ANCAMAN PIDANA MATI TERHADAP KASUS PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MK NO.2-3/PUUIV/2007 DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh: DIMAS ANGGRI WIJI DWI ANGKOSO NIM: 1112048000041
KOSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2016 M
ABSTRAK DIMAS ANGGRI WIJI DWI ANGKOSO. NIM 1112048000054. ANCAMAN PIDANA MATI TERHADAP KASUS PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007 DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsenterasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/ 2016 M. x + 86 halaman + 3 halaman Daftar Pustaka + Lampiran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui maksud dari ancaman pidana mati terhadap kasus penyalahgunaan narkotika sebelum dan sesudah Mahkamah Konstitusi No.2-3/PUU-IV/2007 dalam prspektif hak asasi manusia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh begitu maraknya narkotika yang sampai saat ini semakin meluas dan masuk ke elemen-elemen pendidikan dasar yang merusak moral dan mental bangsa ini. Keadaan ini sangat memprihatinkan dan perlu adanya suatu cara atau metode pemberantasan kejahatan narkotika untuk memulihkan dan menyeimbangkan kembali keadaan masyarakat Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif yaitu penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai bangunan sistem norma. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Peraturan Undang-Undang dalam penelitian ini diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa putuan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara tersebut berdasarkan aturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan menganalisa unsur-unsur yang termuat di dalamnya. Serta implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu hukum positif di Indonesia dapat memberlakukan hukuman mati terhadap pidana narkotika dengan pertimbangan undang-undang narkotika.
Kata Kunci
: Pidana Mati, Hak Asasi Manusia, Narkotika, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2-3/PUU-IV/2007
Pembimbing
: Dr. Burhanuddin, S.H., M. Hum Ali Mansur, M.A
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa yang atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ANCAMAN PIDANA MATI TERHADAP KASUS PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007 DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA” dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan pada Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya. Penulisan skripsi ini dalam penyusunannya tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak karena keterbatasan yang dimiliki penulis, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1.
Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
v
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan arahan serta masukan atas penyusunan skripsi ini. 3.
Dr. Burhanuddin, S.H., M. Hum dan Ali Mansur, M.A., Dosen Pembimbing I dan II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan, memberikan
arahan,
saran
serta
kritik
yang
membangun
demi
terselesaikannya skripsi ini. 4.
Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu.
5.
Ketua Mahkamah Konstitusi yang telah bersedia memberikan data berupa putusannya guna kepentingan penulisan skripsi ini.
6.
Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan dalam penulisan skripsi ini.
7.
Kedua orang tua penulis Ayahanda Sukur Subagyo dan Ibunda Sri Wahyuningsih yang telah memberikan doa dan dukungannya. Kakak penulis, Nova Nugroho Cahyo Ardhi, adik penulis, Agam Arif Arakhman, serta sepupu penulis, Adika Ferdiansyah. Tidak lupa juga keluarga besar di Purwokerto, Cinere, Purbalingga dan Kutawis yang senantiasa memberikan doa dan motivasi dalam penulisan skripsi ini.
vi
8.
Sahabat tercinta Agie Zaky, Ade Kurniawan, Agasti Prior, Renaldi Hendryan, Said Agung, Ahmad Farhan, Sigit, Farid, Deny, Ansyor, Baghdad, Rifqi, Dilla, Ucup, Reinaldo, Putri, Roby serta keluarga besar Kelembagaan Negara angkatan 2012 atas kebersamaannya yang selalu memberikan dukungan dan doa agar dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga silatuhrahmi kita tetap terjalin.
9.
Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum 2012 khususnya Cucu-Cucu Dekur atas kekompakkan dan kebersamaannya, semoga kelak kalian sukses.
10.
Teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum, KKN Eternal Wings, Grup GGC serta teman-teman Remaja Ismaya, terima kasih atas informasi, bantuan, semangat, dan doa-doa yang telah diberikan. Sukses mulia untuk kita semua.
11.
Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi yang membaca.
Jakarta 13 Oktober 2016
Dimas Anggri Wiji Dwi Angkoso
vii
DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iii ABSTRAK .......................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 9 C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................... 10 D. Tujuan dan manfaat Penelitian ...................................................... 11 E. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 12 F. Kajian (review) Studi Terdahulu ................................................... 13 G. Metode Penelitian .......................................................................... 17 H. Sistematika Penulisan .................................................................... 18
BAB II
PELAKSANAAN HUKUMAN MATI SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA ............ 20 A. Sejarah Pidana Mati di Indonesia ................................................. 20 B. Teori Pemidanaan .......................................................................... 25
viii
C. Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia ...................................... 29 D. Proses Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia ............................... 35 E. Negara yang Tidak Memberlakukan Pidana Mati..........................46 BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA .......... 49 A. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia ................................ 49 B. Pengertian Hak Asasi Manusia .................................................... 52 C. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam ................................ 56 D. Pidana Mati ditinjau dari Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hukum Positif..............................................................65 BAB IV ANALISIS PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007 ........................ 70 A. Analisa Pidana Mati Sebelum Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Nakotika..................................... 70 B. Analisa Pidana Mati Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Nakotika..................................... 72 BAB V
PENUTUP ......................................................................................... 85 A. Kesimpulan .................................................................................. 85 B. Saran ........................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 87
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum dan Negara hukum merupakan istilah yang meskipun kelihatan sederhana, namun mengandung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Negara hukum adalah istilah Indonesia yang terbentuk dari dua suku kata, negara dan hukum. Padanan kata ini menunjukkan bentuk dan sifat yang saling mengisi antara negara di satu pihak dan hukum pada pihak yang lain. Tujuan negara adalah untuk memelihara ketertiban umum (rechtsorde). Oleh karena itu, negara membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum dijalankan dan ditegakkan melalui otoritas negara.1 Disini yang akan disinggung adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia dalam bahasa Prancis disebut “Droit L’Homme”, yang artinya hak-hak asasi manusia dan dalam bahasa Inggris disebut “Human Rights”. Seiring dengan perkembangan ajaran Negara Hukum, di mana manusia atau warga negara mempunyai hak-hak utama dan mendasar yang wajib dilindungi oleh Pemerintah, oleh sebabnya munculah istilah “Basic Rights” atau
1
Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum (Bandung: Alumni, 1973), h. 20-21.
1
2
“Fundamental Rights”. Dalam bahasa Indonesianya yaitu hak-hak dasar manusia atau lebih dikenal dengan istilah “Hak Asasi Manusia”.2 Menurut Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup, misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup. Tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang. Konsekuensi negara hukum memiliki ciri yang paling fundamental yaitu jaminan atas pelaksanaan Hak Asasi Manusia. Jaminan ini, harus terwujud ke dalam konstitusi, setidaknya terlihat dari implementasi hukum yang memiliki ajaran yang berlaku sehari-hari. Sebagai salah satu hak, maka Hak Asasi Manusia tidak terlepas dari kebebasan sekaligus kewajiban setiap individu baik pemegang kekuasaan maupun masyarakat.3 Karena konstitusi merupakan napas kehidupan ketatanegaraan sebuah bangsa, tidak terkecuali bagi Indonesia. Dalam konteks perlindungan terhadap HAM, konstitusi memiliki peranan penting sebagai dalam mewujudkan negara hukum. Perlindungan HAM meneguhkan pendirian bahwa negara bertanggung jawab atas tegaknya
2
3
Ramdlon Naning, Gatra Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 97.
M. Solly Lubis,”Hak-hak Asasi Menurut Undang-undang Dasar 1945”, dalam Padmo Wahjono (ed.), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 323.
3
supremasi hukum. Oleh karena itu, jaminan konstitusi atas HAM penting artinya bagi arah pelaksanaan ketatanegaraan sebuah negara, sebagaimana ditegaskan oleh Sri Soemantri sebagai berikut: Adanya jaminan terhadap hak-hak dasar setiap warga negara mengandung arti bahwa setiap penguasa dalam negara tidak dapat dan tidak boleh bertindang sewenang-wenangnya kepada warga negaranya. Bahkan adanya hak-hak dasar itu juga mempunyai arti adanya keseimbangan dalam negara, yaitu keseimbangan antara kekuasaan dalam negara dan hak-hak dasar warga negara.4 Membicarakan Hak Asasi Manusia (HAM) berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia. HAM, ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari negara, melainkan hak kodrati yang melekat pada diri manusia sejak lahir.5 Salah satu diantaranya yaitu tentang hak untuk hidup yang tertuang di dalam Pasal 28A dan Pasal 28I UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta dalam pasal 4 dan Pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa ham untuk memberikan jaminan yang melindungi hak untuk hidup seluruh rakyat Indonesia. Kini, HAM menjadi perbincangan yang intens seiring dengan intensitas kesadaran manusia atas hak yang dimilikinya. Menjadi aktual karena sering dilecehkan dalam sejarah kelam hak asasi manusia sejak awal hingga saat ini. Perjuangan HAM terus berlangsung bahkan dengan menembus batas-batas
4
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), h.
74. 5
Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2001), h. 121.
4
teritorial sebuah negara. Begitu derasnya kemauan dan daya desak HAM, sehingga jika ada negara yang diidentifikasi melanggar HAM, dengan spontan seluruh negara akan memberikan respon, tidak terkecuali negara-negara “adi kuasa”.6 Dalam konteks Indonesia ada juga yang memberikan sanksi yaitu pidana mati yang merupakan hukuman yang paling berat dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap tindak pidana tertentu yang diancam dengan hukuman mati. Penjatuhan hukuman mati diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), seperti yag dikutip dalam Pasal 10 tentang jenis hukuman (pemidanaan) dan diatur dalam undang-undang lainnya yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia.7 Hukuman tersebut bertentangan dengan HAM. Pidana mati merupakan warisan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial, dan diubah menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahhun 1946 Tentang Hukum Pidana. Bahkan sesudah Indonesia merdeka, beberapa undang-undang yang dikeluarkan kemudian, ternyata mencantumkan juga ancaman pidana mati di dalamnya. Dengan demikian, alasan bahwa pidana mati itu tercantum dalam
6
Jimly Asshidiqie dan Hafid Abbas, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 2. 7
Rizky Ariestandi Irmansyah, Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 87.
5
W.v.S (KUHP) pada waktu diberlakukan oleh pemerintah kolonial didasarkan pada antara lain “alasan berdasarkan faktor rasial”.8 Seperti diketahui, dalam hukum positif Indonesia kita mengenal dengan adanya pidana mati. Salah satu diantaranya adalah KUHP Indonesia yang memungkinkan terpidana dijatuhi pidana mati atas kejahatan yang berat (extra ordinary crime). Pidana mati yang merupakan salah satu jenis hukuman pidana (sebagaimana tertulis dalam Pasal 10 KUHP) masih mendapatkan tempat dalam pemberantasan kejahatan.9 Pasca Reformasi nilai-nilai HAM sudah diakomodir di UUD 1945 sehingga aturan atau norma juga bertujuan memberikan perlindungan terhadap HAM. Bukan hanya segelintir orang saja yang harus terlindungi haknya namun semua lapisan masyarakat juga harus terlindungi haknya. Namun yang masih menjadi masalah adalah pada praktek oleh Undang-undang. Selain diakomodir dalam bentuk perundang-undangan penjaminan atas HAM juga telah diterima oleh semua lapisan anggota masyarakat.hal ini dibuktikan
dengan
adanya
kelompok-kelompok
pejuang
HAM,
untuk
menunjukkan efektivitasnya kelompok-kelompok tersebut melakukan gerakangerakan seperti kegiatan mulai dari memberikan upaya pemahaman dan
8
Sahetapy, Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung: Alumni, 1979), h. 29. 9
Rizky Ariestandi Irmansyah, Hukum, Hak Asasi Manusia ... .... h. 87.
6
penyebarluasan informasi tentang HAM kepada masyarakat sehinga msayarakat mulai dapat diterima dan dipahami dan telah dituangkan oleh UU. Suatu hal yang tak dapat disangkal bahwa kepentingan dari orang seorang anggota masyarakat menjadi tanggung jawab negara. Negara tidak hanya menjaga ketertiban umum, tetapi juga memajukan kesejahteraan masyarakat, namun tujuan negara tersebut dirasakan kontra produktif dengan masih diberlakukannya pidana mati dalam KUHP. Sebab, dengan adanya pidana mati tersebut jaminan hak orang atau terpidana mati telah dirampas oleh negara dan upaya untuk memajukan kesejahteraan masyarakat telah gagal.10 Selagi negara masih mempunyai alat-alat lain untuk mempertahankan keamanan dan menjalankan kewajibannya sebaiknya tidak menggunakan pidana mati. Ini berarti bahwa selagi negara itu masih merupakan suatu negara yang teratur, dimana polisi dan pengadilan dapat menjalankan pekerjaan dengan tenang, maka pidana mati tidak tepat sebagai pidana. Dengan tindakan memidana mati itu negara hanya memperlihatkan ketidakmampuannya, kalau hanya untuk memberantas
kejahatan.
11
Khususnya
tindak
pidana
mati
terhadap
penyalahgunaan narkotika.
10
Ing Oei Tjo Lam, “Sekitar Soal Hukuman Mati’, Varia Peradilan No. 10, 11, 12 Mei, Juni, Juli 1964, h. 184-190. 11
Andi Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1985), h. 39-40.
7
Narkotika menurut UU RI No 22 / 1997 yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan petunjuk pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara ilegal akan menimbulkan akibat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda. Bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.12 Dalam usaha menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut pada pokoknya mengatur narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan. Pelanggaran terhadap peraturan itu diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda.13
12
Syamsul Hidayat, Pidana Mati di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Press, 2010), h. 1.
13
Syamsul Hidayat, Pidana Mati di Indonesia ................. h. 3.
8
Selain konteks politik hukum di Indonesia, karena pidana mati tidak relevan dengan UUD 195. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparaturnya yang bersih. Serta bertentangan dengan konstitusi dan hukum internasional
HAM.
Sejumlah
ketentuan
perundang-undangan
nasional,
khususnya UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi , serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dukungan hukuman mati didasari argumen diantaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh apalagi menghilangkan banyak nyawa lagi jika tidak jera, pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri, keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban.
9
Bisa dilihat dari ini sebelum menjatuhkan vonis dan untuk menilai apakah peristiwa hukum yang dapat menggerakan hukum untuk bekerja lebih lanjut sampai menjatuhkan sanksi, dilakukan dengan cara meletakkan peristiwa itu ke dalam undang-undang lewat penafsiran tekstual-gramatikal yang sangat mekanistik dan legalistik seperti diperagakan model penalaran Positivisme Hukum. Dengan demikian, di tangan praktisi penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) semua peristiwa dikonstruksi dengan cara berpikir yang khas, yang disebut juridisch denken.14 Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh bagaimana Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Dengan demikian penulis tertarik mengangkat tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam sebuah skripsi. Hal ini menarik karena menyangkut kebebasan hidup seseorang. Dengan demikian penulis tertarik mengangkat tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam sebuah skripsi. B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
14
C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), h. v-vi.
10
1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis uraikan pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan dan pembatasan masalah. Untuk
mendapatkan
pembahasan
yang
objektif,
maka
penulis
membatasinya dengan pembahasan mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK No.23/PUU-IV/2007 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka rumusan masalah disusun dengan pertanyaan penelitian (research question), yaitu: a. Bagaimana implementasi Pidana Mati atas izin Presiden sebelum adanya
Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 ? b. Bagaimanakah implementasi Pidana Mati atas izin Presiden sesudah
adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 ? c. Apakah penjatuhan pidana mati pada undang-undang Narkotika sesuai dengan tujuan pemidanaan ? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. 1. Tujuan Penelitian.
11
Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui dan memahami penerapan Pidana Mati atas izin Presiden sebelum adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007. b. Untuk mengetahui dan memahami penerapan Pidana Mati atas izin Presiden sesudah adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007. c. Untuk mengetahui dan memahami sesuai atau tidak dengan Undangundang Narkotika. 2. Kegunaan Penelitian. Kegunaan penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis. a. Kegunaan teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta memberikan suatu pemahaman dan kontribusi mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. b. Kegunaan Praktis. Adapun manfaat praktis dari penilitian ini dapat diharapkan menjadi informasi bagi elemen masyarakat manapun untuk mengetahui Ancaman Pidana Mati Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.
12
Hal ini dirasa penting mengingat Pidana Mati sangat bertentangan jika di lihat dari perspektif Hak Asasi Manusia karena hak-hak Asasi haruslah dilindungi oleh Negara.
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu. Nama
penulis/judul Substansi
skripsi, jurnal/ tahun
Perbedaan
dengan
penulis.
Rif’an, Peranan negara
Skripsi ini membahas
Perbedaan dari skripsi
dalam perlindungan hak
mengenai Hak Asasi
ini dengan skripsi
asasi manusia (HAM) :
Manusia namun dalam
penulis adalah penulis
Studi Pemikiran al-
perspektif al-Syathibi
dalam skripsinya
Syathibi tentang hak
mempertanyakan
asasi manusia, 2009
eksistensi negara dalam menjalankan fungsinya sebagai negara karena disini terasa penting karena itulah tugas pokok negara
Husniyah, Hukuman
Skripsi ini membahas
Perbedaan dari skripsi
Pancung dalam
mengenai hukuman
ini dengan skripsi
Perspektif Fiqih dan
pancung dalam
penulis adalah Penulis
Ham, 2008
perspektif fiqih dan ham
membahas tentang eksistensinya, tidak dalam Perspektif hukumnya namun dalam
13
perspektif fiqih Nata Sukam Bangun,
Jurnal ini membahas
Perbedaan jurnal ini
Eksistensi Pidana Mati
mengenai Pidana Mati
dengan skripsi penulis
Dalam Sistem Hukum
Dalam Sistem Hukum
yaitu jurnal ini
Indonesia
membahas mengenai
Indonesia, 2014
Eksistensinya Pidana Mati dan Dalam penerapannya tidak melanggar dengan UUD Tahun 1945, sedangkan skripsi penulis membahas mengenai Perbandingannya Pidana Mati dalam analisis sebelum dan sesudah Putusan MK
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual. Pada Hakikatnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan Pelanggaran . Kejahatan-Kejahatan yang berat dan Pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatn berat dengan pidana mati.
14
HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnnya oleh karena itu setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang layak, kebebesan, keselamatan dan kebahagiaan. Didalam Negara merdeka hakhak asasi manusia seharusnnya secara keselruruhan terjamin, Karena pada hakikatannya kemerdekaan negara dan bangsa berarti kemerdekaan pula bagi warga negara oleh karena itu setiap wargan gera sudah sewajarnya menikmati kemerdekaan nasionalnya yang berwujud kebebesan dalam fitrahnnya. F. Metode Penelitian. 1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala bersangkutan.15 Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini dan untuk memenuhi penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis metode Penelitian kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji 15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta : UI Press, 1986). h.43
15
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.
16
Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori baru. 2. Pendekatan Penelitian. Sehubungan dengan penelitian penulis menggunakan jenis penilitian yaitu penelitian normatif, maka dalam hal teknik pengumpulan data dalam penelitian normatif, penulis menggunakan beberapa pendekatan, yaitu berupa pendekatan
yuridis
normatif
perundang-undangan(statute
approach),
pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach). Pendekatan
perundang-undangan
dimaksudkan
untuk
memperoleh
kejelasan mengenai ketentuan hukum mengenai Hukuman Pidana Mati dan Hak Asasi Manusia tersebut. Pendekatan Perundang-undangan dirasa perlu untuk memastikan bahwa pada dasarnya Hukuman Pidana Mati sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia karena tidak sesuai dengan UndangUndang. Selain itu, pendekatan perundang-undangan juga berguna bagi penulis sebagai sumber informasi tambahan mengenai Hukuman Pidana Mati itu sendiri.
16
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia Publishing, 2008). h. 294.
16
Pendekatan konseptual dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin yang berkembang didalam bidang hak asasi manusia atau dalam komisi Nasional itu sendiri. Dalam pendekatan konseptual penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsepkonsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman
akan pandangan-pandangan
dan
doktrin-doktrin
tersebut
merupakan sandaran bagi penulis dalam membangun argumentasi hukum dalam memecah isu yang dihadapi. Sedangkan
pendekatan
historis
dimaksudkan
untuk
mengetahui
bagaimana sebenarnya sejarah perkembangan Hukuman Mati. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan mengenai Hak Asasi Manusia di Indonesia. 3. Sumber Penelitian. Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti, dengan rincian sebagai berikut: a. Bahan Hukum Primer. Merupakan data-data yang diperoleh dari sumber aslinya, memuat segala
keterangan-keterangan
yang
berkaitan
dengan
penelitian
ini.Sumber-sumber tersebut berupa UUD 1945, UU Nomor 39 tahun
17
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan Hukuman Pidana Mati. Bahan hukum primer merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.17 b. Bahan hukum sekunder. Merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahanbahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan yang memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini, terdiri dari atas buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini. Dalam penulisan skripsi, penulis mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012. c. Bahan Hukum Tersier. Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.18 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
17
Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum,( Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992.), h.51.
18
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia Publishing, 2008). 296
18
Dalam penelitian ini, penulis me mpergunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan hukuman mati, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet. Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier diinvetarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas. Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan Metode Dokumentasi, metode ini dimaksudkan dengan mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.19 G. Metode Pengolahan dan Analisis Data. Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan
19
M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif , (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 201.
19
yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum dengan melakukan analisis secara kritis dan mendalam Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika Sebelum dan Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Didalamnya akan membahas mengenai kedudukan Hak Asasi Manusia, fungsi dan wewenang Negara dalam Menangani Hukuman Pidana Mati, Dasar Hukum Hukuman Pidana Mati, Bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia, lalu Bagaimana penerapan Hukuman Pidana Mati atas izin Presiden sebelum adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 dan Bagaimanakah penerapan Hukuman Pidana Mati atas izin Presiden sesudah adanya Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 serta Apakah penjatuhan pidana mati pada undangundang Narkotika sesuai dengan tujuan pemidanaan. 5. Metode Penulisan. Metode penulisan ini berdasarkan buku pedoman Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012. H. Sistematika Penulisan Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika penulisan pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dari kata pengantar, daftar isi, dan dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN
20
Pada bab ini memuat Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Studi Terdahulu, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II
PELAKSANAAN PIDANA MATI SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA Sejarah Pidana Mati di Indonesia, Teori Pemidanaan, Pro dan Kontra Pidana Mati di Inonesia, Proses Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia, Negara yang Tidak Memberlakukan Hukuman Pidana Mati.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia, Pengertian Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam, Pidana Mati ditinjau dari Hak Asasi Manusia dalam Hukum Positif.
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007 Pada bab ini akan membahas mengenai analisis Pidana Mati sebelum dan sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007.
BAB V
PENUTUP Pada bab penutup ini, berisi kesimpulan serta saran yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis dapatkan dari hasil menganalisis Eksistensi Hukuman Pidana Mati dalam Perspektif
21
Hak Asasi Manusia dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia (Analisis Putusan MK 2-3/PUU-IV/2007).
BAB II PELAKSANAAN PIDANA MATI SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA A. Sejarah Pidana Mati di Indonesia Pidana mati merupakan bagian dari jenis pidana yang berlaku berdasarkan hukum pidana Indonesia. Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana mati ini juga merupakan hukuman tertua dan mengandung kontroversial jika dibandingkan dengan bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.1 Pidana mati di Indonesia sebenarnya telah ada sejak masa kerajaan. Pada saat itu hukuman mati diberlakukan oleh para raja untuk menjamin terciptanya keamanan dan kedamaian masyarakat yang berada di wilayah kerajaannya. Hukuman mati dilakukan dalam berbagai cara, seperti dipancung, dibakar, dan diseret dengan kuda. Pada masa kolonial hukuman mati diberlakukan untuk kasus-kasus yang menyangkut keselamatan negara, keselamatan kepala negara dan kejahatan-kejahatan sadis lainnya. Pada masa kolonial hukuman mati diatur di dalam Wetboek van Strafrecht (KUHP). 1
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 187.
22
23
Saat itu hukuman mati dilakukan dalam berbagai cara yang dapat dikatakan tidak manusiawi, seperti adanya kasus antara pemuda yang merupakan calon perwira muda VOC yang berusia 17 tahun yang bermesraan dengan gadis yang berusia 13 tahun, sang pemuda dipancung dan si gadis didera/dicambuk dengan badan setengah telanjang di balai kota. Selain itu ada kasus yang menimpa 6 budak yang dipatahkan tubuhnya dengan roda karena dituduh mencekik majikannya, lalu ada kasus Pieter Elberveld dan beberapa orang pengikutnya karena diduga akan melakukan pemberontakan dan akhirnya mereka dihukum mati dengan cara badannya dirobek menjadi empat bagian, kemudian potongan badan tersebut dilempar ke luar kota untuk santapan burung. Contoh di atas adalah bentuk hukuman mati yang sangat tidak manusiawi. Hal tersebut sangat wajar karena saat itu hukum yang berlaku adalah hukum kolonial. Hukum kolonial terkenal kejam karena untuk memberikan rasa takut bagi masyarakat yang melakukan perlawanan. Dengan pemberlakuan Hukuman mati ini masyarakat Indonesia dapat diminimalisir kejahatannya. Pada masa pemerintahan presiden Soekarno hukuman mati tetap diatur di dalam Wetboek van Strafrecht atau yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pada saat itu ada beberapa kasus yang dijatuhi hukuman mati seperti
24
kasus Kartosuwirjo, Kusni Kasdut, dan tragedi Cikini. Selain itu masih banyak vonis hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan.2 Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Banyak pula kasus hukuman mati yang dilakukan oleh pemerintah. Namun pada masa ini tidak terlalu dipertentangkan karena pemerintahan saat itu terkenal sangat represif. Sebagian besar yang dieksekusi mati adalah lawan politik Soeharto. Fenomena Petrus menebar teror dengan menembak mati siapa saja yang “dianggap” mengganggu ketertiban. Hal seperti itu adalah bentuk hukuman mati secara terselubung.3 Berdasarkan sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru di Indonesia. Pidana mati ini telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau hukum para penguasa terdahulu, umpamanya: a) mencuri dihukum potong tangan ; b) pidana mati dilakukan dengan jalan memotong-motong daging dari badan, kepala ditumbuk, dipenggal dan kemudian kepalanya ditusuk dengan gantar, dan sebagainya.4
2
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 29. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I... .... h. 29.
3
4
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, (Bogor: Politea, 1979), h. 14.
25
Dalam sejarah pidana mati di wilayah Indonesia tidak hanya terpaku pada keterangan di atas. Misalnya, Pada abad 19 di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan dengan lembing, di Bali dapat dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke laut, sedangkan pada suku Batak dilaksanakan dengan sistem alternatif dimana apabila pembunuh tidak membayar uang denda maka eksekusi bisa dilaksanakan, dan berbagai macam jenis-jenis eksekusi mati lainnya. Dengan memperhatikan kebiasaaan (adat) dan hukum adat dari Aceh sampai Irian memperlihatkan kepada kita pidana mati sudah dikenal oleh semua suku di Indonesia. Hukum Pidana sebenarnya cermin dari tingkah laku masyarakat dan merefleksi nilai-nilai yang menjadi dasar dan berlaku di masyarakat. Bilamana nilainilai itu berubah, hukum pidana juga berubah. Hukum pidana secara tepat disebut sebagai one of the most faithful mirrors of a given civilization, reflecting the fundamental values on which latter rest.5 Eksistensi pidana mati sebagai sanksi pidana di dalam Pasal 10 KUHP ditinjau dari sejarah hukum merupakan kebijakan yang bersifat diskriminatif dan bersifat politis yaitu untuk memperkokoh kekuasaan Kolonial Belanda terhadap negara jajahannya. Sebab sejak tahun 1870 di dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, sanksi pidana mati sudah dihapuskan. Akan tetapi hal serupa tidak
5
A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya, Paramita, 1983) h. iii
26
dilakukan terhadap Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS-NI atau KUHP yang diberlakukan sekarang).6 Undang-undang pidana mati ini ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana pokok yang tertuang dalam pasal 10. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan dengan hukuman gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP. Kemudian dengan Staatsblad 1945 Nomor 123 yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda, pidana mati dijatuhkan dengan cara ditembak mati. Hal ini diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan cara menembak mati terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala Kejaksaan Negeri) sebagai eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan eksekusi dilakukan oleh regu tembak kepolisian. Patut diketahui bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati haruslah dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang telah dijatuhkan dan
berkekuatan
hukum tetap, terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden. Pelaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui fiat executie (persetujuan Presiden). Menurut Sahetapy, ada tiga alasan utama diberlakukannya pidana mati di Indonesia, yaitu alasan berdasarkan faktor rasial; alasan berdasarkan faktor ketertiban 6
J.E. Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, (Jakarta: PT. Bina Akasara, 1987), h.105.
27
umum; dan alasan berdasarkan hukum pidana dan kriminologi. Pemberlakuan pidana mati secara umum terkait dengan tiga permasalahan pokok di dalamnya, yaitu: 1. Masalah landasan filosofis pemberlakuannya, 2. Penentuan jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, 3. Cara pelaksanaan (eksekusi) pidana mati.7 Maka jelaslah disini bahwa pidana mati pada dasarnya dan seharusnya dijadikan sebagai sarana penal yang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap orang-orang
yang
tidak
dapat
dilakukan
pembinaan
lagi
dan
dirasakan
membahayakan kehidupan masyarakat luas bahkan negara sekalipun. B. Teori Pemidanaan Alf Ross mengemukakan bahwa “Concept of Punishment” bertolak pada dua syarat atau tujuan yaitu: 1. Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan (punishment is aimed at anflicting suffering upon the person upon whom it is imposed); 2. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencegahan terhadap perbuatan si pelaku (the punishment is an expression of disapproval of the action for wich it is imposed).8
7
Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2007), h.2. Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung: Refika Aditama: 2011), h. 29-30.
8
28
Berdasarkan uraian di atas, M. Shoelehuddin mengemukakan sifat dari unsurunsur pidana berdasarkan atas tujuan pemidanaan tersebut, yaitu: a. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang. b. Edukatif, dalam artian bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan. c. Keadilan, dalam artian bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil (baik oleh terhukum maupun oleh korban penanggulangan kejahatan).9 Hukum pidana mendapat pengaruh dari pandangan Roscue Pound, yang akhirnya menimbulkan aliran hukum pidana modern, yitu tujuan hukum pidana untuk melindungi individu dan sekaligus masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat itu haruslah disertai penentuan tujuan pemidanaan yang tidak klasik dengan pidana tidak hanya semata-mata sebagai pembalasan. Berikut ini adalah beberapa teori-teori yang pernah dirumuskan oleh para ahli untuk menjelaskan secara mendetail mengenai pemidanaan dan tujuan dari dijatuhkannya pemidanaan. Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi atas tiga golongan besar, yaitu: 1)
Teori absolut / teori pembalasan / teori retributif (Vergeldings Theorien) 9
Amir Ilyas, dan Yuyun Widaningsih, Hukum Korporasi Rumah Sakit, (Yogyakarta: 2010), h.
13.
29
Teori ini memberikan statement bahwa penjatuhan pidana semata-mata karena seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Adapun yang menjadi dasar pembenarannya dari penjatuhan pidana itu terletak pada adanya kejahatan itu sendiri, oleh karena itu pidana mempunyai fungsi untuk menghilangkan kejahatan tersebut. Menurut Johanes Andenaes, mengatakan bahwa tujuan utama dari pidana adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satesfy the claims of justice), sedangkan pengaruh-pengaruh lainnya yang menguntungkan adalah hal sekunder jadi menurutnya bahwa pidana yang dijatuhkan semata-mata untuk mencari keadilan dengan melakukan pembalasan.10 Tokoh lain yang menganut teori absolut ini adalah Hegel, ia berpendapat bahwa pidana merupakan suatu keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum suatu negara yang merupakan perwujudan dari cita-cita susila, maka pidana merupakan suatu pembalasan. Lebih lanjut Hegel mengatakan bahwa tindak pidana itu harus ditiadakan dengan melakukan pemidanaan sebagai suatu pembalasan yang seimbang dengan beratnya perbuatan yang dilakukan. Hugo de Groot dengan mengikuti pendapat dari Phitagoras, menuliskan bahwa kita tidak seharusnya menjatuhkan suatu pidana karena seseorang telah
10
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), h. 11.
30
melakukan kejahatan, akan tetapi untuk mencegah supaya orang jangan melakukan kejahatan lagi.11
2)
Teori relatif atau teori tujuan Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan
pembalasan atau pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari penjatuhan pidana adalah sebagai berikut: a) Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakutnakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif umum). b) Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat (preventif khusus).12 Menurut pandangan modern, prevensi sebagai tujuan dari pidana adalah merupakan sasaran utama yang akan dicapai sebab itu tujuan pidana dimaksudkan untuk kepembinaan atau perawatan bagi terpidana, artinya dengan penjatuhan pidana itu terpidana harus dibina sehingga setelah selesai menjalani pidananya, ia akan menjadi orang yang lebih baik dari sebelum menjalani pidana.
11
Djoko Prakoso, Hukum Penitensir Di Indonesia, (Bandung: Armico, 1988), h. 20. Ruslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), h. 26.
12
31
3)
Teori Gabungan Teori ini berakar pada pemikiran yang bersifat kontradiktif antara teori
absolut dengan teori relatif. Teori gabungan berusaha menjelaskan dan memberikan dasar pembenaran tentang pemidanaan dari berbagai sudut pandang yaitu dalam rangka menentukan benar dan atau tidaknya asas pembalasan, mensyaratkan agar setiap kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, maka terhadap mereka telah meninjau tentang pentingnya suatu pidana dari sudut kebutuhan masyarakat dan asas kebenaran. Dengan demikian, teori gabungan ini berusaha memadukan konsep-konsep yang dianut oleh teori absolut dan teori relatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan yaitu disamping penjatuhan pidana itu harus membuat jera, juga harus memberikan perlindungan serta pendidikan terhadap masyarakat dan terpidana. C. Pro dan Kontra Pidana Mati di Indonesia Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional. Kontroversi seputar pidana mati sebenarnya sudah lama berlangsung. Mantan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra mengklaim bahwa pidana mati adalah bagian yang sah dari sistem hukum nasional. Ia melandasi argumennya pada analisa biaya keuntungan. Biaya yang ditanggung abolisi pidana mati tidak setimpal
32
dengan keuntungan yang diperoleh. Mantan menteri kehakiman lainnya, Muladi, berkeyakinan sama. Baginya, korban yang ditimbulkan pelaku justru merupakan pelanggaran HAM yang lebih besar.13 Para ahli hukum menjelaskan pendirian mereka, bahwa pengalaman telah membuktikan bahwa ketertiban hukum di Indonesia dipertahankan dengan merumuskan tanpa perlu dijatuhkanya pidana mati terhadap kejahatan berat, maka akan tiba waktunya untuk menghapuskan pidana mati sebagaimana halnya di Belanda.14 Jonkers mendukung pidana mati dengan pendapatnya bahwa “alasan pidana tidak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan” bukanlah alasan yang dapat diterima untuk menyatakan ”pidana mati tak dapat diterima. Sebab di pengadilan putusan hakim biasanya didasarkan alasan-alasan yang benar”.15 Selanjutnya, Lambroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.16 Individu itu tentunya adalah orang-orang yang melakukan kejahatan yang luar biasa serius (extra ordinary crime).
13
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Jakarta: CV Rajawali, 1982) h. 66. 14
W. L. G Lemaire, Het Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie vergeleken met het Ned. W.v.S, (Batavia Centrum: Noordhof Kolff, 1934), h.15-16. 15
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini dan di Masa Depan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 25-26 16
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... ... h. 27.
33
Ada kesamaan substansi antara pemikiran Jongker dan kedua pemikir hukum lainnya, seperti Lambroso dan Garofallo. Kedua pemikir ini berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat, yang berguna untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. 17 Kemudian belakangan ini di Indonesia telah muncul beberapa pemikir baru yang pro dengan keberadaan hukuman mati itu. Beberapa diantaranya adalah Bambang Poernomo, mendukung adanya pidana mati berdasarkan pertimbangan bahwa perlu adanya ancaman pidana mati, terutama terhadap kejahatan berat, kejahatan makar, kejahatan korupsi dan kejahatan penyelundupan. 18 Pemikiran bahwa pidana mati harus dipandang sebagai “noodrecht” dan dalam rangka pemikiran hukum pidana sebagai sarana hukum pidana “ultimum remedium” (sebagai obat terakhir). Juga ancaman pidana mati masih diperlukann bagi kejahatan yang menyerang terhadap kehidupan manusia yang dilakukan secara bengis, untuk mengontrol kejahatan masih diperlukan ancaman pidana yang berat seperti halnya hukuman mati. Kemudian Hartawi A.M dalam The Death Penalty, yang dimuat di Jurnal Tahun I No. 5, menjabarkan bahwa bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati dianggap sebagai suatu social defence, dan bahwa pidana mati itu merupakan suatu bentuk pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi dan akan menimpa
17
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... ... h. 12-13.
18
Bambang Poernomo, Ancaman Pidana Mati Dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 19-20
34
masyarakat. Dari bencana atau bahaya kejahatan akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum dalam pergaulan hidup manusia dan bermasyarakat dan bernegara. Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana nasional Barda Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa pidana mati masih perlu dipertahankan dalam konteks pembaharuan KUHP Nasional. Hal ini dapat penulis gambarkan, melalui pendapatnya yang menyatakan: “bahwa walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya perlindungan masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan masyarakat), namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dan berorientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana)”.19 Bahkan Marjono Reksodiputro yang juga seorang tokoh pembaharuan hukum pidana nasional mendukung keberadaan lembaga pidana mati dengan membantah hipotesa yang meragukan efektivitas pidana mati melalui pendapatnya yang menyatakan hubungan ancaman hukuman mati dengan mengurangi kejahatan atau tindak kejahatan sangatlah sulit. Memang secara praktik kurang bisa dibuktikan, tetapi bukan berarti bahwa tidak dapat mengurangi. Orang yang mengatakan hapuskan hukuman matipun tidak dapat membuktikan bahwa pidana mati itu tidak efektif.20
19
Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), h. 89. 20
Herliady , Efektivitas Hukuman Mati, http://herliady.blog.friendster.com/efektivitashukuman-mati/. Diakses pada 16 Juni 2016 pukul 21:00.
35
Salah seorang pakar hukum yaitu Enrico Ferri seorang berkebangsaan Italia dalam hal menentang pidana mati berpendapat bahwa untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi untuk kejahatan cukup dengan pidana penjara seumur hidup, tidak perlu dengan pidana mati.21 Apa yang disampaikan Enrico Ferri dalam bukunya mengenai kriminologi tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan kriminologi Oxvord, Roger Hood yang menggunakan analisis efek jera pidana mati dan penjara seumur hidup. Adapun pendapatnya yang emosional bila kita menerima hipotesis bahwa hukuman mati atas pembunuhan menghasilkan efek jera yang jauh lebih besar daripada yang dihasilkan oleh hukuman yang diangap lebih ringan, yakni hukuman penjara seumur hidup.22 Adapun hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum Islam menurut Al- Qur’an antara lain adalah : 1.
Hak hidup Hak hidup adalah hak asasi yang paling utama bagi manusia, yang merupakan
karunia dari Allah bagi setiap manusia. Perlindungan hukum Islam terhadap hak hidup manusia dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan syari’ah yang melindungi dan menjunjung tinggi darah dan nyawa manusia, melalui larangan membunuh, ketentuan qishash dan larangan bunuh diri. Jadi islam memperbolehkan adanya pidana mati
21
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... ... h. 37.
22
Todung mulia Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: Kompas Media Group 2009), h. 106.
36
karena untuk menjaga keberlangsungan hidup dan demi menjaga nyawa orang banyak. 2.
Hak Persamaan Menurut Islam, manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah, tanpa membawa
dosa warisan, dan merdeka tanpa menanggung beban sebagai budak atau dosa orang lain. Konsep fithrah dan merdeka (free) ini juga memberi arti persamaan derajat (equality atauequalitarisme bagi setiap manusia yang lahir karena sama-sama lahir dalam keadaan fithrah dan merdeka tadi. Perbedaan ras, etnik, nasionalisme, atau golongan justru untuk semakin mewujudkan perkenalan bukan lambang dekradasi kedudukan.23 3.
Hak atas keadilan Keadilan adalah dasar dari cita-cita Islam dan merupakan disiplin mutlak
untuk menegakkan kehormatan manusia Keadilan adalah hak setiap manusia dan menjadi dasar bagi setiap hubungan individu. Oleh karena itu, merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah dan menjadi kewajiban bagi para pemimpin atau penguasa untuk menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup bagi warganya. 4.
Hak mendapatkan pendidikan
23
A. Qodri Abdullah Azizy, Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta; Kajian Historis Normative, dalam Ismail SM dan Abdul Mukti. (ed.) Pendidikan Islam Demokratisasi dan Masyarakat Madani Cet I, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000), h. 103.
37
Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan bukan hanya merupakan hanya merupakan hak, tapi juga merupakan kewajiban bagi setiap manusia. Pentingnya pendidikan ini, karena melalui pendidikan orang akan menyadari harga dirinya dan martabatnya sebagai manusia, dengan pendidikan dapat membuka akal pikiran manusia terhadap kenyataan hidup dalam alam semesta ini dan terhadap hubungan manusia dengan Tuhan-nya dan hubungan manusia dengan sesama manusia, dan dengan pendidikan pula orang dapat menyadari dan memperjuangkan hak-haknya. 5.
Hak kebebasan beragama Manusia mempunyai hak kebebasan personal untuk memiliki keyakinan atau
ideologi mana saja. Kebebasan ini harus dihormati dan dilindungi oleh orang lain. Pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan konstitusi terdapat empat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstituisi. Hakim-hakim tersebut adalah Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan. Dalam hal ini penulis sedikit menyampaikan alasan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati. : “Bagi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan pembatasan hak itu dapat dilakukan dengan menghilangkan hidup itu sendiri, meskipun diakui dan telah menjadi bagian dari hak asasi orang lain yang harus pula
38
dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi karena 38 iker membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan keseimbangan yang dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa pembatasan ruang geraknya dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta menjalani pembinaan-pembinaan tertentu yang diwajibkan.” Jelas pendapat Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menitikberatkan pada konsep hak asasi manusia. Permasalahan pro dan kontra terhadap pidana mati merupakan suatu permasalahan yang tidak mudah untuk digeneralisirkan dalam satu pola 38iker yang sama pada setiap orang. D. Proses Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia Menurut KUHP, ada sembilan (9) Pasal yang menyangkut jenis kejahatan yang diancam pidana mati, yaitu: 1. Makar dengan maksud membunuh presiden dan wakil presiden (Pasal 104 KUHP); 2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal 111 Ayat 2 KUHP); 3. Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (Pasal 124 Ayat 3 KUHP); 4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis KUHP); 5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 Ayat 3 KUHP); 6. Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP);
39
7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati (Pasal 365 Ayat 4 KUHP); 8. Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (Pasal 444 KUHP); 9. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K Ayat 2 & Pasal 149 O Ayat 2 KUHP).24 Selain dari tindak pidana yang diatur dalam KUHP, ada beberapa ketentuan ketentuan di luar KUHP yang juga mengatur tentang kejahatan yang diancam dengan tindak pidana mati, di antaranya adalah: 1. Tindak Pidana Ekonomi ( UU Nomor 7/Drt/1955 ); 2. Tindak Pidana Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009); 3. Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001); 4. Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia (UU Nomor 39 tahun 1999); 5. Tindak Pidana Terorisme ( UU Nomor 15 tahun 2003). Penjatuhan pidana mati terhadap seorang terpidana dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka yang menaruh kepedulian atas hak-hak asasi manusia berpandangan bahwa kewenangan mencabut hak untuk hidup dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights). Karena merenggut salah satu hak yang tak boleh ditangguhkan 24
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Bogor: Politea, 1960), h. 140.
40
pemenuhannya. Tindakan ini merampas hidup yang merupakan hak dasar dalam diri seseorang yang tak pernah bisa tersembuhkan atau tergantikan. Pidana mati menunjukkan adanya kewenangan mencabut hak untuk hidup dan dirasa kejam, tak berperikemanusiaan serta menghina martabat manusia.25 Tujuan pemidanaan pada hakikatnya memiliki unsur sebagai pencegahan, juga untuk memperbaiki terpidana, di samping mempertahankan tata tertib hukum. Pidana mati apabila bertujuan sebagai pembalasan maupun pembelajaran bagi masyarakat atau agar masyarakat menjadi jera untuk tidak mengulangi atau meniru tindakan yang melanggar hukum, ternyata maksud dan tujuan itu tidaklah tercapai seperti yang diharapkan, karena pada kenyataannya kasus tindak pidana pembunuhan dan kejahatan narkoba tidak menjadi berkurang, bahkan meningkat, sekalipun sudah terjadi pemidanaan mati yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan tersebut. Dalam kasus tindak pidana narkoba yang dianggap sebagai kejahatan yang paling serius dan dapat menjadi alat subversi, bahkan akibat yang ditimbulkan dapat menghancurkan masa depan anak bangsa. Namun, dalam data yang diperoleh ternyata tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan tersebut, di Indonesia justru menunjukkan peningkatan dari pengguna dan pengedar, sampai pada adanya produsen. Dalam kaitan ini, upaya penanggulangan narkoba di negara-negara maju sudah mulai dilakukan dengan meningkatkan pendidikan sejak dini dan melakukan kampanye anti narkoba, serta penyuluhan 25
E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Bandung: Universitas, 1968), h. 107.
41
tentang bahayanya. Demikian seriusnya penanggulangan masalah narkoba bagi kehidupan manusia sudah mendorong kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan narkoba tersebut.26 Pidana mati bagi bangsa Indonesia tidaklah terlepas dari pandangan dan sikap bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa pandangan dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan Pancasila. Sehingga hak asasi manusia dirumuskan secara substansi dengan menggunakan pendekatan normatif, empiris, deskriptif, dan analitis, antara lain disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapa pun.27 Karena itu, dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut Pasal 1 menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Pandangan dan sikap bangsa Indonesia ini 26
Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana... ... h. 56.
27
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... ... h. 82.
42
di samping termuat dalam Piagam Hak Asasi Manusia, juga tercantum dalam amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dengan pendekatan filosofis yuridis tersebut di atas, maka seluruh produk hukum yang ada maupun yang akan ada seharusnya tidak boleh bertentangan dengan jiwa, pandangan dan sikap bangsa. Seperti yang dikatakan oleh Friedrich Carel Von Savigny bahwa hukum tidaklah dibuat melainkan ada dan tumbuh bersama rakyat.28 Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sebagai Hukum Dasar yang ditegaskan dalam Tata Urutan Perundang-undangan yang merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya sebagaimana Ketetapan MPR Nomor III/MPR/ 2000, maka seluruh aturan hukum di bawahnya, baik yang telah ada maupun yang akan dibentuk harus, sejalan dengan UUD sebagai Hukum Dasar tertinggi atau yang disebut sebagai Staatgrundgezet.29 Hak asasi manusia sebagaimana yang dirumuskan dalam pandangan dan sikap bangsa Indonesia adalah juga merupakan jiwa dari
Pancasila yang antara lain
mengedepankan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan Yang Adil dan
28
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia ... .... h. 52.
29
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia... .... h. 74.
43
Beradab, maka sebagai filosofi yuridis esensi itu sudah berlanjut menjadi konkret ke dalam Pasal 28 A itu. Indonesia sebagai bagian dari negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, oleh karena itu Indonesia masih mencantumkan Pasal-Pasal tentang pidana mati dalam produk peraturan perundang-undangannya, di samping harus diakui banyak pula yang mendukung terhadap pidana mati.30 Tata cara pelaksanaan hukuman mati atau pidana mati sebagaimana diatur dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan perundang-undangan lain setingkat undang-undang diatur dalam UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (“UU 2/PNPS/1964”).
Dalam Pasal 1 UU 2/PNPS/1964 disebutkan antara lain bahwa pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati. Eksekusi pidana mati dilakukan oleh regu penembak dari Brigade Mobil (Brimob) yang dibentuk oleh Kepala Kepolisian Daerah di wilayah kedudukan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati. Regu tembak tersebut terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira (lihat Pasal 10 ayat 1 UU 2/PNPS/1964). Dalam UU 2/PNPS/1964 itu juga diatur bahwa jika terpidana
30
Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2009), h.
57.
44
hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan (lihat Pasal 7). Pengaturan yang lebih teknis mengenai eksekusi pidana mati diatur dalam Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (“Perkapolri 12/2010”). Dalam Pasal 1 angka 3 Perkapolri 12/2010 disebutkan antara lain bahwa hukuman mati/pidana mati adalah salah satu hukuman pokok yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berlakunya sistem hukum dengan peradilannya secara proporsional, akan menambah kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum. Oleh karenannya, perlu dicermati didalam sistem peradilan bergantung pada sistem hukum yang dianut oleh suatu masyarakat. Meskipun demikian, ada sejumlah asas-asas peradilan yang secara universal menjadi anutan dari berbagai masyarakat modern saat ini. Dan tentu saja, juga ada hal-hal spesifik dari setiap sistem peradilan tersebut.31 Kemudian, dalam Pasal 4 Perkapolri 12/2010 ditentukan tata cara pelaksanaan pidana mati yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut: a. persiapan; b. pengorganisasian; c. pelaksanaan; dan d. pengakhiran.
31
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), h. 103
45
Proses pelaksanaan pidana mati secara lebih spesifik diatur dalam Pasal 15 Perkapolri 12/2010 sebagai berikut: 1) terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati; 2) pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang rohaniawan; 3) regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 (dua) jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati; 4) regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 (satu) jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan; 5) regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 (lima) meter sampai dengan 10 (sepuluh) meter dan kembali ke daerah persiapan; 6) Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan ”LAPOR, PELAKSANAAN PIDANA MATI SIAP”; 7) Jaksa Eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati; 8) setelah pemeriksaan selesai, Jaksa Eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan ”LAKSANAKAN” kemudian Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan ”LAKSANAKAN”;
46
9) Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang dengan 3 (tiga) butir peluru tajam dan 9 (sembilan) butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 (satu) butir peluru, disaksikan oleh Jaksa Eksekutor; 10) Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh Jaksa; 11) Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 (tiga) menit dengan didampingi seorang rohaniawan; 12) Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana menolak; 13) Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian Dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari terpidana; 14) Komandan Regu 2 melaporkan kepada Jaksa Eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati; 15) Jaksa Eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera dilaksanakan penembakan terhadap terpidana;
47
16) Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Regu penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana; 17) Komandan Pelaksana mengambil tempat di samping kanan depan regu penembak dengan menghadap ke arah serong kiri regu penembak; dan mengambil sikap istirahat di tempat; 18) Pada saat Komandan Pelaksana mengambil sikap sempurna, regu penembak mengambil sikap salvo ke atas; 19) Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana; 20) Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat kepada Regu penembak untuk membuka kunci senjata; 21) Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak; 22) Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata; 23) Komandan Pelaksana, Jaksa Eksekutor, dan Dokter memeriksa kondisi terpidana dan apabila menurut Dokter bahwa terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Pelaksana melakukan penembakan pengakhir;
48
24) Komandan Pelaksana memerintahkan komandan regu penembak untuk melakukan penembakan pengakhir dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga; 25) Penembakan pengakhir ini dapat diulangi, apabila menurut keterangan Dokter masih ada tanda-tanda kehidupan; 26) Pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada terpidana; 27) Selesai pelaksanaan penembakan, Komandan regu penembak memerintahkan anggotanya untuk melepas magasin dan mengosongkan senjatanya; dan 28) Komandan Pelaksana melaporkan hasil penembakan kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan ”PELAKSANAAN PIDANA MATI SELESAI”. Dalam hal pelaksanaan pidana mati ini dijatuhkan kepada beberapa orang terpidana dalam satu putusan, pidana mati dilaksanakan serempak pada waktu dan tempat yang sama namun dilaksanakan oleh regu penembak yang berbeda (lihat Pasal 16 Perkapolri 12/2010).32 Secara Teoritis dapat dikatakan bahwa ancaman hukuman mati menimbulkan efek jera (deterrent effect) yang sangat tinggi. Efek jera hukuman mati tersebut merupakan faktor penting dalam menyebabkan orang mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana. Hal ini pada gilirannya akan meurunkan jmlah tindak pidana terkait. Secara logika memang masuk akal, namun tidak terdapat data statistik
32
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl441/hukuman-mati diakses tanggal 14 Mei 2016 Pukul 20:00 wib
49
(empiris) dan riset yang secara meyakinkan mendukung kesimpulan tersebut dan yang terjadi justru sebaliknya. E. Negara Yang Tidak Memberlakukan Hukuman Pidana Mati Ahli Prof. William Schabas (Keterangan Tertulis, tanggal 2 Mei 2007) menegaskan bahwa untuk kejahatan-kejahatan yang menurut standar Internasional jelas termasuk dalam kategori most serious crimes seperti genosida, crimes against humanity, dan war crimes, tribunal-tribunal PBB yang mengadili penjahat perang di Eks-Yugoslavia(1993), Rwanda (1994) maupun Sierra Leone (2002) tidak memberlakukan hukuman mati sebagai salah satu bentuk sanksi. Statue of the International Criminal Court (1998) juga membatasi bahwa hukuman maksimum adalah seumur hidup.33 Sebanyak 84 negara turut menandatangani Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional, tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati di New York, 15 Desember 1989 silam. Berikut segelintir atau beberapa negara-negara yang telah menandatangani hukum internasional, kecuali Indonesia, perihal pidana cabut nyawa sekaligus diterapkan di peraturan domestik negara peserta, berikut penulis paparkan beberapa negara yang menghapus hukuman pidana mati, yaitu: 1.
Australia, mnyetakan diri terlibat aksesi peraturan tersebut sejak 2 Oktober 1990.
33
Todung Mulya Lubis & Alexander Lay, Kontrovesi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), h. 330.
50
2.
Brazil, menyatakan diri ikut aksesi perjanjian tersebut pada 25 September 2009.Angola, turut menandatangani pada 24 September 2013 dan belum meratifikasi.
3.
Argentina, menyatakan keterlibatan pada 20 Desember 2006 dan meratifikasinya sejak 2 September 2008.
4.
Kanada, menandatangani secara aksesi sejak 25 November 2005.
5.
Denmark, turut menandatangani sejak 13 Februari 1990 dan meratifikasi pada 24 Februari 1994..
6.
Perancis, terlibat secara aksesi sejak 2 Oktober 2007.
7.
Jerman, turut menandatangani sejak 13 Februari 1990 dan diratifikasi pada 18 Agustus 1992.
8.
Italia turut menandatangani sejak 13 Februari 1990 dan meratifikasi pada 14 Februari 1995.
9.
Inggris Raya dan Irlandia Utara, turut menandatangani sejak 31 Maret 1999 dan meratifikasi pada 10 Desember 1999.
10. Belanda, turut terlibat perjanjian sejak 9 Agustus 1990 dan meratifikasi pada 26 Maret 1991. 11. Selandia Baru, turut terlibat sejak 22 Februari 1990 dan meratifikasi pada 22 Februari 1990. 12. Portugal, turut menyatakan diri terlibat sejak 13 Februari 1990 dan meratifikasi pada 17 Oktober 1990.
51
13.
Spanyol, turut menandatangani sejak 23 Februari 1990 dan meratifikasi pada 11 Aprril 1991.
14.
Swedia, , turut menandatangani sejak 13 Feb 1990 dan meratifikasi pada 11 Mei 1990.
15.
Turki, turut menandatangani sejak 6 April 2004 dan meratifikasi pada 2 Maret 2006.34 Di dalam bukunya Ernest Bowen Rowlands yang berjudul Judgement of Death
mengatakan bahwa pidana mati tidak dapat diperbaiki kalau seorang hakim telah keliru dan pidana mati telah dilaksanakan, tak pernah kehidupan dikembalikan kepada yang dipidana mati, sedang kekhilafan yang terjadi dalam dijatuhkannya pidana penjara, jika terdakwa masih hidup dia dapat dibebaskan, rugi dapat digantikan, nama baik dapat dikembalikan dan untuk waktu dalam penjara dapat diberikan pengganti kerugian berupa uang, namun pada pidana mati tak mungkin.35
34
http://news.okezone.com/read/2015/04/28/337/1141582/84-negara-kecuali-indonesiayang-hapus-hukuman-mati diakses pada tanggal 15 Mei 2016 pukul 20:0 wib 35
M. J. Van Bemmelen, Het Probleem van de Doodstraf, (Amsterdam: 1948), h. 22
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASASI MANUSIA A.
Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Para pakar HAM berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan
lahirnya Magna Charta. Piagam Magna Charta (Inggris) pada tahun 1215 yang membentuk suatu kekuasaan monarki yang terbatas. Hukum mulai berlaku tidak hanya untuk rakyat, akan tetapi juga berlaku untuk para bangsawan dan keluarga kerajaan. Piagam Magna Charta atau disebut juga Magna Charta Libertatum (The Great Charter of Freedoms) dibuat di masa pemerintahan Raja John (King John of England) dan berlaku bagi raja-raja Inggris yang berkuasa berikutnya. Isi pokok dokumen tersebut adalah hendaknya raja tidak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi seorangpun dari rakyat. Selain itu Magna Charta juga memuat penegasan bahwa “tiada seorangpun boleh ditangkap atau dipenjarakan atau diusir dari negerinya atau dibinasakan tanpa secara sah diadili oleh hakim-hakim yang sederajat dengannya” (judicium parjum suorum).1 Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill Of Right di Inggris pada tahun 1689 yang berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun tanpa dasar hukum yang jelas. Berbarengan dengan peristiwa itu timbullah adagium yang intinya bahwa manusia 1
Robert Audi dalam Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 52.
52
53
sama di muka hukum (Equality Before The Law). Adagium ini selanjutnya memperkuat dorongan timbulnya supremasi Negara hukum dan domokrasi. Kehadiran Bill Of Right telah menghasilkan asas persamaan harus diwujudkan, betapapun berat resikonya yang dihadapi, karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.2 Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan kemunculan the American declaration of independence pada 1778 di Amerika Serikat yang lahir dari semangat paham Rosseau dan Monesquieu. HAM di Amerika Serikat yang sebenarnya tidak terlepas dari beberapa rumusan sebelumnya seperti Bill of Right. Dalam deklarasi ini dapat ditemukan kalimat “kita menganggap kebenarankebenaran berikut ini sebagai eviden berikut saja, bahwa semua manusia diciptakan sama, bahwa mereka dianugerahi oleh pencipta mereka dengan hakhak tertentu yang tidak tak terasingkan”.3 Sekalipun di Negara kedua tokoh HAM itu yakni Inggris dan Perancis belum terdapat rincian HAM, namun telah muncul di Amerika. Hal ini yang memperkuat bahwa manusia sudah merdeka sejak di dalam rahim ibunya, sehingga tidak masuk akal bila hak seseorang di rampas kemerdekaannya dalam menjalani hak tersebut. 4 Selanjutnya pada tahun 1789 lahir The French Declaration, di mana hakhak asasi manusia ditetapkan lebih rinci lagi yang kemudian menghasilkan dasardasar Negara hukum atau The Rule Of Law, dalam dasar-dasar ini antara lain
2
A. Ubaidillah, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education), (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 208-209. 3
http://kasmanpost.blogspot.com/2007/02/sejarah-ham. Diakses pada tanggal Agustus 2016, pukul 19.30 WIB. 4
A. Ubaidillah, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education)... ... h. 209.
16
54
dinyatakan bahwa tidak boleh terjadi penangkapan dan penahanan yang semenamena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah atau ditahan tanpa surat perintah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Di dalamnya dinyatakan pula asas presumpsion of innocence, yaitu bahwa orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap menyatakan ia bersalah. Selanjutnya dipertegas juga dengan asas freedom of expression (kebebasan mengeluarkan pendapat), freedom of religion (kebebasan menganut keyakinan atau agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan hak milik), dan hak-hak dasar lainnya. Meskipun
semangat
revolusi
Peranscis
begitu
menggebu
untuk
mengobarkan tendensi anti Kristen dan mengedepankan semangat pencerahan (Aufklarung), namun mereka tetap mendasarkan pemikiran tentang Hak Asasi Manusia pada kodrat Tuhan. Pemikiran-pemikiran kaum foundationalism masih sangat mempengaruhi deklarasi tentang Hak Asasi Manusia dan warga negara Perancis
sebagaimana
dalam
Declaration
of
Independence/
Deklarasi
Kemerdekaan di Amerika Serikat. Dengan menitik beratkan pada kelima hak asasi pemilikan harta (property), kebebasan (liberty), persamaan (egalite), keamanan (security), dan perlawanan terhadap penindasan (resistence al‟oppresstion). Selanjutnya lahirlah Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang diproklamirkan dalam sidang umum PBB pada 10 Desember 1948. Hal yang baru dalam deklarasi ini adalah adanya pergeseran pendasaran HAM dari kodrat Tuhan
55
kepada pengakuan akan martabat manusia. Diawal deklarasi disebutkan “Menimbang bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama serta tak terasingkan dari semua anggota masyarakat merupakan dasar untuk kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia”. Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia ini memiliki perbedaan mendasar dari deklarasi sebelumnya. Louis Henkin dan James W. Nickel dalam making senses of Human Rihgt (1996) menyebutkan bahwa manifesto Hak Asasi Manusia Mutakhir telah melunakkan individualisme dalam teori-teori klasik mengenai hak kodrati (sebagai hak yang berasal dari Tuhan), dan lebih menekankan sifat persamaan (egaliterianisme). Setelah ini, penegakan HAM menjadi semakin gencar di seluruh dunia dan HAM telah mengalami dapat dipahami oleh masyarakat dunia.5 B.
Pengertian Hak Asasi Manusia Secara umum, istilah hak asasi manusia sering dinamai dengan hak yang
melekat pada diri manusia sejak lahir.6 Miriam Budiarjo mengatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat.7 Banyak ahli memaparkan mengenai pengertian HAM. Menurut pendapat Jan Materson (dari Komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United 5
http://kasmanpost.blogspot.com/2007/02/sejarah-ham. Diakses pada tanggal Agustus 2016, pukul 19.30 WIB.
16
6
Eggi Sudjana, Ham dalam perspektif Islam, Mencari Universalitas HAM bagi Tatanan Modernitas yang Hakiki, (Jakarta: Nuansa Madani, 2000) h. 3. 7
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2000)
h. 120.
56
Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa “Human rights could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which can not live as human being” (hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia).8 Gunawan Setiardjo memberikan pengertian tentang Hak Asasi Manusia, yakni hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya. Jadi hak-hak yang dimiliki sebagai manusia dan HAM harus dipahami dan dimengerti secara universal. Memerangi atau menentang keuniversalan HAM berarti memerangi dan menentang HAM.9 Sedangkan Darwin Prinst, memberikan rumusan HAM sebagai hak yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan memberi manusia kemampuan membedakan yang baik dengan yang buruk (akal budi). Akal budi itu membimbing manusia menjalankan kehidupannya.10 Dalam ketentuan umum UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhlukTuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
8
Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, (Jakarta: Tim ICCE UIN Jakarta, 2003), h. 200. 9
A.Gunawan Setiardjo, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, (Yogyakarta: Kanisius, 1993) h. 71. 10
Darwin Prinst, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakkan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001) h. 8.
57
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.11 Pada hakikatnya, HAM terdiri dari dua hak fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dan dari kedua hak tersebut lahir hak-hak lain yang sifatnya turunan, atau tanpa keduanya hak-hak turunan tersebut sulit untuk ditegakkan. Adapun hak-hak turunan tersebut adalah meliputi segala hak-hak dasar (hak hidup, hak berpendapat, hak beragama dan hak penghidupan yang layak, ditambah dengan hak persamaan di muka hukum, hak milik, hak memperoleh kecerdasan intelektual. Faktor hak persamaan ini menyebabkan tumbuh subur dan cepat menyebar ke berbagai pelosok dunia, termasuk ke Negara Indonesia. Untuk memahami manusia bukanlah hal yang mudah, oleh sebab itu diperlukan pemahaman yang komperehensif baik dari aspek religius, sosiologis, politis, sosial, budaya, historis dan lain sebagainya. Menurut Marcel A. Boisard, untuk mempelajari manusia baik dalam keadaan tetap maupun berubah, individual maupun kolektif, paling tidak ada tiga pendekatan: pertama, seseorang dapat menyelidiki manusia dalam hakikatnya yang murni dan esensial, ini merupakan pendekatan yang dilakukan oleh para filosuf. Kedua, seseorang dapat menyelidiki manusia dengan mencurahkan segala perhatiannya kepada prinsip-prinsip ideologis dan spritual yang mengatur perilaku manusia dan mengatur pembentukan personality-nya dalam menjalani kehidupan
11
Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
58
sehari-hari. Cara kedua ini dalam prakteknya digunakan oleh ahli moral dan sosiolog. Ketiga, pendekatan yang ketiga ini pada dasarnya lebih ditekankan dengan mengambil konsep tentang manusia sendiri. Yakni, aksentuasi penyelidikan ini dilakukan dengan pengamatan-pengamatan tentang lembaga-lembaga etika dari yuridis dan secara langsung maupun tidak langsung telah terbentuk dari pengalaman-pengalaman historis dan sosial kemasyarakatan.12 Yang dapat digunakan sebagai pegangan tentang hak asasi manusia itu antara lain: 1. Hak Asasi Manusia itu sebagai ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran. 2. Hak Asasi Manusia itu sebagai suatu disiplin yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan-kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi. 3. Hak Asasi Manusia itu sebagai kaidah yaitu pedoman atau patokan perilaku yang pantas atau diharapkan. 4. Hak Asasi Manusia itu sebagai tata hukum yakni struktur atau proses seperangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta bentuk tertulis. 5. Hak Asasi Manusia sebagai petugas yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan pengakuan hukum. 6. Hak Asasi Manusia sebagai keputusan penguasa yakni hasil proses diskresi. 12
92.
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980) Cet I, h.
59
7. Hak Asasi Manusia sebagai proses pemerintah yakni proses timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan. 8. Hak Asasi Manusia sebagai perilaku tertulils. 9. Hak Asasi Manusia sebagai jalinan nilai-nilai yakni jalinan dari konsespsi konsepsi abstrak yang dianggap baik dan buruk. Sedangkan menurut W.J.S Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, hak-hak asasi itu adalah : “Asasi adalah berarti sesuatu yang pokok, yang menjadi dasar. Sedangkan hak adalah sesuatu yang benar, sungguh ada, kewenangan, milik atau kepunyaan, kekuataan/kekuasaan untuk menuntut yang benar ataupun berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh aturan undang-undang”.13 Dengan kata lain hak asasi manusia itu telah dimiliki oleh manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran ataupun kehadirannya dalam kehidupan bermasyarakat. Secara garis besar bahwa hak asasi manusia itu dapat dikatakan telah meliputi Hak Ekonomi, misalnya hak atas penghidupan yang layak, Hak Sosial dan Budaya, misalnya hak atas pendidikan, Hak Sipil dan Politik, misalnya hak untuk beragama dan hak untuk hidup serta hak-hak lainnya. C.
Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam Islam adalah agama yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang
mulia, berkepribadian dan bertanggung jawab. Islam mempunyai pandangan sama rata kepada pengikutnya. Ajarannya tidak membedakan asal usul apakah ia dari golongan elite, ningrat, jutawan, pangkat, teknokrat, ataupun rakyat jelata; mereka 13
W.J.S Poerwadarminta,” Kamus Umum Bahasa Indonesia”, ( Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976)
60
diperlakukan sama. Sebab ditinjau dari segi manusiawi, mereka sama-sama manusia;
yang
membedakan
manusia
dengan
manusia
lain
hanyalah
ketakwaannya kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal (hidup rukun damai). Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. ( Q.S. Al-Hujurat [49]:13)14 Islam menerangkan bahwa Allah SWT telah memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada manusia untuk memilih tindakannya. Akan tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tanggung jawab manusia itu sendiri, sesuai dengan petunjuk al-Qur‟an dalam memanfaatkan kebebasan tersebut. Allah SWT memberikan kebebasan itu yang disebut sebagai hak asasi manusia. Manusia bebas berbuat apa saja, tetapi harus senantiasa dibarengi dengan tanggung jawab.15 Hak asasi manusia diberikan oleh Allah SWT kepada semua manusia ciptaan-Nya dengan tujuan agar manusia dapat memanfaatkan hak-haknya tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga dapat melaksanakan tanggung jawab
14
R.H. A. Soenarjo, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemahan Al-Qur‟an, 1989), h. 847. 15
Baharudin Lopa, Al-Qur'an dan Hak-hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Dasar Bhakti Primayasa, 1996), h. 17.
61
yang telah dibebankan Allah SWT kepadanya yaitu menjadi khalifatullah fil Ardli sekaligus sebagai hamba Allah SWT yang bertanggung jawab. Diskursus mengenai HAM sebenarnya bukan hal yang baru. Dalam kehidupan manusia HAM sudah sejak lama dipermasalahkan karena penegakan keadilan, dimanapun dan kapanpun, selalu menjadi harapan setiap orang. Banyak sejarah umat manusia yang menceritakan kehancuran suatu bangsa atau negara yang disebabkan karena kurangnya keadilan para penguasa dalam memerintah. HAM
dari
masa
ke
masa
selalu
berkembang
seiring
dengan
berkembangnya pemikiran manusia dan kemajuan jaman. Kalau dulu, hak asasi manusia dilihat hanya sebatas hak-hak sipil dan politik, maka sekarang hak asasi manusia mencakup pula hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Permasalahan mengenai HAM dewasa ini sering muncul di permukaan. Banyak orang yang semakin memahami dan menyadari hak-hak asasinya. Di antara sebabnya adalah semakin lajunya proses pembangunan yang menjadi tuntutan anggota masyarakat dan karena hubungan antara bangsa yang semakin intens. Untuk itu pelaksanaan HAM di segala bidang harus benar-benar diterapkan untuk menghindari konflik sosial dalam masyarakat. Itulah sebabnya mengapa
HAM
bernilai
relevan
dan
tetap up
to
date (sesuai
dengan
perkembangan jaman) hingga sekarang. Pelanggaran HAM sering terjadi dimana-mana, baik di negara berkembang, maupun di negara maju HAM sering diselewengkan seperti di AS dan negara-negara Barat lainnya. Karena itu, akan kurang tepat jika tuduhan dari
62
negara-negara maju misalnya bahwa negara-negara berkembang tertentu sering melakukan pelanggaran HAM. Tuduhan ini menimbulkan kesan bahwa negaranegara maju atau Barat tidak pernah melakukan pelanggaran HAM, padahal dalam prakteknya di negara-negara majulah terdapat kasus kehidupan yang rasialis, ketidakadilan, dan lain-lain yang jelas melanggar HAM. Hal ini bisa jadi disebabkan pemahaman HAM yang berbeda antara masyarakat Barat dengan masyarakat Timur yang mempunyai kultur dan kebiasaan berbeda. Karena itu ada dua pendekatan untuk memahami HAM yaitu pendekatan Barat dan pendekatan Islam.16 Kalau dipelajari ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan-ketentuan RasulNya dalam Al-Qur‟an dan hadits-hadits shahih, maka segera mengetahui adanya tujuan disyariatkannya muqasid al-Syariah. Secara umum dapat dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat, dengan jalan mengambil yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudlarat. Dengan kata lain tujun hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia. Dalam pembahasannya Muqasid al-Syariah erat kaitannya dengan perlindungan HAM hal tersebut disebabkan dalam Muqasid al-Syariah memiliki dimensi perlindugan HAM yaitu: Pertama, Hifzh al-Dîn; artinya terjaga norma agama dari hal-hal yang mengotorinya, baik dari sisi akidah maupun amal, teori maupun praktek serta menjamin keutuhan agama yang menjadi pilihan rakyat secara umum dengan 16
Abul A‟la Al Maududi, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1985), h.
15.
63
tindakan preventif terhadap setiap potensi yang bisa mengganggu prinsip-prinsip agama yang qath‟i. Kedua, Hifzh al-Nafs; yaitu melindungi hak hidup setiap individu dan masyarakat secara kolektif serta segala hal yang dapat mengacam jiwa. Seperti pemberantasan
penyakit menular,
hukuman bagi pelaku
pembunuhan dan
sebagainya. Ketiga, Hifzh al-„Aql; mencegah terjadinya khalal (cacat) pada akal yang dapat mengganggu daya pikir dan kreatifitas. Eksistensi akal sangat urgen sekali dalam menumbuhkembangkan semangat menggali nilai-nilai agama, sehingga tentunya harus dijaga dari hal-hal yang merusaknya. Seperti larangan terhadap minuman keras, narkotika, alkohol, zat aditif dan yang memiliki potensi merusak akal. Keempat, Hifzh al-Nasl; melestarikan kelangsungan generasi dengan mempermudah proses pernikahan, menghindari setiap kebijaksanaan yang dapat memutus kelangsungan
hidup;
seperti vasektomi, tubektomi, zina dan
sebagainya. Kelima, Hifzh al-Mâl; mengembangkan sumber-sumber perekonomian rakyat, menjamin hak milik pribadi dan menjaga keamanan harta tersebut.17 Di lain sisi dunia Barat selalu menisbahkan konsep mengenai HAM kepada Piagam Magna Carta di Inggris pada tahun 1215 yang sebenarnya tidak
17
Al-Hasani, Ismail, Nadlriyyah al-Maqashid „Inda al-Imam Muhammad ath-Thahir bin Asyur, (Cairo: IIIT, 1995), h. 237.
64
lebih dari sekedar sebuah perjanjian antara raja dan baron (bangsawan) Inggris.
18
Sebelumnya piagam tersebut tidak berisi prinsip-prinsip trial by
juri (peradilan
oleh
juri), Habeas
Corpis (surat
perintah
penahan)
dan
pengawasan parlemen atas hak pajak. 19 Setelah abad ke-17 barulah dapat diketahui bahwa piagam Magna Carta mengandung prinsip-prinsip tersebut. Dapat dimaklumi bila setelah abad tersebut, konsep mengenai HAM banyak tertuang dalam undang-undang atau konstitusi yang berasal dari gagasan-gagasan para filosof dan pemikir hukum, seperti adanya Bill of Rights pada tahun 1688, Declaration
of
Independence pada
tahun
1788
dan French
Declaration pada tahun 1789. Puncak dari perkembangan konsep ini adalah dengan adanya deklarasi hak-hak asasi manusia sedunia oleh PBB yang dikenal dengan the Universal Declaration of Human Right (pernyataan HAM sedunia) pada tahun 1948. The Universal Declaration of Human Right ini dibentuk karena banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di beberapa negara sebagai akibat adanya perang dunia I dan perang dunia II yang membawa banyak kesengsaraan dan penderitaan pada rakyat. Menurut Alwi Shihab, DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) yang dibentuk oleh PBB ini banyak diwarnai oleh perspektif barat sekuler yang bersifat antroposentris, yakni lebih menekankan peranan manusia dan kebebasan
18
Baharudin Lopa, Al-Qur'an dan Hak-hak Asasi Manusia... ... h. 2.
19
Abul A‟la Al Maududi, Hak Asasi Manusia dalam Islam... ... h. 16.
65
serta haknya, ketimbang perspektif agama yang teosentris, yang menekankan peranan Tuhan dalam menentukan HAM.20 Dalam DUHAM, konsep HAM tidak secara langsung disandarkan pada pemberian Allah SWT yang mutlak, tetapi merupakan konsep yang disusun oleh manusia dan disetujui oleh manusia lain. Dengan demikian, seolah-olah HAM merupakan hak manusia yang dengan sendirinya sudah dimiliki manusia tersebut dan bukan merupakan anugerah Allah SWT. Selain itu, menurut Alwi Shihab, deklarasi PBB juga bersifat individualistik dan kurang menekankan pentingnya solidaritas dan kebutuhan orang banyak.
UDHR ini juga lebih menekankan hak daripada kewajiban,
padahal hubungan antara keduanya sangat erat sebagai contoh adalah kebebasan mengemukakan pendapat merupakan hak fundamental tiap manusia, tetapi kebebasan tersebut harus didampingi oleh tanggung jawab dan kewajiban untuk menuturkan yang benar. Berbeda dengan konsep HAM Barat, dalam Islam, hak asasi manusia dipandang sebagai anugerah Allah SWT yang diberikan kepada tiap manusia tanpa terkecuali dan tidak dapat dihilangkan atau diganti. Hal ini bukan merupakan pemberian dari seorang raja atau lembaga legislatif yang bisa dicabut kembali apabila dipandang perlu. Dengan demikian konsep HAM dalam Islam bersifat teosentris artinya menekankan peranan Tuhan dalam menentukan HAM. Karena HAM adalah hak yang diberikan oleh Allah, maka tak satupun lembaga
20
Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Jakarta: Mizan, 1999), h. 183.
66
atau negara di dunia yang berhak merubah hak-hak yang telah dianugerahkan Allah tersebut tanpa ada alasan yang jelas. Hak-hak tersebut merupakan bagian dari ajaran Islam, setiap manusia atau pemerintah yang mengaku sebagai muslim harus menerima, mengakui dan memberlakukan hak-hak asasi manusia tersebut. Konsep HAM dalam Islam lebih bersifat sosialis dan lebih menekankan kewajiban dan tanggung jawab daripada hak. Artinya, walaupun HAM bersifat fundamental dan dijunjung tinggi, ia tetap mengutamakan hak-hak orang banyak dan pengorbanan hak pribadi demi kebutuhan masyarakat. Sebenarnya, konsep tentang HAM sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Ini terbukti dengan terbentuknya Piagam Madinah yang menjelaskan pokok-pokok hubungan antara individu satu dengan individu lain dan masyarakat satu dengan masyarakat lain. Pada masa awal-awal di Madinah, langkah pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw adalah menyatukan masyarakat dan sekitarnya, yang terdiri dari beberapa suku dan agama. Langkah strategis ini melahirkan Piagam Madinah yang meletakkan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan masyarakat majemuk. Dalam piagam tersebut diatur hubungan antara sesama masyarakat dan antara umat Islam dengan masyarakat lainnya, seperti: 1.
Saling membantu dalam penanganan Wilayah Madinah.
2.
Membela warga yang teraniaya.
3.
Menghormati kebebasan beragama dan beribadah.
4.
Menjaga hubungan bertetangga dengan baik.
67
5.
Mangadakan musyawarah apabila terjadi sesuatu di antara mereka.21 Dengan demikian, dalam Islam kebebasan manusia tidak diberikan dengan
sebebas-bebasnya. Ada batasan-batasan tertentu yang mengatur antara hak pribadi dan hak masyarakat dan kebebasannya. Selama apa yang manusia lakukan tidak melanggar aturan syara‟ maka hal itu bisa diterima, namun apabila kebebasannya telah melanggar aturan syara‟ maka ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh manusia. Sebagai contoh adalah kebebasan beragama. Islam menghormati adanya kebebasan beragama, yang dalam al-Qur‟an dinyatakan dengan la ikraha fiddin (tidak ada paksaan dalam menganut suatu agama). Akan tetapi, Islam memberikan ancaman hukuman terhadap seorang muslim yang pindah agama, karena agama adalah masalah prinsip yang tidak bisa dibuat permainan. Perbedaan konsep HAM antara Barat dan Islam ini dapat menyebabkan timbulnya perbedaan persepsi mengenai HAM. Untuk itu negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam) menyusun sebuah deklarasi tentang HAM dalam Islam yang bersumber pada Al-Qur‟an dan Hadits. Deklarasi tersebut adalah Cairo Declaration (CD) yang dibentuk pada tahun 1990. Pada prinsipnya, menurut Alwi Shihab, Deklarasi Islam ini merupakan penyempurnaan dan pemberian nilai-nilai Islam terhadap Deklarasi universal
21
Munawir Sjadzali, dkk., HAM dan Pluralisme Agama, (Surabaya: Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), 1997), h. 79-80.
68
PBB. 22 Karena perbedaan perspektif antara HAM Barat dan Islam sering menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya. Walaupun beberapa deklarasi tentang HAM telah dibentuk, tetapi pada prakteknya masih banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan baik oleh suatu negara maupun oleh pribadi manusia. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman yang mendalam mengenai HAM, yang mengakibatkan nilai-nilai kemanusiaan kurang diresapi dalam jiwa setiap individu. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam pribadi manusia, dibutuhkanlah pemahaman HAM secara spiritual. D.
Pidana Mati ditinjau dari Hak Asasi Manusia dalam Hukum Positif Untuk memahami teks pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik tentang hukuman mati, PBB juga mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty) melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984). Pembatasan praktek hukuman mati tersebut antara lain: a) Di negara yang belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa berlaku bagi „kejahatan yang paling serius‟,23 yang kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekuensi yang sangat keji.
22
Alwi Shihab, Islam Inklusif ... ... h. 183
69
b) Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif (berlaku surut) pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Jika di dalam produk hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini yang harus diterapkan. c) Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun pada saat ia melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada orang yang cacat mental atau gila. d) Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian. e) Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair trial, paling tidak sesuai dengan Pasal 14. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk pada setiap kasus yang diancam hukuman mati, seorang terdakwa harus disediakan pembelaan hukum yang memadai. f) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat imperatif/wajib. 23
Manfred Nowak, “U.N. Covenant on Civil and Political Rights CCPR Commentary”, Revisi kedua,(N.P.Engel,2005), h. 15.
70
g) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan pengampunan, atau perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua jenis kejahatan. h) Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman. Dalam konvenan tersebut secara tidak langsung menolak hukuman mati terhadap pidana tertentu (termasuk pidana narkotika) dengan alasan HAM yang diungkapkan dengan bahasa memperketat hukuman mati. Jika dilihat dari pasal pasal konvenan tersebut ini memberikan pemembelaan pada terpidana. Jika pidana tersebut berkaitan dengan kejahatan narkotika maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keadilan terhadap korban diabaikan, melihat jumlah korban narkotika itu lebih banyak dari pada jumlah terpidana. Dengan kata lain kepentingan pribadi lebih diutamakan dari pada kepentingan umum. PBB juga mengeluarkan sebuah panduan berjudul “Jaminan Perlindungan bagi mereka yang menghadapi hukuman mati”, akan tetapi tidak mengeluarkan jaminan terhadap korban akibat tindak pidana terutama narkotika. Sedangkan hukuman mati pada pidana narkotika adalah memberikan jaminan terhadap korban atas hak-hak korban yang diambil oleh terpidana, sehingga konvenan HAM tersebut tidak bisa membatasi hukuman mati terhadap pidana narkotika atas dasar lebih menguntungkan terpidana dari pada korban narkotika. Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28 A dengan tegas menyebutkan bahwa,“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
71
kehidupannya”.24 Berikutnya UUD Pasal 28 I menyatakan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”25 Mengacu pada kedua ayat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya pandangan tentang hak-hak individu yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui apa yang dikenal oleh para filsuf dengan “Hukum Kodrat”, sebagaimana dijelaskan di atas, yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang (non-derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum, agama atau dalam situasi darurat. Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 menyebutkan : 1) Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia yang diberikan oleh Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
24
Bab XA Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28A Amandemen kedua UUD 1945
25
AmandemenKeduaUUD1945
72
2) Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya Hak Asasi Manusia.26 Mengacu pada pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa terpidana narkotika tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana kewajiban yang tercantum dalam pasal 1 ayat 1 undang-undang tersebut, yaitu melanggar hak hidup masyarakat umum yang dilindungi undang-undang. Sehingga terpidana narkotika dapat dikenai hukuman mati karena dianggap tidak berhak atas hak asasinya yaitu hak hidup. Selain itu pidana mati narkotika tidak bertentangan dengan HAM. Dengan alasan karena penderitaan dan kerugian yang diderita oleh korban (pengguna narkotika) biasanya mewarisi kerugian materiil dan immaterial, misalnya perasaan takut, sakit, sedih, kejutan psikis yang cukup mengkhawatirkan. Korban dari tindak pidana narkotika pada umumnya adalah remaja yang besar artinya bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia di Indonesia.
27
26
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
27
Wirasila, Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia, (Denpasar: Makalah Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009), h. 2.
73
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MK NO.2-3/PUU-IV/2007
A.
Analisa Pidana Mati Sebelum Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Kontroversi tentang diberlakukannya eksekusi mati terus saja berlangsung.
Rasanya debat itu tidak pernah habis sampai kapan pun. Pandangan yang kontra menganggap, bahwa hukuman mati tidak manusiawi, dan bukan merupakan hukum yang memperbaiki tingkah laku seseorang. Juga termasuk beberapa orang yang mengajukan permohanan kepada Mahkamah Konstitusi bahwa pidana mati adalah jenis pidana yang sangat tidak manusiawi. Kelompok ini berpendapat bahwa hak hidup adalah hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia yang sifatnya kodrati sebagai karunia Tuhan YME, yang tidak boleh dirampas, diabaikan atau diganggugugat oleh siapapun. Narapidana yang Sudah dieksekusi Mati Sebelum Putusan MK No. 23/PUU-IV/2007 NO
NO. PERKARA
NAMA TERDAKWA & WARGA NEGARA
JENIS DAN BARANG BUKTI
73
TANGGAL PUTUSAN
KETERANGAN
74
1.
2.
544/P//D.B/1994/PN.MDN
545/P//D.B/1994/PN.MDN
Ayodnya Prasad Chaubey WN India (Dieksekusi tgl 5 Agustus 2004)
Saelow Prased WN Thailand (Dieksekusi tgl 1 Oktober 2004
Heroin: 12,19 Kg
Heroin: 12,19 Kg
PN.08-091994 PT. 14 Desember 1994 MARI Kasasi: 2605-1995 MA PK 2802-1997
Tuntutan JPU: Mati Putusan PN: Mati Putusan PT: Mati Putusan MA: Mati
PN.08-091994 PT. 14 Desember 1994 MARI Kasasi: 2806-1995 MA PK 2310-1997
Tuntutan JPU: Mati Putusan PN: Mati Putusan PT: Mati Putusan MA: Mati
(Mengajukan Grasi)
(Dieksekusi tgl 5 Agustus 2004)
(Mengajukan Grasi)
(Dieksekusi tgl 1 Oktober 2004)
Contoh kasus pidana mati yang telah dieksekusi mati, bisa dilihat walaupun sebelum adanya putusan MK tersebut negara berani menindak tegas para pelanggar pelanyalahgunaan narkotika karena kejahatan tindak pidana narkotika adalah kejahatan kemanusiaan yang bertujuan membunuh dan memusnahkan umat manusia secara perlahan tapi pasti, sehingga dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Oleh karena itu, negara sudah tepat apabila pelakunya diancam dengan hukuman yang sangat berat termasuk mengeksekusi mati. Sekelompok masyarakat terutama para pejuang HAM ada yang bertentang dengan adanya putusan ini. Hal itu merujuk pada UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan TAP MPR No. VXII/MPR/1998, tentang sikap dan pandangan bangsa Indonesia
75
mengenai Hak-Hak Asasi Manusia, hal ini juga ditemukan dalam Amandemen ke-2 UUD 1945 pasal 28A yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Maka sebagai Hukum Dasar Tertinggi (Grundnorm), itu haruslah menjadi pedoman bagi segenap aturan hukum dibawahnya. Disamping itu berdasarkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tentang hak untuk hidup (Right to Life) menyatakan bahwa “Setiap manusia berhak untuk hidup dan mendapat perlindungan hukum dan tiada yang dapat mecabut hak itu”. Maka dengan demikian, hukuman mati jelas-jelas bertentangan dengan Kovenan Internasional tersebut, yang seharusnya segera dicabut oleh pemerintah Indonesia sebagai bentuk kewajiban negara dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi terhadap segenap warga negara sebagai mana telah diadopsi dalam pasal 28A Amandemen UUD‟45. Selain itu alasan umum yang sering dilontarkan orang-orang untuk menolak hukuman mati diantaranya adalah karena menganggap manusia tidak berhak mencabut nyawa manusia lain, urusan kematian dianggap urusan Tuhan. Ada juga alasan lain yang mengatakan bahwa setiap penjahat seharusnya diberikan kesempatan untuk bertobat. B.
Analisa Pidana Mati Sesudah Putusan MK No.2-3/PUU-IV/2007 Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Pidana mati adalah sanksi pidana atau vonis yang dijatuhkan pengadilan
sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya
76
yang dirasa berdampak sangat buruk bagi masyarakat, negara dan bangsa. Pada RUU KUHP Tahun 2013 pidana mati masih termasuk dalam pidana pokok akan tetapi bersifat khusus dan selalu diancam secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pidana mati tidak bertentangan dengan Agama, Pancasila dan UUD 1945, karena hak untuk hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun yang tercantum dalam Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 sesungguhnya didasarkan atas argumentasi bahwa hidup mati seseorang memang telah ditentukan oleh Tuhan, tetapi cara untuk hidup dan cara untuk matinya ditentukan oleh orang tersebut karena Tuhan telah memberikan pilihan-pilihan dan acuan-acuan dalam menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, ketika seseorang dijatuhi pidana mati oleh negara atas kejahatan yang diatur dalam UU narkotika, tidak berarti bahwa negara yang menentukan hidup matinya seseorang, melainkan bahwa orang tersebut telah menentukan sendiri secara sadar cara untuk matinya. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika pada BAB XV menjelaskan mengenai ketentuan pidana, disebutkan dalam undang-undang tersebut bahwa mengenai sanksi hukum terhadap tindak pidana narkotika. Sanksi yang
77
dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana narkotika itu terdiri dari beragam jenis sanksi pidana, yaitu pidana penjara, hukuman denda, dan hukuman pidana mati.1 Adanya
beragam
jenis
sanksi
pidana
yang
dijatuhkan
terhadap
penyalahgunaan atau pelaku kejahatan peredaran gelap narkotika dan precursor narkotika sangat terkait pada jenis dan golongan narkotika. Jadi setiap sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana narkotika dibedakan menurut golongan dari narkotika itu sendiri. Narkotika sebagaimana dimaksud di dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:
1. Narkotika Golongan I Narkotika yang hanya dapat dipergunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (contohnya: heroin, ektasi, kokain, ganja, shabu-shabu dan lain-lain). 2. Narkotika Golongan II Narkotika berkhasiat untuk pengobatan guna sebagai pilihan terakhir dan dapat dipergunakan dalam terapi atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
1
Indra Saputra, Skripsi Dengan Judul Analisis Putusan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Mati Kepada Pelaku Tindak Pidana Narkotika, (Bandar Lampung: Fakultas Hukum, 2014), h. 25.
78
tinggi mengakibatkan ketergantungan, (contohnya: morfin, petidin, metadon dan lainlain). 3. Narkotika Golongan III Narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan
ilmu
pengetahuan
serta mempunyai
potensi
ringan
mengakibatkan ketergantungan, (contohnya: kodeina, nikokodina, norkodeina dan lain-lain). Jenis-jenis dan golongan narkotika tercantum pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062 Lampiran I Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang secara rinci menjelaskan jenis-jenis golongan narkotika. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat beberapa pasal yang di dalamnya terdapat ancaman pidana mati. Sanksi pidana mati yang tercantum dalam Undang-Undang tersebut terdapat pada pasal-pasal sebagai berikut: Pasal 113 a.
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
79
b.
Dalam
hal
perbuatan
memproduksi,
mengimpor,
mengekspor,
atau
menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 114 1.
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
20
(dua
puluh)
Rp1.000.000.000,00
(satu
tahun
dan
miliar
pidana rupiah)
denda dan
paling paling
sedikit banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 2.
Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana
80
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 118 1.
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
2.
Dalam
hal
perbuatan
memproduksi,
mengimpor,
mengekspor,
atau
menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 119 1.
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
81
pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). 2.
Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 121 1.
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
2.
Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
82
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Hukuman mati selama ini digadang-gadang sebagai hukuman yang akan memberi efek jera paling efektif. Seseorang tentu akan berpikir ulang untuk melakukan kejahatan jika nyawanya jadi taruhan. Jika hanya diberi hukuman penjara atau sanksi denda, seseorang akan dengan mudah mengulangi lagi perbuatannya. Apalagi bagi orang yang memiliki jabatan dan uang. Hukuman kurungan atau denda tidak akan berarti besar. Penjatuhan pidana mati tidaklah dijatuhkan kepada sembarangan orang melainkan khusus kepada pelaku kejahatan khusus (extraordinary crime). Pelaku kejahatan khusus dianggap telah memperlihatkan dari perbuatannya bahwa ia adalah individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena itu harus dibuat tidak berbahaya lagi dengan cara dikeluarkan dari masyarakat atau pergaulan hidup.2 Pandangan yang menghendaki dihapuskannya pidana mati dengan alasan karena pidana mati bertentangan dengan filosofi pemidanaan di Indonesia, menurut Mahkamah Konstitusi, pandangan ini telah menyamaratakan semua jenis kejahatan dan sekaligus menyamaratakan pula kualitasnya. Yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah apakah dengan pemberlakuan pidana mati sertamerta berarti mengubah filosofi pemidanaan di Indonesia, yaitu rehabilitasi dan reintegrasi sosial pelaku 2
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), h. 105.
83
tindak pidana. Mahkamah Konstitusi berpendapat, filosofi tersebut adalah prinsip yang bersifat umum. Artinya, ia hanya berlaku terhadap kejahatan-kejahatan tertentu dan dalam kualitas tertentu yang memang masih mungkin untuk dilakukan rehabilitasi dan reintegrasi sosial pelakunya. Sehingga, penerapan pidana mati terhadap jenis dan kualitas kejahatan tertentu tidaklah serta-merta mengubah filosofi pemidanaan di Indonesia. Selain itu, dalam hukum pidana, sangatlah sulit untuk menghilangkan sama sekali adanya kesan retributif (pembalasan) pemidanaan itu karena aspek retributif tersebut memang melekat pada sifat sanksi pidana itu sendiri jika semata-mata dilihat dari perspektif orang yang dijatuhi sanksi pidana dan korban tindak pidana. Namun, kesan demikian akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali apabila pengenaan suatu sanksi pidana, termasuk pidana mati, dilihat dari perspektif upaya untuk mengembalikan harmoni sosial yang terganggu sebagai akibat dari adanya suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati. Dengan demikian, pendapat para Pemohon dalam permohonan a quo yang mengatakan teori balas dendam “ an eye for an eye ” (vergeldingstheorie, lex taliones) dengan adanya ancaman pidana mati dalam UU Narkotika mendapatkan legitimasi, sehingga bertentangan dengan tujuan pemidanaan di Indonesia, tidaklah tepat. Ahli dari BNN Brigjen Pol (Purn) Jeane Mandagi, S.H., menyatakan bahwa masalah narkotika bukan saja masalah nasional suatu negara, tetapi merupakan maslah internasional dari semua negara di dunia, maka mayoritas anggota PBB telah
84
menyepakati United Nation Convention Against the Illicit Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substan tives tahun 1988 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 1997 dan UU Nomor 22 Tahun 1997 merupakan penjabaran lebih lanjut dari konvensi tersebut. Sudah barang tentu, sebagaimana konvensi pada umumnya, beratnya hukuman atas kejahatan aquo diserahkan kepada masing-masing negara dan Indonesia mencantumkan hukuman mati dalam UU Narkotika yang karena masih berlaku, maka adalah sah. Hukuman mati mungkin tidak akan mengakhiri segalanya. Tapi ada kemungkinan bagi si pelaku untuk mengulangi perbuatannya adalah nol persen. Sementara orang lain yang berencana untuk melakukan kejahatan yang sama akan berpikir ulang untuk melanjutkan aksinya karena contoh terhukum mati sudah ada. Bagi kalangan yang menentang pidana mati berpendapat bahwa pidana mati berlawanan dengan UUD 1945 dan UU No.39 tentang Hak Asasi Manusia. Hak hidup dijamin dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Dasar hukum yang menjamin hak untuk hidup di Indonesia juga terdapat dalam Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 UU HAM menyatakan, hak untuk hidup; hak untuk tidak disiksa; hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani; hak beragama; hak untuk tidak diperbudak; hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum; dan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
85
Jaminan hak hidup juga dinyatakan secara tegas dalam Pasal 9, yang berbunyi: (1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya, (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin, (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam Penjelasan Pasal 9 UU HAM dikatakan, bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa, yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati. Maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi. Penjelasan Pasal 9 UU HAM, diketahui bahwa dalam kondisi tertentu seperti pidana mati, hak untuk hidup dapat dibatasi. Pertanyaannya, apakah hukuman mati bagi pengedar Narkoba dibenarkan dan masuk dalam batasan keadaan yang sangat luar biasa? Sebagaimana penjelasan Pasal 9 UU HAM merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengujian Pasal 80 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang memuat sanksi pidana mati terhadap UUD 1945, MK dalam putusannya pada 30 Oktober 2007 menolak uji materi hukuman mati dalam UU Narkotika dan menyatakan bahwa hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945, karena
86
jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak menganut asas kemutlakan. Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain, demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Berdasarkan putusan MK, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen Undang-Undang, yakni Hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan. Alasan lain pertimbangan putusan MK salah satunya karena Indonesia telah terikat dengan konvensi internasional Narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam UU Narkotika. Sehingga, menurut putusan MK, Indonesia berkewajiban menjaga dari ancaman jaringan peredaran gelap Narkotika skala internasional, yang salah satunya dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal. Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extra ordinary) sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal. Salah satu perlakuan khusus itu, menurut MK, antara lain dengan cara menerapkan hukuman berat yakni pidana mati. Dengan menerapkan hukuman berat melalui pidana mati untuk kejahatan serius seperti Narkotika, MK berpendapat, Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Bahkan MK menegaskan, Pasal 6 ayat (2) ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang
87
paling serius. Dalam pandangan MK, hukuman mati telah sejalan dengan Konvensi PBB 1960 tentang Narkotika dan Konvensi PBB 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights, dan UU HAM. Ancaman hukuman mati dalam UU Narkotika telah dirumuskan dengan hati-hati dan cermat, tidak diancamkan pada semua tindak pidana Narkotika yang dimuat dalam UU tersebut. Lebih lanjut, melihat pada UU HAM, MK memandang bahwa UU itu juga mengakui adanya pembatasan hak asasi seseorang dengan memberi pengakuan hak orang lain demi ketertiban umum. Dalam hal ini, MK menganggap hukuman mati merupakan bentuk pengayoman negara terhadap warga negara terutama hak-hak korban. Secara yuridis, hukuman mati menemukan sandarannya dan konstitusional dalam sistem hukum di Indonesia. Setelah MK memutuskan hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945. Secara sosiologis, hukuman mati terhadap produsen dan pengedar Narkoba menurut penulis masih bisa dibenarkan, mengingat masa depan kehidupan bangsa. Hukuman mati ini apabila dilihat dari UU No.39 Tahun 1999, (sepertinya) suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia, karena telah merampas hak untuk hidup seseorang. Namun jika dilihat dari sudut kepentingan bangsa, seorang pengedar Narkoba telah merenggut berjuta-juta hak asasi manusia, khususnya generasi muda penerus generasi bangsa. Secara perlahan produsen dan pengedar Narkoba telah melakukan „Pembunuhan‟ atau „merampas hak hidup‟ para penggunanya secara sistematis dan terencana. Tidakkah merampas hak hidup orang
88
lain yang dilakukan produsen dan pengedar Narkoba, bukan dari pelanggaran HAM? Ataukan pembunuhan terencana dan sistematis melalui Narkoba bukan kejahatan kemanusiaan serius yang layak diganjar hukuman maksimal? Hak untuk hidup tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan undang-undang, sehingga tidak secara serta merta Hak untuk hidup dapat melanggar hak orang lain terutama dalam skala besar hak dari masyarakat. Perbuatan produsen atau pengedar Narkoba menurut penulis, berdampak sistemik, bertentangan dengan prinsip dasar keadilan sosial serta mengakibatkan terganggunya tatanan tertib sosial serta konstitusi negara. Inilah yang menurut penulis menjadi alasan dasar, keberadaan pidana mati bagi produsen atau pengedar Narkoba, tetap dipertahankan meskipun menuai pendapat pro dan kontra terhadap pelaksanaanya.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan, yaitu: 1.
Implementasi Pidana Mati sebelum adanya Putusan MK No.2-3/PUUIV/2007 negara menjalankan pidana mati sangat tidak manusiawi karena bertentangan dengan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM (Hak Asasi Manusia) dan TAP MPR No. VXII/MPR/1998, tentang sikap dan pandangan bangsa Indonesia mengenai Hak-Hak Asasi Manusia, dan juga terdapat pada Amandemen ke-2 UUD 1945 pasal 28A yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
2.
Implementasi Pidana Mati setelah adanya Putusan MK No.2-3/PUUIV/2007 Mahkamah Konstitusi (MK) dan negara berani mengambil tindak tegas yaitu menjalankan pidana mati bagi para produsen, pengedar dan penjual narkotika karena telah memberikan efek yang sangat merugikan bagi umat manusia dan tidak bertentangan dengan Undang-undang HAM serta merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengujian Pasal 80 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang memuat sanksi pidana mati terhadap UUD 1945.
3.
Penjatuhan pidana mati kepada penyalahgunaan Narkotika sangatlah sesuai dengan Undang-Undang di Indonesia karena pidana mati tidaklah
89
90
bertentangan dengan Konstitusi Negara Indonesia dan masih layak dipertahankan keberadaannya dalam hukum pidana positif dan juga sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat dan Negara baik dalam bentuk
preventif
maupun
represif
demi
mencapai
tujuan
yaitu
kemaslahatan umat manusia. B.
Saran 1.
Seharusnya Negara harus berani mengambil tindak tegas dengan cara menghukum mati bagi para pengedar Narkotika dan dalam rencana pembaharuan Undang-Undang Pidana di Indonesia, baik tim perumus RUU KUHP maupun tim perumus Undang-Undang bernuansa HAM, perlu duduk bersama untuk berani memutuskan dan Indonesia tetap memasukkan pidana mati dalam KUHP dan non-KUHP dan konsisten dalam pelaksanaannya.
2. Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara narkotika hendaknya memperhatikan ancaman pidana pasal yang dipakai untuk mengadili perkara yang bersangkutan, agar tidak terjadi disparitas dalam putusan perkara narkotika. Penjatuhan putusan perkara narkotika oleh hakim yang memeriksa dan mengadili, hendaknya profesional terhadap siapapun
yang
terlibat
dalam
tindak
kejahatan
narkotik.
91
Daftar Pustaka
Buku-Buku Al-Qur’an Al Karim Abidin, A.Z, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983. Asshidiqie, Jimly dan Hafid Abbas, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007. Audi, Robert dalam Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusikonstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005. Azizy, A. Qodri Abdullah , Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta; Kajian Historis Normative, dalam Ismail SM dan Abdul Mukti. (ed.) Pendidikan Islam Demokratisasi dan Masyarakat Madani Cet I, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000. Bangun, Nata Sukam, Eksistensi Pidana Mati Dalam Sistem Hukum Indonesia, 2014. Boisard, Marcel A, Humanisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2000. Bungin, M. Burhan, Penelitian Kualitatif , Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Abdoel Djamali, R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), Jakarta: Rajawali Pers, 2005. Gautama, Sudargo, Pengertian tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni, 1973. Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 2010. Hamzah, Andi dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini dan di Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985. Hartono, C.F.G. Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke20, Bandung: Alumni, 1994. Hidayat, Syamsul, Pidana Mati di Indonesia, Yogyakarta: Genta Press, 2010.
1
2
Ibrahim, Johny, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2008. Ilyas, Amir dan Yuyun Widaningsih, Hukum Korporasi Rumah Sakit, Yogyakarta: 2010.
Irmansyah, Rizky Ariestandi, Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013. Ismail, Al-Hasani, Nadlriyyah al-Maqashid ‘Inda al-Imam Muhammad athThahir bin Asyur, Cairo: IIIT, 1995. Jonkers, J.E, Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: PT. Bina Akasara, 1987. Lemaire, W.L.G, Het Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie vergeleken met het Ned. W.v.S, Batavia Centrum: Noordhof Kolff, 1934. Lopa, Baharudin, Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Dasar Bhakti Primayasa, 1996. Lubis, M. Solly, ”Hak-hak Asasi Menurut Undang-undang Dasar 1945”, dalam Padmo Wahjono (ed.), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985. Lubis, Todung Mulya dan Alexander Lay, Kontrovesi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009. Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004. Marlina, Hukum Penitensier, Bandung: Refika Aditama, 2011.
Marpaung, Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2005. Maududi, Abul A’la, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1985. Naning, Ramdlon, Gatra Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1982. Nawawi, Arief barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2005.
Nowak, Manfred, “U.N. Covenant on Civil and Political Rights CCPR Commentary”, Revisi kedua, N.P.Engel, 2005. Poerwadarminta, W.J.S, ” Kamus Umum Bahasa Indonesia”, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976. Prakoso, Djoko Hukum Penitensir Di Indonesia, Bandung: Armico, 1988.
3
Prinst, Darwin, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakkan Hak Asasi Manusia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001. Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2007. Sahetapy, J.E, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: CV Rajawali, 1982 -----------------, Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung: Alumni, 1979. Saleh, Ruslan, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1983. Saputra, Indra, Skripsi Dengan Judul Analisis Putusan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Mati Kepada Pelaku Tindak Pidana Narkotika, Bandar Lampung: Fakultas Hukum, 2014. Setiardjo, A. Gunawan, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Jakarta: Mizan, 1999. Sjadzali,
Munawir, Nurcholis Madjid, dkk., HAM dan Pluralisme Agama, Surabaya: Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), 1997.
Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992. Soenarjo, R. H. A Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemahan Al-Qur’an, 1989. Soemantri, Sri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1992. Soesilo, R, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politea, 1960. ------------, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Bogor: Politea, 1979. Sudjana, Eggi, Ham dalam perspektif Islam, Mencari Universalitas HAM bagi Tatanan Modernitas yang Hakiki, Jakarta: Nuansa Madani, 2000. Suseno, Franz Magnis, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001. Ubaidillah, A. Dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education), Jakarta : IAIN Jakarta Press, 2000. Utrecht, E, Hukum Pidana I, Bandung: Universitas, 1968. Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2009.
4
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Internet http://herliady.blog.friendster.com/efektivitas-hukuman-mati/ http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl441/hukuman-mati http://news.okezone.com/read/2015/04/28/337/1141582/84-negara-kecuali-indonesiayang-hapus-hukuman-mati http://kasmanpost.blogspot.com/2007/02/sejarah-ham