eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (3): 679-692 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2013
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH PEMERINTAH CINA DALAM KASUS HUKUMAN MATI
Atika Ariani1 NIM: 0702045035
Abstract In 1998, the China government has signed the ICCPR (International Covenant on Civil and Political Right) arrangein which human rights issues relating to the right to life, but until 2012 the China governments stillreluctanttoratificationtheICCPR convention. That giving rise tothe reaction of the international people out cry because the Chinagovernment many executions that caused China to be a country that accounts for the world's biggest victim of the death penalty. There a reseveral factors that cause the China government still to maintain the death penalty sentence, of which there are internal and external factors. The internal factors are a history and culture of China, communism and China patterns of thought leaders, political and social stability in China. The external factor is a China consequence of external factors in ratifying the ICCPR. Keywords: China, ICCPR, Death Penalty Pendahuluan Isu pelanggaran HAM kini menjadi salah satu agenda utama dalam pembahasan dunia internasional yang kemudian agenda tersebut kian menguat hingga saat ini, lahirnya konvensi ICCPR memberikan suatu titik terang terhadap negara-negara peserta dalam melaksanakan hak-hak sipil dan politik yang termasuk didalamnya hak untuk hidup, batas-batas pemberlakuan terhadap hukuman mati yang termasuk didalamnya keringanan terhadap negara peserta yang masih belum menghapuskan hukuman mati didalam konstitusi domestiknya, keringanan terebut berupa pemberlakuan hukuman mati hanya pada kejahatan yang paling serius saja.
1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. E-mail:
[email protected]
eJournal Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013: 679-692
Cina adalah negara yang telah menandatangani ICCPR pada tahun 1998, walaupun pemerintah Cina sudah menandatanganinya akan tetapi dari laporan Amnesty Internasional, Cina adalah negara terbesar yang masih memberlakukan hukuman mati dan tindakan ini menyebabkan Cina dikecam oleh dunia internasional karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Dalam konstitusi negara Cina, yang terdapat dalam People’s Republic of China, sejak tahun 1997 setidaknya terdapat lebih dari 50 Pasal yang memidana mati. (http://en.chinacourt.org )Seperti menganiaya dan melawan sangsi, mencuri barang bersejarah, menurunkan moral pasukan, pencurian senjata, memimpin atau membantu tahanan kabur dari penjara, tindakan kriminal yang membahayakan negara, mengajarkan metode kriminal berbahaya kepada orang lain, merebut properti publik atau pribadi dengan paksa, beberapa jenis prostitusi, produksi dan menjual obat-obat palsu yang berbahaya. Di Cina hukuman mati dilakukan dengan cara ditembak di bagian belakang kepala dengan satu peluru dari jarak dekat di muka umum setelah beberapa saat vonis diputuskan. Namun dalam perkembangannya hukuman mati yang dilakukan dengan cara tersebut menjadi kurang efisien dan mahal, karena terdakwa tidak langsung meninggal namun mereka harus merasakan sakit sebelum meninggal dan juga bagi keluarga terdakwa mereka harus membayar peluru yang digunakan. Pada tahun 2007 pemerintah Cina mulai mengembangkan suatu metode baru yang lebih baik, efisien, murah dan dianggap lebih manusiawi bagi pemerintah Cina, (http://www.eai.nus.sg )yaitu dengan cara suntik mati yang berisi tiga macam cairan yaitu Sodium Thiopental untuk membuat tidak sadarkan diri,Pancuronium Bromide untuk menghentikan nafas dan Pottassium Chloride untuk menghentikan kerja jantung, dilakukan dengan tangan terikat diatas tempat tidur di dalam bus eksekusi yang memang khusus dirancang pemerintah untuk eksekusi terhadap terdakwa hukuman mati. Data dari Amnesty International, tercatat pada tahun 2009 pemerintah Cina telah melakukan hukuman mati sebanyak 1000 orang dengan rincian pelanggaran yang tidak disebutkan oleh pemerintah Cina.(http://www.amnesty.org) Bagi pemerintah Cina pemberlakuan hukuman mati tersebut dianggap sebagai hukuman yang sangat efektif untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan. Namun kebijakan tersebut secara tidak langsung mengakibatkan angka kematian penduduk menjadi cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Karena tingginya angka kematian akibat hukuman mati ini, maka banyak negara-negara yang mengecam tindakan Cina tersebut. Kebijakan Cina tersebut bagi sejumlah negaradianggap bertentangan dengan Hak Asasi Manusia khususnya hak untuk hidup secara layak. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan alasan-alasan mengapa pemerintah Cina masih memberlakukan hukuman mati walaupun banyak tekanan dari dunia internasional dan alasan-
680
Pelanggarana Hak Asasi Manusia Pemerintah China Kasus Hukuman Mati (Atika Ariani)
alasan mengapa pemerintah masih enggan untuk meratifikasi ICCPR hingga tahun 2012 walaupun telah menandatanganinya pada tahun 1998 1. Konsep Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya didalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, atau kelamin, dan karena itu bersifat asasi dan universal. Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.( Prof Miriam Budiarjo, 2006 : 120 ) Dalam UniversalDeclaration of Human Rightsyang terdapat 5 jenis hak asasi yang dimiliki setiap individu, yaitu hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi), hak legal (hak jaminan perlindungan hukum), hak sipil dan politik, hak subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan), hak ekonomi, sosial dan budaya. Dari kelima hak tersebut yang sesuai untuk penelitian adalah mengenai hak sipil dan politik Dalam Universal Declaration of Human Rights, hak-hak sipil dan politik mencakup antara lain : ( Prof Miriam Budiarjo, 2006 : 126 ) Pasal 6 : Right to life ( hak untuk hidup) Pasal 9 : Right to liberty and security of person ( hak atas kebebasan dan keamanan dirinya ) Pasal 14 : Right to equality before the courts and tribunals ( hak atas kesamaan dimuka badan peradilan ) Pasal 18 : Rights to freedom of thought, conscience, and religion ( hak atas kebebasan berfikir, mempunyai conscience, beragama ) Pasal 19 : Right to hold opinions without interference ( hak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan ) Pasal 21 : Right to peaceful assembly ( hak atas kebebasan berkumpul secara damai ) Pasal 22 : Right to freedom of association ( hak untuk berserikat ) Kemudian dalam Universal Declaration of Human Rightdalam pasal 3UniversalDeclaration of Human Right, disebutkan bahwa hak-hak tersebut telah dijamin oleh dunia internasional dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun termasuk oleh negara. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hak hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh deklarasi universal hak asasi manusia dan tidak mendapat atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
681
eJournal Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013: 679-692
1. Teori Pengambilan Keputusan (Decision Making Theory) Proses pengambilan keputusan secara sederhana didefinisikan sebagai satu langkah dalam memilih berbagai alternatif yang ada. Dalam teori pengambilan keputusan, para pengambil keputusan (decision makers) menganggap pandangan tentang dunia dari sudut tertentu (the world as vowed) lebih penting dibandingkan dengan realitas objektif itu sendiri. Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan tertentu, yang dilakukan oleh seseorang aktor atau beberapa aktor berkenaan dengan suatu masalah. Tindakan para aktor kebijakan dapat berupa pengambilan keputusan yang biasanya bukan merupakan keputusan tunggal, artinya kebijakan diambil dengan cara mengambil beberapa keputusan yang saling terkait dengan masalah yang ada. Pengambilan keputusan yang dapat diartikan sebagai pemilihan alternatif terbaik dari beberapa pilihan alternatif yang tersedia. Salah satu model teori pengambilan keputusan yang terkenal adalah model Richard Snyder (1960). Model ini menjelaskan bahwa terdapat sejumlah variabelvariabel kunci yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan politik luar negeri antara lain internal dan external setting yang kemudian didefinisikan sebagai faktor-faktor dan kondisi yang secara potensial berperan dalam mempengaruhi tindakan suatu negara. External setting ini secara umum meliputi faktor dan kondisi di luar batas negara, aksi dan reaksi dari negara lain (pembuatan keputusan mereka) dan kondisi masyarakat diluar negara serta situasi di dunia. Sementara itu, internal setting meliputi faktor-faktor dan kondisi, seperti politik domestik, opini publik atau posisi geografis. Metode Penelitian Penelitan ini menggunakan tipe Normatif, yaitu penelitian yang berupayauntuk menyesuaikan keadaan hukuman mati di Cina dengan nilai-nilai ICCPR. Data – data yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis data sekunder yaitu data – data yang diperoleh dari buku – buku, majalah, tabloid, artikel, jurnal, internet, dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif Pembahasan Hukuman mati di Cina memiliki sejarah yang panjang dan dianggap sebagai perlengkapan permanen dari sisi peradilan pidana baik sebelum pembentukan RRC ataupun sesudah pembentukan RRC pada tahun 1949 dan diterapkan pelaksanaannya hingga saat ini. Pada saat ini hukuman mati adalah bagian integral dari sistem hukum dan dijatuhkan untuk berbagai pelanggaran. Mao melihat penerapan hukuman mati sebagai suatu keharusan atau kebutuhan. Dalam konstitusi Cina 1957 dijelaskan bahwa : “kami mempertahankan hukuman mati, sementara dalam proses secara bertahap akan menghapuskannya dan kita akan mengurangi ruang lingkup penerapan hukuman mati ” (http://www.jstor.org) Mao melihat tujuan dari menghukum penjahat dapat dibagi menjadi tiga yaitu: 682
Pelanggarana Hak Asasi Manusia Pemerintah China Kasus Hukuman Mati (Atika Ariani)
untuk menghukum dan merubah penjahat, untuk mencegah dan memberi pelajaran bagi penjahat dan sebagai pelajaran bagi masyarakat Cina lainnya.Mao melihat hukuman mati terutama sebagai alat yang dapat digunakan sebagai melawan kontrarevolusioner dan menekan kejahatan yang ada di Cina. Kemudian hukuman mati terus berlanjut pada masa Deng Xiao Ping, yang ditegaskan kembali pada tahun 1986 dengan mengatakan bahwa “hukuman mati tidak dapat dihapuskan, dan beberapa penjahat harus dihukum mati. Dia juga mengatakan bahwa beberapa penjahat yang tidak ingin bertaubat atau menolak untuk bertaubat harus dieksekusi mati, tapi tentu saja kita harus lebih hati-hati”. (http://www.jstor.org) Pada masa Deng Xiao Ping eksekusi hukuman mati dianggap sebagai sarana yang sangat penting dalam mendidik massa. Namun istilah mendidik ternyata tidak memberikan makna mendalam bagi masyarakat Cina, hingga akhirnya Deng mengubah semboyan tersebut menjadi “pencegahan umum”. Langkah selanjutnya, Deng juga mengkritisi pengadilan dan menganggap bahwa pengadilan terlalu lunak terhadap penjahat.Deng menyerukan penerapan hukuman mati yang lebih besar lagi terutama terhadap pejabat korupsi, pemilik usaha prostitusi, tukang sihir, buronan, dan orang yang menjadi provokator dalam demonstrasi.Tujuan Deng untuk membenarkan penerapan hukuman mati adalah sebagai alat retribusi untuk mencegah massa dan menyerukan agar para pelaku kejahatan harus segera dieksekusi, sehingga kemarahan massa pun akan reda. Pada awalnya pemerintah Cina (RRC) melakukan hukuman mati dengan cara ditembak dibagian kepala dalam jarak yang dekat dan dilakukan ditempat umum. Hal tersebut ditujukan agar masyarakat yang melihat dapat mengambil pelajaran dan membuat efek jera terhadap pelaku kejahatan lainnya, sehingga dapat meminimalisir tingkat kejahatan yang terjadi di Cina. Dalam perjalanannya, hukuman tembak mulai dianggap tidak manusiawi dan kejam.Kemudian sejak tahun 1997, Cina telah mengembangkan suatu metode baru yaitu suntik mati.Langkah serius tersebut ditindaklanjuti dengan kebijakan dari pemerintah Cina yang menyediakan bus eksekusi yang didalamnya mirip dengan sebuah kamar operasi yang dilengkapi dengan beberapa peralatan canggih. Proses eksekusi direkam kamera dan dapat disaksikan langsung oleh pejabat setempat dan masyarakat melalui layar monitor diluar bus. Terdakwa akan diberikan obat penenang dalam tahanan dan digiring masuk kedalam bus dan kemudian ditelentangkan diatas sebuah tandu yang digerakkan oleh listrik. Tandu kemudian meluncur ketengah ruangan dimana telah menanti dokter yang akan menyuntikkan tiga macam cairan yaitu: Sodium Thiopental untuk membuat tidak sadarkan diri, Pancuronium Bromide untuk menghentikan nafas dan akhirnya Pottassium Chloride untuk menghentikan kerja jantung, namun dalam sebagian besar pelaksanaannya masih dilakukan oleh regu tembak. Tujuanpemerintah Cina untuk tetap mempertahankan penerapan hukuman mati yaitu untuk mengharmoniskan masyarakat Cina. Hal ini dianggap sebagai salah satu cara terbaik untuk menegakkan keadilan dan stabilitas sosial serta politik. 683
eJournal Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013: 679-692
Selain itu, hukuman mati juga berfungsi sebagai pengendali masyarakat dan mencegah kejahatan dan memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan dan menjadi pelajaran bagi masyarakat Cina lainnya. Dengan demikian akan tercipta jaminan dan kepastian perlindungan serta tata tertib. Disamping itu, bagi pemerintah Cina hukuman mati sangat perlu diberlakukan agar pemerintah negara terlihat berwibawa dihadapan rakyat dan sebagai penggerak roda pemerintahan. Pada tahun 1998 pemerintah Cina menandatangani konvensi ICCPR, ICCPR merupakan perjanjian internasional yang dibuat oleh antar negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional dan tidak mengandung ketentuan mengenai interpretasinya.Didalam ICCPR terdapat satu pasal yang memberikan keringanan bagi negara peserta yang belum bisa menghapuskan pidana hukuman mati, yang artinya ICCPR memberikan keringanan yaitu hanya kepada kejahatankejahatan yang paling serius saja, dan salah satunya adalah Cina. Bagi pemerintah Cina keikutsertaan Cina dalam penandatanganan ICCPR adalah sebagai salah satu pembuktian kepada masyarakat internasional bahwa pemerintah Cina terus berpartisipasi dalam perbaikan HAM internasional dan akan terus dikembangkan oleh pemerintah Cina, dan pemerintah Cina ingin terus berkerjasama dengan masyarakat internasional, serta memperkuat kerjasama internasional di bidang HAM, dan sepenuhnya mempromosikan dan melindungi HAM internasional. Dalam konstitusi Criminal Law of the People’s Republic of Chinatahun 1997 (http://en.chinacourt.org ), terdapat lebih dari 50 pasal yang dapat memidana mati para tersangka dan menjadi dasar tindakan pemerintah Cina.Dalam kontitusi Cina hukuman mati masih diberlakukan terhadap beberapa kejahatan yang dianggap serius bagi pemerintah Cina. Perbedaan pandangan terhadap “kejahatan paling serius” antara pemerintah Cina dan ICCPR serta pelaksanaan hukuman mati yang kurang baik di Cina menjadikan Cina sebagai negara penghasil korban hukuman mati terbesar di dunia. Menurut ICCPR kejahatan paling serius ditafsirkan untuk merujuk pada kejahatan yang mematikan atau kejahatan dengan konsekuensi yang sangat serius. Artinya bahwa tindak hukuman mati harus menjadi tindakan yang luar biasa. Kemudian komite HAM juga menjelaskan bahwa kejahatan yang tidak termasuk dalam kejahatan paling serius adalah kejahatan yang tidak membawa kematian, non kekerasan, kejahatan keuangan, penistaan agama non kekerasan, hubungan seksual antara orang dewasa, kemudian pelanggaran ekonomi seperti penggelapan uang yang dilakukan oleh pejabat, narkoba, perampokan, murtad, hubungan sesama jenis, dan penculikan yang tidak menyebabkan kematian. Bagi pemerintah Cina jenis kejahatan seperti pemerkosaan, perampokan, pengeboman, kejahatan yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum sehingga mengakibatkan kerusakan sosial sudah termasuk sebagai kejahatan yang paling serius.Dengan demikian dapatlah dilihat perbedaan standarisasi yang 684
Pelanggarana Hak Asasi Manusia Pemerintah China Kasus Hukuman Mati (Atika Ariani)
mencolok antara ICCPR dan Cina menjadi salah satu alasan tingginya korban hukuman mati di Cina. Keputusan Cina untuk tetap menjalankan hukuman mati meskipun pada tahun 1998 Cina pernah ikut serta dalam penandatangan kovensi ICCPR.Berdasarkan teori pengambilan keputusan, Richard C. Snyder menyebutkan bahwa setidaknya terdapat lingkungan internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi pembuatan keputusan yaitu dalam tindakan suatu negara. Lingkungan internal meliputi faktor-faktor dan kondisi seperti politik domestik, opini publik atau posisi geografis, sedangkan lingkungan eksternal secara umum meliputi faktor dan kondisi di luar batas negara, aksi dan reaksi dari negara lain. Berdasarkan pada kasus yang dialami oleh Cina, peneliti berargumen bahwa kebijakan Cina untuk mempertahankan pelaksanaan hukuman mati di dalam negeri juga turut dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari lingkungan internal seperti pengaruh sejarah dan budaya Cina, komunisme ( pola pemikiran pemimpin ), dan stabilitas sosial dan politik negara Cina. Selain dari lingkungan internal, terdapat juga faktor dari lingkungan eksternal yang turut mempengaruhi tindakan Cina seperti adanya pertimbangan terhadap konsekuensi dalam meratifikasi ICCPR. 1. Faktor Internal a. Sejarah dan Budaya Cina Jika dilihat dari sejarah panjang hukuman mati di Cina, sebagaimana yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, maka tidak mengherankan mengapa sampai saat ini Cina masih memberlakukan hukuman mati, hukuman mati masih dianggap hal yang masih dapat diterima bagi masyarakat Cina.Cina sendiri memiliki sejarah panjang dalam pelaksanaan hukuman mati.Hukuman mati di Cina telah dimulai sejak masa Kerajaan Dinasti Shang (1700-1027SM). Sistem perundang-undangan ini kemudian diadopsi oleh seluruh kerajaan dinasti setelahnya hingga masa Republik Nasionalis (Koumintang) dan masa RRC. RRC sendiri tetap membenarkan hukuman mati dengan alasan retribusi, pencegahan, dan ketidaksesuaian. Dipengaruhi oleh filosofi Cina tradisional yang mengatakan bahwa “hidup adalah untuk hidup”, “membunuh satu untuk memperingatkan ribuan” dan “bunuh ayam untuk memperingatkan monyet” menyebabkan pemikiran tersebut dipercaya dan tetap dijadikan landasan hingga saat ini serta dipercaya sebagai perwujudan dari kepercayaan retributif dan sebagai efek jera bagi pelaku kejahatan. Pengaruh sejarah pelaksanaan hukuman mati sangat mempengaruhi para pemimpin Cina hingga saat ini.Sehingga pemerintah Cina sangat sulit untuk menghapuskannya dalam konstitusi mereka.Disamping itu sepanjang sejarah RRC, hukuman mati telah digunakan sebagai alat untuk menekan kejahatan dan menjaga ketertiban sosial. Hal tersebut sangat diandalkan selama awal tahun 1950 untuk menekan kegiatan kontra-revolusioner, korupsi dan juga digunakan selama periode kampanye keras pemogokan dari tahun 1980 hingga saat ini dan dilaksanakan secara cepat dan sangat kejam.
685
eJournal Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013: 679-692
b. Komunisme dan pola pemikiran pemimpin Cina Pola pikir pemimpin negara Cina yang sangat berpengaruh seperti Mao dan Deng Xiao Ping. Pola pemikiran dari kedua pemimpin tersebut secara tidak langsung banyak berkontribusi dalam mempertahankan hukuman mati di Cina. Mao beranggapan bahwa hukuman mati adalah alat yang dapat digunakan untuk melawan kontrarevolusioner dan menekan kejahatan yang ada di Cina, serta bertujuan untuk menghukum dan merubah penjahat, untuk mencegah dan memberi pelajaran bagi penjahat dan pelajaran bagi masyarakat Cina lainnya. Dari pola pemikiran dan gerakan-gerakan perubahan yang dilakukan oleh Mao Zedong terlihat bahwa kepemimpinan Mao sangatlah berpengaruh terhadap jalannya kepemerintahan Cina sendiri, dapat dilihat dari gerakan anti sayap kanan yang dilakukan oleh Mao, Mao menagajak para intelektual Cina dan kelompokkelompok komunis untuk membantu PKC (partai komunis Cina) membenahi kinerja yang tidak baik. Gerakan ini terkenal dengan slogan ”gerakan ratusan bunga” yang merupakan kependekan dari ”biarkan seratus bunga bermekaran dan seratus aliran bersaing suara”. Tujuannya adalah membujuk ”elemen-elemen anti komunis didalam masyarakat”. Mao bermaksud untuk ”membujuk ular keluar dari lubangnya” dengan memberikan mereka kebebasan mengungkapkan pandangannya untuk membantu PKC memperbaiki diri. Akhirnya slogan-slogan yang diutarakan oleh Mao tersebut mendapat reaksi yang baik terhadap masyarakat Cina, dan mendorong masyarakat Cina untuk berbicara terbuka dan berjanji tidak membalas dendan. Namum hal tersebut hanyalah taktik yang dilakukan Mao untuk memperdaya masyarakat Cina termasuk petinggi-petinggi pemerintah serta lawan politiknya. Pada akhirnya PKC melancarkan gerakan anti sayap kanan, dan menyatakan bahwa 540.000 orang berani berbicara terbuka sebagai ”sayap kanan”. Akibatnya, 270.000 orang kehilangan jabatan di pemerintahan dan 230.000 orang digolongkan sebagai ”sayap kanan tengah” atau elemen anti sosialis”.(Sutopo, 2009 : 119) Taktik-taktik yang dilakukan Mao untuk memperdaya masyarakat Cina antara lain: 1. ”Membujuk ular agar keluar dari liangnya” ( mengelabui mereka yang berbeda pendapat untuk bicara). 2. ”Mengumpulkan kesalahan”, ”serangan mendadak”, ”satu kata menentukan bumi langit” ( menghukum orang tanpa prosedur yang absah) 3. Didepan umum mengatakan menyelamatkan orang, tetapi sebenarnya menyerang orang tanpa ampun. 4. Memaksa orang mengkritik diri sendiri hingga akhirnya terperangkap. Selanjutnya , ada beberapa gerakan tambahan yang dibuat oleh PKC seperti ”menceritakan rahasia pribadi kepada PKC”, menggali keluar garis keras, gerakan tiga anti baru, mengirim para intelektual ke pedalaman untuk melakukan kerja paksa, dan menangkap sayap kanan yang lolos diputaran pertama pemilu, serta siapapun yang tidak sepaham dengan pemimpin di tempat kerja akan diberi cap sebagai anti PKC. 686
Pelanggarana Hak Asasi Manusia Pemerintah China Kasus Hukuman Mati (Atika Ariani)
Mereka sering kali menjadi sasaran kritikan PKC atau mengirim mereka ke kamp kerja paksa untuk mendidik ulang. Kadang kala partai juga memindahan seluruh keluarga mereka ke daerah pedesaan atau melarang anak-anak mereka sekolah di universitas atau bergabung dengan angkatan bersenjata. Mereka tidak boleh melamar pekerjaan didaerah mereka tinggal. Seluruh keluarga akan kehilangan jaminan pekerjaan dan tunjangan kesehatan. Mereka telah dimasukan kedalam barisan petani dan menjadi orang buangan diantara warga negara kelas dua. Kemudian Mao melanjutkan gerakan-gerakan selanjutnya yaitu lompatan jauh ke depan, Mao beranggapan bahwa lompatan jauh ke depan adalah sebuah keputusan besar yang bisa membuat Cina menjadi negara kapitalis dalam waktu singkat, namun gerakan lompatan jauh kedepan ini tidaklah masuk akal dan tidak ada satupun masyarakat Cina yang berani bicara. Keputusan untuk mendukung rencana Mao atau tidak, membuat garis bawah antara menjadi seorang yang setia atau penghianat, dengan kata lain adalah garis antara hidup dan mati. Efek dari lompatan jauh kedepan tampak jelas ketika Cina mengalami bencana banjir dan masa kekeringan yang serius pada tahun 1959-1960. Akibatnya, jutaan orang Cina menderita kelaparan. Sepanjang tahun 1950 an, Cina telah melakukan program redistribusi tanah bagi penduduk Cina yang disertai program industrialisasi dibawah sistem kepemilikan negara. Namun program ini mengalami kegagalan dan menuai banyak bencana, dari sini dapat dilihat bahwa kekuatan PKC yang diperintah oleh Mao Zedong sangatlah mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang ada di negara Cina. Serupa dengan Mao, Deng Xiaoping juga beranggapan bahwa hukuman mati adalah sebagai sarana yang sangat penting dan dapat digunakan untuk mendidik massa, dan sebagai pencegahan umum serta sebagai alat retribusi untuk mencegah massa dan menyerukan agar para pelaku kejahatan harus dieksekusi. Dengan demikian maka kemarahan massa pun dapat diredakan dan dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat Cina lainnya. c. Stabilitas Sosial dan Politik Negara Cina Eksistensi hukuman mati sebagai kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan stabilitas sosial dan memberikan pidana bagi masyarakat yang dianggap membahayakan stabilitas sosial negara dan sebagai media bagi pemerintah untuk mengatasi dan mencegah kejahatan. Terbukti pada tahun 2009, Cina dengan cepat menindak dan dengan tegas pada kerusuhan di Otonomi Daerah Xinjiang Uighur ( XUAR), dan dalam kasus korupsi serta perdagangan narkoba. Bagi pemerintah Cina, pelaksanaan hukuman mati dapat dibenarkan karena mereka memiliki alasan serta tujuan yaitu sebagai retribusi (terutama didasarkan pada kemarahan publik), kemarahan publik dalam arti memberikan kepuasan kepada publik yang merasa kecewa atau merasa dirugikan oleh terpidana hukuman matiseperti koruptor. Koruptor di Cina dianggap sebagai sumber utama ketidakpuasan publik pada saat perekonomian negara sedang berkembang pesat 687
eJournal Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013: 679-692
dan memberikan kesempatan bagi pejabat negara untuk memanfaatkan kekuasaan mereka untuk mengambil keuntungan pribadi.Maka dari itu hukuman mati dianggap sebagai hukuman yang dapat mengurangi dan mampu memberikan efek jera kepada para koruptor yang bertujuan untuk memperbaiki stabilitas politik. Hukuman mati juga dianggap sebagai upaya pencegahan. Pencegahan yang dimaksud adalah untuk mengurangi tingkat kejahatan dan menunjukkan kepada masyarakat Cinabahwa pemerintah akan menindak tegas segala kejahatan yang melanggar konstitusi yang ada.Hal ini cukup beralasan dengan melihat tingginya tingkat pertumbuhan penduduk negara ini membuat tingkat kejahatan semakin tinggi. Maka berdasarkan argumen tersebutmenyebabkan pemerintah Cina sangat sulit menghapuskan hukuman mati. Bagi pemerintah Cina tindak pidana hukuman mati bertujuan untuk mengharmonisasikan masyarakat Cina.Hukuman matidiyakini sebagai salah satu cara terbaik untuk menegakkan keadilan dan stabilitas sosial serta politik, sebagai pengendalian masyarakat dan mencegah kejahatan dan sebagai efek jera terhadap pelaku kejahatan dan diharapkan menjadi pelajaran bagi masyarakat Cina lainnya.Dengan demikian akan tercipta jaminan dan kepastian perlindungan serta tata tertib dalam berbangsa dan bernegara. Selain itu, hal ini juga ditempuh agar pemerintah serta negara terlihat berwibawa dihadapan rakyat atau sebagai penggerak roda pemerintahan.Dengan adanya tujuan dan alasan ini menjadi salah satu alasan pemerintah Cina membenarkan tindak pidana hukuman mati di Cina masih di pertahankan hingga saat ini 2. Faktor Eksternal a. Konsekuensi Cina dalam Meratifikasi ICCPR Cina telah menantadangani konvensi ICCPR pada tanggal 5 Oktober 1998. Tindakan ini dilakukan oleh Cina karena adanya tekanan dari dunia internasional pada saat itu yang memaksa pemerintah Cina untuk berpartisipasi dalam konvensi tersebut. Pemerintah Cina didesak untuk berusaha memperbaiki permasalahan HAM yang ada dinegaranya. Namun hingga tahun 2012, pemerintah Cina masih enggan meratifikasi konvensi ICCPR. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang ada di dalam negari Cina. Enggannya pemerintah Cina untuk meratifikasi ICCPR dikarenakan pertimbangan mengenai besarnya konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah Cina. Pertama jika pemerintah Cina meratifikasi ICCPR maka pemerintah Cina memiliki kewajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah diratifikasi ke dalam perundang-undangan domestik baik yang dirancang maupun yang telah diberlakukan sebagai konstitusi negara. Kedua, pemerintah Cina harus mengambil langkah-langkah dan kebijakan dalam melaksanakan kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hakhak asasi manusia. Ketiga, Cina diharuskan untuk membuat laporan yang berhubungan dengan penyesuaian hukum, langkah-langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan maupun hasil-hasil yang telah dicapai dalam 688
Pelanggarana Hak Asasi Manusia Pemerintah China Kasus Hukuman Mati (Atika Ariani)
implementasi perjanjian tersebut kepada badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) khususnya Komite yang memiliki wewenang dalam meninjau perjanjian tersebut. Jika pemerintah Cina meratifikasi ICCPR, hal tersebut membuat negara Cina harus berkomitmen terhadap isu-isu perlindungan HAM karena harus terikat secara hukum. Oleh karena itu maka pemerintah Cina akan menghadapi tantangan yang dengan berbagai persoalan yaitu: Pertama, pemerintah Cina harus melakukan reformasi hukum dengan menerjemahkan prinsip dan ketentuan yang terkandung dalam ICCPR ke dalam hukum nasional. Berbagai peraturan perundang-undangan yang tak sesuai dengan ICCPR harus dicabut dan direvisi. Dengan kata lain, pemerintah Cina harus menghapuskan tindak hukuman mati dalam konstitusi negara Cina dan pada akhirnya tindak hukuman mati tidak menjadi hukuman yang legal. Sedangkan bagi pemerintah Cina sendiri hukuman mati merupakan alat dalam menjalankan stabilitas sosial dan politik. Hal ini tentu saja dianggap efektif menekan kejahatan, baik kejahatan yang bersifat kekerasan maupun non kekerasan. Selain itu, hukuman mati juga dianggap mampu memberikan efek jera kepada penjahat serta memberikan pelajaran bagi masyarakat Cina lainnya agar tidak melakukan kejahatan serupa. Kedua, Cina diwajibkan untuk mengimplementasikan berbagai peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada ICCPR. Persoalan yang kemudian akan dihadapi adalah bagaimana aparat penegak hukum (law enforcement officials) memahami berbagai peraturan perundang-undangannya. Tanpa pemahaman yang memadai bagi aparat penegak hukum, maka akan sulit dibayangkan efek ICCPR bagi setiap orang. Sebagai contoh, setelah negara Cina meratifikasi CAT (konvensi menentang penyiksaan) pada 4 oktober 1988, dalam pelaksanaannya aparat negara cenderung gagal memperlakukan para tersangka secara manusiawi. Seperti tersangka disiksa agar mengakui kesalahan yang belum tentu benar dilakukan. Dalam penegakan hukum seharusnya ditetapkan standar minimumnya, terutama dalam penggunaan kekuatan dan senjata api. Di sinilah pentingnya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan profesionalisme melalui pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum untuk melindungi hak-hak setiap orang yang dirampas kemerdekaannya karena suatu tindak pidana. Ketiga, pemerintah Cina harus melakukan sosialisasi atas ICCPR yang telah diratifikasi, sehingga banyak orang akan mengetahui apa saja hak-hak sipil dan politik yang seharusnya dinikmati. Beberapa hal tersebut menjadi alasan mengapa pemerintah Cina masih enggan meratfikasi ICCPR. Disamping konstitusi Cina yang masih bertentangan dengan ICCPR lemahnya konvensi ICCPR pun menjadi alasan penting pemerintah Cina belum meratifikasi, 689
eJournal Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013: 679-692
ICCPR adalah perjanjian yang tidak mengikat serta tidak memberikan sangsi kepada negara peserta yang belum meratifikasi sehingga ICCPR hanya bersifat himbauan untuk meratifikasi dan tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat. Dalam pasal 6 ayat 2 ICCPR menyatakan bahwa : “Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan kovenan dan konvensi tentang pencegahan dan hukum kejahatan genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang”. Banyak perdebatan ketika mempertimbangkan penggunaan hukuman mati di Cina pada intrepetasi “kejahatan paling serius” pada saat penyusunan ICCPR dan khususnya pasal 6. Negara abolisionis dan perancang menganggap hukuman mati bisa dibenarkan dalam keadaan khusus. Sehubungan dengan penafsiran untuk kejahatan yang paling serius, komite ICCPR sendiri tidak dapat memberikan suatu penafsiran yang mutlak dan definisi yang jelas serta tidak memberikan daftar pelanggaran yang termasuk kedalam kejahatan yang paling serius. ICCPR juga tidak memberikan kewenangan mengenai batas-batas kriteria kejahatan paling serius ini kepada masing-masing negara peserta ICCPR termasuk Cina. Akibatnya, Cina masih dapat dengan leluasa melakukan eksekusi hukuman mati ini. Selain itu, tidak adanya tindakan tegas dari komisi HAM ICCPR untuk menghukum negara peserta yang tidak mengikuti aturan. Pada saat ini dalam Hukum Pidana Cina tahun1997 terdaftar ada 68 jenis kejahatan yang dapat dikenai hukuman mati yaitu 7 kejahatan membahayakan keamanan nasional, 14 kejahatan membahayakan keamanan publik, 16 kejahatan merusak sistem ekonomi pasar sosialis, 5 kejahatan melanggar atas hak-hak orang tersebut dan demokrasi hak-hak warga negara, 2 kejahatan melanggar pada properti, 8 kejahatan mengganggu ketertiban administrasi sosial, 2 kejahatan membahayakan kepentingan pertahanan nasional, 2 kejahatan korupsi dan penyuapan, dan 12 kejahatan pelanggaran tugas oleh personil militer. Dari sini dapat terlihat jelas bahwa pemerintah Cina akan sulit untuk meratifikasi ICCPR, karena hukum domestik negaranya masih banyak yang bertentangan dengan pasal-pasal yang terdapat dalam ICCPR. Kesimpulan Pemberlakuan hukuman mati di Cina dipengaruhi oleh berbagai faktor internal maupun eksternal dimana faktor-faktor tersebut menjadi alasan bagi pemerintah Cina tetap mempertahankan hukuman mati didalam hukum pidana domestiknya
690
Pelanggarana Hak Asasi Manusia Pemerintah China Kasus Hukuman Mati (Atika Ariani)
sehingga alasan pemerintah Cina masih memberlakukan hukuman mati dan belum meratifikasi ICCPR adalah: a. Faktor Internal, Negara Cina adalah negara yang memiliki sejarah yang sangat panjang dalam tindak pidana hukuman mati yang akhirnya terus melekat dalam hukum negara sehingga sangat sulit untuk meninggalkan tindak pidana hukuman mati dalam hukum domestik, walaupun banyak tekanan dari dunia internasional, Hukuman mati dianggap pemerintah Cina sebagai alat yang kuat untuk membangun negara yang damai dan tentram, Bagi pemerintah Cina hukuman mati di Cina dianggap sebagai pencegah terjadinya kejahatan baik kejahatan yang bersifat kekerasan maupun non kekerasan dan sebagai stabilitas politik dan sosial serta keamanan negara, Hukuman mati bagi pemerintah Cina dianggap sebagai suatu alat untuk mengurangi tingkat kejahatan dan sebai efek jera bagi masyarakat Cina lainnya. b. Faktor Eksternal, Pemerintah Cina belum dapat meratifikasi ICCPR karena hukum domestik negara yang sangat berbeda dengan konstitusi yang ada dalam ICCPR dan pemerintah Cina kesulitan untuk merefleksikan konstitusi ICCPR karena konsekuensi utama adalah penghapusan hukuman mati, sedangkan hukuman mati bagi pemerintah Cina adalah suatu alat yang sangat penting dalam menggerakkan negara, Tidak adanya kekuatan hukum yang mengikat dari konvensi ICCPR, sehingga negara peserta termasuk Cina tidak memiliki kewajiban untuk menyegerakan meratifikasi konvensi ICCPR ini. Daftar Pustaka Budiarjo, Miriam. 2001. Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI. Lubis, Todung Mulya., dan Alexander Lay. 2009. Kontroversi Hukuman Mati. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Masoed, Mochtar.1990. Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodolog. Yogyakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, amggota IKAPI. Rosenau, James N. International Politics and Foreign Policy a reader in research and theory. New York: The free press Soejipto, Ani. 2000. Hak Asasi Manusia Dalam Kebijakan Luar Negri Cina, Jurnal Politik Internasional Nomor 1 September 2000. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sutopo, FX. 2009. China Sejarah Singkat, Jogjakarta: Garasi. Situs Internet : 90 Persen Eksekusi Mati di Dunia Terjadi di China, tersedia dalam http://en.epochtimes.com/news/7-9-8/59571.html 691
eJournal Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013: 679-692
China’s Death Penalty:Reforms on Capital Punishment, tersedia dalam http://www.eai.nus.sg/BB412.pdf. China gov't announces plans to ratify 1998 ICCPR treaty, tersedia dalam http://www.chinapost.com.tw/commentary/the-china-post/frankching/2011/07/20/310434/China-govt.htm Criminal Law of the People's Republic of China. tersedia dalam http://en.chinacourt.org/public/detail.php?id=5. Death Sentences and Executions 2009, tersedia dalam http://www.amnesty.org/en/library/asset/ACT50/001/2010/en/17348b703fc7-40b2-a258-af92778c73e5/act500012010en.pdf. Death Sentences and Excecutions in 2010, tersedia dalam http://www.amnesty.org/en/library/info/ACT50/001/2011/en,
Death Sentences and Excutions 2011, tersedia dalam http://amnesty.org/en/deathpenalty/death-sentences-and-executions-in-2011 European Court of Human Rights (ECHR), tersedia dalam http://www.echr.coe.int/NR/rdonlyres/596C7B5C-4847-85D8F12E8F67C136/0/TABLEAU_VIOLATIONS_2010_EN.pdf. Hak Asasi Manusia, tersedia dalam http://.www.scribd.com/doc/9488550/HakAsasiManusia
692