BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK ASASI MANUSIA
A. Pengertian, Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia 1. Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia Hak-hak asasi manusia pada dasarnya merupakan hak yang kodrati yang diperolehnya dari Tuhan Yang Maha Esa. Kesadaran manusia terhadap hak-hak asasinya semakin tampak diinsyafi bila manusia telah saling berhubungan antara satu dengan lain di dalam pergaulan masyarakat dan lebih-lebih lagi bila menghadapi kekuasaan negara. Oleh karena itu perjalanan sejarah antar manusia dan bangsa terhadap hak asasi tidak terlepas dari sejarah perkembangan pasang surut keadaan manusia terhadap hak-hak asasinya. Sejarah mencatat bahwa tonggak pertama bagi hak-hak asasi terjadi di Inggris pada tanggal 15 Juni 2015 yaitu lahirnya piagam Magna Charta. 23 Prinsip dasar yang dicetuskan dalam piagam tersebut yaitu pertama kekuasaan raja harus dibatasi dan kedua, hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorangpun dari warga negara berbeda dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diperkosa hak-haknya kecuali atas pertimbangan hukum. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan hak-hak asasi manusia, karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja. Perkembangan berikutnya Thomas Aquino (1215-1274) menyampaikan ajarannya bahwa hukum dan undang-undang hanya dapat dibuat atas kehendak rakyat atau oleh seorang raja yang mencerminkan kehendak rakyat. Lalu kemudian hadir John Locke (1632-
23
Magna Charta adalah piagam yang dikeluarkan di Inggris pada tahun 1215 yang membatasi monarki Inggris, sejak masa Raja John dari kekuasaan absolut. www.wikipedia.com, diakses pada tanggal 17 November 2010.
1704) yang menggambarkan status naturalis dimana manusia telah memiliki hak-hak dasar secara perorangan. Bersamaan dengan itu pendapat John Locke menyatakan bahwa manusia yang berkedudukan sebagai warga negara itu hak-hak dasarnya dilindungi oleh negara. 24 Kemudian timbul beberapa teori kekuasaan negara oleh J.J. Rosseau (1762) yang terkenal dengan teori kontrak sosial yang berisikan bahwa kekuasaan negara itu timbul karena atas persetujuan masyarakat untuk membentuk suatu pemerintahan yaitu segolongan manusia yang dikuasakan untuk menjalankan pemerintahan. Teori ini dianut di Eropa sampai ke Amerika sehingga kian meningkatlah pergerakan untuk menjamin dan melindungi hak-hak dan kebebasan itu. Locke dan Rosseau ternyata berpengaruh besar terhadap kemerdekaan Amerika dan Revolusi Perancis karena ajaran mereka dipegang penuh oleh Revolusioner di kedua negara itu. Revolusi Amerika dengan Declaration of Independence tanggal 4 Juli 1776 yaitu suatu deklarasi yang diumumkan secara aklamasi oleh 13 negara bagian, merupakan pula piagam hak-hak asasi manusia karena mengandung pernyataan : “Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajatnya oleh Maha Penciptanya. Bahwa manusia semua dianugerahi oleh Pencipta-Nya hak hidup, kemerdekaan dan kebebasan untuk menikmati kebahagiaan”. Buah pikiran Locke dan Rosseau kemudian berlanjut dengan diterimanya undang-undang dasar Amerika Serikat 17 September 1787 dan mulai berlaku 4 Maret 1789. Namun Declaration of Independence di Amerika Serikat 1776 tersebut menempatkan Amerika sebagai negara yang mendapat penghormatan yang pertama dalam sejarah yang memberi perlindungan dan jaminan
24
Samidjo, Ilmu Negara, CV. Armico, Bandung, 2002, hal. 93.
hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya kendatipun secara resmi rakyat Perancis sudah lebih dahulu memulainya sejak masa Rosseau tersebut. Pada saat berkobarnya perang dunia ke II ditandatangani Atlantic Charter 14 Agustus 1941 yang antara lain berisikan : “(1) Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom ofspeech and expression), (2) kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan (freedom of religion), (3) kebebasan dari rasa takut (freedom from fear) dan (4) kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from what).” Kebebasan-kebebasan tersebut dimaksudkan sebagai kebalikan daripada kekejaman dan penindasan melawan fasisme dibawah totaliterisme Hitler (Jerman), Jepang dan Italia. Tapi juga sekaligus merupakan hak atau kebebasan bagi umat manusia untuk mencapai perdamaian dan kemerdekaan yang abadi. Empat kebebasan Roosevelt ini pada hakekatnya merupakan tiang penyangga hak-hak asasi manusia yang paling pokok dan mendasar. Lalu muncul Piagam PBB dan statuta Mahkamah Internasional sebagai bagian integral the four freedom tersebut yang disahkan 26 Juni 1945 di San Fransisco, Amerika Serikat. Dalam piagam PBB Pasal 55 menganjurkan hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar ditaati oleh anggota-anggotanya. Dengan diakuinya penempatan hak-hak asasi manusia dalam piagam PBB tersebut kemudian untuk merealisasikan lebih lanjut atas hak-hak asasinya manusia itu diterbitkannya pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia sedunia tanggal 10 Desember 1949. Kemudian pada tanggal 16 Desember 1966 PBB menerbitkan perjanjian hak asasi yaitu The Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights and The Covenant on Civil and Political Rights and Optional Protocol to The International Covenant on Civil and Political Rights.
Dari kedua perjanjian Internasional tentang hak-hak manusia itu dalam hal menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara adalah tentang covenant of civil dan political rights dan optional protocol-nya. Oleh karena itu dengan perjanjian internasional yang disebut terakhir ini, kemudian banyak anggota PBB berkeberatan merumuskannya dalam hukum nasionalnya masing-masing. Pada umumnya pengakuan demikian hanya dianut di Eropa Barat. 2. Pengertian Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia adalah suatu konsepsi mengenai pengakuan atas harkat dan martabat manusia yang dimiliki secara alamiah yang melekat pada setiap manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama dan jenis kelamin. Dalam pengertian universal hak asasi manusia diartikan sebagai hak dan kebebasan dasar manusia yang secara alamiah melekat pada diri manusia dan tanpa itu manusia tidak dapat hidup secara wajar sebagai manusia. Dalam buku ABC Teaching of Human Rights yang dikeluarkan oleh PBB didefinisikan sebagai “Those rights which are inherent in our nature and without which we can not live as human being” (Hak-hak yang melekat secara kodrati pada manusia yang tanpa itu tidak dapat hidup sebagai layaknya seorang manusia). 25 Sementara itu, dalam Preambule Perjanjian Internasional Hak Sipil dan Politik dirumuskan sebagai “These rights derive from the inherent dignity of the human person” (Hak-hak yang berasal dari martabat yang melekat pada manusia). Dewan Pertahanan Keamanan Nasional mengajukan tiga tolak ukur untuk menentukan hak dasar manusia yang fundamental ialah, pertama hak yang bersifat sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, kedua hak yang terkait dengan kelangsungan eksistensi manusia, dan ketiga hak yang bersifat universal. 26 Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada jati diri manusia secara kodrati dan secara universal, dan berfungsi menjaga integritas keberadaannya,
25 26
Koesparmono, Op. Cit., hal 24. Ibid., hal 25.
berkaitan dengan hak atas hidup dan kehidupan, keselamatan, keamanan, kemerdekaan, keadilan, kebersamaan dan kesejahteraan sosial sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. 27 Dalam Vienna Declaration and Programme of Action hak asasi manusia diartikan sebagai :“ that all human rights derive from the dignity and worth inherent in the human person, and that the person is the central subject of human rights and fundamental freedom, and consequently should be the principal beneficiary and should participate actively in the realization of these rights and freedom.” (Bahwa semua hak asasi manusia berasal dari martabat dan pantas melekat dalam manusia, dan bahwa manusia adalah sentral subjek dari hak asasi manusia dan kemerdekaan dasar, secara konsekwen harus menjadi pewaris terpenting dan harus berpartisipasi secara aktif dalam merealisasikan dari hak-hak dan kebebasan). Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights merupakan suatu pernyataan umum mengenai martabat yang melekat dan kebebasan serta persamaan manusia yang menunjukkan nilai normatif konsep hak asasi manusia. Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak mereka. 28 Mereka di karuniai akal serta nurani dan harus saling bergaul dalam semangat persaudaraan. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberi pengertian tentang hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
27 28
Ibid. Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948.
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum ,pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 29
B. Praktek Hak Asasi Manusia Dalam Kehidupan Sehari-hari Dalam Hubungannya Dengan Negara Dan Hukum Hak asasi dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan, justru karena berpikir secara hukum berkaitan dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud. Dengan demikian pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui dan dihormati serta harus dijunjung tinggi. 30 Demikian juga di antara para pakar terjadi pengelompokan seperti Machiavelli, Jean Bodin, Thomas Hobbes yang mendukung sistem absolutisme dan John Locke, Montesqieau serta Voltair dna sebagian penulis lain sebagai pendukung sistem negara hukum dan hak asasi. Mereka berpendapat bahwa individu memiliki hak kodrati, antara lain hak hidup, hak kebebasan dan hak milik. Dengan demikian peranan raja dan pemerintah harus melindungi hak-hak tersebut dan tidak boleh melanggarnya. Untuk itu Montesqieau, pendukung kebebasan warga negara, berpendapat bahwa pemerintahan harus dibagi dalam tiga kekuasaan terpisah (Trias Politica). 31 Thomas Aquinas mempelopolori dengan aliran hukum alam. Dalam situasi yang serba alami, semua manusia mempunyai hak-hak tertentu dan kewajiban-kewajiban tertentu pula yang harus dihormati dan dipertahankan. Hak-hak yang bersifat asasi, misalnya hak hidup. 32
29
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Koesparmono,Op. Cit. hal. 28. 31 Ibid.,hal. 29 32 Ibid. 30
Dalam hukum internasional tradisional, konsep “tanggung jawab negara” berkaitan dengan kewajiban negara yang muncul dari pelanggaran yang dilakukannya terhadap negara lain yang dirugikan (injured state). Pihak yang dirugikan di sini bukan perseorangan atau kelompok melainkan negara di mana orang atau kelompok menjadi warga negaranya. Dalam arti ini, pengajuan tuntutan berada di tangan negara yang warganya dirugikan atau menjadi korban, bukan berada di tangan para korban itu sendiri, para korban tidak mempunyai hak untuk mengajukan tuntutan internasional. Inilah yang membedakannya dengan tanggung jawab negara dalam konteks hukum hak asasi manusia. 33 Dalam hukum hak asasi manusia internasional, pengertian tanggung jawab negara berkaitan dengan kewajiban negara dalam rangka memajukan dan melindungi hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Tanggung jawab negara dalam pengertian ini merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada seluruh masyarakat internasional, bukan hanya tertuju kepada suatu negara yang dirugikan.
34
Perjanjian hak asasi manusia pada umumnya, bukanlah perjanjian yang dihasilkan dari saling memberi hak untuk kepentingan bersama negara pihak. Maksud dan tujuannya adalah untuk melindungi hak-hak dasar manusia, tanpa memandang kebangsaan. Dalam menyimpulkan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia tersebut, Negara dapat dikatakan telah menyerahkan diri mereka ke dalam suatu ketertiban hukum, di mana mereka telah menyanggupi melakukan berbagai kewajiban, bukan dalam hubungan dengan negara lainnya, melainkan terhadap individu di dalam yurisdiksinya. 35
33
Theo Van Boven, Ifdhal Kasim, Mereka yang Menjadi Korban, hal 18. Ibid. 35 Ibid., hal 19. 34
Penahanan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap seseorang ialah karna adanya dugaan terhadap orang tersebut bahwa ia telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti awal, maka untuk kepentingan penyelidikan maka kepolisian akan melakukan penangkapan yang kemudian kepolisian melakukan penahanan yang didasari dengan surat perintah. Polisi dalam melakukan pemeriksaan masih saja menggunakan kekerasan dan penganiayaan. Ini membuktikan kepada kita bahwa masih ada aparat penegak hukum yang belum dapat mengemban tugas dengan baik. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan dalam bidang penyelidikan sehingga penyelidikan dilakukan dengan kekerasan, maka untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan tenaga-tenaga polisi yang terampil dan dibekali pengetahuan hukum. Dalam peradilan kita melihat peradilan yang hampir sempurna dimana kita mengharapkan peradilan yang bebas merdeka dan berwibawa, tetapi kenyataan yang kita hadapi bukan seperti yang kita harapkan.Masyarakat begitu tidak percaya kepada pengadilan, seolaholah pengadilan berperan menjauhkan keadilan dari rakyat. Kalau kita perhatikan pengertian hak asasi manusia dalam arti umum adalah hak yang dimiliki manusia menurut kodrat yang tidak dipisahkan dari hakikatnya karena itu hak asasi manusia itu bersifat luhur dan suci. Sedangkan dalam suatu negara hukum ialah seseorang sebagai manusia pribadi yang dilindungi dari tindakan sewenang-wenang penguasa. Jadi jelaslah hukum itu sebagai suatu rangkaian atau ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan sesuatu dengan susuatu yang lain. Manusia sebagaimana diakui hukum merupakan subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban hukum), pada saat itu hukum secara formal mengakui hak-hak asasi manusia sehingga
persoalan hukum dan hak asasi manusia adalah satu, dalam arti hukum yang memberikan pengayoman, kedamaian serta ketentraman manusia bermasyarakat dan bernegara. Kita dapat meninjau mulai dari keadaan sesudah revolusi Prancis. Berkat pengaruh pikiran-pikiran J.J Rosseau rakyat Prancis memperoleh penghargaan yang lebih layak dari penguasa daripada sebelum revolusi. Sebagai reaksi atas kekuasaan absolut dari raja-raja dan pendukung-pendukungnya yaitu golongan bangsawan dan agama maka ia tampil dengan ajarannya yang terkenal tentang kedaulatan rakyat, yaitu apa yang dikehendaki rakyat itulah baru dinamakan hukum. Kita menyadari bahwa persoalan penegakan hukum saat ini sedang dalam proses, baik dalam nasional maupun dunia internasional, hal ini sama halnya dengan persoalan hak-hak asasi manusia yang juga dalam proses atau dalam perjuangan sejauh mana hak-hak asasi manusia ini berhasil ditegakkan yang sangat bergantung dari kesadaran umat manusia sendiri terutama para pemimpin atau negarawan nasional dan internasional. Seseorang sebagai manusia pribadi dalam suatu negara hukum dilindungi terhadap tindakan-tindakan sewenang-wenang dari penguasa, hak-hak dan kebebasan-kebebasan perseorangan diakui yaitu dengan dibuatnya berbagai pernyataan dan peraturan yang mengakui adanya hak-hak dan kebebasan dari perseorangan tersebut. Salah satu yang telah diterima secara internasional yang diterima baik oleh PBB adalah pernyataan umum hak-hak manusia (Universal Declaration of Human Rights). Jika kita memikirkan persoalan hak-hak dan kebebasan manusia ini, maka janganlah dilupakan bahwa apa yang sekarang telah tercapai dengan diploklamirkannya hak-hak asasi manusia secara universal, sesungguhnya merupakan suatu lanjutan dari cita-cita leluhur kita
sejak ratusan tahun lalu. Jaminan pada tiap-tiap orang atas penghidupan yang selayaknya sebagai manusia adalah suatu cita-cita tentang keadilan. C. Hak Asasi Manusia Menurut Hukum Internasional Manusia sebagaimana diakui hukum merupakan subjek hukum pada saat itu sebenarnya hukum secara formal mengakui hak asasi manusia, sehingga persoalan hukum dan hak asasi manusia adalah satu, dalam arti hukum yang memberi pengayoman, kedamaian serta ketenteraman manusia bermasyarakat dan bernegara. Hal ini berarti ada hukum yang sekedar ada untuk menunjuk bahwa aturan hukum yang dipakai dalam suatu negara. 36 Kita menyadari sepenuhnya bahwa persoalan hukum dan menegakkan hukum, saat ini dalam proses, baik dalam arti nasional maupun hukum internasional, hal ini sama persoalannya dengan hak asasi manusia, yang juga dalam proses atau dalam perjuangan. Sejauh mana perjuangan menegakkan hukum dan menegakkan hak asasi manusia berhasil, kiranya sangat tergantung dengan kesadaran umat manusia sendiri, terutama para negarawan nasional dan internasional. Persoalan hak asasi manusia kalau dikaji lebih jauh akan sampai pada satu area bidang politik tiap-tiap negara yang kadang-kadang sudut pandangan masing-masing negara berbeda dengan aplikasi yang berbeda pula. Hal ini disadari sekali oleh para ahli hukum internasional, karena itulah dengan cara yang sabar dan perundingan terus menerus diusahakan adanya satu konsensus Internasional dalam menegakkan hak asasi manusia di seluruh dunia. 37 Konsensus Internasional tersebut sudah dituangkan dalam satu konvensi internasional yaitu dalam Vienna Convention on The Law of Treaties tanggal 23 Mei 1969 yang diharapkan
36
A.Masyhur Effendi, Tempat Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional/Nasional,Penerbit Alumni, Bandung ,1980, hal 14. 37 Ibid., hal 15.
merupakan sarana semua anggota Perserikatan PBB untuk mengadakan komunikasi dengan dasar etiket baik (good faith and pacta sunt servanda), sehingga setiap pihak yang menghadapi persoalan dapat menyelesaikannya melalui perjanjian. 38 Hak asasi manusia adalah hak yang sangat esensial dalam kehidupan manusia, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Hak asasi manusia harus dihargai dalam segala aspek kehidupan, baik dalam lapangan hukum, sosial, budaya, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Untuk itu sedikit pandangan mengenai hak asasi manusia dari segi hukum dalam praktek sehari-hari, yaitu dalam hal kepolisian dan peradilan. Hukum humaniter yang merupakan cabang dari hukum internasional, sekarang dapat diartikan sebagai komponen hak asasi manusia di dalam hukum perang. Hukum ini lebih tua usianya dibandingkan dengan hukum hak asasi manusia. Perkembangannya yang modern dapat ditelusuri dari serangkaian gagasan yang dikemukakan oleh Swiss pada abad ke-19 yang kemudian melahirkan perjanjian internasional mengenai aturan-aturan kemanusiaan yang diterapkan dalam melakukan peperangan. 39 Gagasan ini telah melahirkan Konvensi Jenewa 1864 yang ditujukan untuk melindungi tenaga-tenaga medis dan rumah sakit serta mengharuskan penampungan dan perawatan kombatan yang luka dan sakit. Konvensi ini kemudian diikuti oleh Konvensi Hague III tahun 1899 yang berisikan aturan-aturan kemanusiaan bagi peperangan di laut. Konvensi-konvensi ini kemudian diperbaiki dan disempurnakan beberapa kali, yang kemudian sekarang merupakan suatu hukum yang secara lengkap mencakup hampir semua aspek sengketa bersenjata yang modern. Kesemuanya itu dituangkan ke dalam Konvensi Jenewa 1949 dengan dua protokolnya.
38
Ibid. Rudi M. Rizki, Pokok-Pokok Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, hal 6, diakses dari http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Pokok_pokok_HAM_Intl.pdf pada tanggal 25 Januari 2011. 39
Walaupun hukum humaniter modern lebih dahulu lahir dibandingkan dengan hukum hak asasi manusia internasional, namun pengaruh hukum HAM dapat ditemukan di dalam hukum humaniter. Sebagai contoh, protokol-protokol yang lahir kemudian mencerminkan asas-asas hukum hak asasi manusia modern. Perlu dicatat bahwa degoration clauses dari hukum hak asasi manusia internasional diambil dari hukum humaniter, termasuk juga kewajiban-kewajiban para negara peserta. Dengan demikian, hukum HAM internasional modern mencakup juga hukum humaniter, yang berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap manusia baik dalam keadaan damai maupun perang. 40 Doktrin intervensi humaniter yang dikemukakan oleh Grotius pada abad ke-17 dan diikuti oleh banyak pendukungnya, diartikan sebagai penggunaan kekuatan yang sah yang dilakukan oleh suatu atau beberapa negara terhadap negara lainnya guna menghentikan perlakuan yang menyimpang terhadap warga negaranya, khususnya terhadap perlakuan brutal dan berskala besar yang bertentangan dengan keyakinan masyarakat bangsa-bangsa. Doktrin ini pada kenyataannya sering disalahgunakan oleh negara-negara besar tertentu untuk menginvasi atau mengokupasi negara-negara yang lebih lemah. Namun demikian, doktrin ini merupakan pernyataan pertama yang membatasi kebebasan negara berdasarkan hukum internasional dalam memperlakukan warga negaranya. Berdasarkan doktrin ini pula, suatu organisasi internasional atau kelompok negara-negara menggunakan kekuatannya untuk mengakhiri suatu pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia di suatu negara. Dewasa ini, Dewan Keamanan PBB sering mengambil tindakan terhadap negara-negara yang dianggap telah melakukan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dengan memperkenankan penggunaan tindakan pemaksaan berdasarkan Bab VII Piagam PBB.
40
Ibid., hal 7.
Ketentuan ini hanya berlaku terhadap keadaan yang mengancam atau membahayakan perdamaian dan terhadap tindakan agresi. Karena resolusi-resolusi yang mengesahkan tindakan Dewan Keamanan tersebut secara hukum dan secara factual masih dianggap mendua (ambiguous), maka tindakan tersebut masih sulit untuk dikatakan sebagai suatu versi modern dari doktrin intervensi humaniter secara kolektif. Namun demikian, dapatlah dikatakan bahwa peran Dewan Keamanan tersebut telah mengarah ke sana. Pendirian Pengadilan Internasional untuk Bekas Yugoslavia oleh Dewan Keamanan yang dimaksudkan untuk mengadili orangorang yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan massal, dan kejahatan perang di wilayah tersebut, dapat pula dianggap sebagai suatu bentuk modern dari intervensi humaniter secara kolektif terhadap pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.
41
D. Hubungan Antara Hak Asasi Manusia dan Perang. Diluar dari kehendak yang wajar dan pandangan umum, tidak seorangpun dari masyarakat internasional menginginkan terjadinya perang sesama mereka, semua orang mengutuk peperangan karena peperangan hanya akan membawa sengsara dan kebinasaan bagi umat manusia. Tetapi dalam kenyataannya walaupun masyarakat internasional berusaha agar perang tidak terjadi, tetapi tetap saja perang itu timbul dan ada sampai saat ini bahkan dikhawatirkan akan lebih meningkat lagi di masa akan datang. Peristiwa perang dan permusuhan antara berbagai pihak, tidak saja dikenal sejak beberapa puluh tahun yang lalu, tetapi perang telah dikenal dan telah dilakukan sejak umat manusia mengukir sejarah dan peradabannya. Perang dapat menyebabkan semua pihak menjadi terlibat
41
Ibid., hal 8.
dan jika tidak ada pembatasannya menyebabkan kehancuran total umat manusia, serta menyebabkan terancamnya hak asasi manusia. Jika kita hubungkan dengan kenyataan dunia yang kita alami saat ini dengan banyaknya terjadinya peperangan, konflik-konflik dan beraneka bentuk permusuhan lainnya yang mengancam perdamaian dunia. Sampai pada ditandatanganinya perjanjian Paris (Briand Kellog Pact) pada tahun 1926 bagi negara-negara yang terlibat dalam peperangan dan pengkhianatan tidak ada jalan kecuali dengan perang karena peranglah jalan satu-satunya cara yang sah untuk menyelesaikan konflik-konflik internasional yang mampu mempertahankan dan menegakkan hukum internasional. Menurut perjanjian tersebut diatas tidak ada gunanya melarang terjadinya perang, sebab tidak adanya badan yang berwenang penuh untuk bertindak atas pelanggaran-pelanggaran hukum internasional. Itulah sebabnya kalau terjadi perang maka penyelesaiannya diusahakan saja pada negara yang terlibat atau dengan istilah lain System by Decentralize Enforced of International Law. Berpedoman kepada sejarah ternyata cara demikian tidak menguntungkan bahkan menimbulkan kerugian yang amat besar baik bagi manusia sendiri sebagai pelaku dalam peperangan, maupun terhadap lingkungan tempat dilakukannya perang. Kemudian mulailah orang berpikir dan membuat batasan-batasan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antar bangsa-bangsa. Pada prinsipnya perang dilakukan secara luas tanpa aturan dan banyak menimbulkan kerugian serta penderitaan bagi umat manusia. Di lain pihak perang juga mempunyai segi positif dan negatif yang ditimbulkannya. Perang dapat mempengaruhi sejarah manusia yaitu terhapusnya kebudayaan yang lama untuk digantikan dengan kebudayaan yang baru misalnya
tampak pada Perang Dunia I tidak bakal ada revolusi tahun 1917 di Rusia yang kemudian melahirkan Republik Soviet. Dengan berakhirnya perang dunia II maka hampir semua bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin memperoleh kemerdekaannya. Disini jelas tampak bahwa perang telah menciptakan perubahan-perubahan yang memungkinkan dalam rangka memajukan perkembangan kebudayaan. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap bangsa yang melakukan perang tidak lain adalah dengan maksud untuk memaksakan kehendaknya atau untuk memperluas wilayahnya dalam rangka mewujudkan cita-cita nasionalnya. Dalam hal ini kita dapat melihat contoh dari perang Teluk 1990-1991 yang sekarang terwujudnya perjanjian Washington yang baru dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1994 yang tetap dianggap rakyat Palestina sebagai sesuatu yang belum tuntas dan utuh karena masalah kota Yerusalem yang masih dipertahankan oleh Israel. Sejarah telah membuktikan bahwa suatu bangsa yang ingin hidup damai dan aman, maka ia harus memperhatikan pertahanan dan keamanannya yang hanya untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya saja, maka negara itu akan mudah hancur oleh serangan-serangan negara lain yang telah mempersiapkan diri untuk perang. Perlunya penerapan aturan serta rasa kemanusiaan dalam perang sudah dikenal sejak jaman dahulu kala. Namun ironisnya pelanggaran demi pelanggaran masih saja terus berlangsung hingga sekarang. Di India misalnya, sejak dahulu kala telah dikenal peraturanperaturan hukum perang yang bertujuan untuk melindungi orang-orang yang tak berdaya, terluka dan yang sakit, terdapat ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak tentara pendudukan, senjata terlarang, dan perlakuan tawanan perang. Cerita Mahabharata misalnya, mengandung aturanaturan perang yang berperikemanusiaan.
Demikian pula kitab Undang-undang Manu di India pada masa lampau memuat ketentuan terperinci mengenai orang-orang (penduduk sipil) yang tidak boleh diserang, barang-barang rampasan perang, dan larangan untuk melakukan kekejaman. Salahudin Al- Ayubi pada masa kejayaan Islam juga telah menerapkan aturan hukum humaniter berdasar ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Yunani Kuno dan Romawi juga mengenal ketentuan-ketentuan yang melarang pemakaian racun, pembunuhan tawanan perang, dan penyerangan atas tempat-tempat ibadah. Sumbangan yang berharga dari hukum Romawi terhadap hukum perang modern adalah definisi “perang” dan pendapat yang mengatakan bahwa peperangan harus dimulai dengan suatu pernyataan perang yang resmi. Jelas bahwa rasa kemanusiaan merupakan suatu hal yang umum dan telah dikenal oleh berbagai bangsa dan peradaban sejak dahulu kala. Tidak benar apabila ada yang berpendapat bahwa sebelum Rousseau merumuskannya dalam Du Contract Social, prinsip perikemanusiaan itu belum dikenal. Perbedaannya hanyalah bahwa sebelum itu perikemanusiaan dalam perang sering masih terbatas pelaksanaannya pada musuh yang seagama atau satu kebudayaan sehingga pada saat itu belum dapat dikatakan sebagai asas yang berlaku umum dan universal yang melintasi batas keagamaan, kebudayaan, dan kebangsaan seperti di zaman modern. Dasar-dasar hukum humaniter bertujuan melindungi masyarakat dan membatasi akibat yang tidak perlu atau yang berlebihan, yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa konflik dan perang. Hukum humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata. Pada prinsipnya masyarakat internasional memang mengakui bahwa peperangan antarnegara (international armed conflict) dan bahkan secara internal dalam suatu negara (non-
international armed conflict) dalam banyak kasus yang pernah terjadi memang sukar atau tidak dapat dihindari. Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan tetapi orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi korban. Oleh karena itu semua orang harus tetap dilindungi hak asasinya, baik dalam keadaan damai maupun perang. Tidak benar bahwa dalam peperangan, aspek hukum akan lenyap seperti yang digambarkan dalam peribahasa Romawi inter arma silent leges (terjadinya perang membuat aturan-aturan hukum bisa diabaikan). Hukum yang mengatur konflik bersenjata lazim disebut sebagai hukum perang, kemudian setelah Perang Dunia II diubah menjadi hukum humaniter. Penggantian istilah tersebut dalam rangka memanusiakan manusia dalam perang. Perang biasanya ditandai oleh konflik di suatu wilayah dengan intensitas penggunaan kekuatan bersenjata cukup tinggi dan terorganisasi. Tujuan hukum humaniter yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebagai berikut: 1. Untuk melindungi orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam suatu permusuhan (hostilities), seperti orang-orang yang terluka, yang terdampar dari kapal, tawanan perang, dan penduduk sipil. 2. Untuk membatasi akibat buruk penggunaan senjata dan kekerasan dalam peperangan dalam rangka mencapai tujuan terjadinya konflik tersebut. Israel jelas telah melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan dalam berbagai tindakan atau aksi militernya, baik selama kurang lebih enam dasawarsa di Palestina. Dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya, Israel telah menggunakan cara-cara yang tidak berperikemanusiaan,
melanggar hak asasi manusia, mengabaikan aturan hokum humaniter, dan tidak sesuai dengan doktrin “Just War”. Dalam Hukum Humaniter Internasional terdapat dua doktrin mengenai kategori perang, yaitu : 42 a. Just War “Just War” (perang yang dibenarkan) bermakna bahwa ada justifikasi atau alasan pembenaran untuk melaksanakan serangan, bahwa perang dilakukan berdasarkan alasanalasan yang logis dan dapat dibenarkan, perang berlangsung secara adil dan seimbang, perang dilakukan terbatas untuk mencapai tujuan tertentu dan bukan untuk menghancurkan atau memusnahkan pihak lawan (suatu negara, suatu bangsa, etnis dan suku-bangsa, kelompok atau oposisi atau pemberontak). Berlandaskan doktrin “Just War” ini, sepanjang perang tidak terhindarkan dalam rangka memperjuangkan sesuatu atau mempertahankan sesuatu, dibolehkan melakukan tindakan untuk mengalahkan/menaklukkan lawan, tetapi bukan untuk menghancurkan. Boleh memperjuangkan sesuatu, mencakup hal-hal kepentingan nasional atau mencegah berlanjutnya agresi, tetapi bukan dengan cara-cara teror yang menimbulkan kesengsaraan bagi penduduk sipil. Kriteria melakukan sebuah perang yang dibenarkan, pertama kali diringkas oleh seorang ahli filsafat Belanda Hugo Grotius pada abad ke-17 dan bersumber pada ahli-ahli agama Katolik tua, terdiri atas tujuh elemen: (1) bahwa ada penyebab yang dibenarkan; (2) bahwa ada otoritas yang benar (penguasa yang sah) yang memprakarsai perang tersebut; (3) maksud yang benar dari pihak-pihak yang menggunakan kekuatan; (4) bahwa pilihan menggunakan kekuatan adalah proporsional; (5) bahwa penggunaan kekuatan merupakan pilihan terakhir; (6) bahwa perang ditempuh dengan
42
www.wikipedia.com, di akses pada tanggal 25 Januari 2011.
kedamaian sebagai tujuan akhirnya (bukan karena semata-mata ingin berperang); (7) bahwa ada harapan yang masuk akal bahwa upaya perang tersebut akan berhasil. b. Unjust War (perang yang tidak dibenarkan) Unjust War merupakan perang yang tidak mengikuti ketentuan perang dalam hukum humaniter, seperti genosida, penggunaan senjata pemusnah massal dan lain-lain. Selain yang diatur berdasar doktrin, dalam perkembangan di zaman modern diadakan pula aturan-aturan berdasar perjanjian internasional dan ketetapan dari badan perlengkapan organisasi internasional. Sehingga ketentuan-ketentuan Hukum Perang atau Hukum Humaniter ini dibagi ke dalam tiga cabang, yaitu : 1. Hukum The Hague (Law of the Hague) lebih terkait dengan peraturan mengenai cara dan sarana bertempur dan memusatkan perhatiannya pada tindakan operasi militer. Oleh karena itu, maka jenis Hukum The Hague sangat penting bagi komandan militer di darat, laut, dan udara. Hukum ini dilandasi oleh hasil Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan di The Haque (Den Haag, Belanda) pada tahun 1899 dan 1907, yang utamanya menyangkut sarana dan metode perang yang diperkenankan. 2. Hukum Jenewa (Law of Geneva), yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Mereka yang dilindungi adalah militer maupun sipil, di darat maupun di air. Hukum Jenewa melindungi semua orang yang hers de combat, yakni yang luka-luka, sakit, korban karam/tenggelam, dan tawanan perang. Hukum Jenewa ini mencakup Konvensi Jenewa 1929, Konvensi Jenewa 1949, dan juga Protokol Jenewa 1977. 3. Hukum New York (New York Rules), yaitu aturan-aturan baru yang berkaitan dengan hukum
humaniter
atau
yang
mengatur
ketentuan
yang
berlaku
dalam
peperangan/pertempuran. Ketentuan dihasilkan melalui mekanisme Perserikatan Bangsa-
Bangsa yang bermarkas besar di New York. Lazimnya yang digolongkan sebagai New York Rules adalah yang dibuat setelah tahun 1980. Ada yang berupa konvensi, protocol, maupun berupa resolusi. Resolusi Majelis Umum dan Resolusi Dewan Keamanan PBB. Contoh-contohnya antara lain Convention on the prohibition of the development, production, stock-pilling and the use of chemical weapons and on their destructions (1993), Protocol on Binding Laser Weapons (1995), Protocol on the Explosive Remnants of War (2003), dan New York Rules juga mencakup yang sebelum tahun 1970-an yaitu Konvensi PBB tentang Genosida (Genocide Convention) tahun 1948 yang merupakan pengembangan dari Resolusi PBB Nomor 96 (11 Desember 1946), serta Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2444 Tahun 1968 (Respect for Human Rights in Armed Conflict).