Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia Antonio Pradjasto Tanpa hak asasi berbagai lembaga demokrasi kehilangan substansi. Demokrasi menjadi sekedar prosedural. Jika kita melihat dengan sudut sebaliknya, kita saksikan bahwa pengalaman India sebagai negara demokratis terbesar di dunia, dimana sistem kasta masih dipraktikkan dalam masyarakat atau di Amerika Serikat, sebagai
negara
demokratis kedua terbesar di dunia, dimana anak-anak di bawah umur yang melakukan kejahatan dikenakan hukuman mati. Tampaknya demokrasi tidak selalu menjanjikan penghormatan hak asasi. Bagian ini mencoba menjelaskan bagaimana arti demokrasi bagi hak-hak asasi, baik hak sipil politik maupun hak ekonomi sosial. Hubungan demokrasi dan hak asasi manusia tercermin dalam berbagai ketentuan hukum hak asasi internasional. Pasal 21 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (selanjutnya DUHAM) dan pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil Politik (KIHSP) dengan tegas mengatakan hak setiap orang untuk turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui perwakilan. Dalam ayat (3) pasal 21 DUHAM diatur bahwa kehendak rakyat [dan bukan kehendak sekelompok orang] harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah. Di dalam konvensi-konvensi internasional hak asasi dikatakan secara khusus bahwa setiap pembatasan hak hanya bisa dilakukan sejauh ’diperlukan dalam masyarakat demokratis’ [pasal 29 DUHAM, lihat pula pasal 21 KIHSP]. Berbagai ketentuan hak asasi internasional ini menggambarkan bukan saja eratnya demokrasi dan hak asasi melainkan juga posisi demokrasi bagi hak asasi. Pentingnya demokrasi bagi hak asasi bisa dijelaskan sebagai berikut. Hak asasi yang membadan dalam DUHAM merupakan pengakuan universal akan martabat manusia. Hak dimiliki manusia semata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau negara. Hak asasi ada sebelum adanya negara. Hak asasi dibutuhkan oleh manusia agar manusia dapat hidup, dan hidup bermartabat. Inti dari hak
1
asasi adalah pengakuan akan martabat manusia dan persamaan. Pengakuan demikian harus diwujudkan dalam struktur kekuasaan tertentu. Tentu struktur kekuasaan itu bukan kekuasaaan otoriter atau yang bersifat diktator. Karena sistem pemerintahan demikian hanya dapat dibentuk dan bertahan dengan melanggar hak asasi. Dalam sejarahnya, hak asasi yang berkembang sebagai buah dari perjuangan menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi secara meluas justru terjadi dalam sistem pemerintahan otoriter atau ketika elit menyalahgunakan kekuasaan. Jika demikian struktur seperti apa yang memungkinkan penerapan hak asasi? Merujuk pada teori klasik dari John Locke, untuk menjamin terwujudnya hak itu maka seorang individu yang rasional akan membuat kesepakatan untuk hidup dalam sebuah pemerintahan
[kekuasaan
politik]
yang
melindungi
hak-hak
tersebut.
Warga
menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah tersebut, yang kemudian berfungsi sebagai agen dari masyarakat. Pemerintahan seperti itu adalah pemerintahan demokratis. Pemerintahan yang mengakui adanya kesetaraan warga untuk mengendalikan kekuasaan negara. Dalam bahasa Susan George, hak asasi membutuhkan demokrasi persis karena masyarakat etis (yang menjadi dambaan dari DUHAM) adalah masyarakat yang menjamin setiap orang akan kehidupan layak dan bermartabat. Masyarakat demikian memberi kesempatan setiap orang untuk memenuhi dirinya, disamping yang menjamin kebebasan berekspresi, berkumpul secara politis, keyakinan dan kebebasan lainnya. [Susan George, 1999].
Disamping itu, demokrasi memiliki persamaan tujuan dengan hak asasi yaitu untuk menentang absolutism politik. Hak asasi membatasi kekuasaan negara. Demikian pula dengan demokrasi yang memberi tekanan pada ‘rakyat’ [demos]. Dengan menekankan kata ‘rakyat’, legitimasi pemerintah diperoleh dari rakyat dan pemerintah harus akuntabel pada rakyat. Pada prinsipnya demokrasi mengakui bahwa semua keputusan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari mereka yang terkena dampak. Pengaruhnya pada tingkat empirik, adalah jika salah satu atau beberapa anggota masyarakat dikeluarkan dari proses pengambilan keputusan sama saja dengan mengesampingkan kepentingankepentingan mereka.
2
Dengan demikian, demokrasi merupakan satu-satunya sistem yang memberi struktur politik bagi dijaminnya hak asasi. Hak asasi dapat terwujud dalam alam demokratis yang terbuka di mana harapan, keluhan dan cita-cita dapat disuarakan. Hal ini bisa kita lihat pula secara empiris seperti pada pengalaman Indonesia. Ilustrasi pertama berkaitan dengan perlindungan hak-hak sosial ekonomi dan kedua berkaitan dengan penegakan hak asasi.
Hak Ekosob - Demokrasi
Apakah hak ekonomi sosial budaya membutuhkan demokrasi untuk realisasinya? Dalam praktek, perlindungan hak ekonomi sosial diletakkan dalam pilihan ‘nasi atau kebebasan’. Seakan-akan hak-hak sosial ekonomi (yang direpresentasi dengan ‘nasi’) hanya dapat dilindungi dengan mengesampingkan hak-hak sipil politik (‘kebebasan’), atau sebaliknya. Pada dekade 80-an pandangan ini ‘diambil alih’ oleh sejumlah negara, termasuk pemerintah Indonesia di zaman Soeharto, guna menekankan bahwa pembangunan ekonomilah yang harus didahulukan daripada penerapan hak asasi manusia. Pembatasanpembatasan hak asasi manusia, khususnya hak-hak sipil dan politik dianggap merupakan sebuah kebutuhan untuk tercapainya pembangunan (baca:pertumbuhan). Pembatasan hak-hak asasi merupakan trade off dari pembangunan. Akan tetapi penyangkalan hak asasi manusia karena adanya kebutuhan mengutamakan pembangunan tidak terbukti menghasilkan kesejahteraan. Demikian pula dengan alasan mendahulukan hak ekonomi, sosial dan budaya daripada hak sipil politik. Meskipun demikian untuk menunjukan relevansi demokrasi bagi hak sosial ekonomi gagasan itu dibuka kembali.
Pengesampingan hak asasi untuk menghasilkan pemerintahan yang kuat demi tercapainya pertumbuhan justru semakin menciptakan otoritarianisme, karena pendekatan ini membutuhkan strategi-strategi yang represif. Beetham misalnya mengungkapkan bahwa gagasan trade off sesungguhnya tidak memiliki kepentingan apapun dengan pemajuan
3
hak ekonomi sosial. Yang terjadi justru represi atas hak tersebut dan hak-hak politik yang sesungguhnya diperlukan untuk melindungi hak sosial ekonomi. [Beetham, 1998tahun]
Jika bercermin pada krisis ekonomi 1997, pengesampingan penerapan hak asasi juga mengakibatkan
tidak
tercapainya
tujuan
pembangunan
itu
sendiri.
Dengan
mengesampingkan kebebasan berkeyakinan, berpendapat atau berorganisasi mengurangi kemungkinan adanya akuntabilitas publik yang sistemik. Tanpa akuntabilitas publik yang sistemik, tidak ada yang dapat menahan penguasa otoriter menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan diri dan kroni-kroninya. Mac Intyre dalam studinya menunjukkan bahwa ketika otoriterisme digabungkan dengan korporatisme yang terjadi adalah kolusi antara bisnis dan Negara. [Andrew Mac Intyre, 1994].
Dalam sejarahnya, pendekatan ini di banyak Negara termasuk Indonesia, digunakan untuk
mengabsahkan
kebijakan-kebijakan
represif
Negara
terhadap
warganya.
Kebebasan-kebebasan dasar ditekan dalam nama ‘pertumbuhan’.
Hak-hak sosial ekonomi memang memberi kapasitas untuk menjalankan kebebasankebebasan sipil politik. Sebagai ilustrasi hanya dengan upah yang layak, pekerja dapat melaksanakan hak berserikatnya secara penuh. Namun, tanpa adanya kebebasan berkeyakinan, berpendapat maupun kebebasan pers yang merupakan bagian tak terpisahkan (intrinsic) dari demokrasi, pemenuhan hak sosial ekonomi juga tidak cukup terlindungi. Studi yang dikemukakan oleh Amartya Sen seorang pemenang hadiah nobel ekonomi, menunjukan bahwa persis karena tidak adanya kebebasan dasar itu, maka kelaparan terjadi secara meluas di China. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kelaparan bukan disebabkan oleh kekurangan pangan, melainkan kekurangan demokrasi. Dengan demikian demokrasi adalah kondisi yang diperlukan bagi pemenuhan hak ekonomi sosial.
Diperlukan bukan berarti cukup. Dengan demokrasi saja tidak serta merta akan terjamin hak-hak sosial ekonomi. Namun, setidaknya proses demokrasi mensyaratkan adanya kesempatan yang sama bagi semua orang untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan terhadap persoalan-persoalan yang mempengaruhi hidup mereka.
4
DEFISIT DEMOKRASI MENGHAMBAT HAM
Sejak pemerintahan otoriter Soeharto jatuh, sistem politik semakin terbuka yang membawa pengaruh pada lebih terjaminnya kebebasan-kebebasan sipil dan politik. Lebih dari tiga partai politik boleh berdiri dan mengikuti pemilu. Tak terhitung jumlah organisasi masyarakat sipil yang berdiri dan terlibat dalam berbagai persoalan publik. Terjadi pula pemisahan TNI dan Kepolisian yang selama ini menjadi alat pemerintah sebelumnya untuk mempertahankan dan memaksakan kekuasaannya. Dari segi legislasi pengakuan hak asasi terdapat mulai dari konstitusi (amandemen II/2000 UUD 1945), TAP MPR hingga UU HAM. Hak-hak demokratik seperti kebebasan berpikir, berpendapat dan berorganisasi terjamin dan diterapkan.
Namun, dalam praktek, keterbukaan politik tersebut tidak serta merta menghentikan pelanggaran hak asasi. Hak-hak lain seperti hak-hak yang menyangkut keamanan integritas fisik manusia dan hak ekonomi sosial budaya terus dilanggar. Konflik berdarah bernuansa agama sempat terjadi cukup lama di Maluku dan Poso. Anak putus sekolah, busung lapar, penggusuran terjadi dalam cakupan yang sangat luas. Negara juga tidak melaksanakan kewajibannya melindungi warga dari kekuasaan modal atau perilaku modal, sebagaimana ditunjukan dalam kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo dan berbagai kasus yang menimpa buruh migran Indonesia. Demikian pula dalam hal penyelesaian berbagai pelanggaran serius hak asasi di masa lampau.
Gambaran ini menunjukan tidak terbuktinya pengandaian bahwa hanya dengan menghormati dan menjamin hak-hak sipil politik warga akan memiliki kekuasaan untuk mengendalikan dan mengelola kekuasaan Negara. Bahkan institusi-institusi
yang
dibentuk untuk menegakan keadilan dalam arti memperbaiki kesalahan mengalami kegagalan. Defisit dalam hak asasi entah antara ‘dua kelompok’ hak yaitu hak sipil politik di satu pihak dan hak ekonomi sosial budaya di pihak lain; atau antara norma dan implementasi tetap saja terjadi [Asmara Nababan, 2006]. Hal ini berarti jaminan dan penerapan hak sipil politik semata tidak cukup memberi kerangka kerja yang kuat untuk merealisasi hak asasi.
5
Dari pengalaman empiris Indonesia, memang bukan kerangka kerja otoritarian, bukan pula sistem monarki atau negara integralistik yang dipilih. Melainkan kerangka kerja demokrasi. Dalam beberapa hal bahkan demokrasi telah menjadi aturan main bersama. Namun persoalannya demokrasi sebagai sistem yang mengatur hidup bersama itu mengalami defisit.
Sekalipun berbagai lembaga dan hak-hak demokratis telah berkembang di Indonesia, namun kualitas berbagai institusi dan hak yang menyangkut penegakan hukum yang berkeadilan (rule of law), kontrol sipil terhadap militer, representasi dan hak-hak sosial ekonomi masih buruk. Akibatnya, sistem demokrasi di Indonesia belum berfungsi maksimal karena defisit dalam demokrasi dan terjadinya monopolisasi berbagai institusi demokrasi oleh kelompok-kelompok dominan [Demos, 2007]
Pengalaman ini menunjukkan bahwa defisit demokrasi menjadikan kerangka kerja demokrasi tidak berfungsi maksimal. Kelompok-kelompok warga yang secara sosial, ekonomi dan politik marjinal masih tidak dapat memanfaatkan demokrasi untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Sebaliknya lembaga-lembaga demokrasi yang diperlukan untuk merealisasikan hak asasi dikendalikan dan disalahgunakan oleh kelompok dominan yang lebih ‘mengkonsumsi’ demokrasi daripada ‘memproduksi’ demokrasi. Kuatnya kendali kelompok ini mempengaruhi kualitas penerapan hak asasi. Dari uraian di atas, meskipun demokrasi tidak serta merta menjanjikan penghormatan hak asasi, sistem demokrasi dan nilai-nilai di dalamnya memberi harapan bahwa warga dapat terlibat dalam urusan-urusan bersama, karena demokrasi adalah sistem dimana warga mengendalikan kekuasaan negara dan bukan sebaliknya. Namun proses demokrasi tidak pernah selesai. Demokrasi pada prakteknya dibangun dari interaksi kekuatan popular dengan kekuatan pemegang kekuasaan. Oleh karena itu dibutuhkan agen-agen demokrasi untuk membangun kekuatan yang terus mendorong tercapainya demokrasi substansial.
6