HUKUMAN MATI PERSPEKTIF RELATIVISME HAK ASASI MANUSIA1 Abdul Rokhim2 (Dipublikasikan dalam “Jurnal Transisi” Media Penguatan Demokrasi Lokal, Edisi No. 10/2015, ISSN: 1978-4287, Penerbit Intrans Institute, Malang, h. 20-40) Abstract The application of the death penalty has opponents and supporters among the criminal law experts and human rights observers, with each argument. For those who oppose the death penalty, it is a form of murder is not run of the nature of cruelty. Conversely, for those who support it, the death penalty is fair to be charged to those who violate the rights of other people's lives, such as murder, terrorism, genocide, including narcotics crime. The death penalty against the perpetrators of serious crimes that have caused many casualties on the community is not contrary to human rights, as in the context of human rights in Indonesia requires a balance between the rights and obligations of human rights. The imposition of the death penalty for the perpetrators of serious crimes is a form of implementation of human rights restrictions are relative in accordance with the constitution and the laws in force in each country, because in doing their evil actions had violated the right to life of others. Keywords: Death Penalty; Relativism; Human Rights Pendahuluan Manusia sepanjang hidupnya tidak akan pernah dapat dipisahkan dengan hukum, apabila manusia ingin hidup aman, tenteram, adil dan makmur. Karena hukum dalam arti yang luas menerobos masuk ke dalam seluruh kehidupan manusia, baik dalam halhal yang paling elementer, sederhana, maupun ke dalam hal-hal yang paling kompleks dan rumit. Makna hukum yang demikian itu sejalan dengan watak (karakter) norma hukum yang berbeda-beda, terkadang tampak lembut dan terkadang tampak keras, bergantung pada aspek dan tujuan hukum yang hendak dicapai. Kelembutan norma hukum tampak dalam aturan terkait dengan penyelesaian perkara perdata, yang antara lain dirumuskan dengan istilah “berdasarkan musyawarah”, “kesepakatan para pihak”, “dengan itikad baik”, dan lain-lain. Sebaliknya, watak hukum tampak garang dan keras antara lain tampak pada norma hukum pidana, misalnya “hukuman mati”, hukuman penjara seumur hidup, dan lain-lain. Namun demikian, yang pasti bahwa dalam masyarakat atau negara yang bagaimanapun bentuknya, tidak akan lepas dari hukum, karena hukum bertujuan untuk menertibkan dan mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat tanpa kecuali, termasuk dengan ancaman hukuman mati, apabila dipandang perlu. 1
Makalah telah dipresentasikan dalam Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Intrans Institute pada hari Senin, 23 Maret 2015, di Wisma Kalimetro Jl. Joyosuko Metro 42 Merjosari, Malang. 2 Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
1
Hukuman mati mempunyai sejarah yang lama dalam masyarakat manusia, dan pernah berlaku di hampir semua masyarakat. Biasanya, hukuman mati itu dilaksanakan demi menegakkan keadilan di dalam masyarakat. Sangat susah untuk mengetahui dengan tepat kapan pertama kali hukuman mati dilakukan. Hukuman mati resmi diakui bersamaan dengan adanya hukum tertulis, yakni sejak adanya Undang-undang Raja Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18 SM. Saat itu ada 25 macam kejahatan yang diancam dengan hukuman mati. Selanjutnya jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati berubah-ubah. Misalnya saja di kerajaan Yunani di abad ke-7 SM hukuman mati berlaku untuk semua tindak pidana. Pada masa-masa selanjutnya jenis tindak pidana yang diancam pidana mati semakin terbatas. Cara eksekusi hukuman mati dari waktu ke waktu semakin berubah. Pada masyarakat komunal, hukuman mati diterapkan dengan cara amat keji seperti dikubur hidup-hidup, dibakar hidup-hidup, hukuman pancung, disalib, dirajam atau dilempar batu ramai-ramai. Pada periode ini hukuman mati sangat bervariasi di setiap tempat. Pada umumnya eksekusi dilakukan untuk menjadi tontonan publik. Pada periode ini pelaku kejahatan ringan seperti mencopet atau mencuri pun bisa dihukum mati. Pada akhir abad ke-18 hukuman mati di depan publik dinilai tidak lagi manusiawi. Saat itu para ahli hukum pidana mulai mencari cara eksekusi yang lebih "manusiawi". Salah satu metode eksekusi yang digunakan saat Revolusi Prancis dengan alat bernama guillotine, semacam pisau raksasa untuk memenggal leher terpidana. Pada saat yang sama Inggris menerapkan hukuman gantung, yang dinilai lebih manusiawi dibanding cara sebelumnya yang menggunakan kursi lontar, yakni dengan melontarkan terpidana dari ketinggian. Amerika Serikat pada tahun 1800 juga mengembangkan cara eksekusi yang lebih "manusiawi", yakni dengan kursi listrik, suntik mati, dan kamar gas, yang sebelumnya dilakukan dengan hukum gantung atau hukum pancung ataupun melempari terpidana dengan batu (rajam) hingga tewas. Di Republik Rakyat China eksekusi tembak mati oleh regu tembak di depan publik masih diterapkan, terutama untuk para koruptor. Eksekusi seperti ini dinilai masih efektif untuk menimbulkan efek jera bagi orang lain. Mungkin itulah yang membuat China hingga tahun 2006 tercatat sebagai negara yang paling banyak mengeksekusi terpidana mati. Data resmi menyebutkan 1.100 terpidana mati dieksekusi tahun lalu. Di belakang China, membuntuti Iran (177 eksekusi), Pakistan (82), Irak (65), Sudan (65), serta Amerika Serikat (53 eksekusi).3 Betapapun "manusiawinya" cara eksekusi terpidana mati, hukuman ini oleh sebagian kalangan tetap dinilai sebagai salah satu bentuk hukuman yang keji. Karena itu, kini 90 negara di dunia menghapus hukuman mati sama sekali. Sebelas negara lainnya menghapus hukuman mati kecuali untuk kejahatan-kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Selain itu, 32 negara tidak menghapus hukuman mati, namun tak pernah juga menerapkan hukuman mati. Di negara-negara seperti ini para hakim menggunakan diskresinya untuk tidak menjatuhkan hukuman mati. Sementara itu masih ada 64 negara, termasuk Indonesia, yang hingga kini menerapkan hukuman mati.4
3 4
http://1biru.blogspot.com/2012/10/sejarah-hukuman-mati.html. Akses 20 Maret 2015 Ibid.
2
Tujuan Pemidanaan Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan. Herbert L. Packer5 menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view). Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking). Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence). Secara garis besar teori-teori tentang tujuan pemidanaan, menurut Muladi dibagi menjadi 3 kelompok yakni: a) Teori absolut (retributif); b) Teori teleologis; dan c) Teori retributif teleologis. Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku, tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Teori retributifteleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini 5
Lihat, Roger B. Dworkin, "The Limits of the Criminal Sanction, by Herbert L. Packer," Indiana Law Journal: Vol. 44: Iss. 3, Article 7, Indiana University, Bloomington, 1969, hlm. 494-495
3
bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah: a) pencegahan umum dan khusus; b) perlindungan masyarakat; c) memelihara solidaritas masyarakat dan d) pengimbalan atau pengimbangan. Selanjutnya, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro di Semarang tahun 1990, Muladi menyatakan bahwa hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi pada perbuatan manusia saja (daadstrafrecht), sebab dengan demikian hukum pidana menjadi tidak manusiawi dan mengutamakan pembalasan. Pidana hanya diorientasikan pada pemenuhan unsur tindak pidana di dalam perundang-undangan. Hukum pidana juga tidak benar apabila hanya memperhatikan si pelaku saja (daderstrafrecht), sebab dengan demikian penerapan hukum pidana akan berkesan memanjakan penjahat dan kurang memperhatikan kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan masyarakat, kepentingan negara, dan kepentingan korban tindak pidana. Dengan demikian maka yang paling tepat secara integral hukum pidana harus melindungi pelbagai kepentingan di atas, sehingga hukum pidana yang dianut harus daad-daderstafrecht. Sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, gambaran tentang penerapan teori integratif dalam pemidanaan nampak dari pemahaman Tim Perancang KUHP Nasional dalam merumuskan pidana mati dalam konsep KUHP baru. Masalahnya adalah hingga saat ini para ahli hukum pidana dan hak asasi manusia masih terbelah menjadi dua antara yang setuju dan menolak penerapan hukuman mati di Indonesia dengan berbagai alasan dan argumentasinya. Bahkan, di kalangan masyarakat Indonesia hingga saat ini, juga masih banyak yang setuju pandangan yang mempertahankan hukuman mati (kaum retensionis) dan pandangan yang menolak hukuman mati atau setuju penghapusan hukuman mati (kaum abolisionis). Pro Kontra Hukuman Mati Walaupun banyak negara menggunakan hukuman mati sebagai hukuman untuk kejahatan berat (serious crime), dewasa in terdapat beberapa negara yang tidak menerapkan hukuman mati, misalnya negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat Eropa. Mereka menganggap hukuman mati adalah tindakan yang melanggar hak kemanusiaan.6 Penolakan terhadap hukuman mati di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, sejalan dengan pesan Paus Fransiskus kepada anggota Komisi Internasional Menentang Hukuman Mati yang menyatakan: “Hukuman mati adalah kejam, tidak manusiawi dan merupakan pelanggaran terhadap martabat kehidupan manusia. Hukuman mati tidak dapat diterima, dan merupakan sebuah kejahatan serius. Keadilan tidak pernah bisa dilakukan dengan membunuh manusia lain 6
http://ms.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati. Akses 20 Maret 2015
4
dan dia menekankan tidak ada cara manusiawi melaksanakan hukuman mati. Bagi orang Kristen, semua kehidupan adalah suci karena setiap orang dari kita diciptakan oleh Allah, yang tidak ingin menghukum satu pembunuhan dengan yang lain, melainkan ingin melihat pertobat dari pembunuh”.7
Sebaliknya, ancaman pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan dikenal dalam hukum Islam dengan nama Qishash, tetapi penerapannya tidak mutlak, bergantung ada atau tidaknya permaafan dari ahli waris korban, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 178 sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu Qishash berkenaan dengan orangorang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudara terbunuh, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyat kepada pihak yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah satu keringanan hukuman yang telah diisyarakatkan Tuhanmu, sementara untukmu adalah menjadi rahmat pula. Siapa yang melanggar sesudah itu akan memperoleh siksa yang pedih.”
Selanjutnya, dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 179 Allah berfirman: “Dalam hukum Qishash itu ada (jaminan) kelangsungan hidup, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. Qishash dalam hukum Islam adalah hukuman bunuh yang harus dilaksanakan terhadap diri seseorang yang telah melakukan pembunuhan. Tapi hukum ini tak harus dilaksanakan, dengan kata lain hukum ini dapat gugur manakala ahli waris yang terbunuh memberi maaf kepada pihak yang membunuh dengan membayar suatu diyat. Diyat adalah hukuman denda yang disetujui oleh kedua belah pihak atau yang ditentukan oleh hakim, apabila ahli waris yang terbunuh memaafkan si pembunuh dari hukuman Qishash. Penerapan hukuman mati memiliki pendukung dan penentang di kalangan ahli hukum pidana dan hak asasi manusia dengan argumentasinya masing-masing. Bagi pihak penentang, hukuman mati adalah satu bentuk pembunuhan juga. Sebagai satu bentuk pembunuhan, ia tidak lari dari sifat kekejaman. Lagi pula, hidup manusia merupakan hak Tuhan, karena itu manusia tidak berhak mengambil nyawa manusia karena mencabut hak hidup manusia bukanlah hak manusia. Sebaliknya, bagi mereka yang mendukung hukuman mati, hukuman mati adalah adil untuk dikenakan kepada mereka yang melanggar hak hidup orang lain, seperti pembunuhan berencana, terorisme, pembunuhan massal terhadap etnis tertentu (genosida), termasuk kejahatan narkoba. Berdasarkan prinsip pembalasan yang dikenal dalam sistem pemidanaan, mereka yang membunuh atau yang tindakannya menyebabkan “matinya” (banyak) manusia harus dikenakan hukuman mati berdasarkan putusan pengadilan. Mengacu pada kedua pandangan tersebut maka dari segi analisis hierarki nilai, mereka yang menyokong hukuman mati sebenarnya telah meletakkan nilai keadilan di atas nilai "sayang kepada nyawa". Sedangkan, bagi mereka yang menentang hukuman mati, mereka meletakkan nilai "sayang kepada nyawa" di atas nilai keadilan.
7
http://www.onvsoff.com/2015/03/paus-fransiskus-hukuman-mati-adalah-sebuah-kejahatan-serius. Akses 20 Maret 2015
5
Hukuman Mati dalam Hukum Positif Indonesia Dalam hukum positif Indonesia, hukuman mati sebagai salah satu jenis pidana pokok sebagaimana diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan berat, antara lain sebagai berikut: 1. Pasal 104: makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden; 2. Pasal 111 ayat (2): membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang; 3. Pasal 124 ayat (3): membantu musuh pada waktu perang; 4. Pasal 140 ayat (3): makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut; 5. Pasal 340: pembunuhan berencana (moord; murder); 6. Pasal 365 ayat (4): pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati; 7. Pasal 368 ayat (2): pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati; 8. Pasal 444: pembajakan di laut, pesisir, dan sungai yang mengakibatkan kematian. Selanjutnya, dalam beberapa peraturan di luar KUHP juga terdapat ketentuan pidana yang memberikan ancaman pidana mati bagi pelanggarnya, antara lain: 1. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 Prp Tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi. 2. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang Senjata Api, Amunisi atau Bahan Peledak. 3. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. 4. Pasal 114 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terkait dengan perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I. 5. Pasal 269 ayat (3) Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, jika perbuatan terorisme tersebut menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang. Bahkan, dalam Rancangan KUHP 1991/1992 terdapat beberapa macam tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, antara lain: 1. Pasal 164 bagi barang siapa secara melawan hukum dimuka umum melakukan perbuatan menentang ideologi negera Pancasila atau Undang-Undang Dasar 1945 dengan maksud mengubah bentuk negara atau susunan pemerintahan sehingga berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat. 2. Pasal167 bagi barangsiapa yang melakukan makar untuk membunuh Presiden dan Wakil Presiden. 3. Pasal186 bagi barangsiapa yang memberikan bantuan kepada musuh pada saat perang. Menarik untuk dicatat dalam hal ini adalah dalam Rancangan KUHP 1991/1992 pidana mati dikeluarkan dari stelsel pidana pokok yang diatur dalam ketentuan umum KUHP dan mencantumkannya sebagai pidana pokok yang bersifat khusus atau sebagai pidana eksepsional (perkecualian). Penempatan pidana mati terlepas dari paket pidana pokok dipandang penting, karena merupakan kompromi dari pandangan yang menolak (retensionis) dan yang menerima (abolisionis) hukuman mati. 6
Hukuman Mati dalam Konteks HAM Secara historis, HAM pada dasarnya terkait dengan dan memang terbatas pada konsep-konsep kultural dan filosofis dari tradisi Oksidental, khususnya Eropa Barat dan Amerika Utara. Hal ini sejalan dengan pandangan Huntington, yang mengatakan bahwa dalam peta politik global, HAM -- sebagaimana demokrasi, liberalisme, dan sekularisme politis – memang berasal dari dan dimiliki oleh peradaban Barat.8 Asumsi bahwa HAM pada hakikatnya merupakan konsep Barat itu bisa menyebabkan akibat praktis yang berbeda. Para penganut paham relatif kultural menolak HAM universal karena merupakan wujud keangkuhan Eropasentris. Abul A’la al Mawdudi, seorang penulis dari Pakistan, dengan sengit mengecam kecongkakan Barat dalam konteks HAM, dengan mengemukakan “orang-orang Barat memiliki kebiasaan mengaku-aku bahwa segala hal yang baik itu milik mereka sendiri. Mereka berusaha membuktikan bahwa berkat merekalah dunia ini memperoleh anugerah”.9 Padahal sesungguhnya konsepsi dan nilai-nilai HAM lebih dahulu dikenal dan bahkan dapat dikatakan berasal dari ajaran-ajaran Agama, termasuk Islam, dan budaya non-Barat. Sejak dunia mengenal dan dihadapkan pada berbagai komunitas kultural, yang masing-masing memiliki watak berbeda, maka kita pun akan menjumpai standar sosial dan kultural yang berbeda-beda. Keadaan yang demikian itu akan sangat menentukan bagaimana HAM akan dijalankan di dunia. Perbedaan dalam standar yang disebabkan oleh perbedaan habitat sosio-kultural tidak berarti bahwa HAM di sana sini akan ditolak secara mutlak. Hal itu akan sangat tergantung pada kesabaran dunia dengan membiarkan terjadinya pembauran-pembauran, saling memasuki dan saling mencerahkan antar komunitas di dunia. Kultur bangsa-bangsa di dunia berubah sesuai dengan dinamika perkembangan dunia dan itulah saatnya HAM menjadi “universal” secara alami. Untuk mendekatkan perbedaan-perbedaan dalam penggunaan standar HAM, perlu terjadinya suatu dialog lintas budaya (cross-cultural dialogue) dari berbagai bangsa di seluruh dunia. Dengan demikian, dalam perspektif sosio-kultural, usaha untuk memajukan HAM di dunia bukan dilakukan dengan cara mengangkatnya ke aras internasional, melainkan justru sebaliknya dengan membumikan atau mengakarkannya ke dalam sekian banyak masyarakat atau bangsa-bangsa di dunia.10 Mengacu pada latar belakang historis dalam perspektif sosio-kultural sebagaimana tersebut di atas, secara teoritis pandangan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) memunculkan dua teori, yaitu Teori Natural Right dan Teori Cultural Relativism. Menurut teori Natural Right, hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh umat manusia sepanjang masa dan di semua tempat dimana dia dilahirkan sebagai umat manusia. Menurut Cultural Relativism HAM sangat tergantung pada manusia sebagai makhluk yang selalu menghasilkan budaya, tradisi sosial, dan peradaban serta pandangan ideologi
8
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Simon & Schuster, New York, 1996, hlm. 70 9 Heiner Bielefeldt, “Hak Asasi Manusia: Benturan antara Barat dan Islam?” dalam Jurnal Wacana Hak Asasi Manusia antara Skenario Kemanusiaan dan Proyek Global, Edisi 8 Tahun II, Insist Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 13 10 Satjipto Rahardjo, “Hak Asasi Manusia dalam Masyarakatnya”, dalam Muladi (Editor), Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 221-222
7
yang berbeda. Kedua teori ini kermudian melahirkan konsep HAM universal dan HAM relatif. Konsep HAM yang universal berpandangan bahwa HAM merupakan hak-hak kodrati yang dimiliki manusia sejak lahir. Universalisme HAM kemudian melahirkan keseragaman pandangan dan standar HAM. Pandangan ini melihat HAM sebagai nilainilai universal sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen HAM internasional. Dalam pandangan ini, profil sosial budaya yang melekat pada masing-masing bangsa tidak diperhitungkan. Penganut pandangan ini adalah negara-negara maju dan bagi negara-negara berkembang mereka dinilai eksploitatif, karena menerapkan HAM sebagai alat penekan dan sebagai instrumen penilai (tool of judgement) menurut ukuranukuran atau standar negara maju. Sedangkan konsep HAM relatif berpandangan bahwa walaupun HAM dimiliki oleh semua manusia di muka bumi, tetapi setiap masyarakat dan setiap negara mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai HAM. Pandangan ini melihat persoalan HAM sebagai masalah universal, namun demikian perkecualian dan pembatasan yang didasarkan atas asas-asas hukum internasional tetap diakui keberadaannya. Dengan perkataan lain, berlakunya dokumen-dokumen HAM internasional harus diselaraskan dengan budaya masing-masing bangsa. Konsep HAM relatif ini sejalan dengan pandangan yang menyatakan bahwa terdapat dimensi kontekstualitas dalam penegakan HAM ditinjau dari tempat berlakunya HAM tersebut. Oleh karena itu, walaupun HAM itu bersifat universal, namun pelaksanaan HAM tidak mungkin disamaratakan antara suatu negara satu dengan negara lainnya. Masing-masing negara mempunyai perbedaan konteks sosial, kultural maupun hukumnya, termasuk pengalaman sejarah dan perkembangan masyarakat yang sangat mempengaruhi pengaturan dan penegakan HAM. Pandangan HAM relatif partikularistik, yang demikian ini menurut Muladi cocok dianut oleh Indonesia.11 Persoalannya adalah konsepsi HAM di Indonesia sering “terjebak” ke dalam pandangan yang ekstrim, yang disebut universalisme dan relativisme (partikularisme). Dalam The Jakarta Message dan Deklarasi Kualalumpur (1993) telah diakui bahwa ada perbedaan konsep HAM sebagaimana telah disebutkan di atas. Pengakuan tersebut tidak berarti merupakan jurang pemisah antara negara-negara Barat dan negara-negara Timur, khususnya negara-negara di kawasan Asia. Jurang pemisah ini tidak akan pernah ada karena pergaulan internasional. Perbedaan cara pandang karena pertimbangan filosofis, historis dan sosiologis terkait dengan konsep HAM membawa implikasi perbedaan terhadap cara pandang bagaimana seharusnya perlindungan atas HAM tersebut diimplementasikan di masing-masing negara. Perlindungan HAM dalam konteks masyarakat Barat (Amerika Serikat) terutama ditujukan kepada interrelasi antara penguasa dan warga masyarakat dengan asumsi tidak adanya kesetaraan kedudukan (persamaan) antar keduanya, sehingga pola kriminalisasi perbuatan pelanggaran HAM selalu ditujukan kepada penguasa (asumsi negatif). Sedangkan, perlindungan HAM dalam konteks masyarakat Timur (Indonesia) terutama ditujukan kepada interrelasi antar warga masyarakat dan penguasa dengan asumsi yang bersifat normatif tradisional, yaitu pola interrelasi yang serasi, selaras dan seimbang (asumsi positif). Dengan demikian, maka pola kriminalisasi perbuatan pelanggaran 11
Muladi, HAM dan Keterbukaan, ITB, Bandung, 1994, hlm. 5
8
HAM dalam konteks cara pandang masyarakat Indonesia tidak selalu dan harus selamanya ditujukan terhadap penguasa semata-mata, akan tetapi juga terhadap interrelasi antar warga masyarakat yang memiliki perbedaan asal usul etnis dan agama. 12 Internalisasi nilai-nilai HAM merupakan wujud nyata dari pengakuan rakyat dan penguasa (pemerintah) terhadap HAM yang selanjutnya diatur secara formal dalam suatu ketentuan hukum yang mengikat bagi keduanya. Ketentuan hukum mengenai HAM pada intinya menjamin hak yang paling mendasar dari semua hak yang dimiliki manusia, yaitu hak hidup, sebagaimana termuat dalam Pasal 5 dan 8 Deklarasi HAM. Wujud penghormatan tertinggi atas hak hidup, menurut G. Robertson Q.C., merupakan bagian terpenting terhadap HAM. Dengan demikian, hak hidup manusia tidak gampang diambil atau dicabut. 13 Hanya atas dasar dan landasan hukum yang mengandung nilai responsif, konstitusional dan formal, HAM dapat dikurangi atau dicabut. Itupun harus melalui proses hukum yang adil dan benar (due process of law), pencabutan HAM baik untuk sementara maupun seterusnya, dapat dibenarkan. Sebab, menurut Elaine Pagels sebagaimana dikutip oleh Masyhur Effendi: “On essential element of a human rights policy will involve constructing its philosophical and religious basis in terms that will speak to people of various cultures”.14 Terkait dengan konsep HAM, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Adapun macam-macam HAM menurut Undang-Undang No. 39 tahun 1999, antara lain: hak untuk hidup, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan dan hak turut serta dalam pemerintahan. HAM pada tahap pelaksanaannya masuk persoalan hukum, dan oleh karena itu harus diatur dalam hukum konstitusi.15 Di Indonesia sejarah pengaturan mengenai HAM dalam konstitusi (UUD 1945) menuai kontroversi. Pada saat itu terjadi perbedaan pendapat antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Hatta dan Yamin di pihak lain. Pihak pertama menolak dimasukkannya HAM terutama yang bersifat individual ke dalam UUD, karena menurut mereka Indonesia harus dibangun sebagai negara berdasarkan kekeluargaan dan persatuan atau yang disebut negara integralistik. Dengan pandangan kenegaraan yang bersifat integralistik, menurut Soepomo, maka tidak diperlukan adanya HAM yang bersumber dari nilai-nilai liberal dan individual.16 12
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 128 & 130 13 A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 61 14 Ibid. 15 A. Masyhur Effendi, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 127 16 Adnan Buyung Nasution, “Sejarah Perdebatan HAM di Indonesia”, dalam E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah (Editor), Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, Cesda LP3ES, Jakarta, 2000, hlm. 21
9
Sedangkan pihak kedua menghendaki UUD memuat masalah HAM secara eksplisit. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan rapat untuk mengesahkan UUD Negara RI. Dengan demikian terwujudlah perangkat hukum yang di dalamnya memuat hak-hak dasar (asasi) serta kewajiban-kewajiban asasi pula. Hal ini sejalan dengan latar belakang perjuangan HAM di Indonesia yang bersifat kebangsaan, bukan atas dasar paham individualisme. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konsep HAM di Indonesia lebih cenderung bertumpu pada asas kekeluargaan dan kebangsaan (kolektivisme), tidak bersifat liberalisme-individualistik. Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa konsep penegakan HAM di Indonesia bersifat limitatif. Konsep penegakan HAM dibatasi dengan kewajibankewajiban dasar manusia. Kewajiban dasar manusia, menurut Pasal 1 angka 2 UndangUndang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. Secara yuridis ketentuan mengenai kewajiban dasar manusia yang sekaligus merupakan pembatasan terhadap hak asasi manusia telah diatur dalam pasal 28J UUD 1945, pasal 67, pasal 69 ayat (1) dan (2) dan pasal 70 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 28J UUD 1945 menyatakan: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban-kewajiban dasar manusia diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 sebagai berikut: 1) Setiap orang yang ada dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional hakasasi manusia yang telah diterima oleh negara RI (pasal 67); 2) Setiap orang wajib menghormati hak asasi menusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (pasal 69 ayat (1); 3) Setiap hak asasi manusi seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggungjawab untuk menghormati hak asasi manusia secara timbal balik menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukannya (pasal 69 ayat (2); 4) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan perimbangan moral, kemanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (pasal 70). Dengan demikian apabila ditinjau dari aspek peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah HAM di Indonesia, pengaturan pidana mati terhadap tindak pidana tertentu yang termasuk kategori kejahatan paling serius (the most serious crime) dalam undang-undang jelas bukan merupakan suatu pelanggaran HAM. Karena, baik UUD 1945 maupun Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 10
mengakui adanya pembatasan dalam pelaksanaan HAM. Dipidananya para pelaku kejahatan serius, misalnya terorisme dan kejahatan narkoba, dengan pidana mati merupakan bentuk implementasi dari pembatasan tersebut. Hak hidup mereka dibatasi karena dalam melakukan aksi kejahatan mereka telah melanggar HAM orang lain, khususnya melanggar hak hidup orang lain. Pembatasan itu dilakukan semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak-hak dan kebebasan orang lain.17 Berdasarkan hal tersebut di atas, kalangan yang berpendapat bahwa penerapan hukuman mati terhadap tindak pidana tertentu merupakan suatu pelanggaran HAM dan melanggar konstitusi jelas tidak mempunyai argumen yang kuat. Sebaliknya, penegakan HAM tidak boleh mengabaikan hak-hak orang lain, melainkan harus menghormati dan mengakui keberadaan hak-hak orang lain. Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, gagasan yang menuntut dihapuskannya pidana mati merupakan bentuk pelaksanaan HAM yang sepihak dan individul, karena hanya memperhatikan HAM pada sisi pelaku (offender), dan mengabaikan perlindungan HAM terhadap pihak lain sebagai korban (victim). Tentunya hal ini tidak adil dan tidak dibenarkan secara hukum. Jika dengan alasan melanggar HAM, hak hidup seorang terpidana yang telah terbukti melakukan tindak pidana yang termasuk kategori serius, hukuman mati dipersoalkan, lantas bagaimana dengan hak hidup korban dan nasib keluarga korban yang anggota keluarganya telah dirampas hak hidupnya, sementara si perampas hak hidup (pelaku) justru dilindungi dari hukuman mati dengan alasan melanggar HAM, khususnya hak hidup. Tampak, penolakan hukuman mati itu lebih untuk menyelamatkan hak hidup pelaku, tetapi mengabaikan hak hidup korban. Di samping itu, pelaku kejahatan serius juga berpotensi mengancam hak hidup anggota masyarakat lainnya. Sehingga kalau dengan alasan pelangggaran HAM pidana mati ingin dihapuskan, hal tersebut yang justru mengingkari Konstitusi dan Undang-undang HAM yang bertujuan melindungi HAM bagi masyarakat secara keseluruhan. Persoalannya, apakah kejahatan narkotika dan obat terlarang (narkoba), khususnya bagi pelaku yang memproduksi dan terlibat dalam jaringan perdagangan narkoba baik nasional maupun trans-nasional termasuk kategori kejahatan serius dan oleh karena itu pelakunya layak dikenakan pidana mati? Jawaban atas pertanyaan ini terpulang pada kebijakan legislasi masing-masing negara dalam rangka mencegah dan memberantas kejahatan narkoba. Karena, masing-masing negara memiliki kedaulatan hukum sendiri untuk mengatur jenis-jenis tindak-tindak pidana dan ancaman hukumannya bagi pelakunya. Setiap negara merdeka memiliki kedaulatan hukum untuk menentukan tindak-tindak pidana apa saja yang termasuk kategori kejahatan serius atau kejahatan berat, termasuk mengenai ancaman pidana maksimum berupa hukuman mati bagi pelakunya. Indonesia, sebagai negara yang berdaulat juga memiliki kekuasaan untuk menentukan dalam peraturan perundang-undangan bahwa kejahatan narkotika dikategorikan sebagai salah satu kejahatan serius yang pelakunya dapat diancam hukuman mati. Kategorisasi suatu kejahatan serius atau bukan tidak harus dinyatakan secara eksplisit dala pasal undang-undang. Dengan pencantuman hukuman mati
17
Satya Arinanto, “Sejarah HAM dalam Perspektif Barat”, dalam E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah (Editor), Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, Cesda LP3ES, Jakarta, 2000, hlm. 6
11
terhadap suatu tindak pidana tertentu dalam suatu undang-undang berarti secara implisit tindak pidana tersebut termasuk kategori kejahatan serius. Hukuman mati berupa qishas dalam konteks HAM menurut pandangan hukum pidana Islam (jinayat) dilakukan dalam rangka melindungi hak hidup (jiwa) orang lain. Karena kehidupan merupakan suatu hal yang sangat asasi dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun, maka barangsiapa yang secara sengaja melanggar kehidupan orang lain (dalam arti membunuh tanpa hak), dia harus harus dihukum setimpal (dalam arti dijatuhi hukuman mati) supaya orang itu tidak melakukan hal yang sama di tempat lain atau kepada orang lain. Dalam kitab fiqh dikatakan, “barangsiapa membunuh, melenyapkan satu jiwa, maka perbuatan itu sama nilainya dengan melenyapkan seluruh jiwa”. Sebaliknya, barangsiapa menghidupi atau menjamin kehidupan satu jiwa, maka nilainya sama dengan menjamin kehidupan seluruh jiwa atau seluruh umat manusia.18 Jadi, pada awalnya, hukum (pidana) Islam mengatur hukuman mati dengan hukum qisas terhadap pelaku pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. Namun, dalam perkembangannya, hukuman mati di negara-negara Islam juga diterapkan terhadap pelaku kejahatan terhadap narkotika dan obat terlarang (narkoba) secara selektif dan terbatas, misalnya di Arab Saudi dan Iran. Berdasarkan Keputusan Majelis Ulama Arab Saudi Nomor 85 tertanggal 11 Dzulqa’dah 1401: “Orang yang mengedarkan narkoba, baik dengan membuat sendiri atau impor dari luar, baik dengan jual-beli, atau diberikan cuma-cuma, atau bentuk penyebaran lainnya, maka untuk pelanggaran yang dilakukan pertama, dia dihukum ta’zir yang keras, baik dipenjara, dihukum cambuk, atau disita hartanya, atau diberikan semua hukuman tersebut, sesuai keputusan mahkamah. Kemudian jika dia mengedarkan lagi, dia diberi hukuman yang bisa menghindarkan masyarakat dari kejahatannya, meskipun harus dengan hukuman mati. Karena orang yang melakukan kejahatan tersebut termasuk merusak di muka bumi.19 Terkait dengan kasus kejahatan narkoba, di Iran pada bulan Oktober 2012, seorang pekerja toko bernama Saeed Sedeghi dihukum mati atas pelanggaran narkoba. Sedeghi bersama dengan sembilan orang lainnya dihukum mati seminggu setelah pejabat peradilan mengumumkan hukuman mati. Kematian mereka merupakan hanyalah bagian lebih dari 360 orang telah dieksekusi mati karena masalah narkoba tahun ini saja. Banyak negara retensionis (yang masih mempertahankan hukuman mati) berpendapat bahwa kejahatan narkoba dapat dikategorikan sebagai "kejahatan yang paling serius" (the most serious crime). Penerapan hukuman mati yang paling umum untuk kejahatan narkoba adalah bagi pelaku perdagangan narkoba (drug trafficking), manufaktur dan distribusinya. Di Iran, hukuman mati dapat dan telah dikenakan pada seseorang yang telah beberapa kali terbukti memiliki narkoba.20
18
Masdar F. Mas’udi, “Hak Azasi Manusia dalam Islam”, dalam E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah (Editor), Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, Cesda LP3ES, Jakarta, 2000, hlm. 66 19 http://www.konsultasisyariah.com/hukuman-mati-untuk-pengedar-narkoba-itulah-hukum-islam. Akses 20 Maret 2015 20 http://www.pennsid.org/2012/11/the-most-serious-crime-seeking-international-consensus-onhuman-rights. Akses 20 Maret 2015
12
Pertanyaannya adalah meskipun hukuman mati adalah legal di Iran, dan pejabat polisi memiliki hak untuk menyelidiki dan menuntut individu terkait dengan kejahatan narkoba, apakah kejahatan Sedeghi dan kawan-kawan cukup serius untuk dijatuhi hukuman mati di bawah standar hukum internasional? Hukuman mati di bawah hukum internasional biasanya ditoleransi ketika suatu kejahatan dapat dianggap sebagai "kejahatan yang paling serius". Komite Hak Asasi Manusia PBB telah menetapkan bahwa "kejahatan yang paling serius" dibatasi untuk tindakan yang secara langsung menyebabkan kematian. Laporan lain oleh ICCPR telah menyatakan bahwa hukuman mati harus digunakan secara terbatas hanya dalam kasuskasus di mana kejahatan yang sangat mematikan (incredibly lethal), memiliki konsekuensi yang sangat serius, dan tindakan kekerasan. Di bawah Statuta Roma 1998 tentang International Court of Justice, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, dinyatakan sebagai "kejahatan paling serius". Fakta bahwa masyarakat internasional meninggalkan kejahatan narkoba dari Statuta Roma merupakan indikasi dari komunitas internasional yang belum mencapai konsensus tentang masalah ini. Namun, melalui interpretasi Pasal 62 ICCPR, the Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions telah mengumumkan bahwa kejahatan narkoba tidak memenuhi persyaratan sebagai "kejahatan paling serius". Pada tahun 2009, Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa penggunaan hukuman mati pada orang-orang yang dihukum karena pelanggaran yang berhubungan narkoba memancing kekhawatiran tentang HAM. Atas dasar ini, masyarakat internasional telah mendekati kesepakatan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Sedeghi bukanlah merupakan kejahatan serius untuk dijatuhkan hukuman mati. Namun demikian, pandangan masyarakat internasional menyangkut hukuman mati khususnya terhadap kejahatan terorisme menyatakan tidak bertentangan dengan HAM, karena terpidana mati juga mempunyai kewajiban untuk tidak melanggar HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apabila tidak demikian, mana mungkin HAM dapat ditegakkan, karena dengan aksi brutalnya tindakan pelaku terorisme itu justru telah melanggar HAM orang lain. Oleh karena itu, pengaturan pidana mati terhadap tindak pidana terorisme dilihat dari aspek peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah HAM di Indonesia mempunyai dasar legitimasi yang kuat. Legitimasi tersebut lebih diperkuat dengan salah satu instrumen hukum dalam HAM internasional, yaitu International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR dinyatakan bahwa bagi negara yang belum menghapus ketentuan hukuman mati, putusan tersebut berlaku hanya pada kejahatan yang termasuk kategori kejahatan paling serius (the most serious crime) sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tidak bertentangan dengan kovenan ini.21 Jadi menurut kovenan ini jika suatu kejahatan diasumsikan sebagai kejahatan berat atau kejahatan paling serius maka pidana mati terhadapnya dapat dibenarkan. Penjatuhan hukuman mati ini merupakan kewenangan 21
Dalam The Second Optional Protocol ICCPR disebutkan: “. . . , countries were permitted to make a reservation allowing for use of death penalty for the most serious crimes”. Pidana mati juga dapat dijatuhkan terhadap kejahatan serius lainnya, seperti pembunuhan massal berdasarkan Convention on Prevention and Punishment of the Crime of Genocide.
13
dari lembaga yudisial (peradilan). Dalam konteks penjatuhan hukuman mati, hal tersebut tidak bisa dikatakan bertentangan dengan HAM, sepanjang negara melalui lembaga peradilan menjatuhkan hukuman mati berdasarkan prosedur hukum pidana yang sangat rigit (ketat), obyektif, transparan (terbuka), dan berkeadilan. Menyikapi pandangan di kalangan aktivis HAM yang menolak hukuman mati dan meminta agar penegak hukum tidak menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan serius seperti kejahatan terorisme dan narkotika dalam konteks hukum positif Indonesia, meskipun ada dasar legalitas konstitusionalnya bagi penegak hukum (hakim) untuk memutuskannya. Akibatnya, masyarakat direnggut haknya untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari ancaman pembunuhan. Hukuman mati atas pelaku kejahatan terorisme yang korbannya ratusan orang dan kejahatan narkotika dengan korban ribuan atau jutaan orang dianggap kejam dan tidak manusiawi. Padahal bukankah penolakan yang mengabaikan hak hidup korban dan hak keluarga korban serta mempertahankan potensi ancaman atas nyawa orang banyak justru lebih kejam dan lebih tidak manusiawi. Oleh karena itu, penghapusan pidana mati terhadap para pelaku kejahatan terorisme dan narkotika tidak tepat, terutama jika dilihat dari perspektif HAM para korban (baik riil atau potensial), termasuk keluarga korban dan masyarakat secara keseluruhan yang senantiasa mendambahkan ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan sosial mereka. Kesimpulan Penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan serius, seperti kejahatan terorisme dan narkoba, adalah sebagai upaya detterance yang bersifat publik untuk menimbulkan rasa takut terhadap masyarakat luas sehingga dapat mencegah atau meminimalisasi terjadinya kejahatan serupa. Hukuman mati terhadap pelaku kejahatan serius yang telah menimbulkan banyak korban jiwa terhadap masyarakat tidak bertentangan dengan HAM, karena dalam konteks penegakan HAM di Indonesia menuntut adanya keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia. Dipidananya pelaku kejahatan serius dengan hukuman mati merupakan bentuk implementasi dari pembatasan HAM. Hak hidup mereka dibatasi oleh konstitusi dan undang-undang, karena dalam melakukan aksi kejahatan mereka telah melanggar hak hidup orang lain. Putusan lembaga peradilan yang menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan serius tidak melanggar HAM, karena di samping memiliki landasan konstitusional dan undang-undang, putusan hukuman mati juga telah memperoleh legitimasi dan landasan hukum dalam instrumen hukum penegakan HAM internasional, yaitu International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR). Meski, dalam perkembangannya penafsiran terhadap pasal 6 ayat (2) ICCPR tidak menganggap bahwa kejahatan narkoba sebagai kejahatan paling serius yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati. Namun, dengan menggunakan ketentuan yang sama negara tetap memiliki kedaulatan hukum untuk menentukan bahwa kejahatan narkoba sebagai salah satu kejahatan serius yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati. Dalam hal demikian, negara-negara lain, termasuk PBB, harus menghormatinya, sepanjang penerapan hukuman mati itu dilakukan secara ketat sesuai dengan hukum yang berlaku dalam rangka untuk melindungi HAM orang lain melalui sistem peradilan yang obyektif, terbuka (transparan), dan berkeadilan. 14
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Buyung Nasution, “Sejarah Perdebatan HAM di Indonesia”, dalam E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah (Editor), Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, Cesda LP3ES, Jakarta, 2000 Dworkin, Roger B. "The Limits of the Criminal Sanction, by Herbert L. Packer," Indiana Law Journal: Vol. 44: Iss. 3, Article 7, Indiana University, Bloomington, 1969 Heiner Bielefeldt, “Hak Asasi Manusia: Benturan antara Barat dan Islam?” dalam Jurnal Wacana Hak Asasi Manusia antara Skenario Kemanusiaan dan Proyek Global, Edisi 8 Tahun II, Insist Press, Yogyakarta, 2001 Masdar F. Mas’udi, “Hak Azasi Manusia dalam Islam”, dalam E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah (Editor), Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, Cesda LP3ES, Jakarta, 2000 Masyhur Effendi, A., Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994 ------, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005 Muladi, HAM dan Keterbukaan, ITB, Bandung, 1994 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2001 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Simon & Schuster, New York, 1996 Satjipto Rahardjo, “Hak Asasi Manusia dalam Masyarakatnya”, dalam Muladi (Editor), Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005 Satya Arinanto, “Sejarah HAM dalam Perspektif Barat”, dalam E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah (Editor), Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, Cesda LP3ES, Jakarta, 2000 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-undang Hukum Pidana 15
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) http://1biru.blogspot.com/2012/10/sejarah-hukuman-mati.html. http://www.konsultasisyariah.com/hukuman-mati-untuk-pengedar-narkoba-itulahhukum-islam/ http://ms.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati http://www.onvsoff.com/2015/03/paus-fransiskus-hukuman-mati-adalah-sebuahkejahatan-serius/ http://www.pennsid.org/2012/11/the-most-serious-crime-seeking-internationalconsensus-on-human-rights/
16
17
18