PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh Gelar SARJANA HUKUM
FIRANTI 050200167 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana
(Abul Khair, SH, M.Hum) NIP. 131 842 854
DOSEN PEMBIMBING I PEMIMBING II
(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) M. Hum) NIP. 132 299 900 076
DOSEN
(Rafiqoh Lubis, SH, NIP. 132 300
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh Gelar SARJANA HUKUM
Oleh: FIRANTI O50200167
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
ABSTRAKSI Firanti* Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum** Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum***
Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian pada korbannya. Korban kejahatan harus menanggung kerugian karena kejahatan baik materiil maupun imateriil. Namun dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai. Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dan merupakan hak dari seseorang yang menjadi korban tindak pidana adalah untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi. Beberapa peraturan di Indonesia mengatur mengenai pemberian kompensasi dan restitusi, misalnya KUHAP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat. Namun berdasarkan pengamatan, sangat jarang ada korban tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi. Pengadilan HAM ad hoc untuk Kasus Timor-timur, Tanjung Priok dan Abepura pun belum dapat mempraktekan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban pelanggaran HAM berat karena pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tidak jelas. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat Metodologi yang dipakai dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif karena menggunakan data sekunder sebagai sumber utama. Sedangkan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan data dan fakta sebagaimana adanya untuk kemudian dianalisis terhadap ketentuan hukum yang berlaku, khususnya terhadap UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Hasil penelitian menyebutkan bahwa pengaturan mengenai kompensasi dan restitusi bagi korban pelanggaran HAM berat belum dapat dijalankan karena mekanisme pengaturannya belum diatur secara jelas dan belum memenuhi standardisasi internasional yang sesuai dengan pengaturan mengenai mekanisme kompensasi dan restitusi dalam Statuta Roma, yang dapat menjamin korban dalam mendapatkan penggantian kerugian secara materiil dan imateriil. ∗
∗
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
∗∗
Dosen Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
∗∗∗
Dosen Pembimbing II dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………................................i ABSTRAKSI…………………………………………………………………..vi DAFTAR ISI…………………………………………………………………vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang…………………………………………………........ 1 B. Permasalahan………………………………………………………..6 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan…………………………………..….7 D. Keaslian Penulisan…………………………………………………..7 E. Tinjauan Kepustakaan………………………………………………..8 1.
Pengertian Korban………………............................................8
2.
Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat…………13
3.
Pengertian Perlindungan Hukum…………………………….18
F. Metode Penelitian…………………………………………………….20 G. Sistematika Penulisan……………………………………………… 22
BAB II RUANG LINGKUP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT A. Kewajiban Negara Menyangkut Hak Asasi Manusia………………24 B. Bentuk-bentuk Pelanggran Hak Asasi Manusia Berat…….…………39
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT A. Prinsip Dasar Perlindungan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat………………………………………………………….. 56 B. Pemberian Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat……………………………………………..... . 72 C. Mekanisme Pemberian Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat………………………… 76
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………………… 106 B. Saran………………………………………………………………….. 108
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
BAB I PENDAHULUAN
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
A. Latar Belakang Perlindungan
korban
kejahatan
dalam
sistem
hukum
nasional
nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari hanya bebera peraturan PerUndang-Undangan Nasional yang mengatur hak-hak korban kejahatan. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional. Selama ini mucul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak seutuhnya benar. 1 Berdasarkan
perkembangan
yang
ada,
baik
nasional
maupun
internasional, dapat dilihat bagaimana seharusnya korban kejahatan memperoleh perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional selama ini mengatur perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam beberapa perundanganundangan nasional permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur namun sifatnya masih bersifat parsial dan tidak berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan. Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian terhadap korbannya. Korban kejahatan harus menanggung kerugian karena kejahatan, baik materiil maupun imateriil. Korban kejahatan yang pada
1
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban kejahatan Antara Norma dan Realita. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2006. Halaman 4
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan tidak diperdulikan.
2
Sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa dalam penyelesaian perkara pidana, sementara hak-hak korban diabaikan. Sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah: “Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak azasi manusia, ada kecenderugan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban”.
3
Banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai dalam penyelesaian perkara pidana, baik perlindungan yang sifatnya material maupun imateril. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberikan keterangan
yaitu sebagai saksi sehingga
kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil. 4 Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat suatu kejahatan. 5
2
Ibid, Halaman 24
3
Andi Hamzah. Perlindungan Hak-hak Azasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Bina Cipta. Bandung 1986. Halaman 33. 4
Chaerudin Syarif Fadilah. Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimilogi dan Hukum Pidana Islam. Ghalia Pers. Jakarta . 2004. Halaman 47. 5
Ibid, Halaman 49.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Tidak jarang juga ditemukan korban yang mengalami penderitaan (fisik,mental, atau materi) akibat dari suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak memperjuangkan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alsan, misalnya korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan. Dalam berbagai kasus, penyelesaian secara hukum maupun politik terhadap pelanggaran HAM seringkali tidak berpihak kepada korban,namun justru dilakukan untuk melindungi para pelaku, sebagiamana halnya yang lazim dilakukan oleh para penguasa militer di Negara-negara Amerika lain, seperti Argentina dan Chile pada era tahun 1970an. Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dan merupakan hak dari korban tindak pidana adalah mendapatkan kompensasi dan restitusi. Kompensasi diberikan oleh Negara kepada korban pelanggaran HAM yang berat, sedangkan restitusi merupakan ganti rugi pada korban tindak pidana yang diberikan oleh pelaku sebagai bentuk prtanggungjawabannya. 6 Ada beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur pemberian kompensasi dan restitusi. Namun kenyataanya aturan tersebut tidak implementatif. Pengaturan pemberian ganti rugi itu misalnya bisa dilihat pada KUHP, KUHAP, dan juga Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat. Namun berdasarkan pengamatan, sangat jarang ada korban 6
Ibid. Halaman 55.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi. Kasus-kasus HAM yang terjadi di Indonesia sampai saat ini
belum pernah ada korban pelanggaran HAM yang
mendapatkan kompensasi dan restitusi walaupun dalam amar putusan pengadilan korban berhak untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi. Terkait dengan hal di atas, salah satu contoh bahwa penyelesaian secara hukum maupun politik terhadap pelanggaran HAM seringkali tidak berpihak kepada korban, namun justru dilakukan untuk melindungi para pelaku dapat dikemukakan dalam konteks berikut ini: “Berdasarkan catatan pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur , hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat tidak pernah disinggung. Baik jaksa maupun hakim tidak pernah menyinggung sedikitpun upaya pemulihan bagi korban, padahal pelanggaran HAM berat di Timor- Timur telah diakui terjadi oleh pengadilan. Proses pengadilan hanya difungsikan untuk mencari siapa pelaku dan menghukumnya, tetapi keadilan bagi korban secara nyata tidak menjadi bagian penting. Hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang secara jelas dinyatakan oleh Undang-undang bahkan tidak dapat berjalan sama sekali. 7 Tidak diberikannya hak-hak korban yang secara tegas telah dinyatakan dalam ketentuan perundang-undangan dapat menimbulkan ketidakpercayaan korban bahawa hak-hak mereka akan dilindungi bahkan diberikan ketika mereka berpartisipasi dalam proses peradilan untuk mendukung penegakan hukum. Hal ini menunjukan, bukan saja dapat dikatakan bahwa Negara gagal mewujudkan system peradilan yang kompeten dan adil, Negara gagal menjamin kesejahteraan
7
Supriady Widodo Eddyono, Wahyu wagiman, Zainal Abidin, Perlindungan Saksi Dan Korban Pelanggaran HAM berat. Elsam. Jakarta 2005. Halaman 3
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
dari warga negaranya yang menjadi korban pelanggaran HAM, karena hak korban akan ganti rugi pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak azasi bidang kejahteraan/jaminan social (social security). 8Lebih jauh lagi bahwa Negara juga telah mengurangi hak-hak dari saksi dan korban yang telah diakui oleh dunia internasional. Salah satu contoh, Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok yang merupakan satu-satunya pengadilan yang memberikan putusan kompensasi kepada korban belum berhasil diimplementasikan karena masih adanya hambatan prosedur. Korban pelangaaran HAM Tanjung Priok akhirnya mendapatkan putusan dari majelis hakim untuk mendapatkan putusan dari majelis hakim untuk mendapatkan kompensasi dalam dua putusan, dimana satu putusan
hanya
menyatakan bahawa korban mendapatkan kompensasi sedangkan satu putusan lainnya dengan disertai jumlah kompensasi yang akan diterima oleh para korban. 9 Putusan kompensasi diatas dalam pelaksanaannya terhambat karena secara normatif dimana eksekusi putusan hanya bisa dilaksanakan setelah ada keputusan pengadilan yang bersifat tetap. 10 Artinya kompensasi akan diterima oleh korban pada saat terdakwa dinyatakan bersalah di tingkat Mahkamah Agung, sebaliknya jika ternyata terdakwa dibebaskan di tingkat banding atau Mahkamah agung maka kompensasi tersebut akan gugur. Hal ini karena konsep kompensasi
8
Ibid, Halaman 3
9
Satya Arinanto, Hak asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat studi hukum tata Negara Fakultas Hukum Universiats Indonesia, Jakarta, 2005. Halaman 292 10
Barda Nawawi Arif. Beberapa Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bhakti. Bandung 1998. Halaman. 67
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
kepada korban tergantung dari faktor kesalahan dari terdakwa dan bukan karena hak yang melekat terhadap setiap korban pelanggaran HAM. Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok telah secara nyata menerapkan dan mengadopsi kekeliruan dalam memahami konsep kompensasi dan restitusi. Hal ini tampak dari adanya prasyarat yang harus terpenuhi agar korban mendapatkan kompensasi dan restitusi yaitu dinyatakan bersalah dan dipidananya pelaku. Pernyataan di atas berbeda dengan apa yang sudah menjadi prinsip hukum HAM internasional bahwa korban pelanggaran HAM berat berhak mendapatkan kompensasi (dan atau restitusi) tanpa harus menunggu apakah pelakunya dipidana atau tidak. Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut di atas, maka penulis mengangkat masalah mengenai perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran HAM berat ini ke dalam skripsi Penulis dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT”
B. Permasalahan Berdasarkan menjadi
uraian dan latar belakang tersebut di atas maka yang
permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagaimana ruang lingkup pelanggaran HAM berat ? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran HAM berat ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk ruang lingkup pelanggaran HAM Berat. 2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum yang diberikan Negara kepada korban pelanggaran HAM Berat. Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Manfaat teoritis Karya tulis ini diharapkan akan bermanfaat dan memperkaya literaturliteratur yang ada sebelumnya, khususnya mengenai perlindungan korban terhadap pelangggaran HAM Berat.. Karya tulis ini juga diharapkan menjadi acuan untuk mengadakn penelitian yang lebih mendalam lagi. 2. Manfaat Praktis Diharapkan dengan adanya karya tulis ini dapat berguna dalm membantu permasalahan bagi pihak-pihak yang bersangkutan dalam hal ini lembaga hukum dan pemerintah guna menjamin perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran HAM Berat serta penerapannya dalam proses perkara pidana HAM.
D. Keaslian Penulisan Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT” sepengetahuan penulis belum ada penulis lain yang mengemukakanya dan bila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan objek yang pembahasan yang sama, sebelum tulisan ini dibuat maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
E. Tinjauan Kepustakaan 1.Pengertian Korban Secara global dan representatif, pengertian korban kejahatan terdapat pada angka 1 “Declaration of Basic Principles of Justice for Victims and Abuse of Power” tanggal 6 September 1985 yang menegaskan : “ Korban berarti orang-orang yang secara pribadi atau kolektif, yang telah menderita kerugian yang termasuk di dalamnya luka fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan cukup besar atas hakhak dasarnya, lewat tindakan atau penghapusan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di Negara-negara anaggota, termasuk hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan yang bisa dikenai pidana”. 11 Deklarasi Prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalah gunaan kekuasaan ini juga menyatakan bahwa seseorang dapat dianggap korban tanpa menghiraukan apakah pelaku kejahatannya dikenali, ditahan, diajukan ke pengadilan atau dihukum dan tanpa menghiraukan hubungan kekeluargaan antara pelaku kejahatan dan korban. Istilah ‘korban’ juga termasuk, bilamana sesuai, keluarga dekat atau tanggungan korban langsung orang-orang yang telah menderita kerugian karena campur tangan untuk membantu korban yang dalam keadaan kesukaran atau mencegah jatuhnya korban. Dalam resolusi MU-PBB 40/34 bahwa yang di maksud dengan korban ialah orang-orang,baik secara individu maupaun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu Negara, termasuk peraturan–peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Dalam bagian lain dinyatakan, khususnya sewaktu menjelaskan “victim of Abuse of Power”, bahwa dalam pengertian korban 11
Lilik Mulyadi. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi. Djambatan. Jakarta. 2004. Halaman 120.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
termasuk juga orang-orang yang menjadi koraban dari perbuatan-perbuatan (tidak berbuat) yang walaupun belim merupakan pelanggaran teerhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut normanorma HAM yang diakui secara internasional. 12 Ralph de Sola mengartikan korban : “orang yang telah mengalami penderitaan baik fisik maupun mental dan kehilangan harta bendanya atau menyebabkan kematian sebagai akibat dari tindakan atau usaha percobaan tindak pidana yang dilakukan pihak lain”. 13 Di dalam Black’s Law Dictionary korban merupakan seseorang yang dirugikan sebagai hasil dari suatu kejahatan, perbuatan,melawan hukum atau lainnya: “ a person harmed by crime, tort, or other wrong ” Menurut Stanciu, korban dalam pengertian luas adalah orang yang menderita akibat dari ketidakadilan. Dengan demikian lanjut Stanciu, ada dua sifat yang mendasar (melekat) dari korban, yaitu suffering (penderitaan) dan injustice (ketidakadilan) 14. Timbulnya korban tidak dapat dipandang sebagai akibat perbuatan yang illegal, sebab hukum (legal) terkadang juga dapat menimbulkan ketidakadilan seperti korban akibat prosedur hukum. Seperti dalam kasus kejahatan,konsep tenteng korban seharusnya tidak saja dipandang dalam pengertian yuridis, sebab masyarakat sebenarnya selain dapat menciptakan
12
Barda Nawaw Arief. Op.cit. Halaman 54
13
H. Soeharto. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme. Refika Aditama. Bandung. Juni. 2007. Halaman 77 14
Teguh Prasetyo,Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminilasisasi. Pustaka Pelajar . Yogyakarta. 2005. Halaman 119.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
penjahat, juga dapat menciptakan korban. Dengan demikian, seorang korban ditempatkan pada posisi sebagai akibat kejahatan yang dilakukan terhadapnya baik dilakukan secara individu, kelompok atau oleh Negara. 15 Menurut Muladi korban adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugain fisik maupun mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara termasuk penyalahgunaan kekuasaan. 16 Sedangkan Cohen menmendefinisikn korban (victim) sebagai : 17 “whose pain and suffering have been neglected by the state while it spends `immense resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering.”(siapa yang terluka dan penderitaannya telah diabaikan oleh Negara akibat dari pelaku yang bertanggung jawab terhadap luka dan penderitaanya) Z.P Separovic mengartikannya : “The person who are thraeatened, injured or destroyed by an actor or mission of another (mean structure, organization, or instution) and consequently; a victim would be anyone who has suffered from or been threatned by punishable act (not only criminal act but also other punishable act as misdemeanour, or economic offences, non fulfillment of work duties) or an accident. Suferring may be caused by another man or another structure, where people are also involved.” 18(orang yang terancam, terluka atau diganggu oleh pelaku atau orang lain (stuktur, oraganisasi ataupun lembaga) dan sebagai konsekuensinya, korban akan menjadi orang yang menderita atau terancam oleh tindakan hukuman (bukan saja tindakan criminal melainkan juga tindakan hukuma lain seprti keruian 15
Aref Amrullah, Politik Hukum Pidana: dalam Rangka Perlidungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan.Bayu Media Publishing.Malang. 2003. Halaman 61. 16
Muladi. Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana; sebagaimana dimuat dalam Kumpulan karangan HAM, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.1997, Halaman 172. 17
Cohen dalam Romli Atsasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta, 2005, Halaman 9 18
Dikdik M. Arif Mansur. Elistaris Gultom,op.cit. Halaman 46-47
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
ekonomi, ketidak berhasilan memenuhi kewajibana kerja ataupun kecelakaan). Penderitaan dapat disebabkan oleh orang lain ataupun struktur lain, dimana orang juga terlibat didalamnya.) Arief Gosita memberi penjelasan tentang korban sebagai mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan . 19Pengertian korban menurut Undang-undang No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang selanjutnya disebut UU KKR adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik, fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran HAM yang berat termasuk korban adalah juga ahli warisnya. 20 Peraturan Presiden No.2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM yang Berat dan Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat, mengartikan korban sebagai orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran HAM yang Berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun. 21
19
Arief Gosita. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Jakarta. 1993.
Halaman 63 20
Undang-undang No. 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pasal
1 angka 5. 21
PP No.2 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang Berat, Pasal 1 angka 2 dan PP No. 3 tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang Berat, Pasal 1 angka 3
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Peraturan Perundang-undangan yang berkenaan dengan saksi adalah UU Perlindungan saksi dan Korban yang memberi batasan tentang apa yang disebut dengan korban, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 22 Menurut The Rule of Procedure and Evidence dari Statuta Roma, korban berarti orang-orang asli yang telah mengalami derita atau kerugian sebagai akibat dilakukannya berbagai kejahatan yang termasuk dalam yurisdikasi Mahkamah. 23 Selain itu dikatakan juga, bahwa korban bisa mencakup organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga yang benar-benar tertimpa kerugian langsung atas harta milik mereka yang dibaktikan bagi kepentingan agama, pendididkan, seni, atau ilmu pengetahuan atau untuk tujuan-tujuan kariatif, dan atas monument-monumen sejarah mereka, rumah sakit, dan tempat-tempat serta objek-objek lainnya yang diabadikan bagi kepentingan atau misi kemanusiaan. 24 Terkait dengan beberapa pengertian tentang korban di atas, maka korban dalam pelanggaran HAM yang berat adalah orang atau orang yang menderiata secara material maupun immaterial yang disebabakan oleh tindakan pelanggaran HAM yang berat. Pengertian korban secara luas adalah yang didefinisikan oleh South Carolina Govenor’s Office of Executive Policy and Programs, Columbia, yaitu:
22
Undang-undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pasal 1
23
Rome Statute of The International Criminal Court (Pasal 5 ayat 1)
angka 2
24
Bagian III Korban dan Saksi, Sub-bagain 1 Batasan dan Prinsip Umum Berkaiatan dengan Korban, Aturan 85
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
“victim means a person who suffers direct or threatened physical, psychological, or financial harm as the result of crime against him. Victim also includes the person’s is deceased, a minor, incompetent was a homicide victim and/or is physically or psychologically incapacitated”. 25(Korban berarti orang yang menderita bahaya fisik, psikologis atau finansial atau yang bersifat ancaman maupun kerugian finansial sebagai akibat kejahatan terhadap dirinya. Korban juga meliputi orang yang sudah mati, korban pembunuhan dan yang cacat secara fisik ataupun psikologis.) Secara luas pengertian korban diartikan bukan hanya sekedar korban yang menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan yang dapat diklarifikasikan sebagai korban. Yang dimaksud korban tidak langsung disini seperti, isteri kehilangan suami, anak yang kehilangan bapak, orangtua yang kehilangan anaknya, dan lainnya. 26 Dengan mengacu pada pengertian–pengertian korban diatas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang
secara langsung
menderita akibat
dari perbuatan-perbuatan yang
menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk didalamnya kelurga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi. 2. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada manusia dan berfungsi sebagai jaminan moral dalam menunjang klaim atas penikmatan sebuah kehidupan yang layak pada taraf yang paling minimum 27 25
http/www. Govoepp State. Sc.Ies/sova/tsedo 2, htm. Diakses tanggal 7 September
26
H. Soeharto, Op.cit, Halaman 78
2009
27
Marianus Kleden, Hak Asasi Manusia dalam masyarakat Komunal, LAMAMERA. Yogyakarta. 2008. Halaman 69. Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Pelanggaran HAM berat belum mendapat kesepakatan yang diterima secara umum. Biasanya
kata ‘berat’ menerangkan kata ‘pelanggaran’, yaitu
menunjukan betapa seriusnya pelanggaran yang dilakukan. Akan tetapi, kata ‘berat’ juga berhubungan dengan jenis-jenis HAM yang dilanggar. Pelanggaran HAM berat terjadi jika yang dilanggar adalah hak-hak berjenis non-derogable 28 Adapun unsur-unsur yang menyertai dari pelanggaran berat HAM dilakukan secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis dapat diartikan hal tersebut dilakukan sebagai suatu kebijakan yang sebelumnya telah direncanakan. Pelanggaran HAM Berat juga memiliki unsur menimbulkan akibat yang meluas atau widespread. Hal ini biasanya mengarah kepada jumlah korban yang sangat besar dan kerusakan serius secara luas yang ditimbulkannya. Namun demikian, hingga saat ini belum ada definisi yang baku mengenai pelanggaran HAM Berat. Dilihat dari peristilahan yang digunakan pun bermacam-macam, ada yang menggunakan istilah gross and systematic violations, the most serious crimes, gross violations, grave violations, dan sebagainya. Cecilia Medina Quiroga menjelaskan istilah pelanggaran HAM Berat sebagai suatu pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran-pelanggaran, sebagai alat bagi pencapaian dari kebijakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan dalam kuantitas tertentu dan dalam suatu cara untuk menciptakan situasi untuk hidup, hak atas integritas pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari penduduk
28
Ifdal Kashim. Prinsip-prinsip Van Boven, mengenai Korban pelanggaran Ham Berat. Elsam. Jakarta. 2002 Halaman xxiii.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
(population) secara keseluruhan atau saru atau lebih dari sektor-sektor dari penduduk suatu Negara secara terus-menerus dilanggar atau diancam. 29 Istilah pelanggaran HAM Berat yang telah dikenal dan digunakan pada saat ini belum dirumuskan secara jelas, baik didalam resolusi, deklarasi, maupun dalam perjanjian
HAM. Namun secara umum dapat diartikan sebagai
pelanggaran secara sistematis terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya lebih serius. Dalam penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU HAM, pelanggaran HAM Berat adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitary/extra judicial killing), penyiksaan penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Pelanggaran HAM Berat menurut UU Pengadilan HAM didefinisikan sebagai pelanggaran HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7 UU No 26 Tentang Pengadilan HAM). Yang dimaksud dengan kejahatan genosida menurut Pasal 8 UU No. 26 Tentang Pengadilan HAM adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara: a. membunuh anggota kelompok, b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok, 29
Cecilia Medina Quiroga, The Battle of Human Rights: Gross, Sytematic Violations dalam Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The habibi Center , Jakarta, 2002, Halaman 75
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiaanya, d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Adapun yang di maksud dengan kejahatan kemanusiaan menurut Pasal 9 UU No. 26 Tentang Pengadilan HAM adalah suatu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari rangsangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: a. pembunuhan b. pemusnahan c. perbudakan d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional f. penyiksaan g. perkosaan,
perbudakan
seksual,
pelacuran
secara paksa,
pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara h. penganaiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham polotik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional i.
penghilangan orang secara paksa
j.
kejahatan apartheid Pasal-pasal mengenai kejahatan genosida dan kejahatn terhadap
kemanusiaan tersebit di atas subtansinya merupakan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma. Menyangkut pelanggran HAM Berat, di dalam The U.S Restatement of Law dikatakan bahwa suatau pelanggaran Ham dianggap ‘berat’ apabila pelanggaran tersebut secara luar biasa menimbulkan keguncangan, karena begitu pentingnya hal yang dilanggar atau beratnya pelanggaran Pelanggaran HAM berat termasuk pula dalam kategori extra ordinary crime berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sangat sistematis dan di lakukan oleh pihak pemegang kekuasaan, sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh, dan kejahatan tersebut sangat mencederai rasa keadilan secara mendalam (dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat kemanusiaan). 30
Pelanggaran HAM seperti
pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan paksa, misalnya adalah pelanggaran HAM yang dilarang oleh hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional. 31
30
Muchamad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror: Belenggu Baru bagi Kemerdekaan, dalam F.Budi Hadirman , et al. Terorisme Definisi, Aksi dan Regulasi. Imparsial. Jakarta. 2003 Halaman 63 31
Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005 Halaman 29
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, belum ada definisi yang baku, baik dari instrument hukum HAM Internasional dan nasional, instrumentinstrument hukum HAM tersebut hanya menggambarkan cakupan planggaran HAM yang berat saja, bahkan terdapat ketidaksinkronan dengan pengertian pelanggaran HAM yang berat dari hukum positif Indonesia yaitu dari penjelasan Pasal 104 UU HAM dengan yang terdapat di dalam UU pengadilan HAM. Dari sisi ajaran para sarjana sekalipun, definisi pelanggaran HAM yang berat hanya berupa pengelompokkan saja. 32
3. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan berasal dari kata lindung yang artinya meempatkan diri dibawah sesuatu,supaya tersembunyi . Sedangkan perlindungan memiliki pengertian suatu perbuatan, maksudnya melindungi, memberi pertolongan. 33 Kata hukum berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk kata tunggal. Kata jamaknya adalah Alkas yang selanjutnya diambil alih kedalam bahasa Indonesia menjadi hukum. Di dalam pengertian hukum terkandung pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan. Recht berasal dari kata rechtum yang mempunyai arti bimbingan atau tuntutan atau pemerintahan. Kata ius bersal dari kata iubre yang artinya mengatur atau memerintah. Perkataan mengatur atau memerintah itu mengandung dan berpangkal pokok pada kewibawaan. 34 32
Supriady Widodo Eddyono, op.cit Halaman 12
33
Wjs Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 1961 Halaman 794
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Bellefroid mengatakan bahwa hukum yang berlaku di masyarakat yang mengatur tata tertib masyarakat itu. Di dasarkan atas kekuasaan yang ada dalam masyarakat.35 Utrech memberikan rumusan
bahwa hukuman itu adalah himpunan
petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Van Vollenhoven dalam bukunya het adapt recht van Nederland Indie, hukum itu adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus menerus dalam keadaan bentur-membentur tanpa hentinya dengan gejala-gejala lainnya. Sebagai kesimpulan
dari rumusan sarjana tentang hukum , hukum
adalah himpunan dari semua peraturan-peraturan yang hidup bersifat memaksa, berisikan petunjuk baik merupakan perintah maupun larangan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dengan maksud mengatur tata tertib dalam pergaulan/kehidupan masyarakat. Peraturan-peraturan yang hidup maksudnya meliputi peraturan-peraturan tidak tertulis yang terdapat dalam kebiasaan dan adat istiadat. Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa berarti melanggar perintah dan larangan berakibat akan mendapat sanksi/reaksi dari organ pemerintah seperti juru sita, jaksa, polisi dan sebagainya juga dari masyarakat. 36 34
R. Soeroso, Pengantar ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta: 2005 Halaman 24-25
35
K. Kueteh sembiring, Sumber-sumber Hukum: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1987 Halaman 9 36
Ibid, Halaman 11-12
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Jadi pengertian dari perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesajahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. 37
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif), yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditunjukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis adan berbagai literature yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian yuridis normative ini disebut juga dengan penelitian hukum doctrinal atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas. 38 Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yang membagi penelitian hukum sebagai berikut: 39 a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif. b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah (dogma atau doktrinal) hukum positif. 37
www.google.com http//one.indoskripsi.com/note/7402, Pengertian Perlindungan Hukum. Diakses 3 Desember 2009 38
Amiruddin, dkk. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 204 Halaman 118. 39
Soetandyo Wignjosoebroto yang dikutip dalam Buku Bambang Sunggono. Metologi Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2001 Halaman 42.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concerto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu. Menurut Johny Ibrahim, dalam kaitannya dengan penelitian normatif (doctrinal) dapat digunakan beberapa pendekatan yang berupa: a. Pendekatan perundang-undangan (Statute approach), b. Pendekatan analitis (Analytical approach), c. Pendekatan histories (Historical approach), d. Pendekatan Filsafat (Philosophical approach), e. Pendekatan Kasus (Case approach).
2. Jenis data dan Sumber data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder.Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwuhud laporan, dan sebagainya. Data sekunder diperoleh dari: a. Bahan hukum Primer, yaitu semua dokumen dan peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan sebagainya. b. Bahan hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang Perlindungan Korban HAM Berat seperti seminar hukum, majalah-majalah, kerya tulis ilimiah, dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaiatan dengan permaslahan dalam skripsi ini. c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
3.Metode Pengumpulan Data Penulisan skripsi ini dipergunakan dengan metode Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu melekukan penelitian dengan berbagai sumber bacaan, seperti ; peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet, pendapat sarjana, dan bahan lainnya yang sangat berkaitan dengan skripsi.
4.Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penulisan ini adlah denagn cara kulitatif, yakni menganalisi data sekunder tanpa menggunakn statistic untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini di bagi dalm beberapa tahapan yang disebut dengan BAB, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematis penulisan ini menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 4 (empat) bab yang terperinci sebagai berikut: BAB I :Berisikan pendahuluan yang di dalamnya di uraikan mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, yang kemidian diakhiri dengan msistematika penulisan.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
BAB II : merupakan Bab yang membahas ruang lingkup Hak Asasi manusia berat, yang di dalamnya akan dibahas mengenai
kewajiban Negara
dalam Hak Asasi Manusia , dan bentuk-bentuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. BAB III : merupakan Bab yang membahas tentang perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat yang di dalamnya akan dibahas mengenai prinsip dasar perlindungan korban pelanggaran Hak Azasi Manusia Berat dan pemberian perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. BAB IV : Bab ini berisikan rangkuman kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang berguna bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya.
BAB II RUANG LINGKUP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
A. Kewajiban Negara Menyangkut Hak Asasi Manusia Salah satu ciri Negara adalah “ a degree of civilization ” yaitu tingkat peradaban Negara diwujudkan dalam pembangunan nasional 40 , sedangkan pembangunan nasional bagi Indonesia merupakan pencerminan kehendak terusmenerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil
dan
merata,
serta
mengembangkan
kehidupan
masyarakat
dan
penyelenggaraan Negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh. 41
Melalui kegiatan pembangunan
diharapkan kualitas hidup masyarakat Indonesia dapat ditingkatkan. Indonesia adalah Negara yang berdasarkan pancasila dan UndangUndang dasar 1945. Negara Republik Indonesia mengakui dirinya sebagai penjunjung tinggi HAM yang menjamin segala hak warga Negara bersamaan kedudukanya didalam hukum dan pemerintahan, sebagaiman tercantum dalam konstitusinya yaitu UUD 1945. Suatu Negara hukum menururt Sri Soemantri, harus memenuhi beberapa unsur yaitu: 1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan 2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga Negara) 3. Adanya Pembagian kekuasaan dalam Negara
40
Dikdik M. Arief Mansur, Elistaris Gultom, op.cit Halaman 15
41
Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES, Jakarta, 1996, Halaman 26
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
4. Adanya pengawasan dari badan peradilan 42 Dihubungkan dengan pernyataan diatas, tentang adanya jaminan terhadap HAM, maka dapat disimpulkan bahwa dalam setiap konstitusi sebuah Negara hukum haruslah ditemukan adanya jaminan tergadap HAM itu sendiri melipui bagian aspek kehidupan manusia, mulai dari hak untuk hidup, hak dalam bidang politik, hak tentang kebebasab bicara, hak dalam bidang hukum, dan lainlain. Sebagaimana yang termuat dalam Pasal 8 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya akan disebut DUHAM, yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas penyelesaian yang efektif oleh peradilan nasional untuk mendapatkan perlindungan yang sama terhadap tindakan-tinadakn yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh konstitusi atau oleh hukum. 43 Salah satu bukti penghormatan bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia adalah diaturnya Hak Asasi manusia pada bab tersendiri didalam UUD 1945 yaitu pada bab X A dari Pasal 28 A s.d. Pasal 28 J.44 Khusus untuk HAM dalam bidang hukum, maka hal ini terkait erat dengan Asas Persamaan Kedudukan di dalam Hukum. Pengakuan terhadap hak azasi manusia di bidang hukum ini dapat ditemukan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yaitu: “segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
42
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung, 1992 Halaman 29 43
Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Azasi Manusia dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Azasi Manusia , Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, Halaman 61 44
Setelah Amandemen Keempat
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerinthan itu dengan tidak ada kecualinya”. 45 Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 adalah berkenaan dengan persamaan kedudukan dalm hukum yang diwujudkan di dalam proses peradilan pidana sebagai asas equality before of law46, yang mana setiap orang yang berhadapan dengan hukum diperlakukan sama dalam proses pemeriksaannya baik sebagai tersangka, terdakwa (presumption of innocent), saksi, maupun korban. Menurut Mochtar Kusumaatmadja tujuan dari hukum adalah untuk ketertiban, kepastian hukum, serta keadilan. 47. Bila dikaitkan ciri negara hukum dengan tujuan dari hukum itu sendiri orintasinya adalah demi menjadikan suatu masyarakat yang sejahtera secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis yang ditempuh melalui pembangunan nasional. Dalam mencapai masyarakat yang sejahtera, adil, serta demokratis maka sangat dibutuhkannya jamian HAM dan kepastian hukum dari Negara itu sendiri. Di Indonesia jaminan terhadpa HAM secara Eksplisit tertuang didalm UUD 1945 yaitu pada bab X A dari Pasal 28 A s.d. Pasal 28 J. KUHAP yang diklaim sebagai Karya Agung bangsa Indonesia, karena menekankan pada HAM dan ketentuan-ketentuan yang bersifat anti-tese
48
dari
45
Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Prsamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni Bandung, 2003,Halaman 2 46
Ibid, Halaman vii
47
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, Cetakan ke-2 Tahun 2006, Halaman 3-4 48
Albert Hasibuan, Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP, makalah dalam diskusi ilmiah “Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP” yang diselenggarakn di Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2 Juni 2007 Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
HIR, ternyata masih banyak kelemahannya dari segi perlindungan HAM. Hal ini karena KUHAP tersebut perlindungan HAM-nya lebih menitik beratkan terhadap pelaku (offender oriented), sedangkan perlindungan HAM terhadap saksi dan korban sangat tidak memadai. Beranjak dari cita-cita Negara hukum yang dihubungkan dengan tujuan hakim, maka pengaturan perlindungan saksi dan korban khususnya pelanggaran HAM yang berat diperlukan untuk ketertiban, kepastian hukum serta keadilan yang nantinya akan menjadikan msyarakat Indonesia adil dan makmur. HAM merupakan sekumpulan hak yang bersifat normatif atau merupakan legal rights . Sifat normatif ditandai dengan adanya landasan hukum secara internasional yang mengatur HAM . Norma-norma HAM yang terdapat di dalam instrument hukum HAM Internasional selanjutnya menciptakan kewajiban bagi Negara untuk melindungi dan menjamin HAM setiap individu. Sejak dibentuk pengadilan internasional tentang kejahatan perang di Nuremberg (yang dikenal dengan dengan Nuremburg Trial) setelah perang Dunia II, telah berkembang dalam hukum inetrnasional konsep tentang kewajiban Negara untuk melakukan pengusutan dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan internasional yang serius, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang sekaligus merupakan pelanggaran berat HAM. Dalam konteks kewajiban tersebut, termasuk pula didalamnya untuk memberikan restitusi atau kompensasi terhadap para korban. Kini terdapat banyak
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
sekali perjanjian multilateral HAM yang memberikan kerangka hukum bagi kewajiban selain yang berasal dari hukum kebiasaan internasional. 49 Pada saat ini, HAM telah diatur di dalam sejumlah instrument hukum HAM internasional. Berdasarkan hal tersebut maka pelanggaran HAM akan menjadi suatu persoalan internasioal dan tidak lagi dapat diklaim semata-mata sebagai urusan dalam negeri suatu Negara. Menyangkut pelanggaran HAM tidak dapat dianggap sebagai urusan dalam negeri suatu Negara. Instrument-instrument HAM internasional memiliki ciri berfokus pada Negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional, untuk itu diatur pula kewajiban Negara menyangkut perlindugan dan jaminan terhadap HAM, 50 “human rights instrumental typically focus on the state as the primary actor in international law…Therefore, international huma rights instumenrts abligate the state, as opposed to its citizens, notto act in ways that would deprive other individuals of their human rights. Some states are oblivious to their human rights obligations, as demonstatedby their flailing to honour treaty commitments or their failure to follow customary state exfectations.(Instrumen Hak Asasi Manusia secara khusus berfokus kepada Negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional. Oleh karena itu, instrument hak-hak asasi manusia internasional akan menuntut Negara selama menentang warganya atau tidak bertindak dengan cara yang menghilangkan hak-hak asasi manusia individu lainnya. Bebrapa Negara jelas memiliki kewajiban hak asasi untulk menghormtai perjanjian internasional) Kewajiban Negara menyangkut HAM seperti yang telah diatur dalam berbagai instrument hukum HAM internasional, pada intinya menekankan pada dilaksanakannya penghukuman terhadap para pelaku pelanggaran HAM melalui 49
Naomi Roht-Arriaza, State Responbility to Investigate and Prosecute Grave Human Rights Violation in International Law, California Law Review, March 1990, dalam Ifdhal Kasim, Dilema Simalakama: Amnesti di Masa Transisi Politik, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi Terre, Pencarian Keadilan di masa transisi, ELSAM, Jakarta, 2003, Halaman 363 50
Buergental, Thomas, International Human Rights, dalam Andrey Sudjatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggran Berat HAM Indonesia: Timor Leste dan lainnya, Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2005, Halaman 22
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
proses pengadilan dan diberikannya ganti rugi atau rehabilitasi bagi para korban pelanggaran. 51 “Dalam pelanggarannya selanjutnya, hukum internasional semakin mengukuhkan pentingnya pertanggungjawaban secara hukum atas tindakan pelanggaran HAM, baik yang termasuk kategori pelanggaran berat maupun kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Berbagai instrument hukum HAM internasional secara tegas mencantumkan kewajiban Negara guna menghukum pelaku kejahatan terhadap integritas fisik seorang. Penafsiran resmi berbagai badan internasional dan regional, maupun pendapat dari kalangan pakar terkemuka mengenai instrument-instrument tersebut secara berulang-ulang menekankan betapa pentingnya proses pengadilan dan penghukuman terhadap pelaku atas tindakan pelanggaran berat HAM yang telah dilakukan. Selain itu, konvensi-konvensi internasional mengenai HAM juga mengkukuhkan tentang arti pentingya ganti rugi atau rehabilitasi bagi korban tindak pelanggaran berat HAM.” Piagam PBB pada dasarnya mengandung sejumlah kaidah hukum HAM yang meletakkan sejumlah kewajiban yang bersifat mengikat setiap Negara anggota. Ketentuan yang mengatur, antara lain, terdapat di dalam Pasal 55 (c) yang mengatur PBB akan mempromosikan “universal respect for, and observance of, human rights and fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion.”(penghormatan menyeluruh atas hak-hak
51
Rudi M. Rizki, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Hak Azasi Manusia di Masa Lalu, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Triyadi Terre,(edit), op.cit., Halaman 312-313
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
asasi manusia dan kebebasan tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.) Berkaitan dengan pasal diatas maka Negara-negara anggota PBB memiliki kewjiban untuk mempromosikan HAM sebagaimana yang diatur dalam pasal diatas. Namun, apabila suatu Negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban tersebut maka dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap Piagam PBB. Tindakan yang bertentangan denagan kewajiban menurut Piagam PBB memiliki konsekuensi sebagai pelanggaran terhadap Piagam PBB. Khusus berkaitan dengan pasal di atas, misalnya suatu Negara melakukan pelanggaran berat HAM. Hal ini dapat dijelaskan, 52 “..the organization has over the years succeeded in clarifying the scope of the Member State’s obligation to “promote” human rights, expanding it and creating UN Charter-based institutions designed to ensure compliance by governments. Today it is generally recognized, for example, that a UN Member States which engages in practices amounting to a “consistent pattern of gross violations” of internationally guaranted human rights is not in compliance with obligation to “promote..universal respect for, and observance of..” these rights and that, consequently, it violates the UN Charter.”(PBB mengklarifikasikan kewajiban Negara anggotanya untuk mempromosikan hak-hak asasi manusia, memperluas dan menciptakan lembaga yang sesuai dengan traktat PBB yang dirancang untuk menjamin kepatuhan oleh pemerintah. Dewasa ini, sudah diakui secara umum misalnya bahwa Negara anggota PBB yang terlibat dalam praktekpraktek yang menggambarkan pola pelanggaran konsisten terhadap hak-hak asasi manusia yang diakui secara internasional, adalah ketidakpatuhan terhadap kewajiban untuk mempromosikan penghargaan atau penghormatan universal terhadap hak-hak yang didalam Traktat PBB). Sumber utama yang merupakan instrument hukum HAM internasional dikenal sebagai the International Bill of Human Rights. Instrument hukum tersebut terdiri dari: Deklarasi Universal HAM, Perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) serta Perjanjian International
52
Buergenthal dalam Andrey Sujatmoko, op.cit., Halaman, 27
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) beserta dua protocol tambahannya. Kewajiban Negara dalam soal HAM timbul sebagai komitmen dari Negara, seperti dinyatakan dalam pembukaan UDHR,”…member State have pledged themselves, in cooperation with the United Nations, the promotion of Universal respect for and observance of human rights and fundamental freedoms.”(Negara anggota telah bekerjasama dengan
PBB untuk meningkatkan penghormatan
secara universal terhadap hak-hak asasi dan kebebasan).Hal ini juga dinyatakan di dalam bagian pembukaan pada ICESCR dan ICCPR, “..considering the obligation of State under the Charter of the United Nations to promote universal respect for, and observance of, human rights and freedom,” Pernyataan lebih tegas bahwa Negara berkewajiban untuk melindungi dan menjamin HAM diatur dalam Pasal 2 ayat (1) ICCPR, “ Each State Party to the present Covenant…” Kewajiban tersebut secara nyata harus diwujudkan oleh Negara yang dalam hal ini dilaksanakan oleh otoritas yudisaial, administrative, legislative, maupun oleh otoritas lainnya dalam bentuk dilaksanakannya remedi terhadap individu yang telah menjadi korban pelanggaran HAM, diatur dalam Pasal 2 ayat (3) ICCPR. “Each State Party to the present Convenant undertakes: a. to ensure that any person whose rights or freedoms as herein recognized are violated shall have an effective remedy, notwithstanding that the violations has been commited by persons acting in an official capacity: b. to ensure that any person claiming such a remedy shall have his rights thereto determined by competent judicial, administrative or legislative authorities, or by any other competent authority provided for by the legal system of the state, and to develop the possibilities of judicial remedy; c. to ensure that the competent authorities shall enforce such remedies when garnted.”(setiap Negara dalam perjanjian berusaha; a. menjamin hak-hak atau kebebasan yang diakui akan mendapatkan tindakan pemulihan efektif, denagn ketentuan bahwa pelanggaran tersebut telah dilakukan diluar kekuasaan, b. menjamin bahwa setiap orang yang mengklaim pemulihan tersebut, akan memiliki hak-hak yang ditentukan oleh otoritas judicial, administrasi, dan legislative yang berwenang yag diberikan terhadap sistem hukum Negara dan untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan yudisial, c. menjamin bahwa otoritas yang berkompeten akan melaksanakan pemulihan bila sudah diberikan).
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Dalam konteks hukum internasional,
HAM kini telah diatur dalam
disiplin ilmu tersendiri yang merupakan cabang dari hukum internasional, yaitu hukum HAM internasional. Menurut Thomas Buergenthal, hukum HAM internasional adalah, “…as the law that deals with the protection of individuals and group against violations by their government of their internationally guranteed rights, and with the promotions of these rights.” 53(sebagai hukum yang menangani perlindungan individu dan kelompok terhadap setiap pelanggaran atau kekerasan oleh pemerintah atas hak-hak yang dijamin secara internasional) Menurut Haryomataram, hukum HAM internasional mencakup semua peraturan dan prinsip-prinsip yang bertujuan melindungi (protecting) dan menjamin (safeguarding) hak-hak individu apa pun status hukum mereka, yaitu penduduk sipil, anggota angkatan bersenjata, warga Negara asing, orang asing, pria ataupun wanita pada setiap saat, baik dalam keadaan damai maupun keadaan perang (atau perang saudara, pemberontakan), dalam wilayah Negara sendiri maupun diluar negeri. 54 Berdasarkan dua definisi diatas, terlihat kaidah-kaidah dan prinsipprinsip hukum HAM internasional mengatur perlindungan dan jaminan HAM setiap individu tanpa kecuali. Sebagai subjek, individu adalah pihak yang yang harus mendapatkan perlindungan dan jaminan terhadap HAM, sedangkan pada sisi lain Negara adalah pihak yang dibebani kewajiban untuk menjamin perlindungan dan jaminan terhadap HAM. 53
Ibid, Halaman 1
54
Haryomataram, Hukum Humaniter: Hubungan dan Keterkaitannya dengan Hukum Hak Azasi Manusia Internasional dan Hukum Pelucutan Senjata, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, Halaman 58
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Permasalahan HAM, berseiring dengan perkembangan kehidupan demokrasi , yang hendak menata ulang hubungan antara pengemban kekuasaan Negara dan para warga Negara, memang merupakan permasalahan yang selalu diperbincangkan. Perbincangan berkisar di seputar persoalan, seberapa besarkah kekuasaan dan kewenangan suatu rezim itu boleh ditenggang, dan seberapa luaskah kebebasan warga itu, di lain pihak, harus selalu diakui dan tak sekali-kali boleh dirampas atau dilangggar. 55 Era globalisasi telah membawa Negara Indonesia kepada isu-isu HAM internasional. Politik bebas aktif pemerintah Indonesia yang terimplementasi di PBB, berdampak terhadap keharusan Indonesia untuk meratifikasi atau mengadopsi instrument-instrumen hukum tentang HAM ke dalam hukum positif Negara Indonesia sebagai penghormatan terhadap PBB dan merupakan slah satu standar dalam ppergaulan antar Negara yang nantinya menyangkut nama baik Negara Indonesia sendiri. Adapun instrument –instrumen hukum tentang HAM tersebut adalah seperti Undang-Undang No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Hak Sipil dan Politik (Internasional Convenants on Civil and Political Rigths), Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Semua bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Form of Discrimination Againts Women) , Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment), dan Undang-Undang No.26 55
Todung Mulya Lubis,Op.cit,halaman xiiv
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM yang telah memenuhi standar
intrnasional. 56 Sejumlah HAM yang dikenal dewasa ini, diantaranya merupakan kategori hak-hak yang memiliki sifat tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut terdapat sejumlah HAM yang pelaksanaanya boleh ditunda, yaitu termasuk kategori ini antara lain hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk bergerak, hak untuk berkumpul, dan hak untuk berbicara. Ada sejumlah HAM yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya dalam keadaan apapun, yaitu termasuk ke dalam kategori non-derogable rights. Hak-hak yang termasuk kategori ini antara lain hak untuk hidup, hak untuk tidak dianiaya, hak untuk tidak diperbudak dan diperhamba, hak untuk tidak dipenjara karena tidak mampu membayar hutang, hak persamaan di depan hukum, hak untuk tidak diberlakukan hukum yang berlaku surut dan hak untuk bebas berpikir, berhati nurani, dan beragama. 57 Dalam perkembangannya, pelanggaran terhadap sejumlah HAM yang bersifat non-derogable rights ada yang memberikan kualifikasi sebagai suatu pelanggaran HAM berat. Pendapat yang mengatakan penggunaan kata ‘berat’ bermaksud untuk menggambarkan tingkah kerusakan, kerugian, atau penderitaan yang sedemikian hebatnya akibat dari pelanggaran HAM tersebut. 58 Dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat, seringkali pusat perhatian lebih ditunjukan kepada para pelaku. Perhatian lebih ditekankan pada 56
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Utomo, Bandung, 2004, Halaman 4 57
Pasal 4 ayat (2) ICCPR
58
Andrey Sujatmoko, Op.cit, Halaman 70
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
persoalan bagaimana menangkap, mengadili, dan menghukum para pelaku. Sementara hak-hak para korban yang bersifat massal cenderung diabaikan. Setiap pelanggaran terhadap HAM, apakah dalam kategori ‘berat’ atau bukan, senantiasa menerbitkan kewajiban Negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation) kepada para korbannya. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hak-hak korban harus dilihat sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan HAM secara keseluruhan. 59 Istilah reparation atau pemulihan adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran HAM; pemulihan itu dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Pemulihan dengan demikian merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada para korban. 60 Pentingnya
korban
memperoleh
pemulihan
sebagai
upaya
menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat dikemukakan oleh Muladi saat menyatakan: Korban kejahatan perlu dilindungi karena pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud system kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized trust). Terjadinya kejahatan atas diri korban akan bermakna penghancuran system kepercayaan tersebut sehingga pengatuaran hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut. Kedua, adanya argument kontrak sosial dan solidaritas sosial karena Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial karena Negara boleh dikatakn memonopoli seluruh reaksi 59
Ifdal Kasim, “Prinsip-Prinsip van Boven” mengenai Korban Pelanggaran HAM Berat Hak Azasi Manusia, dalam van Boven, Theo, Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, ELSAM, Jakarta, 2002, Halaman xiii. 60
Ibid, Halaman xvi.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan maka Negara harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 61 Every states should provide an effective framework of remedies to redress human rights grievances or volations. The administration of justice, including law enforcement and prosecutorial agencies and especially an independent judiciary and legal professional in full conformity with applicable standarts contained in human rights instruments, are essentials to the full and non-discriminatory realization of human rights and indispensable to the process of democracy and sustainable development. (paragraph 27 of the Vienna Declration and Progamme of Action, World Conference on Human Rights, Vienna 14-25 June 1993) (setiap negara harus memberikan kerangka kerja yang efektif bagi pemulihan untuk menangani pelanggaran hak-hak asasi manusia. Administrasi keadilan, termasuk pelaksanaan hukum dan agen prsekutiral dan judisiari independent dan profesi hukum yang sepenuhnya hak-hak asasi manusia bagi proses demokrasi dan pembangunan yang berkesinambungan(paragap 27 dari Deklarasi da Program Aksi Konrfrensi Dunia tentang hak-hak asasi manusia, Vienna 14-25 Juni 1993) Komitmen diatas diberikan oleh Negara-negara anggota PBB dalam rangka implementasi atas pelbagai konvensi 62 yang memberikan perlidungan HAM, Indonesia sebagai salah satu Negara yang turut mendeklarasikan Vienna Declaration and Progamme of Action (International Convenants on Civil and 61
Muladi, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana: Sebagaiman dimuat dalam Kumpulan Karangan Hak Azasi Manusia, Politik da Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997, Halaman 172 62
Rangkaian Konvensi HAM tersebut adalah Convention against Torture, Convention on The Rights of Children, International Convennants on Civil and Political Rights, Internasional Convenants on Civil and Politicial Rights, International Convenant, on Social, Economic and Cultural Rights, ‘Convention on Political Rights of Women, Internasional Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Political Rights) memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa terdapat kerangka yang efektif untuk memberi ganti rugi atas pelanggaran HAM, administrasi dan independensi peradilan di tingkat nasional sejalan dengan instrument HAM internasioanal yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Perangkat perlindungan HAM di Indonesia mulai berjalan seiring dengan diberlakukannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM di Indonesia. Dalam UU Pengadilan HAM pada Pasal 35 diatur pula mengenai hakhak korban berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Aturan ini diperkuat dengan PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat. Namun aturan tersebut sampai saat ini tidak dapat dilaksanakan, karena sangat berkait dengan prosedur ganti kerugian seperti yang diatur dalam KUHAP. Tidak ada satupun jaksa yang menangani pelanggaran HAM Berat ini yang mengajukan tuntutan adanya kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi ke pengadilan. 63 Pengaturan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur pula dalam Pasal 75 ayat (1) Statuta Roma bahwa Makamah harus menetapkan prinsipprinsip yang berkenaan dengan, korban, termasuk kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Atas dasar ini, dalam keputusannya Mahkamah atas permohonan ataupun atas mosinya sendiri dalam keadaan-keadaan luar biasa, dapat menentukan ruang lingkup dan luasnya setiap kerusakan, kerugian, atau luka para korban dan akan menyatakan prinsip-prinsip yang digunakan Mahkamah untuk bertindak. Mahkamah dapat membuat suatu Perintah untuk secara langsung 63
Supriady Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman, Zainal Abidin, op.cit Halaman 18
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
kepada seseorang yang dihukum dengan memerinci ganti rugi yang layak terhadap korban, termasuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun sebelum Mahkamah mengeluarkan perintahnya tersebut, Mahkamah perlu mengundang dan mempertimbangkan pandangan dari: 1. wakil terdakwa atau orang yang bertindak untuk dan atas nama terdakwa (bukan penasehat hukumnya), 2. wakil dari korban atau orang yang bertindak atas nama korban, 3. orang-orang lain yang merasa berkepentingan, atau 4. Negara-negara yang berkepentingan Apabila sesuai, Mahkamah dapat memutuskan bahwa pemberian ganti rugi tersebut dapat dilakukan melalui Trust Fund. Dalam hal ini korban juga diberi hak pemulihan atau ganti kerugian atas dirinya
yang khusus untuk meminta
akibat darikejahatan di bawah
yurisdiksi Statuta kepada Mahkamah di tingkay banding melalui panitera (registry). 64 Permintaan pemulihan atas diri korban tersebut diatur lebih lanjut dalam The Rule of Procedure and Evidence sebagai aplikasi dari Statuta Roma.
B. Bentuk- bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan “extra ordinary crime” dan berdampak secrara luas baik pada tingkat nasional maupun
64
Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan Kejahatan Agresi (pasal 5 ayat 1 Statuta Roma)
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
internasional dan bukan merupakan tindak piadana yang diatur dalam di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateiil yang merupakan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan
supremasi
hukum
untuk
mencapai
kedamaian,
ketertiban,
ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. 65 Di Indonesia, istilah kejahatan terhadap kemanusiaan secara yuridis baru dikenal sejak diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Berdasarkan UU tersebut, salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Pengadilan HAM adalah mengadili Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
sebagai salah satu pelanggaran
HAM yang Berat. Berdasarkan penjelasan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000, Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam ketentuan UU ini sesuai dengan Rome Statute of International Criminal Court. Oleh karena itu, berbagai logika dan spirit hukum serta serta perundang-undangan yang menjiwai dan terkait atas dasar Statuta Roma haruslah dipahami dengan baik. 66 Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia sebagaimana diatur dalam No. 26 tahun 2000 mengadopsi Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar pembentukan International Criminal Court (ICC) sebagai peradilan internasional permanent yang berwenang mengadili salah satu kejahatan internasioanl berupa Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity). Pelanggaran HAM Berat
menurut Theo Van Boven, kata ‘berat’
menerangkan kata ‘pelanggaran’, yaitu menunjukkan betapa parahnya akibat 65
R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manuisa, Kencana, Jakarta, 2006, Halaman 170
66
R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Kencana, Jkarta, 2006, Halaman 170
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pelanggaran yang dilakukan. Kata ‘berat’ juga berhubungan dengan jenis hak asasi manusia yang dilanggar. 67 Sesuai Statuta Roma yang menjadi dasar pendirian Makamah Pidana Internasional, tindak pidana yang menjadi yurisdiksi makamah ini adalah tindak yang bersumber pada HAM, yaitu: 1. Kejahatan Genosida Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a.
membunuh
b.
mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok
c.
menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.
d.
Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok
e.
Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Secara umum pengertian kejahatn genosida dalam UU No. 26 Tahun
2000 tidak berbeda dengan pengertian kejahatan genosida menurut Statuta Roma tahun 1998 Pasal 6. 2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaaan adalah salah satu perbtuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang 67
Todung Mulya Lubis, Op.cit, Halaman 57
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa : a.
pembunuhan
b.
pemusnahan
c.
perbudakan
d.
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
e.
perampasan kemerdekaan atau atau perampasan kebebasn fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasioanal
f.
penyiksaan
g.
perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemanduan, atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara
h.
penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis, kelamin, atau alsan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional
i.
penghilangan orang secara paksa atau
j.
kejahatan apartheid Kejahatan terhadap kemanusiaan UU No. 26 tahun 2000 mengacu pada
Pasal 7 Statute Roma yang di dalam ayat (2) statute tersebut menjelaskan antara lain: a. serangan tersebut terhadap suatau kelompok penduduk sipil berarti serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda dari perbuatan yang mencakup pelaksanaan dari perbuatan yang dimaksud dalam ayat 1 terhadap kelompok penduduk sipil, sesuai dengan atau Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
sebagai kelanjutan kebijakan Negara atau organisasi untuk melakukan serangan tersebut. Pemusnahan mencakup ditimbulkannya secara sengaja pada kondisi kehidupan, antara lain dihilangkannya akses kepada pangan dan obatobatan, yang diperhitungkan akan membawa kehancuran terhadap sebagian penduduk. Perbudakan berarti pelaksanaan dari setiap atau semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan atas seseorang dan termasuk dilaksanakannya kekeuasaan tersebut dalam perdagangan manusia, khususnya ornag, perempuan, dan anak-anak. Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa berarti perpindahan orang-orang yang bersangkutan secara paksa dengan pengusiran atau perbuatan pemaksaaan lainnya dari daerah dimana mereka hidup secara sah, tanpa alasan yang diperbolehkan berdasar hukum internasional Penyiksaan berarti ditimbulkannya secara sengaja rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik fisik ataupun mental, terhadap seseorang yang ditahan ataupun dibawah pengawsan tertuduh; kecuali kalau siksaan itu tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari yang melekat pada atau sebagai akibat dari sanksi yang sah. Penerjamahan “prosecution” menjadi penganiayaan.. Prosecution mempunyai arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik atau ekonomis. Dengan digunakan istilah penganiayaan ini maka tindakan terror dan intimidasi atas seseorang atau kelompok sipil tertentu berdasarkan kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori ini. Penghamilan paksa berarti penahanan tidak sah terhadap seorang perempuan yang secara paksa dibuat hamil, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis dari suatu kelompok penduduk atau melaksanakan suatu pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Definisi ini betapa pun juga tidak dapat ditafsirkan sebagai mempengaruhi hukum nasional yang berkaitan dengan kehamilan. Kejahatan arphatheid berarti perbuatan tidak manusiawi dengan dengan sifat yang disebutkan dalam ayat 1, yang dilakukan dalm konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi sistemik oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu. Penghilangan paksa berarti penangkapan, penahanan, atau penyekapan orang-ornag oleh atau dengan kewenangan, dukungan atau persetujuan diam-diam dari suatu Negara atau suatu organisasi politik yang diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kebebasan itu atau untuk memberi informasi tentang nasib atau keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk memindahkan mereka dari perlindungan hukum untuk suatu kurun waktu yang lama.
3. Kejahatan Perang
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Makamah Pidana Internasional memiliki yuridiksi terhadap Kejahatan Perang yang merupakan bagian dari rencana poltik maupun rencana besar yang merupakan pemufakatan jahat. Pada Pasal 8 Statuta Roma, Kejahatan Perang diartikan bermacammacam. Berdasarkan Geneva Convention tanggal 12 Agustus 1949, Kejahatan Perang dirtikan sebagai suatu tindakan atau serangan terhadap seseorang atau atas sesuatu yang dilindungi Konvensi Jenewa: 1.
Dengan sengaja membunuh
2.
Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis
3.
Dengan sengaja menyebabkan penderitaan atau kerusakan serius pada tubuh atau kesehatan
4.
Pengrusakan parah dan menguasai secara tidak sah suatu benda, bukan diarahkan oleh paksaan militer dan membawanya secara melawan hukum
5.
Pemaksaan tahanan perang atau orang yang dilindungi untuk bekerja secara paksa dibawah kekeuatn musuh
6.
Dengan sengaja merampas tahanan perang atau ornag yang dilindungi secara HAM
7.
Pengusiran denagn cara melawan hukum atau pemindahan secara melawan hukum
8.
Menyandera
4. Kejahatan Agresi Kejahatan Agresi merupakan salah satu jenis kejahatan yang ditangani oleh Mahkamah Pidana Internasional. Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
(d). namun masih terdapat beberapa perdebatan ketika Kejahatan Agresi ini dimasukkan ke dalam Statuta Roma. Amerika adalah pihak yang paling keberatan apabila Kejahatan Agresi dimasukkan ke dalam jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Amerika lebih suka apabila yang menentukan kejahatan tersebut adalah Dewan Keamanan PBB. Keberatan yang diajukan Amerika tersebut tidak mendapat tanggapan positif dari Negara lain termasuk Negara-negara yang selama ini menjadi kawan aliansinya sperti Negara-negara Eropa yang tergabung dalam Nato. Meskipun demikian pada hasil akhirnya, Makamah Pidana Internasional tidak dapat menggunakan yurisdiksinya atas suatu tindakan agresi. Dewan Keamanan PBB merupakan pihak yang berwenang untuk menentukan apakah tindakan tersebut masuk kedalam Kejahatan Agresi atau tidak. Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap kemanusiaan pertama kali dalam peradilan penjahat perang dunia II, di Jerman maupun di Tokyo. Selanjutnya pasca perang dingin hingga saat ini melalui pembentukan peradilan internasioanl yang baik yang bersifat ad hoc yaitu ICTR (Internatioanl Criminal Tribunal for Rwanda) 29 dan ICTY (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia) maupun peradilan yang bersifat permanent yaitu ICC (International Criminal Court). Apabila ditelaah definisi dari kejahatan terhadap kemanusiaan, maka unsur-unsurnya adalah secara “meluas’ atau “sistematis” terhadap penduduk sipil dan bukannya merupakan kejahatan yang spontan atau sporadic. Pengertian “sistematis” berkaitan dengan suatu kebijakan/rencana yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana tersebut, sedangkan pengertian “meluas” (widespread)
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
cenderung merujuk kepada jumlah korban (massive), skla kejahatan dan sebaran tempat. Selanjutnya unsur yang kedua adalah adanya pengetahuan (knowledge) dari pelaku bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan bagian dari atau dimaksudkan untuk menjadi bagian serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil. Tetapi perlu ditegaskan bahwa untuk dapat dipidana karena melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak diisyaratkan bahwa si pelaku telah mengetahui seluruh karakteristik dari serangan atau rincian pasti dari perencanaan atau policy dari Negara atau organisasi tersebut. Secara umum unsur-unsur kejahatan mencakup mencakup unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif (criminal,
Act, actus reus), yang berupa
adanya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum serta tidak adanya pembenar. Sedangkan unsure subjektif (criminal responbility, mens area), yang mencakup unsur kesalahan dalam arti luas dan meliputi kemampuan untuk bertanggung jawab, danya unsur kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf. Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM berat, terdapat suatu prinsip umum yang menyatakan bahwa unsure-unsur kejahatan (the elements of crimes) terdiri atas: 68 a. unsur matrial yang berfokus pada perbuatan (conduct), akibat (consequences) dan keadaan-keadaan (circumstances) yang menyertai sutu perbuatan b. unsur mental yang relevan dalam bentuk kesengajaan (intent), pengetahuan (knowledge) atau keduanya.
68
Ibid, Halamn 132
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Sesuai Article 30 Statuta Roma yang mengatur “mental element” maka ada kesengajaan (intent) apabila sehubungan dengan perbuatan (conduct) tersebut si pelaku berniat untuk melakukan/turut serta dalam perbuatan tersebut dengan akibatnya (consequences) si pelaku berniat untuk menimbulkan akibat tersebut atau sadar (aware) bahwa pada umunya akibat akan terjadi dalam kaitannya dengan perbuatan tersebut. Sedangkan “knowledge” diartikan sebagai kesadaran (awarness) bahwa suatu keadaan terjadi atau akibat pada umumnya akan timbul sebagai akibat kejadian tersebut. Oleh karena itu, tahu (know) dan mengetahui (knowlingly) harus ditafsirkan dalam kerangka tersebut. Sehubungan dengan permasalahan diatas, hal yang diatur dalam permasalahan diatas, hal-hal yang harus mendapatkan perhatian serius adalah dua elemen
terakhir
dari
setiap
Kejahatan
Terhadap
Kemanusiaan
yang
menggambarkan konteks dalam hal mana perbuatan tersebut dilakukan. Kedua elemen tersebut adalah: a. perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas (widespread) atau sistematik (systematic) ditujukan terhadap penduduk sipil. b. Keharusan adanya penegetahuan (with knowledege) pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan bagian serangan yang meluas atau sistematik tehadap penduduk sipil. Article 7.2.a Statuta Roma menegaskan bahwa,” the term of attack is defined as a course of conduct involving the multiple commission of act reffred ti in paragraph 1 againts any civilian population, pursuant to or in furtherance of a state or organization plicy to commit such attack”. Dengan demikian secara implisit dapat disimpulkan bahwa serangan tersebut tidak memerlukan karakter sebagai suatu serangan militer (military attack). Dan selanjutnya, dapat pula diketahui bahwa dari kata organized policy,
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
bahwa kejahatan tersebut dalam kondisi tertentu dapat dilakukan oleh non state actors. Selanjutnya adanya persyaratan persyaratan bagi pelaku yang harus memiliki “knowledge attack”, haruslah diartikan sebagai kesengajaan khusus (spesificintent).
Misalnya
seseorang
yang
melakukan
serta
melakukan
pembunuhan (murder), tetapi tidak sadar bahwa perbuatannya merupakan bagian dari suatu
serangan yang meluas (widesdpread) atau sitematik (systematic)
terhadap penduduk sipil, dapat dinyatakan salah telah melakukan pembunuhan, tetapi tidak dalam rangka kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi perlu ditegaskan bahawa untuk dapat dipidana karena melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak diisyaratkan bahwa si pelaku (perpetrator) telah mengetahui seluruh karakteristik dari serangan atau rincian pasti (prescise details) dari perencanaan atau policy dari Negara atau organisasi tersebut. Persyaratan yang berkaitan dengan alasan/sebab (motive) kejahatan, sekalipun tidak terncantum dalam definisi kejahatan terhadap kejahatan kemanusiaan, hal ini tetap relevan sebagai indikator kesalahan (indicator of guilt), disamping untuk menentukan sanksi pidana yang tepat atau proporsional. Menurut Peter Baehr, pelanggaran HAM Berat akan menyangkut masalah-masalah yang meliputi: “the probihiton of slavery, the right to life, torture and cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, genocide, disappearances and ‘ethic cleansing’. 69(larangan perbudakan, hak untuk hidup, penyiksaan dan kekerasan, tindakan atau perbuatan yang tidak manusiawi atau yang bersifat mendegradasi, ataupun hukuman, genosida, ketidakpatuhan dan pembersihan etnis)
69
Peter R. Baehr, Human Rights University in Practise, New York, St. Martins, 1999 Halaman 20 dalam Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM Indonesia; Timor Leste, Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2005 Halaman 6
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Menyangkut tindakan agresi, genosida, apartheid dan kolonialisme, Manfred Mohr menyatakan hal tersebut adalah ‘serius’ karena merupakan ancaman terhadap kedamaian perdamaian dan keamanan internasional yang melanggar prinsip-prinsip dasar piagam PBB dan tatanan hukum internasional secara subtansial,
hal tersebut
merupakan
pelanggaran atas kewajiban
internasional yang penting bagi perlindungan kepentingan dari masyarakat internasional dan planggaran atsa hal itu telah diakui sebagai kejahatan terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan. 70 Salah satu bentuk-bentuk pelanggaran berat HAM antara lain kasus genosida yang dilakukan oleh Khmer Merah di Kamboja (1975-1979) menyebabkan kematian antara satu sampai dua juta orang. 71 Bentuk tanggung jawab Pemerintah Kamboja atas terjadinya genosida tersebut diwujudkan dengan akan dibentuknya pengadilan khusus bekerja sama dengan PBB untuk mengadili para pelaku pelaku Pelanggaran HAM Berat
yang terjadi pada masa Khmer
Merah berkuasa. Sebagaimana yang dialami oleh berbagai Negara lainnya pada masa transisi politik, di Indonesia pada era reformasi telah muncul berbagai tuntutan untuk menyelesaiakan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Tuntutan itu mengarah kepada bebrbagai kasus, misalnya kasus-kasus terbunuhnya para mahasiswa dalam kegiatan demintrasi karena bentrok dengan aparat keamanan, seperti yang dikenal dengan kasus Trisakti (12 Mei 1998), Semangi 1 (13 November 1998), dan Semang II (22-24 September 1999). Ada pula kasus-kasus 70
Manfred Mohr, The ILC’S Distinction between “International Crimes” and “International Delicts” and its Implications, New York, 1987, Halaman 126-127 dalam Ibid, Halaman 143 71
Ibid, halaman 27
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
lainya yang juga dituntut untuk diselesaikan seperti kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok (12 September 1984), kasus pelanggaran HAM berat di Aceh semasa penerapan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 19891999 dan kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dilli dan Suai.
72
Beberapa Kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia a. Kasus Timor Timur Kasus Timor-Timur bermula dari kebijakan pemerintah Indonesia pada tanggal 27 Januari 1999 untuk memeberikan dua opsi kepada rakyat Timor-Timur. Opsi tersebut adalah menerima atau menolak otonomi khusus. Kekerasan bermula setelah jajak pendapat yang dimenangkan oleh kelompok pro-kemerdekaan. Masyarakat internsional memandang kekerasan ini sebagai kejahatan HAM yang berat. Usul bebrapa Negara agar Dewan keamanan PBB untuk membentuk Peradilan Ad Hoc seperi halnya kasus Yugoslavia dan Rwnada, berhasil digagalkan oleh Indonesia. Indonesia menyatakan masih dapat mengadili pelakunya berdasarkan hukum nasional Indonesia. 73 Berkaitan dengan diplomasi tersebut pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1264 (1999). Resolusi tersebut mengutuk tindakan kekerasan sesuai jajak pendapat di Timor-Timur. Resolusi juga mendesak pemerintah Indonesia agar mengadili mereka yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan. 74Atas dasar
72
Satya Arinanto, Op.cit, Halaman 279
73
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, CV Yrama Widya, Bandung, 2004, Halaman 95 74
Soedjono Dirjdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2002, Halaman 34
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
itulah pemerintah Indonesia mengundangkan UU Hak Asasi Manusia dan UU Pengadilan HAM. Bulan Febuari 2002, Pengadilan HAM Ad Hoc ini mulai beroperasi mengadili kasus-kasus kejahtan kemanusiaan di Timo Leste. Pengadilan HAM Ad Hoc Timor-Timur memeriksa dan mengadili 18 orang terdakwa yang dibagi menjadi 12 berkas perkara. 75 Secara keseluruhan para terdakwa didakwa dan dituntut telah melakukan kejahatn kemanusiaan yang terjadi menjelang dan setelah jajak pendapat di tiga wilayah di Timor-Timur, yaitu Dili, Covalima dan Liquisa. Dari 18 orang terdakwa ini, 13 orang dinyatakan bebas dan 5 orang lainnya dinyatakan bersalah adalah (1) Abilio Jose Ososrio Soares (mantan Gubernur Timor-Timur), divonis 3 tahun penjara; (2) Euricco Guterres (mantan wakil Panglima PPI), divonis 10 tahun penjara; (3) Brigjend Noer Muis (mantan Komandan Koren 164/wiradharama) divonis 3 tahun penjara; (4) Hulman Gultom (mantan Kapolres Dili), divonis 3 tahun penjara; dan (5) Letkol Soedjarwo (mantan Kondim Dilli) divonis 5 tahun penjara. 76 Namun, pada Proses Pengadilan HAM Timor-Timur ini,walaupun dinyatakan telah jatuh korban, masalah hak-hak korban ini sama sekali tidak muncul. Bahkan, tidak ada satupun putusan pengadilan , baik dalam pertimbangan maupun amar putusannya yang membahas atau mencantumkan mengenai hak kompensasi dan restitusi. Tidak dibahas atau dicantumkannya mengenai hak-hak korban ini sangat mengecewakan, mengingat pengadilan telah mengakui adanya pelanggaran HAM yang berat di Timot-Timur 75
Yaitu Abilio Soares, Timbul Silaen, Herman Sedyono dkk (Liliek Koeshadianto, Gatot Subiyaktoro, Achmad Syamsudin dan Sugito) Eurico Guterrres, Soerdjawo, Endar Priyanto, Adam Damiri, Hulman Gultom, M Noer Muis, Jajat Sudrajat, Tono Suratman dan Asep Kusawani dkk (Adios Salova, Leonito Martins) 76
Satya Arinanto, Op.cit, Halaman 335
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
menjelang dan setelah jajak pendapat 1999 dan jatuhnya korban dalam peristiwa tersebut.77 Tidak adanya pembahasan atau putusan mengenai kompensasi dan restitusi bagi korban tersebut, kemungkinan besar disebabkan tidak adanya permohonan kompensasi dan restitusi yang diajukan ke pengadilan sebagaimana yang ketentuan Pasal 35 UU Pengadilan HAM. Namun terlepas dari tidak adanya permohonan dari penuntut umum maupun korban, tidak diakuinya hak-hak korban dalam pengadilan ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip internasional yang telah diakui oleh hukum internasional. 78
b. Kasus Tanjung Priok Kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok (September 1984) ini bermula dari ditahannya empat orang, masing-masing bernama Achmad Syahi, Syafwan Sulaeman, Syafrudin Rambe dan M. Nur yang diduga terlibat pembakaran sepeda motor Babinsa. Mereka ditangkap oleh Polres Jakarta Utara, dan kemudian ditahan di Kodim Jakarta Utara. Atas kejadian tersebut pada tanggal 12 September 1984, diadakan tabligh akbar di Jalan Sindang oleh Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat setempat, didalam ceramahnya menuntut pada aparat keamanan untuk membebaskan empat orang jama’ah Musholla As Sa’adah yang ditahan. 77
http://myfilesexpress.com/download.php?file=Pengadilan_HAM_Kasus_Timor_Timur_checked.rar. Diakses tanggal 4 Desember 2009 78
http://komisiyudisial.go.id/index.php?option=com.content&view=article&kid=469%3A korban pelanggaran ham. Diakses tanggal 4 Desember 2009
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Akan tetapi ke empat orang tersebut tidak dibebaskan yang akhirnya Amir Biki mengerahkan massa ke kantor Kodim Jakarta Utara dan Polsek Koja. Massa yang bergerak kearah Kodim, di depan Polres Metro Jakarta Utara, dihadang oleh satu regu Arhanud yang dipimpin oleh Sersan dua Sutrisno Mascung di bawah komando Kapten Sriyanto, Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara. Situasi berkembang sampai terjadi penembakan yang menimbulkan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang. Pengadilan HAM Tanjung Priok memeriksa dan mengadili 14 orang terdakwa yang diduga bertanggung jawab dalam peristiwa pelanggaran HAM Tanjung Priok. Dari 14 orang terdakwa tersebut, 12 orang dinyatakan terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM yang berat dan dijatuhi hukuman, dan 2 orang terdakwa lainnya dinyatakan tidak terbukti
bersalah. 79 Mengenai
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi di dalam Pengadilan HAM Tanjung Priok diterapkan secara progresif oleh pengadilan, terutama dalam putusan Sustrisno Mascung, dimana dalam amar putusan pengadilan yang secara tegas mencantumkan mengeai pmberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban pelanggaran HAM Berat Tanjung Priok. 80
c.kasus Arbepura kasus Arbepura ini bermula dengan penyerangan massa pada 7 Desember 2000, terhadap Mapolsek Abepura yang mengakibatkan seorang polisi meninggal dunia (Bripka Petrus Eppa) dan tiga orang polisi lainnya luka-luka. 79
Yang dinytakan bersalah adalah R. Butar-Butar dan Sutrisno,dkk. Sedangkan yang tidak bersalah adalah Sriyatno dan Pranowo 80
Putusan Perkara No. 03/Pid.Ham/ad Hoc/2003
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Disertai pembakaran ruko yang berjarak seratus meter dari Mapolsek. Terjadi juga penyerangan dan pembunuhan satpam di kantor dinas otonom Kotaraja. Pasca penyerangan massa ke Malpolsek Abepura tersebut, Kapolres Jayapura AKBP Drs. Duad Sihombing, SH setelah melapor kepada Wakapolda Brigjend (Pol) Drs. Moersoetidarno Moehardi D. yang langsung melaksanaka perintah perasi untuk pengejaran dan penyekatan ke tiga
asrama mahasiswa dan tiga pemukiman
penduduk sipil. Di asrama Ninmin satuan Brimob melakukan pengrusakan, pemindahan paksa (involuntary displace persons), ancaman , makian, pemukulan, pengambilan hak milik (right to property) mahasiswa. Di asrama Yapen Waropen satu mahasiswaterserempet peluru, lainnya dipukul, ditendang dan dilempar ke dalam truk untuk dibawake Mapolsek. Begitu pula penyiksaan dan penangkapan terjadi di asrama IMI (Ikatan Mahasiswa Ilaga). Penangkapan dan penyiksaan (persecution) berualng-ulang terjadi juga di pemukiman penduduk sipil kampung Wamena Abepantai, suku lani asal Memberamo di Kotaraja, dan suku Yali di Skyline. Telah terjadi pembunuhan kilat oleh anggota Brimob, Elkius Suhuniap di Skyline. Dan telah terjadi kematian dalam tahanan Polres Jayapura (dead in custody) akibat penyiksaan (torture) terhadap Joni Karunggu dan Orry Dronggi. Dalam peristiwa pengejaran dan penangkapan itu adalah terdapat indikasi terjadinya pelanggaran kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan HAM Arbepura mengadili dua orang terdakwa yang diduga bertanggung jawab dalam peristiwa Arbepura yaitu Komisaris Besar Polisi Drs. Johny Wainal Usman sebagai komandan Satuan Brimob Polda Irian Jaya dan Ajun Komisaris Besar Polisi Drs. Daud Sembiring SH sebagai pengendali dan pelaksana perintaj operasi, yang proses pengadilannya dilaksanakan di Pengadilan
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Negeri Makasar. Pengadilan HAM ini, berlainan dengan Pengadilan HAM TimorTimur dan Tanjung Priok yang bersifat Ad Hoc, karena perkara Arbepura ini terjadi setelah UU Pengadilan HAM berlaku Efektif. Keduanya dibebaskan pengadilan dengan alasan peristiwa Arbepura bukan merupakan pelanggran HAM Berat sebagaimana dimaksud dalam UU Pengadilan HAM. Di samping kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur, Tanjung Priok dan Arbepura yang telah diadili dalam Pengadilan HAM.,ada beberapa kasus-kasus yang diduga merupakan Kejahatan HAM Berat. Kasus-kasus tersebut dapat berupa pelanggaran HAM berat yang dilakukan Negara (melalaui aparatnya) terhadap rakyat, 81
ataupun yang terjadi diantara kalangan rakyat
sendiri, yakni antara kelompok rakyat yang satu dengan kelompok rakyat yang lainnya. 82 Bebrapa kasus tersebut antara lain: a. Kasus Aceh Kelahiran Gerakan Aceh Merdeka tanngal 4 Desember 1979 menyebabkan konflik yang semakin meluas di Aceh, karena pihak pemerintah dan GAM saling bersikukuh pada prinsipnya masing-masing. Hal ini telah mengakibatkan puluhan ribu kasus Pelanggaran HAM yang menimpa rakyat sipil ketika berlakunya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh tahun 1989 hingga 1998. Pendekatan Keamanan yang dilakukan Pemerintah tersebut mengakibatkan puluhan ribu anak menjadi yatim dan wanita menjanda, ribuan orang meninggal
81
Atau yang lazim dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang bersifat vertikal
82
Atau yang lazim dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang bersifat horizontal
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
dunia, hilang dan disiksa, ratusan wanita dperkosa dan kehilangan tempat tinggal serta barang-barang berharga, puluhan anak lahir tanpa bapak.. 83 Menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, dalam periode tahun 2001 warna kekerasan masih mengental di bumi Aceh , dan tercatat tidak kurang dari 2.325 kasus aksi kekerasan terhadap kemanusiaan telah terjadi. Kasus-kasus kekerasan yang dimaksud meliputi sekitar 1.000 kasus pembunuhan, 683 kasus penyiksaan, 107 kasus penghilangan orang secara paksa, dan 535 kasus penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang. 84 Sebagai bahan perbandingan, menurut Komosi untuk Orang Hilanag dan Korban Tindak Pidana Kekerasan (Kontras), sepanjang tahun 2001, hingga bulan September, terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI dan Polri sebanyak 353 peristiwa, GAM sebanyak 62 peristiwa, dan 357 peristiwa yang tidak teridentifikasi. 85 Selanjutnya pasca pencabutan DOM 8 Agustus 1998 lalu oleh Panglima TNI Jendral Wiranto, berbagai kerusuhan dan tragedi terus berlanjut, akibatnya korban kembali berjatuhan, mulai dari tragedi kerusuhan Lhoksumaw, tragedy Gedung KNPI, tragedi Idi Cut, tragedi KKA, Penembak Misterius (Petrus) dan mengungsinya masyarakat dalam jumlah besar dari desa mereka. Selanjutya investigasi TPF-DPR RI, komnas HAM, TGPF Pemda yang hinnga kini belum mampu satu orang pun pelaku pelanggaran HAM di Aceh di seret ke Pengadilan.
83
84
Sumber data dari Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP-HAM) Banda Aceh
“Sebanyak 2.325 Kasus Kekerasan Terjadi www.kompas.com/0112/3headline/015.htm, 14 November 2009
di
Aceh
2001”,
85
http://
“Kontras Sarankan Pemerintah Tolak Pembentukan Kodam di Aceh”, http:// www.kompas.com/0201/07/headline/039.htm, 14 November 2009
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Yang lebih memprihatinkan ialah terjadinya perluasan daerah konflik yaitu, yang pada akhir tahun 2001 bahkan telah mencapai hampir seluruh wilayah Aceh, kecuali Sabang dan Kabupaten Simelue. Dengan demikian, pada akhir tahun yang lalu , peta kekerasan telah terjadi hampir merata di seluruh wilayah Aceh. Sementara itu, selama tahun 2001, para aktivis HAM, pro demokrasi, dan kemanusiaan semakin mengalami tindakan represif yang sangat tinggi, sehingga hal ini mengakibatkan semakin mengecilnya ruang berekspresi bagi para aktivis untuk menyuarakan keprihatinnya terhadap masalah Aceh. 86
b. Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II Diantara berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi dalam era reformasi dan belum terselesaikan hingga saat ini adalah kasus Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi I (13 November 1998), Semanggi II (22-24 September 1999). Kasus-kasus yang menyebabkan terbunuhnya beberapa orang mahasiswa akibat peristiwa bentrokan dngan aparat keamanan ini sebenarnya terjadi dalam konteks berbeda-beda. Sebagaiman yang diketahui, tragedy Trisakti tanggal 12 Mei 1998 tersebut telah merenggut empat korban mahasiwa Trisakti, yakni Elang Mulia Lesmana, Hery Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidin Royan. Sebagai kelanjutan dari tragedi ini kemudian terjadilah kerusuhan sosial yang sangat luas di Jakarta dan sekitarnya pada tanggal 13-15 Mei 1998, yang berakhir dengan berhentinya Soeharto sebagai Presiden RI. Hingga saat ini, belum ada pihak yang bertanggung jawab terhadap kerusuhan sosial yang meluas itu. 87 86
Ibid
87
“Komnas Tolak Sempurnakan Berkas Kasus Trisakti,” Kompas, 4 September 2002, Halaman 7
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Kasus Semanggi I (13 November 1998) terjadi saat para mahasiswa yang sedang berunjuk rasa untuk menentang pelaksanaan Sidang Istimewa MPR pada bulan November 1998 bentrok dengan aparat keamanan di kawasan Semanggi, yang mengakibatkan sejumlah orang tewas. Sedangkan kasus Semanggi II (22-24 September 1999) terjadi pada saat mahasiswa yang sedang berunjuk rasa untuk menolak
diberlakukannya
Rancangan
Undang-Undang
(RUU)
tentang
Penanggulangan Keadaan Bahaya bentrok dengan aparat aparat keamanan. Peristiwa yang juga terjadi di sekitar kawasan Semanggi ini menyebabkan tewasnya sjumlah orang termasuk dari kalangan mahasiswa. 88 Dalam konteks tragedy Trisakti, Tim Trisaksti untuk Penuntasan Kasus 12 Mei (TPK 12 Mei) melaporkan bahwa 4 orang mahasiswa telah meninggal dunia dan 5 orang lainnya menderita parah akibat tembakan senjata api. Disamping itu, 17 orang lainya telah menderita luka-luka berat akibat tembakan peluru karet. Dalam peristiwa Semanggi I, Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TruK) melaporkan bahwa 16 orang telah meninggal dunia dab 456 orang menderita luka-luka berat akibat tembakan senjata api. Selanjutnya Semanggi II, laporan TruK mencatat 10 orang meninggal dunia dan 8 orang menderita lukaluka akibat tembakan senjata api yang dilepaskan oleh aparat keamanan. Dalam tragedy tersebut, tidak kurang dari 304 orang menderita akibat tembakan senjata api.
88
“Muladi soal Kasus Trisakti dan Semanggi I-II: Lebih Baik Diselesaikan dengan Hukum Nasional,” Kompas, 16 Mei 2002 Halaman 7
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT
A. Prinsip dasar perlindungan korban terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Deklararsi
Universal
Hak
Asasi
Manusia
(DUHAM)
yang
dideklarasikan tanggal 10 desember di istana Chaillot, paris. Bahwa DUHAM yang bersifat internasional bisa disimpulkan berdasar argumentasi logis, tetapi bisa juga berdasarkan argumentasi hisroris. DUHAM yang biasa dipahami sebagai HAM generasi pertama, mendorong lahirnya HAM generasi kedua (hak-hak sosial, ekonomi, budaya), HAM generasi ketiga (hak-hak kelompok penentuan nasib sendiri, hak atas pembangunan atau perkembangan, hak atas kesehatan dan sebagainya). Oleh karena itu, DUHAM mempunyai prinsip-prinsip perlindungan mengenai HAM, yaitu: 89
89
http://legal.daily-thought.info/2008/03/prinsip-prinsip-perlindungan-ham/ diakses tanggal 4 Desember 2009
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
1. Prinsip Universalitas Prinsip universalitas dimaksudkan bahwa Hak Asasi ini adalah milik semua orang karena kodratnya sebagai manusia, sebagaimana tersebut dalam DUHAM Pasal 1:
“All human beings” berarti bahwa “everyone” (setiap orang)” memiliki hak yang sama atau dengan kata lain “no one (tiadak seorang pun)” boleh diabaikan hakhaknya atau diperlakukan secara berbeda berdasarkan misalnya perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status lainnya. Penggunaan istilah yang menunjukan prinsip uversalitas ini juga ditemui di beberapa Konvensi HAM lainya, seperti CCPR menggunakan kata “every human beings” di Pasal 6, kata “every one” di Pasal 9 ayat (1), 12 (1), (2), Pasal 14 (2), (3) dan (5), Pasal 16, Pasal 17 (2), Pasal 18 (1), Pasal 19 dan Pasal 22. sedangkan istilah “all person” dipakai di Pasal 10 (1), 14 (1), 26, “anyone” di Pasal 6 (4), Pasal 9 (2-5) serta kata “no one” di Pasal 6,7,11,15 dan 17 (1) . di Konvensi HAM Amerika (American Convention of human rights 1969) juga dijumpai hamper di setiap pasal yang secara keseluruhan berjumlah 43 pasal pengguanaan istilah “every one”, “every person”, “any one”, “no one” secara bergantian. Lebih menarik dalam salah satu ketentuan, yaitu Pasal 19 secara khusus disebut istilah “every minor child” yang menunjukan bahwa secara eksplisit dan tegas hak anak kecil diperhatikan sebagai bagian dari keluarga, masyarakat, dan Negara Amerika Serikat dalam Konvensi HAM Amerika ini, sedangkan dalam African Charter Human Rights and People’s Rights di beberapa Pasal yang berjumlah 51 pasal
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
menggunakan istilah yang sedikit berbeda yaitu “every individual” dan “all peoples”. Istilah-istilah tersebut di atas juga digunakan di UU HAM No. 39 Tahun 1999.
2. Prinsip setiap orang memiliki hak yang sama (equality) dan tanpa diskriminasi Bahwa setiap orang yang dilahirkan secara bebas dan memiliki hak yang sama tanpa dibeda-dibedakan karena alasan tertentu. Secara bebas dan memiliki hak yang sama ini artinya bahwa semua orang tidak boleh dibeda-bedakan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahsa, agama, politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya. Hal ini bisa kita lihat dalam DUHAM Pasal 1: “All human beings are bom free and equal in dignity and rights…”. Begitu pula yang disebutkan dalam CESCR Pasal 2: “…everyone is entitled to all rights and freedoms set forth in this declaration, without dinstintion of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political, ..” Perlindungan HAM di benua Eropa, Amerika, dan Afrika, prinsip equality ini juga diadopsi secara jelas. Di Amerika misalnya, berdasarkan konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969) pada bagaian pembukaan menyadari bahwa HAM bukan diturunkan oleh Negara dimana dia menjadi warga Negara tapi didasarkan karena dirinya sebagai manusia dan oleh karenanya menurut konvensi ini setiap hak dari manusia tersebut dijamin perlindungannya secara internasional oleh Hukum Nasional di Amerika Serikat. Jadi jelas bahwa menurut konvensi HAM AS, setiap orang yang berada di wilayah AS berhak mndapatkan perlindungan haknya secara sama semata-mata karena
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
mereka sebagai manusia meskipun orang-ornag tersebut memiliki atau berasal dari kebangsaan yang bebeda. Begitu pula di negara Eropa melalui European Social Charter (UU Sosial Eropa) yang disahkan di Turin pada 18 Oktober 1961, pada Alinea III, meskipun tidak menyebut secara tegas mengenai “human rights” melainkan memakai istilah yang lebih sempit yaitu “Social Rights”, namun jelas bahwa pelanggaran diskriminasi karena alsan tertentu tidak dibenarkan dalam UU ini, artinya bahwa setiap orang harus diperlakukan secara sama oleh Pemerintah yang menandatnagani UU ini dan menjadi anggota dari komisi Eropa ini. Sementara itu, menurut African Charter on Human Rights and People’s rights (UU Afrika tentang HAM dan Hak-Hak Asasi Manusia) pada bagian pembukaan Alinea III dinyatakan bahwa dengan memperhatikan pentingnya persatuan di Afrika maka kebebasan, persamaan, keadilan, pengakuan merupakan tujuan yang terpenting dalam rangka mencapai legitimasi dari aspirasi seluruh rakyat
Afrika. Jadi pengakuan prinsip equality dalam perlindungan HAM di
Afrika juga dianggap sangat penting guna menuju persatuan rakyat Afrika yang lebih solid. Di Negara Islam seperti Arab Saudi, menurit The Arab Charter of Human Rights yang disahkan pada tanggal 15 September 1994, pada Pembukaan Alenia II menyatakan bahwa dalam hal pengakuan terhadap prinsip equality setiap manusia diakui dalam Konvensi ini sebagai bagian dari upaya tanpa henti dalam mencapai prinsip yang telah ada dalam hukum Islam termasuk hidup berdampingan dengan beda agam. Sedankan prinsip “tanpa diskriminasi” secar
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
tegas dinyatakn dalam Bagian Kedua pasal 2 bahakan secara eksplisit pelanggaran diskriminasi terhadap pria dan wanita.
3. Prinsip Pengakuan Indivisibility and Interpendence of different rights Dalam rangka memenuhi HAM maka tidak dapat dipisahkan antara pemenuhan hak-hak sipil dan politik dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya karena ruang lingkup dari kedua bidang hak ini saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Artinya memastikan pemenuhan standart minimal yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah sangat penting dalam upaya menjamin dapat menikmati hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya pembangunan hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya pembangunan hak-hak sipil dalam politik tidak juga tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan hakhak ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam African Charter on Human Rights and People’s Rights pada Pembukaan Alinea 9. Prinsip-prinsip perlindungan
HAM dalam UUD 1945, UU No. 39
Tahun 1999 dan UU No.26 Tahun 2000, perlindungan Hak Asasi Manusia sudah menjadi asas pokok dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Hal ini terbukti dari pernyataan UUD Republik Indonesia 1945 dalam pembukaannya di Alinea pertama yang menyatakan bahwa “ Kemerdekaan ialah hak segala bangsa, maka penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan “. Hal ini berarti adanya ‘freedom to free’ yaitu kebebasan untuk merdeka, dan pengakuan atas perikemanusiaan telah menjelaskan
bahwa Bangsa Indonesia
mengakui adanya Hak Asasi manusia.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Prinsip-prinsip HAM secara keseluruhannya sudah tercakup di dalam UUD 1945. Prinsip universalitas yang merupakan bentuk menyeluruh artinya setiap orang atau tiada seorangpun tapa memandang ras, agama, bahasa, kedudukan, maupun status lainnya, dimana setiap orang memeiliki hak yang sama dimata hukum. Namun, prinsip universalitas tidak keseluruhannya terkandung dalam UUD 1945, hal ini dibuktikan dari pernyataan di dalm pembukaannya yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” , hal ini berarti Negara hanya bertanggung jawab kepada hak dari seluruh warga Indonesia saja. Begitu juga dengan beberapa pasal yang mengistilahkan “setiap warga Negara atau tiap-tiap warga Negara”, seperti pada pasal 27 ayat (1), (2), pasal 30 ayat (1), pasal 31 ayat (1) padahal yang dimaksudkan sebagai prinsip universal adalah ketentuan hak yang berlaku bagi semua orang, bukan terbats pada wilayah tertentu. Tetapi di dalam Bab XA tentang HAM telah termuat prinsip universal, seprti dalam pasal 28A s/d 28J. Dalam hal ini diistilahkan sebagai “setiap orang”, yang berarti perlindungan HAM tersebut berlaku bagi semua orang tanpa memberikan batasan wilayah tertentu. Prinsip equality and non-discrimination juga telah termuat dalam UUD 1945. prinsip yang berarti persamaan hak hak tanpa adanya perbedaan ini telah dipaparkan dan diakui dalambebrapa ketentuan diantaranya yaitu, Pembukaan alinea ke tiga, disebutkan bahwa “supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”, hal tersebut sudah mewakili bentuk pengakuan Negara atas perlindungan HAM. Selain itu, prinsip ini juga tertuang dalam pasal 28A yang menyebutkan bahwa “ setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, hal ini berarati bahwa setiap orang dapat memperoleh haknya
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
karena dikarenakan statusnya sebagai manusia, bukan karena sebagai warga Negara dan tanpa adanya segala bentuk pendiskriminasian. Prinsip pengakuan Indivisibility and interpendence of different right pada dasarnya sudah tertera dalam Pembukaan alinea ke empat
“ Dalam
menyusun kemerdekaan bangsa Indonesia dalam undang-undang dasar Negara didasarkankan pada kemanusiaan yang adil dan beradab dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ini berarti bahwa bangsa Indonesia mengakui akan adanya perlindungan HAM dari segala aspek bidangnya, yaitu sosial, politik, hukum, ekonomi dan budaya. Kemudian bidangbidang tersebut diperkuat kembali dalam ketentuan pasal-pasalnya, yaitu pasal 27 ayat (2), pasal 28, pasal 32, dan pasal 33. Penerapan prinsip-prinsip HAM dalm UU No. 39 tahun 1999, penggunaan istilah ‘setiap orang atau tiada seorangpun’ di setiap pasalnya. Hal ini berarati UU HAM di Indonesia sudah mencakup prinsip universal, dimana semua orang yang karena sebagai manusia berhak mendapatkan perlindungan atas HAM, tidak terkecuali bagi anak yang memiliki kecacatan fisik atau mental (pasal 54). Prinsip equality dan non-discrimination, juga sudah tertera jelas didalamnya seperti pada pasal 2 dan pasal 3 yang menjelaskan bahwa UU HAM di Indonesia telah mengakui adanya kebebasan atas hak yang sama tanpa adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, diman semua itu didasarkan atas hak yang secara kodrati melekat dan tidak dapat dipisahkan dari setiap manusia. Selain itu UU No. 39 tahun 1999 juga menuangkan prinsip pengakuan indisvibility and interpendence of different rights. Dijelaskan pada dalam pasal 1 angka 1, dimana diterangkan bahwa HAM adalah hak yang melekat pada hakikat manusia yang wajib
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
dilindungi oleh Negara, yang artinya Indonesia berkewajiban untuk melindungi HAM dari segal aspek politik, ekoomi, sosial, dan budaya. Penjelasan lebih rinci terdapat dalam pasal 16, pasal 23, pasal 24, pasal 24, pasal 27. Prinsip-prinsip HAM juga termuat lengkap dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Prinsip universalitas tertuang jelas dalam undang-undang ini. Istilah setiap orang disini membuktikan bahawa pemberlakuan perlindungan HAM diperuntukan bagi semua orang tanpa adanya batasan tertentu, bahkan dituliskan bahwa Hak Asasi Manusia bersifat universal. Prinsip equality and non-discrimination juga termuat dalam undang-undang ini, hal ini dibuktikan denagn adanya pengadilan HAM, setiap orang yang melakukan pelanggaran HAM berat harus dihukum tanpa adanya perbedaan ras, jenis kelamin, agama, maupun bangsa. Begitu pula dengan prinsip pengakuan indivisibility and interpendence of different right yang turut tertuang dalam undang-undang ini. Suatu pengadilan tentunya bertujuan untuk memeberikan keadilan, keadilan dalam pengertian kali ini tentunya mencakup keseluruhan, yaitu dengan memperhatikan hak-hak sipilnya, hak politik, ekonomi, sosial, maupun budayanya. Karena sekali lagi HAM bersifat menjauhkan dari segala pendiskriminasian. Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan, maka dasar dari perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori90, di antaranya sebagai berikut: 1. Teori Utilitas 90
Didik M. Arif Mansur ,Op.cit , Halaman 162-163
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Teori ini menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah yang terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat diterapkan sepanjang memberikan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan dengan tidak diterapknnya konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan, tetapi dalm system penegakan hukum pidana secara keseluruhan. 2. Teori tanggung jawab Pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun kelompok) bertanggung jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain menderita kerugian (dalam artri luas), orang tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya. 3. Teori Ganti Kerugian Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain, pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti kerugian pada korban atau ahli warisnya. Dalam konteks perlindungan hukum terhadap
korban kejahatan,
terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materil, maupan hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. 91 Adapun asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Asas manfaat
91
Arif Gosita, Op.cit, Halaman 50
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Artinya, perlindungan korban kejahatn tidak hanya ditujukan bagai tercapainya kemanfaatan (baik materil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juha kemanfaatan bagi masyarakat luas, khususnya dalam upaya mengutangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat. 2. Asas Keadilan Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melinndungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan. 3. Asas Keseimbangan Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada kekayaan semula (restitution in intergum), asa keseimbangan memperoleh tempat penting dalm upaya pemulihan hak-hak korban. 4.
Asas Kepastian Hukum Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat
penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalm upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan. Menurut pasal 10 UU No. 26 Tahun 200 tentang Pengadilan HAM, hukum acara yang berlaku atas pelanggaran HAM yang berat adalah hukum acara pidana, selama tidak ditentukan lain di dalamnya. Oleh sebab itulah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dipengadilan, upaya hukum, pelaksanaan putusan pengadilan serta pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan perkara pelanggran HAM yang berat, jika tidak ditentukan lain dalam UU
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Pengadilan HAM, maka ketentuan yang berlaku adalah berdasarkan hukum acara pidana biasa. 92 Selain itu menurut Muladi, jika UU Pengadilan HAM dan KUHAP tidak mengatur, maka tidak ada salahnya mengadopsi ketentuan-ketentuan yang diatur dalm Statuta Roma besrta segenap aturan dan prosedur sebagai lampirannya, hal ini didasari dengan salah satu sumber hukum yaitu Customary Law. 93 Adapun asas-asas hukum acara pidana yang terkait dengan perlindungan saksi dan korban antara lain: 1. Asas “Equality Before The Law” Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari Negara hukum (rechstaat) sehingga harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang dihadapan hukum (gelijkheid van iedeer voor de wet). Dengan demikian, elemen yang melekat mengandung makna perlindungan yang sama di depan hukum (equal protection on the law) dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum (equal justice under the law). Tegasnya hukum acara pidana tidak mengenal adanya perlakuan yang berbeda terhadap orang-orang yang terkait dengan peradilan (forum prevelegiatum) baik sebagai saksi, tersangka, maupun korban, sebagaiman ditentukan Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan umum Pasal 3 KUHAP, dank arena itu pulalah untuk menjaga kewibawaan penagadilan, maka segala intervensi terhadap peradilan dilarang kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. 92
Hukum acara pidana yang dimaksud Pasal 10 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang dihubungkan dengan Pasal 2 UU No.26 tentang Pengadila HAM tersebut merupakan hukum acara pidana yang berlaku untuk pengadilan di lingkungan peradilan umum. 93
R.Wiyono, Op.cit, Halamn 21
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
2. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi Asas ganti kerugain dan rehabilitasi mulanya diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa yang diadili tidak sebagaimana mestinya. 94 Dalam perkembangannya asas ini dapat diterapkan terhadap saksi dan korban yang dirugikan terhadapsuatu tindak pidana. 95 Asas ini pada pokoknya menghendaki adanya suatu bentuk pemberian berupa material maupun immaterial kepada orang yang dirugikan di dalam suatu perkara pidana baik menyangkut kejadian tindak pidana itu sendiri maupun masalah procedural pemeriksaan perkara pidana. Ganti rugi dan Rehabilitasi ini sanagt dibutuhkan bagi saksi dan korban untuk memulihkan atau mengembalikannya kepada korban yang tepat. 3. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum angka 3 huruf e KUHAP. Secara konkrit, apabila dijabarkan bahwa peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan dimaksudkan supaya orang-orang yang terkait di dalam peradilan tidak diperlakukan dan diperiksa sampai berlarut-larut, kemudian memperoleh kepastian procedural hukum serta proses pemeriksaan. Kaitannya dengan keberadaan saksi dan korban adalah agar saksi dan korban diperiksa cepat dan sederhana sehingga tidak membuat mereka menjadi tidak nyaman dan terbebani pada saat memberikan keterangannya. 94
Pasal 9 UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan pasal 95, pasal 96 dan Pasal 97 KUHAP. 95
Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 tentnag Pengadilan HAM, jo PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, jo pasal 6, pasal 7 UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
4. Asas Bantuan Hukum Asas bantuan hukum ditegaskan dalam penjelasan umum angka 3 huruf f KUHAP yang pada intinya mewajibkan pemberian bantuan hukum terhadap setiap orang yang tersangkut perkara pidana untuk kepentingan pembelaannya, sedangkan asas bantuan hukum dalam Bab VII Pasal 37 UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan “setiap orang
yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum.” Selain dasar hukum tentang bantuan hukum seperti di atas, juga terdapat di dalam Pasal 56, 69 s.d 74 KUHAP dan Pasal 37 UU Kekuasaan Kehakiman yang bersifat imperative, serta yurispudensi Makamah Agung RI seperti Putusan No. 510 k/Pid/1988/tanggal 28 April 1988 dan Putusan No. 165 K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993. 96 Asas bantuan hukum ini wajib diberikan kepada saksi dan korban, agar mereka menjadi terang akan hak-hak dan kewajibannya.
5. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan Pada asasnya, praktik pemeriksaan perkara pidana di depan persidangan dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksi-saksi serta dilaksanakan dengan cara lisan dan bahasa Indonesia. 97Pemberlakuan asas ini lebih luas, seperti dapat diperiksanya seseorang secara in absentie atau tanpa hadirnya terdakwa di dalam persidangan. 98 Kaitannya terhadap saksi dan korban
96
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 2007 Halaman 18 97
Pasal 153, Pasal 154 KUHAP
98
UU No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan UU N0. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidna Korupsi
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pelanggaran HAM berat adalah kemungkinannya dalam pemeriksaan tanpa hadir secara langsung di pengadilan yaitu dapat melalui sarana elektronik, maupun secara tertulis.Dalam menjaga penerapan dari asas-asas tersebut, maka diperlukanlah suatu sistem terpadu yang melindungi saksi dan korban pelanggaran HAM yang berat. Dalam pasal 3 UU Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada: 1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia 2. Rasa aman 3. Keadilan 3.
Tidak Diskriminatif
4.
Kepastian Hukum
B . Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Berat
Dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat, seringkali pusat perhatian lebih ditujukan kepada para pelaku. Perhatian lebih ditekankan pada persoalan bagaimana menangkap, mengadili, dan menghukum para pelaku. Sementara hak-hak para korban yang bersifat massal cenderung diabaikan. Setiap pelanggaran HAM, apakah dalam kategori ‘berat’ atau bukan, senantiasa menerbitkan kewajiban Negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation) kepada para korbannya. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hakhak korban harus dilihat sebagai bagaian dari usaha pemajuan dan perlindungan
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
HAM
secara
keseluruhan.
Tidak
ada
HAM
tanpa
pemulihan
atas
pelanggarannya. 99 Istilah reparation adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non-material bagi para korban pelanggran HAM; pemulihan itu lebih dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Pemulihan dengan demikian merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada para korban. 100 Basic principle of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power memberikan penjelasan yang berkaitan dengan Restitusi, yaitu offender or third parties responsible for their behaviour should, where appropiate, make fair restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should include the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of the victimization, the provision of services and the restorstion of rights. Penjelasan Pasal 35 UU Pengadilan HAM memberikan pengertian kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi, yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa: a. Pengembalian harta milik b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu Pengertian kompensasi dalam penjelasan Pasal 35 UU Pengadilan HAM memiliki kemiripan dengan pengertian dalam Basic Principles of Justice for 99
Ifdhal Kasim, op.cit, Halamn xiii
100
Ibid, halaman xvi
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Victim of Crime and Abuse of Power, yang menyatakan when compensation is not fully available from the offender or other sources, states should endeavour to provide financial compensation. Pengertian restitusi dan kompensasi merupakan istilah yang dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun, menurut Stephen Schaper, perbedaan antara kedua istilah itu adalah kompensasi lebih bersifat keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau Negara (the responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana (the responbility of the offender). 101 Kompensasi menurut prinsip-prinsip HAM adalah kewajiban yang harus dilakukan negara terhadap korban pelanggaran HAM berat untuk melakukan pembayaran secara tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk , seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah. Terdapat lima sistem pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban, yaitu: 102 1. Ganti rugi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana. Sistem ini memisahkan ganti rugi korban dari proses pidana. 2. Kompensasi bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana 101
Stephen Scrafher, The Victim and Criminal, Random House, New York, 1968, Halaman 112 dalam Andrey Sujatmoko,Op.cit, Halaman 156 102
Ifdhal Kasim, op.cit, halaman xvi
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
3. Restitusi bersifat perdata bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui proses
pidana. Walaupun restitusi disini tetap bersifat keperdataan,
namun tidak diragukan sifat pidananya. Salah satu bentuk restitusi menurut sistem ini adalah ‘denda kompensasi’ (compensatory fine). Denda ini merupakan ‘kewajiban yang bernilai uang’ yang dikenakan kepada terpidana sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban disamping pidana yang seharusnya diberikan 4. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan Negara. Disini kompensasi tidak memepunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetap negaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan, bahwa Negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan. 5.
Kompensasi yang bersifat netral, diberikan melalui prosedur khusus. Sistem ini diterapkan dalam hal keadaan bangkrut dan tidak dapat memenuhi tuntutan ganti rugi kepada korban. Pengadilan perdata atau pidana tidak berkompeten untuk memeriksa, tetapi prosedur khusus/tersendiri dan independent yang menuntut campur tangan Negara atas permintaan korban. Sampai sekarang di Indonesia belum ada suatu lembaga yang secara
khusus menangani masalah pemberian kompensasi terhadap korban kejahatan, seperti yang dilakukan benerapa Negara maju. Sebagai contoh di Amerika Serikat ada suatu lembaga yang bernama The Crime Victim’s Compensation Board.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Lembaga ini dibentuk untuk menangani pemberian bantuan financial kepada korban kejahatan berupa penggantian biaya pengobatan, pemakaman, kehilangan penghasilan, dan sebagainya. 103 Adanya lembaga semacam The Crime Victim’s Compensation Board sangat diperlukan, karena lembaga ini dapat membantu korban kejahatan yang menderita kerugian secara finansial, khususnya apabila pelaku kejahatan tidak mampu membayar ganti kerugian kepada korban sebagai akibat suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal yang memerlukan perhatian penting dalam pelaksanaan pembayaran ganti kerugian pada korban adalah perlunya diupayakan agar sistem pemberian ganti kerugian dilaksanakannya dengan sederhana dan singkat sehingga apa yang menjadi hak korban dapat segera direalisasikan. Apabila jangka waktu yang diperlukan untuk merealisasikan pembayaran ganti kerugian ini memebutuhkan waktu yang lama, dikhawatirkan konsep perlindungan korban dalam kaitan pembayaran ganti kerugian akan terabaikan.
104
C. Mekanisme Pemberian
Perlindungan Hukum terhadap Korban
Pelanggaran HAM Berat. UU Perlindungan Saksi dan Korban membuka kembali diskursus tentang pemulihan (reparasi) 105 kepada korban, termasuk korban pelanggaran
103
O.C Kaligis, Human Rights and Terorism, O.C Kaligiss & Associates, Jakarta 2008, Halaman 23 104
Ibid, Halaman 27
105
Yang dimaksud pemulihan (repation) adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupan immaterial bagi para korba pelanggaran HAM. Dalam hal ini Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
HAM yang berat . 106 UU ini mengatur tentang hak korban untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi. Kompensasi diberikan kepada korban pelanggran HAM yang berat, sementara restitusi merupakan ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. 107 Pengaturan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban sedikt berbeda dengan UU Pengadilan HAM yang juga memberikan pengaturan atas hak kompensasis dan restitusi kepada korban pelanggaran HAM yang Berat. Untuk implementasi hak-hak korban tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap korban Pelanggaran HAM yang Berat. Terdapat tiga aturan pokok dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam konteks untuk menganalisa regulasi tentang kompensasi dan restitusi. Tabel 1 108 Regulasi Nasional tentang Korban No
Regulasi
1.
UU No. 8 Tahun Kitab Undang-Undang 1. Mengatur tentang ganti kerugian kepada 1981
Tentang
Hukum Acara Pidana
Keterangan
tersangka, terdakwa atau terpidana karena ditangkap, dithan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain , tanpa alasan
pemulihan merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada korban, yang diantaranya mencakup kompensasi, restibusi, dan rehabilitasi. 106
Pelanggaran HAM yang Berat berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 adalah kejahatan genosida dan kejahatn terhadap kemanusiaan. (pasal 7) 107
Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban
108
Wahyu Wagiman,Zainal Abidin, Praktik Kompensasi dan Restitusi di Indonesia, Indonesia Coruption Watch, Jakarta, 2007, Halamn 10
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
yang
berdasarkan
kekeliruan
UU
mengenai
atau
orangnya
karena atau
hukum yang diterapkan (Pasal 95) 2. Perkara pidana yang kerugian pada pihak lain,
dapat
penggabungan
menetapkan perkara
gugatan
untuk anti
kerugian (Pasal 98) 2.
Peraturan Pemerintah
Pelaksanaan
Kitab
No. Undang-Undang
27 Tahun 1983
Negara melalui Departemen Keuangan dibebani
Hukum Acara Pidana
tanggung
jawab
untuk
menyelesaikan pembayaran ganti kerugian yang dikabulkan pengadilan.
3.
Keputusan
Tata Cara Pembayaran Ganti kerugian
Menteri
Ganti Kerugian
adalah ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95
Keuangan RI No.
KUHAP
983/KMK.01/198 3
Tgl
31
Desember 1983 4.
UU No. 26 Tahun Pengadilan HAM
Mengatur tentang hak atas kompensasi,
2000
Restitusi dan Rehabilitasi Korban (KKR) Pelanggaran HAM yang berat (Pasal 35 ayat 1)
5.
Peraturan
Kompensasi, Restitusi 1. Mengatur tentang tata cara pemberian
Pemerintah No. 3 dan Tahun 2002
Rehabilitasi
terhadap Pelanggaran yang berat
korban
KKR korban pelanggaran HAM yang berat .
HAM 2. Mengatur tentang bentuk dan besaran KKR. 3. Mengatur tentang pihak yang wajib membayarkan KKR
6.
UU No. 13 Tahun Perlindungan Saksi dan 1. Mengatur tentang hak atas kompensasi 2006
Korban
dalam kasus pelanggaran HAM yang berat (pasal 7 ayat 19 a ). 2. Mengatur tentang hak restitusi atau ganti
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7 ayat 1 b )
Sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM, istilah kompensasi dan restitusi kepada korban kejahatan hanya dinyatakan dengan penggunaan istilah ‘ganti kerugian’ pada awalnya ganti kerugian kepada korban kejahatan , dapat dilihat dalam KUHAP yang dibebabankan kepada pelaku kejahatan. Dalam KUHAP juga dikenal hak untuk memperolah ganti kerugian dan rehabilitasi bagi tersangka, terdakwa dan terpidana. Ganti kerugian bagi tersangka, terdakwa atau terpidana ini ditujukan bagi pihak yang mengalami kesalahan prosedur dalam proses peradilan pidana. Sementara rehabilitasi diberikan kepada terdakawa yang dibebaskan dalam putusan pengadilan. Pasal 1 angka 22 KUHAP: “Ganti kerugian adalah hal seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutan yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan menurut cara yang diatur dalam UU. Pasal 2 angka 23 KUHAP: “Rehabilitasi adalah Hak seseornag untuk pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan , penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU ini.” KUHAP mengatur tiga hak hukum yang dapat digunakan oleh korban kejahatan dalam proses peradilan pidana. Pertama, hak untuk melakukan control terhadap penyidik dan penuntut umum, yaitu hak untuk mengajukan keberatan Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
terhadap tindakan penghentian penyidikan dan/atau penghentian penuntutan dalam kepastiannya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan (pasal 77 jo 80 KUHAP). Kedua, hak korban kejahatan yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai saksi, yaitu hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 168 KUHAP) dan hak bagi keluarga korban, dalam hal korban meninggal dunia, untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi untuk melakukan otopsi (pasal 134-136 KUHAP). Ketiga, hak untuk menuntut ganti kerugian terhadap kerugain yang diderita akibat kejahatan (pasal 98-101 KUHAP). Perhatian KUHAP terhadap korban suatu tindak pidana adalah berupa mempercepat proses untuk memperbaiki ganti kerugian yang diderita oleh korban kejahatan sebagai akibat perbuatan terdakwa dengan cara menggabungkan perkara pidananya dengan perkara ganti kerugian yang pada hakikatnya merupakan perkara perdata. Bila mengacu pada sistem pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban, KUHAP lebih dekat dengan sistem bahwa kompensasi bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana. Hal ini dapat terlihat dalam ketentuan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam pasal 98 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi “jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam sutau pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.” Yang dimaksud dengan ‘orang lain’ adalah pihak korban kejahatan, yakni perbuatan terdakwa yang merupakan suatu tindak pidana menimbulkan
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
kerugian bagi orang tersebut. Kata ‘dapat’ mengandung arti bahwa hakim ketua sidang berwenang untuk menerima atau menolak untuk menggabungkan perkara ganti kerugian dengan perkara pidananya. Dengan demikian diberikan keleluasaan bagi hakim ketua sidang untuk menentukan kebijakan apakah digabungkan atau diajukan secara perdata. Hal ini berhubungan dengan permintaan penggabungan perkara perdata yang menyangkut orang lain yang tidak terlibat dengan perbuatan pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Jika hal ini terjadi, maka hakim ketua sidang kemungkinan akan menolak untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian tersebut. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 01. PW. 07. 03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksannan KUHAP yang dimuat pada bidang pengadilan, antara lain dirumuskan: “…gugatan ganti kerugian dari korban yang sifatnya perdata diabungkan pada perkara pidananya, yang anti rugi tersebut dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak pidana..” Jika turut dipertanggungjawabkan kepada pihak lain, maka hakim ketua sidang tidak beralasan untuk menolak penggabungan ganti kerugian tersebut. Sedangkan jika hanya terdakwa saja yang digugat pertanggungjawabannya maka hakim ketua sidang tidak beralasan untuk menolak penggabungan perkara tersebut. Permintaan penggabungan perkara ganti kerugian tersebut. Sedangkan jika hanya terdakwa saja yng digugat pertanggungjawabannya maka hakim ketua sidang tidak beralasan untuk menolak penggabungan perkara ganti kerugian hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pidana atau jika penuntut umum tidak hadir maka permintaan tersebut diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. 109 Mengenai yang dapat dimintakan ganti kerugian diatur dalam pasal 99 KUHAP, yang berbunyi: 1. apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut. 2. kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentnag penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Berdasarkan pasal 99 ayat (2) KUHAP, ganti kerugian yang dapt diputus hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikelurakan oleh pihak yang dirugikan, sehingga tuntutan lain daripada itu harus dinyatakan tidak dapt diterima dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa. Jika pada amar putusan dimuat ‘tidak dapat diterima’ dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa, maka pengajuan perkara perdata yang dimaksud, bukan merupakan perkara neb is in idem.110
109
Pasal 98 KUHAP
110
Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, Halaman 85
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Amar putusan suatu penggabungan perkara memuat putusan tentang perkara pidana dan perdata. Keterkaitan putusan perdat dan putusan pidana, dimuat dalam pasal 99 ayat (3) KUHAP, yang berbunyi: “putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.” Hal yang dirumuskan pada pasal 99 ayat (3) tersebut merupakan konsekunsi logis karena tuntutan ganti kerugian mengikuti perkara pidana karena timbulnya suatu tuntutan perdata tersebut sebagai akibat pidana yang terjadi. Pada pasal 100 KUHAP, lebih jelas memperlihatkan keterkaitan putusan perdata dan putusan pidana, yang dirumuskan sebagai berikut: 1. apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding. 2. apabila terjadi suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan. Dengan demikian, jika terdakwa/tergugat telah menerima putusan pengadilan negeri maka pemohon ganti kerugian/penggugat tidak dapat mengajukan banding. Hal ini diperjelas lagi pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 01. PW. 07.03 ahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dimuat pada bidang pengadilan, yang memuat: “apabila terdakwa/terhukum dalam pwrkara pidananya tidak mengajukan banding, maka penggugat ganti kerugain tidak dapt mengajuka banding dalam perkara perdatanya, tetapi dalam hal terhukum naik banding, maka pengadilan tinggi dapat memeriksa kembali putusan penggantian kerugian,
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
apabila penggugat meminta pemeriksaan banding. Ketentuan-ketentuan hukum acara perdata berlaku dalam pemeriksaan gugatan ganti kerugian.” Berdasarkam ketentuan dalam KUHAP dan keputusan menteri kehakiman tersebut dapat diketahui masalah pokok adalah perkara pidana sedangkan perkara gugatan ganti kerugian merupakan tambahan (assesoir), yang tidak dapt dipisahkan dengan perkara pokok. Maka jika perkara pidananya telah berkekutan hukum tetap, pihak penggugat ganti kerugian tidak dapat mengajukan upaya hukum. Namun jika terdakwa mengajukan banding dalam perkara pidananya maka dibuka kesempatan bagi pihak penggugat untuk mengajukan banding. Mengenai pelaksanaan eksekusi dari hakim ini, secara khusus tidak diatur dalam KUHAP tetapi dalam pasal 101 KUHAP dijelaskan bahwa ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalm KUHAP tidak diatur lia, denagn cara demikian maka eksekusi perkara gugatan ganti kerugian dilakukan secara perdata. Mengenai eksekusi trsebut selanjutnya dijelaskan dalam Lampiran Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. PW. 07. 03 Tahun 1983 butir 15, sebagai berikut: a. Gugatan perdatanya tidak diberi nomor tersendiri. b.
Pelaksanaan putusan ganti kerugian yang digabungkan tersebut, dilakukan menurut tata cara putusan perdata
c. Pelaksanaan putusan ganti kerugian tersebut tidak dibebankan kepada jaksa. Maka eksekusi putusan ganti kerugian ini dapat dilaksanakan jika putusan perkara pidananya telah berkekuatan hukum tetap. Apabila terpidana
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
yang dibebani kewajiban dalam amar putusan untuk membayar ganti kerugian akan tetapi tidak secara sukarela memenuhi kewajibannya, maka penggugat dapat mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara agar putusan tersebut dieksekusi. Permintaan tersebut dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Berdasarkan permintaan eksekusi tersebut maka Ketua Pengadilan Negeri atau hakim yang memutus perkara tersebut, memerintahkan kepada terpidana (tergugat) untuk selambat-lambatnya dalam waktu 8 hari agar memenuhi putusan tersebut. Apabila setelah lewat waktu 8 hari terpidana belum memenuhi kewajibannya, maka hakim akan menerbitkan surat perintah untuk menyita barang bergerak milik terpidana yang diperkirakan senilai dengan kewajiban yang diputuskan untuk dipenuhi. Jika barang bergerak tersebut tidak mencukupi, maka barang yang tidak bergerak ikut disita. Penyitaan ini dinamakan penyitaan eksekutorial yang dilakukan oleh Panitera dibantu dengan 2 orang saksi. 111 Pada prakteknya gugatan ganti kerugian yang ditempuh melalaui prosedur penggabungan perkara pidana dan perdata, mengalami beberapa kendala antara lain: 112 1. Tanggung jawab mengganti kerugian bersifat individual, yakni ditujukan kepada pelaku tindak pidana saja dan tidak bisa dilimpahkan kepada pihak lain. Hal ini mengakibatakan tidak memungkinkan bagi korban untuk mendapatkan
jaminan
dilaksanakannya
putusan
ganti
rugi
ketidakmampuan pelaku. 111
Ibid, Halaman 96
112
Mudzakir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Rangkuman Disertasi, Progam Pasca Sarjana Fakultas Hukum, 20001 Halaman 4
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
akibat
2. Memerlukan tindakan aktif korban kejahatan, yaitu harus mengajukan permohonan sebelum jaksa mangajukan tuntutan sedangkan banyak dari korban kejahatan yang pada umumnya tidak mengetahui mengenai prosedur hukum tentang ganti kerugian 3. Perkara gugatan ganti kerugian merupakan tambahan (accesoir), yang tidak dapat dipisahkan dengan perkara pokok (perkara pidananya), maka jika perkara pidananya telah berkekuatan hukum tetap, pihak penggugat tidak dapat nengajukan upaya hukum. Dengan demikian, pengaturan dalam KUHAP mengenai perlindungan terhadap korban atas hak-haknya belum mendapat cukup pengaturan jika dibandingkan perlindungan kepada hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana. Pengakuan hak-hak korban dikuatkan dan diakui dalam sistem hukum nasional dengan diundangkannya UU Pengadilan HAM walaupun untuk hukum acaranya masih memakai mekanisme dari KUHAP. Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam UU Pengadilan HAM adalah hak khusus yang diberikan kepada korban pelanggaran HAM yang berat. Pasal 35 ayat (1) UU Pengadilan HAM menyatakan: “setiap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.” Namun, kompensasi dan restutusi korban pelanggaran HAM yang berat ini diletakkan dalam kerangka “ganti kerugian”. Hal ini terlihat dalam definisi tentang kompensasi dan restitusi dalam UU Pengadilan HAM maupun dalam PP No. 3 Tahun 2002:
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tidak
mampu
memberikan
ganti
kerugian
sepenuhnya
yang
menjadi
tanggungjawabnya.” “Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau pengganti biaya untuk tindakan tertentu.” Berdasarkan ketentuan diatas, ganti kerugian kepada korban pelanggaran HAM yang berat dibebankan kepada dua pihak yakni pelaku kejahatan dan Negara. Pelaku kejahatan atau pihak ketiga dibebankan untuk mengganti kerugian korban, dan inilah yang didefinisikan dengan ‘restitusi’. Sementara dalam kompensasi, pembebanan biaya ganti kerugian kepada korban dilakukan oleh pemerintah ketika pelaku atau pihak ketiga tidak mampu membayar ganti kerugian secara penuh kepada korban. Dengan ketentuan ini, muncul konsep tanggung jawab Negara terhadap korban kejahatan (korban pelanggaran HAM berat). Namun, dalam PP No. 3 Tahun 2002 tidak diojelaskan bagaiman kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dimohonkan, hanya disebutkan harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak. 113 Karena dalam PP No. 3 Tahun 2002 tidak diatur mengenai tata cara pengajuan permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi maka tata cara pengajuan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam Pengadilan HAM dilakukan sesuai dengan tata cara ganti kerugian dan rehabilitasi dalam KUHAP. 113
Pasal 2 ayat (2) PP No. 3 Tahun 2002
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Kelemahan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam KUHAP secara otomatis juga menjadi kelemahan dalam pengaturan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam PP No.3 Tahun 2002. selain itu, terdapat permasalahn lain dalam PP No. 3 Tahun 2002, yaitu mengenai siapa yang berhak mengajukan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Dalam Pasal 1 ayat (3) PP No. 3 Tahun 2002 memang dijelaskan siapa korban, tetapi tidak dijelaskan apakah mereka dapat mengajukan gugatan tersebut dengan cara perwakilan seperti diwakilkan oleh Komnas HAM atau lembaga non pemerintah. Hal ini penting untuk dijelasakn mengingat pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime dengan jumlah korban yang biasanya tidak sedikit dan antara lokasi tempat kejadian dengan dilakukannya persidangan yang sangat jauh sehingga dapat mengakibatkan ketidaktahuan para korban tentang perkara dengan terdakwa yang telah merugikan mereka dan para korban dapat kehilangan haknya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Hak atas kompensasi dan restitusi kembali diatur dalam UU Pelindungan Saksi dan Korban. Dalam pasal 7, ganti kerugian kepada korban kejahatan menngunakan istilah kompensasi dan restitusi. Namun, tidak ada penjelasan tentang maksud dari kompensasi dan restitusi. Pasal 7 UU Perlindungan Saksi dan Korban: 1. korban melalui LPSK berhak mengajukan ke Pengadilan berupa: a. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat. b. Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Terjadi pembedaan dalam menentukan tanggung jawab pemenuhan hakhak korban khususnya berkaitan dengan restitusi. Dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, restitusi dapat diberikan kepada semua korban tindak pidana yang terjadi, dan tidak terbatas pada korban pelanggaran HAM yang berat sebagaimana hak atas kompensasi. Kedua, restitusi hanya menjadi tangung jawab pelaku dan tidak menyertakan kewajiban bagi para pihak ketiga, sebagaimana pengertian restitusi dalam UU Pengadilan HAM. Dengan demikian, ada dua pengaturan dan pendefinisian yang sedikit berbeda tentang kompensasi dan restitusi, yakni yang diatur dalam UU Pengadilan HAM dan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Tabel 2 114 Hak-hak korban atas Kompensasi dan Restitusi No.
Regulasi
1.
UU No. 8 Tahun 1. Ganti rugi kepada tersangka, Dimungkinkan 1981
Hak-Hak Korban
Keterangan
terdakwa, atau terpidana 2. Rehabilitasi
korban
kepada mendapatkan ganti
terdakwa yang dibebaskan kerugian oleh pengadilan 3. Pihak
kejahatan
ketiga
kejahatan yang terjadi
atas yang pada
mengalami kerugian karena dirinya. adanya kejahatan. Rehabilitasi kepada tersangka Rehabilitasi dalam
114
Wahyu Wagiman, Zainal Abisin, Op.cit, Halaman 14
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
atau terdakwa atas kesalahan ketentuan prosedur
ini
diberikan korban
kepada kesalahan
prosedur
dan
bukan pada korban kejahatan. 2.
UU No. 26 Tahun Kompensasi: 2000 dan Peraturan Kompensasi
Kompensasi untuk adalah
ganti korban
Pemerintah No. 3 kerugian yang diberikan oleh Tahun 2002
Negara karena pelaku tidak mampu
memberikan
kerugaian
sepenuhnya
ganti yang
menjadi tanggung jawabnya. Restitusi:
Restitusi
Restitusi adalah ganti kerugian korban yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga dapat berupa: 1.pengembalian harta milik 2.pembayaran ganti kerugian untuk
kehilangan
atan
penderitaan 3.atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
untuk
Rehabilitasi:
Rehabilitasi untuk
Rehabilitasi adalah pemulihan korban pada
kedudukan
misalnya
semula,
kehormatan,
nama
baik, jabatan, atau hak-hak lain. Rehabilitasi adalah pemulihan pada
kedudukan
misalnya
semula,
kehormatan,
nama
baik, jabatan atau hak-hak lain. 3.
UU No. 13 Tahun Kompensasi 2006
bagi
korban
pelanggaran HAM yang berat Restitusi bagi korban tindak pidana. Restitusi bagi korban tindak pidana. Rehabilitasi psiko sosial
Bantuan rehabilitasi psikososial
adalah
bantuan
yang
diberikan
oleh
psikolog korban menderita atau
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
kepada yang trauma masalah
kejiwaan
lainnya
untuk memeulihkan kembali
kondisi
kejiwaan korban.
Disamping perbedaan definisi, bentuk ganti kerugian kepada korban dalam KUHAP , UU Perlindungan HAM dan UU Perlindungan Saksi dan Korban juga mempunyai pengaturan yang berbeda. Ganti kerugian kepada korban dalam KUHAP tidak menjelaskan secara terperinci mengenai bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban. Hal ini terlihat bahwa pengaturan tentang adanya ganti kerugian korban dalam KUHAP hanya ‘ditempelkan’ pada pengaturan tentang penggabungan gugatan dalam perkara pidana. Namun, dipahami bahwa kerugian korban kejahatan dalam KUHAP yang dapat dimintakan gugatan untuk penggantian hanya pada kerugian materiil dan tidak mencakup pada kerugian imateriil. Sementara, UU Pengadilan HAM mengatur lebih rinci tentang bentukbentuk ganti kerugian kepada korban. Bentuk-bentuk ganti kerugian ini dapat dilihat dalam definisi mengenai restitusi yang merupakan ganti rugi kepada korban atau keluarganya yang mencakup: 115 a. pengembalian hak milik b. pembayaran ganti rugi untuk kehilangan atau penderitaan c. penggantian biaya untuk tindakan tertentu 115
Penjelasan Pasal 35 UU Pengadilan HAM
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Bentuk-bentuk ganti kerugian tersebut, jika dibebankan kepada Negara maka terminology yang digunakan bukan lagi ‘restitusi’ tetapi ‘kompensasi’ artinya, bahwa bentuk-bentuk ganti rugi untuk korban dalam UU Pengadilan HAM adalah sama, baik untuk restitusi maupun kompensasi. UU Perlindungan Saksi dan Korban justru tidak memberikan pengaturan tentang bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi kepada korban. Penjelasan undang-undang tersebut juga tidak ditemukan definisi dan penjelasan mengenai bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban. Tidak dijelaskannya bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, kemungkinan akan diatur kemudian dalam Peraturan Pemerintah. Pemahaman ini dapat dilihat dari ketentuan dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) UU Perlindungan Saksi dan Koban: (2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan peraturan pemerintah. Berdasarkan regulasi dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) diatas, terdapat tiga hal. Pertama, dalam Peraturan Pemerintah yang akan dibentuk juga akan mengatur tentang pengertian ‘kompensasi’ dan ‘restitusi’ termasuk bentuk-bentuk ganti kerugiannya. Kedua, dari Peraturan Pemrintah tersebut, hakim dapat menetapkan dalam keputusannya bentuk ganti kerugian kepada korban. Ketiga, hakim mempunyai keleluasaan untuk menetapkan bentuk ganti kerugian kepada korban dalam tidak ada regulasi yang mengatur tentang bentuk- bentuk kompensasi dan restitusi.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Pemenuhan hak korban atas kompensasi dan restitusi telah diatur dalam UU Pengadilan HAM. Hukum Acara Pengadilan HAM yang digunakan, selama tidak
diatur
khusus,
mengacu
khusus
pada
ketentuan
dalam
KUHAP. 116Akibatnya, prosedur pengajukan kompensasi dan restitusi juga mengacu pada ketentuan dalam KUHAP. Perlu ditambahkan disini bahwa dalam pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berhak mengajukan ke pengadilan hak atas kompensasi atau restitusi. Ketentuan ini memunculkan mekanisme baru dalam prosedur pengajuan hak atas kompensasi atau restitusi yakni terlibatnya LPSK dalam prosedur pengajuan. Pengaturan tersebut menunjukan dua penafisran, yakni: Pertama, bahwa tuntutan ganti kerugian (kompensasi dan restitusi) hanya bisa diajukan oleh korban melalui LPSK. Kedua, korban dapat mengajukan ganti kerugian melaluiLPSK, dan dapat juga mengajukan ganti kerugian dengan prosedur yang lainnya misalnya KUHAP. Untuk memastikan prosedur baku, perlu keselarasan dengan regulasi yang lainnya misalnya dengan KUHAP dan PP No. 3 Tahun 2002. jika tidak ada keselarasan dalam prosedur pengajuan hak atas kompensasi dan restitusi ini maka kemungkinan akan menimbulkan kebingungan bagi korban, tentang mekanisme yang akan digunakan dalam mengajukan tuntutan kompensasi dan restitusi. Sebagaimana disebutkan dalam uraian di atas, hak ats kompensasi dan restitusi baik dalam UU Pengadilan HAM merupakan hak dari korban pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran HAM yang berat sebagaimana 116
Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
dinyatakan dalam Pasal 7 UU Pengadilan HAM adalah kejahatan Genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Merujuk
pada
hukum
internasional,
setidaknya
terdapat
dua
ketidaksesuaian dengan hukum internasional yakni mengenai penggunaan istilah, yakni perbedaan dalam penggunaan ‘kompensasi’ dan ‘restitusi’. Penggunaan terminology kompensasi dan restitusi dalam hukum nasional memiliki definisi yang sangat terbatas. UU Pengadilan HAM maupun UU Perlindungan Saksi dan Korban hanya mengenal bentuk pemulihan, tetapi tidak mengenai hak atas pemulihannya itu sendiri. Hak atas pemulihan yang dimaksud disini adalah hak menunjuk pada semua tipe pemilihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggran HAM berat. Pemulihan itu dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Pemulihan tersebut merupakan bentuk umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada para korban. Dengan demikian, maksud dari pemulihan ini adalah usaha memperbaiki masa lalu dan menetapkan norma-norma untuk masa depan. Meskipun telah mengetahui hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat, perlu untuk meletakkan kembali dan menyesuaikan maksud dari hak-hak atas pemulihan sesuai dengan norma dan hukum internasional. Pasal 1 ayat (4) PP No. 3 Tahun 2002, menjelaskan bahwa kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Definisi ini sama dengan definisi yang terdapat dalam Pasal 35 UU Pengadilan HAM. Kemudian konsep kompensasi ini dimasukkan juga menjadi salah satu hak korban dalam pasal 7 UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Dari pengertian ini, ‘kompensasi’ dapat ditafsirkan bahwa ganti kerugian kepada korban diambil alih oleh Negara dari kewajiban pelaku atau pihak ketiga untuk membayar ganti kerugian. Sehingga harus dibaca bahwa untuk adanya kompensasi, harus terlebih dahulu ada pelaku yang dinyatakan bersalah dan dipidana serta diperintahkan untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Tetapi, karena pelaku tidak mampu membayarnya, yang bisa disebabkan karena korbannya terlalu banyak atau jumlahnya ganti kerugian yang telalu besar, maka Negara akan mengambil alih tanggungjawab pelaku ini. Pengertian inilah yang tampak dalam praktek di pengadilan HAM Indoneisa. Definisi kompensasi seperti ini menyempitkan makna kompensasi, terutama yang terkait dengan tanggung jawab Negara atas pemulihan terhadap korban. Dan tentunya sangat bebeda jauh dengan prinsip-prinsip hukum HAM Internasional, dimana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kompensasi adalah kewajiban yang harus dilakukan Negara terhadap korban pelanggran HAM yang berat untuk melakukan pembayaran secara tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan dan tanah. 117 Jadi,pengertian dari kompensasi
itu diberikan kepada korban bukan
karena pelaku tidak mampu, tetapi sudah menjadi kewajiban Negara (state
117
Dalam hal ini kompensasi diberikan untuk setiap kerusakan atau kerugian yang secara ekonomis dapat diperkirakan nilainya, sebagai akibat dari pelanggaran HAM, seperti : kerugian fisik dan mental; kesakitan, penderitaan dan tekanan batin; kesempatan yang hilang (lost opportunity), misalnya pendidikan dan pekerjaan; hilangnya mata pencaharian dan kemampuan mencari nafkah; biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk akal; kerugian terhadap hak milik atau usaha, termasuk keuntungan yang hilang; kerugian terhadap reputasi atau martabat; biaya-biaya lain yang masuk akal dikeluarkan untuk memperoleh pemulihan.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
obligation) untuk memenuhinya ketika terjadi pelanggaran HAM yang berat dan mengakibatkan adanya korban. Hasilnya dapat dilihat dari tiga Pengadilan HAM yang sudah dilaksanakan di Indonesia. Tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi. Pengalaman Pengadilan HAM berat di Timor-timur menunjukan bahwa keputusan-keputusan dalam kasus-kasus tersebut menyatakan telah terjadinya
pelanggaran HAM yang berat dan ada korban sebagai akibat
pelanggran
HAM
tersebut
tetapi karena
pelaku
tidak
dapat
dimintai
pertanggungjawabannya, secara otomatis tidak ada kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Kenyataan ini menunjukan bahwa
pemenuhan hak-hak korban atas
kompensasi dan restitusi digantungkan dengan adanya kesalahan pelaku. Dalam arti, korban baru akan mendapatkan kompensasi dan restitusi apabila pelakunya dinyatakan bersalah oleh pengadilan. 118Apabila peristiwa pelanggaran HAM-nya terbukti dan pelaku dinyatakan bersalah, maka korban berhak atas kompensasi. Apabila tidak terbukti, maka korban tidak berhak mendapatkan kompensasi (dan/atau restitusi). Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung priok telah secara nyata menerapkan dan mengadopsi kekeliruan dalam memahami konsep kompensasi dan restitusi. Hal ini tampak dari adanya prasyarat yang harus terpenuhi agar korban mendapatkan kompensasi dan restitusi yaitu dinyatakan bersalah dan dipidananya
118
Permohonan Hak Uji Materiil terhadap Undang-Undang No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan,2006, halaman 17
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pelaku. 119 Padahal, sudah menjadi prinsip hukum HAM Internasioanal bahwa korban pelanggaran HAM berhak mendapatkan kompensasi (dan restitusi) tanpa harus menunggu apaakah pelakunya dipidana atau tidak. Disamping kekeliruan pengadopsian konsep hak atas pemulihan korban, UU Pengadilan HAM juga menimbulkan sejumlah permasalahan, terutama yang berkaitan dengan prosedur dalam pemenuhan hak-hak korban. Hal ini terkait dengan adanya klausus yang menyatakan bahwa korban dapat memperoleh hakhaknya melalui proses pengadilan. Padahal prosedur yang tersedia di pengadilan tersebut tidak disiapkan secara jelas dan lengkap. Akibatnya, prosedur yang tersedia tersebut semakin menjauhkan hak korban atas kompensasi dan restitusi. Salah satu masalah mendasar berkaitan dengan pemberian kompenasasi dan restitusi adalah adanya klausul yang menyatakan bahwa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi harus dalam amar putusan pengadilan. 120 Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa korban baru akan mendapatkan kompensasi dan restitusi ketika sudah ada putusan Pengadilan HAM yang berkekuatan tetap, yakni ketika tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh atau semua upaya hukum sudah ditempuh, mulai dari banding, kasasi dan peninjauan kembali, sehingga putusan kompensasi tidak bisa segera dieksekusi atau dilaksanakan. Akibatnya korban tidak dapat segera melakukan pemulihan, dan semakin panjang pula jalan ynag harus ditempuh oleh korban untuk mendapatkan hak-haknya.
119
Putusan No. 01/Pid.HAM/Ad.Hoc/2003/PN.JKT.PST atas nama Sutrisno Manscung dalam Satya Arinanto,Op.cit, Halaman 376 120
Pasal 35 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 jo Pasal 6 ayat (1) PP No. 3 Tahun 2002.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Ketentuan ini sangat kontradiktif dengan tujuan kompensasi ini, yakni untuk memulihkan korban ke keadaan semula (restitution in integrum) dan prinsip dalam PP No. 3 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak. 121 Dapat dibayangkan berapa lama waktu yang harus dilalui korban untuk memperoleh hak-haknya, mulai dari terjadinya pelanggran HAM yang berat, penyidikan oleh Komnas HAM, penyidikan dan penuntutan oleh Kejaksaan Agung, proses PN tingkat pertama, banding dan kasasi dan peninjauan kembali (PK). Sebaiknya pengajuan kompensasi ini tidak harus menunggu sampai putusan berkekutan hukum tetap. Pengajuan dapat dilakukan sesaat setelah korban dipanggil Komnas HAM sebagai saksi (korban) dalam pelanggaran HAM yang berat . krena sejak penyelidikan, komnas HAM sudah dapat mengidentifikasi yang menjadi korban atau saksi. Jadi, prosesnya tidak harus menunggu putusan yang berkekutan hukum tetap. Salah satu masalah penting yang luput dari perhatian pembuat UU berkaitan dengan masalah kompensasi dan restitusi adalah tidak diatur dan tidak ditentukannya jangka waktu pengajuan permohonan kompensasi dan restitusi. Untuk pengadilan HAM Timor-Timur, isu kompensasi dan restitusi sama sekali tidak muncul dalam persidangan, baik dari pihak korban, jaksa penuntut umum maupun hakim. Hal ini disebabkan karena PP No.3 Tahun 2002 dikeluarkan setelah berlangsungnya persidangan. 122 Sehingga, para pihak yang 121
Pasal 2 ayat (2) PP No. 3 Tahun 2002
122
PP No. 3 Tahun 2002 dikeluarkan ada tanggal 13 Desember 2002, sedangkan proses persidangan telah dilangsungkan sejak februari 2002.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
berkepentingan, dalam hal ini korban, jaksa penuntut umum, dan hakim, tidak dapat langsung memahami dan menginternalisasi ketentuan yang terdapat didalamnya. Akibatnya, hakim dan jaksa penuntut umum, terutama jaksa penuntut umum tidak mampu memaknai signifikasi dan pentingnya hak-hak pemulihan bagi korban. Dalam kasus Tanjung Priok dan Arbepura, para korban mengajukan permohonan secara langsung ke pengadilan pada saat mereka diperiksa sebagai saksi di pengadilan. Mekanisme ini sebenarnya cukup baik, mengingat korban dapat secara langsung meminta apa saja yang diinginkn kepada majelis hakim yang memeriksa perkaranya. Permasalahannya adalah hanya para korban yang dipanggil pengadilan saja yang dapat mengajukan permohonan atas kompensasi dan restitusi, sedangkan korban yang tidak dipanggil untuk menjadi saksi di pengadilan tidak memiliki peluang untuk mengajukan permohonan tersebut. Disamping pengajuan secara langsung ke pengadilan, korban juga menyampaikan permohonannya melalui jaksa penuntut umum. Ini dilakukan korban dengan harapan pada saat jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan, akan disertakan permohonan kompensasi dan restitusi yang dimohonkan para korban. Berbagai cara yang ditempuh korban ini dilakukan untuk memenuhi ketentuan Pasal 35 Pengadilan HAM jo PP No. 3 Tahun 2000 yang menentukan bahwa kompensasi dan restitusi harus dicantumkan dalam amar putusan. Secara umum PP No. 3 Tahun 2002 hanya menetapkan pihak yang berhak mendapatkan kompensasi dan restitusi serta instansi pemerintah terkait yang berwenang melakukan pembayaran, namun tidak menyinggung jumlah atau besaran kompensasi dan restitusi yang dapat diajukan atau diklaim oleh korban.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Akibatnya, sebagaimana terjadi di Pengadilan HAM Tanjung Priok, korban dan keluarganya melakukan perhitungan sendiri terhadap jumlah kerugian yang dialami, baik kerugian materiil maupun imateriil. Kerugian materil adalah kerugian yang bisa dihitung dengan uang yang mencakup kerugian harta benda, pekerjaan, pengobatan, dan transportasi. Sedangkan kerugian immaterial atau kerugian yang tidak bisa dihitung dengan uang mencakup stigmatisasi, pengungkapan kebenaran, dan trauma psikologis. 123 Dalam melakukan perhitungan kerugian metriil didasari Keputusan Mahkamah Agung 14 Juni 1969 No. 74 K/FIP/1969 pada 14 Juni 1969 mengenai Penilaian Uang dilakukan dengan Harga Emas. Lalu, didasari pula Keputusan Mahkamah Agung No. 63 K/PDT/1987 pada 15 Agustus 1988 mengenai Pembayaran Ganti Kerugian yang didasari pada 6% per tahun. Berdasarkan acuan ini, maka formulasi penghitungan kerugian materiilnya adalah:
NK × Harga emas tahun × 0,5(n)
124
2004
Harga emas tahun
Keterangan : NK = nilai kerugian Setelah diketahui hasilnya maka ditambah dengan 6% dari hasil tersebut. Maka setelah penjumlahan, akan diketahui nilai kerugian secara total. Hasil total kompensasi yang diterima oleh korban adalah total keseluruhan nilai kerugian tiap tahun. Metode perhitungan kerugian ini kemudian diserahkan korban, melalui Kontras kepada Kejaksaan Agung untuk dijadikan bahan pertimbangan ketika menyusun tuntutan hukum (requisitor) mengenai kompensasi dan restutusi.
123
KCM,Kompensasi untuk Korban Priok Rp.20 Miliar, 18 Juni 2004
124
www.kontras.org, Surat KontraS untuk Permohonan Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi diakses Tanggal 4 Desember 2009
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Sedangkan untuk peristiwa Arbepura, metode yang digunakan dalam menghitung kerugian ini adalah dengan menggunakan pendekatan yang secara riil dialami serta biaya-biaya lain yang dikeluarkan, misalnya pembunuhan secara kilat, penyiksaan, meninggal dalam tawanan polisi, mereka yang mengalami cacat tetap, dan mereka yang harta miliknya dirusak. Kerugian, kerusakan dan penderitaan yang dialami ini kemudian dinyatakan dalam jumlah uang yang dituntut. Beberapa dari jumlah ini adalah jumlah aktual biaya yang dikeluarkan oleh korban yaitu biaya rumah sakit dan biaya kerusakan harta benda. Jumlah lain adalah jumlah simbolis, yang kebanyakan merupakan hitungan adapt, termasuk dalam hal ini adalah kerugian karena nafkah tidak lagi dapat diusahakan karena cacat tetap dan biaya perdamaian. Kesemuanya ini dihitung secara persis sesuai dengan yang dialami. 125 Berbagai metode perhitungan kerugian muncul sebagai dampak langsung dari tidak jelasnya pengaturan mengenai Kompensasi dan Restitusi sebagaimana terdapat dalam PP No. 3 Tahun 2002. Sebenarnya pada tanggal 6 Oktober 2004, pemerintah yang saat itu dikepalai oleh Megawati Soekarno Putri, telah mengeluarkan UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang selanjutnya akan disebut UU KKR. Undang-undang ini dibentuk untuk mengungkap kebenaran, menegakkkan keadilan, dan membentuk budaya mengahargai HAM sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional demi kepentingan para korban dan/atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk
125
Berita arbepura, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus Arbepura
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
mendapatkan kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi. UU KKR merupakan implikasi dari Pasal 47 UU Pengadilan HAM yang menerangkan bahwa: 1. Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang. Dalam UU KKR, definisi tentang kompensasi dan restitusi mempunyai arti yang berbeda seperti yang ditemukan dalam UU Pengadilan HAM jo PP No. 3 Tahun 2002, yang menerangkan bahwa 126: Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban atau kelurga korban yang merupakn ahli warisnya sesuai dengan kemampuan keuangan Negara untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisik da mental. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau keluargakorban yang merupakan ahli warisnya. Dapat dilihat perbadaan antara definisi kompensasi dalam UU KKR ini dengan UU Pengadilan HAM dan PP No. 3 Tahun 2002. dalam UU KKR, kompensasi memunculkan tanggung jawab Negara mengenai ganti ketugian secara penuh, bukan karena pelaku tidak mampu seperti arti kompensasi dalam UU Pengadilan HAM dan PP No. 3 Tahun 2002. Dilihat dari tugas dan wewenang komisi tersebut, dapat disimpulkan bahawa komisi tersebut memepunyai kewenangan yang penuh dalam membantu 126
Pasal 1 ayat (6) dan 7 UU KKR
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, mulai dari menerima laporan dari pelaku, korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, melakukan penyelidikan dan klarifikasi mengenai pelanggaran HAM berat, memberikan rekomendasi kepada Presiden dalam permohonan amnesti, menyampaikan rekomendasi pada pemerintah dalam hal pemeberian kompensasi dan/atau rehabilitasi. 127 Keuntungan dari terbentuknya komisi tersebut adalah hak-hak korban. Salah satu alat kelengkapan komisi tersebut adalah subkomisi yang mana mempunyai
tugas
memeberikan
pertimbangan
hukum
dalam
pemberia
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban yang merupakan ahli warisnya sebagai akibat dari pelanggaran HAM yang berat. Hal ini dapat membantu korban dalam menjamin hak-haknya untuk memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tanpa proses yang panjang seperti yang diatur dalam KUHAP. Pemebentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini mempunyai tugas dan wewenang yang jelas. Berbeda dengan halnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang dibentuk melalui UU Perlindungan Saksi dan Korban. LPSK sebagai lembaga yang mandiri tidak cukup mengkoordinir kepentinhan korban pelanggran HAM yang berat dalam hak pengajuan kompensasi dan restitusi. Namun pada 7 Desember 2006, UU KKR telah dicabut oleh Makamah Konstitusi dikarenakan Pasal 27 UU KKR tidak jelas. 128 Pasal 27 tersebut 127
Pasal 6 UU KRR.
128
Kompensasi dan rehabilitasi diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
dianggap telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dalam memberikan hak kepada korban berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi,
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Pengakuan atas hak-hak korban kejahatan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini terlihat dari pengaturan hak ‘ganti rugi’ kepada korban dalam KUHAP, UU Pengadilan HAM, dan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, adanya berbagai peraturan tersebut di atas mengakibatka adanya kerancuan dalam penggunaan istilah kompensasi dan restitusi, yang apabila tidak diselaraskan akan berimplikasi pada benturan regulasi, yang apabila tidak diselaraskan akan berimplikasi pada benturan regulasi dan menyebabkan ketidakjelasan dalam implementasinya. Dalam UU Pengadilan
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
HAM disebutkan bahwa korban pelanggran HAM mempunyai hak atas kompensasi dan restitusi, yang juga diatur dalam peratutan pelaksanaanya yakni PP No. 3 Tahun 2002. Namun demikian, sampai saat ini belum ada satupun korban pelanggaran HAM yang berat mendapatlan hak atas kompensasi dan restitusi. Hal ini diakibatkan karena adanya kelemahan baik mengenai konsep kompensasi
dan
restitusi
maupun
mengaenai
prosedur
pemenuhannya.
Kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilihat dari serangkaian praktek penerapan ketentuan tentnag kompensasi dab restitusi dalam Pengadilan HAM dan dikomparasikan dengan ketentuan dalam hukum internasional. Bahwa sejak tahun 2006 telah muncul UU Perlindungan Saksi dan Korban yang juga mengatur tentang hak korban pelanggaran HAM atas kompensasi dan korban dan hak korban atas restitusi. Namun, pengaturan dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban tersebut ternyata tidak memberikan pengertian yang memadai tentang maksud dari kompensasi dan restitusi. Dalam UU tersebut hanya dinyatakan bahwa pengaturan tentang pemberian kompensasi dan restitusi akan diatur dalam peraturan pemerintah. Hal ini berarti UU Perlindungan Saksi dan Korban mengulangi kesalahan konsep kompensasi dan restitusi, ketidakjelasan prosedur dan kegagalan dalam penerapan hak-hak tersebut. Akibatnya korban akan semakin jauh dalam mendapatkan atas pemulihan yang efektif sebagaimana dipersyaratkan dalam berbagai instrument internasional. Statuta Roma 1998 sebagai salah satu instrument hukum internasional, telah jelas mengatur mengenai mekanisme pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban pelanggaran HAM berat. Hal ini sesuai dengan apa yang telah ditentukan hukum internasional dalam menjamin hak-hak korban khususnya korban pelanggaran HAM berat , seperti
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
pengaturan khusus tentnag ganti kerugian, bentuk ganti kerugian, dan siapa saja yang menjamin mengenai ganti kerugian bagi korban. Dengan dibentuknya Unit Saksi dan Korban oleh Panitera yang mempunyai tugas dan wewenang yang jelas seperti yang ditentukan dalam Statuta Roma beserta hukum acaranya, dapat memudahkan korban untuk meminta hak-haknya dalam mendapatkan kompensasi dan restitusi. 2. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal pemenuhan hak korban berupa kompensasi dan restitusi sudah dilakukan dengan dikeluarkannya PP No. 3 Tahun 2002
tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan
Kepada Korban dan Saksi, sebagai aturan pelaksanaan dari UU Perlindungan Saksi dan Korban. PP tersebut telah menjelaskan bagaiman korban dalam mengajukan permohonan kompensasi dan restitusi dan yang terpenting adalah tugas dan wewenang dari LPSK sebagai lembaga mandiri yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian bantuan pada Saksi dan Korban.
B.
Saran
1.
Bentuk –bentuk kompensasi dan restitusi harus juga dirumuskan secara jelas sebagai panduan oleh korban maupun penegak hukum lainnya dalam menentukan bentuk kompensasi dan restitusi. Termasuk disini adalah besaran ganti kerugian dalam bentuk uang harus juga ada panduan dan rumusan yang jelas. Dalam hal ini kompensasi diberikan untuk setiap kerusakan atau kerugian yang secara ekonomis dapat diperkirakan nilainya, sebagai akibat dari pelanggaran HAM, seperti kerugian fisik dan mental; kesakitan, penderitaan dan tekanan batin; kesempatan yang hilang
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
, misalanya pendidikan dan pekarjaan; hilangnya mata pencaharian dan kemampuan mencari nafkah, biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk akal, kerugian terhadap hak milik atau usaha, termasuk keuntungan yang hilang, kerugian terhadap reputasi atau martabat , biaya-biaya lain yang masuk akal dikeluarkan untuk memperoleh pemulihan. 2.
Perlunya pengkajian kembali mengenai definisi kompensasi agar timbul tanggung Negara secara penuh dalam pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat.
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku-buku Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran HAM Indonesia, Timor Leste dan Lainnya, Grasindo, Jakarta,
Berat
2005.
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Edisi Pertama-Cetakan Kedua), CV. Akademika Perssindo, 1989. ____________Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993.
Aref Amrullah, Politik Hukum Pidana: dalam Rangka Perlidungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan.Bayu Media Publishing.Malang. 2003
Amiruddin, dkk. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2004
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Revisi, cetakan ke empat, 2005.
Jakarta, Edisi
Barda Nawawi Arif, Beberapa Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1998. Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perpektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Pers, Jakarta, 2004. Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. DR.H. Soeharto. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme. Refika Aditama. Bandung. Juni. 2007. Erikson Hasiholan Gultom, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor-timur, PT. Tatanusa, Jakarta. Haryomataram, Hukum Humaniter: Hubungan dan Keterkaitannya dengan Hukum Hak Azasi Manusia Internasional dan Hukum Pelucutan Senjata, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 2007. _____________Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi. Djambatan. Jakarta. 2004. Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor, 2005. Marianus Kleden, Hak Asasi Manusia LAMAMERA. Yogyakarta. 2008.
dalam
masyarakat
Komunal,
Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, cetakan ke-2, 2006.
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum Dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005.
R. Wiyono, Pengadilan Hak asasi di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006. R. Soeroso, Pengantar ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta: 2005 Romli Atmasasmitha, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Utomo, Bandung, 2004. Satya Arinanto, Hak asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat studi hukum tata Negara Fakultas Hukum Universiats Indonesia, Jakarta, 2005 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Almuni, Bandung, 1992. Soedjono Dirjdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2002 Teguh Prasetyo,Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminilasisasi. Pustaka Pelajar . Yogyakarta. 2005
Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005
2. Artikel Albert Hasibuan, Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP, makalah dalam diskusi ilmiah “Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP” yang diselenggarakan di Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2 Juni 2007. Supriady Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman, Zainal Abidin, Perlindungan Saksi dan Korban Catatan Atas Pengalaman Pengadilam HAM Ad Hoc Kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur , Elsam , Jakarta, 2005. ____________________________________________________Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat, Elsam , Jakarta, 2005. Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, ELSAM, Jakarta, 2005. Ifdhal Kasim, “Prinsip-prinsip van Boven” mengnai Korban Pelanggaran HAM Berat Hak Asasi Manusia, dalam van Boven, Theo, Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi dan Rehabilitasi, ELSAM, Jakarta, 2002. _____________Dilema Simalakama: Amnesti Keadilan di Masa Transisi, ELSAM, Jakarta, 2003.
3. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen keempat
Undang-undang No. 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahaan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment)
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Undang-undang 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan HAM Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM yang Berat
Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban Declaration Universal of Universal Tahun 1948
International Convenant on Civil and Political Rights Tahun 1966.
Optional Protocol International Convenant on Civil and Political Rights Tahun 1976
Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and abuse of Power Tahun 1985.
Statute International Criminal Tribunal For Yugoslavia, 1994 Statute International Criminal Tribunal For Rwanda.1995 Rome Statute of The International Criminal Court, 1998
4. Internet www.google.com http//one.indoskripsi.com/note/7402, Pengertian Perlindungan Hukum. Diakses 3 Desember 2009
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
http://myfilesexpress.com/download.php?file=Pengadilan_HAM_Kasus_Timor_Timur_checke d.rar. Diakses tanggal 4 Desember 2009
http://komisiyudisial.go.id/index.php?option=com.content&view=article&kid=46 9%3Akorban pelanggaran ham. Diakses tanggal 4 Desember 2009
www.kompas.com/0112/3headline/015.htm “Sebanyak 2.325 Kasus Kekerasan Terjadi di Aceh 2001. Diakses tanggal 14 November 2009
http://legal.daily-thought.info/2008/03/prinsip-prinsip-perlindungan-ham/ diakses tanggal 4 Desember 2009
www.kontras.org, Surat KontraS untuk Permohonan Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi diakses Tanggal 4 Desember 2009
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………................................ i ABSTRAKSI………………………………………………………………….. vi DAFTAR ISI…………………………………………………………………… vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang…………………………………………………........ 1 B. Permasalahan……………………………………………………….. 6
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan…………………………………..…. 7 D. Keaslian Penulisan………………………………………………….. 7 E. Tinjauan Kepustakaan……………………………………………….. 8 1.
Pengertian Korban………………............................................ 8
2.
Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat…………… 13
3.
Pengertian Perlindungan Hukum……………………………... 18
F. Metode Penelitian……………………………………………………. 20 G. Sistematika Penulisan……………………………………………… 22
BAB II RUANG LINGKUP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT C. Kewajiban Negara Menyangkut Hak Asasi Manusia………………… 24 D. Bentuk-bentuk Pelanggran Hak Asasi Manusia Berat…….…………… 39
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT D. Prinsip Dasar Perlindungan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat………………………………………………………….. 56 E. Pemberian Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat……………………………………………..... . 72 F. Mekanisme Pemberian Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat………………………… 76
BAB IV PENUTUP C. Kesimpulan…………………………………………………………… 106 D. Saran………………………………………………………………….. 108
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.