1
TESIS
TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KERUGIAN WISATAWAN BERKAITAN DENGAN PELANGGARAN HAK BERWISATA SEBAGAI BAGIAN DARI HAK ASASI MANUSIA
NI PUTU EVA LAHERI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
2
TESIS
TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KERUGIAN WISATAWAN BERKAITAN DENGAN PELANGGARAN HAK BERWISATA SEBAGAI BAGIAN DARI HAK ASASI MANUSIA
NI PUTU EVA LAHERI NIM: 1390561021
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i
3
TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KERUGIAN WISATAWAN BERKAITAN DENGAN PELANGGARAN HAK BERWISATA SEBAGAI BAGIAN DARI HAK ASASI MANUSIA
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
PUTU EVA LAHERI NIM.1390561021
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
4
Lembar Persetujuan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 12 JANUARI 2015
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH.,M.Hum.LLM. NIP. 196111011986012001
Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH. NIP. 195609021985032001
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH.,M.Hum.LLM. NIP. 196111011986012001
Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH. NIP. 195609021985032001
iii
5
Tesis ini Telah Diuji Pada Tanggal 12 Januari 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 100/UN.14.4/HK/2015 Tanggal 9 Januari 2015
Ketua
: Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M.Hum., LLM.
Sekretaris
: Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH.
Anggota
: 1. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH., M.Hum. 2. Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum. 3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH., M.Hum.
iv
6
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Ni Putu Eva Laheri
Program Studi
: Ilmu Hukum
Judul Tesis
: Tanggung Jawab Negara Terhadap Kerugian Wisatawan Berkaitan Dengan Pelanggaran Hak Berwisata Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 12 Januari 2015 Yang menyatakan Meterai 6000
NI PUTU EVA LAHERI
v
7
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat Beliaulah penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis dengan judul “Tanggung Jawab Negara Terhadap Kerugian Wisatawan Berkaitan Dengan Pelanggaran Hak Berwisata Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia” ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Magister pada Program Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis sangat menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan berkat berbagai dukungan, motivasi dan bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan yang berbahagia ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD KEMD beserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magistes di Universitas Udayana. 2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K) beserta jajarannya atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. 3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana,SH., MH., beserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. vi
8
4. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH., M.Hum., LLM, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. 5. Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH., M.Hum atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. 6. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M.Hum., LLM, sebagai dosen pembimbing pertama yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, dorongan dan semangat serta saran kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. 7. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH., sebagai dosen pembimbing kedua yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini dengan penuh perhatian dan motivasi. 8. Dosen-dosen pengajar serta tenaga kependidikan atau administrasi (Bu Agung, Bu Gung Yun, Pak Made Mustiana dan Dandy) atas berbagai dukungan administratif dan moral yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
vii
9
9. Yang tercinta kedua orang tua penulis Ni Nengah Darmika dan Peter Piette, serta keluarga yang penulis kasihi dan I Made Indra Parwita, SH., yang telah dengan penuh sabar memberikan doa, kasih sayang, bantuan materi semangat dan dukungannya hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 10. Atasan Vidhi Law Office Mr. Peter Johnson dan Ibu Ni Made Aryawati, SH., M.Kn., serta rekan-rekan Vidhi Law Office Desy Eka Widyantari, SH., MH., Kadek Dwi Tusidhi, SH., M.Kn., Tri Wahyuni, Nurhayati, yang senantiasa memberikan dukungan selama proses penyelesaian tesis ini. 11. Rekan-rekan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana angkatan 2013 serta teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Akhir kata, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan anugerah-Nya kepada kita semua.
Denpasar, 12 Januari 2015
Penulis
viii
10
ABSTRAK Pengakuan hak berwisata sebagai hak asasi manusia berdasarkan ketentuan internasional diantaranya Pasal 13 dan Pasal 24 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM); Pasal 7 huruf d, Pasal 15 ayat (1) huruf a dan b International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights (ICESCR); dan prinsip-prinsip kepariwisataan yang diatur dalam Global Code of Ethics for Tourism (GCET) serta ketentuan hukum nasional negara Indonesia Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UU 10/2009) khususnya pada bagian menimbang huruf b melahirkan tanggung jawab bagi negara Indonesia untuk senantiasa menghormati, melindungi dan memenuhi hak setiap orang untuk berwisata hanya saja dari ketentuan tersebut tidak ada yang menunjukkan konsekuensi yuridis jika negara tidak melakukan tanggung jawabnya tersebut sehingga menimbulkan permasalahan yang diteliti dalam tesis ini berupa: Apakah secara konseptual wisatawan dapat menuntut ganti rugi kepada negara dalam kaitannya terhadap pengakuan hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia? Dan dalam hal bagaimanakah tuntutan ganti kerugian tersebut dapat diajukan kepada negara? Penelitian berupa penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan berupa: pendekatan perundang-undangan, pendekatan perbandingan serta pendekatan konsep yang mengkaji teori-teori seperti teori tanggung jawab dan teori sebab akibat yang dikemukakan oleh Von Buri menghantarkan pada suatu hasil penelitian yang menunjukkan bahwa secara konseptual wisatawan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada negara Indonesia selama wisatawan tersebut mampu membuktikan kerugian yang diderita olehnya benar-benar sebagai akibat yang disebabkan secara nyata karena adanya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara Indonesia. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa wisatawan dapat mengajukan tuntutan dalam hal negara benar-benar terbukti melakukan pelanggaran hak berwisata yang dimilikinya baik secara sengaja maupun tidak sengaja atau karena kelalaiannya secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut hak asasi manusia untuk berwisata.
Kata Kunci: hak berwisata, hak asasi manusia, kerugian wisatawan, pelanggaran hak berwisata, tuntutan ganti rugi kepada negara.
ix
11
ABSTRACT Recognition of the right to tourism as a part of Human Rights by virtue to the following international and national provisions: Articles 13 and 24 of the Universal Declaration of Human Rights (UDHR); Articles 7 (d) and 15 (1a and 1b) of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR); The principles of tourism, as stated in The Global Code of Ethics for Tourism (GCET); Statute Number 10 year 2009 regarding Tourism (Statute 10/2009) on the section of consideration part (b) in order to engender liability of Indonesian Government to constantly respect, protect and fulfill the right of every individual to enjoy his right to tourism. However, none of these provisions aforementioned which govern any legal consequences if the Indonesian Government does not accomplish its responsibility, and it gives rise to some inquiries that have been researched in this thesis: 1) Whether, in concept, the tourist is able to file a claim of compensation against the Indonesian Government in relation with the recognition of the right to tourism, as a part of Human Rights? 2) And furthermore in terms of how a tourist is allowed to file a claim as mentioned above, against the Indonesian Government? This research is performed by using the normative legal research method, which is based on the statute approach, the comparative approach as well as the conceptual approach and it reviews the existing issues by using the Theory of Legal Responsibility as presented by Austin, as well as the Theory of Adequate as presented by Von Buri. The analysis of legal materials is done by descriptive analysis, which concluded that in concept, the tourist could file a claim of compensation against the Indonesian Government, if he/she can prove that the damage or loss is caused by a violation of Human Rights conducted by the Indonesian Government. Furthermore the result of this research shows that the claim should be file together with stating prove that the Indonesian Government has conducted a deliberate or non-deliberate violation of Human Rights by proving that the right to tourism has been impaired by, interfered with, delimited by and/or deprived by the omission of the Indonesian Government.
Key Words: the right to tourism, human rights, the losses of the tourist, violation of human rights, claim of compensation against Indonesian Government.
x
12
RINGKASAN TESIS Tesis ini membahas tentang “ Tanggung Jawab Negara Terhadap Kerugian Wisatawan Berkaitan Dengan Pelanggaran Hak Berwisata Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia” terdiri dari 5 (lima) bab yang masing-masing membahas tentang latar belakang pentingnya tesis ini dibuat dan metode penelitian yang dipergunakan dalam tesis ini, tinjauan umum dari konsep-konsep dan teori-teori yang digunakan untuk meneliti permasalahan dalam tesis ini, kajian atau pembahasan terhadap rumusan masalah serta kesimpulan dan saran yang dapat diberikan. Bab I Pendahuluan diawali dengan menguraikan latar belakang penelitian yang dilakukan yaitu karena adanya kekosongan dan kekaburan hukum terkait dengan tanggung jawab negara atas pelanggaran hak berwisata sebagai hak asasi manusia sebagai alasan pentingnya tesis ini dibuat yang kemudian diikuti dengan menguraikan 2 (dua) buah rumusan masalah yang diteliti dalam tesis, tujuan dan manfaat penelitian, orisinalitas, landasan teoritis dan metode penelitian yang dilakukan. Adapun permasalahan yang diteliti bermula dari komitmen negara Indonesia dalam mengakui hak berwisata sebagai hak asasi manusia berdasarkan ketentuan internasional Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights (ICESCR), Global Code of Ethics for Tourism (GCET) dan ketentuan hukum nasional khususnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UU 10/2009) melahirkan tanggung jawab negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak berwisata sebagai hak asasi manusia, namun dalam perjalanannya belum ada ketentuan hukum yang memadai dan secara tegas mengatur tentang konsekuensi yuridis yang dihadapi oleh Indonesia jika negara Indonesia melakukan pelanggaran terhadak hak berwisata sebagai hak asasi manusia terlebih lagi jika pelanggaran tersebut menimbulkan kerugian bagi wisatawan yang sedang menikmati hak yang diberikan. Untuk itu penelitian dalam tesis ini berfokus pada kemungkinan wisatawan untuk menuntut ganti kerugian atas kerugian yang dialaminya dalam hal terjadi pelanggaran hak berwisata sebagai hak asasi manusia dan bentuk ganti kerugian yang dapat diberikan jika dimungkinkan. Bab II dalam tesis ini menguraikan tentang kajian kepariwisataan sebagai hak asasi manusia, kerugian yang dapat dialami wisatawan dalam kegiatan kepariwisataan, dan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan kepariwisataan atas pengimplementasian hak berwisata sebagai hak asasi manusia. Hak berwisata sebagai hak asasi manusia telah diakui dalam UU 10/2009 bagian menimbang huruf b yang menyatakan bahwa menghabiskan waktu dalam wujud berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mana dalam kegiatan wisata yang dilakukan bisa saja timbul kerugian yang terjadi karena adanya perbuatan melawan hukum atau wanprestasi antara wisatawan dengan salah satu pemangku kepentingan lainnya dalam penyelenggaraan kepariwisataan di Indonesia. Dan apabila terbukti yang melakukan pelanggaran xi
13
adalah negara maka negara harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan. Bab III membahas tentang jawaban atas rumusan masalah pertama yang diuraikan dalam bab I tesis ini yaitu tentang tanggung jawab negara atas kerugian wisatawan yang bermula dari pembahasan tentang eksistensi hak berwisata sebagai hak asasi manusia dilihat dari adanya ketentuan hukum yang mengatur tentang hak berwisata, konsep hak berwisata sebagai hak asasi manusia, elemen penguji hak asasi manusia, urgensi kebutuhan berwisata dalam teori hierarki kebutuhan serta keberlakuan hukum di Indonesia yang berkaitan dengan hak berwisata sebagai hak asasi manusia. Selanjutnya sub bab dari bab III membahas tentang justisiabilitas hak berwisata sebagai hak asasi manusia dan juga menguraikan tentang bentuk tanggung jawab negara atas kerugian wisatawan di Indonesia. Dari pembahasan tersebut ditemukan bahwa secara konseptual wisatawan dapat meminta ganti rugi atas kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat yang disebabkan karena adanya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara dan/atau aparatur negara dan bentuk ganti kerugian yang dapat diberikan berupa pemberian kompensasi atas kerugian yang dialami wisatawan. Bab IV merupakan pembahasan terhadap rumusan masalah kedua sebagaimana diuraikan dalam bab I yang memberikan jawaban tentang keadaankeadaan yang memungkinkan untuk diajukannya tuntutan ganti rugi oleh wisatawan kepada negara dimana negara Indonesia telah terbukti melakukan pelanggaran hak berwisata sebagai hak asasi manusia diluar keadaan darurat yang memungkinkan terjadinya pelanggaran dengan tindakan yang dilakukan baik secara sengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara melawan hkum mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut hak asasi seseorang untuk berwisata. Bab V merupakan bab penutup dari tesis ini yang menguraikan tentang simpulan dan saran dari tesis yang mana penulis menyarankan agar setiap wisatawan yang hendak mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada wisatawan ada baiknya untuk meneliti terlebih dahulu penyebab dari kerugian yang dialaminya sebelum membuat dalil yang menyatakan bahwa kerugian yang dialaminya disebabkan karena adanya pelanggaran hak berwisata yang dilakukan oleh negara Indonesia selain itu dalam mengajukan tuntutan ganti rugi kepada negara, wisatawan harus memiliki bukti yang mendukung bahwa kerugian yang dialaminya merupakan tanggung jawab dari perbuatan negara Indonesia yang melanggar hak berwisata sebagai hak asasi manusia.
xii
14
DAFTAR ISI SAMPUL DALAM ..........................................................................................
i
PERSYARATAN GELAR MAGISTER .........................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................
iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...........................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................
vi
ABSTRAK .......................................................................................................
ix
ABSTRACT .....................................................................................................
x
RINGKASAN TESIS ......................................................................................
xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................
6
1.3 Ruang Lingkup Masalah ................................................................
6
1.4 Tujuan Penelitian ...........................................................................
6
1.4.1 Tujuan Umum .......................................................................
6
1.4.2 Tujuan Khusus ......................................................................
6
1.5 Manfaat Penelitian .........................................................................
7
xiii
15
1.5.1 Manfaat Teoritis ....................................................................
7
1.5.2 Manfaat Praktis .....................................................................
7
1.6 Orisinalitas Penelitian ....................................................................
7
1.7 Landasan Teoritis ...........................................................................
9
1.8 Metode Penelitian...........................................................................
26
1.8.1 Jenis Penelitian Hukum .........................................................
26
1.8.2 Jenis Pendekatan ...................................................................
27
1.8.3 Sumber Bahan Hukum ..........................................................
28
1.8.4 Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum ..........
30
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum .............................................
30
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB NEGARA
ATAS
KERUGIAN
WISATAWAN
BERKAITAN
DENGAN PENGAKUAN HAK BERWISATA SEBAGAI BAGIAN DARI HAK ASASI MANUSIA ......................................................................
32
2. 1 Kajian Kepariwisataan sebagai Hak Asasi Manusia ..................... 32 2.1.1 Pengertian Kepariwisataan .................................................... 32 2.1.2 Unsur-Unsur Pemangku Kepentingan (Stakeholders) dalam Kegiatan Kepariwisataan ..........................................
36
2.1.3 Hak Berwisata sebagai Hak Asasi Manusia ..........................
42
2.2 Kerugian Wisatawan dalam Kegiatan Kepariwisataan ..................
49
2.2.1 Hubungan Hukum antar Pemangku Kepentingan dalam Kegiatan Kepariwisataan .....................................................
xiv
49
16
2.2.2 Konsekuensi Yuridis dari Hubungan Hukum antar Pemangku Kepentingan .......................................................
53
2.2.3 Konsep Kerugian Wisatawan ...............................................
60
2.3 Tanggung
Jawab
Negara
dalam
Penyelenggaraan
Kepariwisataan atas Pengimplementasian Hak Berwisata sebagai Hak Asasi Manusia...........................................................
66
2.3.1 Konsep Tanggung Jawab Negara .........................................
66
2.3.2 Fungsi Negara dalam Penyelenggaraan Kepariwisataan di Indonesia ..........................................................................
73
2.3.3 Bentuk Tanggung Jawab Negara dalam Memenuhi Hak Berwisata sebagai Bagian dari Hak Asasi Manusia.............
77
BAB III TANGGUNG JAWAB NEGARA ATAS KERUGIAN WISATAWAN DI INDONESIA ...............................................
88
3.1 Eksistensi Hak Berwisata sebagai Hak Asasi Manusia di Indonesia ........................................................................................
88
3.2 Justisiabilitas Hak Berwisata sebagai Hak Asasi Manusia ............
102
3.3 Bentuk Tanggung Jawab Negara atas Kerugian Wisatawan di Indonesia ........................................................................................
110
BAB IV PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DAN KEADAAN YANG
MEMUNGKINKAN
DILAKUKANNYA
TUNTUTAN GANTI RUGI WISATAWAN KEPADA NEGARA ........................................................................................
121
4. 1 Konsep Pelanggaran Hak Asasi Manusia .....................................
121
xv
17
4. 2 Sebab-Sebab
Pelanggaran
Hak
Asasi
Manusia
yang
Memungkinkan Dilakukannya Penuntutan Ganti Rugi .................
127
4. 3 Keadaan-Keadaan yang Memungkinkan Negara Melakukan Pelanggaran Hak Asasi Manusia .................................................... 136 BAB V PENUTUP ........................................................................................... 145 5.1 Simpulan ........................................................................................ 145 5.2 Saran ............................................................................................... 146 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 147
xvi
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemikiran hak berwisata sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) secara nasional tertuang dalam Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UU No. 10/2009) bagian menimbang huruf (b) yang menyatakan bahwa kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian dari HAM. Pertimbangan UU No. 10/2009 tersebut mengandung arti adanya pengakuan hak setiap orang memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata, melakukan usaha pariwisata, menjadi pekerja/buruh pariwisata dan/atau berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan yang secara tegas dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (1) UU No. 10/2009. Pengakuan hak berwisata sebagai bagian dari HAM juga mendasari prinsip penyelenggaraan kepariwisataan yang menjunjung tinggi HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 10/2009 sehingga secara nasional penyelenggaraan kepariwisataan di Indonesia harus memperhatikan hak-hak dasar manusia yang diakui baik secara nasional maupun internasional. Pengakuan hak berwisata sebagai bagian dari HAM di Indonesia tentunya tidak muncul begitu saja melainkan didahului oleh pemikiran bangsa-bangsa di dunia terhadap konsep HAM universal yang dituangkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pengakuan hak berwisata sebagai HAM dapat dilihat pada Pasal 13 DUHAM yang mengakui kebebasan setiap 1
2
orang untuk bergerak dan berpindah melewati batas-batas suatu negara termasuk meninggalkan dan kembali ke negaranya sendiri. Selain itu hak berwisata setiap manusia secara eksplisit diatur dalam Pasal 24 DUHAM yang menegaskan hak setiap orang atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan jam kerja yang layak dan hari libur berkala dengan tetap menerima upah. Hak berwisata dalam ICESCR dapat dilihat pada Pasal 7 huruf d yang mengatur hak yang sama dengan Pasal 24 DUHAM dan Pasal 15 ayat (1) huruf a dan b ICESCR tentang hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya serta hak setiap orang untuk menikmati perkembangan ilmu pengetahuan. Karena Indonesia telah mengikatkan diri pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam ICESCR dan DUHAM termasuk Pasal 7 ICESCR dan Pasal 15 ICESCR melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang ratifikasi International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights (UU No. 11/2005) maka Negara Indonesia harus menghormati, melindungi dan memenuhi HAM untuk berwisata. Komitmen Indonesia dalam mengakui kegiatan berwisata sebagai bagian dari HAM selain berdasarkan ketentuan DUHAM dan ICESCR juga didukung oleh prinsip-prinsip dalam Global Code of Ethics for Tourism (GCET). GCET pada bagian pembukaan menyatakan komitmen negara-negara anggota United Nations World Tourism Organization (UN WTO) untuk mempromosikan dan membangun kepariwisataan yang berkontribusi pada perkembangan ekonomi, perdamaian, kesejahteraan universal dan penghormatan internasional terhadap ketaatan hak asasi manusia, kebebasan mendasar tanpa membeda-bedakan ras, jenis kelamin,
3
bahasa dan kepercayaan yang dilanjutkan dengan prinsip Right to Tourism dalam prinsip 7 (tujuh) GCET dan prinsip 8 (delapan) GCET tentang Liberty of Tourist Movement. Prinsip 2 GCET tentang penyelenggaraan kegiatan pariwisata yang menghormati kesetaraan gender, mempromosikan hak asasi manusia khususnya hak-hak individual dari kelompok yang rentan seperti anak-anak, orang tua, penyandang cacat dan entik minoritas pun telah diakui oleh Indonesia berdasarkan Pasal 21 UU No. 10/2009 maka dari itu dapat dikatakan bahwa Indonesia secara diam-diam telah mengikatkan diri pada prinsip-prinsip GCET. Sejalannya pemikiran Negara Indonesia dengan DUHAM, ICESCR dan GCET serta tunduk dan terikatnya Negara Indonesia dengan prinsip dan ketentuan internasional tersebut membebankan kewajiban dan tanggung jawab kepada Negara Indonesia untuk menjamin pemenuhan hak-hak wisatawan di Indonesia, baik hak-hak yang diatur dalam UU No. 10/2009 maupun hak-hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait lainnya seperti Undang – Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 08/1999) karena wisatawan adalah konsumen dari usaha jasa pariwisata. Salah satu hak wisatawan yang harus dilindungi dan dipenuhi adalah hak atas keamanan dan keselamatan. Hak atas keamanan dan keselamatan wisatawan selain merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha pariwisata berdasarkan Pasal 26 UU No. 10/2009 juga merupakan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah berdasarkan Pasal 23 UU No. 10/2009. Lalu apakah yang terjadi jika hak atas keamanan dan keselamatan wisatawan itu dilanggar atau tidak dipenuhi?
4
Upaya apakah yang bisa diambil oleh wisatawan ketika hak atas keamanan dan keselamatannya dilanggar terlebih lagi jika timbul kerugian baik itu kerugian materiil atau kerugian immateriil? Dapatkah wisatawan mengajukan tuntutan atau gugatan ganti rugi negara atas kerugian yang dideritanya. UU No. 10/2009 dan UU No. 08/1999 telah mengatur dengan jelas mengenai tanggung jawab pengusaha pariwisata dalam hal timbulkan kerugian yang dialami oleh wisatawan pada saat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang disediakan, hanya saja di dalam UU No. 10/2009 dan UU No. 08/1999 tidak ada ketentuan yang mengatur ataupun menjelaskan mengenai tanggung jawab negara atas kerugian wisatawan jika ternyata negaralah yang melanggar hak-hak yang dimiliki wisatawan termasuk hak atas keamanan dan keselamatan wisatawan. Kasus
Dillenkofer
ea
v
Bundesrepublik
Deutschland
Tahun
1996
menggambarkan tentang tanggung jawab negara (state liability) terhadap konsumen karena bangkrutnya sebuah tour operator. Pada saat itu Dillenkofer dan beberapa orang lainnya yang mengalami kerugian karena bangkrutnya tour operator tempat mereka membeli paket wisata mengajukan gugatan ganti rugi terhadap Negara Jerman karena Negara Jerman dianggap telah melanggar atau gagal menjalankan ketentuan dalam Pasal 7 Panduan Paket Liburan 90/314/EEC yang mengatur tentang hak konsumen untuk mendapat pengembalian uang dalam hal terjadinya kebangkrutan pihak tour operator tempat dimana mereka membeli paket liburan. Berdasarkan putusan pengadilan, Negara Jerman dinyatakan telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang dimaksud dengan pertimbangan bahwa negara bertanggung jawab untuk membayar kerugian
5
konsumen yang mengalami kerugian akibat bangkrutnya tour operator ketika negara gagal melindungi konsumen dari kebangkrutan tersebut. 1 Kasus di atas menggambarkan bahwa negara ikut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh konsumen yaitu konsumen usaha jasa pariwisata dalam hal terjadinya kebangkrutan usaha jasa perjalanan wisata sehingga tidak terjadi kekosongan pihak yang bertanggung jawab atas kerugian konsumen tersebut dalam hal pengusaha tidak lagi mampu untuk bertanggung jawab. Permasalahan dan contoh kasus di atas menjadi motivasi untuk dilakukannya suatu penelitian mengenai tanggung jawab Negara Indonesia terhadap kerugian wisatawan berkaitan dengan pengakuan hak berwisata sebagai HAM mengingat sampai saat ini masih banyak peristiwa atau kejadian-kejadian yang menimpa wisatawan terkait dengan kurangnya jaminan keamanan dan keselamatan wisatawan di Indonesia seperti penipuan, pencurian, wabah penyakit, kecelakaan, pembunuhan, pemerkosaan dan terorisme sehingga permasalahan ganti kerugian wisatawan dapat ditanggulangi dan Indonesia dapat menunjukkan kesungguhan komitmen terhadap pengakuan kegiatan berwisata sebagai bagian dari HAM.
1.2. Rumusan Masalah 1. Apakah wisatawan dapat menuntut ganti rugi kepada negara dalam kaitannya terhadap pengakuan hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia?
1
Hans-W Micklitz, Jules Stuyck, et.al, 2010, Cases, Material and Text on Consumer Law, Hart Publishing, Oregon, Page 538.
6
2. Dalam hal bagaimanakah tuntutan ganti rugi tersebut dapat diajukan kepada negara? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup permasalahan yang hendak dibahas dalam penelitian ini hanya terbatas pada dapat tidaknya dilakukan tuntutan ganti rugi kepada negara Indonesia oleh wisatawan dan keadaan yang memungkinkan dilakukan penuntutan tersebut dalam rangka mewujudkan hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia. 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan di bidang hak asasi manusia khususnya hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia dikaitkan dengan dapat tidaknya dilakukan tuntutan kepada negara oleh wisatawan
termasuk
keadaan
yang
memungkinkan
untuk
dilakukannya
penuntutan ganti kerugian yang timbul dari dilanggarnya hak atas keamanan dan keselamatan wisatawan. 1.4.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui, meneliti, menganalisis dan mencari solusi mengenai permasalahan tentang dapat tidaknya dan keadaan yang memungkinkan untuk dilakukan penuntutan ganti rugi atas kerugian wisatawan kepada negara bila terjadi pelanggaran hak atas keamanan dan keselamatan wisatawan.
7
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis Memberikan pengetahuan dan gambaran tentang Hukum Kepariwisataan dan hak asasi manusia khususnya tentang pengakuan hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia terkait dengan kemungkinan untuk dilakukannya tuntutan ganti kerugian yang dialami wisatawan kepada negara oleh wisatawan terkait dengan dilanggarnya hak wisatawan atas keamanan dan keselamatan. 1.5.2. Manfaat Praktis Memberikan pengetahuan dan penjelasan kepada masyarakat dan praktisi hukum mengenai kemungkinan untuk dilakukannya tuntutan ganti kerugian wisatawan kepada negara terkait dengan pelanggaran hak wisatawan atas keamanan dan keselamatan. 1.6. Orisinalitas Penelitian Penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya, akan tetapi terdapat beberapa penelitian serupa diantaranya: 1. Penelitian tentang Perlindungan Hukum terhadap Penumpang pada Transportasi Udara Niaga Berjadwal Nasional yang diteliti oleh Ahmad Zazili, SH., dari Universitas Diponegoro tahun 2008 yang meneliti tentang pengaturan perlindungan hukum terhadap konsumen yang menggunakan transportasi udara niaga yang berjadwal nasional dan upaya hukum yang dilakukan konsumen dalam hal terjadinya kerugian atas penggunaan jasa transportasi udara tersebut;
8
2. Penelitian tentang Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen terhadap Produk Cacat dalam Kaitannya dengan Tanggung Jawab Produsen yang diteliti oleh M. Masril dari Universitas Sumatera Utara tahun 2009 yang membahas mengenai bentuk tanggung jawab produsen terhadap produk cacat dan penyelesaian sengketa konsumen terhadap produk cacat berkaitan dengan tanggung jawab produk menurut UU No. 08/1999. 3. Penelitian terhadap Aspek Hukum Mengenai Ganti Rugi dalam hal Terjadinya Perbuatan Melawan Hukum yang diteliti oleh Muhammad Syah Rizky Perdana Putra tahun 2013 yang meneliti tentang bentuk kerugian akibat perbuatan melawan hukum dalam lingkup Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPdt) dan untuk mengetahui pertimbangan hukum kerugian immateriil dapat dituntut oleh pihak yang merasa dirugikan berdasarkan aturan yang ada. Penelitian ini memiliki konsep yang berbeda dari penelitian-penelitian tersebut di atas karena lebih berkonsentrasi di bidang pariwisata dan mengkaji tentang kemungkinan dapat atau tidaknya dilakukan tuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita wisatawan sebagai akibat dari pelanggaran hak atas keamanan dan keselamatan wisatawan dan keadaan-keadaan yang memungkinkan dilakukannya penuntutan tersebut. 1.7. Landasan Teoritis Guna menjawab permasalahan sebagaimana diuraikan dalam rumusan masalah penelitian ini, maka dikemukakan landasan teroritis berupa konsep hak berwisata sebagai hak asasi manusia dan konsep hak keamanan dan keselamatan
9
wisatawan untuk membahas dan mengkaji permasalahan dalam rumusan masalah tentang konsep tuntutan pertanggungjawaban kepada negara atas kerugian konsumen. Sementara itu konsep kewajiban dan tanggung jawab hukum serta konsep kerugian dan ganti kerugian untuk membahas tentang permasalahan dalam rumusan masalah tentang keadaaan yang memungkinkan untuk menuntut pertanggungjawaban negara dalam hal wisatawan mengalami kerugian. Berikut uraian singkat mengenai konsep-konsep dan teori-teori tersebut di atas: 1.7.1. Konsep Hak Berwisata sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) Sebagaimana diuraikan dalam latar belakang penelitian ini bahwa hak berwisata sebagai HAM telah diakui dan menjadi komitmen negara Indonesia yang dituangkan dalam UU No. 10/2009 termotivasi dari adanya pengakuan hak berwisata secara internasional yang berperan dalam pembangunan perekonomian suatu negara dan dipandang merupakan kebutuhan dasar atau hakiki dari manusia yang patut untuk dipenuhi. Hak menurut Robert Audi dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy sebagaimana dikutip oleh Majda El-Muhtaj diuraikan sebagai berikut: “Rights, advantageous positions covered on some possessors by law, morals, rules, or other norms. There is no agreement on the sense in which rights are advantageous. Will theories hold that rights favor the will of the possessors over the conflicting will of some other party; interest theories maintain that rights serve to protect or promote the interest of the high holder.”2
2
Majda El-Muhtaj, 2012, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi: dari UUD 1945 sampai dengan Amendemen UUD Tahun 2002, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 40.
10
Menurut Robert Audi hak adalah kedudukan yang menguntungkan bagi para pemilik hak yang dilindungi melalui aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Sementara itu kata berwisata berasal dari kata wisata yang diberi awalan (ber-) sehingga menjadi kata kerja atau menunjukkan seseorang sedang melakukan sesuatu. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 10/2009 definisi wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara, sehingga kata berwisata berarti melakukan kegiatan wisata. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa hak berwisata merupakan kedudukan yang menguntungkan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan kegiatan wisata yang dilindungi oleh aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Selanjutnya jika hak berwisata dinyatakan sebagai HAM maka hak berwisata merupakan hak yang bersifat mendasar dan inheren dengan jati diri manusia secara universal yang berarti keabsahan dari hak tersebut terjaga dalam eksistensi kemanusiaan manusia, terdapat kewajiban yang sungguh-sungguh untuk dimengerti, dipahami dan bertanggung jawab untuk memeliharanya.3 Hak berkorelasi dengan kewajiban yang dapat ditemukan dalam unsur mutlak terpenuhi pada setiap hak hukum (menurut Paton) yaitu: “(1) The holder of the rights; (2) The act of forbearance to which the right relates; (3) The res concerned (the object of the right); (4) 3
Ibid, h. 47.
11
The person bound by duty. Every rights, therefore, is a relationship between two or more legal persons, and only legal persons can be found by duties or be holders of legal right. Rights and duties are correlatives, that is we cannot have a rights without corresponding duty or a duty without a corresponding rights.”4 Paton menjelaskan unsur mutlak terpenuhinya setiap hak hukum adalah adanya pemegang hak, tindakan atas hak tersebut, objek dari hak tersebut dan siapa yang berkewajiban untuk mewujudkannya. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa masih terdapat kekosongan pengaturan tentang tanggung jawab negara terhadap pelanggaran hak berwisata sebagai HAM, maka patut dilakukan suatu pengujian dengan elemen-elemen dasar yang harus dipenuhi agar hak berwisata dapat dikategorikan sebagai HAM. Adapun elemen-elemen tersebut adalah siapa pemegang hak tersebut, siapa yang berkewajiban untuk mewujudkan hak itu dan apa yang menjadi substansi dari hak yang dimaksud.5 Jika ketiga elemen tersebut dilihat dalam ketentuan yang mengatur hak berwisata sebagai bagian dari HAM diantaranya adalah Pasal 13 DUHAM, Pasal 7 (d) dan Pasal 15 ayat (1) huruf a dan b ICESCR, serta Prinsip 7 GCET, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UU NRI 1945) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39/1999) maka akan menjadi sebagai berikut:
4
Majda El Muhtaj, 2013, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 39. 5 Ni Ketut Supasti Dharmawan, Ni Made Nurmawati, et.al, 2011, The Right to Tourism dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum: Volume 36 Nomor 2, Denpasar, h. 3.
12
Tabel 1.1 Perbandingan Pengaturan Elemen Penguji HAM dalam Ketentuan Internasional dan Nasional6
DUHAM
Setiap orang
Yang Berkewajiban Memenuhi Hak Negara
ICESCR
Setiap orang
Negara
Indikator
GCET
UUD 1945
Pemegang Hak
Wisatawan, Negara setiap orang (Pemangku Kepentingan) Negara (Pasal 28 I NRI Setiap orang ayat (4))
UU 39/1999
Setiap orang
Negara (Pemerintah Pasal 8)
Substansi Hak Hak untuk berpindah (Pasal 13) & hak untuk istirahat dan liburan (Pasal 24) Hak beristirahat dan liburan (Pasal 7 d) & hak berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya (Pasal 15 a) Hak berwisata
Hak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, seni dan budaya (Pasal 28C) Hak menikmati perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan budaya (Pasal 13) & hak atas kebebasan bergerak dan berpindah (Pasal 27)
Tabel tersebut di atas menguraikan bahwa hak berwisata sebagai HAM dimiliki oleh setiap orang di dunia dan merupakan kewajiban negara yang menjadi anggota atau negara yang menyatakan dirinya terikat dengan peraturan atau ketentuan dalam DUHAM, ICESCR dan GCET, termasuk berdasarkan UUD NRI 1945 dan UU No. 39/1999 untuk mewujudkan hak 6
Ni Ketut Supasti Dharmawan, Ni Made Nurmawati, et.al,ibid, h. 3.
13
tersebut. Terlebih lagi hak berwisata seperti yang diakui dalam ICESCR merupakan HAM yang bersifat prositif karena dari perspektif kewajiban negara, hak berwisata memerlukan peran aktif negara dalam mewujudkannya. Negara sebagai pemegang otoritas dan legitimasi, diwajibkan untuk menyusun dan menjalankan berbagai kebijakan baik yuridis maupun nonyuridis dalam pemenuhan hak-hak tersebut.7 Terpenuhinya suatu hak berwisata tentunya berhubungan dengan tercapainya tujuan setiap orang dalam melakukan kegiatan berwisata. Seperti yang diungkapkan oleh Mick Smith dan Rosaleen Duffy bahwa beberapa orang ingin mencari hiburan di Pegunungan Skotlandia, beberapa orang ingin bermain ski di Alpen, beberapa orang lainnya menyukai keramaian di Inggris dan lainnya menginginkan pantai untuk diri mereka sendiri. Akan tetapi apapun perbedaannya, liburan dan berwisata faktanya adalah untuk mencari kesenangan.8 Christian Tomuschat dalam bukunya yang berjudul Human Rights between Idealism and Realism menyatakan bahwa: “The rights under the CESCR devided into three elements: 1. An obligation to respect, which means that individuals may not be impeded in their endeavours, that not bars may be erected hindering their access to activities protected by an economic or social rights; 2. An obligation to protect, which means that measures must be taken ensuring that third parties do not prevent individuals from enjoying the rights of which they are holders;
7
IGN Parikesit Widiatedja, 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata (Konstruksi Konsep Ragam Masalah dan Alternatif Solusi), Udayana University Press, Denpasar, h. 68. 8 Mick Smith and Rosaleen Duffy, 2006, The Ethics of Tourism Development, Routledge, New York, Page 55.
14
3. An obligation to fulfill, under which it is incumbent upon state to take step with a view to actually providing individuals with the benefits which the right concerned embodies.”9 Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi setiap manusia yang telah diatur dan ditegaskan dalam ketentuan-ketentuan ICESCR. Jadi Negara Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak berwisata setiap orang sebagai salah satu hak yang diakui dalam ICESCR karena Indonesia telah mengikatkan diri pada ketentuan-ketentuan ICESCR dengan meratifikasi ketentuan tersebut melalui UU No. 11/2005. 1.7.2. Konsep Perlindungan Keamanan dan Keselamatan Hak atas keamanan dan keselamatan merupakan salah satu hak wisatawan yang harus dipenuhi baik oleh pengusaha pariwisata maupun Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Buku Joining Force Collaborative Processes for Sustainable and Competitive Tourism dari World Tourism Organization menyatakan bahwa Pengusaha dan Pemerintah selaku stakeholder memiliki peranan penting dalam pembangunan kepariwisataan berkelanjutan yang diuraikan secara lebih jelas sebagai berikut: “Typically stakeholder bodies may fall into one of three overall types: Government or public sectore, business or private sector and civil society. Tourism is an action that involves more than one type of stakeholder. This normally means stakeholders with different core purpose and overall interest, although their interest may coincide or be mutually supportive in term of the specific collaborative action taken.”10
9
Christian Tomuschat, 2008, Human Rights between Idealism and Realism, Oxford University Press, Oxford, Page, 43. 10 World Tourism Organization, 2010, Joining Force-Collaborative Processes for Sustainable and Competitive Tourism, World Tourism Organization, Spain, Page 4.
15
Uraian di atas menjelaskan yang dimaksud dengan stakeholder dalam pembangunan kepariwisataan adalah Pemerintah atau sektor publik, pengusahan atau sektor privat dan masyarakat sipil. Meskipun kepentingan dari masing-masing stakeholder tersebut berbeda-beda ada kalanya mereka harus bekerja sama dan saling menguntungkan dalam setiap tindakan yang mereka ambil. Jadi, meskipun pengusaha pariwisata dan Pemerintah baik Pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah dalam praktiknya harus saling mendukung satu sama lain termasuk saling mendukung dalam terjaminnya keamanan dan keselamatan wisatawan. Adapun ketentuan yang mengatur kewajiban dalam menjamin hak keamanan dan keselamatan wisatawan atau konsumen jasa pariwisata terdapat dalam beberapa ketentuan sebagai berikut: 1. Pasal 20 huruf c UU No. 10/2009 yang menyatakan hak wisatawan untuk mendapat keamanan; 2. Pasal 26 huruf d UU No. 10/2009 yang menyatakan kewajiban pengusaha pariwisata untuk memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan dan keselamatan wisatawan; 3. Pasal 23 ayat (1) huruf a UU No. 10/2009 yang mengatur tentang kewajiban Pemerintah dan Pemerintah daerah untuk menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta keamanan dan keselamatan kepada wisatawan;
16
4. Pasal 4 huruf a UU No. 08/1999 yang nyatakan hak konsumen atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 5. Prinsip 1 (4) GCET yang menyatakan bahwa Pemerintah (Public Authority) memiliki kewajiban untuk menjamin keamanan wisatawan termasuk barang bawaan mereka baik dalam bentuk langkah pencegahan, pemberian informasi, asuransi dan bantuan yang mereka butuhkan. Ketentuan dan prinsip di atas menerangkan bahwa hak atas keamanan dan keselamatan wisatawan merupakan tanggung jawab dari pengusaha/pelaku usaha jasa pariwisata dan juga Pemerintah Indonesia atau Pemerintah suatu negara. Kemudian yang menjadi persoalan adalah apa sajakah lingkup keamanan dan keselamatan yang harus dilindungi. Menurut Christian Tomuschat dalam bukunya yang berjudul Human Right between Idealism and Realism yang dimaksud dengan keamanan yaitu: “Almost at the same time that the World Bank evolved the concept of good governance, the United Nations Development Programme (UNDP) frame the doctrine of „human security‟…..starting out with economic security, it refer additionally to food security, health security, personal security, community security and political security.”11 Berdasarkan pernyataan Christian Tomuschat di atas maka dapat dinyatakan bahwa jaminan keamanan (security) terdiri dari jaminan keamanan terhadap ekonomi, makanan, kesehatan, keamanan pribadi, keamanan komunitas dan keamanan dari situasi politik sehingga wisatawan 11
Christian Tomuschat, Op.Cit., h. 63.
17
yang berada di wilayah Indonesia berhak atas rasa aman bagi dirinya secara pribadi, perlindungan kesehatan, keamanan atau higienitas makanan serta keamanan properti atau barang yang mereka bawa saat berwisata di Indonesia. Perasaan tidak aman (feeling unsafe) sering dikeluhkan oleh kebanyakan wisatawan yang berkunjung pada suatu negara. Berdasarkan penelitian Harry G. Clement 45% (empat puluh lima persen) wisatawan yang berkunjung ke kawasan Asia – Pasifik termasuk Indonesia merasa kunjungan mereka tidak aman karena sering terjadi pencopetan, penjambretan, penodongan dan pembunuhan. Selain itu juga adanya penipuan dan perampokan yang dilakukan oleh supir taxi, adanya perlakuan yang tidak bersahabat oleh penduduk daerah yang dikunjungi serta perlakuan petugas imigrasi, bea cukai atau kepolisian yang sering bertindak di luar peraturan atau ketentuan yang berlaku.12 Menurut World Tourism Organization keamanan dan kesehatan merupakan konsen utama atau permasalahan utama yang menjadi kepentingan dari para wisatawan internasional. Beberapa isu tentang penyebaran penyakit dan virus seperti kolera dan HIV/AIDS membuat para wisatawan kian memperhatikan standar kesehatan dan higienitas makanan, air, pelayanan kesehatan dan tingkah laku orang-orang disekitarnya. Keamanan dari tindak kejahatan, jauh dari permasalahan politik serta
12
Oka A. Yoeti, 2010, Dasar-Dasar Pengertian Hospitaliti dan Pariwisata, Alumni, Bandung, h. 137.
18
keamanan penerbangan juga merupakan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan internasional.13 Jaminan keamanan dan keselamatan juga merupakan nilai global dan produk kepariwisataan yang memainkan peranan penting dalam industri dan pemasaran pariwisata karena saat ini para wisatawan menginginkan produk yang bebas resiko atau produk yang dapat mengurangi resiko.14 Adanya jaminan keamanan dan keselamatan tentunya akan menambah daya tarik tersendiri bagi suatu wilayah tujuan wisata. Hal ini tentunya berkaitan dengan tujuan setiap orang untuk berwisata yaitu untuk mencari ketenangan, hiburan, rekreasi, bersenang-senang dan apabila terjadi hal yang tidak diinginkan sebagai akibat dari kurangnya jaminan keamanan dan keselamatan yang diberikan maka tujuan dari kegiatan berwisata pun tidak akan tercapai sebagaimana dinyatakan dalam Resolusi from the Expert Meeting on Tourist Safety and Security (Madrid, Spain, 11-12 April 1994) bahwa: “We, the expert, believe that the ability of citizens of all countries to travel in safety is a fundamental human right. We welcome the efforts being made by countries, organizations and other entities to develop and strengthen medical services as well as the operation of the criminal justice system.”15 Resolusi tersebut di atas meyakini bahwa hak setiap masyarakat seluruh negara di dunia untuk berwisata dengan aman merupakan hak asasi manusia 13
Tazim B. Jamal, Walter Jamieson, et.al. International Tourism a Global Perspective, World Tourism Organization, Spain, h. 37. 14 Yvette Reisinger, 2009, International Tourism Cultures and Behavior, Elsevier, United State of America, Page 14. 15 World Tourism Organization, Tourist Safety and Security Practical Measures for Destinations, World Tourism Organization, Spain, Page 20.
19
yang paling mendasar. Para ahli mendukung setiap langkah/tindakan yang dibuat atau dilakukan oleh negara-negara, organisasi dan pihak lainnya yang terlibat untuk membangun dan memperkuat pelayanan medis termasuk juga sistem peradilan pidananya. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa hak keamanan dan keselamatan wisatawan merupakan hak yang harus dilindungi oleh pengusaha dan pemerintah suatu negara sehingga negara Indonesia pun memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan keamanan dan keselamatan bagi para wisatawan yang mengunjungi Indonesia selain melimpahkan tanggung jawab tersebut kepada pengusaha pariwisata.
1.7.3. Konsep Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah yang kemudian Pasal 28 I ayat (5) UUD NRI 1945 kembali menegaskan untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Sementara itu hak berwisata serta hak atas keamanan dan keselamatan wisatawan seperti diuraikan pada sub bab sebelumnya membebankan kewajiban kepada pengusaha pariwisata dan Negara untuk melindungi dan memenuhi hak tersebut. Pasal 63 UU No.
20
10/2009 secara tegas memberikan sanksi administratif kepada pengusaha pariwisata yang tidak memberikan jaminan perlindungan keamanan dan keselamatan wisatawan yang menggunakan jasa mereka atau bagi pengusaha pariwisata yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 26 UU No. 10/2009. Akan tetapi tidak ada sanksi apapun atau ketentuan apapun yang mengatur tentang bagaimana jika Negara atau Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak memenuhi kewajibannya untuk menjamin keamanan dan keselamatan wisatawan yang telah diatur dalam Pasal 23 UU No. 10/2009. Guna menjawab persoalan di atas maka dibutuhkan untuk mengingat kembali mengenai elemen penguji hak asasi manusia sebagaimana diuraikan pada sub bab 1.7.1. sebelumnya yaitu adanya pemegang hak, adanya pihak yang berkewajiban mewujudkan dan substansi dari hak tersebut. hak atas keamanan dan keselamatan merupakan hak yang dimiliki wisatawan dan berdasarkan Pasal 23 UU No. 10/2009 Pemerintah dan Pemerintah Daerah merupakan pihak yang wajib untuk memberikan perlindungan keamanan dan keselamatan wisatawan. Pengaturan tentang kewajiban tersebut di atas merupakan kewajiban hukum bagi Negara. Teori kewajiban hukum sebagaimana didefinisikan oleh Austin merujuk pada menurut hukum seseorang diwajibkan menghindari delik. Seorang individu secara hukum diwajibkan atas suatu perbuatan yang mana lawan dari perbuatan tersebut merupakan kondisi dari suatu sanksi yang
21
ditujukan terhadapnya.16 Maka dari itu seseorang harus melakukan apa yang diwajibkan kepadanya guna menghindari sanksi atas tidak dilakukannya kewajiban seperti halnya yang diungkapkan oleh Austin: “Perhaps the general irrelevance of the person‟s beliefs, fears and motives to the question whether he had an obligations to do something, have defined this notion not in term of these subjective facts, but in terms of the chance and likelihood that the person having the obligation will suffer a punishment or evil at the hands of others in the event of disobedience.”17 Berdasarkan uraian di atas Austin menjelaskan bahwa kewajiban melakukan sesuatu tidak terdapat dalam keyakinan, ketakutan dan motif seseorang secara subjektif, melainkan adanya kesempatan atau kemungkinan bahwa orang tersebut akan mendapat hukuman jika mereka tidak mematuhinya. Menurut Austin hakekat hukum yang sebenarnya terleta pada perintah badan yang berdaulat dalam suatu negara.18 Kewajiban hukum sangat erat kaitannya dengan pertanggungjawaban hukum. Hans Kelsen berpendapat bahwa: “A concept related to that of legal duty is the concept of legal responsibility (liability). That a person is legally responsible for a certain behavior or that he bears the legal responsibility therefor means that he is liable to a saction in case of contrary behavior.”19 Menurut Hans Kelsen sebuah konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab (pertanggungjawaban) hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan 16
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Nuansa & Nusamedia, Bandung, h. 85. 17 H.L.A.Hart, 1981, The Concept of Law, Oxford University Press, Great Britain, Page 81. 18 I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press, Malang, h. 14. 19 Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York, Page 65.
22
tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi bila perbuatannya bertentangan. Menambahkan pendapat Hans Kelsen tersebut, Austin berpendapat bahwa hukum positif memiliki empat unsur20 yaitu: “Hukum positif memiliki empat unsur: 1) Hukum yang disebut yang sebenarnya adalah suatu jenis perintah; 2) Sanksi adalah sesuatu yang buruk yang mungkin melekat pada perintah; 3) Kewajiban yang mengharuskan suatu perintah dengan mana hal tersebut diciptakan; 4) Setiap hukum positif dihasilkan dari pembentuk hukum yang ditentukan secara tegas sebagai yang berdaulat.” Keempat unsur tersebut merupakan unsur yang juga dimiliki oleh ketentuan dalam UU No. 10/2009 dimana ketentuan tersebut dibuat oleh pihak yang berdaulat, berupa perintah dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, serta adanya sanksi bagi pelanggarnya sehingga ketentuanketentuan dalam UU No. 10/2009 termasuk dalam ketentuan hukum positif. Hukum positif dalam UU No, 10/2009 melahirkan kewajiban hukum bagi pemerintah. Lahirnya kewajiban hukum mengandung konsekuensi yuridis mengenai pertanggungjawaban hukum jika kewajiban hukum tidak dilaksanakan. Teori pertanggungjawaban secara tradisional dibagi menjadi tanggung jawab karena kesalahan (culpability) dan tanggung jawab mutlak (absolute liability). Kesalahan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu karena kekhilafan (negligence) yaitu kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum dan juga kelalaian (omisi) atau ketiadaan pelaksanaan
20
W. Friedmann, 1993, Teori dan Filsafat Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 150.
23
derajat kehati-hatian yang harus dilakukan menurut hukum.21Jika konsep tanggung jawab dan pertanggungjawaban ini disesuaikan dengan peran dan tanggung
jawab
pemerintah
dalam
penyelenggaraan
kepariwisataan
Pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk memberi ganti rugi atas pelanggaran atau tidak terpenuhinya hak manusia untuk berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia. Selain itu sifat melekat kewajiban negara yang menimbulkan kerugian untuk membayar ganti rugi telah ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (3) ICCPR yang mengatur bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia harus mendapatkan pemulihan efektif, meskipun pelanggaran tersebut dilakukan oleh pejabat resmi negara.22 Jadi berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa terhadap kerugian yang dialami oleh wisatawan sebagai akibat dari adanya pelanggaran hak-hak wisatawan untuk berwisata memberikan kesempatan bagi wisatawan tersebut untuk meminta suatu pertanggungjawaban kepada negara atas kerugian yang dialaminya. 1.7.4. Konsep Kerugian dan Ganti Kerugian Kerugian juga dikenal dengan istilah Tort dalam bahasa inggris. Peter Gillies menyatakan: “The tort is consists of three elements, each of which must be establish by the plaintiff: (i) a duty of care; (ii) a breach of duty; and (iii) the causation of damage of a recognize type. The plaintiff must be able to establish that a duty of care was impose upon the defendant in a particular case. If there is a duty, the next matter for the plaintiff to establish is that there was a breach of that duty, that is, that the defendant was indeed negligent in his or her conduct. The third requirement, the causation of damage requires the 21
Hans Kelsen, Op.Cit., h. 97 Rhona K.M. Smith, at.al., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Pustaka Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, h. 75. 22
24
demonstration of two matters. The damage suffered must be a type recognised by law.”23 Uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa kerugian terdiri dari tiga elemen, masing-masing harus dibuktikan oleh penggugat: (i) kewajiban untuk peduli; (ii) melanggar kewajiban; (iii) penyebab suatu kerugian yang diakui. Penggugat harus mampu membuktikan adanya kewajiban yang memaksa tergugat dalam kasus tertentu. Jika kewajiban tersebut telah dibuktikan, permasalahan berikutnya bagi penggugat adalah untuk membuktikan adanya pelanggaran kewajiban. Syarat ketiga yang dibutuhkan adalah penyebab kerugian. Kerugian tersebut harus diakui secara hukum. Selanjutnya Jean-Sebastien Borghetti, Sergio Camara Lapuente dkk menjelaskan: “Damage will be available for breach of information duties in certain ciscumstance in the various jurisdictions. The sort of harm that will be compensated for (material/immaterial harm), the level of damage and the way in which the damage are calculated may be differ in from jurisdiction to jurisdiction.”24 Meskipun elemen-elemen kerugian dapat dijabarkan secara mendetail namun menurut Jean-Sebastien Borghetti, Sergio Camara Lapuente dkk yang dalam uraian di atas khusus menerangkan tentang kerugian atas pelanggaran kewajiban memberikan informasi yang berbeda-beda berdasarkan wilayah hukum. Dalam menggolongkan kerugian (materiil/immateriil) yang akan mendapat kompensasi akan berbeda tingkatan dan jumlahnya dari suatu wilayah hukum ke wilayah hukum lainnya. 23
Peter Gillies, 2003, Business Law (Eleventh Edition), The Federation Press, Australia, Page
68. 24
Jean-Sebastien Borghetti, Sergio Camara Lapuente, at.al., 2010, Consumer Law, Hart Publishing, Oregon, Page 236.
25
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dipahami bahwa kerugian dapat dibedakan menjadi kerugian materiil dan kerugian immateriil yang mana kerugian-kerugian tersebut merupakan kerugian yang diakui secara hukum dan terhadap tingkat kerugian dan banyaknya kerugian akan ditentutan masing-masing menurut wilayah hukum yang berlaku, sehingga dengan kata lain suatu negaralah yang menentukan kerugian apa saja yang diakui dan dapat dituntut atas suatu ganti kerugian. Membahas mengenai kerugian tidak lepas dari membahas hal-hal yang menyebabkan kerugian timbul sehingga dalam mengkaji permasalahan dalam penelitian ini diperlukan menggunakan teori dari Von Buri yaitu teori conditio sine qua non (teori syarat mutlak) yang menyatakan suatu hal adalah sebab dari suatu akibat apabila akibat itu tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada.25 Sehingga dalam menuntut ganti kerugian harus diketahui terlebih dahulu apakah suatu kerugian itu timbul karena disebabkan oleh suatu pelanggaran hak yang dimiliki wisatawan. 1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Hukum Jenis Penelitian hukum dibagi menjadi 2 (dua) yaitu penelitian hukum normatif yaitu penelitian mengenai substansi hukum yang terdiri dari norma, kaidah, asas-asas hukum, doktrin dan peraturan perundang-undangan. Sementara
25
Wirjono Prodjodikoro, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h. 62.
26
itu ada pula penelitian hukum empiris yaitu penelitian mengenai struktur dan budaya hukum.26 Penelitian hukum ini tergolong penelitian normatif karena terfokus pada peraturan yang tertulis terkait dengan kekaburan dan/atau kekosongan norma dalam UU No. 10/2009 dan UU No. 08/1999 terkait dengan kemungkinan dilakukannya penuntutan ganti kerugian wisatawan kepada negara terkait dengan pelanggaran hak atas keamanan dan keselamatan wisatawan. 1.8.2. Jenis Pendekatan Penelitian ini akan menggunakan beberapa jenis pendekatan antara lain: 1) Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini akan dilakukan dengan mengkaji dan menganalisa ketentuan internasional yang relevan dengan permasalahan yang dibahas yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan Global Code of Ethics for Tourism (GCET) serta peraturan perundang-undangan terkait seperti UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UU NRI 1945), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39/1999), Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UU No. 10/2009) dan Undang-Undang Nomor
08
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 08/1999), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan 26
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 28.
27
Bencana (UU No. 24/2007), serta Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya (PP Pengganti UU No. 23/1959). Pendekatan perundang-undangan akan dipergunakan dalam mengkaji tanggung jawab negara dan hak berwisata di Indonesia dan di dunia Internasional.
2) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach) Penelitian ini juga akan dikaji dengan membandingkan sistem hukum di Indonesia serta sistem hukum di negara lainnya terkait dengan tanggung jawab negara untuk mengganti rugi kerugian wisatawan dalam hal terjadinya pelanggaran hak-hak wisatawan. Pendekatan ini digunakan dalam mengkaji tanggung jawab negara dalam melindungi hak berwisata dan kemungkinan dapat dituntutnya kerugian wisatawan kepada negara. 3) Pendekatan Konsep (Conseptual Approach) Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai konsep-konsep berkenaan dengan permasalahan yang akan diteliti, di mana konsep-konsep tersebut akan beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di bidang hukum kepariwisataan, hak asasi manusia dan hukum perlindungan konsumen. Konsep yang akan dikaji yaitu konsep tanggung jawab hukum atas kerugian wisatawan atau konsumen usaha jasa pariwisata berkaitan dengan pengakuan hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia.
28
Pendekatan konsep akan dipergunakan untuk menjelaskan pengertianpengertian dan istilah-istilah yang berkaitan dengan materi yang dikaji. 1.8.3. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1)
Bahan
Hukum
internasional
Primer
seperti
yang digunakan
Deklarasi
Universal
terdiri
dari
ketentuan
Hak
Asasi
Manusia
(DUHAM), International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan Global Code of Ethics for Tourism (GCET) serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yaitu UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (UU No. 11/2005), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39/1999), Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UU No. 10/2009), UndangUndang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 08/1999), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU No. 24/2007), serta Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya (PP Pengganti UU No. 23/1959) . 2)
Bahan Hukum Sekunder yang digunakan untuk menunjang bahan hukum primer berupa buku ilmu hukum, jurnal hukum, artikel hukum maupun artikel lainnya yang terkait dengan penelitian ini, laporan
29
hukum baik dari media cetak maupun media elektronik yang memberi penjelasan tentang bahan hukum primer. 3)
Bahan Hukum Tertier adalah bahan hukum yang digunakan untuk melengkapi bahan hukum primer dan sekunder berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia dan ensiklopedia.
1.8.4. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum untuk penelitian ini menggunakan teknik studi kepustakaan guna mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis.27 Studi kepustakaan yang dimaksud adalah melakukan penelusuran dan pencatatan mengenai bahan-bahan hukum terkait dengan permasalahan yang hendak diteliti, baik itu bahan hukum primer, sekunder maupun tertier. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengar maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum melalui media internet yang kemudian dicatat, diidentifikasi dan diklasifikasikan berdasarkan materi yang hendak diteliti.28 1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang telah dikumpulkan akan diolah secara sistematis dengan melakukan klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis. Bahan hukum yang telah diolah secara sistematis tersebut selanjutnya dianalisis secara deskriptif sehingga teknik analisis bahan hukum 27
Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, h.
115. 28
Mukti Fajar, Op.cit, h. 160.
30
yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif untuk menemukan konsepkonsep hukum yang dapat dipergunakan dalam mengkaji masalah yang diteliti berupa kemungkinan untuk dilakukannya tuntutan ganti rugi kepada negara oleh wisatawan terkait dengan dilanggarnya hak wisatawan atas keamanan dan keselamatan dalam rangka mewujudkan komitmen Indonesia terhadap pengakuan kegiatan berwisata sebagai hak asasi manusia.
31
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB NEGARA ATAS KERUGIAN WISATAWAN BERKAITAN DENGAN PENGAKUAN HAK BERWISATA SEBAGAI BAGIAN DARI HAK ASASI MANUSIA 2.1. Kajian Kepariwisataan sebagai Hak Asasi Manusia 2.1.1. Pengertian Kepariwisataan Ketika membayangkan suatu kegiatan kepariwisataan maka akan terdeskripsi suatu rentetan gambaran mengenai berbagai objek wisata, para wisatawan baik wisatawan domestik maupun mancanegara, aktivitas-aktivitas yang menghibur, rekreasi, kesenian, toko-toko penjual suvenir, restoran, hotel, villa, dan begitu banyak hal lainnya yang berkelebatan dalam pemikiran tanpa tahu hal apa saja yang termasuk dalam suatu kegiatan kepariwisataan. Maka dari itu sangatlah penting untuk mengetahui apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kegiatan kepariwisataan, kegiatan-kegiatan apa saja yang termasuk sebagai kegiatan kepariwisataan dan unsur-unsur apa saja yang ada dalam kegiatan kepariwisataan. Kepariwisataan berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU No. 10/2009 didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pengusaha, dengan demikian
pengertian
kepariwisataan
mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 31
berdasarkan
UU
Kepariwisataan
32
1) Kegiatan pariwisata yang multidimensi dan multidisiplin, 2) Kebutuhan setiap orang dan negara, 3) Interaksi
antara
wisatawan
dengan
masyarakat
setempat,
sesama
wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pengusaha. Melihat pengertian pariwisata yaitu berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal 1 angka 3 UU No. 10/2009) dan pengertian wisata berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 10/2009 yaitu kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara, maka dapat dikatakan bahwa kepariwisataan memiliki arti yang lebih luas dan mencakup pariwisata serta wisata, karena kepariwisataan tidak hanya membahas tentang wisata atau pariwisata melainkan juga membahas mengenai berbagai macam dimensi dan disiplin serta kebutuhan dan pihak-pihak yang terlibat dalam kepariwisataan. Mengutip pernyataan Leiper dalam buku karya Ismayanti terdapat 3 (tiga) elemen utama yang menjadikan kegiatan kepariwisataan dapat terjadi29 yaitu “1) Wisatawan sebagai aktor dalam kegiatan wisata dengan memperoleh keuntungan berupa sebuah pengalaman untuk menikmati, mengantisipasi dan mengingatkan masa-masa dalam kehidupan; 2) Elemen geografis yang terdiri dari daerah asal wisata yaitu tempat dimana wisatawan berada dan melakukan aktivitas sehari-hari, daerah 29
Ismayanti, 2010, Pengantar Pariwisata, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h.2.
33
transit sebagai tempat pemberhentian sementara para wisatawan meskipun tidak semua wisatawan memanfaatkan daerah ini dan daerah tujuan wisata yang sering dikatakan sebagai ujung tombak (sharp end) pariwisata karena di daerah inilah dampak pariwisata sangat dirasakan sehingga dibutuhkan perencanaan dan strategi manajemen yang tepat; 3) Industri pariwisata yang menyediakan jasa, daya tarik dan sarana wisata berupa unit-unit usaha dalam kepariwisataan dan tersebar di ketiga area geografis tersebut sebelumnya.” Pendapat Laiper tersebut di atas menunjukkan bahwa kegiatan kepariwisataan melibatkan aspek manusia, wilayah, dan aspek sosial ekonomi serta aspek kehidupan lainnya. J. T. Currant menambahkan bahwa motivasi seseorang dalam melakukan perjalanan wisata sangat beranekaragam diantaranya keinginan melihat bangsabangsa lain, keinginan untuk melihat sesuatu yang unik dan berbeda, untuk menambah atau memperluas wawasan, untuk berpartisipasi dalam kegiatan tertentu, menghilangkan kebosanan dan stress, memanfaatkan waktu dan kesempatan yang ada, untuk mengunjungi tanah leluhur, karena pengaruh cuaca, untuk tujuan kesehatan, berpetualang, melihat perkembangan ekonomi dan teknologi suatu negara sampai dengan tujuan ingin menyenangkan seseorang,30 yang mana tujuan-tujuan tersebut tidak terlepas dari tujuan untuk mencapai kepuasan batin atau bersenang-senang atau leisure. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah setiap orang yang melakukan perjalanan dengan tujuan terurai di atas dapat dikatakan sebagai melakukan perjalanan wisata. Orang yang melakukan kegiatan wisata disebut dengan wisatawan berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 10/2009, namun pengertian ini sangatlah
30
Oka A. Yoeti, 2010, Op.cit, h. 6.
34
luas sehingga sulit mencari indikator yang digunakan untuk membedakan wisatawan dengan pendatang di suatu wilayah. UN Convention Concerning Customs Facilities for Touring mendefinisikan wisatawan sebagai orang yang mengunjungi suatu negara secara sah dan tidak untuk keperluan untuk berimigrasi dengan waktu tinggal setidak-tidaknya 24 jam dan selama-lamanya 6 (enam) bulan di tahun yang sama.31 Berdasarkan pengertian wisatawan tersebut maka imigran gelap dan juga seseorang yang sedang transit di bandara yang tersebar di wilayah Indonesia tidak dapat dikategorikan sebagai wisatawan. Berbeda dengan UN Convention Concerning Customs Facilities for Touring, Mathieson dan Wall memilih untuk mencoba menjelaskan tentang pengertian dari kegiatan wisata sebagai: “Tourism activity relates to: the temporary movement to destination outside the normal home and work place, the activities undertaken during the stay and the facilities created to cater for the needs of the tourist.”32 Menurut Mathieson dan Wall kegiatan wisata berkaitan dengan pergerakan sementara ke suatu tempat tujuan diluar rumah dan tempat kerja sehari-hari, kegiatan yang dilakukan selama masa tinggal di tempat tersebut dan fasilitas yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Berdasarkan uraian penjelasan mengenai pengertian istilah-istilah dan batasan dari pengertian istilah tersebut dapat dipahami bahwa kegiatan kepariwisataan merupakan rangkaian dari segala kegiatan dan segala aspek kehidupan yang 31
Bambang Sunaryo, 2013, Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata (Konsep dan Aplikasinya di Indonesia), Gava Media, Yogyakarta, h. 2. 32 Chris Cooper,Rebecca Shepherd,et.al.,1996, Educating the Educator in Tourism: a Manual of Tourism and Hospitality Education, World Tourism Organization with University of Surrey, Madrid, Page. 16.
35
berkaitan dengan pariwisata yang melibatkan wisatawan, masyarakat setempat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah baik dari segi interaksi maupun penyediaan fasilitas demi kebutuhan setiap orang dan negara. Dengan kata lain kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang terselenggara bukan hanya karena kebutuhan setiap orang akan tetapi juga terselenggara karena kebutuhan negara. 2.1.2.Unsur-Unsur Pemangku Kepentingan (Stakeholders) dalam Kegiatan Kepariwisataan Menurut R. Edward Freemand yang dimaksud dengan pemangku kepentingan adalah kelompok atau individu yang mendapatkan keuntungan dari atau kerugian oleh, dan yang hak-haknya dilanggar atau dihargai oleh, tindakan korporasi. Selain itu terdapat teori lainnya yang mengartikan pemangku kepentingan sebagai individu-individu dan konstituen-konstituen yang berkontribusi, baik secara sukarela (voluntarily) maupun tidak secara suka rela (involuntarily), bagi kapasitas dan aktivitas penciptaan kekayaan perusahaan dan karena itu menjadi beneficiary (penerima manfaat) yang potensial dan/atau pengampu resiko.33 Pengertian pemangku kepentingan sebagaimana diungkapkan di atas masih terbatas pada pengertian pemangku kepentingan dalam dunia usaha dan apakah pengertian pemangku kepentingan dalam dunia usaha sama dengan pengertian pemangku kepentingan dalam kegiatan kepariwisataan. Guna menjawab permasalahan tersebut maka terlebih dahulu harus ditemukan apakah ada 33
Eddie Sius Riyadi, 2008, Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia: Hak Asasi Manusia dan Tanggung Jawab Bisnis Volume V No. II Tahun 2008 ISSN 1693-3559, Elsam, Jakarta, h. 69.
36
persamaan antara perusahaan dan kegiatan kepariwisataan. Perusahaan merupakan suatu badan hukum yang bergerak diberbagai bidang kehidupan yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Gabungan perusahaan yang bergerak di berbagai bidang disebut dengan industri. Apakah pariwisata bisa disebut sebagai industri. Pariwisata adalah suatu kegiatan yang menyediakan jasa akomodasi, transportasi, makanan, rekreasi serta jasa-jasa lainnya yang terkait sehingga perdagangan jasa pariwisata melibatkan berbagai macam aspek mulai aspek ekonomi, budaya, sosial, agama, lingkungan, keamanan dan aspek lainnya dan terkait dengan aspek ekonomi inilah pariwisata dapat dikatakan sebagai industri karena kegiatan pariwisata merupakan kegiatan bisnis yang berorientasi dalam penyediaan jasa yang dibutuhkan wisatawan.34 Oleh karena pariwisata merupakan suatu industri dan melibatkan begitu banyak perusahaan di dalamnya maka dapat dikatakan bahwa pengertian pemangku kepentingan dalam perusahaan memiliki arti yang sama dengan pemangku kepentingan dalam kegiatan kepariwisataan. Pemangku kepentingan dalam kegiatan kepariwisataan dapat dilihat dari pengertian kepariwisataan Pasal 1 angka 4 UU No. 10/2009 sebagaimana dijelaskan dalam sub bab sebelumnya mengenai pengertian kepariwisataan. Dalam pengertian kepariwisataan menurut Pasal 1 angka 4 UU No. 10/2009 yang dimaksud dengan pemangku kepentingan adalah wisatawan, masyarakat setempat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pemangku kepentingan dalam kepariwisataan merupakan pihak-pihak yang menerima keuntungan, mendapat
34
I Putu Gelgel, 2009, Industri Pariwisata Indonesia dalam Globalisasi Perdagangan Jasa Implikasi Hukum dan Antisipasinya, Refika Aditama, Bandung, h. 22.
37
dampak negatif dan penentu arah kebijakan pembangunan kepariwisataan di Indonesia. Menurut United Nations World Tourism Organization (UNWTO) yang dimaksud dengan Stakeholder adalah: “…the main stakeholders in sustainable tourism and the roles which they can play as partners in collaborative action: 1. Private sector/business: tourism related enterprises and trade association, 2. Public Sector/government: National Government and Local Government, 3. Civil society: International development assistance agencies and NGOs, Local NGOs, educational establishment and the scientific community, 4. Citizens and consumers: Host communities, tourist and media.”35 Jadi menurut WTO yang menjadi pemangku kepentingan dalam kegiatan kepariwisataan adalah sektor privat atau bisnis yang meliputi pengusaha pariwisata dan asosiasi perdagangan; sektor publik atau pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah; penduduk sipil seperti organisasi non pemerintahan internasional dan lokal, golongan pelajar dan ilmuwan serta masyarakat dan konsumen yang terdiri dari masyarakat tuan rumah, wisatawan dan media. Mengutip pengertian kepariwisataan berdasarkan UU No. 10/2009 yang menyatakan bahwa kegiatan pariwisata merupakan kebutuhan negara, maka harus diuraikan apa manfaat yang diberikan pariwisata bagi negara. Adapun yang
35
World Tourism Organization, 2010, Joining Force: Collaborative Processes for Sustainable and Competitive Tourism, World Tourism Organization, Spain, Page 7.
38
menjadi dampak positif atau manfaat dari pariwisata menurut I Gede Pitana36 antara lain: 1) Negara memperoleh pendapatan dari penukaran valuta asing, 2) Menyehatkan neraca perdagangan luar negeri, 3) Meningkatkan pendapatan usaha atau bisnis pariwisata, 4) Meningkatkan pendapatan pemerintah yang bersumber dari pengenaan pajak, 5) Penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi dan luas sehingga berdampak pada meningkatnya struktur ekonomi masyarakat. Dampak-dampak atau keuntungan-keuntungan tersebutlah yang mendorong dan mewajibkan negara baik melalui Pemerintah maupun Pemerintah Daerah untuk membentuk suatu kebijakan dan manajemen kerja yang strategis di bidang kepariwisataan demi meningkatkan pembangunan kepariwisataan yang membawa keuntungan bagi kesejahteraan bangsa. Salah satu manajemen strategi yang harus dipertimbangkan dan dimiliki oleh negara Indonesia guna mempertahankan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari kegiatan kepariwisataan adalah manajemen resiko bencana dan krisis karena bencana dan krisis bisa terjadi kapanpun sementara pariwisata menjadi industri yang paling rentan terhadap dampak bencana dan krisis.
36
I Gede Pitana, I Ketut Surya Diarta, 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, Andi, Yogyakarta, h.
184.
39
Bencana dan krisis dapat berupa apa saja, berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 24/2007 yang dimaksud dengan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Jadi bencana bisa berupa banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, angin topan, perang, situasi politik, terorisme, krisis finansial, krisis komunikasi sampai dengan penyebaran virus mematikan. Demi menggali potensi ekonomi di area rentan dan beresiko, pariwisata harus memiliki kemampuan adaptasi dan mitigasi (better prepared and response) agar tidak membahayakan masyarakat termasuk wisatawan karena wisatawan merupakan objek yang paling beresiko terhadap peristiwa bencana dan krisis di suatu destinasi terutama wisatawan asing.37 Kemampuan suatu negara dalam melakukan manajemen pencegahan dan penanggulangan bencara akan menjadi nilai pemasaran yang tinggi karena seluruh wisatawan di dunia sangat mengutamakan keamanan dan keselamatan mereka sebelum memilih suatu destinasi wisata sebagai tempat tujuan mereka untuk menghabiskan waktu luang dan mencari kesenangan. Pemasaran yang dimaksud disini adalah proses manajerial yang mengantisipasi dan memuaskan keinginan pengunjung yang ada dan calon pengunjung secara lebih efektif dari pemasok atau destinasi pesaing sehingga fokus pemasaran harus mengkomunikasikan dan menggarisbawahi nilai 37
80.
Nurdiyansah, 2014, Peluang dan Tantangan Pariwisata Indonesia, Alfabeta, Bandung, h.
40
dari produknya yang secara keseluruhan terdiri atas akses, infrastruktur, keamanan serta jasa umum dan pribadi.38 Negara Indonesia sebagai negara daerah tujuan wisata selaku tonggak utama dalam penyelenggaraan kepariwisataan dan juga pemangku kepentingan dalam kegiatan kepariwisataan memegang peranan utama dalam membentuk kebijakan dan strategi yang mampu menguntungkan dan meningkatkan interaksi antar pemangku kepentingan lainnya sehingga kepariwisataan di Indonesia dapat dilakukan secara berkelanjutan.
2.1.3.Hak Berwisata sebagai Hak Asasi Manusia Pengertian hak adalah sesuatu yang mutlak menjadi milik kita, sedangkan wisata sebagaimana diartikan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 10/2009 berarti kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengalaman pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Jadi yang dimaksud dengan hak berwisata adalah seseorang memiliki hak untuk melakukan kegiatan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, mencari pengalaman pribadi atau untuk mempelajari keunikan suatu daya tarik wisata. Menyatakan hak berwisata sebagai hak asasi manusia berarti memahami dan menerima hak berwisata sebagai suatu hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan 38
Francois Vellas, Lionel Becherel, 2008, Pemasaran Pariwisata Internasional Sebuah Pendekatan Strategis, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 12.
41
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 No. UU 39/1999). Komitmen negara Indonesia mengakui hak berwisata sebagai hak asasi manusia dapat dilihat dalam bagian menimbang huruf (b) UU No. 10/2009 yang menyatakan bahwa kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia. Selanjutnya UU No. 10/2009 menegaskan mengenai prinsip penyelenggaraan kepariwisataan di Indonesia harus menjunjung tinggi hak asasi manusia ( Pasal 5 huruf b UU No. 10/2009) dan hak untuk memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata merupakan hak setiap orang sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a UU No. 10/2009. Adapun komitmen mengakui hak berwisata sebagai hak asasi manusia tidak lahir begitu saja melainkan merupakan hasil dari komitmen Indonesia dalam meratifikasi ICESCR dan juga sebagai dampak bergabungnya Indonesia dalam keanggotaan
UNWTO
yang
tengah
gencar
membentuk
prinsip-prinsip
pembangunan kepariwisataan berkelanjutan yang salah satunya berbentuk Global Code of Ethics for Tourism (GCET) seperti yang telah diuraikan pada bab pendahuluan penelitian ini. Bentuk ketentuan-ketentuan dalam ICESCR masih berbentuk soft law dan prinsip-prinsip dalam GCET masih bersifat anjuran-anjuran dan komitmen para negara anggota, namun Indonesia telah mengikatkan diri terhadap ketentuan-
42
ketentuan Internasional tersebut dengan cara meratifikasi ketentuan ICESCR melalui UU No. 11/2005 dan mengadopsi prinsip-prinsip GCET ke dalam UU No. 10/2009 yang berlaku nasional. Mengakui hak berwisata sebagai salah satu hak dalam ICESCR yang diatur dalam Pasal 7 (d) dan Pasal 15 ICESCR sebagai salah satu instrumen internasional pokok hak asasi manusia melahirkan konsekuensi bagi negara Indonesia untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak tersebut.
Manfred
Nowak
mengutip
pernyataan
Georg
Jellinek
yang
mengemukakan: “That states with regard to civil rights, were merely obliged not to intervene whereas concerning economic and social right they were obliged to perform positive services only. Only since it was made apparent that human rights are indivisible and interdependent, it has gradually become accepted that in principle states are obliged to respect, fulfill and protect all human rights.”39 Menurut Georg Jellinek negara diwajibkan untuk tidak mengintervensi hakhak sipil, sedangkan terhadap hak ekonomi dan sosial negara memiliki kewajiban yang bersifat positif. Hanya ketika hak-hak tersebut dibuat saling tidak dapat dipisahkan satu sama lain (indivisible) dan memiliki prinsip saling ketergantungan (inter-dependent) sehingga memiliki kekuatan implementatif40 yang sama maka saat itu negara harus memiliki prinsip untuk menghormati, memenuhi dan memenuhi semua hak-hak tersebut. Selanjutnya masih dalam hak berwisata sebagai hak asasi manusia, John Ruggie menguraikan prinsip-prinsip tanggung jawab perusahaan terkait dengan 39
Manfred Nowak, 2003, Introduction to the International Human Rights Regime, Martinus Nijhoff, Leiden, Page 48. 40 Indriaswati Dyah Saptaningrum, Supriyadi Widodo Edyono,et.al., 2011, Hak Asasi Manusia dalam Pusara Politik, Elsam, Jakarta, h. 78.
43
hak asasi manusia yang disebut sebagai Guiding Principles on Business and Human Rights untuk mengimplementasikan kerangka kerja PBB terkait dengan perlindungan, penghormatan dan pemulihan hak asasi manusia yang uraiannya adalah: The state duty to protect against human rights abuses by third parties, including business, through appropriate policies, regulation and adjudication; the corporate responsibility to respect human rights, which means that business enterprises should act with due diligence to avoid infringing on the right of others and to address adverse impacts….and the need for Greater access to Remedy for victim of business-related abuses both judicial and non judicial.” 41 John Ruggie mengajukan pendapatnya mengenai kerangka kerja PBB dalam perlindungan, penghormatan dan pemulihan hak asasi manusia dalam 3 (tiga) pilar berupa tugas negara untuk melindungi pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga termasuk perusahaan melalui kebijakan, pengaturan dan pengadilan yang memadai; tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia yang berarti bahwa pengusaha harus bertindak hati-hati menghindari pelanggaran hak-hak pihak lainnya; dan kebutuhan untuk akses yang terbaik untuk pemulihan korban pelanggaran hak asasi manusia baik melalui pengadilan maupun non pengadilan. Mengutip pendapat Rogers yang dikemukakan oleh Ketut Gede Dharma Putra dalam bukunya yang berjudul Pencemaran Lingkungan Ancaman Pariwisata Bali yaitu terdapat 3 (tiga) pilar utama yang berperan dalam pembangunan wilayah yaitu Negara atau Pemerintah, sektor industri atau bisnis dan masyarakat. Negara
41
Grat van den Heuvel, Ni Ketut Supasti Dharmawan, et.al., 2014, Sustainable Tourism and Law, Eleven, Netherland, Page 285.
44
berperan
dalam
mengatur
dan
mengembangkan
kebijakan,
penyediaan,
peruntukan, penggunaan dan pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya alam42, sehingga dikatakan bahwa negaralah yang memegang kendali pada pembangunan kepariwisataan di Indonesia khususnya di Bali, karena negara yang akan mengarahkan seperti apa arah dan tujuan pembangunan kepariwisataan di Indonesia. Hak berwisata sebagai hak asasi manusia berarti menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia terhadap pengakuan hak berwisata43. Adapun prinsip-prinsip hak asasi manusia terdiri dari: 1. Prinsip universalitas adalah prinsip yang dimiliki dalam nilai-nilai etik dan moral yang tersebar diseluruh wilayah di dunia dan pemerintah termasuk masyarakatnya harus mengakui dan menyokong hak-hak asasi manusia. Ini menunjukkan hak-hak asasi manusia itu ada dan harus dihormati seluruh umat manusia dimana pun dan berlaku menyeluruh sebagai kodrat lahiriah manusia; 2. Prinsip permartabatan terhadap manusia (human dignity) adalah prinsip yang menegaskan perlunya setiap orang untuk menghormati hak orang lain, hidup damai dalam keberagaman yang bisa menghargai satu dengan yang lainnya serta membangun toleransi sesama manusia.;
42
Ketut Gede Dharma Putra, 2010, Pencemaran Lingkungan Ancaman Pariwisata Bali, Manikgeni, Denpasar, h. 114. 43 R. Herlambang Perdana Wiratraman, 2005, Konstitusionalisme dan Hak-Hak Asasi Manusia (Konsepsi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Yuridika Vol. 20 No.I Januari 2005, Universitas Airlangga, Surabaya, h. 3., tersedia di www.pustaka.unpad.ac.id, diakses 21 November 2014.
45
3. Prinsip non diskriminasi yang menjelaskan bahwa tidak ada perlakuan yang membeda-bedakan dalam rangka penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak seseorang.; 4. Prinsip equality (persamaan) yang bersentukan dengan prinsip non diskriminasi.
Prinsip
persamaan
menegaskan
pemahaman
tentang
penghormatan untuk martabat yang melekat pada setiap manusia.; 5. Prinsip indivisibility yang berarti suatu hak tidak bisa dipisah-pisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terkait dengan pandangan yang menyesatkan tentang membeda-bedakan atau pengutamaan hak-hak tertentu dibandingkan hak-hak lain. Hak sipil dan politik, sangat tidak mungkin dipisahkan dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya, karena keduanya satu kesatuan, tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya.; 6. Prinsip inalienability yaitu prinsip atas hak yang tidak bisa dipindahkan, tidak bisa dirampas atau dipertukarkan dengan hal tertentu, agar hak-hak tersebut bisa dikecualikan.; 7. Prinsip interdependency (saling ketergantungan). Prinsip ini juga sangat dekat dengan prinsip indivisibility, dimana setiap hak-hak yang dimiliki setiap orang itu tergantung dengan hak-hak asasi manusia lainnya dalam ruang atau lingkungan manapun, di sekolah, di pasar, di rumah sakit, di hutan, desa maupun perkotaan. Misalnya, kemiskinan, dimana dalam situasi tidak terpenuhinya hak atas pendidikan, juga sangat bergantung pada penyediaan hak-hak atas pangan atau bebas dari rasa kelaparan, atau juga hak atas kesehatan yang layak, dan hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak. Artinya, hak yang satu dengan yang lainnya sangat tergantung dengan pemenuhan atau perlindungan hak lainnya.;
46
8. Prinsip tanggung jawab (responsibility) menegaskan bahwa perlunya mengambil langkah atau tindakan tertentu untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi manusia, serta menegaskan kewajibankewajiban paling minimum dengan memaksimalkan sumberdaya yang ada untuk memajukannya. Pertanggungjawaban ini menekankan peran negara, sebagai bagian dari organ politik kekuasaan yang harus memberikan perlindungan
terhadap
warga
negaranya.
Termasuk
mempertanggungjawabkan setiap langkah atau tindakan yang diambil sebagai kebijakan tertentu dan memiliki pengaruh terhadap kelangsungan hak-hak rakyat. Peran negara menjadi vital, bukan soal mengambil tindakan tertentu (by commission), tetapi ia juga bisa dimintai pertanggungjawaban ketika terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia, sementara negara sama sekali tidak mengambil tindakan apapun (by omission). Unsur pertanggungjawaban (terutama negara), adalah bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip hak-hak asasi manusia agar bisa terwujudkan. Berdasarkan uraian pembahasan di atas termasuk uraian pembahasan mengenai prinsip-prinsip hak asasi manusia dapat dikatakan bahwa hak berwisata sebagai hak asasi manusia memberikan konsekuensi bagi negara untuk wajib menghormati, memenuhi dan melindungi hak-hak setiap orang untuk berwisata dan kewajiban tersebut dilengkapi dengan keharusan suatu negara untuk bertanggung jawab atas tidak terpenuhinya hak berwisata yang diakui secara universal.
47
2.2. Kerugian Wisatawan dalam Kegiatan Kepariwisataan 2.2.1.Hubungan Hukum antar Pemangku Kepentingan dalam Kegiatan Kepariwisataan Pada uraian pembahasan pada sub bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai pihak-pihak mana saja yang dapat disebut sebagai pemangku kepentingan dalam kegiatan kepariwisataan yaitu: negara atau Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, sektor swasta atau bisnis, organisasi non pemerintahan, wisatawan dan masyarakat. Hubungan hukum yang terjalin antar pemangku kepentingan di atas terjadi karena adanya interaksi satu sama lain antara satu pemangku kepentingan dengan pemangku kepentingan lainnya. Adapun hubungan hukum yang terjadi antar pemangku kepentingan dalam kegiatan kepariwisataan dapat dilihat dalam UU No. 10/2009 dan GCET dengan penjelasan sebagai berikut: 1) Hubungan Negara/Pemerintah dengan sektor swasta dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 UU No. 10/2009 yang menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwistaan sesuai dengan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Selanjutnya Pasal 15 UU No. 10/2009 yang mengatur bahwa untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata sesuai dengan ketentuan Pasal 14 UU No. 10/2009, pengusaha pariwisata wajib mendaftarkan usahanya terlebih dahulu kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dilanjutkan oleh Pasal
48
16 UU No. 10/2009 yang menambahkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat menunda dan meninjau kembali pendaftaran usaha pariwisata apabila tidak sesuai dengan ketentuan tata cara sebagaimana dimaksud dan Pemerintah serta Pemerintah Daerah wajib mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata (Pasal 17 UU No.10/2009), sehingga berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa negara melalui Pemerintah dan Pemerintah Daerah merupakan pihak yang berperan dalam membuka peluang investasi di bidang pariwisata, pelindung dan pengembang usaha-usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi sehingga tidak tergerus oleh usaha para investor besar serta Pemerintah memiliki kewenangan mutlak dalam menentukan dan memberikan ijin bidangbidang usaha yang didirikan dalam sektor kepariwisataan di Indonesia. 2) Hubungan hukum antara Negara (Pemerintah/Pemerintah Daerah) dengan wisatawan dapat dicermati melalui ketentuan Pasal 23 UU No. 10/2009 yang menguraikan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah daerah unyuk menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta keamanan dan keselamatan waisatawan, menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata serta menghormati, memenuhi dan melindungi hak setiap orang untuk memenuhi kebutuhan wisata (Pasal 19 ayat (1) huruf a UU No. 10/2009). 3) Hubungan hukum antara negara dengan masyarakat diatur dalam beberapa ketentuan UU No. 10/2009 di antaranya yaitu Pasal 19 ayat 1 dan 2 UU
49
No. 10/2009 yang mengatur hak setiap orang untuk berwisata, melakukan usaha pariwisata, menjadi pekerja/buruh pariwisata, dan berperan dalam pembangunan kepariwisataan yang mana masyarakat di dalam dan sekitar daerah destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas untuk menjadi pekerja/buruh, konsinyasi dan/atau pengelola. Pemerintah juga memiliki kewajiban untuk mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampat negatif bagi masyarakat luas (Pasal 23 ayat (1) huruf d UU No. 10/2009). Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa hubungan negara (Pemerintah/Pemerintah Daerah) dengan para pemangku kepentingan lainnya adalah hubungan kepentingan untuk membentuk suatu kebijakan dan melaksanakan kewajiban dalam rangka melindungi pengusaha pariwisata, wisatawan dan masyarakat suatu wilayah destinasi pariwisata. Tidak jauh berbeda dengan UU No. 10/2009, GCET juga mengatur hubungan antar pemangku kepentingan dalam kegiatan kepariwisataan dunia, yang diantaranya diatur dalam prinsip 3 GCET yang menyatakan bahwa: “all the stakeholders in tourism development should safeguard the natural environment with a view to achieving sound, continous and sustainable economic growth geared…..” Prinsip 3 GCET menegaskan bahwa seluruh pemangku kepentingan dalam pembangunan kepariwisataan harus menjaga lingkungan alam untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Selanjutnya Prinsip 6 GCET khusus mengatur tentang kewajiban para pemangku kepentingan dalam pembangunan kepariwisataan yang terdiri dari pengusaha pariwisata memiliki kewajiban untuk
50
memberikan informasi yang objektif dan jujur kepada wisatawan mengenai suatu destinasi wisata, kondisi perjalanan, pelayanan dan masa tinggal. Pengusaha juga wajib bekerja sama dengan otoritas publik (Pemerintah) untuk keamanan dan keselamatan, pencegahan kecelakaan, perlindungan kesehatan dan keamanan makanan serta pelayanan mereka. Sementara itu Pemerintah dari negara asal dan negara tujuan wisata harus berkoordinasi dengan pengusaha pariwisata untuk memastikan mengenai mekanisme yang diperlukan dalam hal pengembalian para wisatawan dalam hal terjadinya kebangkrutan pengusaha yang mengatur perjalanan mereka. Pemerintah memiliki hak dan kewajiban khususnya dalam keadaan darurat untuk menginformasikan keadaannya. Prinsip 10 GCET tentang pengimplementasian prinsip-prinsip GCET mewajibkan Negara dan pemangku kepentingan di sektor swasta untuk bekerja sama dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip GCET. Para pemangku kepentingan harus memahami ketentuan internasional diantara WTO dan organisasi non pemerintahan lainnya yang berkompeten dalam bidang promosi dan pembangunan kepariwisataan, perlindungan hak asasi manusia, lingkungan yang sehat dengan menghormati prinsip-prinsip hukum internasional. Para pemangku kepentingan juga harus menunjukkan perhatian mereka dalam menyelesaikan setiap permasalahan dalam penginterpretasian GCET ke World Committee on Tourism Ethics sehingga berdasarkan prinsip-prinsip GCET seperti yang sudah dijelaskan di atas kewajiban para pemangku kepentingan dalam pembangunan kepariwisataan harus bekerja sama dalam pengembangan kepariwisataan khususnya kepariwisataan berkelanjutan untuk menghasilkan
51
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta dalam setiap permasalahan yang terjadi akibat perbedaan pemahaman prinsip-prinsip GCET harus diselesaikan di World Committee on Tourism Ethics. 2.2.2.Konsekuensi Yuridis dari Hubungan Hukum antar Pemangku Kepentingan Hubungan antar pemangku kepentingan sebagaimana diuraikan sebelumnya tentunya melahirkan suatu konsekuensi jika salah satu atau lebih dari hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut tidak dijalankan atau tidak dipenuhi oleh salah satu pihak. Konsekuensi yuridis dari hubungan hukum tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Bab XIV UU No. 10/2009 yang mengatur tentang sanksi administratif dan juga ketentuan Bab XV UU No. 10/2009 tentang ketentuan pidana. Ketentuan mengenai sanksi adminstrasi dalam UU No. 10/2009 mengatur tentang sanksi-sanksi yang bersifat administratif yang dapat dikenakan kepada wisawatan dan pengusaha pariwisata yang tidak melaksanakan kewajibannya atau melanggar ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam UU No. 10/2009. Sedangkan ketentuan mengenai sanksi pidana merupakan ketentuan mengenai sanksi pidana atau ancaman pidana yang dapat dikenakan setiap orang yang melakukan pengrusakan fisik daya tarik wisata baik yang dilakukannya dengan sengaja dan melawan hukum atau yang terjadi karena kelalaiannya dan juga melawan hukum.
52
Ketentuan Bab XIV UU No. 10/2009 mengenai sanksi administratif terdiri dari 2 pasal yang masing-masing mengatur tentang: 1)
Pasal 62 UU No. 10/2009 mengatur tentang sanksi bagi setiap wisatawan yang tidak mematuhi ketentuan Pasal 25 UU No. 10/2009 yaitu tidak menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat, tidak melestarikan dan memelihara lingkungan, tidak turut serta menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan serta tidak turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum dikenakan sanksi berupa teguran lisan disertai pemberitahuan mengenai hal yang harus dipenuhi. Dan apabila wisatawan masih melakukan pelanggaran maka wisatawan yang bersangkutan dapat diusir dari lokasi dimana perbuatan tersebut dilakukan.
2)
Pasal 63 UU No. 10/2009 mengatur kewajiban pengusaha pariwisata untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU No, 10/2009 tentang ijin usaha pariwisata dan Pasal 26 UU No. 10/2009 tentang
kewajiban
pengusaha
pariwisata
dalam
menjaga
dan
menghormati norma agama, adat istiadat dan budaya masyarakat setempat, memberi informasi yang akurat dan bertanggung jawab, member pelayanan yang tidak diskriminatif, memberikan kenyamanan, keamanan dan keselamatan wisatawan dan kewajiban-kewajiban lainnya. Jika pengusaha tidak menjalankan kewajibannya tersebut maka pengusaha pariwisata akan mendapat sanksi administratif berupa teguran
53
tertulis, pembatasan kegiatan usaha dan pembekuan sementara kegiatan usaha. Ketentuan pidana dalam UU No. 10/2009 berlaku bagi setiap orang yang merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 UU No. 10/2009 akan dipidana penjara paling lama 7 tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (Sepuluh Milliar Rupiah) jika orang tersebut terbukti telah sengaja dan melawan hukum merusak fisik daya tarik wisata (Pasal 64 UU No. 10/2009). Dan bagi orang yang terbukti telah lalai dan melawan hukum merusak fisik daya tarik wisata akan dipidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima Milliar Rupiah). Adapun ketentuan sanksi administrasi dan sanksi pidana dalam UU No. 10/2009 hanya berlaku bagi wisatawan, pengusaha dan masyarakat yang melakukan perlanggaran atas ketentuan dalam UU No. 10/2009. Lalu apakah sanksi bagi negara yang tidak melakukan kewajibannya dalam pembangunan kepariwisataan. Sebelum beranjak pada permasalahan ini, ada baiknya terlebih dahulu membahas mengenai konsekuensi yuridis dari hubungan hukum para pemangku kepentingan dalam pembangunan kepariwisataan dari peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan kepariwisataan yang salah satunya adalah UU No. 08/1999 mengingat bahwa wisatawan merupakan konsumen dalam perdagangan jasa pariwisata tentunya dalam ketentuan UU No. 08/1999 akan diatur hak dan kewajiban wisatawan, hak dan kewajiban pengusaha pariwisata dan juga peran negara terkait dengan usaha jasa pariwisata berdasarkan UU No. 08/1999.
54
Hubungan
hukum dalam UU No. 08/1999 lebih menonjolkan hubungan
hukum antara
konsumen dan pelaku usaha dimana Negara hanya bersifat
melakukan pengawasan dan melakukan tindakan secara publik jika terdapat hak konsumen yang dilanggar. Pasal 19 UU No. 08/1999 mengatur tentang kewajiban pelaku usaha untuk tanggung jawab dengan memberi ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dijual oleh pelaku usaha. Pemberian ganti kerugian tersebut berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun pemberian ganti kerugian tersebut tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya penuntutan pidana (Pasal 19 ayat 4 UU No. 08/1999).44 Pasal 19 UU No. 08/1999 menunjukkan adanya hubungan hukum antara konsumen, pengusaha dan Negara. Konsumen memiliki hak untuk melakukan tuntutan ganti rugi kepada pelaku usaha yang ternyata menjual barang dan/atau jasa merugikan konsumen, selain itu konsumen dapat melimpahkan kewenangan penuntutan kepada negara melalui penuntutan pidana jika konsumen merasa tidak puas dengan bentuk tanggung jawab pelaku usaha disamping mengajukan tuntutan ganti rugi. Wisatawan merupakan konsumen dari perdagangan jasa yang dijual oleh pengusaha pariwisata yang disebut dengan jasa pariwisata yaitu suatu kegiatan penyedia jasa akomodasi, makanan, transportasi dan rekreasi (composed of those 44
Adil Samadani, 2013, Dasar-Dasar Hukum Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, h. 195.
55
sectors of economic providing services such as accommodation, food and beverage, transportation and recreation), serta jasa lainnya yang terkait,45 sehingga wisatawan juga dikategorikan sebagai konsumen yaitu konsumen perdagangan jasa pariwisata di Indonesia dan terikat pada ketentuan UU No. 08/1999. Wisatawan yang merasa dirugikan oleh barang dan/atau jasa yang disedikan oleh wisatawan memiliki hak untuk meminta ganti rugi kepada pengusaha pariwisata dan selain itu wisatawan juga memiliki kemungkinan untuk memperoses kerugiannya tersebut dalam ranah hukum pidana berdasarkan ketentuan Pasal 19 UU No. 08/1999. Uraian-uraian sebelumnya telah menjelaskan konsekuensi yuridis atas adanya hubungan hukum para pemangku kepentingan dalam kegiatan kepariwisataan yang mana konsekuensi tersebut masih berkisar pada sudut pandang wisatawan ataupun sudut pandang pengusaha pariwisata dan masyarakat. Baik ketentuan dalam UU No. 10/2009 dan UU No. 08/1999 belum ada yang menegaskan ataupun mengatur tentang sejauh mana negara dapat bertanggung jawab jika wisatawan yang sedang berwisata di Indonesia sedang mengalami suatu permasalahan hingga berdampak pada adanya kerugian (materiil/immateriil) yang dialami wisatawan. Mengingat hak berwisata telah diakui sebagai hak asasi manusia maka perlu untuk meninjau ketentuan dalam UU No. 39/1999 guna menemukan kewajiban 45
Ida Bagus Wyasa Putra, Putu Sudharma Sumadi,et.al., 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung, h. 1.
56
dan tanggung jawab negara dalam memenuhi hak-hak setiap orang khususnya hak berwisata. Pasal 8 UU No. 39/1999 mengatur bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah yang mana salah satu hak asasi yang dimiliki oleh manusia adalah hak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, budaya, sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa dan umat manusia (Pasal 13 UU No. 39/1999). Dengan demikian Pemerintah bertanggung jawab dalam perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia khususnya hak asasi sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 39/1999 yang secara implisit hak berwisata termasuk di dalamnya, karena dengan berwisata juga setiap orang dapat mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya. Ketentuan Bab V UU No. 39/1999 yang secara khusus mengatur tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah menegaskan bahwa Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia (Pasal 71 UU No. 39/1999). Kemudian Pasal 72 UU No. 39/1999 melanjutkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagai mana diatur Pasal 71 meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan negara dan bidang lainnya.
57
Berdasarkan ketentuan Bab V UU No. 39/1999 tersebut di atas dapat dikatakan bahwa Pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam penghormatan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak berwisata yang diatur dalam ICESCR, GCET, UU No. 39/1999 dan UU No. 10/2009 yang diterima oleh Negara Indonesia sekaligus Negara Indonesia memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam mengimplementasikan hak berwisata dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan negara dan bidang lainnya hanya saja UU No. 39/1999 tidak mengatur lebih lanjut jika Pemerintah tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam UU No. 39/1999. 2.2.3.Konsep Kerugian Wisatawan Kegiatan kepariwisataan ditandai dengan adanya transaksi dibidang jasa pariwisata, dimana pengusaha jasa pariwisata berkedudukan sebagai pihak yang menyediakan jasa pariwisata seperti penyedia jasa akomodasi, sarana rekreasi, makanan dan minuman, suvenir, dan penyedia jasa angkutan. Sedangkan wisatawan berkedudukan sebagai pengguna jasa pariwisata. Transaksi-transaksi dibidang jasa pariwisata tersebut kemudian menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak baik hak dan kewajiban yang muncul karena adanya kontrak atau perjanjian maupun hak dan kewajiban yang muncul tanpa adanya perjanjian masing-masing pihak. Tidak hanya transaksi di bidang pariwisata saja yang menimbulkan hak dan kewajiban, melainkan interaksi para pemangku kepentingan di bidang pariwisata
58
pun juga menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing kepentingan. Apabila hak dan kewajiban tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya maka akan menimbulkan kerugian pada salah satu pihak yang menimbulkan hak bagi pihak tersebut untuk meminta atau mendapat ganti rugi. Menurut J. H. Nieuwenhuis sebagaimana diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, pengertian kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak yang lain. Yang dimaksud dengan pelanggaran norma oleh Nieuwenhuis adalah berupa wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Kerugian adalah suatu pengertian yang relatif, yang bertumpu pada suatu perbandingan antara dua keadaan. Kerugian adalah selisih (yang merugikan) antara keadaan yang timbul sebagai akibat pelanggaran norma, dan situasi yang seyogyanya akan timbul andaikan pelanggaran norma tersebut tidak terjadi.46 Kerugian dalam hukum Indonesia cenderung bersifat perdata meskipun dimungkinkan dalam suatu perkara pidana untuk dilakukan penuntutan ganti rugi oleh korban terhadap pelaku tindak pidana. Kerugian dalam hukum perdata diatur dalam Pasal 1236 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) yang mengatur: “Si berutang adalah wajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau tidak telah merawat sepatutnya guna menyelamatkan.” 46
Merry Tjoanda, 2010, Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4 Bulan Oktober-Desember 2010 http://paparisa.unpatti.ac.id, diakses 27 November 2014.
59
Pasal 1236 KUHPdt mengatur kewajiban seseorang untuk memberi ganti biaya, ganti rugi dan bunga kepada orang lain yang telah dirugikan. Selanjutnya Pasal 1243 KUHPdt menambahkan bahwa: “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan barulah mulai diwajibkan apabila si berutang setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukan.” Ketentuan tersebut di atas menegaskan bahwa kewajiban memberi ganti biaya, rugi dan bunga baru akan timbul jika seseorang tersebut telah terbukti melakukan wanprestasi dan tetap melalaikan kewajibannya. Kerugian dalam bahasa Inggis dikenal dengan istilah Tort. Menurut J. G. Fleming yang dimaksud dengan tort adalah: “Tort has been described as an injury other than a breach of contract which the law will redress with damages. There must be some element of fault, either intentional or careless. In other words, there can be no liability without false.”47 J.G. Fleming berpendapat bahwa kerugian dideskripsikan sebagai suatu kerusakan yang terjadi karena pelanggaran kontrak yang mana hukum akan memulihkan atau mengganti kerugian tersebut. Dalam kerugian harus mengandung elemen kesalahan baik itu dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaian. Dengan kata lain tidak ada kewajiban tanpa ada kesalahan. Mengutip pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa dalam menentukan siapa yang wajib mengganti kerugian dibutuhkan untuk mencari pihak yang menyebabkan kerugian tersebut. Sebab-sebab yang menimbulkan kerugian dapat 47
Trevor and Trudie Atherton, 1998, Tourism Travel and Hospitality Law, LBC Information Services, Sydney, Page 93.
60
dibagi menjadi 2 (dua) yaitu kerugian yang disebabkan karena perbuatan wanprestasi (Pasal 1236 KUHPdt dan Pasal 1243 KUHPdt) dan kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPdt dan Pasal 1367 KUHPdt. Kerugian yang timbul karena perbuatan wanprestasi didasarkan pada adanya hubungan kontraktual dari masing-masing pihak sehingga pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi apabila keadaan-keadaan (term and conditions) dalam perjanjian dilanggar oleh pihak lainnya. Sementara itu, kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum harus dibuktikan terlebih dahulu mengenai adanya suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian (yang tidak sesuai dengan sikap hati-hati yang normal), yang bersangkutan lalai dalam duty of care (kewajiban untuk berhati-hati) dan kelakuan itu harus menyebabkan nyata (proximate cause) dari kerugian yang timbul.48 Berdasarkan hukum perdata khususnya hukum perikatan atau hukum perjanjian, unsur kerugian terdiri atas biaya, rugi dan bunga (kerugian materiil). Sehubungan dengan perbuatan melawan hukum selain kerugian materiil di atas, dikenal pula kerugian immateriil berupa physical harm, yaitu kerugian berkurangnya kesehatan, termasuk meninggal dunia. Kerugian pun dibagi dalam beberapa jenis yaitu kerugian yang disebabkan oleh kerusakan, kerugian yang disebabkan oleh pencemaran dan kerugian akibat mengkonsumsi (Pasal 19 ayat 1 UU No. 08/1999). Sedangkan besarnya kerugian dapat diperhitungkan berdasarkan kerugian yang nyata dialami oleh seseorang, kerugian yang dapat 48
Janus Sudabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 88.
61
diduga, kerugian yang ditentukan peraturan perundang-undangan dan kerugian yang diperjanjikan (Pasal 1246-1250 KUHPdt).49 Mencari pihak yang bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan haruslah berdasarkan teori penyebab timbulnya kerugian tersebut. Menurut Nurhayati Abbas, ganti kerugian harus memenuhi beberapa sebab yaitu harus ada hubungan kausal (Condicio Sine Qua Non) sebagai syarat pertama untuk membebankan kerugian pada orang lain adalah bahwa telah terjadi pelanggaran norma yang dapat dianggal sebagai Condicio Sine Qua Non kerugian tersebut. Menurut teori ini suatu akibat ditimbulkan oleh berbagai peristiwa yang tidak dapat ditiadakan untuk adanya akibat tersebut, berbagai peristiwa tersebut merupakan satu kesatuan yang disebut sebab. Selanjutnya kerugian adalah akibat adequate (suatu syarat merupakan sebab) yang artinya kerugian yang disebabkan oleh sesuatu yang sifatnya pada umumnya sanggup menimbulkan akibat.50 UU No. 10/2009 tidak secara khusus mengatur tentang kerugian, penyebab kerugian dan kewajiban mengganti kerugian oleh para pemangku kepentingan atas kerugian yang diderita oleh wisatawan, baik itu kerugian materiil maupun kerugian immateriil. Sifat kegiatan kepariwisataan yang multidimensi dan multidisiplin menyebabkan pengaturan tentang kepariwisataan tidak hanya terbatas pada UU No. 10/2009 saja, tetapi kegiatan kepariwisataan juga diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti ketentuan dalam UU No. 39/1999, UU No. 08/1999 dan KUHPdt. Begitu pula pengaturan tentang
49 50
Ibid, h. 140. Merry Tjoanda, Loc.Cit, h. 46.
62
kewajiban pemberian ganti rugi atas kerugian meskipun tidak diatur dalam UU No. 10/2009, tapi bisa merujuk pada ketentuan hukum lain yang terkait. Perihal ganti kerugian wisatawan dapat merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) sebagaimana diuraikan sebelumnya. Selain itu UU No. 08/1999 juga mengatur bentuk-bentuk kerugian yang dialami konsumen khususnya dalam hal ini adalah konsumen jasa pariwisata yaitu wisatawan seperti yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UU No. 08/1999. Terhadap kerugian konsumen dapat dilakukan penuntutan ganti kerugian berupa penuntutan secara perdata ataupun secara pidana oleh konsumen dan yang terpenting Pemerintah juga berperan dalam mengajukan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit (Pasal 46 UU No. 08/1999). Jadi pemerintah dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran apabila kerugian yang diderita mencakup orang banyak dan juga adanya kerugian yang besar terkait dengan barang dan/atau jasa yang dijualnya. Sehingga dapat dikatakan tertutup kemungkinan bagi kerugian konsumen (wisatawan) secara pribadi untuk dapat diperjuangkan oleh Pemerintah. Selanjutnya mengingat hak berwisata sebagai hak asasi manusia, maka sudah seharusnya ketentuan mengenai ganti kerugian wisatawan ditinjau berdasarkan UU No. 39/1999. Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 39/1999 mengatur bahwa setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum
63
Indonesia dan Hukum Internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia. Ketentuan hukum internasional yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional. Ketentuan Pasal 7 UU No. 39/1999 menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak untuk melakukan penuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang dirasakannya telah merugikan kepentingannya. Adapun pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja ataupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU No. 39/1999 dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39/1999). Berdasarkan uraian pembahasan di atas dapat dipahami bahwa kerugian wisatawan dapat terjadi karena kerusakan, pencemaran dan mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha/pengusaha pariwisata (Pasal 19 ayat 1 UU No. 08/1999) yang mana dapat dimintai ganti rugi baik secara perdata dan penuntutan secara pidana. Selain itu berdasarkan UU No. 39/1999 jika seseorang merasa bahwa hak berwisatanya dilanggar maka orang tersebut dapat melakukan upaya hukum baik secara nasional atau melalui forum internasional, namun sayangnya dalam ketentuan tersebut tidak ada ketentuan tegas yang menyatakan mungkin tidaknya dilakukan penuntutan terhadap negara atas kerugian yang dialami oleh wisatawan.
64
2.3. Tanggung Jawab Negara dalam Penyelenggaraan Kepariwisataan atas Pengimplementasian Hak Berwisata sebagai Hak Asasi Manusia 2.3.1. Konsep Tanggung Jawab Negara Menurut L.J. van Apeldoorn kata Negara mempunyai berbagai arti yaitu: “Kata negara memiliki berbagai arti: 1. Kata Negara dipakai dalam arti penguasa, jadi untuk menyatakan orang atau orang-orang yang melakukan kekuasaan yang tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu daerah; 2. Perkataan Negara dapat juga diartikan sebagai persekutuan rakyat yakni untuk menyatakan suatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah dibawah kekuasaan tertinggi menurut kaidah-kaidah hukum yang sama; 3. Negara berarti wilayah tertentu untuk menyatakan sesuatu daerah; 4. Negara terdapat dalam arti kas Negara atau fiskus, untuk harta yang dipegang oleh penguasa guna kepentingan umum.”51 Jadi yang dimaksud Negara yaitu penguasa, persekutuan rakyat, wilayah dan kas Negara yang digunakan untuk membiayai kepentingan umum. Dalam pembahasan kali ini istilah Negara yang dimaksud adalah Negara dalam lingkup pengertian sebagai penguasa atau Pemerintah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32/2004) membagi Pemerintah dalam dua pengertian yaitu Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 angka 1 UU No. 32/2004) dan Pemerintah Daerah yaitu Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
51
L.J. van Apeldoorn, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 292.
65
daerah (Pasal 1 angka 3 UU No. 32/2004) sehingga pemerintah di Indonesia terdiri dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Membahas konsep tanggung jawab Negara dalam penelitian ini diartikan sebagai membahas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah di Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan rumusan masalah, salah satunya dalam ketentuan Pasal 28 I ayat (4) Undang UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama Pemerintah. Hal ini berarti bahwa Negara (Pemerintah/Pemerintah Daerah) memiliki tanggung jawab dalam menjamin hak-hak setiap warga Negara Indonesia untuk menikmati hak asasi yang dimilikinya. Tanggung jawab Negara (Pemerintah/Pemerintah Daerah) tersebut di atas juga kembali ditegaskan dalam Pasal 8 UU No. 39/1999 sehingga sudah sangat jelas perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab mutlak bagi suatu Negara. Kemudian bagaimanakah bentuk tanggung jawab yang dilakukan oleh Negara dalam menjalankan kewajibannya tersebut. Hak berwisata di Indonesia dalam kedudukannya sebagai hak asasi manusia termasuk dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya mengandung konsekuensi bagi Negara untuk bertanggung jawab terhadap perlindungan, penghormatan, penegakan dan pemenuhannya di Indonesia. Dengan kata lain jika setiap orang di Indonesia tidak dapat menikmati hak berwisata mereka dengan baik maka Negara Indonesia dinyatakan telah gagal dalam memenuhi hak asasi manusia ataupun
66
dianggap telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia jika ternyata menimbulkan kerugian bagi setiap orang yang berusaha menikmati haknya untuk berwisata. Komitmen Indonesia dalam mengakui hak berwisata sebagai hak asasi manusia memberikan tanggung jawab mutlak bagi Negara untuk memenuhi hak tersebut meskipun hak berwisata memiliki urgensi yang jauh lebih rendah dari hak atas pendidikan dan hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia. Oleh karena hak berwisata merupakan lingkup hak yang sama dengan hak kesehatan dan hak pendidikan yaitu dalam lingkup hak asasi manusia dibidang ekosob maka tidak ada salahnya sedikit membahas indikator pemenuhan hak pendidikan dan kesehatan sebagai pertimbangan terhadap indikator pemenuhan hak berwisata. adapun tampaknya indikator pemenuhan hak berwisata hampir sama dengan indikator pemenuhan hak kesehatan di Indonesia mengingat bahwa hak berwisata dan hak kesehatan berkaitan dengan kegiatan pelayanan jasa yang identik dengan kepuasan konsumen. Yang dimaksud dengan indikator pemenuhan hak kesehatan52 yaitu antara lain: 1) Ketersediaan: pelaksanaan fungsi kesehatan public dan fasilitas kesehatan, barang dan jasa kesehatan, juga program-program harus tersedian dalam kuantitas yang cukup disuatu Negara; 2) Keterjangkauan: fasilitas kesehatan, barang dan jasa harus dapat diakses oleh setiap orang tanpa diskriminasi, terjangkai secara fisik (aman bagi
52
Mimin Rukmini, 2006, Pengantar Memahami Hak Ekosob, Pattiro, Jakarta, h. 29.
67
semua orang), terjangkau secara ekonomi dan adanya keterjangkauan informasi mengenai masalah-masalah kesehatan; 3) Keberterimaan: fasilitas kesehatan, barang dan jasa harus diterima oleh etika medis dan sesuai dengan budaya; 4) Kualitas: fasilitas kesehatan, barang dan jasa harus secara ilmiah dan medis sesuai serta dalam kualitas yang baik mencakup keamanan, petugas yang ahli dibidangnya, perlengkapan yang telah diuji dan diakui kualitasnya. Mengutip pernyataan sebelumnya bahwa indikator pemenuhan hak berwisata sama dengan indikator pemenuhan hak kesehatan maka untuk memenuhi hak berwisata di Indonesia dibutuhkan ketersediaan fasilitas pendukung kegiatan kepariwisataan, barang dan jasa, serta program pembangunan kepariwisataan yang memadai dan dalam kuantitas yang cukup; keterjangkauan fasilitas berwisata, barang dan jasa serta kemudahan untuk mengakses tanpa diskriminasi dan membedakan yurisdiksi Negara; fasilitas dan kegiatan kepariwisataan harus diterima oleh etika dan sesuai dengan budaya serta jiwa bangsa Indonesia dan fasilitas yang disediakan untuk kegiatan kepariwisataan, barang dan jasa harus memiliki kualitas yang baik baik dari segi keahlian, keamanan dan kelengkapannya. Jika Negara tidak mampu menyediakan fasilitas pendukung kegiatan
kepariwisataan sesuai dengan indikator pemenuh hak sebagaimana
tersebut di atas maka Negara dianggap telah gagal menjalankan tanggung jawabnya dalam pemenuhan hak berwisata sebagai hak asasi manusia. Indonesia sebagai bagian dari anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan
68
melaksanakan DUHAM yang ditetapkan oleh PBB, serta berbagai instrument lainnya mengenai hak-asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia. Menurut Retno Kusniati implementasi tanggung jawab dan komitmen suatu negara terhadap pengakuan hak asasi manusia53 tersebut adalah meliputi: 1) Substansi Hukum: implementasi tanggung jawab dan komitmen Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia secara substansi hukum dilakukan dengan cara meratifikasi sejumlah konvensi internasional mengenai perlindungan hak asasi manusia dan membentuk undang-undang hak asasi manusia nasional; 2) Struktur Hukum: secara struktur hukum Indonesia harus menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hak asasi manusia berat (HAM berat) sera memenuhi hak asasi manusia secara individu dan kelompok; 3) Budaya Hukum: Komitmen Indonesia secara budaya hukum harus ditunjukkan dengan merealisasikan hak asasi manusia dalam praktek kehidupan bernegara sebagai acuan dalam tatanan sosial. Berdasarkan bentuk pengimplementasian komitmen pengakuan hak asasi tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa negara Indonesia baik secara substansi hukum telah menunjukkan tanggung jawab dan komitmennya terhadap pengakuan hak asasi manusia, namun secara struktur dan budaya hukum Indonesia belum
53
Retno, Kusniati, 2011, Integrasi Standar Perlindungan Penghormatan dan Pemenuhan HAM dalam Tugas dan Fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah, Jurnal Ilmu Hukum: Vol.2 No.1, Jambi, h. 83, http://online-journal.unja.ac.id/index.php/jih/article/view/55/44 diakses 27 November 2014.
69
terkesan
bersungguh-sungguh
untuk
menunjukkan
tanggung jawab
dan
komitmennya terhadap pengakuan hak asasi manusia khususnya hak berwisata. Sebagai perbandingan Negara Jerman yang tampaknya telah menunjukkan komitmen dan tanggung jawabnya dalam pemenuhan hak asasi manusia khususnya hak berwisata. Hal ini dapat dilihat dari cara Negara Jerman menyelesaikan permasalahan kasus Dillenkofer ea v Bundesrepublik Deutschland sebagaimana dikemukakan dalam Bab I Penelitian ini. Pengadilan memutus bahwa Negara Jerman dinyatakan bersalah karena gagal memberikan jaminan bagi wisatawan dalam hal terjadi kebangkrutan perusahaan perjalanan wisata dan Negara Jerman dihukum untuk bertanggung jawab atas kerugian yang diderita wisatawan pengguna jasa pengusaha perjalanan wisata (tour operator) yang mengalami kebangkrutan. Di sisi lain bentuk tanggung jawab Negara Indonesia atas keamanan dan keselamatan wisatawan di Indonesia dapat dinilai dari kasus Bom Bali, Bom J.W. Marriot dan Kuningan. Dimana wujud pertanggungjawaban Pemerintah Negara Indonesia hanya sebatas perlindungan keamanan dan keselamatan setiap orang terhadap tindak pidana terorisme akan tetapi tidak ada tindakan pemulihan lanjutan terhadap wisatawan sebagai korban kasus bom tersebut di atas. Hal ini menunjukkan bahwa Negara Jerman memiliki kesiapan yang lebih matang dari pada Indonesia dalam menunjukkan komitmennya terhadap pengakuan hak berwisata sebagai hak asasi manusia mengingat bahwa Negara Jerman sudah memiliki ketentuan khusus yang mengatur tentang tanggung jawab negara atas hak berwisata dan juga tindakan penegakan ketentuan hukum
70
tersebut yang mempertegas kesungguhan Negara Jerman dalam menunjukkan komitmennya. 2.3.2. Fungsi Negara dalam Penyelenggaraan Kepariwisataan di Indonesia Didalam UU No. 10/2009 telah diatur kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 28 UU No. 10/2009 mengatur tentang kewenangan Pemerintah Pusat, sedangkan kewenangan Pemerintah Provinsi diatur dalam Pasal 29 UU No. 10/2009 dan Kewenangan Pemerintah Kabupaten dan Kota diatur dalam Pasal 30 UU No. 10/2009. Hubungan kewenangan yang diatur dalam UU No. 10/2009 antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah ada yang dilakukan bersama-sama dan adapula kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat saja. Menyangkut kewenangan perlindungan hukum dan keamanan dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah belum diatur secara jelas dan tegas.54 Pasal 28 UU No. 10/2009 menegaskan kewenangan Pemerintah sebagai berikut: “Pemerintah berwenang: 1) menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional; 2) mengkoordinasikan pembangunan kepariwisataan lintas sektor dan lintas provinsi; 3) menyelenggarakan kerja sama internasional di bidang kepariwisataan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; 4) menetapkan daya tarik wisata nasional; 5) menetapkan destinasi pariwisata nasional; 6) menetapkan norma, standar, pedoman, prosedur, criteria dan sistem pengawasan dalam penyelenggaraan kepariwisataan; 7) mengembangkan kebijakan pengembangan sumber daya manusia di bidang kepariwisataan; 8) memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali; 9) melakukan dan memfasilitasi promosi pariwisata nasional; 54
Made Metu Dahana, 2012, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap Wisatawan, Paramita, Surabaya, h. 17.
71
10) memberikan kemudahan yang mendukung kunjungan wisatawan; 11) memberikan informasi dan/atau peringatan dini yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan wisatawan; 12) meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan potensi wisata yang dimiliki masyarakat; 13) mengawasi, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan kepariwisataan; 14) mengalokasikan anggaran kepariwisatan.”
Sementara itu Pasal 29 UU No. 10/2009 mengatur tentang kewenangan Pemerintah Provinsi dengan menyatakan bahwa: “Pemerintah provinsi berwenang: 1) menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi, 2) mengkoordinasikan penyelenggaraan kepariwisataan di wilayahnya, 3) melaksanakan pendaftaran, pencatatan dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata, 4) menetapkan destinasi pariwisata provinsi, 5) menetapkan daya tarik wisata provinsi, 6) memfasilitasi promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata yang berada di wilayahnya, 7) memelihara aset provinsi yang menjadi daya tarik wisata provinsi, dan 8) mengalokasikan anggaran kepariwisataan.” Pasal 30 UU No. 10/2009 mengatur kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai berikut: “Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang: 1. menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan Kabupaten/Kota, 2. menetapkan destinasi periwisata Kabupaten/Kota, 3. menetapkan daya tarik wisata Kabupaten/Kota, 4. Melaksanakan pendaftaran, pencatatan dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata, 5. Mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan di wilayahnya, 6. Memfasilitasi dan melakukan promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata yang berada di wilayahnya, 7. Memfasilitasi pengembangan daya tarik wisata baru,
72
8. Menyelenggarakan pelatihan dan penelitian kepariwisataan dalam lingkup Kabupaten/Kota, 9. Memelihara dan melestarikan daya tarik wisata yang ada di wilayahnya, 10. Menyelenggarakan bimbingan masyarakat sadar wisata, 11. Mengalokasikan anggaran kepariwisataan.” Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka dapat dikemukakan bahwa perbedaan kewenangan Pemerintah dengan Pemerintah Daerah terletak pada Pemerintah Pusat dapat menyelenggarakan kerja sama dibidang kepariwisataan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk dalam membuat kebijakan terkait dengan pemberian kemudahan yang dapat meningkatkan kunjungan serta memberikan peringatan dini yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan wisatawan. Sedangkan Pemerintah Daerah meskipun tidak memiliki kewenangan seluas kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, namun Pemerintah Daerah dapat berwenang dalam bidang pendaftaran, pencatatan dan pendataan perndaftaran usaha pariwisata, dengan kata lain Pemerintah Daerah memiliki kewenangan dalam menentukan jenis usaha yang berkaitan dengan jasa pariwisata. Selain kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 23 UU No. 10/2009 yaitu: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban: 1. menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta keamanan dan keselamatan kepada wisatawan, 2. menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata yang meliputi terbukanya kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi dan memberikan kepastian hukum, 3. memelihara, mengembangkan dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali, dan
73
4. mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negative bagi masyarakat luas.” Pemerintah dan Pemerintah daerah juga berperan dalam menjamin ketersediaan dan
penyebarluasan
informasi
kepada
masyarakat
untuk
kepentingan
pengembangan kepariwisataan, menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan mengembangkan sistem informasi kepariwisataan nasional serta mengembangkan dan mengelola sistem informasi kepariwisataan sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerah. Menurut Peter M. Burns, peran pemerintah dalam kepariwisataan selalu berkaitan dengan destinasi wisata, tujuan dari kepariwisataan dan perencanaan, pembangunan dan/atau ketentuan dan aturan tentang zonasi. Peter M. Burns menyatakan: “There will be common factors to most statements of government intentions concerning, or philosophy about tourism that will define the characteristic of that destination‟s tourism. These are likely to encompass the following: 1. visitor arrival targets, 2. the importance of having a clear idea as to the purpose of tourism, and 3. planning, building and/or zoning rule and regulation.”55 Jadi menurut Peter M. Burns ada beberapa faktor yang sudah umum dalam pernyataan kebanyakan pemerintah suatu Negara ketika menyampaikan perhatian mereka terkait dengan atau filsafat tentang kepariwisataan yang menentukan karakteristik dari suatu destinasi wisata yaitu target kedatangan pengunjung, pentingnya kejelasan ide mengenai tujuan pariwisata dan rencana, bangunan dan/atau ketentuan dan peraturan-peraturan mengenai zonasi.
55
Peter M. Burns, Andrew Holden, 1999, Tourism a New Perspective, Prentice Hall, Great Britain, Page 189.
74
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipahami bahwa fungsi Negara (Pemerintah/Pemerintah Daerah) adalah untuk menentukan kebijakan yang berkaitan dengan daerah tujuan wisata, daya tarik wisata, kemudahan yang meningkatkan kunjungan wisata, anggaran dan pembangunan kepariwisataan, keamanan dan keselamatan berwisata, informasi pariwisata dan perijinan usaha pariwisata yang diijinkan untuk beroperasi di Indonesia. 2.3.3.Bentuk Tanggung Jawab Negara dalam Memenuhi Hak Berwisata sebagai Bagian dari Hak Asasi Manusia Sebelum membahas tentang bentuk tanggung jawab negara dalam memenuhi hak berwisata sebagai bagian dari hak asasi manusia ada baiknya jika terlebih dahulu dibahas mengenai tanggung jawab pelaku usaha dan wisatawan dalam memenuhi hak berwisata setiap orang mengingat bahwa kedua pihak tersebut juga merupakan pemangku kepentingan dalam pembangunan kepariwisataan dan juga mengingat Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan: “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Berdasarkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945 tersebut di atas maka dapat dipahami bahwa selain negara bertanggung jawab atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, ada pihak lain sebagai bagian dari kata “setiap orang” yang memiliki kewajiban untuk menghormati dan melindungi hak asasi orang lainnya dengan cara memberikan batasan hak kebebasan seseorang dengan hak kebebasan orang lain. Sebagai contoh meskipun
75
setiap orang diberikan hak yang sama dalam berusaha dibidang pariwisata atau menjadi pelaku usaha pariwisata namun hak tersebut tidak bisa digunakan secara semena-mena dengan mengesampingkan hak wisatawan sebagai konsumen pariwisata untuk mendapat pelayanan dan perlindungan keselamatan dari pelaku usaha pariwisata tersebut. Dengan kata lain pelaku usaha pariwisata selain bertujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya juga memiliki kewajiban untuk memenuhi standar pelayanan dan juga standar perlindungan keamanan dan keselamatan wisatawan yang menggunakan jasa pelaku usaha pariwisata tersebut. UU No. 10/2009 mengatur secara tegas tanggung jawab pemangku kepentingan dalam kegiatan pembangunan kepariwisataan, baik tanggung jawab wisatawan, pelaku usaha maupun tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Mengutip pendapat Hans Kelsen pada bab sebelumnya yang menyatakan bahwa
konsep
kewajiban
hukum
adalah
konsep
tanggung
jawab
(pertanggungjawaban) hukum maka dapat dikatakan bahwa segala hal yang diwajibkan oleh UU No. 10/2009 kepada wisatawan, pelaku usaha pariwisata maupun pemerintah dan/atau pemerintah daerah merupakan tanggung jawab yang diberikan dan harus dilaksanakan oleh masing-masing wisatawan, pelaku usaha pariwisata dan pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Pasal 25 No. UU 10/2009 mengatur bahwa wisatawan wajib untuk: 1. Menjaga, menghormati norma agama, adat istiadat, budaya dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat; 2. Memelihara dan melestarikan lingkungan; 3. Turut serta menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan; dan
76
4. Turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum. Berdasarkan ketentuan tersebut wisatawan memiliki tanggung jawab adalah hal penghormatan terhadap norma agama, adat istiadat, budaya dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat. Wisatawan juga bertanggung jawab dalam memelihara dan melestarikan lingkungan, menjaga keamanan dan ketertibat serta mencegah terjadinya perbuatan yang melanggar hukum dan kesusilaan. Adapun yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab pelaku usaha pariwisata (pengusaha pariwisata) diatur dalam Pasal 26 UU No. 10/2009 yang menyatakan: “Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban: a. Menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat, b. Memberi informasi yang akurat dan bertanggung jawab, c. Memberi pelayanan yang tidak diskriminatif, d. Memberi kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan dan keselamatan wisatawan, e. Memberi perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang beresiko tinggi, f. Mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat dan menguntungkan, g. Mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja local, h. Meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan, i. Berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat, j. Turut seta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum dilingkungan tempat usahanya, k. Memelihara lingkungan yang sehat, bersih dan asri, l. Memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya, m. Menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan yang bertanggung jawab,dan n. Menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
77
Secara singkat Pasal 26 UU No. 10/2009 menerangkan bahwa pengusaha pariwisata bertanggung jawab atas penghormatan norma, adat istiadat, budaya dan nilai-nilai masyarakat setempat. Pengusaha pariwisata juga bertanggung jawab atas perlindungan keamanan dan keselamatan wisatawan, meningkatkan konsumsi produk dalam negeri, meningkatkan produktifitas usaha mikro, kecil dan koperasi, memelihara lingkungan serta memberikan perlindungan berdasarkan standar usaha dan standar kompetensi yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan. Tanggung jawab pengusaha pariwisata selain diatur dalam UU No. 10/2009 juga diatur dalam UU No. 08/1999 yang secara umum mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang disediakannya. Pasal 19 UU No. 08/1999 menyatakan: 1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, 2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, 3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi,
78
4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan, 5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Pasal 19 UU No. 10/2009 menegaskan bahwa pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk mengganti kerugian yang dialami konsumen yang mengkonsumsi barang dan atau jasa yang diperdagangkan olehnya apabila tidak dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul merupakan kesalahan konsumen sendiri. Begitu pula dengan pengusaha pariwisata juga diwajibkan memberi ganti kerugian yang diderita oleh wisatawan apabila pengusaha pariwisata tidak mampu membuktikan bahwa kerugian tersebut timbul atas kesalahan konsumen pribadi. Selain bentung tanggung jawab wisatawan dan pengusaha pariwisata sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, terdapat pula bentuk pertanggung jawaban negara dalam memenuhi hak berwisata sebagai hak asasi manusia. Bentuk tanggung jawab Negara dalam memenuhi hak berwisata sebagai hak asasi manusia ditentukan berdasarkan seberapa luas kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh Pemerintah suatu Negara dalam menentukan pembangunan kepariwisataan dan tingkat urgensi hak berwisata itu sendiri dalam ketentuan
79
mengenai hak asasi manusia. Menurut Boer Mauna, ICESCR berupaya meningkatkan dan melindungi 3 (tiga ) kategori hak56 yaitu: 1. hak untuk bekerja dalam kondisi yang adil dan menguntungkan; 2. hak atas perlindungan sosial, standar hidup yang pantas, standar kesejahteraan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai; 3. hak atas pendidikan dan hak untuk menikmati manfaat kebebasan kebudayaan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Urgensi hak berwisata sebagai hak asasi manusia ditunjukkan dalam poin nomor 1 dan nomor 3 dari pernyataan tersebut di atas, karena dalam hak setiap orang untuk bekerja dalam kondisi yang adil dan menguntungkan juga ditegaskan bahwa setiap pekerja harus diberikan waktu istirahat dan berlibur dengan tetap menerima upah dan selain itu kebebasan untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya merupakan hak setiap orang yang mana hak-hak tersebut dapat dinikmati dengan diberikannya hak berwisata bagi setiap orang sebagai hak asasi manusia. Pengakuan atas urgensi hak berwisata sebagai hak asasi manusia berdasarkan ICESCR dan UU No. 10/2009 memberikan tanggung jawab bagi Negara Indonesia untuk melindungi hak berwisata sehingga tidak terjadi pelanggaran atas hak tersebut. Contohnya Pemerintah bertanggung jawab untuk menjamin keamanan dan keselamatan wisatawan. UN WTO mengemukakan dalam Policy and Practice for Global Tourism: “UNWTO appears to be well positioned for the task of drafting an instrument of international law that can provide a minimum level of guarantee for visitor/consumers as well as for travel organizer at a 56
Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, h. 681.
80
world level. For example many popular resorts and destinations have introduced Tourism Policy Force to manage the impact and effect of increased level of crime associated with the development of tourism and the rise of visitor as targets for crime and harassment.”57
Dengan kata lain UNWTO berkomitmen untuk membuat instrumen hukum internasional mengenai standar minimum jaminan bagi pengunjung/konsumen termasuk ketentuan pengatur perjalanan dalam level dunia. Seperti banyak resort terkenal dan destinasi wisata yang menyajikan atau memperkenalkan kebijakan kepariwisataan yang mengatur dampak dari peningkatan kejahatan sebagai akibat dari pembangunan kepariwisataan dan peningkatan jumlah pengunjung sebagai target kejahatan dan gangguan. Menindaklanjuti terjadinya pelanggaran dalam hak berwisata sebagai suatu hak asasi manusia yang diakui baik dalam hukum nasional dan internasional maka terdapat mekanisme pelaporan yang harus dilakukan terkait dengan pelanggaran tersebut terhadap Negara yang dianggap bertanggung jawab seperti yang dikemukakan dalam buku Rhona K. M. Smith yang berjudul Textbook on International Human Rights yaitu metode implementasi hak asasi manusia terhadap pelanggarannya dapat dilakukan dengan cara pelaporan, pengaduan dari negara tetangga atau negara yang merasa hak asasinya atau hak asasi rakyatnya dilanggar dan pengaduan secara invividu oleh orang yang haknya merasa dilanggar.58
57
World Tourism Organization, 2011, Policy and Practice for Global Tourism, World Tourism Organization, Spain, Page 31. 58 Rhona K.M. Smith, 2010, Textbook on International Human Rights, Oxford University Press, New York, Page 149.
81
Kasus bom Bali, bom Marriot dan kasus bom Kuningan yang melibatkan wisatawan sebagai korban tindak terorisme tersebut di atas dapat digunakan sebagai acuan dalam membahas mengenai tanggung jawab negara dalam memenuhi hak berwisata sebagai hak asasi manusia. Terjadinya tindak pidana terorisme beberapa tahun yang lalu mencerminkan bahwa negara bukan hanya tidak mampu memenuhi hak asasi manusia untuk hidup, namun negara juga tidak mampu memenuhi hak asasi manusia untuk berwisata dari segi jaminan keamanan dan keselamatan yang menjadi tanggung jawabnya dan cenderung menimbulkan kerugian materiil dan immateriil bagi wisatawan korban tindak pidana tersebut, lalu apa tanggung jawab negara dalam hal kerugian yang dialami oleh wisatawan ketika hak berwisata mereka dilanggar. Tanggung jawab negara terhadap korban tindak pidana terorisme maupun bencana lainnya termasuk terhadap wisatawan sebagai korban dapat dilihat dalam beberapan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (PP Pengganti UU No. 1/2002), Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban (PP No. 44/2008), seperti halnya keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Sri Mulyani yang membuat terobosan dengan memberi kompensasi yang bervariasi pada korban bom di
82
Marriot, maka putusan tersebut membuktikan bahwa negara juga turut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami.59 PP Pengganti UU No. 1/2002 mengatur secara khusus mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi pada Bab VI Peraturan Pemerintah terkait. PP Pengganti UU No. 1/2002 Pasal menyatakan bahwa setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi dan restitusi. Pembiayaan pemberian kompensasi dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah, sedangkan restitusi merupakan ganti rugi yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya. Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban dan kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri, sementara itu pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan. Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Pasal 38 PP Pengganti UU No. 1/2002). Dalam hal pelaksaan pemberian kompensasi dan/atau rehabilitasi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 PP Pengganti UU No. 1/2002, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada pengadilan (Pasal 41 PP Pengganti UU No. 1/2002). PP No. 44/2008 khusus terkait dengan perlanggaran hak asasi manusia yang mana Pasal 2 Peraturan Pemerintah tersebut di atas menyatakan bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat mengajukan permohonan kompensasi melalui pengadilan, sedangkan Pasal 20 PP No. 44/2008 tersebut 59
Muhammad Alfath Tauhidillah, 2009, Korban sebagai Dampak dari Tindak Pidana Terrorisme: yang Anonim dan Terlupakan, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. V No. II Agustus 2009: 19-30, h. 28, tersedia di www.journal.ui.ac.id, diakses 21 Oktober 2014.
83
menegaskan bahwa korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi kepada pengadilan. Sistem peradilan pidana dapat mengembangkan upaya-upaya pemulihan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia melalui beberapa metode yang secara garis besar dibedakan menjadi dua yakni: monetary remedies dan non monetary remedies. Monetary remedies merupakan pemulihan yang mendayagunakan nilai materi dalam wujud uang atau fisik untuk mereparasi kerusakan/kerugian yang diakibatkan oleh adanya pelanggaran hak asasi manusia. Sedangkan non monetary remedies adalah upaya pemulihan bagi korban yang lebih mendasarkan pada perbaikan atas kerusakan/kerugian yang ditimbulkan dengan langkah-langkah tertentu yang tidak dapat dipadankan dengan nilai material tertentu seperti permintaan maaf dari pelaku/negara, jaminan ketidakberulangan, rehabilitasi, truth telling, hukuman bagi pelaku atau pernyataan melalui putusan hakim (declaratory judgements).60 Berdasarkan uraian penjelasan di atas maka dapat dinyatakan bahwa dalam penyelenggaraan
kepariwisataan
di
Indonesia
dikenal
3
(tiga)
bentuk
pertanggungjawaban yang diemban oleh masing-masing pihak yang berbeda yaitu tanggung jawab wisatawan yang sifatnya berupa penghormatan norma, agama, adat istiadat, budaya dan nilai-nilai masyarakat setempat, pelestarian lingkungan, menjaga keamanan dan ketertiban serta mencegah terjadinya tindakan yang melanggar kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di 60
Abdul Haris Samendawai, 2009, Hak-Hak Korban Pelanggaran HAM yang Berat, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 16 April 2009: 253-267, h. 258, tersedia di www.law.uii.ac.id, diakses 27 November 2014.
84
Indonesia. Selain itu ada pula tanggung jawab pengusaha pariwisata sebagaimana diuraikan pada Pasal 26 UU No. 10/2009 dan Pasal 19 UU No. 08/1999 yang secara khusus mengatur tentang tanggung jawab pengusaha pariwisata untuk mengganti kerugian wisatawan jika pengusaha pariwisata tidak mampu membuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat dari kesalahan konsumen. Tanggung jawab yang terakhir merupakan tanggung jawab yang dimiliki oleh negara dalam melindungi hak berwisata sebagai hak asasi manusian. Tanggung jawab negara sebagaimana diuraikan pada paragraf sebelumnya adalah memberikan kompensasi atas kerugian seseorang atau sekelompok orang yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Indonesia dan atas keterlambatan pemberian kompensasi tersebut dapat dilaporkan ke Pengadilan. Hanya saja yang menjadi permasalahan berikutnya adalah apakah pelanggaran terhadap pemenuhan hak berwisata termasuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
85
BAB III TANGGUNG JAWAB NEGARA ATAS KERUGIAN WISATAWAN DI INDONESIA 3.1. Eksistensi Hak Berwisata sebagai Hak Asasi Manusia di Indonesia Pengakuan hak berwisata sebagai hak asasi manusia sebagaimana diuraikan dalam bab-bab sebelumnya telah diakui dalam ketentuan hukum baik itu hukum nasional maupun hukum Internasional. Indonesia sendiri telah berkomitmen dalam mengakui hak berwisata sebagai hak asasi manusia melalui UU No. 10/2009 dan UU No. 11/2005, selain itu Indonesia telah mengadopsi prinsipprinsip Global Code of Ethics for Tourism kedalam ketentuan-ketentuan UU No. 10/2009 yang berlaku secara nasional di Indonesia. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah sejauh mana Indonesia menunjukkan komitmennya tersebut dan juga bagaimana eksistensi hak berwisata sebagai hak asasi manusia di Indonesia. Pada awalnya kegiatan berwisata di Indonesia merupakan kegiatan yang bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. Kebanyakan orang di Indonesia merasa bahwa kegiatan berwisata merupakan kegiatan yang hanya dilakukan oleh orangorang dari golongan ekonomi menengah atas, sedangkan orang-orang golongan menengah dan menengah kebawah lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan yang sifatnya mendesak seperti kebutuhan pangan, pendidikan dan kesehatan. Belum lagi rendahnya tingkat pendapatan membuat orang-orang menjauh dari kebutuhan untuk berwisata. Seiring perkembangan teknologi dan informasi, kebutuhan masyarakat semakin beranekaragam dan masing-masing kebutuhan tersebut memiliki urgensi 85
86
yang berbeda-beda. Meskipun pada awalnya kebutuhan untuk kegiatan berwisata bukanlah suatu kebutuhan utama, namun dengan adanya paket perjalanan murah, jasa akomodasi yang menawarkan harga yang terjangkau, serta adanya tiket-tiket promo yang dihadirkan oleh jasa transportasi pariwisata memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap kegiatan pariwisata di Indonesia. Adanya paketpaket perjalanan yang dikemas dengan sangat menarik dengan harga terjangkau meningkatkan minat masyarakat untuk melakukan perjalanan wisata baik wisata domestik maupun wisata ke luar negeri. Banyaknya jasa akomodasi yang memberikan fasilitas yang setara dengan fasilitas hotel bintang 5 (lima) namun dengan harga terjangkau semakin mengakomodir kebutuhan masyarakat Indonesia untuk berwisata. Terlebih lagi bagitu banyak maskapai penerbangan yang menghadirkan tiket-tiket promo yang mempermudah dan meningkatkan tingkat mobilitas masyarakat di Indonesia yang salah satu tujuannya adalah untuk berwisata, sehingga kebutuhan berwisata pun menjadi suatu kebutuhan yang bergeser maknanya dari berwisata sebagai kebutuhan golongan ekonomi menengah ke atas menjadi suatu kebutuhan bagi hampir seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Kebutuhan berwisata masyarakat di Indonesia kian meningkat tapi tidak banyak atau tidak semua masyarakat di Indonesia menyadari akan pentingnya berwisata terlebih lagi mungkin masyarakat di Indonesia tidak menyadari bahwa hak berwisata di Indonesia telah diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia berdasarkan UU 10/2009. Kebanyakan masyarakat Indonesia hanya menganggap
87
kegiatan berwisata sebagai kebutuhan tambahan bukan sebagai kebutuhan dasar atau suatu kebutuhan yang dianggap sama dengan hak asasi manusia lainnya. Eksistensi hak berwisata sebagai hak asasi manusia bermula pada konsep hak asasi manusia pada umumnya menurut pendapat Leach Levin yang dikutip oleh Ni Ketut Sri Utari dalam ringkasan disertasinya konsep hak asasi manusia dibagi menjadi 2 (dua) yaitu hak asasi manusia sebagai hak-hak alami yang dikenal dengan istilah natural rights dan hak asasi manusia menurut hukum atau positif rights. Menurut natural rights hak asasi manusia adalah hak - hak yang dimiliki oleh manusia sejak lahir yang tidak bisa dikurangi, sedangkan positif rights berpandangan bahwa hak asasi manusia terlahir dari proses pembentukan hukum dari masyarakat baik secara nasional maupun internasional. Konsep hak asasi sebagai positif right menunjukkan adanya batasan hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang sehingga hak asasi manusia tidak dipandang sebagai hak asasi manusia yang bersifat absolute seperti dinyatakan dalam ketentuan Pasal 28 J UUD NRI 1945. Namun tampaknya UU 39/1999 menganut kedua konsep hak asasi manusia tersebut di atas baik naturan rights maupun positif rights.61 Konsep hak asasi manusia sebagai positif rights erat kaitannya dengan Teori Positivistis dalam teori hak asasi manusia yang menyatakan bahwa eksistensi hak asasi manusia terlahir dari hukum negara sehingga kepastian dan macam-macam hak yang dimiliki diatur dalam undang-undang negara (positif rights).62 Jadi berdasarkan uraian konsep hak asasi manusia yang dikemukakan oleh Leach 61
Ni Ketut Sri Utari, 2013, Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Perspektif Hak Asasi Manusia), (Ringkasan Disertasi) Program Doktor Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h.8. 62
Ni Ketut Sri Utari, h.6.
88
Levin dan teori positivistis dapat dinyatakan bahwa eksistensi hak berwisata sebagai hak asasi manusia di Indonesia harus dilihat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terkait dengan hak asasi manusia dan penyelenggaraan kepariwisataan di Indonesia. Memahami eksistensi hak berwisata sebagai hak asasi manusia sama dengan mengkaji seberapa jauh hak berwisata dilindungi, dihormati dan dipenuhi oleh Negara Indonesia. Adapun dalam Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Volume 36 Nomor 2 Tahun 2012 mengenai The Rights to Tourism dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia telah diuraikan elemen-elemen yang dapat digunakan dalam mengklasifikasikan hak berwisata sebagai hak asasi manusia dibagi menjadi 363 yaitu yaitu siapa pemegang hak tersebut (The Holders), siapa yang berkewajiban untuk mewujudkan hak tersebut (The Duty Bearers) dan apa yang menjadi substansi dari hak yang dimaksud (The Substance) yang mana jika elemen-elemen tersebut diimplementasikan ke dalam hak berwisata menjadi: 1. The Holders (siapa pemegang haknya): Pasal 19 ayat (1) huruf a UU No. 10/2009 menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memenuhi kebutuhan berwisata, sehingga pemegang hak berwisata adalah setiap orang baik itu orang muda, orang bekerja, pensiunan, orang tidak mampu, orang yang memiliki keterbelakangan sampai orang yang memiliki masalah sosial. 2. The Duty Bearers (siapa yang berkewajiban untuk mewujudkannya): The duty bearers bermakna kewajiban untuk menghormati (the obligation to 63
Ni Ketut Supasti Dharmawan, Ni Made Nurmawati,et.al, Loc. Cit.
89
respect), kewajiban untuk melindungi (the obligation to protect) and kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill). Kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia setiap orang lain diatur dalam Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945, sedangkan kewajiban untuk melindungi dan memenuhi hak asasi manusia diatur Pasal 8 dan Pasal 71 UU No. 39/1999. Yang menjadi permasalahannya adalah apabila yang menjadi pemegang hak berwisata sebagai hak asasi manusia adalah setiap orang dari berbagai kalangan, apakah Negara juga harus menanggung biaya wisata yang dilakukan bagi masyarakat yang tidak mampu. Apakah hak berwisata patut lebih diutamakan atau disejajarkan dengan hak pendidikan dan hak kesehatan yang juga merupakan hak asasi manusia yang diakui baik secara nasional maupun internasional. 3. The Substance (apa yang menjadi substansi dari jenis HAM tersebut): substansi dari hak berwisata sebagai hak asasi manusia adalah kegiatan berwisata itu sendiri. Sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya tujuan kegiatan adalah untuk mencari kesenangan sedangkan pengertian wisata adalah kegiatan perjalanan dimana seseorang pergi ke suatu tempat yang berbeda dengan tempatnya melakukan aktivitas sehari-hari dalam jangka waktu kurang dari 100 hari. Bisa dibayangkan jika setiap orang menuntut haknya untuk berwisata dan menuntut biaya dari pemerintah serta memanfaatkan waktu wisatanya selama 99 (Sembilan puluh Sembilan) hari, berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi hak setiap orang tersebut.
90
Elemen-elemen penguji hak asasi manusia tersebut di atas menunjukkan bahwa urgensi hak berwisata berbeda dengan urgensi hak asasi manusia lainnya seperti halnya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak atas pendidikan dan hak atas kesehatan. Hal inilah yang membuat masyarakat Indonesia jauh dari merasakan hak berwisata sebagai hak dasar atau kebutuhan dasar yang harus segera dipenuhi. Berdasarkan teori hierarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow64 yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia dipandang tersusun dalam bentuk hierarki atau berjenjang. Setiap jenjang kebutuhan dapat dipenuhi hanya jika jenjang sebelumnya telah dipenuhi atau terpuaskan yang sifatnya relatif dengan kata lain kebutuhan dalam tingkat lebih rendah harus relative terpuaskan sebelum rang menyadari atau dimotivasi oleh tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Adapun jenjang kebutuhan dari yang paling rendah ke jenjang kebutuhan yang paling terdiri dari: 1. Psycological needs: kebutuhan makan, minum, gula, garam, protein serta kebutuhan istirahat dan seks; 2. Safety needs: kebutuhan keamanan, stabilitas, proteksi, struktur, hukum, keteraturan dan bebas dari rasa takut dan cemas; 3. Love needs/belongingness: kebutuhan kasih sayang, kebutuhan menjadi bagian dari kelompok; 4. Esteem needs: kebutuhan kekuatan, penguasaan, kebutuhan prestise dan penghargaan dari orang lain;
64
Wardalisa, Teori Hirarki Kebutuhan, http://wardalisa.staff.gunadarma.ac.id., diakses 24 Desember 2014.
91
5. Self Actualization needs: kebutuhan orang untuk menjadi yang seharusnya sesuai dengan potensi, realisasi diri dan pengembangan diri, kebutuhan untuk mencari kebahagian dan pemenuhan kepuasan serta menghindari rasa sakit. Kebutuhan sebagaimana diuraikan dalam angka 1 sampai dengan angka 4 dikenal sebagai kebutuhan karena kekurangan (Basic Needs) sementara itu kebutuhan angka 5 disebut sebagai kebutuhan berkembang (Metaneeds). Berdasarkan teori kebutuhan berjenjang dari Maslow tersebut dapat ditemukan bahwa kebutuhan berwisata merupakan kebutuhan yang termasuk dalam Metaneeds bukan tergolong sebagai Basic Needs karena tujuan dari berwisata adalah untuk mencari kesenangan, kepuasan dan juga kebahagiaan. Pemenuhan hak berwisata sebagai hak asasi manusia hingga saat ini belum dilihat dan dirasakan seperti apa bentuknya karena upaya pemerintah dalam pemenuhan hak berwisata sangatlah berbeda dengan pemenuhan hak atas pendidikan dan kesehatan yang begitu gencar dilakukan oleh pemerintah padahal hak berwisata juga merupakan hak yang diatur dalam hak ekonomi, sosial dan budaya sama halnya dengan hak pendidikan dan hak kesehatan. Dalam mengkaji pemenuhan hak berwisata mungkin
sangatlah sulit
untuk menemukan
indikatornya, namun apabila kita samakan kategori pemenuhan hak berwisata dengan hak kesehatan, mungkin kita dapat mengklasifikasikan syarat-syarat yang dapat menyatakan hak berwisata masyarakat Indonesia telah dipenuhi karena hak kesehatan dan hak berwisata sama-sama terkait dengan hak konsumen.
92
Dalam tatanan pemenuhan hak asasi manusia merupakan tantangan bagi suatu pemerintahan untuk memenuhi hak kesehatan terhadap warga masyarakatnya sesuai dengan standar internasional yaitu untuk meningkatkan ketersediaan (availability),
kesempatan
(acceptability)
dan
asas
memperoleh penyesuaian
(accessibility), layanan
asas
penerimaan
kesehatan
masyarakat
(adaptability).65 Jika standar tersebut digunakan sebagai standar pemenuhan hak berwisata sebagai hak asasi manusia mengingat bahwa hak kesehatan sama sifatnya dengan hak berwisata maka pemerintah juga memiliki kewajiban untuk meningkatkan ketersediaan fasilitas kepariwisataan bagi masyarakat Indonesia, meningkatkan dan melaksanakan keterbukaan informasi dan aksesbilitas terhadap kepariwisataan, kegiatan pariwisata yang diselenggarakan oleh pemerintah harus sesuai dengan jiwa bangsa dan dapat diterima oleh masyarakat Indonesia serta adanya layanan-layanan yang mendukung penyelenggaraan kepariwisataan agar dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Hingga saat ini Indonesia belum menunjukkan pencapaian pemenuhan standar hak berwisata sebagaimana dimaksud sehingga dapat dikatakan Indonesia belum memenuhi hak berwisata secara maksimal. Eksistensi hak berwisata sebagai hak asasi manusia kemudian dapat dilihat dari segi perubahan perundang-undangan terkait dengan kepariwisataan dari masa ke masa. Ketika membandingkan UU No. 10/2009 dengan UU Kepariwisataan yang lama (UU No. 09/1990) akan ditemukan beberapa perbedaan yang dipengaruhi oleh pengakuan hak berwisata sebagai hak asasi manusia dalam Pasal 65
Heribertus Jaka Triyana, Aminoto, 2009, Implementasi Standar Internasional Hak Ekosob oleh Pemerintah Propinsi DIY, Mimbar Hukum Volume 21 Nomor 3, h. 662, tersedia di www.mimbar.hukum.ugm.ac.id, diakses 12 Oktober 2014.
93
13 DUHAM yang mengatur tentang kebebasan setiap orang untuk bergerak dan berpindah. Dalam ketentuan UU No. 09/1990 tidak ada pengakuan hak berwisata sebagai hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam bagian menimbang huruf (b) UU No. 10/2009. Sebagai konsekuensinya terdapat ketentuan tambahan yang diatur oleh UU No. 10/2009 guna menyesuaikan ketentuan terkait dengan pengakuan hak berwisata sebagai hak asasi manusia salah satunya dapat dilihat dalam ketentuan menimbang huruf (c) yang menambahkan konsep tanggung jawab dan berkelanjutan yang juga diatur dalam atau diadopsi dari ketentuan GCET.66 Dengan kata lain para pembuat undang-undang telah merancang sedemikian rupa mengenai pengakuan hak berwisata sebagai hak asasi manusia namun eksistensinya jika dilihat dari segi kesadaran masyarakat Indonesia masih dapat dikatakan sangat jauh dari harapan. Meskipun dalam uraian sebelumnya menunjukkan bahwa berwisata merupakan kebutuhan yang bersifat metaneeds atau kebutuhan yang berkembang setelah basic need terpenuhi dan juga perbedaan urgensi pemenuhan hak berwisata dengan hak-hak asasi manusia lainnya seperti hak atas kesehatan dan pendidikan namun UU No. 10/2009 telah menegaskan bahwa Pengusaha Pariwisata dan Pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan jaminan keamanan dan keselamatan bagi wisatawan begitu pula dengan ketentuan dalam UU No. 08/1999 yang menegaskan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab atas kerugian yang dialami konsumen ketika sedang mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya, dan apabila pelaku usaha tidak memenuhi 66
Violetta Simatupang, 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, Alumni, Bandung, h. 48.
94
kewajibannya tersebut maka dapat dilakukan tuntutan pidana terhadap pelaku usaha tersebut (Pasal 19 UU No. 08/1999). Diaturnya beberapa ketentuan terkait dengan hak berwisata sebagai hak asasi manusia dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan seperti di atas menunjukkan bahwa hak berwisata di Indonesia merupakan hak yang bersifat positif rights meskipun masih banyak kasus yang terjadi yang merugikan konsumen akan tetapi tidak ada bentuk pertanggung jawaban yang menunjukkan penghargaan terhadap hak berwisata sebagai hak asasi manusia. Berikut beberapa contoh kasus yang menunjukkan kurangnya penghargaan hak berwisata sebagai hak asasi manusia khususnya hak wisatawan atas jaminan perlindungan keamanan dan keselamatan wisatawan: 1) Kasus kecelakaan yang menimpa Anne Penman McDonald berdasarkan Akte Perdamaian No: 43/AP/BPSK/IX/2014 tanggal 12 September 2014. Kasus ini bermula ketika Anne Penman McDonald menginap di Ramayana Resort & Spa, kecelakaan tersebut menimbulkan cedera yang cukup parah sampai pada saat penelitian ini dilakukan Anne Penman McDonald masih membutuhkan terapi penyembuhan pasca kecelakaan yang terjadi di Hotel tempatnya menginap tersebut. Pihak manajemen hotel selaku penanggung jawab menolak bertanggungjawab dengan dalih kecelakaan terjadi karena kelalaian yang bersangkutan meskipun pada akhirnya pihak hotel setuju memberikan kompensasi sebesar Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah) atas kecelakaan tersebut. Dalam kasus tersebut hanya menunjukkan penyelesaian secara perdata dan bukan suatu
95
tuntutan atas adanya pelanggaran hak berwisata sebagai hak asasi manusia, mengingat bahwa UU Kepariwisataan telah mengatur dengan jelas bahwa bagi wisatawan lanjut usia seperti Anne Penman McDonald harus mendapat perhatian dan perlakuan khusus layaknya wisatawan anak-anak dan kaum disable (Pasal 21 UU No. 10/2009). 2) Kasus
laporan
polisi
dengan
Tanda
Bukti
Lapor
Nomor
TBL/127/VII/2014/BALI/RES BDG67 tanggal 03 Juli 2014 dengan pelapor seorang wisatawan asing asal Australia yang mengaku dirinya telah diperkosa oleh pemilik Villa tempatnya menginap pada saat perayaan hari raya Nyepi 2014 lalu, yang mana hingga saat penelitian ini ditulis pihak kepolisian belum biasa melakukan penyelidikan lebih lanjut dengan alasan kurangnya bukti-bukti atau perbedaan dokumen bukti yang diajukan dengan bukti-bukti yang dibutuhkan oleh pihak kepolisian karena beberapa dokumen yang diajukan berasal dari Australia seperti hasil visum dan lain-lain. Kasus ini menunjukkan tidak adanya suatu kesigapan pihak kepolisian sebagai pihak yang diberi kewenangan oleh Negara untuk menangani kejahatan atau tindak pidana yang menimpa wisatawan. Kejahatan terhadap wisatawan disamakan dengan kejahatan pada umumnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengakuan atau tindakan yang menunjukkan kejahatan terhadap wisatawan merupakan pelanggaran hak asasi manusia untuk berwisata.
67
Polres Badung, 2014, Laporan Kasus Pemerkosaan, Nomor TBL/127/VII/2014/BALI/RES BDG, Badung.
96
3) Kasus bom Hotel J.W. Marriot yang agak sedikit berbeda dengan 2 (dua) kasus yang sebelumnya diuraikan karena berkaitan dengan tindak pidana terorisme yang secara langsung menimbulkan kerugian bagi wisatawan yang menggunakan jasa akomodasi wisata hotel J.W. Marriot. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas kasus tidak pidana terorime di Hotel J.W. Marriot (Bom Marriot) yang dalam putusan tersebut mewajibkan Negara untuk memberikan kompensasi terhadap korban pengeboman tersebut dengan menggunakan Pasal 36 PP pengganti UU sebagai dasar pembuatan keputusan tersebut. Dengan kata lain wisatawan sebagai korban bom Marriot akan mendapat kompensasi atas apa yang menimpa mereka sehingga dapat dikatakan dalam kasus terorisme wisatawan dapat menuntut kompensasi akan tetapi bukan dalam bentuk kompensasi atas pelanggaran hak asasinya untuk berwisata namun sebagai kompensasi atas pelanggaran hak untuk hidup yang dimilikinya sebagai korban kasus bom yang terjadi. Kasus- kasus tersebut selain menunjukkan ketidakmaksimalan Negara Indonesia dalam menangani kasus-kasus yang mengancam keamanan dan keselamatan wisatawan di Indonesia, juga menunjukkan hierarki pertanggungjawaban dalam hal terjadinya kerugian yang dialami wisatawan. Kasus pertama menunjukkan pertanggungjawaban yang dibebankan kepada pengusaha pariwisata atas kerugian yang diderita oleh korban, sedangkan kasus kedua menunjukkan adanya pertanggungjawaban pidana yang sedang diupayakan oleh korban sehingga dengan kata lain tidak semua kerugian yang diderita oleh wisatawan dapat
97
digolongkan sebagai kerugian karena dilanggarnya hak berwisata sebagai hak asasi manusia atau tidak semua kerugian wisatawan dapat secara otomatis dibebankan kepada negara untuk dipertanggungjawabkan atau diberikan ganti kerugian.
Sementara
itu
kasus
J.W.
Marriot
merupakan
wujud
pertanggungjawaban negara atas perbuatan yang berdampak secara internasional dan juga terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang mutlak sehingga negara memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab seperti yang dikemukakan oleh James Crawford dalam bukunya yang berjudul The International Law Commission‟s Articles on State Responsibility bahwa: “Full reparation for the injury caused by international wrongful act shall take the form of restitution, compensation and satisfaction either single or in combinations”68 Yang artinya bahwa dalam hal terjadinya perbuatan melawan hukum yang berdampak secara internasional termasuk dalam hal terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia dari warga negara diluar warga negaranya sendiri, maka negara tersebut memiliki kewajiban untuk memperbaiki atau mengganti kerugian/kerusakan dengan cara memberikan restitusi, kompensasi dan permintaan maaf baik dilakukan secara sendiri-sendiri maupun secara akumulasi. Eksistensi hak berwisata sebagai hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UU No.10/2009, DUHAM, ICESCR dan GCET juga ditentukan berdasarkan keberlakuan ketentuan-ketentuan tersebut di Indonesia. Menurut Meuwissen terdapat 3 (tiga) bentuk keberlakuan yang saling terkait yaitu: 68
James Crawford, 2005, The International Law Commission‟s Article on State Responsibility (Introduction, Text and Commentaries), Cambridge University Press, New York, Page 211.
98
“1) Keberlakuan sosial atau keberlakuan factual: keberlakuan ini berkaitan dengan efektivitas dari kaidah hukum. Dengan itu dimaksudkan derajat yang di dalamnya (dan dengan cara) ia nyata-nyata dipatuhi atau kepatuhan terhadapnya eventual dipaksakan dengan bantuan sanksisanksi.2) Keberlakuan yuridik: Keberlakuan yuridik berarti suatu kaidah hukum dibentuk sesuai aturan-aturan hukum prosedur yang berlaku oleh badan yang berwenang dan lebih dari itu dalam aspek substansial tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum lainnya (terutama yang lebih tinggi).3) Keberlakuan Moral: Keberlakuan moral berkaitan dengan legitimasi atau kualitas dari hukum. Hukum secara etikal atas dasar-dasar yang masuk akal dapat dibenarkan bahwa orang dapat diwajibkan (dianggap terikat) untuk memenuhi aturan-aturan (kaidah-kaidah) dari hukum.”69 Berdasarkan teori keberlakuan tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa ketentuanketentuan terkait dengan pengakuan hak berwisata sebagai hak asasi manusia secara keberlakuan sosial belumlah dapat dinyatakan berlaku mengingat bahwa sanksi-sanksi dalam UU No. 10/2009, DUHAM, ICESCR, dan GCET belumlah berupa saksi yang bersifat tegas jika terjadi pelanggaran hak berwisata sebagai hak asasi manusia meskipun secara keberlakuan yuridik ketentuan-ketentuan tersebut telah diadopsi, diratifikasi dan disahkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan tidak bertentangan baik secara vertikal maupun horizontal dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia. Menurut keberlakuan moral belum ada nilai moral yang menimbulkan adanya keterikatan atau rasa terikat dari setiap orang di Indonesia untuk mematuhi ketentuan-ketentuan dalam UU No. 10/2009, DUHAM, ICESCR dan GCET. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa eksistensi hak berwisata sebagai hak asasi manusia sangatlah jauh jika dibandingkan dengan
69
Meuwissen, 2007, Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, h. 46.
99
eksistensi hak lainnya seperti hak asasi manusia untuk hidup, hak pendidikan, hak kesehatan, hak diperlakukan secara adil di muka persidangan dan juga hak atas kemerdekaan. Hak berwisata merupakan hak yang sifatnya sangat berbeda dari hak asasi lainnya karena kebutuhan berwisata bukanlah kebutuhan mendasar yang dimiliki oleh setiap manusia berbeda halnya dengan kebutuhan pendidikan dan kesehatan meskipun secara eksplisit hak berwisata termasuk dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya seperti halnya hak pendidikan dan hak kesehatan. 3.2. Justisiabilitas Hak Berwisata sebagai Hak Asasi Manusia Isu tentang hak asasi manusia di Indonesia sebenarnya bukan merupakan hal yang baru karena telah disinggung meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea I. Dengan adanya penghargaan terhadap hak asasi manusia maka negara Indonesia dinyatakan sebagai negara yang berdasarkan hukum karena negara hukum harus mengandung elemen-elemen asas pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, asas legalitas, asas pembagian kekuasaan, asas peradilan yang bebas dan tidak memihak dan asas kedaulatan rakyat.70 Hak asasi manusia dapat dibagi menjadi derogable rights yaitu hak yang tidak bersifat absolut yang boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan tertentu dan non-derogable rights yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun seperti hak atas hidup (right to life), hak bebas dari penyiksaan ( right to be free from torture), hak bebas dari perbudakan (right to be free from slavery), hak 70
Mardenis, 2013, Kontemplasi dan Analisis terhadap Klasifikasi dan Politik Hukum Penegakan HAM di Indonesia, Jurnal Rechts Vinding Media Pembinaan Hukum Nasional Volume 2 Nomor 3, tersedia di http://perpustakaan.bphn.go.id, diakses 4 November 2014.
100
bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian, hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai subjek hukum, hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama.71 Pasal 4 UU No. 39/1999 menegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Selanjutnya Pasal 1 ayat (1) ICESCR menegaskan bahwa: “All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.” Jadi setiap orang diberikan hak menentukan nasibnya yang memberikan mereka kebebasan untuk menentukan status politik kebebasan untuk memperoleh kemajuan ekonomi, sosial dan budaya.72 Negara dengan kedaulatan yang mereka miliki memiliki kewenangan mutlak dalam menentukan seperti apa bentuk perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dibidang ekonomi, sosial dan budaya. Beberapa keputusan Mahkamah Konstitusi menunjukkan perspektif hak asasi manusia yang tampak berbeda-beda antara satu kasus dengan yang kasus lain terkait dengan masalah pelanggaran hak asasi manusia. Seperti halnya putusan MK Nomor 065/PUU-II/2004 mengenai pemberlakuan Pasal 43 ayat (1) UU No.
71
Suparman Marzuki, 2013, Perspektif Mahkamah Konstitusi tentang Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum Yudisial Vol. 6 No. 3, Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, h. 197, tersedia di www.komisiyudisial.go.id, diakses 12 November 2014. 72 Indriaswati Dyah Saptaningrum, Op.cit, h. 83.
101
39/1999 yang mengatur keberadaan pengadilan HAM ad hoc yang memeriksa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum UU No. 39/1999 diundangkan yang mana dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menolak dengan menggunakan Pasal 28J UUD NRI 1945 untuk mengecualikan pemberlakuan asas retroaktif tidak berlaku mutlak. Dengan kata lain dalam putusan ini Mahkamah Konstitusi menganut perspektif hak asasi manusia yang partikular karena hak asasi manusia dibatasi oleh hak asasi manusia lainnya. Berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh Refly Harun dam Maheswara Prabandono yang pada pokoknya Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 28 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat yang mana permohonan tersebut ditolak dengan dasar bahwa hak-hak warga negara untuk memilih telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara dan tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Dengan cara berpikir dan dasar pertimbangan yang dipergunakan dapat dipastikan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini menganut perspektif universal. 73 Contoh kasus di atas bukanlah menunjukkan ketidakkonsistenan Mahkamah Konstitusi dalam menyampaikan perspektif mereka terkait dengan hak asasi manusia namun
73
Suparman Marzuki, ibid, h. 195.
102
lebih kepada cara mereka menanggapi hak-hak asasi manusia berdasarkan kasuskasus yang nyata terjadi di Indonesia. Pasal 7 UU No. 39/1999 mengatur bahwa setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum Internasional mengenai hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU No. 39/1999 dan tidak mendapat atau dikhawatirkan tidak memperoleh menyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39/1999). Dalam pelanggaran hak asasi manusia juga dikenal adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yaitu pelanggaran yang menyangkut kemanusiaan dan genosida (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU No. 26/2000)). Hak pokok korban pelanggaran hak asasi manusia berat yang harus dijamin dan dilindungi negara yaitu hak korban atas ketersediaan mekanisme keadilan dan memperoleh ganti rugi segera baik berupa kompensasi atau restitusi, hak atas informasi mengenai hak-haknya dalam mengupayakan ganti rugi dan memperoleh informasi kemajuan proses hukum dalam mengupayakan ganti rugi dan memperoleh informasi kemajuan proses hukum
103
yang berjalan termasuk ganti rugi, hak untuk menyatakan pandangan dan memberikan pendapat, hak atas tersedianya bantuan selama proses hukum dijalankan, hak atas perlindungan dari gangguan/intimidasi/tindakan balasan dari pelaku, perlindungan kebebasan pribadi dan keselamatan baik pribadi maupun keluarganya dan hak atas mekanisme/proses keadilan yang cepat dan sederhana/tidak adanya penundaan.74 Hak berwisata dalam konteks diakui sebagai hak asasi manusia tampaknya bukan merupakan golongan hak asasi manusia yang bersifat mutlak harus dipenuhi (non-derogable rights) sehingga dalam pemenuhannya masihlah berdasarkan ketentuan-ketentuan nasional yang bersifat partikular dan tidak mutlak untuk dipenuhi. Tidak terpenuhinya hak berwisata tidak semata-mata menimbulkan konsekuensi dapat dilakukan suatu penuntutan terhadap negara ataupun orang perorangan atau kelompok berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia dalam berwisata. Dengan kata lain jika wisatawan merasa haknya untuk berwisata dilanggar atau merasa dirugikan maka wisawatan tersebut dapat menyelesaikan permasalahannya secara perdata terlebih dahulu berdasarkan undang-undang terkait seperti UU No. 08/1999 atau UU No. 10/2009. Mengingat bahwa hak berwisata merupakan bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya (EKOSOB) maka harus juga dilakukan kajian mengenai justisiabilitas hak ekosob di Indonesia. Yang dimaksud dengan justisiabilitas adalah kemampuan mengajukan tuntutan secara hukum. Pembahasan mengenai urgensi justisiabilitas
74
hak
ekosob
tengah
Abdul Haris Samendawai, Op.cit, h. 256.
terjadi
diberbagai
tingkat
pertemuan
104
Internasional seperti pertemuan di Maastricht yang membahas tentang a conceptual guide to the interpretation of the rights protected in the ICESCR yang mana kemudian melahirkan pedoman Maastricht tentang tanggung jawab negara yang menyatakan: “The violations referred to in sections II are in principle imputable to the State within whose jurisdiction they occur. As a consequence, the State responsible must establish mechanism to correct such violations, including monitoring investigation, prosecution and remedies for victims.”75 Pedoman tersebut di atas menjelaskan bahwa pelanggaran yang dimaksud pada bagian II (pelanggaran melalui pembiaran dan pelanggaran melalui tindakan) pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dengan negara yang wilayah yurisdiksinya menyangkut dimana pelanggaran tersebut terjadi. Sebagai akibatnya, hal itu merupakan tanggung jawab negara menerapkan mekanisme untuk memperbaiki pelanggaran seperti itu, termasuk pemantauan, penyelidikan, penuntutan dan perbaikan pada korban. Jadi dengan pedoman tersebut di atas negara tempat pelanggaran terjadi memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki pelanggaran tersebut termasuk untuk memantau, menyelidiki, menuntut dan melakukan perbaikan terhadap korban. Jika prinsip ini diterapkan dalam hak berwisata sebagai hak asasi manusia maka negara Indonesia memiliki tanggung jawab atas pelanggaran hak berwisata wisatawan yang sedang berwisata di Indonesia. Sangat disayangkan jika pedoman Maastrich tersebut di atas belum memiliki kekuatan mengikat bagi negara-negara anggota yang ikut membentuk pedoman tersebut, dan sangat disayangkan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya hingga saat
75
Majda El Muhtaj, 2013, Op.Cit, h. 217.
105
ini belum memiliki kejelasan mengenai apakah dimungkinkan dilakukannya suatu penuntutan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut khususnya hak berwisata. Kembali mengutip Pasal 7 UU No. 39/1999 mengenai upaya hukum atau jalan yang dapat ditempuh oleh setiap orang atau sekelompok orang untuk membela dan memulihkan hak-haknya dapat dilakukan melalui upaya hukum nasional dan forum internasional. Indonesia telah membentuk lembaga-lembaga yang dapat membantu seseorang atau sekelompok orang yang merasa hak asasinya dilanggar seperti Komnas Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc untuk menyelesaikan permasalahan hak asasi manusia di masa lalu. Hanya saja kehadiran lembaga-lembaga tersebut belum berkerja secara maksimal dalam menyelesaikan permasalahan hak asasi manusia di Indonesia76 terlebih lagi dalam menyelesaikan masalah hak asasi manusia untuk berwisata. Belum lagi Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc hanya berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang membuat justisiabilitas hak berwisata jauh dari angan-angan. Terlebih lagi Grat van den Heuvel dan Ni Ketut Supasti Dharmawan dalam tulisannya yang berjudul Corporate Responsibility and Corporate Crime Control in the Tourism Industry menyatakan: “Each government needs its corporations, as corporations need the government. This condition makes them mutually dependent and makes robust enforcement difficult. However, if regulations and compliance
76
Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia (Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat), Refika Aditama, Bandung, h. 267.
106
control are too weak, the own population is directly affected by the harm caused.”77 Grat van den Heuvel dan Ni Ketut Suparti Dharmawan berpendapat bahwa setiap pemerintah selalu membutuhkan perusahaan sebagaimana perusahaan membutuhkan pemerintah. Situasi inilah yang membuat mereka saling bergantung dan membuat pelaksanaan semakin sulit. Akan tetapi, jika peraturan-peraturan dan pemenuhannya sangat lemah maka akan berakibat merugikan bagi populasi mereka sendiri. Jadi pelaksanaan atau penegakan hak berwisata sebagai hak asasi manusia akan semakin sulit jika tidak ada kerjasama dan fungsi kontrol yang baik antara pemerintah dan pelaku usaha. Pelanggaran-pelanggaran hak berwisata akan semakin sering terjadi jika Pemerintah tidak membentuk peraturan yang mampu mengakomodir pemenuhan hak berwisata sebagai hak asasi manusia. Sebagaimana uraian tersebut di atas maka dapat dikemukakan bahwa hak berwisata bukanlah hak asasi yang mutlak harus dipenuhi oleh negara dan dapat dikesampingkan dalam keadaan tertentu. Pelanggaran hak berwisata bukanlah merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat akan tetapi jika seseorang merasa haknya untuk berwisata telah dilanggar maka orang tersebut dapat mengambil upaya hukum berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional yang diakui oleh negara Indonesia, akan tetapi mengingat justisiabilitas hak ekonomi, sosial dan budaya masih dalam konteks perdebatan maka masih terdapat keragu-raguan dalam menentukan justisiabilitas hak wisata di Indonesia. 3.3. Bentuk Tanggung Jawab Negara atas Kerugian Wisatawan di Indonesia
77
Faure, Michael Gerbert, et.al. 2014, Sustainable Tourism and Law, Eleven International Publishing, Netherlands, h. 298.
107
Sebagaimana tujuan Negara Indonesia yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 Indonesia Alinea keempat yang menyatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi yang berkeadilan sosial maka Negara
Indonesia
memiliki
kewajiban
untuk
melindungi,
memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang mana kewajiban tersebut dapat ditunjukkan dalam kegiatan penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Indonesia karena aspek pariwisata memiliki kontribusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian bangsa Indonesia yang mengantarkan negara Indonesia untuk mencapai tujuan yang dituangkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Disisi lain tanggung jawab negara dalam hubungan internasional dibatasi dalam bentuk tanggung jawab bagi tindakan-tindakan yang secara internasional dianggap tidak sah baik itu melanggar kontrak yang dibuat ataupun melanggar ketentuan-ketentuan internasional lainnya yang diatur oleh standar-standar internasional. Selain itu tanggung jawab negara juga merupakan tanggung jawab yang terkait dengan sejauh mana negara terlibat atau dapat dilibatkan dalam pengawasan aktivitas-aktivis yang sangat membahayakan seperti percobaan nuklir, pengembangan energi nuklir, ekplorasi ruang angkasa dan sonic boom.78
78
J.G. Starke, 2004, Pengantar Hukum Internasional (Edisi Kesepuluh), Sinar Grafika, Jakarta, h. 393.
108
Negara hanya bertanggung jawab atas tindakannya yang melanggar ketentuan Internasional, dengan kata lain negara harus bertanggung jawab jika negera tersebut melanggar ketentuan internasional dimana dirinya telah mengikatkan diri terhadap ketentuan tersebut salah satunya ketentuan internasional mengenai hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam DUHAM, ICCPR dan International Covenant on ICESCR. Pelanggaran negara terhadap ketentuan-ketentuan tersebut di atas juga diatur dalam standar-standar internasional tertentu seperti seluruh negara di dunia memiliki kewenangan untuk menolak seseorang yang bukan warga negaranya untuk masuk ke wilayah negaranya, hal ini memberikan konsekuensi bahwa negara yang warga negaranya dilarang memasuki wilayah suatu negara tidak dapat menuntut negara yang melarangnya.79 Jadi suatu negara tidak dapat dinyatakan otomatis bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukannya. Dalam konteks penelitian ini, dimana hak berwisata diakui sebagai hak asasi manusia termasuk dalam ketentuan yang bersifat internasional meskipun masih dalam bentuk soft law sebagaimana dinyatakan secara ekplisit dalam ketentuan Pasal 13, Pasal 24 dan Pasal 27 DUHAM. Pasal 7 dan Pasal 15 ICESCR juga mengatur tentang hak setiap orang untuk berwisata, selain itu bagian pembukaan UNWTO Global Code of Ethics for Tourism juga menyatakan bahwa tujuan penyelenggaraan wisata adalah untuk perkembangan perekonomian dunia dan ketaatan terhadap hak asasi manusia. Maka dari itu hak berwisata sebagai hak asasi manusia merupakan ketentuan yang bersifat internasional, melanggar hak
79
J.G. Starke, Ibid, h. 340.
109
berwisata sama dengan melanggar ketentuan internasional sehingga negara harus bertanggung jawab. Tanggung jawab atas kerugian wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata tidak secara otomatis langsung menjadi tanggung jawab negara mengingat adanya hubungan keperdataan antara wisatawan dengan pelaku usaha pariwisata dan juga hubungan hukum antara wisatawan dengan pemangku kepentingan lainnya dalam penyelenggaraan kepariwisataan. Sebagaimana dijelaskan dalam Bab II Penelitian ini terdapat hubungan keperdataan antara wisatawan dengan pengusaha pariwisata yang didasari oleh UU No. 10/2009 dan UU No. 08/1999, dimana salah satu kewajiban pengusaha pariwisata adalah untuk memberikan perlindungan keamanan dan keselamatan wisatawan dan apabila kewajiban tersebut dilanggar maka pengusaha pariwisata akan dikenakan sanksi administratif berdasarkan Pasal 62 UU No. 10/2009. Selain itu UU Perlindungan Konsumen juga mengatur tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen dalam menggunakan atau mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang disediakannya, adapun konsumen diberikan hak untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialaminya dan juga sekaligus konsumen dapat melakukan upaya hukum lainnya berupa tuntutan pidana terhadap pelaku usaha (Pasal 19 UU No. 08/1999). Berdasarkan ketentuan tersebut di atas berarti atas kerugian yang dialami oleh wisatawan
atau
konsumen
jasa
pariwisata
terlebih
dahulu
dimintai
pertanggungjawaban kepada pelaku usaha dan tidak serta merta dapat mengajukan tuntutan kepada negara. Negara hanya membantu melindungi kepentingan wisatawan atau kepentingan umum dengan membuka kemungkinan dilakukannya
110
tuntutan pidana. Jika barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha berbahaya bagi keselamatan orang banyak, barulah negara memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku usaha. Hal sebagaimana diuraikan pada paragraf sebelumnya merupakan konsep kerugian
wisatawan
dalam
konteks
kerugian
yang
diakibatkan
dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang disediakan atau diperjual/belikan. Berbeda halnya dengan jika negara tidak memberikan wisatawan haknya untuk berwisata atau gagal memenuhi hak berwisata yang dimiliki wisatawan yang kemudian menimbulkan kerugian bagi wisatawan baik kerugian materiil ataupun kerugian immateriil. Dalam hukum perlindungan konsumen dikenal bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal timbulnya kerugian konsumen setelah mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang disediakan olehnya, adanya konsep pertanggungjawaban tersebut dikenal sebagai strict liability.
Taynor
mengemukakan bahwa: “A manufacturer is strictly liable in tort when an article he place on the market, knowing that it is to be used without inspections for defect, proves to have a defect that cause injury to a human being.”80 Dalam pernyataannya tersebut Taynor mencoba menjelaskan bahwa pengusaha adalah bertanggung jawab ketika barang yang diperdagangkannya telah diketahui tanpa cacat terbukti menimbulkan kerugian atau kerusakan pada diri manusia. Jadi pengusaha harus bertanggung jawab jika timbul kerugian pada seseorang yang
80
Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 51.
111
mengkonsumsi atau menggunakan barang yang dijualnya. Konsep inilah yang disebut dengan konsep strict liability. Konsep strict liability dalam perundang-undangan di Indonesia terkait dengan penyelenggaraan kepariwisataan dapat ditemukan dalam Pasal 19 UU No. 08/1999. Pasal 19 UU No. 08/1999 secara tegas mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan ganti kerugian atas kerusakan atau kerugian yang dialami oleh konsumen dalam hal ini adalah wisatawan dalam bentuk pemberian santunan, ganti rugi dengan uang, ganti rugi dengan barang yang sama ataupun tunjangan kesehatan. Adapun selanjutnya Pasal 19 juga mengatur bahwa disamping kemungkinan
konsumen
untuk
meminta
ganti
kerugian
tidak
ditutup
kemungkinan untuk dilakukan penuntutan pidana terhadap pelaku usaha kecuali jika pengusaha dapat membuktikan bahwa kerugian yang disebabkan bukan karena kelalaian pelaku usaha (asas pembuktian terbalik). Sehingga jika wisatawan merasa dirugikan oleh pengusaha pariwisata maka wisatawan dapat meminta ganti rugi kepada pengusaha pariwisata tersebut. Berbeda
dengan
Amerika
Serikat
yang
juga
menganut
konsep
pertanggungjawaban strict liability. Konsep strict liability di Amerika Serikat lebih mengedepankan pembuktian dari konsumen atau penggugat jika konsumen menyatakan kerugian tersebut diakibatkan oleh kelalaian pelaku usaha. Meskipun tujuan strict liability adalah untuk melindungi konsumen yang awam terhadap produk yang diperjual-belikan, namun tetap saja konsumen harus membuktikan jika kerugian yang dialaminya adalah disebabkan karena kelalaian pelaku usaha.81
81
Ahmadi Miru, Ibid, h. 52.
112
Konsep pertanggungjawaban tersebut di atas merupakan konsep tanggung jawab dalam hubungan antara konsumen salah satunya wisatawan dengan pelaku usaha dan tidak termasuk dalam konsep pertanggungjawaban negara terhadap kerugian wisatawan terkait dengan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia untuk berwisata. Lalu bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban negara dalam hal terjadinya pelanggaran hak asasi manusia untuk berwisata di Indonesia. Menurut Hans Kelsen konsep pertanggungjawaban hukum pada dasarnya terkait namun tidak identik dengan konsep kewajiban hukum. Seseorang secara individu diwajibkan untuk berperilaku dengan cara tertentu, jika perilakunya yang sebaliknya
merupakan
pertanggungjawaban
syarat
dibagi
diberlakukannya menjadi
tindakan
pertanggungjawaban
paksa.
Adapun
absolut
dan
pertanggungjawaban berdasar kesalahan. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan biasanya mencakup kelalaian. Kelalaian terjadi ketika dibiarkannya atau tidak dicegahnya suatu kejadian yang tidak dikehendaki dari sudut pandang hukum merupakan hal yang terlarang. Sedangkan pertanggungjawaban absolut kejadian-kejadian yang tidak diperkirakan atau tidak disengaja yang tidak ada hubungannya dengan kesalahan atau pelanggaran.82 Berdasarkan pendapat Hans Kelsen tersebut dapat dikatakan bahwa kewajiban menimbulkan tanggung jawab, jika negara atau pemerintah memiliki kewajiban maka negara atau pemerintah tersebut harus bertanggung jawab jika kewajibannya tersebut tidak dilaksanakan dan menimbulkan kerugian. Dalam UU No. 10/2009 telah diatur bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib 82
Hans Kelsen, 2013, Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), Nusa Media, Bandung, h. 136.
113
memberikan perlindungan keamanan dan keselamatan wisatawan di Indonesia (Pasal 23 UU No. 10/2009) maka idealnya negara juga harus bertanggung jawab jika negara melalaikan kewajibannya dalam melindungi keamanan dan keselamatan wisatawan. Begitu pula dengan bentuk pertanggungjawaban jika negara lalai dalam melindungi keamanan dan keselamatan wisatawan sesuai dengan ketentuan UU No. 10/2009 maka negara harus bertanggung jawab berdasarkan kesalahan yang dilakukannya (lalai memenuhi kewajiban), sedangkan jika terlepas dari kelalaian, pelanggaran ataupun kesalahannya tetap terjadi keadaan yang tidak diinginkan oleh hukum maka negara harus bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan. Selain itu ada pula konsep strict liability yang telah dibahas pada paragraf sebelumnya. Selanjutnya Hans Kelsen berpendapat bahwa terhadap kerugian yang ditimbulkan dari keadaan yang bertentangan dengan hukum akan timbul kewajiban untuk mengganti kerugian atau perbaikan. Seorang individu menurut hukum positif dapat menghindari sanksi dengan melakukan penggantian atas kerugian yang juga merupakan bagian dari pertanggungjawaban.83 UU No. 10/2009 dan UU No. 08/1999 tidak mengatur tentang kewajiban negara dalam memberikan pertanggungjawaban jika terjadi pelanggaran hak berwisata sebagai hak asasi manusia. Undang-undang tersebut hanya mengatur tentang pertanggungjawaban pelaku usaha dalam melanggar hak-hak konsumen dan juga jika terjadi kerugian wisatawan atau konsumen jasa pariwisata. Namun
83
Hans Kelsen, Ibid, h. 140.
114
jika kita mengamati beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang masih terkait dengan keamanan dan keselamatan wisatawan seperti PP Pengganti UU No. 1/2002, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU No. 24/2007), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 13/2006) sudah terdapat ketentuan yang lebih jelas mengenai tanggung jawab negara atas kerugian yang ditimbulkan. PP Pengganti UU 1/2002 Bab VI secara khusus mengatur tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi atas terjadinya tindak pidana terorisme. Pasal 36 ayat (1) PP Pengganti UU No. 1/2002 mengatur setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi. Adapun kompensasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 36 ayat (1) PP Pengganti UU No. 1/2002 pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Pemberian kompensasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan (Pasal 36 ayat (2) PP Pengganti UU No. 1/2002). Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri (Pasal 38 ayat (1) PP Pengganti UU No. 1/2002). Seperti yang telah kita alami selama ini, kasus-kasus tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia seperti kasus bom Bali atau kasus bom J.W. Marriot, seringkali pelaku tindak pidana terorisme memilih lokasi-lokasi yang erat kaitannya dengan wisatawan dan korban yang berjatuhanpun lebih banyak dari kalangan wisatawan, maka sudah sangat wajar jika korban yang juga merupakan wisatawan dapat meminta kompensasi atas musibah yang menimpanya.
115
Pasal
57
UU
No.
24/2007
menyatakan
bahwa
penyelenggaraan
penanggulangan bencana tahap pasca bencana meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 24/2007
bahwa
pemerintah dan pemerintah daerah
dalam
menjadi
penanggung jawab
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Jadi pemerintah dan pemerintahan daerah merupakan pihak yang bertanggung jawab atas penanggunalangan bencana di Indonesia. Lalu apa sajakah peristiwa yang dapat dikatakan sebagai bencana. Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 1 angka 2 dan 3 UU No. 24/2007 menjelaskan yang dimaksud dengan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor, gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemic dan wabah penyakit. Dilihat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi yang dapat dikategorikan sebagai bencana maka sangat dimungkinkan jika wisatawan merupakan korban yang cukup potensial jika terjadi bencana-bencana tersebut di atas seperti bencana tsunami, wabah penyakit, dan terorisme. Untuk itu wisatawanpun dapat dikategorikan sebagai korban dari terjadinya suatu bencana di Indonesia sehingga wisatawan juga berhak atas rehabilitasi dari pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam UU PB.
116
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No. 13/2006 yang dimaksud dengan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Pasal 7 UU No. 13/2006 menegaskan bahwa korban melalui LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi & Korban) berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. Melihat besarnya potensi wisatawan menjadi korban dalam berbagai tindak kejahatan dan bencana yang terjadi di Indonesia maka sangatlah diperlukan adanya perlindungan wisatawan sebagai korban sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan saksi dan korban termasuk adanya kemungkinan bagi wisatawan selaku korban untuk menuntut kompensasi dan restitusi. Jadi berdasarkan uraian pembahasan sebelumnya di atas dapat dikemukakan bahwa bentuk tanggung jawab yang harus dilakukan oleh negara atau Pemerintah dalam hal ini adalah berupa tanggung strict liability karena selain mengedepankan kepentingan wisatawan juga mementingkan pembuktian unsur kesalahan dalam pemberian tanggung jawab. Adapun tanggung jawab yang diberikan adalah berupa pemberian kompensasi kepada wisatawan yang menjadi korban atas tindak pidana terorisme dan bencana alam atau non-alam yang terjadi di Indonesia.
117
BAB IV PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DAN KEADAAN YANG MEMUNGKINKAN DILAKUKAN TUNTUTAN GANTI RUGI WISATAWAN KEPADA NEGARA 4.1. Konsep Pelanggaran Hak Asasi Manusia Jika pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai adanya kemungkinan dilakukannya penuntutan terhadap pelanggaran hak berwisata sebagai hak asasi manusia yang pada kesimpulannya korban dan/atau ahli warisnya dapat mengajukan permohonan kompensasi kepada negara atas kerugian yang dideritanya yang kemudian permohonan tersebut akan diputus dalam putusan pengadilan yang berwenang. Namun pada bab ini akan dibahas bentuk-bentuk perbuatan atau tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang dapat dimintai pertanggungjawaban kepada pihak yang terbukti telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia khususnya negara atau aparat negara. Adapun dalam membahas tentang hak asasi manusia haruslah diingat bahwa hak asasi manusia dapat dibagi menjadi hak yang dapat dikurangi pemenuhannya dan hak yang tidak dapat dikurangi pemenuhannya (non derogable rights), pelanggaran terhadap non derogable rights merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan secara mutlak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian yang ditimbulkan. Lalu hak-hak apa sajakah yang tidak dapat dikurangi, dihalangi, dibatasi atau dicabut yang jika dilakukannya hal tersebut mengakibatkan terlanggarnya hak asasi manusia seseorang atau sekelompok orang. 117
118
Berdasarkan UUD NRI 1945 terdapat beberapa pasal yang memuat beberapa hak dasar yaitu: hak untuk hidup dan mempertahankan hidup; hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan; hak atas kelangsungan hidup, pertumbuhan, perkembangan serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi; hak untuk pengambangan diri; hak atas jaminan dan kepastian hukum; hak untuk mendapat pekerjaan dan pengupahan yang layak; hak untuk mendapat kesempatan yang sama dalam pemerintahan; hak atas status kewarganegaraan; hak kebebasan beragaman dan beribadah; hak atas pendidikan dan pengajaran; hak atas kemerdekaan
berpikir;
hak
atas
kebebasan
berserikat,
berkumpul
dan
mengeluarkan pendapat; hak atas komunikasi dan akses kepada informasi; hak atas perlindungan dan situasi bebas dari ancaman; hak atas kesejahteraan lahir batin; hak untuk tindak dituntut dengan ketentuan yang berlaku surut; hak atas kemudahan untuk mendapat persamaan dan keadilan; hak atas hak milik pribadi; hak atas jaminan sosial; hak bebas dari perlakuan diskriminatif dan hak atas indentitas budaya.84 Hak-hak tersebut di atas merupakan hak yang tidak boleh dilanggar berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. Hak-hak tersebut pada dasarnya juga merupakan hak yang telah diatur dalam ketentuan hukum internasional yaitu International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights (ICESCR) yang kemudian diratifikasi UU No. 11/2005 dan UU No. 12/2005. Adapun ketentuan mengenai
84
Marianus Kleden, 2008, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal, Lamalera, Yogyakarta, h.4.
119
hak berwisata sebagai hak asasi manusia secara eksplisit dapat ditemukan dalam ketentuan ICESCR dan juga ketentuan dalam Pasal 28E ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 tentang hak atas mobilitas fisik yang mana hak berwisata sangat berkaitan erat dengan hak tersebut. Pasal 1 angka 6 UU No. 39/1999 menjelaskan pengertian pelanggaran hak asasi manusia sebagai setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU No. 39/1999 dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.Menurut UU No. 39/1999 perbuatan yang dapat mengurangi, mengahalangi, membatasi ataupun mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang terlebih lagi dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja bahwa juga dikarenakan kelalaian yang melawan hukum merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Membahas lebih lanjut mengenai konsep pelanggaran hak asasi manusia, UU No. 26/2000 juga mengatur tentang hal-hal yang dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pasal 7 UU No. 26/2000 mendefinisikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok,
120
mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat pada anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan secara fisik, memaksakan tindakan-tindakan yang mencegah kelahiran di dalam kelompok dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (Pasal 8 UU No. 26/2000). Kemudian
yang dimaksud dengan kejahatan terhadap
kemanusiaan
berdasarkan Pasal 9 UU No. 26/2000 adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan kepada penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu, penghilangan orang secara paksa atau kejahatan apartheid. Berdasarkan penjelasan dalam ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat dipahami bahwa yang termasuk dalam perbuatan pelanggaran hak asasi manusia adalah perbuatan yang berkaitan dengan hal-hal yang menghalangi, mengurangi, membatasi dan mencabut hak asasi manusia seseorang atau sekelompok orang dan dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia dan juga terdapat kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimana kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sehingga dalam hal ini pelanggaran hak berwisata tidak termasuk dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia yang berat melainkan
121
pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 dan ICESCR. Mengutip kembali Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tentang bom J.W. Marriot yang memutus pemberian kompensasi dan restitusi terhadap korban kejahatan terorisme tersebut bukan hanya merupakan cerminan atas konsekuensi pelanggaran hak asasi manusia yang berat melainkan konsekuensi atas pelanggaran hak asasi manusia untuk untuk melindungi keamanan dan keselamatan setiap orang termasuk berwisata. Hak berwisata sebagai hak asasi manusia juga diatur secara eksplisit ddalam Pasal 27 (1) DUHAM sebagai suatu hak yang harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh negara seperti pendapat dari Kanger yang menyatakan: “Article 27 (1) is a right of freedom to participate in the cultural life of the community and a right of service in the sense that the State should provide the conditions under which both the arts and the scientific benefit can be enjoyed. With regard to the tripartite typology of State obligation, these obligations concern the obligation to respect as well as to fulfill. Perhaps, it also concerns the obligation to protect, in the sense that the State should prevent interference by other.”85 Menurut Kinger Pasal 27 (1) DUHAM merupakan hak atas kebebasan untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan hak atas pelayanan negara dalam memberikan jaminan terhadap kebutuhan seni dan ilmu pengetahuan. Berdasarkan teori trilogi kewajiban negara, kewajiban-kewajiban tersebut merupakan kewajiban untuk menghormati dan juga kewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Mungkin termasuk dalam kewajiban negara untuk melindungi hak tersebut dalam hal mencegah adanya intervensi dari pihak lainnya. 85
Yvonne M. Donders, 2002, Towards a Right to Cultural Identity, Intersentia, New York, Page 143.
122
Guna membahas mengenai tanggung jawab negara atas pelanggaran hak asasi manusia maka ada 2 (dua) hal berdasarkan ketentuan Internasional yang dapat digunakan sebagai indikator timbulnya tanggung jawab negara yaitu pelanggaran kewajiban atau tidak dilaksanakannya beberapa kaidah tindakan oleh suatu negara yang dianggap menimbulkan tanggung jawab, dan kewenangan atau kompetensi badan negara yang melakukan kesalahan. Suatu negara tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya sebagai dasar alasan untuk menghindari suatu kewajiban internasional.86 Jika negara telah terbukti tidak melakukan kewajibannya dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak berwisata atau jika negara tersebut memiliki kompetensi atau kewenangan baik terhadap wilayah atau aparat yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban negara tersebut maka negara tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan meskipun hukum nasional memperbolehkan hal tersebut terjadi namun secara internasional negara tersebut telah melanggar kewajiban internasional yang dimilikinya yang dalam hal ini merupakan kewajiban berdasarkan DUHAM dan ICESCR yang telah diakui sebagai hukum internasional.
4.2. Sebab-Sebab Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Memungkinkan Dilakukannya Penuntutan Ganti Rugi Banyak orang yang menganggap bahwa konsep hak asasi manusia adalah senjata dari negara-negara Barat yang dipaksakan secara sepihak kepada negara-
86
T. May Rudy, 2006, Hukum Internasional 1, Refika Aditama, Bandung, h. 84.
123
negara berkembang di dunia. Selain itu ada pula yang beranggapan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia bukanlah tanggung jawab negara melainkan juga merupakan tanggung jawab individu sehingga muncul istilah kewajiban asasi manusia. Padahal berdasarkan ketentuan-ketentuan Internasional seperti DUHAM dan beberapa ketentuan nasional seperti UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39/1999 telah ditegaskan bahwa perwujudan hak asasi manusia sepenuhnya adalah kewajiban negara. Negara harus menjalankan kewajiban pemenuhan hak asasi manusia dalam bentuk antara lain penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) dan memenuhi (to fulfill).87 Vienna Declaration and Program of Action (VDPA) bagian 1 paragraf 1 memulai dengan konferensi dunia tentang hak asasi manusia menegaskan kembali komitmen serius semua negara untuk memenuhi kewajiban mereka untuk mempromosikan penghormatan universal serta ketaatan dan perlindungan dari semua hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang sesuai dengan piagam PBB, instrumen lain yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan hukum internasional. Posisi tegas VDPA ini menempatkan negara/pemerintah kian terikat dengan kewajibannya untuk memenuhi hak asasi manusia setiap orang yang juga mengharuskan mereka untuk bertindak aktif dalam menegakkan hak asasi manusia dan berbuat segala kemungkinan untuk mencegah dan menghindari adanya pelanggaran hak asasi manusia.88
87 88
Marianus Kleden, Op.cit, h.14
Hamid Awaludin, 2012, HAM (Politik Hukum & Kemunafikan Internasional), Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. 154.
124
Begitu pula dengan kewajiban negara Indonesia dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak berwisata sebagai hak asasi manusia setiap orang yang berada di Indonesia. Indonesia dituntut untuk mengambil segala langkah guna mencegah dan menanggulangi pelanggaran hak asasi manusia karena negara Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan hak asasi di Indonesia. Namun dalam pelaksanaan dan penentuan suatu peristiwa atau tindakan yang dapat dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia sangatlah sulit dan menjadi tantangan tersendiri dalam menentukan siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi dan apakah peristiwa tersebut dapat dikatakan suatu pelanggaran hak asasi manusia, Seperti yang dikemukakan oleh Achmad Ali dalam bukunya yang berjudul Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence)
termasuk
Interpretasi
Undang-Undang
(Legisprudence): “Sepanjang di dalam peristiwa pemerkosaan yang dilakukan oleh seseorang anggota TNI terhadap seorang perempuan di Aceh tidak memenuhi unsur sistematik dan bersifat meluas, maka pemerkosaan itu hanya tindakan individual yang hanya bias dijerat oleh Pasal 258 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) yaitu delik pemerkosaan”89 Menurut Achmad Ali tidak semua peristiwa pemerkosaan merupakan pelanggaran hak asasi manusia karena harus ada unsur-unsur tambahan yang harus dipenuhi guna mengkategorikan bahwa pemerkosaan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia sehingga seseorang tidak boleh sembarangan dalam menyatakan atau melakukan penuntutan terhadap suatu peristiwa dengan 89
Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 488.
125
alasan bahwa peristiwa tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah, perbuatan apa saja yang dilakukan oleh negara sehingga negara dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Mengingat bahwa hak berwisata merupakan salah satu bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya, maka dalam membahas pelanggaran terhadap hak berwisata sudah sepatutnya menggunakan indikator yang sama dengan pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai acuan dalam menentukan arti dan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia tersebut. Berdasarkan Pedoman Maastricht pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya memiliki arti pelanggaran dalam melaksanakan salah satu kewajiban, kegagalan melaksanakan kewajiban mengenai tindakan (obligation of conduct) dan kewajiban mengenai hasil (Obligation of result), pembatasan terhadap hak-hak yang diakui secara diskriminatif, kegagalan negara memenuhi kewajiban dasar minimum, kegagalan pemenuhan hak dengan alasan keterbatasan sumber daya, pelanggaran dalam bentuk perbuatan atau pembiaran,diskriminasi gender, tidak mampu memenuhi, pelanggaran melalui tindakan pejabat dan pelanggaran melalui pembiaran.90 Perbuatan-perbuatan tersebut di atas merupakan perbuatan yang dapat dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia oleh negara berdasarkan pedoman Maastricht yang kemudian dikenal sebagai Prinsip Limburg. Jika negara Indonesia telah terbukti melakukan perbuatan-perbuatan tersebut di atas
90
Ifdal Kasim, et.al., 2001, Hak Ekonomi, Sosial & Budaya, Elsam, Jakarta, h. 374.
126
khususnya dalam hal pelaksanaan hak berwisata sebagai hak asasi manusia maka Indonesia dapat dinyatakan telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Terhadap pelanggaran tersebut di atas dapat dilakukan beberapa bentuk pertanggungjawaban oleh negara yaitu: 1. tanggung
jawab
negara
untuk
menerapkan
mekanisme
untuk
memperbaiki pelanggaran seperti itu termasuk memantau penyelidikan, penuntutan, dan ganti rugi bagi para korban; 2. di bawah kondisi dominasi asing diingkarinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya mungkin tak dapat dipisahkan dengan perilaku negara yang melaksanakan control efektif atas wilayah yang bersangkutan; 3. negara bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang timbul dari kegagalan untuk melaksanakan pengawasan yang ketat terhadap tingkah laku para pelaku non-negara tersebut;91 Jadi perlanggaran hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab negara bukan hanya berasal dari tindakan negara yang melakukan pelanggaran tetapi negara juga bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh para pelaku non-negara, baik itu perusahaan multinasional maupun organinasasi internasional karena negara juga memiliki peran dalam mencegah pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga. Adapun bentuk tanggung jawab yang diberikan juga dapat berupa pemberian ganti rugi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia.
91
Ibid, h. 383.
127
Jika bentuk pelanggaran dan pertanggungjawaban yang diberikan oleh negara terkait dengan tindak pidana terorisme seperti kasus bom di hotel J.W. Marriot adalah sebagai cerminan tanggung jawab negara dalam bentuk melakukan penyidikan atas tindak pidana terorisme tersebut, penuntutan terhadap pelaku kejahatan terorisme dan pemberian ganti rugi atau kompensasi kepada korban dan/atau ahli warisnya, maka tanggung jawab tersebut bukan hanya semata-mata diberikan karena negara melakukan pelanggaran hak asasi manusia, namun karena negara dianggap tidak mampu mencegah atau melindungi hak-hak setiap korban dalam peristiwa tersebut. Kejadian tersebut juga memberi gambaran bahwa pemberian kompensasi bukan hanya disebabkan karena negara telah gagal memenuhi hak berwisata para korban bom akan tetapi sebagai bentuk tanggung jawab negara karena tidak mampu melindungi korban dari pelanggaran hak lainnya seperti hak untuk hidup sebagai hak yang bersifat non-derogable rights dari pihak ketiga. Dengan kata lain menurut hematnya, hak berwisata bukanlah hak yang bersifat mutlak harus dilindungi (derogable rights) namun di dalam hak berwisata tersebut terdapat hakhak asasi lainnya baik yang bersifat non-derogable rights seperti hak untuk hidup yang dijamin oleh jaminan perlindungan keamanan dan keselamatan saat berwisata dan hak untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagai pekerja di bidang pariwisata maupun derogable rights seperti hak atas kebebasan bergerak dan berwisata.
berpindah-pindah (freedom of movement) dengan tujuan untuk
128
Berbicara mengenai pelanggaran hak asasi manusia maka erat kaitannya dengan sebab-sebab yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Berdasarkan teori Conditio Sine Qua Non yang dikemukakan oleh Von Buri bahwa musabab adalah tiap-tiap syarat yang tak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat. Tiap-tiap syarat adalah sama nilainya (equivalent) karena menurut Von Buri tidak ada perbedaan antara syarat dan musabab.92 Von Buri juga berpendapat bahwa semua faktor yaitu semua syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan tidak dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang bersangkutan harus dianggap sebab (causa) akibat itu. Tiap faktor yang dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor yang adanya tidak perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan tidak diberi nilai. Demikian sebaliknya tiap faktor yang tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor tersebut, yaitu yang adanya perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan harus diberi nilai yang sama.93 Menurut teori Conditio Sine Qua Non dari Von Buri tersebut di atas suatu sebab merupakan rangkaian dari faktor-faktor yang menimbulkan akibat sehingga sebab tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari faktor-faktor yang menyebabkan akibat itu terjadi. Jika teori ini diaplikasikan pada pelanggaran hak berwisata sebagai hak asasi manusia dan tanggung jawab negara atas pelanggaran hak berwisata sebagai hak asasi manusia maka setiap pelanggaran dan kerugian yang dialami oleh wisatawan merupakan tanggung jawab dari negara karena negara gagal dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia untuk 92 93
C.S.T. Kansil, 2007, Latihan Ujian Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 119. Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 169
129
berwisata di Indonesia. Contoh kasus bom Bali yang terjadi akibat tindak pidana terorisme yang menimbulkan korban jiwa dan juga kerugian bagi wisatawan yang menjadi korban pengeboman. Kerugian yang timbul bukan hanya semata-mata disebabkan oleh pelaku tindak pidana terorisme tetapi juga merupakan tanggung jawab pelaku usaha pariwisata yang tidak atau kurang memberikan jaminan keamanan dan keselamatan wisatawan di lokasi meledaknya bom tersebut. Dan yang paling penting kerugian tersebut terjadi juga disebabkan karena Negara tidak melakukan pengawasan yang baik atau Negara Indonesia telah gagal mencegah terjadinya kejahatan tersebut dan Negara Indonesia telah gagal melindungi setiap orang termasuk wisatawan yang berwisata di lokasi meledaknya bom. Jadi dalam kasus bom Bali terdapat tiga pihak yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami yaitu pelaku bom Bali, pengusaha pariwisata dan Negara (Pemerintah/Pemerintah Daerah). Masing-masing faktor penyebab dalam kasus bom Bali memiliki nilai yang sama dalam menimbulkan sebab yang mengakibatkan kerugian bagi para korban musibah bom Bali dimana faktor-faktor tersebut tidak dapat dikesampingkan. Jika saja Negara (Pemerintah/Pemerintah Daerah) memperketat sistem keamanan dan mengawasi arus pergerakan setiap orang yang masuk dan keluar wilayah yurisdiksi Negara Indonesia maka para pelaku tindak pidana terorisme tersebut tidak akan memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan tersebut. Terlebih lagi jika Pemerintah dan/atau pemerintah daerah telah membuat kebijakankebijakan tertentu yang terkait dengan pencegahan tindak pidana terorisme maka kejadian bom Bali mungkin tidak akan terjadi.
130
Tidak terlepas dari tanggung jawab negara, pelaku usaha pariwisata juga seharusnya meningkatkan fungsi keamanan dan keselamatan di wilayah usahanya. Pelaku usaha harus lebih selektif lagi dalam menentukan siapa dan bagaimana orang-orang yang bisa masuk dalam wilayah usaha mereka. Pelaku usaha juga memiliki kewajiban dalam memantau setiap gerak gerik konsumen yang ada di wilayah usaha mereka baik untuk melihat tingkat kepuasan konsumen ataupun untuk menangkap gerak gerik yang mencurigakan dari orang-orang yang masuk ke wilayah usaha mereka. Begitu pula dengan pelaku kasus bom Bali termasuk orang yang mempengaruhi atau orang yang menjadi dalang atas terjadinya tindak pidana bom Bali dan pihak yang membantu tindak kejahatan tersebut merupakan orang-orang yang juga bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Rangkaian-rangkaian sebab tersebut di atas merupakan faktor penyebab terjadinya tindak pidana terorisme yang menimbulkan kerugian yang signifikan bagi korban bom Bali dan masyarakat Bali secara keseluruhan, karena kasus tersebut menyebabkan menurunnya tingkat kunjungan wisatawan khususnya kunjungan wisatawan mancanegara yang mengakibatkan banyak usaha pariwisata yang gulung tikar sehingga meningkatkan angka pengangguran di Bali. Kasus tersebut memiliki dampak yang meluas yang tidak hanya dirasakan wisatawan, namun dalam hal ini wisatawanlah yang mengalami kerugian baik kerugian material maupun immaterial terbesar dalam kejadian tersebut mengingat pada awalnya wisatawan memilih Bali sebagai destinasi wisata mereka guna menemukan tempat rekreasi, berlibur dan mencari hiburan yang paling tepat dengan selera mereka. Dalam merencanakan liburan tersebut mereka sudah
131
menghabiskan begitu banyak biaya baik untuk biaya transportasi, akomodasi, asuransi, makanan dan minuman serta untuk mempersiapkan hal lainnya yang mereka butuhkan untuk menunjang perjalanan wisata mereka seperti biaya visa atau ijin kunjungan ke Indonesia. Sesampainya di Bali tentunya mereka memiliki ekspektasi liburan yang menyenangkan dan memberikan kenangan mendalam bagi mereka ataupun orang-orang yang diajak untuk berlibur bersama. Namun pada kenyataannya kesenangan yang hendak mereka cari harus dibayar dengan penderitaan yang ditimbulkan dari peristiwa bom Bali dimana nyawa mereka terancam atau bahkan hilang, timbulnya cacat permanen pada diri mereka, kehilangan rekan dan kerabat yang tentunya menimbulkan penderitaan yang begitu mendalam. Menurunnya jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia khususnya Bali menimbulkan dampak yang cukup panjang dan meluas sehingga kejadiankejadian serupa harus segera dicegah dan lebih dari itu upaya pemulihan bagi korban peristiwa tersebut juga menjadi poin yang terpenting dalam menjaga stabilitas penyelenggaraan kepariwisataan di Indonesia. Andaikata peristiwa seperti bom Bali kembali terjadi atau tidak terelaknya setidaknya Pemerintah sudah harus memiliki kebijakan untuk penanggulangi dampak dari peristiwa tersebut khususnya dari sisi wisatawan sebagai korban, karena wisatawan selain berperan sebagai konsumen wisatawan juga berperan sebagai media pemasaran yang menentukan stabil atau tidaknya penyelenggaraan kepariwisataan disuatu wilayah destinasi wisata.
132
4.3.
Keadaan-Keadaan
yang
Memungkinkan
Negara
Melakukan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia sebagai hak yang hakiki dimiliki oleh setiap manusia merupakan hak yang terdiri dari hak yang mutlak harus dipenuhi (non-derogable rights) dan hak yang dapat dikesampingkan pemenuhannya (derogable rights) berdasarkan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional. Dalam tatanan negara dalam keadaan normal hak-hak asasi tersebut harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi apapun keadaannya tanpa membeda-bedakan latar belakang sosial, agama dan budaya dari masing-masing perseorangan. Negara merupakan pilar utama dalam menjaga dan memenuhi hak-hak asasi setiap manusia yang ada di Indonesia baik dengan cara membentuk kebijakankebijakan terkait dengan masing-masing hak asasi yang diakui dan juga membentuk kerangka kerja penanggulangan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia karena negara tidak hanya bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya namun negara juga bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam lingkup terjadinya kegagalan dan kelalaian dalam melindungi hak asasi yang telah diakui baik secara nasional maupun internasional. Sebagaimana diuraikan dalam sub bab sebelumnya tentang jenis-jenis pelanggaran hak asasi manusia yang dapat dilakukan oleh suatu negara khususnya negara Indonesia timbul suatu pertanyaan apakah konsekuensi atas pelanggaran tersebut harus senantiasa menjadi tanggung jawab negara tanpa meneliti lebih lanjut mengenai sebab-sebab yang melatarbelakangi pelanggaran yang terjadi.
133
Mengutip teori dari Von Buri mengenai sebab-sebab yang menimbulkan akibat dalam menentukan siapa yang akan bertanggung jawab dalam suatu peristiwa, apakah ada suatu penyebab yang dapat digunakan sebagai alasan pemaaf atas terjadinya suatu pelanggaran hak asasi manusia seperti halnya alasan pemaaf atas terjadinya suatu tindak pidana berdasarkan teori dalam hukum pidana. Menurut pendapat Jim Ife dalam bukunya yang berjudul Human Right and Social Work: “It is clear that human rights impose some obligation on the state to ensure that those rights are respected, protected and realized. But before examining how this can be achieved, and its implications for social work, we need to examine the problematic role of the state in contemporary society.”94 Jim Ife berpendapat bahwa sudah jelas hak asasi manusia menimbulkan beberapa kewajiban pada negara untuk memastikan jika hak-hak tersebut dihormati, dilindungi dan terealisasi. Tapi, sebelum memikirkan bagaimana hal tersebut bisa tercapai dan implikasinya terhadap kehidupan sosial, kita perlu memikirkan tentang permasalahan pengaturan suatu negara dalam masyarakat masa kini. Berdasarkan pendapat Jim Ife tersebut di atas dapat ditarik suatu gambaran bahwa dalam melakukan kewajibannya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia, suatu negara harus memperhitungkan permasalahan yang melanda negara tersebut. Dengan kata lain negara harus memperhitungkan cara menyelesaian permasalahan tersebut sebelum membentuk suatu kebijakan guna menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia setiap orang disuatu wilayah negara. Hal ini berarti penegakan hak asasi manusia di suatu negara 94
Jim Ife, 2009, Human Rights And Social Work (Toward Rights-Based Practice), Chambridge University Press, New York, Page 104.
134
berbeda-beda menurut keadaan negara pada saat itu. Terlepas dari penegakan hak asasi manusia pada saat negara dalam keadaan biasa, bagaimana penegakan hak asasi manusia dalam keadaan darurat. Apakah ada alasan tertentu yang memungkinkan negara melakukan pelanggaran hak asasi manusia tanpa harus bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut. Menurut Kim Lane Scheppele keadaan the state of exception dapat digambarkan sebagai: “The situation in which a state is confronted by a mortal threat and responds by doing things that would never be justifiable in normal times, given the working principles of the state. The state of exception uses justifications that only work in extremis, when the state is facing a challenge so severe that it must violate its own principles to safe itself.”95 Menurut Kim Lane Scheppele yang dimaksud dengan keadaan darurat adalah keadaan dimana suatu negara dihadapkan pada ancaman hidup-mati yang memerlukan tindakan responsif yang dalam keadaan normal tidak mungkin dapat dibenarkan menurut prinsip-prinsip yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Keadaan pengecualian itu menggunakan justifikasi hanya menyangkut hal-hal yang bersifat ekstrim apabila negara menghadapi ancaman yang sedemikian rupa seriusnya sehingga untuk menyelamatkan diri dari ancaman tersebut, negara terpaksa harus melanggar prinsip-prinsip yang dianutnya sendiri. Negara dalam keadaan darurat dengan terpaksa harus mengambil tindakan diluar kebiasaan yang dilakukan termasuk melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku biasanya dengan tujuan untuk mempertahankan eksistensinya. Dengan demikian negara diijinkan untuk melakukan penyimpangan atas beberapa
95
Jimly Asshiddiqie, 2008, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Pers, Jakarta, h. 58.
135
ketentuan yang biasanya berlaku dan dilarang untuk menangani keadaan-keadaan yang mempengaruhi eksistensinya. Hukum keadaan darurat di Indonesia dibagi menjadi hukum keadaan darurat subjektif (hak) yaitu hak negara untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang dan bahwa bila diperlukan menyimpang dari undang-undang dasar. Selain itu terdapat pula hukum keadaan darurat objektif yang berarti hukum yang berlaku dalam masa negara dalam keadaan darurat.96 Persamaan antara hukum keadaan darurat subjektif dan objektif seperti diuraikan di atas adalah diberlakukannya ketentuan hukum yang berbeda atau bertentangan dengan undang-undang yang ada bahkan undang-undang dasar. Keadaan darurat yang pernah dialami oleh Indonesia antara lain keadaan darurat dalam Tsunami di Aceh dan kasus luapan lumpur panas Sidoarjo. Dalam keadaan darurat tersebut sangat banyak hak-hak asasi yang dilanggar atau diabaikan oleh negara seperti hak atas rumah tinggal bagi masyarakat yang bermukin di wilayah luapan lumpur panas Sidorajo. Kasus tersebut menghambat atau tidak memungkinkan negara untuk segera memberikan rumah tinggal bagi para korban, begitu pula bantuan pangan dan kesehatan sebagai dampak dari kasus luapan lumpur panas Sidoarjo. Indonesia mengenal kategori keadaan darurat berdasarkan tingkatan bahayanya yaitu keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer dan keadaan darurat perang. Ketiga tingkatan inilah yang dipakai oleh Peraturan Pemerintah
96
Ibid, h. 23.
136
Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 (PP Pengganti UU No. 23/1959) dan yang membedakan keadaan-keadaan tersebut adalah: 1. keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagaian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa; 2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga; 3. hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara.97 Keadaan-keadaan tersebut di atas merupakan keadaan yang dapat dinyatakan sebagai negara dalam keadaan darurat. Oleh karena negara dalam keadaan darurat dapat melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianutnya maka tentu saja negara juga dapat mengambil langkah-langkah yang bertentangan dengan ketentuan hak asasi manusia yang berlaku secara nasional hanya saja penyimpangan tersebut tidak dapat dilakukan secara membabi buta untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan pada saat negara berada dalam keadaan darurat. Keadaan negara yang bersifat darurat, di luar kebiasaan bersifat istimewa dan diistimewakan itu dapat terjadi karena timbulnya perang, konflik internal, ataupun jenis-jenis keadaan darurat lainnya dimana aparatur negara harus menggunakan
97
Ibid, h. 62.
137
kekuasaan dan prosedur yang bersifat khusus untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam keadaan yang istimewa itu. Pengambilan langkah-langkah tersebut di berkait dengan kedaulatan yang dimiliki suatu negara. Kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi, absolute dan tidak ada instansi lain yang dapat menyamakan atau mengontrolnya yang dapat mengatur warga negara dan mengatur juga apa yang menjadi tujuan dari suatu negara dan mengatur berbagai aspek pemerintahan dan melakukan berbagai tindakan dalam suatu negara termasuk tetapi tidak terbatas pada kekuasaan membuat undang-undang, menerapkan dan menegakkan hukum, menghukum orang, memungut pajak, menciptakan perdamaian dan menyatakan perang, menandatangani pemberlakuan traktak
dan
sebagainya.98Konsep
kedaulatan
mengandung
juga
prinsip
kewenangan (power) baik itu dalam bentuk suatu kebebasan (liberty), kekuasaan (authority) dan kemampuan (ability) yang dimiliki seseorang atau suatu badan hukum untuk melakukan tindakan hukum, yang dapat menghasilkan suatu efek, kekuatan, paksaan, dominasi dan kontrol atas orang lain. Kedaulatan suatu negara memberikan kewenangan bagi negara itu dalam menentukan ketentuan yang berlaku di negara tersebut dan menentukan keadaankeadaan yang membahayakan eksistensinya. Namun di era globalisasi saat ini kedaulatan suatu negara dibatasi dengan kedaulatan negara lainnya, dimana negara-negara di dunia khususnya negara tetangga memiliki hak untuk mengamati dan menentukan langkah-langkah yang diambil oleh suatu negara terlebih lagi jika
98
Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Grand Theory), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 91.
138
tindakan yang dilakukannya berdampak pada kepentingan dan kedaulatan negara lain yang berada di sekitarnya. Saat ini sangat banyak ketentuan internasional yang membatasi kedaulatan suatu negara dalam tatanan kehidupan internasional salah satunya ketentuan internasional tentang hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan oleh univesalitas ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berlaku secara internasional, sehingga masing-masing negara memiliki kewenangan untuk mengawasi tindakan yang dilakukan oleh negara-negara anggota guna menghindari terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dari masing-masing negaranya. Keterbatasan kedaulatan negara dalam tatanan hukum internasional juga harus dipatuhi dalam keadaan darurat khususnya berkaitan dengan ketentuan internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Penguasa militer dan aparatur keamanan pada umumnya diharuskan tetap tunduk pada prinsip-prinsip dan jaminan instrumen hukum internasional, lebih-lebih terhadap hak asasi manusia yang tergolong sebagai non-derogable rights yang sama sekali tidak dapat dilanggar atau tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Hak yang dapat dibatasi hanya yang berkenaan dengan golongan hak asasi manusia yang termasuk dalam derogable right. hanya saja proklamasi suatu keadaan darurat itu sendiri harus dilakukan secara resmi dan terbuka agar
139
diketahui
pula oleh dunia internasional
sehingga semua orang dapat
mengontrolnya.99 Hak berwisata sebagai hak asasi manusia bukan merupakan hak asasi manusia yang tergolong dalam non-derogable rights, sehingga dalam pemenuhan hak berwisata sewaktu-waktu dapat dikesampingkan terlebih lagi jika negara dalam keadaan darurat. Urgensi hak berwisata sebagai hak asasi manusia berbeda dengan hak-hak yang diakui secara mutlak pemenuhannya seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa ataupun hak atas kemerdekaan berpikir dan hati nurani. Berdasarkan uraian penjelasan di atas maka dapat dinyatakan bahwa negara dalam keadaan darurat dapat melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku termasuk melanggar ketentuan mengenai hak asasi manusia khususnya hak asasi manusia yang bersifat derogable rights. Oleh karena hak berwisata merupakan hak asasi manusia yang tidak mutlak harus dipenuhi maka Negara Indonesia dapat melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dengan ketentuan-ketentuan terkait dengan hak berwisata di Indonesia. Misalkan dalam keadaan darurat negara melarang wisatawan mancanegara untuk memasuki wilayah Indonesia untuk tujuan liburan demi keamanan wisatawan mancanegara itu sendiri. Adapun larangan terhadap hak wisatawan untuk berwisata dalam keadaan darurat harus diproklamasikan secara formal agar masyarakat internasional dapat mengetahui dan menilai apakah negara Indonesia benar-benar dalam keadaan
99
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, 104.
140
darurat dan tidak ada penyalahgunaan keadaan yang merupakan tujuan negara untuk secara sengaja melanggar hak wisatawan tersebut untuk berwisata. Hal ini berarti keadaan darurat tidak hanya harus diperhitungkan, diakui dan dirasakan secara nasional oleh pemerintah negara Indonesia, akan tetapi keadaan tersebut diketahui dan diakui dalam tatanan kehidupan masyarakat internasional guna menentukan upaya pertanggungjawaban yang patut dilakukan oleh suatu negara Indonesia.
141
BAB V PENUTUP 5.1. SIMPULAN Berdasarkan uraian pembahasan pada bab-bab sebelumnya dalam penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara yuridis para wisatawan dapat menuntut ganti kerugian kepada Negara selama wisatawan tersebut dapat membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya adalah sebagai akibat yang disebabkan dari pelanggaran hak asasi manusia untuk berwisata oleh Negara atau aparatur Negara baik dalam bentuk pelanggaran karena kegagalan negara dalam melaksanakan kewajiban mengenai tindakan dan mengenai hasil, kegagalan karena adanya tindakan diskriminatif, kegagalan karena adanya pembatasan hakhak yang diakui, kegagalan memenuhi hak dengan alasan keterbatasan sumber daya ataupun jenis kegagalan lainnya sebagaimana dikemukakan dalam pedoman Maastricht, contohny kasus bom J.W Marriot seperti dijelaskan pada bab sebelumnya. 2. Tuntutan ganti kerugian wisatawan dapat dilakukan jika negara benarbenar telah terbukti melakukan pelanggaran atas hak berwisata yang dimilikinya, dalam bentuk tindakan yang baik sengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut hak asasi manusia seseorang.
141
142
5.2. SARAN Berdasarkan uraian kesimpulan pada halaman sebelumnya maka dapat diberikan saran yaitu: 1. Para wisatawan hendaknya diharapkan lebih teliti dalam mengkaji permasalahan
dan
kerugian
yang
dialaminya
khususnya
dalam
menentukan bahwa kerugian yang dialaminya adalah karena pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara dan/atau aparatur negara karena bisa saja kerugian yang dialaminya merupakan akibat yang disebabkan oleh kelalaian atau kegagalan pelaku usaha pariwisata dalam memenuhi standar pelayanan yang seharusnya diberikan atau tidak menutup kemungkinan bahwa kerugian tersebut timbul dari kesalahan wisatawan itu sendiri; 2. Ketika wisatawan hendak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada negara atas kerugian yang dialaminya terkait dengan terjadinya pelanggaran hak berwisata yang dimiliki maka sudah sepatutnya jika terlebih dahulu wisatawan mengumpulkan atau memberikan bukti-bukti yang dapat mendukung dalil yang dibuatnya bahwa negara telah melakukan pelanggaran terhadap hak berwisata yang dimilikinya.
143
DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group,Jakarta. Asshiddiqie, Jimly, 2008, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Pers, Jakarta. Atmadja, I Dewa Gede, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press, Malang. Awaludin, Hamid, 2012, HAM (Politik Hukum & Kemunafikan Internasiona), Kompas Media Nusantara, Jakarta. Borghetti, Jean-Sebastien, Sergio Camara Lapuente, et.al, 2010, Consumer Law, Hart Publishing, Oregon. Cooper, Chris,Rebecca Shepherd,et.al.,1996, Educating the Educator in Tourism: a Manual of Tourism and Hospitality Education, World Tourism Organization with University Surrey, Madrid. Crawford, James, 2005, The International Law Commission‟s Article on State Responsibility (Introduction, Text and Commentaries), Cambridge University Press, New York. Donders, Yvonne M., 2002, Towards a Right to Cultural Identity, Intersentia, New York. El Muhtaj, Majda, 2013, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, RajaGrafindo Persada, Jakarta. El-Muhtaj, Majda, 2012, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi: dari UUD 1945 sampai dengan Amendemen UUD Tahun 2002, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Fajar, Mukti, dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Faure, Michael Gerbert, et.al., 2014, Sustainable Tourism and Law, Eleven International Publishing, Netherlands. Friedmann, W., 1993, Teori dan Filsafat Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Grand Theory), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
143
144
Gelgel, I Putu, 2009, Industri Pariwisata Indonesia dalam Globalisasi Perdagangan Jasa Implikasi Hukum dan Antisipasinya, Refika Aditama, Bandung. Hamzah, Andi, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Hart, H.L.A., 1981, The Concept of Law, Oxford University Press, Great Britain. Ife, Jim, 2009, Human Rights And Social Work (Toward Rights-Based Practice), Chambridge University Press, New York. Indriaswati, Dyah Saptaningrum, Supriyadi Widodo Edyono,et.al., 2011, Hak Asasi Manusia dalam Pusara Politik, Elsam, Jakarta. Ismayanti, 2010, Pengantar Pariwisata, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Jamal, Tazim B., Walter Jamieson, et.al, International Tourism a Global Perspective, World Tourism Organization, Spain. Kansil, C.S.T., 2007, Latihan Ujian Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Kasim, Ifdal, et.al., 2001, Hak Ekonomi, Sosial & Budaya, Elsam, Jakarta. Kelsen, Hans, 1961, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York. Kelsen, Hans, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Nuansa & Nusamedia, Bandung. Kelsen, Hans, 2013, Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Imlu Hukum Normatif), Nusa Media, Bandung. Kleden, Marianus, 2009, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal, Lamalera, Yogyakarta. L.J. van Apeldoorn, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. M. Burns, Peter, Andrew Holden, 1999, Tourism a New Perspective, Prentice Hall, Great Britain. Mauna, Boer, 2011, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung. Metu Dahana, Made, 2012, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap Wisatawan, Paramita, Surabaya.
145
Meuwissen, 2007, Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung. Micklitz, Hans-W, Jules Stuyck, et.al, 2010, Cases, Material and Text on Consumer Law, Hart Publishing, Oregon. Miru, Ahmadi, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Nowak, Manfred, 2003, Introduction to the International Human Rights Regime, Martinus Nijhoff, Leiden. Nurdiyansah, 2014, Peluang dan Tantangan Pariwisata Indonesia, Alfabeta, Bandung. Pitana, I Gede, I Ketut Surya Diarta, 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, Andi, Yogyakarta. Prodjodikoro, Wirjono, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Putra, Ketut Gede Dharma, 2010, Pencemaran Lingkungan Ancaman Pariwisata Bali, Manikgeni, Denpasar. Reisinger, Yvette, 2009, International Tourism Cultures and Behavior, Elsevier, United State of America. Riyadi, Eddie Sius, 2008, Dignitas Jurnal Hak Asasi Manusia: Hak Asasi Manusia dan Tanggung Jawab Bisnis Volume V No. II Tahun 2008 ISSN 1693-3559, Elsam, Jakarta. Rukmini, Mimin, 2006, Pengantar Memahami Hak Ekosob, Pattiro, Jakarta. Samadani, Adil, 2013, Dasar-Dasar Hukum Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta. Simatupang, Violetta, 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, Alumni, Bandung. Smith, Mick, Rosaleen Duffy, 2006, The Ethics of Tourism Development, Routledge, New York. Smith, Rhona K.M., 2010, Textbook on International Human Rights, Oxford University Press, New York. Smith, Rhona K.M., et.al., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Pustaka Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
146
Starke, J.G., 2004, Pengantar Hukum Internasional (Edisi Kesepuluh), Sinar Grafika, Jakarta. Sudabalok, Janus, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Sunaryo, Bambang, 2013, Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata (Konsep dan Aplikasinya di Indonesia), Gava Media, Yogyakarta Sunggono, Bambang, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Tomuschat, Christian, 2008, Human Rights between Idealism and Realism, Oxford University Press, Oxford. Trevor and Trudie Atherton, 1998, Tourism Travel and Hospitality Law, LBC Information Services, Sydney. Van den Heuvel Grat, Ni Ketut Supasti Dharmawan, et.al., 2014, Sustainable Tourism and Law, Eleven, Netherland. Vellas, Francois, Lionel Becherel, 2008, Pemasaran Pariwisata Internasional Sebuah Pendekatan Strategis, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Widiatedja,IGN Parikesit, 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata (Konstruksi Konsep Ragam Masalah dan Alternatif Solusi), Udayana University Press, Denpasar. World Tourism Organization, 2010, Joining Force-Collaborative Processes for Sustainable and Competitive Tourism, World Tourism Organization, Spain. World Tourism Organization, Tourist Safety and Security Practical Measures for Destinations, World Tourism Organization, Spain. Wyasa Putra, Ida Bagus, Putu Sudharma Sumadi,et.al., 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung. Yoeti, Oka A., 2010, Dasar-Dasar Pengertian Hospitality dan Pariwisata, Alumni, Bandung. DISERTASI/RINGKASAN DISERTASI: Sri Utari, Ni Ketut, 2013, Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Perspektif Hak Asasi Manusia), (Ringkasan Disertasi) Program Doktor Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.
147
JURNAL: Supasti Dharmawan, Ni Ketut, Ni Made Nurmawati, et.al, 2011, The Right to Tourism dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum: Vol. 36. No. 2., Denpasar. Perdana Wiratraman, R. Herlambang, 2005, Konstitusionalisme dan Hak-Hak Asasi Manusia (Konsepsi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia), Jurnal Ilmu Hukum Yuridika: Vol. 20. No. 1., Surabaya. Tjoanda, Merry, 2010, Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jurnal Sasi: Vol. 16.No. 4., Maluku. Kusniati, Retno, 2011, Integrasi Standar Perlindungan Penghormatan dan Pemenuhan HAM dalam Tugas dan Fungsu Satuan Kerja Perangkat Daerah, Jurnal Ilmu Hukum: Vol.2.No.1., Jambi. Tauhidillah, Muhammad Alfath, 2009, Korban sebagai Dampak dari Tindak Pidana Terorisme: yang Anonim dan Terlupakan, Jurnal Kriminologi Indonesia: Vol.5.,No.2, Jakarta. Samendawai, Abdul Haris, 2009, Hak-Hak Korban Pelanggaran HAM Berat, Jurnal Hukum: Vol. 16.No.2., Jakarta. Jaka Triyana, Heribertus, 2009, Implementasi Standar Internasional Hak Ekosob oleh Pemerintah Propinsi DIY, Mimbar Hukum: Vol. 21.No.3., Yogyakarta. Mardenis, 2013, Kontemplasi dan Analisis terhadap Klasifikasi dan Politik Hukum Penegakan HAM di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional: Vol. 2. No.3., Jakarta. Marzuki, Suparman, 2013, Perspektif Mahkamah Konstitusi tentang Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum Yudisial: Vol. 6. No. 3., Jakarta. KETENTUAN INTERNASIONAL DAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN:
- Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM); - International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR); - International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR); - Global Code of Ethics for Tourism (GCET);
148
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; - Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165); - Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208); - Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11); - Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821); - Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66); - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118); - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106); - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 139). SUMBER INTERNET: Marzuki Suparman, 3 Desember 2013, Jurnal Desember 2013-Komisi Yudisial, www.komisiyudisial.go.id Mardenis, 2013, Kontemplasi dan Analisis terhadap Klasifikasi dan Politik Hukum Penegakan HAM di Indonesia, http://perpustakaan.bphn.go.id Heribertus Jaka Triyana, 2009, Implementasi Standar Internasional Hak Ekosob oleh Pemerintah Propinsi DIY, www.mimbar.hukum.ugm.ac.id Abdul Haris Samendawai, 2009, Hak-Hak Korban Pelanggaran HAM yang Berat (Tinjauan Hykum Internasional dan Nasional), www.law.uii.ac.id
149
Muhammad Alfath Tauhidillah, 2009, Korban sebagai Dampak dari Tindak Pidana Terorisme: yang Anonim dan Terlupakan, www.journal.ui.ac.id Retno Kusniati, 2011, Integrasi Standar Perlindungan Penghormatan dan Pemenuhan HAM dalam Tugas dan Fungsu Satuan Kerja Perangkat Daerah, www.jiip.fapet.unja.ac.id Merry Tjoanda, 2010, Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, www.paparisa.unpatti.ac.id R. Herlambang Perdana Wiratraman, 2005, Konstitusionalisme dan Hak-Hak Asasi Manusia (Konsepsi Tanggung Jawab Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia), www.pustaka.unpad.ac.id Wardalisa, 2014, Teori Hirarki Kebutuhan, http://wardalisa.staff.gunadarma.ac.id