Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara
Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran berat Hak Asasi Manusia seperti, kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang tidak diadili merupakan fenomena hukum dan politik yang dapat kita saksikan sejak abad yang lalu hingga hari ini. Pada abad yang lalu negara-negara Eropa gagal
membentuk pengadilan internasional sebagaimana
direkomendasikan Perjanjian Versailles untuk mengadili Raja Wilhelm II berkaitan dengan kekuasaannya yang melawan moralitas internasional. Impunitas dinikmati pula oleh Kaisar Hirohito. Amerika Serikat selaku pemenang perang memutuskan tidak mengadili tokoh penjahat perang dunia ke II ini dan bahkan melindungi dan membiarkannya sebagai Kepala Negara Kerajaan Jepang. Sampai hari ini kita masih terus menyaksikan drama impunitas yang terus dinikmati para pemimpin politik dan militer yang diduga tidak hanya melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia tetapi juga diduga telah merampok uang negara dalam skala yang amat luar biasa besarnya. Dari mulai Idi Amin, Mangistu Haile Mariam, Mobutu Seseko, Pinochet, Soeharto, dan lain sebagainya. Para mantan penguasa itu sebagian telah pergi dari dunia menemui raja akhirat. Namun sebagian lainnya tetap enak-enak menikmati hasil korupsinya di hari tuanya tanpa pernah bisa disentuh oleh hukum. Pada saat yang sama kita menyaksikan drama pengadilan pura-pura atau pengadilan se-olah-olah yang mengadili dan menghukum serdadu-serdadu berpangkat rendah dengan hukuman yang acap ringan dan melawan nurani keadilan masyarakat. Masih terus berlangsungnya fenomena impunitas menunjukkan pertimbangan-pertimbangan kepentingan politik, ekonomi jangka pendek dan bahkan militer masih dominan ketimbang kepentingan penegakan HAM dan keadilan. Pada sisi yang lain dunia internasional mencatat adanya upaya yang terusmenerus untuk meminta pertanggungjawaban para pemimpin politik dan militer yang dipandang sebagai komandan yang diduga bertanggungjawab dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia. Komisi yang dibentuk Konferensi Perdamaian Versailles setelah
1
Perang Dunia Pertama merumuskan sebuah rekomendasi untuk mengakhiri impunitas yang dinikmati para pemimpin negara yang melakukan kejahatan perang. Rekomendasi Komisi itu menyatakan, “semua orang dari negara musuh, bagaimanapun tingginya posisi mereka, tanpa membedakan pangkat maupun posisi, termasuk jabatan Kepala Negara yang bersalah melakukan kejahatan melawan hukum dan kejahatan terhadap hukum kebiasaan perang atau hukum kemanusiaan, dapat dikenai tuntutan.” Sayang sekali rekomendasi itu ditolak oleh negara-negara yang hadir di Konferensi Versailles, khususnya Amerika Serikat. Namun demikian seusai Perang Dunia Kedua melalui Piagam Pengadilan Nuremberg, negara-negara pemenang perang berhasil mencapai kesepakatan untuk mengadili para jenderal dan pemimpin Nazi. Piagam Nuremberg bisa dikatakan merupakan langkah awal untuk mengakhiri impunitas para komandan militer dan pemimpin politik yang diduga bertanggungjawab melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia. Pasal 6 ( c ) Piagam Nuremberg menegaskan prinsip hukum sebagai berikut : “pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengasingan dan tindakan lain yang sangat kejam, yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum perang maupun selama perang, atau kekerasan-kekerasan dan penyiksaan-penyiksaan atas dasar politik, rasial atau alasan-alasan keagamaan menjadi yurisdiksi pengadilan, entah bertentangan dengan hukum nasional atau tidak dari negara dimana kejahatan itu dilakukan pemimpin-pemimpin, organisator-organisator, penghasut-penghasut dan antek-antek yang terlibat ketika menyusun dan melaksanakan rencana bersama atau berkonspirasi untuk melaksanakan kejahatan-kejahatan yang bersangkutan, bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang ada dalam rencana tersebut.” Prinsip peranggungjawaban Komando ditegaskan pula oleh Pengadilan Tokyo yang mengadili Jenderal Yamashita. Putusan Pengadilan Tokyo yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Amerika menyatakan :
“Seorang penguasa wilayah, bertanggungjawab penuh secara individual dalam memberikan perintah yang keliru untuk melakukan kejahatan. Tanggungjawab itu juga mencakup kegagalan untuk mencegah tingkah laku yang melanggar hukum dari bawahannya, jika ia mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan anak buahnya itu mendatangkan kejahatan, dan tidak dilakukan upaya pencegahannya atau menghukum mereka yang melakukan kejahatan. “
2
Prinsip hukum tentang tanggung jawab komando ini merupakan prinsip yang penting dalam penyelenggaraan pengadilan terhadap kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang acap melibatkan para pemimpin politik dan militer. Prinsip ini menutup peluang bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia di tingkat bawah membela diri dengan menyatakan, bahwa apa yang ia lakukan semata-mata karena perintah komandan atau atasan mereka. Prinsip hukum tanggung jawab komando ini dianut dalam Pengadilan Balkan, dan menjadi dasar hukum untuk menangkap dan menahan serta mengadili para pemimpin politik dan militer Serbia yang diduga terlibat dalam kejahatan kemanusian dan Genosida. Bahwa para pemimpin politik dan militer yang diduga bertanggungjawab dalam peristiwa pelanggaran berat hak asasi manusia wajib diadili sudah merupakan norma hukum universal. Norma hukum ini tertuang dalam Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional. Sebagaimana tertuang dalam pasal 28 Statuta Roma, seorang komandan militer harus bertanggungjawab secara pidana untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan di bawah komando dan pengawasan efektifnya, atau otoritas dan kontrol efektifnya, bilamana (1) komandan militer atau orang itu mengetahui atau menyadari keadaan-keadaan pada waktu itu, seharusnya mengetahui bahwa pasukanpasukan itu melakukan atau hendak melakukan kejahatan tersebut; dan (2 ) komandan militer atau orang itu gagal untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dan masuk akal dalam kekuasaannya untuk mencegah atau menekan perbuatan mereka atau mengajukan masalah itu kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan dan penuntutan.. Demikian pula seorang atasan harus bertanggungjawab secara pidana untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan bawahannya sesuai dengan otoritas yang dimilikinya secara efektif sebagai akibat dari kegagalannya untuk melaksanakan pengawasan secara tepat pada bawahan itu, di mana : a). atasan tersebut mengetahui, atau secara sadar mengabaikan informasi yang dengan jelas mengindikasikan bahwa bawahannya sedang melakukan atau hendak melakukan kejahatan tersebut ; b). kejahatan itu menyangkut kegiatan yang berada dalam tanggungjawab efektif dan pengendalian atasan tersebut ; dan c). atasan gagal mengambil semua tindakan yang perlu dan masuk akal di dalam kekuasaannya untuk mencegah atau menekan perbuatan mereka atau mengajukan masalahnya kepada pejabat yang berwenang untuk penyelidikan dan penuntutan.
3
Prinsip hukum tanggungjawab komando tersebut di atas diadopsi oleh UU Nomor: 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pasal 42 UU tersebut persisnya mengatur sebagai berikut : “(1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu : a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran Ham yang berat; dan b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atsau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.” “(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggungjawab secara pidana terhadap pelanggaran Ham yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni : a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.”
Dalam kasus Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II Tim Ad Hoc Penyelidik Pro Justisia Komnas HAM menemukan telah terjadinya pelanggaran berat hak asasi manuisa, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Tim Penyelidik ini menemukan adanya unsur meluas atau sistematik dalam kasus penembakan, penganiayaan, dan pembunuhan para pengunjuk rasa tersebut. Sejumlah pejabat militer seperti, Jenderal Wiranto dan lain-lain diduga bertanggungjawab dalam peristiwa pelanggaran berat hak asasi manusia tersebut. Hasil penyelidikan telah diserahkan kepada Jaksa Agung. Namun Jaksa Agung sampai saat ini menolak untuk melakukan penyidikan. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh
4
Jaksa Agung ialah, bahwa para prajurit yang didakwa dalam kasus pembunuhan mahasiswa Trisakti telah diadili di pengadilan militer. Oleh karena itu menurut Jaksa Agung para komandannya ( Jenderalnya ) tidak dapat dituduh melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia. Oleh karena itu tidak dapat diadili di depan pengadilan Ad Hoc hak asasi manusia. Selain itu membawa para komandan ke pengadilan hak asasi mansuia akan melanggar asas Ne bis in idem, yaitu seseorang diadili dua kali atas dakwaan yang sama. Argumentasi Jaksa Agung ini jelas sangat simplistik dan menyesatkan yang membawa akibat impunitas kepada para Jenderal yang diduga bertanggung jawab dalam peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat tersebut. Di masa depan seorang komandan yang mengetahui bawahannya melanggar hak asasi manusia yang berat akan cepat-cepat menyerahkan bawahannya itu ke pengadilan militer untuk menghindari pengadilan hak asasi manusia. Padahal dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan II para prajurit itu belum pernah diadili di forum pengadilan atas dakwaan melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia. Para prajurit itu diadili atas dakwaan melakukan pelanggaran pidana pembunuhan biasa. Oleh karena itu amatlah keliru dan menyesatkan argumentasi Jaksa Agung tersebut. Sampai saat ini substansi temuan Tim Penyelidik Pro Justisia Komnas HAM tersebut belum pernah dibahas dan ditanggapi oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung masih bertahan pada argumentasi prosedural yang keliru itu.
***** Bahan Rujukan : 1. “KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN” Perjuangan Untuk Mewujudkan Keadilan Global, Geoffrey Robertson QC,, 2000 ; 2. “Dari Pengadilan Militer Internasional Nuremberg ke Pengadilan Hak Azasi Manusia Indonesia” Dr. H. Eddy Djunaedi Karnasudirdja, SH, MCJ, 2003 ; 3. Statuta Roma.
5