengan pisau dan lukanya diolesi air garam atau cairan asam secara berulangkali hingga terpidana mati menahan sakit yang luar biasa. 96 Secara perlahan-lahan hukum pidana mulai menggeser kekuatan hukum adat yang telah ada di kerajaan-kerajaan tersebut dan kemudian berhasil mencapai puncaknya yakni pada saat Wetboek v. strafrecht itu mulai diberlakukan secara nasional (menyeluruh) di Indonesia pada tahun 1918, baik bagi golongan bumi putera, timur asing maupun golongan penduduk Eropa.97 Hal tersebut kemudian lebih dipertegas lagi setelah kemerdekaan Indonesia melalui keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP/WvS).98 Hingga akhirnya pidana mati kita kenal dalam Pasal 10 huruf a Angka (1) KUHP jo Pasal 11 KUHP. Oleh karena itulah, penjatuhan pidana mati menjadi sah (legal act) bagi pemerintah 93
Julianto Wibowo, 2015, “Hukuman mati Di Indonesia, Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia”, http://juliantowibowo25.co.id/2015/03/hukuman-mati-di-indonesia.html. Diakses pada tanggal 16 November 2015. 94 Kompasiana, 2015, “Seperti Apa Hukuman Mati Pada Jaman Dahulu”, URL: http://m.kompasiana.com/rikazprabowo/seperti-apa-hukuman-mati-pada-zaman-dahulu_ 54f340d0745513932b6c6dc3. Diakses pada tanggal 2 Februari 2016. 95 Ibid. 96 Ibid. 97 Julianto Wibowo, Op.Cit. 98 Ibid.
27
Indonesia di dalam melakukan pemidanaan terhadap orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.99 Pada masa pemerintahan presiden Soekarno hukuman mati tetap diatur di dalam wetboek van strafrecht atau yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).100 Pada saat itu ada beberapa kasus yang dijatuhi hukuman mati seperti kasus Kartosuwirjo, Kusni Kasdut, dan tragedi Cikini.101 Berlanjut pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, banyak pula kasus hukuman mati yang dilakukan oleh pemerintah. 102 Pada masa itu tidak pemerintah sangat represif karena sebagian besar yang dieksekusi mati adalah lawan politik Soeharto.103 Fenomena pembunuh misterius “petrus” yang menebar teror dengan menembak mati siapa saja yang “dianggap” mengganggu ketertiban.104 Hal seperti itu adalah bentuk hukuman mati secara terselubung. Pasca orde baru pemerintahan tiga presiden juga banyak menjatuhkan hukuman mati.105 Presiden Megawati menolak tiga permohonan grasi terpidana mati. Pada masa pemeritahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tercatat beberapa kasus yang dijatuhi vonis hukuman mati seperti terpidana mati kasus terorisme antara lain: Amrozi, Ali Ghufron, Imam Samudera, dan Fabianus Tibo.106
99
Asriani, Op.Cit, h. 6 Wongbanyumas, “Pro-Kontra Pidana Mati di Indonesia”, URL: http://fatahilla.blogspot.co.id/2008/09/pro-kontra-pidana-mati-di-indonesia.html?m=1. Diakses pada tanggal 4 Februari 2016 101 Ibid. 102 Ibid. 103 Kompasiana. Op.Cit. 104 Lihat Ibid. 105 Ibid. 106 Ibid. 100
28
2.2.3 Kontroversi Penjatuhan Hukuman Mati Perdebatan tentang pidana mati di dunia khususnya di Indonesia telah menjadi bagian dari diskursus sosial, terutama di bidang ilmu hukum. Sesungguhnya perdebatan tersebut telah lama ada sebagai bagian dari perkembangan peradaban umat manusia, bersamaan dengan dipraktikkannya pidana mati itu sendiri. Di era modern, gerakan menghapus pidana mati menguat pada abad ke-18.107 Gerakan ini mengkritik pidana mati sebagai bentuk pidana yang tidak manusiawi dan tidak efektif.108 Perdebatan mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum internasional maupun dalam UUD 1945 masuk dalam kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Instrumen hukum internasional khususnya ICCPR tidak sama sekali melarang penjatuhan hukuman mati melainkan hanya membatasi penerapannya, seperti yang tercantum di dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR. Dalam konteks hukum Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 23/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaknya memerhatikan empat hal penting yakni:109 1. Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan pidana yang bersifat khusus dan alternatif 2. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup 3. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa 107
Ayub Torry Satriyo Kusumo, loc.cit. Ibid. 109 Todung Mulya Lubis Dan Alexander Lay, 2009, Kontroversi Hukuman Mati, Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. xi 108
29
4. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh
Walaupun banyak gerakan penghapusan pidana mati telah dilakukan, namun masih banyak negara-negara yang mengakui dan menerapkan pidana mati.110 Hingga tahun 2013, ada 22 negara yang masih menerapkan hukuman mati.111 Dengan demikian, perdebatan mengenai hukuman mati, walaupun telah berlangsung lama, masih tetap akan ada dan berlanjut di masa yang akan datang.
2.2.3.1 Pandangan yang Pro Hukuman Mati Dalam hukum positif Indonesia, masih terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati. Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya.112 Bahkan Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak melarang hukuman mati. Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang HAM tersebut dinyatakan: “Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dibatasi.”113 Dari rumusan ketentuan di atas, kita bisa menggarisbawahi kalimat: “...berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan 110
Ibid. ANTARA News, Op.Cit. 112 Abdurrasyid Ridha, Op.Cit, h. 1. 113 Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 111
30
aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan....”. Dari kalimat itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam keadaan tersebut, hak untuk hidup dapat dihilangkan.114 Dengan demikian, bisa dikatakan pelaksanaan hukuman mati tidaklah dianggap melanggar HAM. Muhammad Asrun merupakan salah satu sarjana yang setuju dengan pemberlakuan hukuman mati. Beliau menyatakan pemahaman yang benar terhadap pemberlakuan hukuman mati apabila hal tersebut terkait dengan kejahatan yang sangat serius (the most serious crimes) seperti kejahatan narkotika harus dilihat sebagai upaya perlindungan terhadap hak hidup (the right to life) banyak orang.115 Sejalan dengan pendapat Muhammad Asrun, menurut Didik Endro Purwo Laksono, fungsi khusus dari hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan, tindakan atau aktivitas atau kegiatan yang membahayakan nyawa manusia seperti narkotika.116
2.2.3.2 Pandangan yang Kontra Hukuman Mati Dilihat dari sudut pandang moral, hukuman mati harus ditolak karena beberapa hal:117 1. Keadilan harus ditegakkan dengan tidak mengakhiri hidup seseorang. Pelaksanaan hukuman mati berarti mengakhiri hidup seseorang sehingga tidak ada kesempatan bagi penjahat untuk memperbaiki perilakunya. 2. Pelaksanaan hukuman mati bisa diartikan melindungi penjahat yang lain. 114
Abdurrasyid Ridha, Op.Cit, h. 13 Hukumpedia, 2015, Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia, URL: http://www.hukumpedia.com/keluarga/pro-kontra-pidana-mati-di-indonesia. diakses pada tanggal 4 Februari 2016. 116 Ibid. 117 Ibid, h. 5 115
31
3. Pelaksanaan hukuman mati sangat bertentangan dengan hakikat manusia sebagai makhluk bermoral. 4. Hukuman mati melukai rasa keadilan masyarakat. Terhadap korban hukuman mati yang tidak sangat jelas kesalahannya, pelaksanaan hukuman mati bertentangan dengan moralitas masyarakat. Pidana mati di Indonesia memang masih dilaksanakan, walaupun di dalam pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) ditegaskan bahwa “ Setiap orang
berhak
untuk
hidup
serta
berhak
mempertahankan
hidup
dan
kehidupannya”.118 Jelas UUD 1945 merupakan ketentuan tertinggi dalam suatu negara hukum di Indonesia dan tidak ada ketentuan lain yang dapat mengesampingkannya, tetapi pada kenyataannya negara melalui pemerintah tetap melakukan “pembangkangan‟ dengan jalan menafsirkan Pasal 28 J UUD 1945.119 Selain itu, Ada juga yang menyatakan jika pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman.120 Sejumlah studi ilmiah terhadap hukuman-hukuman mati yang dilakukan beberapa lembaga di dunia pun menunjukkan bahwa hukuman mati gagal membuat jera dan tidak efektif dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya.121 Roeslan Saleh merupakan salah satu sarjana yang tidak setuju dengan adanya pidana mati. Beliau berpendapat tidak setuju adanya pidana mati di Indonesia karena beberapa alasan, yaitu:122 1. Putusan hakim tidak dapat diperbaiki lagi kalau ada kekeliruan 118
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Ibid. 120 Abdurrasyid Ridha, Op.Cit, h. 15 121 Ibid. 122 Todung Mulya Lubis, Op.Cit, h. xi 119
32
2. Mendasarkan landasan falsafah Negara Pancasila, maka pidana mati itu bertentangan dengan perikemanusiaan. Sebagaimana Roeslan Saleh, Sahetapy juga mempunyai pendapat yang sama. Beliau menyatakan, hukuman mati bertentangan dengan Pancasila.123 Sejalan dengan pendapatnya Roeslan Saleh tersebut, Arief Sidharta juga menolak pemberlakuan hukuman mati di Indonesia.124 Beliau menegaskan “hak untuk hidup” masuk ke dalam kelompok hak non derogable berdasarkan asas lex superior derogate legi inferior.125 Beliau mendasarkan pendapatnya terhadap Pasal 28I UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” Melihat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 terkait pengujian konstitusionalitas hukuman mati yang dijatuhkan pada tanggal 30 Oktober 2007, empat orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions). Hakim Konstitusi Harjono memiliki pendapat khusus yang berdeda dengan hakim lainnya mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon Warga Negara Asing.126 Achmad Roestandi mempunyai pendapat berbeda mengenai Pokok Permohonan, sedangkan Hakim Laica Marzuki dan Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda baik mengenai kedudukan
123
Ibid. Hukumpedia, Op.Cit. 125 Ibid. 126 Pan Mohamad Faiz, 2015, “Pendekatan MK Terhadap Konstitusionalitas Hukuman Mati”, URL: http://panmohamadfaiz.com/2015/02/22/pendekatan-mk-terhadap-konstitusionalitashukuman-mati/. Diakses pada tanggal 17 Februari 2016. 124
33
hukum (legal standing) maupun pokok permohonan.127 Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi, pemohon yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang memang dibatasi bagi warga negara Indonesia. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi menolak untuk memberikan kedudukan hukum bagi para pemohon berkewarganegaraan asing.128 Walaupun pendapat berbeda yang disampaikan oleh Hakim Harjono, Hakim Laica, dan Hakim Maruarar, mereka tidak secara tegas menyatakan warga negara asing dapat diberikan kedudukan hukum untuk menguji konstitusionalitas setiap undang-undang, namun para Hakim Konstitusi tersebut sepakat bahwa ketiga warga negara Australia yang menjadi para Pemohon telah memenuhi syarat kedudukan hukum untuk menguji konstitusionalitas hukuman mati yang termuat di dalam Undang-Undang Narkotika.129 Hakim Harjono beralasan bahwa menolak warga asing untuk menguji pasal tersebut akan menimbulkan tertundanya kepastian hukum sebab Mahkamah Konstitusi perlu menunggu adanya warga negara Indonesia yang mengujinya dahulu.130
terlebih
Sementara
itu,
Hakim
Laica
dan
Maruarar
lebih
mempertimbangkan pendekatan hukum dan instrumen internasional tentang hak asasi manusia dengan mengedepankan prinsip equal rights bagi sertiap orang terlepas
dari
kewarganegaraannya.131
Walaupun
Mahkamah
Konstitusi
menyatakan ketiga warga negara asing tersebut tidak memiliki kedudukan hukum, 127
Ibid. (analisis lebih lanjut mengenai putusan ini akan disajikan pada sub pokok bahasan
3.3). 128
Lihat Tudong Mulya Lubis, Op.Cit, h. 384 Ibid. 130 Pan Mohamad Faiz, Op.Cit. 131 Ibid. 129
34
namun Mahkamah Konstitusi tetap memeriksa dan memutuskan substansi permasalahan konstitusional yang sedang diuji.132 Dengan mempertimbangkan maksud dari pembuat UUD 1945 dan berbagai aspek hukum internasional, Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa “hak untuk hidup” yang termuat di dalam UUD 1945 tidak melarang hukuman mati yang diatur berdasarkan undang-undang dan setelah menjalani proses hukum yang adil serta hanya untuk kejahatan serius.133 Sementara itu, tiga Hakim Konstitusi yang berpendapat berbeda menyandarkan argumentasinya juga pada hukum internasional dan praktik bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable).134
132
Ibid. Lihat Todung Mulya Lubis, Op.Cit, h. 419 134 Pan Mohamad Faiz, Op.Cit. 133