BAB II HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM KERANGKA CEDAW
A.
HAK ASASI PEREMPUAN
1.
HAK ASASI PEREMPUAN SEBAGAI BAGIAN DARI HAK ASASI MANUSIA Persamaan merupakan pilar bagi setiap masyarakat demokratis yang bercita-cita
mencapai keadilan sosial dan hak asasi manusia. Kenyataannya, dalam setiap masyarakat dan lingkup kegiatan, perempuan menjadi sasaran dari ketidaksamaan dalam hukum maupun dalam kenyataan sesungguhnya. Keadaan ini disebabkan dan juga diperburuk oleh adanya diskriminasi di dalam keluarga, masyarakat dan di tempat kerja. Walaupun sebab dan akibatnya dapat berbeda antara setiap negara, diskriminasi terhadap perempuan terjadi secara luas. Kondisi ini terus berlangsung karena bertahannya stereotip dan praktek-praktek kepercayaan agama dan budaya tradisional yang merugikan perempuan. 31 Sesungguhnya, hak asasi Perempuan merupakan bagian dari Hak asasi manusia. penegakan hak asasi perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia. Sesuai dengan komitmen internasional dalam Deklarasi PBB 1993 , maka perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung jawab semua pihak baik lembaga-lembaga Negara ( eksekutif, legislatif, yudikatif ) maupun Partai politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan warga Negara secara perorangan punya tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi perempuan. 32
Dari berbagai kajian tentang perempuan, terlihat bahwa kaum perempuan sudah lama mengalami diskriminasi dan kekerasan dalam segala bidang kehidupan . Berbagai bentuk
31
Sulistyo Iriyanto, Op. Cit, hal 8.
32
Ibid, hal 9.
Universitas Sumatera Utara
diskriminasi 33 dan kekerasan terhadap perempuan telah memperburuk kondisi kehidupan perempuan dan menghambat kemajuan perempuan. Bermacam usaha telah lama diperjuangkan untuk melindungi hak asasi perempuan dan kebebasan bagi perempuan, namun sampai dewasa ini hasilnya belum signifikan. 34
Mengatasi hal ini, di perlukan berbagai instrumen nasional tentang perlidungan hukum terhadap hak asasi perempuan. Di level Perserikatan Bangsa-Bangsa masalah perlindungan hak asasi perempuan sudah sangat dipahami antara lain melalui Deklarasi Beijing Platform, pada tahun 1995 yang melahirkan program-program penting untuk mencapai keadilan gender. Di Indonesia, sesungguhnya sudah cukup banyak perlindungan hukum terhadap hak asasi perempuan, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk kebijakan-kebijakan negara. Namun hak asasi perempuan masih belum terlindungi secara optimal.
Usaha baru-baru ini untuk mendata keadaan sesungguhnya mengenai perempuan di seluruh dunia menghasilkan beberapa statistik yang mengejutkan tentang perbedaan ekonomi dan sosial antara laki-laki dan perempuan. Perempuan merupakan golongan mayoritas dari orang miskin di dunia, dan jumlah perempuan yang hidup di desa-desa miskin telah meningkat 50 persen sejak tahun 1975. Perempuan merupakan mayoritas penyandang buta huruf di dunia; jumlahnya meningkat dari 543 juta menjadi 597 juta antara tahun 1970 sampai 1985. Perempuan di Asia dan Afrika setiap minggu bekerja 13 jam lebih banyak daripada kaum laki-laki dan sebagian besar tidak mendapat bayaran. Di seluruh dunia
33
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
34
Ibid, hal 9.
Universitas Sumatera Utara
penghasilan perempuan berkisar antara 30 sampai 40 persen lebih rendah daripada laki-laki untuk suatu pekerjaan yang sama. 35
Di seluruh dunia hanya 10 sampai 20 persen jabatan manajerial dan administrasi dipegang oleh perempuan, dan kurang dari 20 persen untuk jabatan di pabrik. Kurang dari lima persen perempuan yang menjadi Kepala Negara. Pekerjaan perempuan di rumah dan dalam lingkup keluarga tidak dibayar, dan apabila pekerjaan ini diperhitungkan sebagai produktivitas nasional maka penghasilan global akan meningkat antara 25 sampai 30 persen. 36 Konsep persamaan mengandung arti lebih daripada sekedar suatu perlakuan yang sama bagi setiap orang. Perlakuan yang sama terhadap seseorang dalam situasi yang berbeda justru akan menjadikan ketidakadilan semakin langgeng daripada membasmi ketidakadilan ini. Persamaan yang sesungguhnya hanya dapat muncul melalui usaha-usaha yang langsung ditujukan untuk menangani dan memperbaiki keadaan tidak seimbang ini. Pandangan lebih luas terhadap persamaan inilah yang menjadi prinsip dasar serta tujuan akhir dalam memperjuangkan pengakuan dan penerimaan hak asasi perempuan.
2.
SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA DAN HAK ASASI PEREMPUAN Untuk menyegarkan ingatan, sesungguhnya motif utama HAM tidak bisa terlepas dari
tuntutan dasar tentang hak persamaan dan hak kemerdekaan. Dari kedua prinsip dasar inilah berkembang sejumlah prinsip yang lain, seperti prinsip penghormatan dan perlindungan
35
UNDP Report, Op. Cit, hal 47.
36
‘The World’s Women 1970-1990: Trends and Statistics (penerbitan PBB, penjualan No.E.90.XVII.3.)
Universitas Sumatera Utara
terhadap martabat manusia, partisipasi, dan termasuk pembebasan terhadap hak-hak perempuan.
Secara historis, Nur Said dalam Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia menulis, bahwa HAM terkait erat dengan kekuasaan absolut para raja di masa lalu yang ditunjukkan dengan lahirnya Magna Charta (Piagam Agung) tahun 1215 di Inggris. Tahun 1689 lahir Bill Rights (undang-undang hak) di Inggris yang ditandai dengan munculnya adagium persamaan manusia di hadapan hukum (equality before the law). Di Amerika muncul pula The America Declaration of Independen tahun 1776. 37
Deklarasi ini menyatakan bahwa semua manusia diciptakan sederajat dengan dikaruniai oleh Sang Pencipta hak-hak asasi tertentu seperti kehidupan, kemerdekaan, dan mencari kebahagiaan yang tidak boleh dicabut oleh siapapun. Sementara di Prancis lahir The French Declaration tahun 1789, yang telah memunculkan dasar bagi The Rule of Law. Di dalam the rule of law antara lain menyatakan tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena tanpa ada alasan sah atau surat resmi penangkapan. 38
Di sini dipertegas pula dengan beberapa hak lainnya, seperti presumption of innocence 39, orang-orang yang ditahan atau ditangkap dinyatakan bebas sampai ada kekuatan hukum yang sah menyatakan salah; freedom of expression atau kemerdekaan mengeluarkan pendapat 40; freedom of religion atau kemerdekaan dalam berkeyakinan 41; dan the right of
37
Nur Said, 2005. Perempuan Dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia. Pilar Media, Yogyakarta, hal. 49.
38
Ibid, hal 51.
39
Presumption of innocence atau yang lebih dikenal dengan asas praduga tak bersalah. Bahwa pelaku kejahatan yang belum dijatuhi pidana lewat keputusan yang tetap (in kracht van bewijsde) masih diduga tidak bersalah. 40 Freedom of expression atau kemerdekaan mengeluarkan pendapat di Indonesia diatur dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen keempat.
Universitas Sumatera Utara
property atau hak perlindungan terhadap hak milik. 42 Perkembangan berikutnya, muncul konsep HAM yang diawali dengan lahirnya Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM).
Deklarasi ini dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat dunia saat itu yang tengah mengalami pukulan berat akibat kekejaman Perang Dunia (PD) I di tahun 1914-1918, dan PD II tahun 1939-1945. Dalam PD II yang memakan waktu hampir enam tahun, diperkirakan mengorbankan 61 juta orang (tentara dan rakyat sipil). Rusia mengalami jumlah kehilangan jiwa terbesar dibanding negara-negara lain, yakni mencapai 25 juta kematian, diikuti oleh China dengan 11 juta, dan Jerman sebanyak 7 juta kematian. Selebihnya tersebar di seluruh negara-negara yang terlibat dalam kontes pertempuran tersebut seperti Jepang, Australia, Kanada, kerajaan India, Belanda, Korea, dan juga Indonesia. 43
Dari latarbelakang tersebut, negara-negara dunia berupaya keras untuk merumuskan norma-norma hak dasar manusia, yang bisa disepakati bersama untuk menciptakan perdamaian. Hasil upaya itu menjadi konsensus umum masyarakat di seluruh dunia, yang secara garis besar berisi tentang jaminan hak-hak dasar manusia kepada semua orang. Jaminan HAM tersebut diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dideklarasikan pada 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris. Oleh Eleanor Roosevelt dari Amerika Serikat, ketua perempuan pertama di Komisi HAM PBB saat itu, dikatakan
41
freedom of religion atau kemerdekaan dalam berkeyakinan di Indonesia diatur dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen keempat.
42
Nur Said, 2005. Perempuan Dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia. Pilar Media, Yogyakarta, hlm. 49-51.
43
http://ms.wikipedia.org/wiki. Dalam Perang Dunia I dan II (Wikipedia Bahasa Indonesia dan
Melayu).
Universitas Sumatera Utara
bahwa deklarasi ini bukanlah sebuah perjanjian, namun mungkin akan menjadi Magna Carta internasional di masa depan.
Di dalam proses perumusan, terjadi dinamika dan perkembangan ketika PBB menghadirkan Comission of the Status of Women (CSW) pada tahun 1946. Pada tahap awal CSW berjuang untuk menegakkan hak-hak dasar perempuan. Ia berhasil memperjuangkan kedudukannya sebagai komisi yang mempunyai hak yang sama dengan Komisi HAM. Menariknya kedua komisi ini, CSW dan CHR (Commission on Human Rights) berkali-kali bertentangan keras selama penyusunan DUHAM. 44 Misalnya, CSW berhasil mengubah rancangan awal dari pasal 1 DUHAM yaitu “all men are brothers” menjadi “all human beings are born free and equal in dignity and rights”. Pada waktu DUHAM diadopsi pada tahun 1948, saat itu mayoritas perempuan di dunia belum dapat memilih atau belum dijamin hak pilihnya.
Setelah deklarasi terlaksana, 20 tahun kemudian, sekitar tahun 1966 negara-negara di dunia baik Barat, Timur, maupun Selatan, kembali duduk bersama melanjutkan upaya kerasnya untuk membangun perdamaian dunia yang berkeadilan. Dari sini lahir konvensikonvensi lain, yang juga memuat HAM internasional. Di antaranya Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial (Convention on the Elimination of Rasial Discrimination), yang lahir setahun lebih dulu dari hak SIPOL dan EKOSOB, yakni tahun 1965. Kemudian Konvensi
44
Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara (Perancis: La Déclaration des droits de l'Homme et du citoyen) adalah salah satu dokumen fundamental dari Revolusi Perancis, menetapkan sekumpulan hak-hak individu dan hak-hak kolektif manusia. Diadopsi pada 26 Agustus 1789, oleh Majelis Konstituen Nasional (Assemblée nationale constituante), sebagai langkah awal untuk penulisan sebuah konstitusi. Ini menetapkan hak-hak fundamental tidak hanya bagi warga negara Perancis tetapi memperuntukan hak-hak ini untuk seluruh manusia tanpa terkecuali: "Artikel Pertama – Manusia dilahirkan bebas dan tetap setara di dalam hak. Perbedaan sosial dapat ditemukan hanya pada keperluan umum." Prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam deklarasi menjadi nilai konstitusional dalam hukum Perancis saat ini dan mungkin digunakan untuk menentang perundang-undangan dan kegiatan pemerintah lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/ CEDAW) tahun 1980; Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Againts Torture/ CAT) sekitar tahun 1987; Konvensi Hak-Hak Dasar Anak (Children Rights Convention/ CRC) tahun 1989; dan Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya, sekitar tahun 2000-an lalu.
Pada konvensi hak-hak dasar manusia tersebut, sesungguhnya telah banyak mengakomodir hak-hak dasar perempuan. Sebab di dalam konvensi-konvensi itu disebutkan pula prinsip non-diskriminasi. Namun secara detail CEDAW-lah (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) yang mengatur upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Dalam pasal 1 CEDAW menyatakan bahwa:
“Diskriminasi
terhadap
perempuan,
berarti
segala
pembedaan,
pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan
mereka,
atas
dasar
kesetaraan
antara
lelaki
dan
perempuan”. 45
45
Pasal 1 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dalam CEDAW untuk Kesetaraan Perempuan. UNIFEM, t.t. hlm. 8
Universitas Sumatera Utara
Sjamsiah Achmad, anggota Komite CEDAW 2001-2004 mengatakan, konvensi ini merupakan perjanjian internasional tentang perempuan yang paling komprehensif. Di dalamnya menetapkan persamaan antara perempuan dan lelaki dalam menikmati hak-hak sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Konvensi yang sering digambarkan sebagai International Bill of Rights for Women ini menetapkan kewajiban hukum yang mengikat bagi negara-negara peserta untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan, baik dalam kehidupan publik maupun privat. 46
Menurut Sjamsiah, konvensi ini mengarahkan negara untuk mengadakan upaya-upaya tambahan guna menangani permasalahan-permasalahan yang dihadapi perempuan di daerah pedesaan. Dalam hal ini negara harus menjamin hak-hak perempuan, atas dasar persamaan antara lelaki dan perempuan, untuk berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari pembangunan desa. Konvensi CEDAW ini juga merupakan satu-satunya perjanjian internasional yang menegaskan hak reproduksi perempuan (Sebelum lahir ICPD Kairo, Red). Ia mewajibkan negara untuk memodifikasi pola-pola sosial budaya dari perilaku lelaki dan perempuan agar dapat menghapuskan prasangka-prasangka, kebiasaan-kebiasaan, maupun semua praktik-praktik lain yang berdasarkan pandangan inferioritas atau superioritas pada salah satu jenis kelamin. Selain itu konvensi ini juga mendorong terhapusnya peran-peran stereotip bagi lelaki dan perempuan. Di mana konvensi tersebut telah diratifikasi oleh sejumlah negara baik Barat, Timur, Utara, maupun Selatan. Bahkan isu tentang pemberdayaan perempuan pedesaan yang masuk di dalam konvensi ini, terjadi atas usulan wakil dari Indonesia dan India. 47
46
Sjamsiah Achmad. Dalam Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All forms of Discrimination Against Women atau CEDAW). Diambil dari Makalah In House Training Rahima Mei 2008
47
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
Dalam perjalanan sejarah, satu dekade setelah terbentuknya konvensi CEDAW, lahir Deklarasi Kairo yang dikeluarkan di Kairo pada tahun 1990. Deklarasi ini juga memuat tentang ham dan hak asasi perempuan. Ia merupakan deklarasi di tingkat regional yang secara khusus ditujukan untuk negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam atau OKI. Dengan statusnya yang demikian deklarasi ini bukan merupakan pengganti DUHAM, melainkan dapat melengkapinya. Dalam Deklarasi Kairo ditegaskan bahwa semua orang adalah sama dipandang dari martabat dan kewajiban dasarnya sebagai manusia. Mereka tidak boleh didiskriminasikan atas dasar ras, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, kepercayaan agama, ideologi politik, ataupun status sosialnya. 48
Selain Deklarasi Kairo, terdapat pula Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) Kairo pada tahun 1994. Ia memuat tentang konsep hak reproduksi (perempuan) secara mendalam. Kemudian pada tahun 1995, lahir Deklarasi Beijing yang dalam landasan aksinya sangat mengedepankan prinsip kebersamaan dalam kekuasaan dan tanggungjawab di antara perempuan dan lelaki. Baik hal itu dalam rumah tangga, di tempat kerja, maupun di lingkungan masyarakat nasional dan internasional yang lebih luas. Pada deklarasi ini persamaan perempuan dan lelaki juga dinyatakan sebagai masalah hak asasi, syarat dari keadilan sosial dan persamaan pembangunan dan perdamaian.
3. BENTUK-BENTUK HAK ASASI PEREMPUAN Jika dilihat dari sejarahnya, maka konsep dan paradigma hak asasi perempuan merupakan hasil perjuangan yang panjang sehingga tidak adanya definisi tunggal dan jelas
48
KH. Husein Muhammad, Ham Dan Gender Dalam http://www.balitbangham.go.id/, diakses pada Kamis, 9 September 2010.
Perspektif
Islam.,
dalam
Universitas Sumatera Utara
tentang hak-hak asasi manusia arena konsep hak asasi manusia terus berkembang dan tidak ststis.
Sama halnya dengan definisi HAM, maka tidak ada definisi khusus yang dapat
dijadikan acuan bagi hak-hak perempuan baik dalam deklarasi, konvensi hak sipil dan politik maupun kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya. Hampir semua instrumen tersebut secara implisit memasukkan perempuan dalam konteks persamaan (equality). Suatu pendekatan yang oleh Floren Butaqwa disebut sebagai pendektan uniseks (unisex approach). 49 Sedangkan hak perempuan berarti serangkaian hak yang melekat (inherent) dengan keberadaannya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga hak-hak perempuan itu tiada dibantah lagi merupakan hak asasi manusia yang apabila dibatasi atau tidak hormat akan menghalang-halangi perkembangnnya sebagai manusia seutuhnya. Sejalan dengan alam pikiran seperti itu, perempuan dianggap hanya cocok sebagai budak atau pelayan suami atau barang yang sesuai dengan kecantikannya dan keperawanannya yang dijadikan aset bagi keluarga yang memilikinya. Sejalan dengan citacita seperti itu, anak perempun dididik agar: a. Semasa anak-anak: cantik, lemah gemulai, penurut, halus tutur katanya. b. Semasa gadis remaja: Pandai menari, pandai masak memasak, dan jahit- menjahit, sabar, pandai menjaga adik. c. Semasa wanita muda: pandai memperantik diri dan pakaian, mempersiapkan diri untu menikah, menjaga benar kegadisannya. 50 Untuk sebagian masyarakat, hak-hak perempuan semata-mata dilihat sebagai sejumlah hak khusus yang diperjuangkan oleh kaum wanita untuk memperbaiki nasibnya sebagai 49
Mansyur Effendi, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jakarta: PT. Ghalia indonesia, 1994, hal 35 50
Prof. DR. CFG. Sunaryati Hartono, SH, Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, 1999/2000, hal 29.
Universitas Sumatera Utara
akibat penerapan nilai-nilai budaya tradisional berdasarkan penafsiran yang kurang tepat selama berabad-abad membuat perempuan dianggap sebagai milik pria yaitu milik ayah, kakek, saudara laki-laki bahkan milik keluarganya yang tidak diberikan kesempatn mempunyai pikiran, pendapat, apalagi kemauan sendiri. Padahal dalam instruen hukum internasional dan hukum nasional, hak-hak perempuan diakomodir secara jelas. Hak-hak perempuan yang telah diakui dan diatur dalam Instrumen Hak Asasi Internasional yaitu: A) Hak-hak Sipil dan Politik Perempuan ICCPR (Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik) telah mencantumkan hakhak yang setara antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak sipil dan politik antara lain sebagai berikut: 1. Hak hidup 2. Hak bebas dari perbudakan dan perdagangan 3. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi 4. Hak diperlakukan secara manusiawi dalam situasi apapun 5. Hak atas kebebasan bergerak, memilih tempat tinggal 6. Hak mendapat kedudukan yang sama di depan hukum 7. Hak diakui sebagai seorang pribadi di hadapan hukum 8. Hak tidak dicampuri masalah pribadinya 9. Hak atas kebebasan berpikir,berkeyakinan dan beragama 10. Hak untuk bebas berpendapat 11. Hak untuk berserikat dan bergabung dengan serikat pekerja 12. Hak dalam perkawinan 13. Hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan 14. Hak mendapatkan perlindungan yang sama dalam perlindungan hukum
Universitas Sumatera Utara
Namun, karena pengaruh budaya yang cukup besar, hak-hak yang sederajat antara laki-laki dan perempuan sebagaimana disebutkan di atas menjadi sulit untuk diraih perempuan. Oleh karena itu, CEDAW (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) meletakkan ulang beberapa hak yang kelihatannya akan sulit diraih oleh perempuan mengingat konstruksi budaya yang meletakkan perempuan sebagai pihak yang subordinat. Pendekatan yang dipakai adalah prinsip non diskriminatif dan persamaan menuju kesetaraan. Hak-hak tersebut adalah: A.1. Hak Perempuan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan negaranya, diatur di dalam Pasal 7 CEDAW. Termasuk di dalamnya adalah: 1) Hak untuk memilih dan dipilih; 2) Hak untuk berpartisiapsi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya; 3) Hak untuk memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di segala tingkat; 4) Hak berpartisipasi dalam organisasi-organisassi dan perkumpulan-perkumpulan nonpemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara. A.2. Hak perempuan untuk mendapat kesempatan mewakili pemerintah mereka pada tingkat internasional dan berpartisipasi dalam pekerjaan untuk mewakili pemerintah dalam tingkat internasional dan berpartisipasi dalam organisasi-organisasi internasional , diatur dalam pasal 8 CEDAW. A.3. Hak perempuan dalam kaitan dengan Kewarganegaraannya, diatur di dalam pasal 9 CEDAW, yang meliputi: 1) Hak yang sama dengan pria untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegarannya.
Universitas Sumatera Utara
2) Hak untuk mendapatkan jaminan bahwa perkawinan dengan orang asing tidak secara
otomatis
mengubah
kewarganegarannya
atau
menghilangkan
kewarganegaraannya. 3) Hak yang sama dengan pria berkenaan dengan penentuan kewarganegaraan anakanak mereka. Pasal 7-9 CEDAW dalam hal tertentu secara jelas menegaskan kembali hak-hak yang harus dimiliki oleh perempuan lebih detil daripada ICCPR. Hanya ada beberapa pasal yang terdapat dalam ICCPR tetapi tidak dicantumkan dalam CEDAW. Hal ini tidak berarti bahwa perempuan tidak memiliki hak politik dan sipil selain yang tertera di dalam CEDAW, namun karena sifatnya menguatkan dan saling melengkapi, apa yang ada di dalam ICCPR tetapi tidak tertera dalam CEDAW tetap menjadi hak perempuan. Terhadap hak-hak politik dan sipil yang disebutkan di atas, CEDAW menyatakan negara memiliki kewajiban-kewajiban untuk melindungi hak-hak politik perempuan, yaitu: 1. Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan atas dasar persamaan dengan laki-laki. 2. Membuat peraturan-peraturan yang tepat menjamin adanya kesempatan bagi perempuan
untuk
mewakili
pemerintahan
maupun
bekerja
di
tingkat
internasional. 3. Memberikan hak yang sama dnegan pria untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegarannya. 4. Menjamin bahwa perkawinan dengan orang asing tidak akan mengubah status kewarganegaraan ataupun kehilangan status kewarganegaraan. 5. Memberi hak yang sama antara laki-laki dan perempuan menentukan kewarganegaraan anak-anak mereka.
Universitas Sumatera Utara
B) Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Kaum Perempuan Hak Asasi Manusia dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya dapat ditemukan di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan ICESCR (Internasional Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) Pasal 2 ICESRC menyatakan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi: 1) Hak untuk mencari nafkah dan memilih pekerjaan (pasal 6) 2) Hak menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan (pasal 7) 3) Hak untuk membentuk serikat pekerja , terlibat dalam serikat pekerja (pasal 8) 4) Hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial (pasal 9) 5) Hak mendapatkan perlindungan khusus terhadap kehamilan (pasal 10) 6) Hak mendapat perilaku yang non diskriminatif (pasal 10) 7) Hak atas standar kehidupan yang layak (pasal 11) 8) Hak atas standar tertinggi kesehatan (pasal 12) 9) Hak atas pendidikan (pasal 13) 10) Hak berpartisipasi dalam kehidupan budaya, penikmatan manfaat teknologi dan kemajuan teknologi (pasal 15) 11) Hak mendapat perlindungan atas karya dan budaya (pasal 15) Dari berbagai hak-hak yang sudah diatur terlebih dahulu, CEDAW menekankan hakhak tersebut dalam hal: hak yang sama dalam bidang pendidikan, pekerjaan kesehatan dan hak-hak khusus perempuan di daerah pedesaan. B.1. Hak di bidang Pendidikan Hak dibidang pendidikan diatur pada pasal 10. Hak-hak yang mendapat tekanan khusus oleh CEDAW dalam bidang pendidikan adalah hak:
Universitas Sumatera Utara
1. Mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan baik di tingkat taman kanakkanak, umum, teknik serta pendidikan keahlian teknik tinggi dan segala macam pelatihan kejuruan. 2. Pengikutsertaan pada kurikulum, ujian, staf pengajar dengan standar kualifikasi yang sama, serta gedung dan peralatan sekolah yang berkualitas sama. 3. Penghapusan konsep yang steriotif mengenai peranan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan bentuk pendidikan. 4. Kesempatan yang sama dalam mendapatkan beasiswa. 5. Kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam program pendidikan kelanjutan, pendidikan orang dewasa dan pemberantasan buta huruf. 6. Pengurangan angka putus sekolah pelajar putri dan penyelenggaraan program untuk gadis-gadis dan perempuan yang putus sekolah. 7. Berpartisipasi secara aktif dalam olahraga dan pendidikan jasmani. 8. Memperoleh penerangan untuk menjamin kesehatan, kesejahteraan, keluarga dan keluarga berencana. Kewajiban negara dalam konteks hak tersebut meliputi: a) Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan guna menjamin hak yang sama dengan laki-laki di lapangan pendidikan. b) Menghapuskan konsep yang strereotif mengenai peran laki-laki dan perempuan dalam bidang pendidikan, termasuk dalam buku wajib, program dan metode belajar. c) Mengurangi angka putus sekolah untuk perempuan. B.2. Hak Kerja – pasal 11 CEDAW CEDAW menurunkan hak kerja sebagaimana telah diatur di dalam ICESCR sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Hak untuk bekerja sebagai hak asasi manusia. 2. Hak atas kesempatan kerja yang sama termasuk dalam hal seleksi. 3. Hak memilih profesi dan pekerjaan, mendapat promosi, jaminan pekerjaan, semua tunjangan, serta fasilitas kerja, pelatihan kejuruan dan pelatihan ulang. 4. Hak menerima upah yang sama termasuk tunjangan, termasuk persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas kerja. 5. Hak atas jaminan sosial, khususnya dalam pensiun, pengangguran, sakit, cacat, lanjut usia. 6. Hak atas masa cuti yang dibayar. 7. Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. 8. Hak atas perlindungan khusus terhadap fungsi melanjutkan keturunan dalam bentuk: a) Tidak dipecat atas dasar kehamilan atau atas dasar status perkawinan b) Pengadaan cuti hamil dengan bayaran c) Pengadaan pelayanan sosial dalam bentuk tempat penitipan anak. d) Pemberian pekerjaan yang tidak berbahaya bagi kehamilan. Kewajiban negara terhadap penjaminan hak tersebut meliputi: a) Membuatkan peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan guna menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam lapangan pekerjaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. b) Mencegah diskriminasi terhadap perempuan atas dasar perkawinan dan kehamilan. c) Peninjauan terhadap peraturan yang ditujukan untuk melindungai perempuan secara berkala guna melakukan revisi, pencabutan ataupun perluasan berdasarkan kebutuhan. B.3. Hak dalam bidang Kesehatan
Universitas Sumatera Utara
Yang diatur dalam pasal 12 CEDAW. Di dalam ICESCR disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental terutama hak untuk: 1. Bebas dari kematian saat melahirkan. 2. Perkembangan kesehatan sejak kanak-kanak. 3. Berada dalam lingkungan yang sehat dan terbebas dari polusi industri. 4. Pengobatan dan bebas dari penyakit yang menular termasuk yang berhubungan dengan kerja. 5. Mendapatkan pelayanan dan perhatian medis. CEDAW pasal 12 mencantumkan hak-hak perempuan untuk mendapat pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan yang berkaitan dengan KB, kehamilan, persalinan dan sesudah masa persalinan (termasuk makanan bergizi selama masa kehamilan). Kewajiban negara berkaitan dengan kesehatan adalah: a) Membuat perempuan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang pemeliharaan kesehatan. b) Menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan KB, kehamilan, persalinan, dan sesudah masa persalinan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Termasuk di dalamnya adalah menjamin agar pelayanan tersebut layak, dan bila diperlukan diberikan cuma-cuma, termasuk pemberian makanan bergizi yang cukup selama kehamilan dan masa menyusui. B.4. Hak lainnya dalam bidang ekonomi dan sosial (Pasal 13 CEDAW) CEDAW juga mencantumkan hak yang sama atas dasar persamaan dalam hal mendapatkan: 1. Hak atas tunjangan keluarga 2. Hak atas pinjaman bank, hipotek dan lain-lain bentuk kredit permodalan
Universitas Sumatera Utara
3. Hak untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan rekreasi, olahraga, dan semua segi kehidupan kebudayaan. Kewajiban negara berkaitan dnegan hak tersebut adalah: membuat peraturanperaturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan khusus atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. B.5. Hak-hak khusus perempuan di pedesaan. CEDAW meletakkan hak-hak khusus untuk perempuan pedesaan yang meliputi hak-hak : 1. Untuk berpartisipasi dalam perluasan dan implementasi perencanaan pembangunan di segala tingkatan. 2. Untuk memperoleh fasilitas pemeliharaan kesehatan yang memadai, termasuk penerangan, penyuluhan, dan pelayanan dalam keluarga berencana. 3. Untuk mendapatkan manfaat langsung dari program jaminan sosial. 4. Untuk memperoleh segala jenis pelatihan dan pendidikan, baik formal maupun non formal, termasuk yang berhubungan dengan pemberantasan buta huruf fungsional maupun penyuluhan isu lainnya. 5. Untuk membentuk kelompok-kelompok swadaya dan koperasi supaya memperoleh peluang yang sama terhadap kesempatan ekonomi (pekerjaan atau kewiraswataan). 6. Untuk berpartisipasi dalam semua kegiatan masyarakat. 7. Untuk dapat memperoleh kredit dan pinjaman pertanian, fasilitas pemasaran, teknologi tepat guna dan perlakuan sama pada land reform dan urusan-urusan pertahanan termasuk pengaturan-pengaturan tanah pemukiman. 8. Untuk menikmati kondisi hidup yang memadai, terutama yang berhubugan dengan perumahan, sanitasi, penyediaan listrik, air, pengangkutan dan komunikasi.
Universitas Sumatera Utara
Instrumen internasional lainnya yang berkaitan dengan penegakan dan pemenuhan hak-hak perempuan adalah Bejing Plat Form of Action/BPFA (Pedoman Aksi Beijing). BPFA adalah petunjuk umum bagi kebijakan-kebijakan terhadap perempuan. Dokumen tersebut menyebutkan secara garis besar banyak hak-hak yang telah disebutkan di atas. Berikut adalah ringkasan aksi-aksi pokok yang bisa dilaksanakan pemerintah dalam dua belas bidang: A. Perempuan dan Kemiskinan 1. Membahas, mengadopsi, dan menjamin kebijakan makroekonomi dan strategi pembangunan guna memenuhi kebutuhan dan usaha perempuan dalam kemiskinan. 2. Merevisi hukum dan praktik administrasi guna memastikan hak dan akses perempuan yang setara terhadap sumber-sumber ekonomi. 3. Menyediakan perempuan akses terhadap tabungan dan mekanisme kredit dan institusi. 4. Mengembangkan metodologi berbasis gender dan melakukan riset untuk mengatasi feminisasi kemiskinan. B. Pendidikan dan pelatihan bagi Perempuan 1. Menjamin akses yang setara terhadap pendidikan. 2. Menghapus buta huruf di kalangan perempuan. 3. Meningkatkan akses perempuan terhadap pelatihan ketrampilan, sains, teknologi, dan pendidikan yang kontinyu. 4. Mengembangkan pendidikan dan pelatihan yang tidak diskriminatif. 5. Mengalokasikan sumber-sumber yang memadai guna memonitor penerapan reformasi pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
6. Mempromosikan pendidikan seumur hidup dan pelatihan bagi perempuan remaja dan dewasa. C. Perempuan dan Kesehatan 1. Meningkatkan akses perempuan selama hidupnya guna memperoleh perawatan kesehatan yang murah dan berkualitas, informasi dan jasa lainnya yang terkait. 2. Memperkuat program preventif yang mendorong kesehatan perempuan. 3. Mengambil inisiatif yang sensitif gender guna menangani penyakit yang menular lewat hubungan seks, HIV/AIDS, dan isu seksual dan kesehatan reproduksi. 4. Meningkatkan riset dan menyebarkan informasi tentang kesehatan perempuan. 5. Meningkatkan sumber-sumber dan memonitor tindak lanjut penanganan kesehatan perempuan. D. Kekerasan terhadap Perempuan 1. Mengambil langkah-langkah yang terintegrasi guna mencegah dan menghapus kekerasan terhadap perempuan. 2. Mempelajari penyebab dan akibat dari kekerasan terhadap perempuan dan efektifitas langkah-langkah pencegahan. 3. Menghapus perdagangan perempuan dan membantu korban kekerasan yang disebabkan oleh prostitusi dan perdagangan perempuan. E. Perempuan dan Konflik Bersenjata 1. Meningkatkan partisipasi perempuan dalam penyelesaian konflik pada tingkat pengambilan keputusan dan melindungi perempuan yang hidup dalam situasi konflik apapun jenis konflik tersebut. 2. Mengurangi pengeluaran militer yang berlebihan dan mengontrol ketersediaan peralatan perang.
Universitas Sumatera Utara
3. Mempromosikan bentuk peneyelesaian konflik tanpa kekerasan dan mengurangi pelanggaran HAM dalam situasi konflik. 4. Meningkatkan kontribusi perempuan dalam membangun budaya damai. 5. Menyediakan perlindungan, pendampingan, dan pelatihan untuk pengungsi perempuan dalam lingkup nasional maupun internasional. 6. Menyediakan pendampingan bagi perempuan dalam negara-negara yang terjajah atau tidak memiliki pemerintahan sendiri. F. Perempuan dan Ekonomi 1. Meningkatkan hak ekonomi perempuan dan kemandirian termasuk akses terhadap pekerjaan dan kondisi pekerjaan yang memadai maupun kontrol atas sumbersumber ekonomi. 2. Memfasilitasi akses yang setara bagi perempuan terhadp sumber-sumber, pekerjaan, pasar dan perdagangan. 3. Menyediakan jasa bisnis, pelatihan dan akses terhadap pasar, informasi, dan teknologi khususnya bagi perempuan berpenghasilan rendah. 4. Memperkuat kapasitas ekonomi perempuan dan jaringan komersial. 5. Menghapus segregasi pekerjaan dan segala bentuk diskriminasi. 6. Mempromosikan harmonisasi kerja dan tanggung jawab keluarga dan perempuan dan laki-laki. G. Perempuan dan Pengambilan keputusan 1. Mengambil langkah-langkah untuk memastikan akses yang setara dan partisipasi penuh perempuan dalam struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan. 2. Meningkatkan kapasitas perempuan untuk berpartisiapsi dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan. H. Mekanisme Institusional bagi Kemajuan Perempuan
Universitas Sumatera Utara
1. Mendirikan atau memperkuat badan pemerintah yang memajukan perempuan. 2. Memasukkan perspektif gender dalam legislasi, kebijakan publik, programprogram dan proyek-proyek. 3. Menyusun dan menyebarkan data yang teragregasi secara gender dan informasi bagi perencanaan dan evaluasi. I. Perempuan dan Media 1. Meningkatkan partisipasi dan akses perempuan terhadap
ekspresi dan
pengambilan keputusan dalam dan melalui media dan teknologi komunikasi baru. 2. Mendorong dan mengakui jaringan media perempuan termasuk jaringan elektronik dan teknologi komunikasi baru lainnya sebagai sarana penyebaran informasi dan pertukaran pandangan pada tingkat internasional dan mendukung kelompok perempuan yang aktif dalam kerja media dan sistem komunikasi. 3. Mempromosikan citra perempuan yang seimbang dan tidak stereotip. J. Perempuan dan Lingkungan 1. Melibatkan perempuan secara aktif dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan masalah lingkungan pada semua tingkatan. 2. Memasukkan pertimbangan dan perspektif gender dalam kebijakan dan program bagi pembangunan berkelanjutan. 3. Memperkuat atau membangun mekanisme pada tingkat nasional, regional, dan internasional untuk mengakses dampak pembangunan dan kebijakan lingkungan terhadap perempuan. K. Anak Perempuan 1. Menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap anak perempuan. 2. Menghapus perilaku dan praktik kultural yang negatif terhadap anak perempuan.
Universitas Sumatera Utara
3. Mempromosikan dan melindungi hak anak perempuan dan meningkatkan kesadaran akan potensi dan kebutuhannya. 4. Menghapus diskriminasi terhadap anak perempuan dalam pendidikan, ketrampilan dan pelatihan. 5. Menghapus diskriminasi terhadap anak perempuan dalam kesehatan dan gizi. 6. Menghapus ekspoitasi ekonomi terhadap tenaga kerja anak dan melindungi anak perempuan dalam pekerjaan. 7. Menghapus kekerasan terhadap anak perempuan. 8. Mempromosikan kesadaran anak perempuan tentang partisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. 9. Memperkuat peran keluarga dalam meningkatkan status anak perempuan. Hak asasi perempuan dan anak perempuan merupakan bagian yang melekat, menyatu dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang universal. Partisipasi perempuan yang sepenuhnya dan sama dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional dan internasional, serta pembasmian segala bentuk diskriminasi atas dasar jenis kelamin merupakan tujuan berprioritas pada masyarakat internasional. Deklarasi dan Program Aksi Wina 51 4. PENTINGNYA PERLINDUNGAN DAN PENEGAKAN HAK PEREMPUAN Perjuangan untuk memasukkan perspektif perempuan dalam konsep HAM didasarkan padakenyataan bahwa pelanggaran Hak Asasi Perempuan (Woman Human Rights) oleh struktur masyarakat yang patriaki di berbagai bidang kehidupan sangat tidak adil untuk kaum perempuan. 52 Pembagian peran secara seksual yakni yang menempatkan perempuan dirumah
51
Ditetapkan oleh Konferensi Dunia Tentang hak asasi Manusa, Wina, 25 Juni 1993 (A/CONF.157/34 (Bagian I), bab III). 52
Alex Irwan, Perisai Perempuan Kesepakatan Internasional untuk Melindungi Perempuan, Yogyakarta: Yayasan Galang, 1999, hal 5.
Universitas Sumatera Utara
(sektor domestik atau sektor privat) dan laki-laki diuar rumah (sektor publik) menyebabkan terbatasnya akses perempuan terhadap akses perempuan terhadap sumber daya, ekonomi, sosial dan politik. Secara ekonomi ia menjadi sangat tergantung pada suaminya, kalaupun ia bekerja, ia tidak dipandang sebagai manusia yang utuh karena ia hannya dianggap sebagai pencari tambahan penghasilan keluarga. Oleh karena itu, ia tidak berhak menerima tunjangan-tunjangan (keluarga atau kesehatan) karena dianggap telah mendapatkan dari suaminya. Dalam kapitalisme global sekarang ini, misalnya kaum perempuankhususnya kaum perempuan dari negara-negara selatan (miskin dan berkembang) tidak pelak lagi merupakan sumber tenaga kerja murah. Celakanya ia harus mengalami puladiskriminasi upahdengan laki-laki yang berupah rendah. Ini berarti jika kaum laki-laki memperoleh perlakuan yang buruk didunia kerja, kaum perempan mendapatkan perlakuan yamng lebih buruk lagi bahkan seringkali mengalami kekerasan dan pelecehan seksual. Contoh paling nyata adalah kasus Marsinah, seorang buruh yang terpakksa mati karena menuntut kenaikan upah yang memang menjadi hak nya menurut ketentuan yang berlaku. Karena tuntutan itu, ia tidak hanya cukup dibunuh tapi juga disiksa dibagian vaginanya sebelum kematian. Hal itu dilakukan karena ia seorang perempuan yang secra biologis memiliki ciri khusus tapi juga dilekatkan sifat-sifat tertentu berdasarkan gender yang dilekatkan pada seorang perempuan artinya sebagai seorang perempuan ia dianggap tidak layak untuk tampil sebagai pemimpin buruh, apalagi menuntut hak-haknya. Dalam citra umum yang berlaku, seorang perempuan haruslah tunduk terhadap apa saja yang telah
Universitas Sumatera Utara
ditentukan untuknya. Kasus Marsinah hanyalah sekedar contoh saja dari diskriminasi kaum perempuan.
53
Secara politik, kaum perempuan dianggap sekunder dan tidak punya otonomi karena suamilah kepala keluarga yang menentukan urusasn-urusan yang bersifat publik. Seorang perempuan yang telh kawin serta merta dianggap sebagai milik suaminya. Dilihat dari kenyataan-kenyataan diatas tampaklah bahwa seorang perempuan dianggap sebagai kaum yang tidak bisa menentuan hidupnya sendiri. Jika kita lihat dalam sejarahtampakklah bahwa upaya untuk memperbaiki perluyakni semata-mata untuk membuka penglihatan setiap masyarakat yang telah buta akibat bias gender yang telah lama tertanam dan keluar sebagai paradigma yang negatif. Karena antara hak perempuan dan hak laki-laki adalah sama. Wajiblah setiap bangsa untuk mengkui hal itu. Setiap negara wajib melindungi hak-hak perempuan juga HAM . Sama seperti bagaimana negara membela hak anak, hak buruh, hak para pekerja. Demikian juga dengan hak perempuan.
B. HAK POLITIK PEREMPUAN Politik selama ini selalu identik dengan dunia laki-laki, dengan dunia kotor, yang tidak pantas dimasuki oleh perempuan. Politik identik dengan sesuatu yang aneh dari pandangan feminitas karena politik terkait dengan kekuasaan, kesewenangan, pengerahan massa dan kompetisi-kompetisi yang tidak melekat dalam diri perempuan yang mengutamakan perdamaian dan harmoni. Kekuasaan pada dasarnya netral. Ia bisa digunakan untuk kebaikan atau sebaliknya. Di dunia politik, kekuasaan yang digunakan dengan baik diwujudkan melalui kepatuhan, perubahan dan pembaharuan.
53
Krisna Harahap, SH, MH, HAM dan Upaya Penegakkannya Di Indonesia, Bandung: PT Grafin Budi Utomo, 203 hal 133
Universitas Sumatera Utara
Kondisi-kondisi negatif diatas, tidaklah menjadi suatu penilaian pesimis untuk berkiprah dalam dunia politik. Kenyataan membuktikan dimana pun seorang warga negara baik laki-laki dan perempuan yang tidak mau berpolitik secara sadar atau tidak sadar menyerahkan nasibnya kepada orang lain. Karena mereka yang aktif dalam politiklah yang nantinya akan membuat keputusan dan mengatur kehidupan dari warga negara yang tidak mau berpolitik secara detail. Padahal keputusan-keputusan yang menyangkut harkat hidup orang banyak termasuk permasalahan-permasalahan perempuan dilakukan dalam lembaga eksekutif dan legislatif yang karier tersebut diraih melalui proses-proses politik. 54 Dalam menanggulangi berbagai tindakan diskriminasi terhadap perempuan, masyarakat internasional seperti yang terwakili dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa bertekad untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di semua negara. Tekad ini antara lain dapat diketahui melalui Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (1948). Dalam Mukadimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948 dengan jelas dinyatakan bahwa hak dasar manusia antara laki-laki dan perempuan adalah sama. 55 Pernyataan ini kemudian dipertegas dalam Pasal 1 Deklarasi tersebut, yang berbunyi:
“Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dianugerahi akal dan budi nurani dan hendaknya satu sama lain bergaul dalam semangat persaudaraan”. 56 Sementara di dalam Pasal 2 Deklarasi tersebut, menyebutkan:
54
Harmona Daulay, Perempuan dalam Kemelut Gender, Medan: USU Press, 2007, hal 40.
55
Suharizal and Delfina Gusman, Suatu Kajian Atas Keterwakilan Perempuan di DPRD Sumatera
Barat.
56
Anshari Thayib, Arief Affandie, Hermawan Malik, Bambang Parianom, Pusat Kajian Strategis Dan Kebijakan (PKSK), Hak Asasi Manusia dan Pluralisme Agama, Surabaya, 1997, hal. 238.
Universitas Sumatera Utara
“Setiap orang mempunyai hak atas semua hak dan kebebasan yang termaktub di dalam pernyataan ini, tanpa kekecualian macam apapun, seperti asal usul keturunan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendirian politik atau pendirian lainnya, kebangsaan atau asal usul sosial, hak milik, status kelahiran ataupun status lainnya”. 57
Konvensi Internasional yang memberi perlindungan terhadap hak-hak perempuan antara lain adalah Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR)), Konvensi Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)), Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention for the Elimination of Discrimination Againts Women (CEDAW)), dan lain-lainnya. Konvensi-konvensi tersebut di atas merupakan positivikasi terhadap perlindungan hak-hak asasi perempuan yang sudah mendapat pengakuan dari masyarakat internasional dan sekaligus menunjukkan keseriusan masyarakat internasional dalam upaya mencegah, menanggulangi dan mengakhiri segala bentuk tindakan diskriminatif terhadap perempuan dalam rangka mengangkat harkat dan martabat perempuan sebagai manusia seutuhnya.
1.
KONSEPSI POLITIK Politik merupakan salah satu kata yang paling banyak di bicarakan di tengah-tengah
masyarakat. Biasanya mereka mengartikan politik sebatas halhal yang menjadi urusan partai partai politik, masalah-masalah yang dihadapi oleh tokoh politik, segala hal yang bertalian
57
Ibid, hlm. 239.
Universitas Sumatera Utara
dengan pemilihan dan pemberia suara, dan seterusnya. Secara realita menunjukkan bahwa semua itu adalah aktivitas politik yang termasuk dalam kandungan makna politik. Politik menurut Aristoteles 58 adalah segala sesuatu yang sifatnya dapat merealisasikan kebaikan di tengah masyarakat. Ia meliputi semua urusan yang ada dalam masyarakat; sudut pandang ini meletakkan politik sebagai bagian dari moral atau akhlak Dalam terminologi Arab, secara umum dipahami bahwa kata siyasah (politik) berasal dari bahasa as saus yang berarti ar riasah (kepengurusan). Jika dikatakan saasa al amra berarti qaama bihi (menangani urusan). Syarat bahwa seseorang berpolitik dalam konteks ini adalah ia melakukan sesuatu yang membawa keuntungan bagi sekumpulan orang. 59 Sebagian masyarakat Barat memahami politik sebagai suatu proses yang berjalan terkait dengan penyelenggaraan negara atau sistem pemerintahan. Politik didefinisikan sebagai seni mengatur negara, hubungan antar negara, juga hak-hak warga negara dalam mengatur urusan kenegaraan.Ada juga yang mengaitkan politik sebagai aktivitas kelompok dalam masyarakat, misalnya partai politik. 60 Menurut Iswara politik adalah “perjuangan untuk memperoleh kekuasaan” atau teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan” atau “masalah-masalah pelaksanaan dan pengawasan kekuasaan,” atau “pembentukan dan penggunaan kekuasaan.” 61 Dalam hal ini hakekat dari politik adalah kekuasaan dan dengan begitu proses politik merupakan serentetan peristiwa yang hubungannya satu sama lain didasari atas kekuasaan.
58
Cahyadi Takariawan, Fikih Politik Kaum Perempuan. Yogyakarta: Tiga Lentera Utama, 2002, hal
59
Ibid, hal 49.
60
Ibid, hal 47.
61
F. Isjwara, SH,LLM, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Bina Cipta, 1982, hal 42.
48.
Universitas Sumatera Utara
Banna menyebutkan politik adalah hal memikirkan persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat. Sisi internal adalah mengurus persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan dikritisi jika mereka melakukan kekeliruan. 62 Sedangkan sisi eksternal dalam wacana Banna adalah memelihara kemerdekaan dan kebebasan
bangsa,
menghantarkannya
mencapai tujuan
yang
akan
menempatkan
kedudukannya di tengah-tengah bangsa lain serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusanurusannya. Karena persepsi semacam inilah Banna dengan tegas mengatakan bahwa seorang muslim belum sempurna keislamannya kecuali jika ia menjadi politikus, mempunyai pandangan jauh ke depan dan memberikan perhatian penuh kepada persoalan bangsanya. Keislaman seseorang menuntutnya untuk memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan bangsa. Perbedaan-perbedaan defenisi di atas oleh Budiardjo dikatakan sebagai akibat pandangan sarjana dalam meneropong politik dari satu aspek atau unsur dari politik saja. Menurutnya konsep-konsep pokok dari politik seperti yang di kemukakan oleh para ahli di atas sebenarnya terdiri dari konsep negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijaksanaan, dan pembagian atau alokasi. 63 Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa cakupan aktivitas politik itu luas. Mulai dari aktivitas individual yang memproses perubahan, sampai aktivitas kolektif dalam partai politik atau dalam urusan pemerintahan. Keseluruhannya masuk wilayah pengertian politik.
2.
HAK POLITIK PEREMPUAN
62
Hassan Al Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Solo: Era Intermedia, 2002, hal 127.
63
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal 7.
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan hak-hak politik adalah yang ditetapkan dan diakui oleh undangundang berdasarkan keanggotaan sebagai warga negara. Biasanya ada korelasi antara hak hukum dan politik dengan masalah kewarganegaraan. Artinya hak politik itu hanya dimiliki oleh orang yang berada di wilayah hukum negara tertentu dan tidak berlaku untuk orang asing. Hak-hak politik selalu menyiratkan partisipasi individu dalam membangun opini publik, baik dalam pemilihan wakil-wakil mereka di DPR atau pencalonan diri mereka menjadi anggota perwakilan tersebut. Cakupan dari hak-hak politik itu adalah pengungkapan pendapat dalam memilih, mencalonkan diri sebagai anggota DPR, hak untuk diangkat sebagai pemimpin maupun dipilih sebagai presiden dan hal-hal lain yang berkorelasi dengan dimensi hukum dan politik. Hak-hak politik dan hukum perempuan selama ini masih semu, artinya terus-menerus berada di bawah kekuasaan laki-laki dalam masyarakat Indonesia yang menganut faham patriarkhat. Kondisi ini tercipta karena kebanyakan masyarakat memandang perempuan lebih "hina" dan karenanya harus tunduk kepada laki-laki. Pandangan seperti itu sudah menjadi "hukum alam" yang sulit untuk diformat ulang. Perbincangan mengenai hak-hak politik dan hukum perempuan dalam tradisi Islam melahirkan dua aliran besar: pertama, aliran yang secara absolut mengingkari hak-hak hukum dan politik bagi perempuan. Mereka memahami hadis "tidak akan berjaya satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan" lebih kepada tekstualnya, sehingga hukum yang muncul adalah sekedar hukum yang tertulis (law in book). Kedua, aliran yang berpendapat bahwa Islam mengakui adanya hak-hak hukum dan politik bagi perempuan. Mereka memahami dan menafsirkan hadis tersebut lebih kepada kontekstual dengan menggunakan pendekatan hermeneutika Kelompok ini menegaskan bahwa Islam menetapkan
Universitas Sumatera Utara
dan mengakui hak-hak hukum dan politik perempuan, termasuk hak menjadi pemimpin atau presiden.
64
Hak politik perempuan pada dasarnya adalah hak asasi manusia, dan hak asasi manusia merupakan esensi dari kerangka demokrasi. Sehingga melibatkan perempuan dan laki-laki di dalam proses pengambilan keputusan menjadi syarat mutlak dalam demokrasi. Dalam teori ini sesungguhnya tidak lagi ada dikotomi perempuan - pria. Tapi pada kenyataannya hak perempuan masih dipolitisir dan di mobilisasi atas nama demokrasi. Kebijakan-kebijakan politik harus pula dilihat dari perspektif gender. Kalau di dalam praktiknya partai politik menjadi hambatan budaya yang luar biasa terhadap peran forml politik perempuan, maka perlu adanya kuota bagi perempuan di setiap partai politik. Ada anggapan bahwa cukup hanya ada satu partai perempuan yang dapat mewakili aspirasi perempuan Indonesia. Hal ini sangat tidak arif dan salah besar. 65 Penegasan hak politik perempuan dibuktikan dengan telah diratifikasinya Konvensi Hak-hak Politik Perempuan (Convention On the Political Rights). Ketentuan dalam konvensi PBB tentang hak-hak politik peremppuan menjelaskan sebagai berikut: 1. Perempuan berhak untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki tanpa suatu diskriminasi. 2. Perempuan berhak untukdipilih bagi semua badan yang dipilih secara umum, diatur oleh hokum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki tanpa ada diskriminasi.
64
Muhammad Fadhly Ase, S.H.I., ISLAM, HUKUM DAN POLITIK: Analisa Hak-Hak Hukum dan Politik Perempuan, dalam http//:www.badilag.net// diakses pada Rabu, 3 November 2010. 65
Ahmad Wahib, Op. Cit.,
Universitas Sumatera Utara
3. Perempuan berhak untuk memegang jabatan publik dan menjalankan semua fungsi publik,diatur oleh hokum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki tanpa ada diskriminasi. Lebih jauh lagi, CEDAW juga mengatur tentang hak politik perempuan, yaitu yang tertuang dalam pasal 7 dan pasal 8, yang menentukan bahwa: 1. Memilih dan dippilih 2. Berpatisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah da imnplementasinya. 3. Memegang jabatan daam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintah disemua tingkat , 4. Berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan nonpemerintah yang berhubungan dengan kehidupan politik dan publik. 5. Mewakili pemerintah pada tingkat internasional 6. Berpartisipai dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional. 66
3.
SEJARAH PERGERAKAN PEREMPUAN DALAM MEMPERJUNGKAN HAK POLITIK
Tanggal 8 Maret tiap tahunnya, komunitas pergerakan perempuan mengenalnya sebagai Hari Perempuan Internasional. Sebuah peringatan atas penegakan hak-hak sipil dan politik perempuan yang pernah diperjuangkan oleh pergerakan perempuan di Amerika dan beberapa negara Eropa sejak tahun-tahun pertama abad XIX. Partai Sosialis Amerika boleh disebut pencetus gerakan ini. Partai ini mengusulkan agar hari terakhir Februari dijadikan hari demonstrasi untuk persamaan hak politik perempuan, khususnya hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Dari sini kemudian muncul solidaritas global dan aksi yag lebih terorganissasi di kalangan aktivis perempuan untuk memperjuangkan hak-hak politik. 66
Achie Sudiarti Luhulima, Op. cit, hal 200.
Universitas Sumatera Utara
Gerakan yang lebih terorganisasi ini kemudian memunculkan Deklarasi Copenhagen pada tahun 1910 yang menyerukan "bersatulah kaum perempuan sedunia untuk memperjuangkan persamaan hak perempuan dan anak-anak, untuk pembebasan nasional dan perdamaian". Satu tahun setelah Deklarasi Copenhagen, pada 19 Maret 1911 Hari Perempuan Internasional diperingati kali pertama oleh beberapa negara Eropa seperti Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss. Kala itu lebih dari sejuta perempuan dan laki-laki turun ke jalan menuntut persamaan hak bagi kaum perempuan, penghapusan diskriminasi, dan persamaan hak-hak sipil lain.
Perisiwa yang paling dramatis adalah kedua pergerakan perempuan Rusia turun ke jalan pada minggu terakhir Februari 1917. Sebab, empat hari setelah aksi tersebut digelar, Czar (raja) turun tahta dan pemerintahan sementara mengakui hak perempuan untuk ikut dalam pemilu. Momentum bersejarah ini jatuh pada 23 Februari di Kalender Julian yang digunakan di Rusia atau 8 Maret menurut Kalender Gregorian atau Masehi. Sejak itu Hari Perempuan Internasional diperingati pada tanggal tersebut.
Di Tanah Air Hari Perempuan Internasional tampaknya tidak terlalu populer, kecuali oleh beberapa kelompok aktivis perempuan. Walaupun PBB pernah menyerukan kepada komunitas internasional agar membuat satu hari sebagai peringatan Hari PBB untuk Hak Asasi Perempuan dan Hari Perdamaian Dunia (PBB sejak 1978 menetapkan 8 Maret dalam daftar hari libur resmi), tidak ada dalam sistem penanggalan nasional yang memuat peringatan Hari Perempuan Internasional. Publik di Tanah Air lebih mengenal Hari Kartini setiap 21 April atau 22 Desember sebagai Hari Ibu. Sayang, peringatan kedua peristiwa tersebut sama sekali tidak mencerminkan semangat perjuangan kaum perempuan. Peringatan Hari Kartini, misalnya, justru mendistorsi substansi perjuangan Kartini dan menjustifikasi
Universitas Sumatera Utara
peran kaum perempuan pada wilayah domestik sekaligus mengukuhkan tatanan sosial yang patriarkis. 67
4.
PERSPEKTIF PEREMPUAN DALAM POLITIK
Diskursus mengenai perempuan terlibat dalam politik memunculkan permasalahan tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Meskipun demikian hadirnya perempuan untuk berpartisipasi dalam bidang politik merupakan salah satu indikasi kemajuan dan kualitas demokrasi sebuah bangsa. Dalam perspektif gender yang di usung oleh kalangan feminis terdapat adagium yang menyatakan bahwa perempuan harus dilibatkan dalam kedudukan yang sejajar dengan lakilaki di seluruh bidang pembangunan termasuk dalam bidang politik. Dengan dilibatkannya perempuan dalam bidang politik maka dalam setiap pengambilan kebijakan senantiasa menghadirkan sensitifitas gender. Sehingga praktek-praktek diskriminasi terhadap perempuan baik yang bersifat struktural maupun kultural dapat ditiadakan. 68 Kaum feminis menganggap bahwa pembangunan selama ini jauh dari nilai-nilai keadilan, perempuan senantiasa diposisikan secara subordinat sementara laki-laki berada pada posisi dominan. Selanjutnya kalangan feminis mengambil contoh tentang rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik formal. Mereka menganggap bahwa selama ini kurangnya keterlibatan perempuan dalam lembaga poltik formal yang nota bene akan mengambil keputusan publik sedikit tidaknya telah berdampak pada kebijakan yang tidak sensitif gender. Misalkan saja kebijakan mengenai kesehatan, perkawinan, pendidikan, dan
67
Maya Yudayanti SSos, Op. Cit.
68
Lany Verayanti, Partisipasi Politik Perempuan Minang dalam Sistem Matrilineal. Padang: LP2M, 2003, hal 39.
Universitas Sumatera Utara
kesempatan kerja dalam segala aspeknya. 69 Hal tersebut menjadi relevan ketika politik sendiri dalam perspektif feminis selalu diartikan sebagai kekuasaan dan legislasi. Pemaknaan politik yang demikian kemudian bermuara pada lahirnya ide pemberdayaan peran publik perempuan melalui jalur politik. Kaum perempuan selalu diarahkan untuk mampu menempatkan diri dan berkiprah di elite kekuasaan, lembaga legislasi, atau minimal berani memperjuangkan aspirasinya sendiri secara independen tanpa pengaruh maupun tekanan pihak apa pun. Maka para kaum feminis, selalu mempermasalahkan kuantitas perempuan yang duduk dalam lembaga legislatif. Keterwakilan aspirasi perempuan tercermin dengan banyaknya jumlah yang dapat duduk pada badan-badan tinggi negara yang membuat undang-undang. Tahun 1990, UNDP (United Nations Develepoment Programme)
menambahkan satu indikator baru untuk mengukur
keberhasilan pembangunan suatu negara, jika sebelumnya hanya diukur dengan pertumbuhan GDP (Growth Domestic Product) kini ditambah dengan HDI (Human Development Index) yang salah satu ukurannya adalah konsep kesetaraan gender (gender equality). Dikatakan bahwa faktor kesetaraan gender harus selalu diikutkan dalam mengevaluasi keberhasilan pembangunan nasional. Perhitungan yang dipakai adalah GDI (Gender Development Index), yaitu kesetaraan antara pria dan wanita dalam usia harapan hidup, pendidikan, dan jumlah pendapatan, serta GEM (Gender Empowerment Measure), yang mengukur kesetaraan dari partisipasi politik (Human Development Report, 1995). Konsep kesetaraan gender dalam bidang politik oleh gerakan feminis di Indonesia pada akhirnya mampu diimplementasikan dengan munculnya tindakan affirmatif action yaitu kuota 30 % bagi perempuan Indonesia yang terangkum dalam Undang-Undang Pemilu No. 12 Pasal 65 Tahun 2003. Perjuangan kaum feminis ini sebelumnya banyak mendapat respon yang bersikap pro maupun kontra terhadap ide tersebut. Bila menelusuri perjuangan kaum
69
Any Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta: Kompas,2005, hal xxxi.
Universitas Sumatera Utara
feminis di Indonesia, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari sebuah rentetan sejarah dan ideologis yang menyertainya. Menurut Bahsin dan Khan bahwa munculnya feminisme merupakan suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut Gerakan feminisme sendiri memiliki sejarah yang cukup panjang, yaitu dimulai di Barat sejak abad XVII, namun mengalami pasang surut. Baru pada tahun 1960-an, khususnya di Amerika mulai marak kembali dengan skala pengkajian dan penyebaran lebih intens dan meluas (Dewi dalam Muthali’in, 2001:42). Dalam kurun waktu itu dikenal berbagai aliran atau sebutan gerakanfeminisme, seperti Socialist feminis, solf feminis movement, radikal feminis, liberel feminis, dan womens’lib. Menurut Hubies bahwa feminisme memiliki dasar preposisi sebagai berikut : a. Feminisme muncul sebagai reaksi kesadaran beroposisi terhadap fitnah dan ketidakadilan perlakuan terhadap perempuan dalam bentuk oposisi dialektis terhadap praktek mysogini atau kekejaman laki-laki terhadap perempuan; b. Ada keyakinan dalam masyarakat yang perlu diretas, dinyatakan bahwa identitas sosial jenis kelamin bersifat kultural, bukan berifat biologis; c. Berkeyakinan bahwa adanya kelompok sosial perempuan merupakan penegas eksistensi kelompok sosial laki-laki, dalam arti bahwa kelemahan atau kelebihan kelompok jenis sosial kelamin tertentu sekaligus pula menampakkan kelemahan dan kelebihan kelompok sosial jenis kelamin lainnya. Maksudnya tidak ada jenis kelamin tertentu yang mutlak dalam kehidupan sosial; d. Adanya kesamaan sudut pandang dalam melihat dan memahami warisan sistem nilai yang berlaku, yang kemudian digunakan untuk menentang pembedaan dan pembatasan jenis kelamin yang dikonstruksi oleh budaya;
Universitas Sumatera Utara
e. Adanya keinginan untuk menerima konsep manusia dan prikemanusiaan secara lebih hakiki. Preposisi di atas memberikan penjelasan bahwa setiap manusia memiliki peluang dan kesempatan yang sama menjadi yang terbaik, khususnya pada perempuan. Dengan demikian bahwa pandangan para feminisme mengenai keterlibatan perempuan dalam politik merupakan suatu manifestasi gerakan untuk meraih kebebasan dan kemerdekaan perempuan dari penindasan dan ketidakadilan.
5.
PENTINGNYA PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK
Data keterwakilan perempuan di parlemen nasional sedunia dari International Parliamentarian Union (IPU) tertanggal 31 Januari 2006 menunjukkan, Indonesia menduduki tempat ke 89 dari 186 negara - jauh dibawa Afghanistan: 27,3% (No.24), Vietnam: 27,3% (No.24), Timor Leste: 25,3% (No.28), Pakistan: 21,3% (No.41), Cina: 20,3% (No.48), Singapore: 16% (No.66), Filipina: 15,3% (No.67), Bangladesh: 14,8% (No.70), Korea Selatan: 13,4% (No.75), masih dibawa Syrian Arab Republic: 12% (No.86). Tercatat negaranegara Asia dibawa Indonesia a.l.: Thailand: 10,8% (No.93), Malaysia: 9,1% (No.103), Jepang: 9,0% (No.104), India: 8,3% (No.108) dan ada 11 negara yang tidak ada perempuan dalam parlemen-nya. Realitas politik ini jelas memprihatinkan, mengingat 53% pemilih pada Pemilu 2004 yang lalu adalah perempuan, dibandingkan 47% pemilih laki-laki. Perempuan yang merupakan mayoritas penduduk dan pemilih, berhak juga untuk memperoleh keterwakilan politik yang setara dan seimbang dengan laki-laki, agar dapat "menyuarakan" dan terlibat dalam menentukan prioritas kepentingan dan mendapat manfaat dari pembangunan.
Universitas Sumatera Utara
Implikasi dari rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga penentu kebijakan publik, berakibat pada dikeluarkannya kebijakan publik yang timpang, karena kurang memperhitungkan kontribusi dan kebutuhan perempuan, serta menghasilkan kebijakn publik
yang
rendah
kualitasnya.
Data
nasional
diatas
menunjukkan
adanya
disparitas/ketimpangan diantara warga negara perempuan dan laki-laki yang mendapat manfaat dari pembangunan yang sedang berjalan, terutama perempuan tertinggal di bidang pendidikan, kesehatan, ketenaga kerjaan, perlakuan diskriminatif, tindak kekerasan, perdagangan perempuan dan anak, dsb. yang pada akhirnya akan berpengaruh pada kesejahteraan dan kemajuan bangsa secara menyeluruh. Partisipasi perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan pemikiran sampai kepada kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan politik sangatlah diperlukan. Hal ini disebabkan apabila keterwakilan di lembaga politik Formal diserahkan kepada laki-laki sebagai wakil perempuan akan menghasilkan kondisi bias gender. Hal ini terjadi karena sangat kecil peluang laki-laki yang bisa memperjuangkan hak perempuan karena laki-laki tidak mengalami apa yang dirasakan oleh perempuan. Ada beberapa alasan yang penting bagi perempuan untuk berpatisipasi dalam politik, yaitu: 1. Perempuan memiliki pengalaman khusus yang dipahami dan dirasakan oleh perempuan. Seperti isu diskriminasi, marginalisasi, kesehatan reproduksi, isu kekerassan dalam rumah tangga, isu kekerasan seksual dan lain-lain. 2. Partisipasi politik perempuan dharapkan bisa mencegah kondisi yang tida menguntungkan perempuan dala mengatasi permasalahan stereotipe terhadap perempuan, diskriminasi di bdang hukum, kehidupan sosial dan kerja, marginalisasi diluar dunia karier dan eksploitasi yang terjadi pada perempuan.
Universitas Sumatera Utara
3. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan politik yang mengutamakan perdamaian. Politik perempuan diharapkan membawa nilai-nilai penyeimbang yang mengatasi perkelahian dengan solusi berembuk, mengubah kompetisi menjadi kerjasama.
C.
CEDAW
(CONVENTION
ON
ELIMINATION
OF
ALL
FORM
70
OF
DISCRIMINATION AGAINST WOMAN) DAN HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM KERANGKA CEDAW Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia menjabarkan suatu perangkat komprehensif hak yang menjadi hak setiap orang, termasuk perempuan. Lalu mengapa dibutuhkan suatu perangkat hukum tersendiri bagi perempuan? Cara tambahan untuk melindungi hak asasi perempuan dianggap perlu karena pada kenyataannya sifat “kemanusiaan” mereka ternyata tidak cukup untuk memberi jaminan bagi perempuan atas pelaksanaan haknya. Mukadimah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menjelaskan, bahwa walaupun ada perangkat lain, perempuan tetap tidak memiliki hak yang sama seperti laki-laki. Diskriminasi terhadap perempuan tetap berlangsung di setiap masyarakat. Konvensi ini ditetapkan oleh Majelis Umum pada 1979 untuk memperkuat ketentuan-ketentuan dari perangkat internasional yang dirancang untuk memerangi berlangsungnya diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini mengidentifikasi berbagai bidang tertentu di mana diskriminasi terhadap perempuan terjadi, misalnya berkenaan dengan hak politik, perkawinan dan keluarga, serta pekerjaan. Pada bidang ini dan bidang-bidang lain, Konvensi merumuskan maksud dan tujuan serta usaha yang harus dilakukan untuk mempermudah terwujudnya masyarakat global. Dalam masyarakat seperti itu diharapkan perempuan dapat sepenuhnya menikmati 70
Harmona Daulay, Op. Cit, hal 36.
Universitas Sumatera Utara
persamaan dengan laki-laki, sehingga mereka dapat melaksanakan dengan sepenuhnya hak asasi manusia yang dijamin. Untuk memerangi diskriminasi berdasarkan gender, Konvensi meminta Negaranegara Pihak untuk mengakui pentingnya kontribusi ekonomi dan sosial kaum perempuan terhadap keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Ditegaskan bahwa diskriminasi akan menghambat pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi. Diakui pula adanya kebutuhan terhadap perubahan perilaku, melalui pendidikan bagi perempuan dan laki-laki, untuk menerima persamaan hak dan kewajiban, serta untuk mengatasi prasangka dan praktek berdasarkan peran yang telah menjadi stereotip. Hal penting lain dari Konvensi adalah pengakuan terbuka mengenai tujuan dari persamaan yang sebenarnya, selain persamaan secara hukum, dan juga mengenai kebutuhan akan upaya-upaya khusus, yang bersifat sementara, untuk mencapai tujuan tersebut. I.
SEJARAH TERBENTUKNYA CEDAW Suatu upaya mendasar yang dirasa perlu oleh PBB dan para aktivis HAM adalah
perumusan dari ukuran-ukuran yang secara internasional disepakati sehingga akan terwujud instrumen-instrumen internasional yang disepakati sehingga akan terwujud pemajuan persamaan antara pria dan wanita. 71 Upaya lain yang ditempuh PBB adalah membentuk Komisi Kedudukan Wanita. Komisi ini pada mulanya berstatus sebagai subkomisi saja yang menjadi bagian dari komisi HAM dan harus melapor pada komisi HAM. Pada bulan Juni 1946, Komisi Kedudukan Wanita diberi status sebagai komisi yangt secara langsung berada dibawah Economic and Social Council (ECOSOC). Komisi kedudukan wanita ini diserahi fungsi untuk mempersiapkan rekomendasirekomendasi dan laporan-laporan kepada ECOSOC mengenai pemajuan hak-hak wanita
71
The United Nations 1995, Op.cit hal 11.,
Universitas Sumatera Utara
dibidang politik, ekonomi, sipil, sosial dan pendidikan serta membuat rekomendasi tentang masalah-masalah mendesak dibidang hak-hak wanita yang harus segera ditangani. Dalam perjalanannya, Komisi Kedudukan Wanita memberikan usulan supaya dilaksanakan suatu Survei Global mengenai keberadaan dari hak-hak wanita diterima dalam sidang-sidang ECOSOC. Dalam rangka survei tersebut, Komisi Kedudukan Wanita menyarankan kepada ECOSOC untuk merekomendasikan kepada para pemerintah dari Negara-negara anggota PBB supaya setiap tahun mengisi kuisioner berisi pertanyaan tentang kedudukan hukum dari perempuan dan tentang perlakuan terhadap perempuan. Berdasarkan Survei Global tersebut, sekretariat PBB menerima hasil dengan keterangan mendetail tentang perempuan di negara-negara. Pada tanggal 16 Desember 1947, sekretariat PBB menerima kuisioner dari tujuh puluh empat (74) Negara dan hasilnya adalah terdapat dua puluh lima dari Negara tersebut tidak memberi hak-hak politik terhadap warga negara perempuan. Diperoleh juga data bahwa jumlah wanita yang buta huruf lebih besar dari pria. Informasi-informasi yang didapat kemudian digunakan sebagai legitimasi bagi pembuatan perjanjian-perjanjian internasional tentang hak-hak yang setara antara pria dan wanita dalam berbagai bidang termasuk hak-hak politik. 72 Kebutuhan untuk menyusun instrumen yang memiliki daya mengikat, yaitu suatu konvensi yang merumuskan hak-hak wanita semakin dirasakan. Maka ECOSOC meminta Komisi Kedudukan Wanita untuk menyusun rancangan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadp Wanita. Setelah melalui proses penyusunan rancangan, penerimaan usulan dari pemerintah dan saran-saran dari LSM, akhirnya pada tanggal 18 Desember 1976, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita atau Convention on Ellimination of all form of Discrimination Against Woman (CEDAW) atau yang sering
72
The United Nations 1995, Op.cit hal 16,17.,
Universitas Sumatera Utara
disebut dengan Konvensi Wanita diterima dalam sidang Umum dengan 130 negara setuju dan 11 negara abstain. Di Indonesia sendiri konvensi ini diratifikasi melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 dan diundangkan di Jakarta tanggal 24 Juli 1948.
II.
KONSEKUENSI NEGARA PERATIFIKASI KONVENSI CEDAW Konsekuensi ratifikasi Konvensi Wanita yaitu bahwa Negara-negara peratifikasi
menyetujui pernyataan: 1. Mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, 2. Bersepakat untuk menjalankan dengan dengan segala cara yang tepat, tanpa ditunda-tunda, kebijakan menghapus diskriminasi terhadap perempuan. (Pasal 2 Konvensi) 73 Sedangkan implikasinya adalah bahwa aparat negara, aparat provinsi dan daerah, legislator di pusat maupun daerah, aparat penegak hukum di pusat maupun daerah, dapat dituntut pertanggungjawabannya (akuntabilitas) jika: 1. Masih ada ketentuan hukum yang diskriminatif terhadap perempuan. 2. Tidak ditegakkan perlindungan hukum bagi perempuan terhadap praktek/tindakan diskriminasi. 3. Lembaga-lembaga negara dan pejabat pemerintah itu sendiri melakukan diskriminasi. 74 Yang disebut dalam a dan b adalah kelalaian, sedangkan a dan c adalah perbuatan. Konsekuensi ratifikasi konvensi ialah bahwa Negara Peserta (States Party) memberikan komitmen, mengikatkan diri untuk menjamin melalui peraturan perundangundangan, kebijakan, program dan tindakan-khusus-sementara (tindakan afirmasi), 73
74
Achie Sudiarti Luhulima, Op. cit, hal 23. Ibid, hal 23
Universitas Sumatera Utara
mewujudkan keadilan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, serta terhapusnya segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. III. ASAS DAN PRINSIP CEDAW Dalam Mukadimah Konvensi 75 dinyatakan antara lain: 1. Memperhatikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menguatkan lagi keyaakinan atas hak-hak asasi manusia, atasmartabat daan nilai pribadi manusia, dan atas persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. 2. Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia menegaskan asas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat didalamnya, tanpa perbedaan apapun, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin. 3. Memperhatikan bahwa Negara-negara peserta pada perjanjian-perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia berkewajiban menjamin hak yang sama antara pria dan wanita untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik. 4. Mengingat, bahwa diskrimiasi terhadap perempuan melanggar asas-asas persamaan hak dan penghargaan terhadap martabat manusia, merupakan hambatan bagi partisipasi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki dalam kehidupan politik,
sosial,
ekonomi,
dan
budaya
Negara-negara
mereka,
menghambatpertumbuhan kemakmuran masyarakat dan keluarga serta menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi perempuan dalam pengabdiannya pada negara dan kemanusiaan.
75
Lihat lampiran Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1984, tanggal 24 Juli 1984, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Hak Asasi Perempuan, Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Kelompok Kerja Conventio Watch, Pusat Kajian Wanita dan Jender, Universitas Indonesia dan yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004, hal 8-34.
Universitas Sumatera Utara
5. Mengingat, sumbangan besar wanita pada kesejahteraan keluarga dan pembangunan masyarakat, yang selama ini belum sepenuhnya diakui, arti sosial dari kehamilan, dan peranan kedua orang tua dalam keluarga dan dalam membesarkan anak-anak, dan menyadari bahwa peranan perempuan dalam memperoleh keturunan hendaknya jangan menjadi dasar diskriminasi, akan tetapi bahwa membesarkan anak-anak mewajibkan pembbagian tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dan masyarakat secara keseluruhan. 6. Menyadari, bahwa diperlukan perubahan pada peranan tradisional laki-laki maupun perempuan dalam masyarakat dan dalam keluarga untuk mencapai persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan.
76
Inilah yang kemudian menjadi asas-asas dalam konvensi CEDAW. Konvensi CEDAW menekankan pada kesetaraan dan keadilan (equality and equity) antara perempuan dan lakilaki, yaitu persamaan dalam hak, kesetaraan dalam kesempatan dan akses serta hak yang sama untuk menikmati manfaat di segala bidang kehidupan dan segala kegiatan. Konvensi CEDAW mengakui bahwa: 1. Adanya perbedaan biologis atau kodrati antara perempuan dan laki-laki; 2. Adanya pembedaan perlakuan yang berbasis gender yang mengakibatkan kerugian pada perempuan. Kerugian itu berupa subordinasi kedudukan dalam keluarga dan masyarakat, maupun pembatasan kemampuan dan kesempatan dalam memanfaatkan peluang yang ada. Peluang itu dapat berupa peluang untuk tumbuh kembang secara optimal, secara menyeluruh dan terpadu, peluang untuk berperan dalam pembangunan di semua bidang dan tingkat kegiatan, peluang untuk menikmati manfaat yang sama dengan laki-laki dari hasil-hasil pembangunan, dan peluang untuk mengembangkan potensinya secara optimal. 76
Achie Sudiarti Luhulima, Op. cit, hal 138.
Universitas Sumatera Utara
3. Adanya perbedaan kondisi dan posisi antara perempuan dan laki-laki, dimana perempuan ada dalam kondisi dan posisi yang lemah karena mengalami diskriminasi atau mananggung akibat karena perlakuan diskriminatif di masa lalu atau karena lingkungan keluarga dan masyarakat tidak mendukung kemandirian perempuan.
Dengan memperhatikan keadaan dan kondisi itu, Konvensi CEDAW menetapkan prinsipprinsip 77 dan ketentuan-ketentuan untuk menghapus kesenjangan, subordinasi serta tindakan yang merugikan kedudukan dan peran perempuan dalam hukum, keluarga dan masyarakat, di bidang sosial, ekonomi, politik dan bidang-bidang lainnya. Prinsip-prinsip yang dianut oleh Konvensi perlu dipahami untuk dapat menggunakan Konvensi sebagai 1. Alat untuk advokasi. 2. Sebagai kerangka untuk merumuskan strategi pemajuan dan penegakan hak perempuan. 3. Sebagai alau untuk menguji apakah suatu kebijakan, aturan atau ketentuan mempuya dampak dalam jangka pendek atau jangka panjang dan merugikan perempuan.
Prinsip-prinsip tersebut merupakan pula kerangka untuk merumuskan strategi pemajuan dan pemenuhan hak perempuan. Prinsip-prinsip Konvensi CEDAW digunakan pula sebagai alat untuk menguji apakah suatu kebijakan, aturan atau ketentuan mempunyai dampak – jangka pendek atau jangka panjang – yang merugikan perempuan. Prinsip-prinsip Konvensi CEDAW saling berkaitan, saling memperkuat dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Prinsipprinsip itu terjalin secara kosneptual dalam Pasal 1 – 16 Konvensi CEDAW. Konvensi CEDAW didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
77
Prinsip, (Lat) dasar (pendirian, tindakan, dsb); sesuatu yang dipegang sebagai anutan yang utama, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Badudu-Zain, 1994
Universitas Sumatera Utara
1. Prinsip Persamaan (keadilan dan kesetaraan) substantif, yaitu persamaan hak, kesempatan, akses dan penuikmatan manfaat. 2. Prinsip Non-diskriminasi, 3. Prinsip Kewajiban Negara. Prinsip-prinsip tersebut yang berasaskan kemanusiaan yang adil dan beradab, saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
A. Prinsip Persamaan Substansif Secara ringkas prinsip Persamaan (keadilan dan kesetaraan) Substantif yang dianut Konvensi CEDAW adalah: 1) Langkah-tindak untuk merealisasi hak perempuan yang ditujukan untuk mengatasi adanya
pembedaan,
disparitas/kesenjangan
atau
keadaan
yang
merugikan
perermpuan, 2) Langkah-tindak melakukan perubahan lingkungan, sehingga perempuan dan laki-laki mempunyai kesetaraan dalam kesempatan, kesetaraan dalam akses dan persamaan hak dalam menikmati manfaat dari kesempatan dan peluang yang ada, 3) Konvensi CEDAW mewajibkan negara untuk mendasarkan kebijakan dan langkahtindak pada prinsip-prinsip: (a) kesetaraan dalam kesempatan bagi perempuan dan laki-laki, (b) kesetaraan dalam akses bagi perempuan dan laki-laki, (c) persamaan hak dalam menikmati manfaat yang sama bagi perempuan dan laki-laki dari hasil menggunakan kesempatan dan peluang yang ada, 4) Persamaan hak hukum bagi laki-laki dan perempuan, dalam (i) kewarganegaraan, (ii) kesetaraan dan keadilan dalam perkawinan dan hubungan keluarga, (iii) kewarisan, (iv) dalam perwalian anak (guardianship).
Universitas Sumatera Utara
5) Persamaan kedudukan dalam hukum dan persamaan perlakuan di hadapan hukum. 78
B. Prinsip Non-Diskriminasi Konvensi CEDAW menegaskan kembali bahwa semua manusia dilahirkan bebas, memiliki bakat dan martabat serta hak yang sama. Oleh karena itu Negara wajib menjamin persamaan hak laki-laki dan perempuan di bidang ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik, dan di bidang lainnya. Jaminan ini hendaknya tertuang secara yuridis dalam peraturan perundangundangan, diberlakukan secara nyata, dan yang paling penting hak serta persamaan hak antara laki-laki dan perempuan itu benar-benar dinikmati perempuan secara nyata. Jadi bukan hanya de-jure atau formal, tetapi juga akses dan manfaat secara de-facto, bukan hanya persamaan formal, tetapi persamaan substantif, riil, nyata. Para pakar yang menyusun Konvensi CEDAW berpendapat bahwa jika berpangkal tolak dari “persamaan” menurut DUHAM [Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan asas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat di dalamnya, tanpa perbedaan apapun, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin] (dan juga Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 [Segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya] akan sulit mengetahui atau mengidentifikasi apakah ada diskriminasi terhadap perempuan. Cara yang digunakan untuk mengetahui apakah ada diskriminasi terhadap perempuan, dilakukan dengan mempelajari pengalaman yang dialami perempuan secara nyata. Untuk mengidentifikasi secara yuridis apakah ada diskriminasi terhadap perempuan, perlu ketentuan hukum yang memberikan definisi atau rumusan (unsur-unsur) tentang diskriminasi terhadap perempuan sebagai tolok ukur atau 78
Achie Sudiarti Luhulima, Op. cit, hal 136.
Universitas Sumatera Utara
pegangan. Hal ini telah dilakukan oleh Konvensi CEDAW yang mengawali dalam Pasal 1 Konvensi dengan definisi tentang Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang dapat digunakan sebagai definisi kerja. Definisi mengenai diskriminasi 79 terhadap perempuan dimuat dalam pasal 1 Konvensi CEDAW: “Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “diskriminasi terhadap perempuan” berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin, yang memiliki dampak atau tujuan menghalangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki” Pasal 1 Konvensi CEDAW merupakan definisi kerja arti diskriminasi terhadap perempuan. Pasal 1 dapat digunakan untuk melakukan identifikasi kelemahan peraturan perundang-undangan atau kebijakan formal atau netral. Perhatikan kata-kata kunci …pengaruh …atau …tujuan … Mungkin suatu peraturan perundang-undangan atau kebijakan tidak dimaksudkan untuk meniadakan penikmatan hak perempuan, tetapi apabila mempunyai pengaruh atau dampak merugikan perempuan – untuk jangka pendek atau jangka panjang – maka aturan atau kebijakan itu merupakan diskriminasi terhadap perempuan. Yang tidak dianggap sebagai diskriminasi ialah:
79
Definisi “diskriminasi” dalam Pasal 1 Butir 3, UU RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia: “Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual ataupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya]
Universitas Sumatera Utara
1) Tindakan-khusus-sementara (Pasal 4 ayat (1) Konvensi CEDAW), yaitu langkahtindak yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan bagi perempuan dan laki-laki. Tindakan tersebut wajib dihentikan jika tujuan kesetaraan dan perlakuan telah tercapai. Dikenal sebagai tindakan afirmasi (affirmative action), tetapi sekarang dianjurkan oleh Komite CEDAW dalam Rekomendasi Umum 25 tahun 2004 tentang Tindakan-Khusus- Sementara untuk menggunakan istilah tindakan-khusus-sementara (temporary special measures) 2) Perlindungan kehamilan (Pasal 4 ayat (2) yang merupakan tindakan khusus bagi perempuan, dan kehamilan sebagai fungsi sosial (Pasal 5 ayat (2). Sebaliknya, suatu tindakan proaktif seperti melarang perempuan melakukan suatu jenis pekerjaan tertentu, dapat dianggap sebagai diskriminasi, karena dalam jangka panjang dapat bertentangan dengan kepentingan perempuan. Pada tahun 1992 disadari bahwa definisi tersebut dalam Pasal 1 Konvensi CEDAW perlu dilengkapi dengan “kekerasan terhadap perempuan”. Hal ini dilengkapi dengan: a. Terbitnya Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 19 tahun 1992 tentang Kekerasanterhadap Perempuan, yang menentukan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah suatubentuk diskriminasi terhadap perempuan seperti ditentukan dalam Pasal 1 Konvensi. b. Pada tahun 1993 Konperensi Dunia tentang HAM di Wina menghasilkan Deklarasi dan Rencana Aksi Wina, yang menyatakan bahwa: a) Semua HAM adalah universal, tidak dapat dipisah-pisahkan, saling tergantung dan saling terkait, b) Hak asasi manusia perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut, integral dan tidak dapat dipisahkan, c) Hak atas pembangunan adalah HAM.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1993 Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Pasal 1) dan unsur-unsur kekerasan terhadap perempuan (Pasal 2) 80 Ketiga pokok itu saling melengkapi, yang memperluas arti “diskriminasi terhadap perempuan” dengan memasukan kekerasan terhadap perempuan sebagai suatu bentuk diskriminasi.
C. Prinsip Kewajiban Negara Menurut Konvensi CEDAW prinsip Kewajiban Negara meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Menjamin hak perempuan melalui hukum dan kebijakan, serta menjamin hasilnya 2. Menjamin pelaksanaan praktis dari hak itu melalui langkah-tindak atau tindakankhusussementara, menciptakan kondisi yang kondusif untuk meningkatkan akses perempuan pada peluang dan kesempatan yang ada, 3. Negara tidak saja menjamin tetapi juga merealisasi hak perempuan, 4. Tidak saja menjamin secara de-jure tetapi juga de-facto 5. Negara tidak saja harus bertanggung jawab dan mengaturnya di sektor publik, tetapi juga terhadap tindakan orang-orang dan lembaga di ranah privat (keluarga) dan ranah swasta (perusahaan, pabrik, dsb).
80
Pasal 1 Deklarasi: “Dalam Deklarasi ini, yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi”. Pasal 2: “Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada, hal-hal sebagai berikut: (a) Tindak kekerasan secara fisik, seksual atau psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas anak-anak perempuan dalam keluarga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, perusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami-isteri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi; (b) Kekerasan secara fiusik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lemnaga pendidikan dan di manapun juga, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa; (c) Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau diabaikan oleh Negara, di manapun terjadinya”.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Pasal 2 Konvensi CEDAW, Negara wajib: 1. Mengutuk diskriminasi, melarang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui peraturan perundang-undangan, termasuk sanksi-sanksinya di mana perlu, dan kebijakan serta pelaksanaannya; 2. Menegakkan perlindungan hukum bagi perempuan melalui peradilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, serta perlindungan yang efektif bagi perempuan dari setiap tindakan diskriminasi; 3. Mencabut semua aturan dan kebijakan, kebiasaan dan praktek yang diskriminatif terhadap perempuan.
Pasal 3 Konvensi CEDAW mewajibkan Negara untuk melakukan langkah-tindak proaktif di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, serta menciptakan lingkungan dan kondisi yang menjamin pengembangan dan kemajuan perempuan. [Pasal 3 Konvensi mewajibkan Negara untuk menjamin agar perempuan melaksanakan dan menikmati HAM dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan (keadilan dan kesetaraan) antara laki-laki dan perempuan. Jadi, Negara bertanggung jawab untuk memberdayakan perempuan dan wajib menyampaikan akuntabilitas berkenaan dengan pelaksanaan tugas itu. Pasal
4
Konvensi
mewajibkan
Negara
melakukan
tindakan-khusus-sementara
(temporaryspecial- measures) untuk mempercepat kesetaraan de-facto serta mencapai kesetaraan dalam perlakuan dan kesempatan bagi perempuan dan laki-laki (ayat 1). Tindakan tersebut wajib dihentikan apabila tujuan mencapai kesetaraan telah teracapai. Peraturan atau tindakan khusus yang ditujukan untuk melindungi kehamilan tidak dianggap sebagai diskriminasi (ayat 2). Negara mengakui adanya ketimpangan dalam hubungan antara laki-
Universitas Sumatera Utara
laki dan perempuan, karena ketertinggalan, kekurangan atau ketidakberdayaan perempuan, sehingga perlu dilakukan upaya dan peraturan khusus agar kesetaraan dan keadilan “defacto” dapat lebih cepat dicapai. Peraturan khusus itu tidak dianggap diskriminatif dan akan dihentikan jika kesetaraan telah tercapai (Pasal 4 ayat (1), sedangkan peraturan khusus untuk melindungi fungsi reproduksi (kehamilan) perempuan tidak dianggap diskriminatif tanpa batas waktu (Pasal 4 ayat (2). Pasal 5 Konvensi CEDAW mewajibkan Negara melakukan langkah-tindak yang tepat untuk: a. Mengubah tingkah laku sosial budaya laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka dan kebiasaan dan segala praktek lainnya yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau peran stereotype bagi laki-laki dan perempuan; b. Menjamin bahwa pendidikan keluarga memberikan pengertian yang tepat mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan dalam membesarkan anak-anak mereka, dan bahwa anak-anak adalah pertimbangan utama dalam segala hal. IV. HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM CEDAW CEDAW sebagai salah satu konvensi perempuan internasional yang bertujuan meminimalisir
diskriminasi terhadap
perempuan,
mengakomodir
hak-hak
terhadap
perempuan. Hak-hak tersebut adalah hak Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat Nasional,
hak Persamaan dalam Kehidupan Politik dan
Kemasyarakatan pada Tingkat Internasional, hak Persamaan dalam Hukum Nasional, Hak Persamaan dalam Pendidikan, Persamaan dalam Hak Pekerja dan Buruh, Hak atas Persamaan Kesempatan atas Pelayanan Fasilitas Kesehatan dan hak atas Jaminan Keuangan dan Sosial.
Universitas Sumatera Utara
Hak politik sebagai salah satu hak perempuan yang dilindungi dalam CEDAW adalah hak Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat Nasional dan pada tingkat internasional. Pengaturan mengenai hak politik perempuan dalam CEDAW secara gamblang diatur dalam pasal tujuh (7) dan pasal delapan (8). A. Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat Nasional Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa: “Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah perlu untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan kemasyarakatan negaranya, dan khususnya menjamin bagi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak sebagai berikut: a. Untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dan referendum publik, dan untuk dipilih pada semua badan badan yangsecara umum dipilih; b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya, serta memegang jabatan publik dan melaksanakan segala fungsi publik di semua tingkat pemerintahan; c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulanperkumpulan Non-Pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.”
Pasal 7 menghendaki Negara-negara Pihak untuk melakukan dua tahapan kegiatan, untuk menciptakan persamaan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan bagi perempuan. Pertama, Negara-negara harus menyebarluaskan hak yang telah dijamin berdasarkan Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan memberi jaminan terhadap perempuan untuk memberikan suara pada setiap pemilihan umum dan referendum. Masalah
Universitas Sumatera Utara
penting bagi perempuan adalah hak untuk memberikan suara secara rahasia. Perempuan yang tidak diijinkan memberikan suara secara rahasia sering dipaksa untuk memberikan suara yang sama dengan suami mereka, dan karenanya menghalangi mereka untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri. Kedua, Pasal 7 mengakui bahwa walaupun hal ini penting, hak untuk memilih saja tidaklah cukup untuk menjamin partisipasi yang nyata dan efektif bagi perempuan dalam proses politik. Oleh sebab itu Pasal ini menghendaki Negara untuk memastikan bahwa perempuan mempunyai hak untuk dipilih dalam badan-badan publik dan untuk memegang jabatan publik lainnya dan kedudukan dalam organisasi non-pemerintah. Kewajibankewajiban ini dapat dilaksanakan dengan memasukkan perempuan dalam daftar calon pemerintah, affirmative action dan kuota, dengan menghapus pembatasan berdasarkan gender pada posisi tertentu, meningkatkan tingkat kenaikan jabatan bagi perempuan, dan mengembangkan program pemerintah untuk menarik lebih banyak perempuan ke dalam peran kepemimpinan politik yang punya arti penting (tidak sekedar nominal). B. Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat Internasional Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa: “Negara-negara Pihak harus mengambil semua upaya-upaya yang tepat untuk memastikan agar perempuan memiliki kesempatan mewakili Pemerintah mereka pada tingkat internasional dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional, atas dasar persamaan dengan laki-laki dan tanpa diskriminasi apapun.”
Walaupun banyak keputusan-keputusan yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan perempuan dibuat di dalam negaranya sendiri, kecenderungan politik, hukum dan
Universitas Sumatera Utara
gejala sosial didorong dan diperkuat pada tingkat internasional. Untuk alasan ini maka pentinglah bahwa perempuan terwakili secara memadai dalam forum internasional sebagai anggota delegasi pemerintah dan sebagai pekerja pada organisasi internasional. Tujuan perwakilan yang setara bagi perempuan dalam tingkat internasional masih jauh dari kenyataan. Dalam rekomendasi umum No 8 yang ditetapkan pada sidang ketujuh tahun 1988, Komite Mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan merekomendasikan agar dalam pelaksanaan Pasal 8 Konvensi, Negara-negara Pihak memberlakukan tindakan khusus yang sementara misalnya affirmative action dan diskriminasi yang positif sebagaimana dituangkan dalam pasal 4. Negara-negara juga harus menggunakan pengaruhnya dalam organisasi internasional untuk memastikan agar perempuan terwakili secara setara dan memadai. Jadi, dalam CEDAW secara jelas telah cukup diakomodir tentang hak-hak politik perempuan, tetapi yang menjadi permasalahan kemudian adalah negara-negara peratifikasi konvensi CEDAW tidak memberikan perhatian khusus terhadap hak politik perempuan. Sehingga relisasi dan perkembangan hak politik perempuan tidak berjalan dengan baik.
Universitas Sumatera Utara