BAB II PENDETA DAN NARAPIDANA HUKUMAN MATI
Menurut Erikson ada 3 (tiga) pondasi yang digunakan Erikson untuk mengembangkan teori kepribadiannya. Adapun teori Erikson sebgai berikut : 1) Prinsip Epigenitik 2) Krisis 3) Ritualisasi dan Ritualisme
1) Prinsip Epigenetik Prinsip yang ditentukan secara genetik bagi perkembangan kepribadian manusia adapun menurut Erikson mendeskrisikan prinsip ini sebagai berikut: Kapanpun kita berusaha memahami pertumbuhan manusia, harus diingat kalau prinsip epigenetik yang mengaturnya sudah mulai beroperasi sejak organisme masih di dalam rahim. Secara umum bisa dikatakan, prinsip ini menegaskan bahwa apa pun yang bertumbuh memiliki suatu rancangan dasar, dari dalam rancangan inilah bagian-bagian pertumbuhan muncul, di mana setiap bagian memiliki asal tertentunya, sampai semua bagian itu akhirnya tampil penuh untuk mengerjakan suatu fungsi secara lengkap. (1968, hlm. 92). Meskipun, menurut Erikson, seluruh kepribadian terbentuk di sepanjang delapan tahap perkembangan, namun semua tahapan itu sudah ada dalam bentuk benih saat manusia lahir. Ketika setiap karakteristik kepribadian kemudian menyingkapkan dirinya, mereka harus berpadu dengan karakteristik-karakteristik yang sudah berkembang di tahap sebelumnya, sehingga menciptakan sebuah konfigurasi karakteristik kepribadian yang sama sakali baru di tahap berikutnya. Dengan kata lain, setiap tahap, ketika karakteristik-karakteristik ini
20
muncul, dibangun dari yang sudah mendahuluinya, dan menjadi dasar bagi pembentukan yang akan muncul sesudahnya. Erikson (1985) menyatakan, “Kekuatan yang diperoleh di setiap tahap perkembangan dites oleh keniscayaannya untuk melapaui tahap berikutnya mengembangkan kekuatan yang awalnya rapuh di tahap sebelumnya” (hlm. 263). Menurut prinsip epigenitik, karakteristik kepribadian yang jadi mengemuka di suatu tahap perkembangan, sudah eksis sebelum tahap itu muncul, dan akan terus eksis setelah tahapan itu dilalui. Namun karena ada alasan-alasan sosial dan biologis, hanya satu perkembangan karakteristik kepribadian tertentu saja yang menjadi fokus di suatu tahap, lalu perkembangan karakteristik yang lain yang menjadi fokus di tahap lainnya. 2) Krisis Kata krisis disini mengandung arti sebagai titik balik yang penting. Titik balik yang penting disni mengandung pengertian bahwa setiap tahap perkembangan ini memunculkan resolusi positif yang memungkinkan, atau jika gagal diselesaikan, sebuah resolusi negatif. Resolusi positif berkontribusi bagi penguatan ego dan karenanya, memperbesar kemampuan manusia beradaptasi. Resolusi negatif sebaliknya melemahkan ego dan menghambat manusia beradaptasi. Lebih jauh lagi. Resolusi krisis yang positif di sebuah tahap akan meningkatkan kemungkinan diraihnya resolusi positif bagi krisis yang muncul di tahap berikutnya dan sebaliknya. Berdasaarkan prinsip epigenetik, setiap krisis selalu eksis dalam tiga fase berikut: fase tidak matang/ dewasa atau belum berkembang (immature) yaitu ketika krisis tidak menjadi Titik fokus perkembangan kepribadian, fase kritis yaitu ketika disebakan berbagai alasan biologis, psikologis, dan sosial. Ia menjadi titik fokus perkembangan kepribadian, dan fase resolusi, ketika Resolusi atas krisis mempengarui perkembangan kepribadian di tahap selanjutnya. Jika krisis krisis yang berkaitan dengan delapan tahap perkembangan ini
21
terselesaikan secara positif, perkembangan kepribadaian normal yang akan muncul. Jika satu atau lebih krisis terselesaikan secara negatif, perkembangan normal tersebut akan teerhambat. Dengan kata lain, setiap krisis di suatu tahap harus bisa diselesaikan secara positif di tahap tersebut sebelum individu sepenuhnya siap untuk mengatasi krisis lain yang akan mendominasi tahap berikutnya. Kendati factor biologis yang menentukan kapan delapan tahap perkembangan kepribadian ini muncul, yaitu karena proses pematangan fisiologis penentu kapan sebuah pengalaman jadi memungkinkan, namun lingkungan sosial yang menentukan benar atau tidaknya suatu krisis di sebuah tahap peekembangan dapat terselesaikan secara positif. Karena alasan inilah tahap perkembangan
yang di usulkan
Erikson dinamai tahap-tahap psikososial perkembangan, untuk mengontraskannya dengan tahap-tahap psikososial ’’ Freud. 3) Ritualisasi dan Ritualisme Bagi Erikson, penting sekali mengakui perkembangan kepribadian muncul di sebuah seting budaya. Alih-alih melihat manusia terjebak di dalam budayanya, seperti yang dilakukan Freud, Erikson menekankan kesesuaian antara individu dan budayanya. Faktanya, di taraf yang lebih besar, kerja budaya adalah menyediakan cara-cara yang efektif untuk memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologis manusia. Menurut Erikson, pengalaman internal dan eksternal manusia mestinya sama, minimal di beberapa tarafnya, jika seorang individu berkembang dan berfungsi normal di budayanya masing-masing. Erikson (1985) menyatakan, “Setiap tahap dan krisis yang berurutan ini memiliki relasi yang khusus dengan salah satu elemen dasar masyarakat, dan karena alasan yang sederhana inilah siklus hidup manusia seiring komponen-komponen kepribadiannya mulai berkembang” (hlm. 250).
22
Saling jalinan yang harmonis antara penyingkapan syarat-syarat kepribadian dan kondisikondisi sosial dan budaya yang ada ini dimungkinkan lewat ritualisasi. Menurut Erikson (1977), ritualisasi adalah pola-pola perilaku yang muncul berulang yang mencerminkan nilainilai, keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebisaan dan perilaku-perilaku yang diatur dan diberi sanksi oleh masyarakat dan budaya tertentu. Meski ritualisasi-ritualisasi yang telah menjadikan hidup bermakna di masyarakat atau budaya tertentu, namun kebanyakan individu terlibat di dalam hal-hal tersebut tanpa tahu kenapa mereka berbuat demikian: [Setiap anak harus] diyakinkan dan diwajibkan untuk menjadi ‘terspesieskan’selama masa kanak-kanak yang panjang lewat beberapa bentuk keluarga: dia harus diakrabkan lewat ritualisasi dengan suatu versi eksistensi manusia. Karenanya ia mengembangkan perasaan yang berbeda bagi identitas berkelompoknya. Kita harus mengakui dari luar kalau ritualsasi adalah sebuah aspek dari hidup sehari-hari yang lebih jelas terlihat di budaya dan kelas berbeda, atau bahkan keluarga yang berbeda dari yang kita punya, di mana faktanya, ritualisasi lebih sering daripada tidak dialami sekedar sebagai satu-satunya cara yang tepat untuk melakukan hal-hal tertentu; sehingga pertanyaan yang kemudian muncul lalu kenapa tidak setiap orang melakukan seperti yang kita lakukan. Ritualisasi, kalau begitu, adalah pola-pola perilaku sehari-hari yang disetujui secara kultural yang memampukan seseorang menjadi anggota yang diterima di suatu budaya. Mereka meliputi karakteristik-karakteristik di mana ktia berhubungan dengan orang lain seperti berjabat tangan, berpelukan dan berciuman. Mereka menyediakan mereka menyediakan panduan-panduan yang menetapkan batas-batas antara perilaku yang bisa diterima dan tidak. Contohnya, Anda mungkin diizinkan untuk membuat sebuah kontak badan dengan orang asing di sebuah dansa, namun perilaku itu tidak bisa ditolerir di situasi lain. Dengan cara
23
yang sama, mungkin diperbolehkan bagi seorang warnita mengenakan bikini di pantai, namun pakaian seperti ini jelas menyebabkan kegaduhan di tempat kerja atau di sekolah. Ritualisasi-ritualisasi memandu hampir setiap aspek perilaku sosial dan menjadi mekanismemekanisme di mana individu di budayanya masing-masing menjadi ‘tersosialisasikan’. Erikson mendefinisikan budaya sebagai ‘versi tertentu tentang keberadaan manusia’, menunjukkan kalau banyak versi yang sama sahihnya eksis. Bahkan Erikson yakin, kecuali syarat ritualisasi dapat memuaskan kebutuhan dasar manusia, budaya sebenarnya arbitret. Contohnya, banyak variasi budaya eksis bagi praktik-praktik kencan, perkawinan dan membesarkan anak, namun perbedaan-perbedaan ini kurang begitu penting ketimbang fakta bahwa itu semua mendukung reproduksi dan pelanggengan budaya yang didalamnya hal-hal tersebut muncul. Bagi beberapa orang, hakikatnya arbitret ritualisasi ini hilang dan nilai fungsional mereka terlalu berlebihan dilihat. Bagi individu-individu ini, ritualisasi-ritualisasi menjadi terlalu dipentingkan lebih dari yang dimungkinkan. Erikson menyebut pelebihan atau sebaliknya, terdistorsinya ritualisasi-ritualisasi ini sebagai ritualisme. Ritualisme adalah ritualisasi yang tidak tepat atau keliru, dan mereka adalah penyebab-penyebab di banyak patologi sosial dan psikologis. Contohnya sebuah ritualisasi individu yang berprestasi dan karenanya menguatkan perasaan diri berharga akan status-status tersebut. Namun, mengidolakan atau memuja orang-orang demikian akan menjadi sebuah pelebihan yang tidak tepat bagi ritualisasi, dan karenanya menjadi sebuah ritualisme. Sebuah ritualisme kalau begitu adalah sebuah ritualisasi yang telah menjadi mekanisme dan stereotip kalau begitu adalah sebuah ritualisasi yang telah menjadi mekanisme dan stereotip. Upacara-upacara
24
hampa ini . tidak punya daya untuk mengikat individu-individu di sebuah budaya bersamasama, karenanya menyimpangkan tujuan orisinil ritualisme.1
2.1. Tahapan Psikososial Erikson 1. Masa Bayi: Rasa Percaya Versus Rasa Tidak Percaya Menurut dalam bukunya Mathew untuk teori Erikson Jika pengasuhan terhadap bayibayi ini dapat memuaskan kebutuhan mereka lewat cara-cara yang konsisten dan penuh cinta, bayi pun akan mengembangkan perasaan kepercayaan dasar. Namun jika orang tua menolak dan memuaskan kebutuhan mereka dengan cara yang tidak konsisten, yang muncul adalah ketidak percayaan dasar. Jika pengasuhan dipenuhi rasa sayang dan diberikan secara konsisten, bayi belajar mereka tidak perlu khawatir terhadap orang tua yang penuh kasih dan bisa diandalkan, dan karenanya tidak begitu terganggu saat orang tua hilang dari pandangan mereka Prestasi sosial pertama bayi, kalau begitu, adalah kesediaannya membiarkan ibu hilang dari pandangan tanpa menimbulkan rasa cemas atau marah, karena ibu telah menjadi sebuah kepastian batin yang sama besarnya dengan prediktibilitas dunia luar. Konsistensi, kontinuitas dan kesamaan pengalaan yang seperti ini menyediakan sebuah basis mentah bagi perasaan identita ego yang bergantung, saya kira, kepada kognisi bahwa terdapat sebuah populasi batin kenangan dan antisipasi sensasi dan imaji, yang berkorelasi erat dengan populasi diluar diri yaitu benda-benda dan orang-orang yang dikenal dan dapat diprediksi (Erikson, 1985, hlm.247)
1
Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2013) 284-289
25
Krisis rasa percaya dasar lawan rasa tidak percaya dasar disebut terselesaikan secara positif ketika anak lebih banyak mengembangkan rasa percaya daripada tidak. Menurut Erikson, rasa tidak percaya tetap dialami anak yang pengasuhan orangtuanya penuh cinta dan konsisten bukan karena negatifnya pengasuhan itu, melainkan anak mulai belajar, bahwa jika dia memercayai setiap orang dan segala sesuatu sama besarnya seperti ia percaya orangtua mereka, kesulitan kadang muncul. Sejumlah kecil rasa tidak percaya sehat adanya, dan justru kondusif bagi upaya anak menjaga kelangsungan hidupnya. Namun, anak yang dominan dengan rasa percayalah yang memiliki keberanian untuk mengambil resiko dan tidak mudah dikalahkan rasa kecewa dan putus asa. Erikson menyatakan bahwa ketika krisis yang mencirikan suatu tahap dapat terselesaikan secara positif, sebuah kebajikan akan muncul. Kebajikan ini menambahkan kekuatan bagi egonya. Ditahap ini, ketika anak memiliki rasa percaya lebih besar daripada rasa tidak percaya, kebajikan berupa harapan yang akan muncul. Erikson mendefinisikan harapan sebagai “keyakinan yang bertahan lama tentang bisa diraihnya keinginan-keinginan yang sangat didamba, tak peduli tekanan gelap dan kemarahan menandai awal eksistensinya” 2 Menurut John W. Santrock Kepercayaan vs. Ketidapercayaan Dasar menurut teori Erikson, menerima penekanan Freud pada pentingnya hubungan orangtua-bayi selama penyusuan, tapi dia memperluas dan memperkaya pandangan Freud ini. Hasil baik selama masa bayi, Erikson percaya, tidak bergantung pada jumlah makanan atau stimulasi oral yang ditawarkan, melainkan pada kualitas pengasuhan: mengurangi ketidaknyamanan dengan segera dan sepeka mungkin, menggendong bayi dengan lembut, menunggu dengan sabar 2
Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2013), 290-291
26
sampai bayi cukup menyusu, dan menyapihnya bila bayi tampak tidak berminat pada ASI atau susu botol. Menurut Erikson, mustahil orangtua bisa memenuhi semua kebutuhan bayi. Banyak faktor yang memengaruhi kebahagiaan pribadi, kondisi hidup saat ini (misalnya, bertambahnya anak kecil dalam keluarga), dan praktik budaya pengasuhan dari orang tua. Akan tetapi, bila keseimbangan pengasuhan sarat dengan perhatian dan kasih sayang, konflik psikologis di tahun pertama – kepercayaan dasar vs. ketidakpercayaan (basic trust versus mistrust) – bisa diatasi dengan baik. Bayi yang percaya berharap dunia itu baik dan menyenangkan, sehingga dia yakin untuk berpetualang dan melakukan eksplorasi di dalamnya. Bayi yang tidak percaya tidak mau mengandalkan kasih dan kebaikan hati orang lain, sehingga dia melindungi dirinya dengan menarik diri dari orang
dan sesuatu di
sekitarnya. Kepercayaan versus ketidakpercayaan (trust versus mistrust) adalah tahap pertama dari perkembangan psikososial menurut Erikson, yang dialami dalam satu tahun pertama dari kehidupan seseorang. Di masa bayi, kepercayaan akan menentukan landasan bagi ekspektasi seumur hidup bahwa dunia akan menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan.3 Rasa percayaMenurut Erik Erikson (1968), satu tahun pertama dalam kehidupan ditandai oleh tahap perkembangan rasa percaya
versus rasa tidak percaya (trust-versus
mistrust). Bayi tadinya merasakan adanya kehidupan yang teratur , hangat, dan terlindungi dalam kandungan ibu, kemudian sang bayi menghadapi sebuah dunia yang kurang aman. Erikson berpendapat bahwa bayi mempelajari rasa percaya jika mereka diasuh secara
3
John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012), 26
27
konsisten dan hangat. Jika bayi tidak diberi makan dengan baik dan tidak ditempatkan dalam suasana hangat secara konsisten maka bayi cenderung mengembangkan rasa tidak percaya. Rasa percaya versus rasa tidak percaya tidaklah sama sekalil berakhir dalam satu tahun pertama kehidupan. Rasa percaya versus rasa tidak percaya muncul lagi dalam tahaptahap perkembangan selanjutnya. Sebagai contoh, anak-anak yang meninggalkan masa bayi dengan rasa percaya masih dapat memiliki rasa tidak percaya yang muncul pada tahap berikutnya, yang mungkin terjadi apabila orang tua mereka terpisah atau bercerai karena konflik berkepanjangan.4 Menurut Penney Upton usia bayi (lahir hingga 18 bulan) memiliki Konflik dasar kepercayaan versus ketidakpercayaan, peristiwa penting makannya, hasil anak-anak mengembangkan rasa percaya bila orang-orang yang mengasuhnya memberikan keandalan, perhatian, dan kasih sayang. Ketiadaan hal tersebut akan menimbulkan ketidakpercayaan 5 Tabel . Pentahapan Freud dan Erikson Usia
4 5
Pentahapan Freud
Pentahapan Umum Erikson
Lahir – 1 tahun
Oral
Rasa percaya vs tidak percaya: Harapan
1 – 3 tahun
Anal
Otonomi vs rasa malu, ragu-ragu: Kehendak
3 – 6 tahun
Falik (Odipal)
Inisiatif vs rasa bersalah: Tujuan
6 – 11 tahun
Latensi
Kegigihan/industri vs inferioritas: Kompetensi
Masa remaja
Genital
Identitas vs kebingungan peran: Kesetiaan
Dewasa muda
Keintiman vs isolasi: Cinta
Dewasa
Semangat-berbagi vs penyerapan diri dan
John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012),214 Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), 22-23
28
Usia
Pentahapan Freud
Pentahapan Umum Erikson stagnasi : Perhatian
Usia senja
Integritas ego vs rasa putus asa: Hikmat
Menurut William Crain Tahap paling umum: Kepercayaan vs ketidakpercayaan Mendasar merupakanTahap umum periode oral ini terdiri atas perkenalan umu ego anak yang sedang perkembang dengan dunia sosial. Di tahap pertama, ketika bayi berusaha memasukkan hal-hal yang mereka butuhkan, mereka berinteraksi dengan para pengasuhnya, mengikuti cara budaya bertindak pada dirinya yang terpenting dari interaksi-interaksi ini adalah bayi berusaha menemukan sejumlah konsistensi, prediksi dan reliabilitas di dalam tindakan-tindakan mengasuh mereka. Ketika memahami bahwa orang tua cukup konsisten dan bisa diandalkan, mereka mulai mengembangkan pemahaman tentang kepercayaan mendasar kepada orang tua. Bayi menjadi paham jika mereka merasa dingin, basah atau lapar, maka orang tua bisa diandalkan untuk membebaskan rasa sakit itu. Beberapa orang tua mungkin akan lebih sering datang menengok bayi mereka, sementara yang lain menengok sesuai jadwal tertentu, namun di kedua kasus ini bayi belajar bahwa orang tua bisa diandalkan dan karena itu bisa dipercaya. Kebalikan dari hal ini adalah rasa tidak percaya, perasaan bahwa orang tua tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dipercaya dan mungkin tidak akan pernah hadir jika dibutuhkan (1963,h.247). Di sisi lain, bayi juga harus belajar memercayai dirinya sendiri. Karena masalah ini menjadi semakin akut waktu mereka mengetahui besarnya konsekuensi dari giginya yang gatal telah menyakiti puting ibu lewat gigitan yang tajam dan genggaman yang keras. Ketika bayi belajar mengatur dorongan ini – yaitu menyedot tanpa menggigit, menggenggam tanpa menyakiti – bayi mulai melihat dirinya “cukup bisa diperacaya sehingga para pengasuhnya 29
tidak perlu khawatir akan digigit” (1963, h.248). Untuk ibu sendiri, Erikson menyarankan agar mereka tidak menarik diri terlalu menyolok atau menyapih terlalu cepat bayinya. Karena jika hal ini terjadi, si bayi akan merasa perawatannya tidak bisa dipercaya karena tiba-tiba dihentikan begitu saja. Setelah berhasil mengembangkan rasa percaya kepada pengasuh, bayi
akan
menunjukkannya di dalam tingkah laku, Erikson melihat tanda pertama kepercayaan pada ibu ini muncul ketika bayi rela “membiarkan ibu menghilang dari pandangan matanya tanpa rasa cemas atau marah yang tidak perlu” (1963, h.47). istilah ‘tidak perlu’ ini penting untuk dijelaskan, karena kita melihat di dalam uraian Bowlby bahwa kebanyakan bayi mengalami kecemasan akan perpisahan. Namun jika orang tuanya bisa diandalkan, kata Erikson, maka bayi bisa belajar mentolerir ketidakhadiran mereka. Hanya jika orang tuanya tidak bisa diandalkan, barulah bayi tidak membiarkan mereka pergi, dan terserang paning bila memaksa pergi juga.6 Menurut Jest dan Feist Rasa Percaya Mendasar versus Rasa Tidak Percaya Mendasar merupakan Hubungan antarpribadi bayi yang paling signifikan adalah dengan pengasuh utama mereka, biasanya ibu. Ketika sadar bahwa ibu selalu menyediakan makanan secara teratur, mereka pun mulai belajar rasa percaya dasar. Jika mereka terus belajar mendengarkan secara konsisten suara ibu yang menyenangkan dan ritmis, mereka mengembangkan lebih banyak lagi rasa percaya mendasar. Ketika mereka dapat bersandar kepada lingkungan visual yang menyenangkan, mereka dapat memadatkan rasa percaya dasar mereka lebih kuat lagi. Dengan kata lain, jika pola mereka menerima hal-hal yang berkaitan dengan cara budaya memberikan hal-hal, maka bayi dapat belajar rasa percaya dasar. Sebaliknya, bayi
6
William Crain. Teori Perkembangan. ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007),428-431
30
akan belajar rasa tidak percaya mendasar jika tidak menemukan kaitan antara kebutuhankebutuhan oral-pengindraan mereka dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Rasa percaya dasar biasanya bersifat sintonik, sedangkan rasa tidak percaya mendasar bersifat distonik. Meskipun begitu, bayi harus mengembangkan kedua sikap ini. Terlalu banyak rasa percaya membuat mereka naif dan rapuh terhaap tipu muslihat ddunia, semantara terlalu sedikit rasa percaya membawa kepada rasa frustasi, kemarahan, kebencian, sinisme, atau depresi. Keduanya, rasa percaya an tidak percaya mendasar, merupakan pengalaman yang tidak terelakkan bagi bayi. Semua bayi yang bertahan hidup sudah mendapatkan makan dan perawatan yang baik sehingga mereka cukup memiliki alasan untuk percaya. Selain itu semua bayi yang sudah difrustasikan oleh sakit, lapar, dan tidak nyaman memiliki alasan yang cukup untuk tidak p Erikson yakin bahwa rasio percaya dan tidak percaya cukup kritis bagi kemampuan manusia untuk beradaptasi. Dalam Masa Kanak-kanak Awal, Sekali lagi Erikson mengambil sebuah panangan yang lebih luas. Baginya, anak kecil menerima kesenangan bukan hanya dari menguasai otototot anus dan perut namun, juga dari menguasai fungsi-fungsi tubuh lainnya serpti buang air kecil, berjalan, melempar, memeluk, dan sebagainya. Selain itu, anak-anak mengembangkan perasaan kontrol atas lingkungan antarpribadi mereka, sama seperti mengukur kontrol diri mereka. Meskipun begitu, masa kanak-kanak awal juga merupakan waktu untuk mengalami keraguan dan rasa malu ketika anak belajar bahwa sebagian besar upaya mereka mencapai otonomi tidak berhasil.7 Menurut pendapat Erik H Erikson kepercayaan dasar vs ketidakpercayaan dasar ,Ibu menciptakan perasaan percaya pada diri anak-anaknya melalui administrasi yang kualitasnya 7
Jess Feist dan Gregory J. Feist. Theories of Personalitiy. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 218-219
31
merupakan kombinasi antara perhatian yang sensitif terhadap kebutuhan-kebutuhan individual si bayi dan perasaan sebagai pribadi yang dapat dipercaya yang kuat di dalam kerangka gaya hidup budaya yang dapat dipercaya. Hal itu membentuk dasar untuk perasaan identitas di dalam diri anak yang kelak akan mengombinasikan perasaan “baik-baik saja”, perasaan menjadi diri sendiri, dan menjadi seperti apa dirinya kelak sebagaimana yang dipercaya oleh orang-orang lain. Jadi, (di dalam batas-batas tertentu yang sebelumnya didefinisikan sebagai hal-hal yang “harus” di dalam perawatan anak) ada beberapa frustrasi di tahap-tahap selanjutnya, yang tidak dapat dipikul oleh anak yang sedang tumbuh jika frustrasinya menghasilkan pengalaman kesamaan yang semakin besar dan kontinuitas perkembangan yang semakin kuat, yang terus menerus di perbarui, menuju ke arah integrasi siklus akhir kehidupan individual dengan rasa memiliki yang lebih luas dan bermakna. Orangtua tentu bukan hanya memiliki cara-cara tertentu untuk membimbing melalui larangan dan ijin; mereka juga harus mampu merepresentasikan kepada anak tentang sebuah keyakinan yang mendalam, yang nyaris somatis, bahwa ada makna untuk hal-hal yang sedang mereka lakukan. Akhirnya anak-anak menjadi neurotik bukan karena frustrasi, tetapi karena kurang atau hilangnya makna sosial untuk frustrasi-frustrasinya8. Menurut pendapat dari Laura Berk kepercayaan vs. ketidapercayaan dasar erikson, erikson menerima penekanan Freud pada pentingnya hubungan orangtua-bayi selama penyusuan, tapi dia memperluas dan memperkaya pandangan Freud ini. Hasil baik selama masa bayi, Erikson percaya, tidak bergantung pada jumlah makanan atau stimulasi oral yang ditawarkan, melainkan pada kualitas pengasuhan: mengurangi ketidaknyamanan dengan segera dan sepeka mungkin, menggendong bayi dengan lembut, menunggu dengan sabar
8
Erik H. Erikson, Childhood and Society, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2010) p. 294
32
sampai bayi cukup menyusu, dan menyapihnya bila bayi tampak tidak berminat pada ASI atau susu botol. Menurut Erikson, mustahil orangtua bisa memenuhi semua kebutuhan bayi. Banyak faktor yang memengaruhi kebahagiaan pribadi, kondisi hidup saat ini (misalnya, bertambahnya anak kecil dalam keluarga), dan praktik budaya pengasuhan dari orang tua. Akan tetapi, bila keseimbangan pengasuhan sarat dengan perhatian dan kasih sayang, konflik psikologis di tahun pertama – kepercayaan dasar vs. ketidakpercayaan (basic trust versus mistrust) – bisa diatasi dengan baik. Bayi yang percaya berharap dunia itu baik dan menyenangkan, sehingga dia yakin untuk berpetualang dan melakukan eksplorasi di dalamnya. Bayi yang tidak percaya tidak mau mengandalkan kasih dan kebaikan hati orang lain, sehingga dia melindungi dirinya dengan menarik diri dari orang
dan sesuatu di
sekitarnya.9 Menurut pendapat John W. Santrock Rasa percayaMenurut Erik Erikson (1968), satu tahun pertama dalam kehidupan ditandai oleh tahap perkembangan rasa percaya versus rasa tidak percaya (trust-versus mistrust). Bayi tadinya merasakan adanya kehidupan yang teratur , hangat, dan terlindungi dalam kandungan ibu, kemudian sang bayi menghadapi sebuah dunia yang kurang aman. Erikson berpendapat bahwa bayi mempelajari rasa percaya jika mereka diasuh secara konsisten dan hangat. Jika bayi tidak diberi makan dengan baik dan tidak ditempatkan dalam suasana hangat secara konsisten maka
bayi cenderung
mengembangkan rasa tidak percaya. Rasa percaya versus rasa tidak percaya tidaklah sama sekalil berakhir dalam satu tahun pertama kehidupan. Rasa percaya versus rasa tidak percaya muncul lagi dalam tahap9
Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Edisi Kelima Dari Prenatal sampai remaja(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) p.240
33
tahap perkembangan selanjutnya. Sebagai contoh, anak-anak yang meninggalkan masa bayi dengan rasa percaya masih dapat memiliki rasa tidak percaya yang muncul pada tahap berikutnya, yang mungkin terjadi apabila orang tua mereka terpisah atau bercerai karena konflik berkepanjangan. Kemandirian Erik Erikson (1968) mengedapankan bahwa kemandirian merupakan isu yang penting pada pada tahun kedua kehidupan. Erikson menggambarkan tahap kedua perkembangan sebagai tahap otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu. Otonomi dibangun seiring dengna berkembangnya kemampuan mental dan motorik. Pada tahap ini, bayi tidak hanya mampu berjalan, namun mereka juga mampu memanjat, membuka dan menutup, menjatuhkan, mendorong dan menarik, serta memegang dan melepaskan. Bayi merasa bangga dengan semua prestasi ini dan ingin melakukan segala sesuatunya sendiri, apakah itu menyiram toilet, membuka bungkusan paket, atau memutuskan apa yang hendak dimakan. Penting bagi orang tua untuk mengenali motivasi balita dalalm melakukan apa yang dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka dapat belajar mengendalikan otot dan dorongandorongan mereka. Namun, ketika pengasuh tidak sabar dan melakukan hal-hal yang ebetulnya dapat dilakukan oleh balita itu sendiri maka yang berkembang adalah rasa malu dan ragu-ragu. Setiap orang tua membuat anaknya menjadi terburu-buru dari waktu ke waktu. Apabila orang tua selalu bersikap terlalu melindungi anaknya ataupun terlalu banyak mengkritik kecelakaan-kecelakaan kecil yang terjadi (misalnya, kencing di celana, bermain tanah, menumpahkan, atau memecahkan), anak tersebut akan mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu yang berlebihan mengenai kemampuan mereka untuk mengendalikan diri sendiri dan dunianya. Sebagaimana yang akan didiskusikan di bab-bab selanjutnya, Erikson
34
berpendapat bahwa tahap otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu memiliki implikasi penting bagi perkembangan individu di masa depan. Sampai sejauh ini, kita telah berdiskusi mengenai bagaiana emosi dan kompetensi emosi berubah seiring dengan perkembangan anak-anak. Kita juga telah mengkaji peran gaya emosional; sebagai dampaknya, kita telah melihat bagaimana emosi memberikan nada-nada pada pengalaman kita. Meskipun demikian, emosi juga menuliskan liriknya karena emosi terdapat dala inti relasi kita dengan orang lain.10 2. Kanak-kanak Awal: Otonomi versus Rasa Malu dan Ragu Menurut pendapat dalam bukunya Matthew, tahap ini mencul sejak akhir tahun pertama hidup manusia, kurang lebih, sampai akhir tahun ketiga, dan berkorelasi erat dengan tahap anal perkembangan psikoseksual Freud. Selama tahap ini, anak dengan cepat belajar banyak keterampilan. Mereka belajar berjalan, memanjat, menarik, mendorong dan bicara. Secara umum, mereka belajar bagaimana menahan dan melapas sesuatu. Bukan hanya diaplikasikan ke objek-objek fisik, namun menahan dan melepas juga berkaitan dengan feses dan urine juga. Dengan kata lain, anak sekarang bisa memutuskan ‘dari dirinya’ untuk melakukan sesuatu atau tidak. Kalau begitu anak menjadi terlibat di dalam peperangan kehendak dengan orangtuanya. Tahap ini, kalau begitu, menjadi sangat menentukan bagi perbandingan cinta dan benci, kerjasama dan kesediaan, kebebasan mengekspresikan diri dan pensupresiannya. Dari rasa boleh mengendalikan diri tanpa harus kehilangan penghargaan diri, datanglah rasa kehendak baik dan kebanggaan yang akan berthan lama, dari hilangnya rasa boleh mengendalikan diri selain harus takluk pada kendali dari luar, datanglah rasa ragu dan rasa malu yang memberatkan. (Erikson, 1985, hlm.254). 10
John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012) p.214-217.
35
Erikson mendefinisikan kehendak sebagai “kegigihan tak tertembus untuk menggunakan kehendak bebas selain juga pembatasan diri, tak peduli pengalaman rasa malu dan ragu yang dirasakan dimasa bayi”. Sekali lagi penting untuk dicatat kalau resolusi yang positif bagi krisis yang mencirikan di tahap ini tidak berarti anak tidak lagi mengalami rasa malu dan ragu. Sebaliknya, ego anak menjadi cukup kuat untuk menghadapi secara tepat pengalaman-pengalaman malu dan ragu yang tak terelakkan datangnya itu.
Perhatikan kalau kebajikan-kebajikan yang muncul sebagai hasil dari resolusi positif krisis-krisis ini bukan lain adalah fungsi-fungsi ego. Contohnya kebajikan harapan dan kehendak memiliki sejumlah pengaruh bagi kualitas hidup manusia namun kecil saja bagi kelangsungan
hidup,
artinya
mereka
mampu
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
biologisnya(id), tetapi tidak sefleksibel, opyimis atau sebahagia mereka yang umumnya memiliki harapan dan kehendak.11 Otonomi vs. Rasa Malu dan Ragu menurut pandangan dari Laura berk merupakan peralihan menuju masa balita, Freud menganggap cara orangtua dalam mengajarkan buang air dengan benar (toilet training) sangat menentukan kesehatan psikologis. Akan tetapi bagi Erikson, pelatihan ini hanyalah salah satu dari sekian banyak pengalaman yang berpengaruh. Penghindaran lazim oleh balita yang baru bisa berjalan dan bicara – “Tidak!”, “Akan kulakukan sendiri” – memperlihatkan bahwa mereka telah memasuki periode munculnya rasa percaya diri. Mereka mau melakukan sendiri bukan hanya di toilet, tetapi juga dalam situasi lain. Konflik pada diri balita, otonomi vs. rasa malu dan ragu (autonomy versus shame and doubt), bisa diatasi dengan baik bila orangtua memberikan bimbingan tepat dan pilihan wajar pada anak-anak mereka. Seorang anak usia 2 tahun yang penuh percaya diri memiliki 11
Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2013), 292-293
36
orangtua yang tidak suka mengkritik atau menyerang dia saat gagal dalam keterampilan baru – menggunakan toilet, makan dengan sendok, atau membereskan mainan. Mereka memenuhi tuntutan akan otonomi diri melalui toleransi dan pengertian – misalnya, memberikan tambahan waktu untuk menyelesaikan permainan sebelum berangkat ke toko grosir. Sebaliknya, bila orangtua berlebihan atau kurang dalam pengendalian, hasilnya adalah anak akan merasa terpaksa dan malu atau ragu akan kemampuannya untuk mengendalikan dorongannya dan bertindak sendiri dengan benar. Pendek kata, kepercayaan dasar dan otonomi menumbuhkan pengasuhan hangat dan peka serta harapan wajar bagi pengendalian terhadap dorongan yang mulai muncul di tahun kedua. Bila anak memasuki beberapa tahun pertamanya tanpa rasa percaya yang cukup pada pengasuh dan perasaan positif mengenai individualitas, dia sama saja sedang menabur benih-benih masalah. Orang dewasa yang kesulitan membangun ikatan dekat, terlalu mengandalkan orang tercinta, atau terus-menerus ragu akan kemampuan diri untuk mengatasi tantangan baru, tidak akan bisa sepenuhnya menguasai tugas-tugas kepercayaan dan otonomi selama masa bayi dan balita.12 Menurut pendapat John W Shartok Otonomi versus rasa malu dan keragu-raguan (autonomy versus shame and doubt) adalah tahap kedua dari perkembangan menurut Erikson, yang berlangsung pada akhir masa bayi dan masa baru mulai berjalan (1 hingga 3 tahun). Setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuhnya, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah keputusan mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa
12
Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Edisi Kelima Transisis Menjelang Dewasa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) p.240-241
37
kemandirian atau otonominya. Jika bayi terlalu banyak dibatasi dan dihukum terlalu keras, mereka cenderung mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu.13 Kemandirian menurut John W. Santrock menurut teori Erik Erikson (1968) mengedapankan bahwa kemandirian merupakan isu yang penting pada pada tahun kedua kehidupan. Erikson menggambarkan tahap kedua perkembangan sebagai tahap otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu. Otonomi dibangun seiring dengna berkembangnya kemampuan mental dan motorik. Pada tahap ini, bayi tidak hanya mampu berjalan, namun mereka juga mampu memanjat, membuka dan menutup, menjatuhkan, mendorong dan menarik, serta memegang dan melepaskan. Bayi merasa bangga dengan semua prestasi ini dan ingin melakukan segala sesuatunya sendiri, apakah itu menyiram toilet, membuka bungkusan paket, atau memutuskan apa yang hendak dimakan. Penting bagi orang tua untuk mengenali motivasi balita dalalm melakukan apa yang dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka dapat belajar mengendalikan otot dan dorongan-dorongan mereka. Namun, ketika pengasuh tidak sabar dan melakukan hal-hal yang ebetulnya dapat dilakukan oleh balita itu sendiri maka yang berkembang adalah rasa malu dan ragu-ragu. Setiap orang tua membuat anaknya menjadi terburu-buru dari waktu ke waktu. Apabila orang tua selalu bersikap terlalu melindungi anaknya ataupun terlalu banyak mengkritik kecelakaan-kecelakaan kecil yang terjadi (misalnya, kencing di celana, bermain tanah, menumpahkan, atau memecahkan), anak tersebut akan mengembangkan rasa malu dan raguragu yang berlebihan mengenai kemampuan mereka untuk mengendalikan diri sendiri dan dunianya. Sebagaimana yang akan didiskusikan di bab-bab selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tahap otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu memiliki implikasi penting bagi perkembangan individu di masa depan. 13
John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012), 26
38
Sampai sejauh ini, kita telah berdiskusi mengenai bagaiana emosi dan kompetensi emosi berubah seiring dengan perkembangan anak-anak. Kita juga telah mengkaji peran gaya emosional; sebagai dampaknya, kita telah melihat bagaimana emosi memberikan nada-nada pada pengalaman kita. Meskipun demikian, emosi juga menuliskan liriknya karena emosi terdapat dala inti relasi kita dengan orang lain.14 Menurut penney upton Masa kanak-kanak awal (2 hingga 3 tahun) ini merupakan Konflik dasar otonomi versus rasa malu dan ragu, peristiwa penting latihan ke toilet, hasil anak-anak perlu mengembangkan rasa pengendalian pribadi atas keterampilan-keterampilan fisik dan rasa kemandirian. Keberhasilan tahap ini akan mendorong perasaan otonom; kegagalan menimbulkan perasaan malu dan ragu. 15 Menurut William Crain Tahap umum: Otonomi vs Rasa Malu dan Ragu-ragu, Erikson mendefinisikan konflik di titik ini sebagai otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu. Otonomi muncul dari dalam, sebuah pendewasaan biologis yang mengasuh kemampuan anak untuk melakukan segala hal dengan caranya sendiri – mengontrol otot perut mereka sendiri, berdiri di atas kaki sendiri, menggunakan tangannya sendiri, dan sebagainya. Rasa malu dan ragu-ragu, sebaliknya, datang dari kesadaran akan ekspektasi dan tekanan sosial. Contohnya, seorang gadis kecil yang mengompol di celana jadi sadar diri, khawatir kalau orang lain melihatnya dalam kondisi itu. Rasa ragu berasal dari kesadaran bahwa dirinya tidak begitu berkuasa, sehingga orang lain bisa mengontrol dia dan bertindak lebih baik daripada dia. Harapan idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi. Orang tua di sejumlah budaya berusaha membantu anak mereka mengalami hal ini. Dengan lembut mereka
14 15
John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012),217. Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), p.22-23
39
berusaha membantu anak belajar perilaku sosial tanpa menghancurkan independensinya. Namun sayang, orang tua lain tidak sesensitif ini, malah mempermalukan anak mereka secara berlebihan, contohnya saat mereka buang angin. Orang tua mematahkan hati anak dengan sikap bermusuhan, atau menertawakan upaya mereka melakukan hal-hal tertentu dengan caranya sendiri. Dalam kondisi yang demikian, anak bisa mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu yang abadi, yang ujung-ujungnya malah menggiring impuls-impuls mereka kepada pembatasan diri sendiri. Maka mereka akan mengembangkan kekuatan ego dalam bentuk kehendak yang kokoh. “Kehendak”, kata Erikson, “merupakan kebulatan tekad yang tidak bisa dipatahkan untuk melatih pilihan bebas dan pengendalikan diri” (1964, h.119). Erikson memasukkan pengendalian-diri di dalam definisi ini karena percaya bahwa penting bagi anak untuk belajar mengontrol ipuls-impuls mereka sendiri, dan menentukan apa yang tidak pantas (tidak boleh) dilakukan. Jadi anaklah yang seharusnya berinisiatif demikian – bukannya kekuatan eksternal.16 Menurut Jess Feist dan georgry Otonomi versus Rasa Malu dan Ragu-Ragu menurut teori erikson, jika masa kanak-kanak awal adalah waktunya pengekspresian-diri dan otonomi, maka ini juga menjadi waktu bagi rasa malu dan ragu-ragu (shame and doubt) saat anak-anak gigih untuk mengekspresikan ode muskuler-uretra-anal, mereka tampaknya menemukan sebuah budaya yang berusaha melarang sejumlah pengekspresian-diri seperti itu. Orangtua mungkin mempermalukan anak ketika mereka mengotori celana dengan urin atau feses, atau ketika mereka mengacak-acak makanan mereka. Orangtua bisa juga menanamkan keraguan dengan mempertanyakan kemampuan anak-anak untuk memenuhi standar-standar orangtua.
16
William Crain. Teori Perkembangan.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2007), 436-437
40
Konflik antara otonomi dan rasa malu dan keraguan ini menjadi krisis psikososial utama masa kanak-kanak awal. Idealnya, anak-anak harus mengembangkan sebuah proporsi yang tepat antara otonomi dan rasa malu dan keraguan, dan proporsi ini mestinya mendukung otonomi-kualitas sintonik masa kanak-kanak awal. Anak-anak yang terlalu sedikit mengembangkan otonomi akan mengalami kesulitan-kesulitan di tahap-tahap selanjutnya, kehilangan kesempatan untuk meraih kekuatan dasar tahap-tahap berikutnya. Otonomi berkembang dari rasa percaya mendasar. Jika rasa percaya mendasar sudah terbangun pada masa bayi, anak-anak akan belajr untuk memiliki keyakinan pada diri mereka sendiri, dan dunia mereka akan tetap utuh sekalipun anak-anak mengalami krisis psikososial ringan. Jika mereka tidak dapat mengembangkan rasa percaya menasr selama masa bayi, maka upaya-upaya untuk meraih kendali atas organ-organ otot anal dan uretra selama masa kanak-kanak awal akan menemui perasaan malu dan ragu-ragu yang kuat, menyiapkan tahapan bagi sebuah krisis psikososial yang serius. Rasa disingkapkan. Rasa ragu, di sisi lain, adalah perasaan tidak pasti, perasaan bahwa sesuatu masih tetap tersembunyi dan tidak bisa dilihat. Rasa malu dan ragu-ragu adalah kualitas distonik, dan keduanya tumbuh dari rasa tidak percaya mendasar yang sudah terbentuk pada masa bayi. Kehendak: Kekuatan Dasar Masa Kanak-Kanak Awal Anak baru dapat
berkembang hanya jika lingkungan mengizinkan sejumlah
pengekspresian-diri dalam cara mereka mengontrol otot anus dan otot-otot lainnya. Ketika pengalaman mereka menghasilkan terlalu banyak rasa malu dan ragu-ragu, anak tidak akan bisa mengembangkan secara adekuat kekuatan dasar kedua yang penting ini. Kehendak yang tidak adekuat akan terekspresikan sebagai kompulsi, patologi inti masa kanak-kanak awal.
41
Kehendak yang terlalu sedikit dan kompulsivitas yang terlalu banyak akan terbawa ke dalam usia bermain sebagai lemahnya tujuan, dan ke dalam usia sekolah sebagai kurangnya rasa percaya diri.17 Menurut bukunya Erik H erikson otonomi versus rasa malu dan ketidapercayaan. Tahap ini menjadi penentu bagi rasio antara cinta dan benci, kerja sama dan keras kepala, kebebasan untuk mengekspresikan diri dan menekannya. Dari perasaan pengendalian diri tanpa kehilangan penghargaan diri timbul perasaan kehilangan penghargaan diri timbul perasaan akan keinginan kontrol diri dan perasaan bangga yang abadi; dari perasaan kehilangan kontrol diri dan perasaan terlalu dikuasai orang lain timbul kecenderungan abadi untuk selalu ragu-ragu dan malu. Jika, bagi sebagian pembaca, potensi-potensi “negatif” tahapan-tahapan kami tampak mendapat penekanan yang terlalu keras, kami harus mengingatkan bahwa hal itu bukan hanya akibat dari terpreokupasi dengan data klinis. Orang dewasa, yang tampaknya matang dan tidak neurotik, menunjukkan sensitivitas tentang kemungkinan timbulnya rasa malu karena “kehilangan muka” dan ketakutan untuk “diserang dari belakang”, yang bukan hanya tidak rasional dan berlawanan dengan pengetahuan yang mereka miliki, tetapi juga dapat menjadi makna yang menentukan bila sentimen-sentimen yang terkait memengaruhinya, misalnya kebijakan antarras dan internasional. Perasaan memiliki martabat yang sah dan kebebasan yang sah secara hukum di pihak orang-orang dewasa di sekitarnya memberikan ekspektasi yang pasti kepada anak yang berkemauan baik bahwa jenis otonomi yang dibantu perkembangnya pada masa kanak-kanak tidak akan menghasilkan keragu-raguan atau rasa malu yang tidak semestinya di kehidupan dewasanya kelak. Jadi, perasaan otonomi yang dibantu perkembangannya pada anak dan 17
Jess Feist dan Gregory J. Feist. Theories of Personalitiy. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 220-221
42
dimodifikasi sepanjang hidupnya akan membantu (dan dibantu oleh) terpeliharanya rasa keadilan di dalam kehidupan ekonoi maupun politik.18 3. Usia Prasekolah: Inisiatif versus Rasa Bersalah Menurut Matthew dalam teori EriksonTahap ini muncul dari sekitar tahun keempat sampai tahun kelima, dan berkorelasi dengan tahap falik perkebangan psikoseksual Freud. Menurut Ericson, anak ditahap ini “siap untuk mengembangkan sebuha keingintahuan yang tidak kenal lelah tentang perbedaan-perbedaan ukuran pada umumnya, dan perbedaan jenis kelamin pada khususnya.. belajar sekarang semakin aktif dan detail; membawa dia menjauh dari keterbatasan dirinya menuju kemungkinan-kemungkinan di masa depan”(1959, hlm.76). Ditahap ini batas-batas dites untuk dipelajari apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang tidak. Jika orangtua menguatkan perilaku dan fantasi yang diinisiatifkan sendiri oleh anak, mereka akan meninggalkan tahap ini dengan rasa isnisiatif yang sehat. Namun, jika orang tua mengolok, mengejek, tidak memedulikan atau memarahi perilaku dan imajinasi yang diinisiatifkan sendiri oleh anak, mereka akan meninggalkan tahap ini dengan rendahnya rasa kemandirian. Bukannya bersemangat mengambil inisiatif, mereka cenderung mengalami rasa bersalah ketika melakukan perilaku-perilaku jenis itu dan karenanya, cenderung menjalani hidup dalam batas-batas sempit yang ditetapkan orang lain bagi mereka. Erikson mendefinisikan tujuan sebagai “keberanian untuk merancang dan mengejar tujuan-tujuan bernilai yang tidak akan bisa terhambat oleh dikalahkannya fantasi-fantasi infantil, oleh rasa bersalah, dan oleh rasa takut yang teramat sangat akan penghukuman”
18
Erik H. Erikson, Childhood and Society, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2010) , 300-301
43
(1964, hlm. 122). Anak-anak yang secara positif menyelesaikan krisis-krisis di tiga tahap pertama ini akan memiliki kebajikan-kebajikan berupa harapan, kehendak dan tujuan.19 Dalam bukunya laura berk
di dalam teori Erikson: Inisiatif vs. Rasa Bersalah,
Erikson (1950) menguraikan masa kanak-kanak awal sebagai periode “penuh semangat”. Setelah anak-anak memiliki rasa otonomi, mereka menjadi sedikit lebih tenang dibanding ketika balita. Energi mereka tercurahkan untuk mengatasi konflik psikologis selama masa prasekolah: inisiatif vs. rasa bersalah (iniative versus guilt). Seperti bisa dilihat dari kata initiative versus guilt). Seperti bisa dilihat dari kata initiative, anak-anak memiliki rasa kebertujuan. Mereka ingin sekali melakukan tugas-tugas baru, mengikuti aktivitas teman sebaya, dan mencari tahu apa yang bisa mereka lakukan dengan bantuan orang dewasa. Mereka juga mengalami kemajuan dalam perkembangan kesadaran diri. Erikson menganggap permainan sebagai cara anak-anak belajar tentang diri dan dunia sosial mereka. Permainan memberikan kesempatan pada anak-anak prasekolah untuk mencoba berbagai keterampilan baru dengan sedikit risiko gagal dan menerima kritik. Permainan juga menciptakan sebuah organisasi sosial kecil anak-anak yang harus bekerja sama demi mencapai peran keluarga dan pekerjaan yang sangat jelas – polisi, dokter, dan perawat dalam masyarakat Barat, pemburu kelinci dan pembuat tembikar dalam masyarakat Suku India Hopi, tukang bangunan dan pembuat tombak dalam masyarakat baka di Afrika Barat (Goncu, Patt, & Kouba, 2004). Ingat bahwa teori Erikson dibangun di atas tahapan psikososial Freud (lihat Bab 1). Dalam konflik Oedipus dan Electra Freud, untuk menghindari hukuman dan memelihara kasih sayang orangtua, anak-anak membentuk superego (superego), atau hati nurani, melalui 19
Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2013), 294-295
44
identifikasi dengan orangtua berjenis kelamin sama. Walhasil, mereka mengadopsi standar peran gender dan moral dari masyarakat mereka. Setiap kali anak melanggar standar hati nurani, dia akan merasa bersalah. Bagi Erikson, dampak negatif masa kanak-kanak awal adalah terlalu ketatnya superego sehingga anak-anak merasa sangat bersalah karena mereka terlalu sering ditekan, dikritik, dan dihukum oleh orang dewasa. Bila ini terjadi, permainan dan upaya anak-anak prasekolah untuk menguasai tugas-tugas baru menjadi berantakan. Meskipun gagasan Freud tidak lagi diterima sebagai penjelasan yang memadai mengenai perkembangan hati nurani, gambaran Erikson tentang inisiatif mampu menangkap berbagai perubahan kehidupan emosional dan sosial pada diri anak-anak. Sejatinya, masa kanak-kanak awal adalah sebuah masa ketika anak-anak mengembangkan citra diri yang penuh dengan rasa percaya diri, pengendalian lebih efektif atas emosi mereka, keterampilan sosial baru, landasan moralitas, dan pemahaman jelas tenang diri sendiri sebagai seorang anak laki-laki atau perempuan.20 Menurut bukunya Laura berk diambil dalam Teori Erikson: Inisiatif vs Rasa Bersalah dalam bukunya perubahan kepribadian apa saja yang terjadi selama tahapan inisiatif vs. rasa bersalah Erikson? Gambaran Erikson mengenai inisiatif vs rasa bersalah (initiative versus guilt) menangkap perubahan emosional dan sosial selama masa kanak-kanak awal. Pikiran sehat mengenai inisiatif bergantung pada eksplorasi dunia sosial melalui permainan, pembentukan nurani melalui identifikasi dengan orantua dari jenis kelamin yang sama, dan penerimaan terhadap pengasuhan yang mendukung. 21
20
Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Edisi Kelima Transisi Menjelang Dewasa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) p.342-343 21 Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Edisi Kelima Transisi Menjelang Dewasa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) p.382
45
Menurut John W santrock Prakarsa versus rasa bersalah (initiative versus guilt), yang merupakan tahap ketiga dari perkembangan menurut Erikson, berlangsung selama masa prasekolah. Ketika anak-anak prasekolah mulai memasuki dunia sosial yang luas, mereka dihadapkan pada tantangan-tantangan baru yang menuntut mereka untuk mengembangkan perilaku yang aktif dan bertujuan. Anak-anak diharapkan mampu bertanggung jawab terhadap tubuh, perilaku, mainan, dan hewan peliharaan mereka. Namun, perasaan bersalah dapat muncul apabila anak dianggap tidak bertanggung jawab dan menjadi sangat cemas. 22 Menurut John W shartoc Inisiatif versus Rasa Bersalah dalam tahapan Erikson, menurut delapan tahap perkembangan Erik Erikson (1968) yang terjadi selama periode tertentu di masa hidup manusia. Dua tahap pertama erikson, percaya versus tidak percaya (trust versus mistrust), dan autonomi versus rasa malu dan ragu-ragu, menjelaskan apa yang Erikson sebut sebagai tugas perkembangan utama di masa bayi. Perkembangan psikososial Erik Erikson terkait dengan tahap inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus guilt) di masa kanak-kanak awal. Mulai sekarang, anak-anak menjadi lebih yakin bahwa mereka adalah diri mereka sendiri; selam amasa kanak-kanak awal, ereka mulai menemukan pribadi yang diinginkan. Secara intensif mereka mengidentifikasi kepada orang tuanya, yang hampir selalu terlihat kuat dan cantik; meskipun sering kali tidak masuk akal, tidak sependapat, dan kadangkala
membahayakan.
Selama
kanak-kanak
awal,
anak-anak
menggunakan
keterampilan perseptual, motorik, kognitif, dan bahasa untuk melakukan sesuatu. Mereka memiliki kelebihan energi yang memungkinkan mereka melupakan kegagalan-kegagalannya dengan cepat dan mendekati area-area baru yang terlihat menarik – bahkan meskipun areaarea itu terlihat berbahaya – tanpa kekurangan energi dan rasa keterarahan yang meningkat. Pada tahap ini dengan inisiatifnya sendiri, anak-anak dengan gembira bergerak menuju dunia 22
John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012), 26
46
sosial yang lebih luas. Inisiatif ini dipimpin oleh suara hati (conscience). Inisiatif dan antusias mereka tidak hanya memberi reward, namun juga rasa bersalah, yang dapat menurunkan penghargaan–diri.23
Menurut
bukunya Penney upton Prasekolah (3 hingga 5 tahun), Konflik dasar
inisiatif versus rasa bersalah, peristiwa penting eksplorasi, hasil anak-anak perlu mulai menunjukkan kendali dan kekuasaan atas lingkungan. Keberhasilan dalam tahap ini akan mendorong rasa bertujuan. Anak-anak yang berusaha menunjukkan kekuasaan berlebihan akan mengalami penolakan, yang menimbulkan rasa bersalah.24 Menurut bukunya William CarainTahap umum: Inisiatif vs Rasa BersalahInisiatif, seperti instrusi, berarti pergerakan ke depan. Lewat inisiatif , anak membuat rencana, menetapkan tujuan dan mempunyai semangat untuk mencapainya. Saya mencatat contohnya, sejumlah aktivitas salah satu putra kami waktu berusia 5 tahun. Suatu hari dia memutuskan untuk melihat seberapa tinggi bisa menyusun mainan baloknya, kemudian menemukan permainan lain untuk seberapa tinggi dia bisa melompat dari tempat tidur orang tuanya, dan akhirnya mendorong anggota keluarga yang lain untuk melihat sebuah film baru yang kebanyakan berisi aksi dan kekerasan. Tingkah laku ini dia lakukan berdasarkan tujuan, hasrat persaingan dan kualitas imajinatif tertentu. Di titik ini, krisis datang ketika anak mulai menyadari bahwa rencana-rencana terbesar mereka dan harapan-harapan terdalamnya hancur berantakan. Ambisi-ambisi ini tentunya ambisi odipal – keinginan untuk memiliki salah satu orang dan bersaing dengan yang satunya. Lalu anak menemukan kalau harapan-harapan ini melanggar tabu sosial dan
23 24
John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012) p.278-279. Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), 22-23
47
amat berbahaya dari yang bisa dia bayangkan. Karena itu, anak mulai menginternalisasikan larangan-larangan sosial – sebuah rasa bersalah pembentuk superego – demi menjaga impuls dan fantasi berbaya tetap terkendali. Namun Erikson tidak pesimis dengan hal ini. Di amalah mengamati kalau anak-anak yang berusia 3-6 tahun, lebih dari periode waktu mana pun, sudah siap untuk belajar dengan cepat dan gigih, dan bersedia mencari cara untuk menghubungkan ambisi mereka dengan tujuan-tujuan yang berguna secara sosial (1963, h.258). orang tua bisa membantu proses ini dengan mempelunak otoritas dan memperbolehkan anak berpartisipasi dengan setara untuk menghadapi proyek-proyek kehidupan yang menarik. Lewat cara inilah, orang tua bisa membantu anak keluar dari krisis tahapan ini dengan pengertian penuh mengenai tujuan – “keberanian untuk memimpikan dan mengejar tujuan-tujuan yang bernilai” – yang tidak akan bisa dirusak oleh rasa bersalah maupun larangan.25 Menurut Jeast dan greogry Inisiatif versus Rasa Bersalah insiatif tak terkekang bisa maengarah kepada khaos dan pelemahan prinsip-prinsip moral. Di sisi lain, jika rasa bersalah menjadi elemen dominan, anak bisa menjadi moralistik yang kompulsif atau terlalu banyak mereka dilarang. Pelarangan/penghambatan (inhibition), yang merupakan antipati tujuan, melandasi patologi inti paa usia bermain. Tujuan: Kekuatan Dasar Usia Bermain Konflik inisiatif versus rasa bersalah menghasilkan kekuatan dasar berupa tujuan (purpose). Anak-anak sekarang bermain dengan suatu tujuan, bersaing di setiap permainan untuk menang atua menjadi nomor satu ketertarikan genital mereka memiliki sebuah arah, dengan ibu atau ayah yang menjadi objek hasrat-hasrat seksual mereka. Anak-anak menetapkan 25
sasaran-sasaran
mereka.
Anak-anak
menetapkan
William Crain. Teori Perkembangan.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2007),437-438
48
sasaran-sasaran
dan
mengejarnya dengan suatu tujuan. Usia bermain juga merupakan tahapan di mana anak-anak mengembangkan suara hati dan mulai melekatkan pelabelan seperti benar dan salah paa tindakan-tindakan mereka. Suara hati anak kecil inilah yang di kemudian hari menjadi “batu penjuru moralitas” (Erikson, 1968, hlm. 199).26 Menurut Erik H erikson Inisiatif Versus Rasa Berasalah,pada setiap diri anak, di setiap tahapnya terdapat sebuah mukjizat baru dari pembentangan yang penuh semangat, yang berupa sebuah harapan baru dan sebuah tanggung jawab baru bagi semua orang. Itu adalah perasaan dan kualitas inisiatif yang menyebar. Kriteria untuk semua perasaan dan kualitas sama: sebuah krisis, yang sedikit banyak disertai dengan meraba-raba dan ketakutan, diatasi, dala arti bahwa kepribadian dan tubuh anak tiba-tiba tampak “tumbuh bersamaan”. Ia tampak “lebih menjadi dirinya sendiri”, lebih penyayang, rileks dan lebih cerdas dalam membuat penilaian, lebih aktif dan mengaktifkan. Ia dirasuki oleh surplus energi yang memungkinkannya untuk melupakan kegagalan dengan cepat dan mendekati hal-hal yang tampak diinginkan (meskipun hal itu tampak tidak pasti dan bahkan berbahaya) dengan arah yang tidak dikurangi dan lebih akurat. Inisiatif menambahkan pada otonomi kualitas menjalankan, merencanakan dan “menyerbu” sebuah tugas demi menjadi aktif dan bergerak, yang sebelumnya kemauan sendirilah yang lebih sering menginspirasi tindakan-tindakan menentang atau memprotes independensi. “Inisiatif” memiliki konotasi Amerika dan industri. Namun, inisiatif adalah bagian yang dibutuhkan pada setiap tindakan, dan orang membutuhkan perasaan inisiatif untuk apa pun yang dipelajari dan dikerjakannya, mulai dari masa mengumpulkan makanan sampai masa sistem perusahaan.
26
Jess Feist dan Gregory J. Feist. Theories of Personalitiy. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 222
49
Bahaya di dalam tahap tersebut adalah perasaan bersalah atas tujuan-tujuan yang dipikirkan dan tindakan-tindakan yang dilakukan di tengah kegembiraan yang meluap-luap karena merasa memiliki kekuatan lokomotor dan mental baru: tindakan-tindakan yang berupa manipulasi agresif dan pemaksaan yang dengan cepat melampaui kapasitas eksekutif organisme dan pikiran, oleh karenanya membutuhkan penghentian yang harus dilakukan dengan banyak tenaga atas inisiatif yang dipikirkannya. 27 Menurut John . W shartok Inisiatif versus Rasa Bersalahdalam mempelajari delapan tahap perkembangan Erik Erikson (1968) yang terjadi selama periode tertentu di masa hidup manusia. Dua tahap pertama erikson, percaya versus tidak percaya (trust versus mistrust), dan autonomi versus rasa malu dan ragu-ragu, menjelaskan apa yang Erikson sebut sebagai tugas perkembangan utama di masa bayi. Perkembangan psikososial Erik Erikson terkait dengan tahap inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus guilt) di masa kanak-kanak awal. Mulai sekarang, anak-anak menjadi lebih yakin bahwa mereka adalah diri mereka sendiri; selam amasa kanak-kanak awal, ereka mulai menemukan pribadi yang diinginkan. Secara intensif mereka mengidentifikasi kepada orang tuanya, yang hampir selalu terlihat kuat dan cantik; meskipun sering kali tidak masuk akal, tidak sependapat, dan kadangkala membahayakan. Selama kanak-kanak awal, anak-anak menggunakan keterampilan perseptual, motorik, kognitif, dan bahasa untuk melakukan sesuatu. Mereka memiliki kelebihan energi yang memungkinkan mereka melupakan kegagalan-kegagalannya dengan cepat dan mendekati area-area baru yang terlihat menarik – bahkan meskipun area-area itu terlihat berbahaya – tanpa kekurangan energi dan rasa keterarahan yang meningkat. Pada tahap ini dengan inisiatifnya sendiri, anak-anak dengan gembira bergerak menuju dunia sosial yang lebih luas. Inisiatif ini dipimpin oleh suara hati (conscience). Inisiatif dan 27
Erik H. Erikson, Childhood and Society, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2010), 301-302
50
antusias mereka tidak hanya memberi reward, namun juga rasa bersalah, yang dapat menurunkan penghargaan–diri.28 4. Usia Sekolah: Kegigihan versus Inferioritas Menurut Matthew ,tahap ini berlangsung sejak usia 6 tahun hingga sekitar 11 tahunan, berkorelasi dengan tahap latensi perkembangan psikoseksual Freud. Umumnya sebagian besar anak sibuk bersekolah di usia-usia ini, dan di tahap ini anak belajar banyak keterampilan yang dibutuhkan bagi kelangsungan ekonomi, keterampilan-keterampilan teknologis yang akan memampukan mereka menjadi anggota yang produktif dalam budaya mereka: Panggung batin seperti dipersiapkan bagi ‘pintu masuk menuju kehidupan’, kecuali hidup itu pertama-tama haruslah berada di dalam kehidupan sekolah, entah sekolahnya di lapangan atau hutan atau ruang kelas. Anak harus melupakan harapan dan keinginan di masa lalu, sedangkan imajinasinya yang dinamis harus dijinakkan dan ditundukkan pada hukumhukum tentang benda-benda yang tak bernyawa – bahkan ca-lis-tung. Karena sebelum anak secara psikologis siap menjadi orangtua beneran dapat menjadi orangtua biologis lebih dulu, namun dia tetap harus mulai menjadi seorang pekerja dan penyedia yang potensial. (Erikson, 1985, hlm. 258-259). Sekolah adalah tempat anak dilatih bagi pekerjaan di masa depan dan penyesuaian dengan budayanya. Karena kelangsungan hidup mensyaratkan kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, keterampilan sosial termasuk di antara pelajaran yang penting diajarkan sekolah. Namun, pelajaran yang paling penting yang dipelajari anak di tahap ini adalah “kesenangan menyelesaikan tugas lewat perhatian yang terus-menerus dan memelihara kerajinan” (Erikson, 1985, hlm. 259). Dari pelajaran ini datanglah rasa 28
John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012) p.278-279.
51
kegigihan, yang menyiapkan anak untuk mencari dengan penuh kepercayaan diri tempattempat yang produktif di dalam masyarakat di antara individu-individu lainnya. Jika anak tidak mengembangkan rasa kegigihan, mereka akan mengembangkan perasaan inferioritas, menyebabkan mereka hilang keyakinan akan kemampuan diri mereka untuk bisa menjadi anggota masyarakat yang memberikan sebuah kontribusi. Anak-anak yang seperti ini cenderung mengembangkan sebuah ‘identitas negatif’, sebuah konsep yang akan dijelaskan di dalam diskusi kita terkait tahap berikutnya. Bahaya lain yang muncul di tahap ini adalah anak di kemudian hari terlalu melebihkan nilai dari posisi mereka di tempat kerja. Untuk orang yang seperti ini, kerja disamakan dengan hidup, dan karenanya dibutakan dari banyak aspek penting lain eksistensi manusia. “Jika ia menerima kerja sebagai satu-satunya kewajibannya, dan ‘kerja apa’ sebagai satu-satunya kriterianya tentang keberhargaan, dia dapat menjadi seorang pendukung dan budak yang tidak berpikir jernih tentang teknologi yang dikuasainya dan mereka-mereka yang berada suatu posisi yang mengeksploitasi dirinya” (Erikson, 1985, hlm. 261). Menurut Erikson, keterampilan yang dibutuhkan bagi pekerjaan di masa depan memang harus diperkuat di tahap ini namun bukan dengan mengabaikan atribut-atribut lain yang penting dari manusia. Jika rasa kegigihan anak lebih besar daripada rasa inferioritasnya, mereka akan meninggalkan tahap ini dengan kebajikan berupa kompetensi. “Kopetensi ... adalah latihan bebas ketahanan dan kecerdasan dalam menyelesaikan tugas-tugas, tidak terhalang oleh inferiortias infantil” (Erikson, 1964, hlm. 124). Perasaan inferioritas sebaliknya, datang dari
52
olok-olok atau kurangnya perhatian dari individu-individu yang dianggap paling penting oleh anak-anak.29 Semangat versus rasa rendah diri (industry versus inferiority) adalah tahap keempat dari perkembangan menurut Erikson dan berlangsung di masa sekolah dasar. Prakarsa anakanak membawa mereka terlibat dalam kontak dengan pengalaman-pengalaman baru yang kaya. Ketika mereka beralih ke masa kanak-kanak pertengahan dan akhir, mereka mengarahkan energinya untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan intelektual. Tidak ada saat lain yang lebih penuh semangat atau antusiasme untuk belajar dibandingkan pada akhir periode pengembangan imajinasi pada masa kanak-kanak awal. Bahaya yang dihadapi di masa sekolah dasar adalah anak dapat mengembangkan rasa rendah diri – merasa tidak kompeten dan tidak produktif.30 Industri versus Inferioritas menjelaskan delapan tahap perkembangan manusia milik Erik Erikson (1968). Tahap keempatnya, industri versus inferioritas, terjadi selama masa kanak-kanak pertengahan dan akhir. Istilah industri menunjukkan tema dominan periode ini: Anak-anak tertarik pada asal mula sebuah benda dan cara kerjanya. Ketika anak-anak didorong untuk berusaha membuat, membangun, dan menjadikan benda itu bekerja – membuat pesawat mainan, membangun rumah pohon, memperbaiki sepeda, menyelesaikan masalah, atau memasak – perasaan mereka terhadap industri meningkat. Meskipun demikian, orang tua yang menganggap usaha anak mereka dalam menciptakan sesuatu itu sebagia “kenakalan” atau “membuat kekacauan” akan memberikan rasa interioritas pada anak. Dunia sosial anak di luar keluarga mereka pun berkontribusi terhadap rasa industri. Sekolah menjadi sangat penting dalam hal ini. Misalkan saja anak-anak yang kecerdasannya 29
Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2013), 296-297 30 John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012), 26
53
sedikit di bawah rata-rata. Anak-anak tersebut terlalu pandai bagi sekolah luar biasa namun kurang cerdas untuk kelas anak-anak jenius. Anak-anak tersebut sering kali tidak bagus nilainya, sehingga menimbulkan rasa inferioritas. Sebaliknya, perhatikan anak-anak yang rasa industrinya diciutkan di rumah. Guru-guru yang sensitif dan berkomitmen mungkin akan membantu mengembalikan rasa industri tersebut di sekolah (Elkind, 1970).31 Menurut penney upton,usia sekolah (6 hingga 11 tahu) Konflik dasar indistri versus inferioritas, peristiwa penting sekolah, hasil anak-anak perlu mengatasi tuntutan-tuntutan sosial dan akaemik baru. Keberhasilan memunculkan rasa berkemampuan, sedang kegagalan memunculkan peraana inferioritas.32 Tahap Latensi menurut William Crain, bahaya di tahapan ini adalah perasaan berlebih-lebihan ketidaktepatan dan inferioritas. Kebanyakan dari kita mungkin masih ingat rasa sakit dari kegagalan di kelas atau diperolok-olok di taman bermain. Namun perasaan inferior yang terlalu mendalam memiliki akar yang sangat beragam. Bisa jadi anak menemui kesulitan di tahap ini karena tidak berhasil menyelesaikan konflik di tahap-tahap sebelumnya. Contohnya, di tahap kedua seorang gadis kecil mungkin lebih banyak mengembangkan keraguan daripada otonomi, sehingga dia tidak merasa pasti akan dirinya sendiri saat berusaha menguasai tugas-tugas baru. Namun bisa juga sikap sekolah dan komunitas menghalangi perkembangan anak untuk memahami kegigihan. Erikson (1959, h.87) berulang kali menemukan bahwa di dalam kehidupan orangorang yang penuh inspirasi besar dan bertalenta tinggi, ternyata gurulah yang dulu sudah membuat dia merasa berbeda dan unik, dengan mendukung talenta-talentanya sewaktu dia masih kecil. Dan keberhasilan memecahkan masalah di tahap ini akan membawa anak 31 32
John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012) p.364. Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), p.254-255
54
kepada penguatan ego yang disebut Erikson kompetensi – sebuah latihan intelegensia dan kemampuan secara bebas dalam menyelesaikan tugas-tugas, tanpa diganggu perasaan inferioritas y ang berlebihan (1964, h.124).33 Produktivitas versus Inferioritas (Industry vs Inferiority) Ketidakaekuatan di tahap-tahap sebelumnya juga dapat memberikan kontribusi bagi perasaan inferioritas anak anak. Contohnya, jika anak mendapatkan terlalu banyak rasa bersalah dan terlalu sedikit tujuan selama usia bermain, mereka tampaknya akan merasa inferior gitu, kegagalan tidak bisa dielakkan. Erikson cukup optimis bahwa setiap orang akan berhasil mengatasi krisis di tahap mana pun meskipun mereka belum berhasil penuh di tahap sebelumnya. Proporsi antara produktivitas dan inferioritas mestinya lebih mendukung kepada produktivitas. Namun inferioritas, seperti kualitas-kualitas distonik lainnya, tidak bisa dihindari. Seperti yang dikatakan Alfred Adler (Bab 3), inferioritas bisa berfungsi sebagai motivasi untuk manusia melakukan yang terbaik. Sebaliknya, terlalu tenggelam dalam inferioritas dapat memblokir aktivitas produktif dan melemahkan perasaan kompetensi manusia. Komptensi: Kekuatan Dasar Usia Sekolah Dari
konflik
produktivitas
versus
inferioritas,
anak-anak
mengembangkan kekuatan dasar kompetensi-yaitu kepercayaan diri
usia
sekolah
menggunakan
kemampuan fisik dan kognitif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di usia sekolah. Jika perjuangan antara produktivitas dan inferioritas terlalu mengarah kepada inferioritas atas produktivitas yang berlebihan, anak-anak akan cenderung mudah menyerah 33
William Crain. Teori Perkembangan.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2007), 439-441
55
dan mundur ke tahap perkembangan sebelumnya. Mereka bisa jadi terlalu asyik dengan fantasi-fantasi genital dan Oedipal infantilnya, dan menghabiskan banyak waktu dalam permainan yang tidak produktif. Regresi ini disebut kelembaman/inersia (inertia), antitesis dari kompetensi dan menjadi patologi inti usia sekolah.34 Menurut pendapat Erik H Erikson produktivitas versus inferioritas, tahap batin ini tampaknya semua merupakan persiapan untuk “memasuki kehidupan”, kecuali bahwa kehidupan yang pertama haruslah kehidupan sekolah, terlepas apakah sekolah adalah sebuah ladang atau hutan atau ruang kelas. Anak harus melupakan harapan-harapan dan keinginankeinginannya di masa lalu, sementara imajinasi mereka yang tumbuh subur dijinakkan dan diikatkan pada hukum benda-benda yagn bersifat umum – Three R’s (Tiga R, Reading, wRiting, aRithmetics, membaca, menulis, berhitung). Hal ini karena sebelum anak, yang secara psikologis sudah menjadi orangtua yang belum sempurna, dapat menjadi seorang orangtua biologis, ia harus mulai dengan menjadi seorang pekerja dan penyedia potensial. Di semua budaya, anak-anak pada tahap ini menerima instruksi sistematik tertentu, meskipun, seperti yang kita lihat di bab tentang orang-orang Indian Amerika, belum tentu selalu dalam bentuk sekolah yang oleh orang-orang yang melek huruf harus diorganisasikan di seputar guru-guru khusus yang harus belajar tentang bagaimana cara mengajarkan melek huruf. Bahaya anak, pada tahap ini, terletak pada perasaan tidak adekuat dan inferioritas. Kalau ia putus asa dengan alat-alat dan keterampilan-keterampilannya atau statusnya di antara partner-partner alatnya, ia mungkin kehilangan semangat untuk mengidentifikasikan diri dengan mereka dan dengan salah satu bagian dunia alat. Kehilangan harapan akan asosiasi “industrial” seperti itu dapat mendorongnya kembali ke persaingan familiar yang 34
Jess Feist dan Gregory J. Feist. Theories of Personalitiy. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),223
56
lebih terisolasi dan kurang sadar alat seperti masa oedipalnya dulu. Keputusasaan anak atas perlengkapannya di dunia alat dan di dalam anatomi, dan menganggap dirinya dijebloskan ke keadaan yang sedang-sedang saja atau tidak adekuat. Di bagian sebelumnya kami telah menyebutkan tentang bahaya yang mengancam individu dan masyarakat ketika anak sekolah mulai merasa bahwa warna kulitnya, latar belakang orangtuanya, atau gaya pakaiannya, dan bukan keinginan dan kemauannya utnuk belajar, yang akan menentukan harga dirinya sebagai pelajar, perasaan identitas dirinya.35 Menurut John W. Sartock Industri versus Inferioritas,
menjelaskan delapan tahap
perkembangan manusia milik Erik Erikson (1968). Tahap keempatnya, industri versus inferioritas, terjadi selama masa kanak-kanak pertengahan dan akhir. Istilah industri menunjukkan tema dominan periode ini: Anak-anak tertarik pada asal mula sebuah benda dan cara kerjanya. Ketika anak-anak didorong untuk berusaha membuat, membangun, dan menjadikan benda itu bekerja – membuat pesawat mainan, membangun rumah pohon, memperbaiki sepeda, menyelesaikan masalah, atau memasak – perasaan mereka terhadap industri meningkat. Meskipun demikian, orang tua yang menganggap usaha anak mereka dalam menciptakan sesuatu itu sebagia “kenakalan” atau “membuat kekacauan” akan memberikan rasa interioritas pada anak. Dunia sosial anak di luar keluarga mereka pun berkontribusi terhadap rasa industri. Sekolah menjadi sangat penting dalam hal ini. Misalkan saja anak-anak yang kecerdasannya sedikit di bawah rata-rata. Anak-anak tersebut terlalu pandai bagi sekolah luar biasa namun kurang cerdas untuk kelas anak-anak jenius. Anak-anak tersebut sering kali tidak bagus nilainya, sehingga menimbulkan rasa inferioritas. Sebaliknya, perhatikan anak-anak yang
35
Erik H. Erikson, Childhood and Society, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2010), 306-308
57
rasa industrinya diciutkan di rumah. Guru-guru yang sensitif dan berkomitmen mungkin akan membantu mengembalikan rasa industri tersebut di sekolah (Elkind, 1970).36 5. Remaja: Identitas versus kebingungan Peran Menurut Matthew dalam teori erikson,tahap ini muncul antara usia 12 sampai 20 tahun, berkorelasi dengan tahap genital perkembangan psikoseksual Freud. Erikson menjadi terkenal lantaran deskripsinya tentang tahap psikososial yang ini, persisnya karena di dalamnya mengandung konsepnya yang paling terkenal, krisis identitas. Erikson yakin tahap ini merepresentasikan periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Di tahap-tahap sebelumnya, anak belajar siapa diri mereka dan apa yang dapat mereka lakukan, yaitu berbagai peran yang tersedia bagi mereka. Di tahap ini anak harus hati-hati mempertimbangkan semua informasi yang sudah dikumpulkan tentang diri dan masyarakat mereka, dan akhirnya mengikatkan diri mereka pada komitmen sejumlah strategi untuk menjalani hidup. Meraih sebuah identitas namun bukan seperti yang sudah dimilikinya. Erikson menyebut interval antara remaja sampai dewasa ini moratorium psikososial. Erikson (1964) mendeskripsikan dengan gamblang apa persisnya periode antara kanak-kanak dan dewasa ini seperti berikut: Seperti pemain trapeze, anak muda berada di tengah gerakan yang berisiko, melepaskan pegangannya terhadap kanak-kanak dan melompat untuk meraih suatu pegangan yang kukuh di masa dewasa, bergantung interval napasnya antara masa lalu dan masa depan, dan bergantung reliabilitas hal-hal yang harus dilepaskan dan orang-orang yang akan ‘menerima’ mereka di ujung sana. (hlm. 90). Karena identigas adalah sebuah konsep yang sangat kompleks, ia menganggap memang harus didekati dari banyak sudut. 36
John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012) p.364.
58
Jika seorang dewasa muda tidak meninggalkan tahap ini dengan sebuah identitas, mereka akan meninggalkannya dengan sebuah kebingungan peran, bahkan mungkin dengan sebuah identitas negatif. Kebingungan peran dicirikan oleh ketidakmampuan memilih suatu peran di dalam hidup, karenanya memperpanjang moratorium psikologis hingga waktu tak terhingga, atau melakukan sejumlah komitmen yang dibuat-buat yang segera ditinggalkannya untuk membuat komitmen lain yang juga direka-reka. Sedangkan Erikson mendefinisikan identitas negatif sebagai “identitas yang dibelokkan dari semua identifikasi dan peran yang, di tahap kritis perkembangan, sudah dinilainya tidak diinginkan atau berbahaya namun menjadi yang paling nyata untuk dikejarnya” (1959, hlm. 131). Jika anak-anak muda muncul dari tahap ini dengan identitas positif lebih daripada kebingungan peran atau identitas negatif, mereka juga akan muncul dengan kebajikan yang disebut
kesetiaan. Erikson mendefinisikan kesetiaan sebagai
“kemampuan untuk
mempertahankan loyalitas dengan janji yang bebas diberikannya tak peduli kotnradiksi tak terelakkan dari sistem-sistem nilai tertentu” (1964, hlm. 125). Tahap-tahap yang mendahului tahap ini menyediakan bagi anak kualitas-kualitas di mana sebuah identitas dapat diperoleh. Di tahap ini, seseorang harus mensintesis informasi ini. Berkembangnya sebuah identitas menandai akhir dari masa kanak-kanak dan dimulainya masa dewasa. Dari titik ini ke depan, hidup tak lebih dari bertindak sesuai identitas tersebut. Sekarang karena seseorang ‘tahu siapa dirinya’, tugas di dalam hidup adalah mengembangkan ‘diri’ itu seoptimal mungkin di sisa hidupnya. Ideologi versus Totalisme. Ritualisasi yang terdapat di tahap ini adalah ideologi. Remaja mencari sebuah ideologi yang dapat mensintesiskan semua perkembangan ego di tahap-tahap perkembangan sebelumnya. Ideologi membangkitkan sebuah rancangan
59
permainan bagi hidup, ia memberikan makna hidupnya. Sebuah identitas tidak dapat muncul sampai sebuah ideologi memampukan integrasi yang seperti itu. Sebuah ideologi yang dipilih bisa bersifat religius, politis atau filosofis. Satu-satunya syarat adalah bertindak sesuai ideologi ini lebih jauh entah dalam tujuan pribadi maupun budayanya. Ritualisasi yang berlebihan atas ideologi akan menghasilkan ritualisme totalisme. Totalisme melibatkan sebuah komitmen yang mutlak terhadap ideologi-ideologi yang terlalu simplistik. Contohnya, para remaja mungkin menerima nilai-nilai yang disuarakan oleh berbagai ‘pahlawan’ di pemujaan religius, kelompok musik, kultur narkoba, para atlet, para gangster, aktor film, atau kelompok-kelompok politik. Menurut Erikson, ketika para remaja terlalu mengidentifikasi diri dengan kelompok atau individu tersebut, ini karena sepertinya mereka bisa menyediakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan hidup yang paling mereka rasakan sulit. Penting untuk diingat bahwa menurut prinsip epigenetik, semua krisis muncul di semua tahap perkembangan. Contohnya, krisis identitas eksis pada anak muda seperti juga pada orang dewasa, namun yang membedakan adalah tingkat kematangannya mencari resolusi. Karena alasan-alasan biologis, psikologis dan sosial, hanya di masa remaja krisis identitas muncul di titik krisisnya.37 Menurut Laura Berk diambil dari teori Erikson: Identitas vs. Kegamangan Peran. Erikson (1950, 1968) adalah orang pertama yang menganggap identitas (identity) sebagai pencapaian pribadi utama di usia remaja dan sebagai langkah penting menuju sosok dewasa yang produktif dan berguna. Pembentukan identitas melibatkan pendefinisian tentang siapa diri Anda, apa yang Anda hargai, dan arah yang Anda pilihan dalam menjalani hidup. 37
Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2013), 298-301
60
Seorang pakar menggambarkan pembentukan identitas sebagai satu teori tegas tentang diri sendiri sebagai satu teori tegas tentang diri sendiri sebagai agen rasional – pribadi yang bertindak atas dasar alasan, bertanggung jawab atas tindakan tersebut, dan dapat menjelaskannya (Moshman, 2005. Pencarian jati diri yang sebenarnya ini memunculkan banyak pilihan – pekerjaan, hubungan antarpribadi, keterlibatan dalam masyarakat, keanggotaan kelompok etnik, ekspresi orientasi seksual seseorang, dan cita-cita moral, politik, dan keagamaan. Meskipun benih pembentukan identitas sudah tertanam dari awal, remaja baru benarbenar bergelut dengan tugas ini saat memasuki masa remaja akhir dan masa dewasa awal. Menurut Erikson, dalam masyarakat yang kompleks, remaja mengalami krisis identitas (identity crisis) – masa periode menderita sementara karena mereka bereksperimen dengan banyak alternatif sebelum menetapkan pilihan nilai dan tujuan. Mereka melalui sebuah proses pencarian batin, memilah-milah karakteristik yang
mendefinisikan diri di masa
kanak-kanak dan memadukannya dengan watak, kemampuan, dan komitmen yang muncul. Kemudian, mereka mematri semua watak ini menjadi sebuah inti batin yang memberikan suatu identitas matang –rasa kesinambungan diri saat mereka melangkah melalui berbagai peran dalam kehidupan sehari-hari. Setelah terbentuk, identitas terus disempurnakan di masa dewasa saat orang menilai kembali komitmen dan pilihan terdahulu. Erikson menyebut konflik psikologis di masa remaja sebagia konflik identitas vs. kegamangan peran (identity versus role confusion). Bila konflik yang dihadapi oleh remaja sebelumnya diselesaikan dalam cara negatif atau bila masyarakat membatasi pilihan mereka pada pilihan-pilihan yang tidak sejalan dengan kemampuan dan kemauan mereka, mereka terkesan picik, tanpa arah, dan tidak siap menghadapi tantangan masa dewasa.
61
Para teoretisi saat ini mengamini pendapat Erikson bahwa mempertanyakan nilai, rencana, dan prioritas penting bagi identitas dewasa, tetapi mereka tidak lagi menggambarkan proses ini sebagia
sebuah “krisis” (Grotevant, 1998; Korger, 2005).
Kebanyakan anak muda tidak menganggap perkembangan identitas itu sebagai traumatis dan mengganggu, melainkan sebagai sebuah proses eksplorasi (exploration) yang diikuti dengan komitmen (commitment). Ketika remaja mencoba-coba segala peluang hidup, mereka mengumpulkan informasi penting mengenai diri dan lingkungan mereka dan teurs menlangkah mengambil keputusan-keputusan yang bertahan lama. Dalam melakukan hal itu, mereka menempa sebuah struktur diri yang terorganisasi (Arnett, 2000, 2006; Moshman, 2005). Dalam bagian berikut, kita akan melihat bahwa remaja menjalankan tugas pendefinisian diri dalam cara yang mirip dengan deskripsi Erikson. 38 Menurut singgih gunarsa Kepribadian yang belum matang (immature personality), pada masa ini. menurut pandangan Erik Erikson (Papalia et al., 1998), remaja memasuki masa pencarian dan pembentukan identitas dir (self identity). Dalam hal ini kepribadian remaja belum mencapai kematangan (immaturity). Menurut para ahli psikologi perkembangan, pribadi yang tidak matang ditandai oleh sifat keragu-raguan (indecisiveness) dalam mengambil sesuatu keputusan (Elkind dlm. Papalia et al., 1998), kurang percaya diri atau harga diri rendah (Thomburg, 1982), kurang mampu mengontrol emosi dan perilaku (Santrock, 1999). Keadaan ini memungkinkan remaja untuk mudah dipengaruhi hal-hal yang positif maupun negatif oleh lingkungan eksternal. Bila ia memperoleh pengaruh positif, hal ini akan menguntungkan bagi perkembangan kepribadiannya, misalnya mengembangkan kegiatan ilmiah dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja. Sebaliknya, ia pun akan dapat 38
Laura E. Berk. Develepment Through The Lifespan. Buku 1 Edisi Kelima Transisi Menjelang Dewasa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) p.554
62
memperoleh pengaruh negatif, sehingga remaja akan mudah terjerumus pada tindakan yang negatif pula, misalnya ikut terlibat dalam penyalahgunaan narkoba.39 Menurut Pandangan Erikson dari bukunya John W. shartok Erik Erikson (1950, 1968) adalah tokoh pertama yang memahami betapa pentingnya pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas untuk memahami perkembangan remaja. Teori Erikson telah diperkenalkan di bab 1. Ingatlah tahap kelima dari perkembangan, tahap yang dialami individu di masa remaja, yaitu terhadap identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity confusion). Menurut Erikson, di masa ini, remaja harus memutuskan siapakah dirinya, bagaimanakah dirinya, tujuan apakah yang hendak diraihnya. Pencarian identitas yang berlangsung di masa remaja ini juga disertai oleh berlangsungnya moratorium psikososial (psychosocial moratorium), istilah yang digunakan oleh Erikson untuk merujuk pada kesenjangan antara keamanan ankanak-kanak dan otonomi orang dewasa. Selama periode ini, masyarakat secara relatif membiarkan remaja bebas dari tanggung jawab dan bebas mencoba berbagai identitas. Remaja bereksperimen dengan berbagai peran dan kepribadian. Pada suatu waktu mereka ingin mengejar sebuah karier (sebagai contoh, menjadi seorang pengacara) dan karier lain di waktu lainnya (dokter, aktor, guru, pekerja sosial, atau astronot, contohnya). Mereka mungkin berpakaian rapi di suatu hari, namun tidak rapi di hari berikutnya. Eksperimen ini merupakan usaha yang dilakukan dengan disengaja oleh remaja agar dapat menemukan kesesuaian mereka di dunia. Sebagian besar remaja bahkan membuang peran yang tidak disukai. Remaja yang berhasil mengatasi konflik identitas akan tumbuh dengan penghayatan mengenai diri yang menyegarkan dan dapat diterima. Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis identitas menderita apa yang disebut Erikson sebagai kebingungan identitas. 39
Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa, Dari Anak Sampai Usia Lanjut (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2004) p198-199
63
Kebingungan ini dapat menggejala ke dalam dua bentuk: menarik diri, mengisolasi diri dari kawan sebaya dan keluarga, atau mereka meleburkan diri ke dalam dunia kawan sebaya dan kehilangan identitasnya di tengah crowd-nya.40 Menurut bukunya Singgih Gunarsa menemukan model untuk identifikasRemaja pada masa ini sedang merenggangkan diri dari ikatan emosional dengan orangtuanya. Mereka sedang membongkar landasan hidup, yang sudah diletakkan orangtuanya sepanjang masa anak. Menruut E.H. Erikson pada masa ini remaja harus menemukan identitas diri. Ia harus memiliki gaya hidup sendiri yang bisa dikenal dan ajek walaupun mengalami berbagai macam perubahan. Pada waktu menjalani dan mengalami perubahan pertumbuhan badan dan kematangan seksual yang baru baginya, remaja mempertanyakan pandangan orang tentang dirinya maupun pandangan dirinya mengenai dirinya sendiri. Peranan dan kemampuannya memerlukan orientasi baru tertuju pada tuntutan dan persiapan bagi penempatan suatu posisi dalam masyarakat. Dari semua kemampuan yang telah diperolehnya akan dipilihnya kemampuan, yang diharapkan bisa diamalkan pada kesempatan yang timbul pada masa dewasa. Melalui proses pemilihan yang kritis dan cara mencobakan berbagai kemampuan, remaja mengarahkan diri pada kemungkinan yang tersedia baginya kelak. Secara bertahap remaja memilih dan memenuhi kewajiban dan persyaratan berhubung dengan ikatan-ikatan pribadi berkaitan dengan kayakinan hidup yang telah dipilihnya dan pekerjaannya. Dengan demikian gaya hidup yang khas baginya akan jelas terlihat dari terbentuknya “identitas diri” dalam menduduki tempatnya di masyarakat. Ikatan pribadi pada masa ini sangat penting untuk pembentukan identitas diri. Hubungan dengan orang dewasa dalam lingkungan keluarga, dapat dikatakan sedang di”peti 40
John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012) p.438.
64
es-kan”. Banyak pengetahuan mengenai peranan dan pekerjaan sangat diperlukan untuk memperoleh ruang lingkup pilihan yang luas. Pengetahuan dan contoh nyata dalam kehidupan harus didapatkannya dari model di masyarakat. Model orang yang patut dicontoh baik tingkahlakunya maupun kepribadiannya. Orang yang pantas menjadi model sedapat mungkin memiliki sifat-sifat, sika-sikap, pandangan-pandangan yang sehat, penuh tanggungjawab di samping berkemampuan swasembada dan berhasil. Seorang yang sukses dalam roda kehidupan masyarakat dan dikagumi remaja, mudah dijadikan model identifikasi. Remaja melihat tokoh yang dikagumi, ingin menjadi sama dengan tokoh tersebut. Sejauh mana perasaan bisa dicapainya, tergantung dari kemampuan dan kesempatan baginya. Masalah yang sering timbul dalam menunaikan tugas perkembangan ini terletak pada “langkahnya” tokoh identifikasi yang patut dijadikan model bagi remaja. Bagi tokoh diambil dari dunia perfilman, yang menonjolkan kekerasan dan agresifitas. Demi generasi baru yang lebih baik, perlu lebih banyak tokoh masyarakat yang berhasil dalam hidupnya, bukan hanya untuk dirinya, melainkan untuk masyarakat umum. Dengan demikian remaja dapat mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh yang mementingkan kepentingan umum dan kesejahteraan sosial. Dalam usaha
mengidentifikasikan diri dengan tokoh yang
dikagumi, tentunya harus dilhat pula kemampuan manakah bisa menunjang tercapainya idaman tersebut.41 Menurut penney upton Masa remaja (12 hingga 18 tahun)Konflik dasar identitas versus kebingungan peran, peristiwa penting hubungan sosial, hasil remaja perlu mengembangkan rasa diri dan identitas pribadi. Keberhasilan memunculkan kemampuan
41
Singgih D. Gunarsa dan Yulia Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1983), p.210-2012
65
untuk tetap yakin pada diri sendiri, sedangkan kegagalan mengakibatkan kebingungan peran dan rasa diri yang lebih42. Tahap Pubertas (Tahap Genital) menurut pendapat William CrainMasa remaja juga terganggu dan kacau lantara konflik dan tuntutan sosial yang baru. Tugas utama remaja, kata Erikson, adalah membangun pemahaman baru mengenai identitas ego – sebuah perasaan tentang siapa dirinya dan apa tempatnya di tatanan sosial yang lebih besar. Krisis ini merupakan salah satu dari krisis identitas versus kebingungan peran. Karena remaja merasa tidak begitu pasti dengan siapa dirinya mereka pun sangat bersemangat untuk mengidentifikasi diri dengan ‘geng tertentu’. Mereka bisa “menjadi sangat nge-geng, tidak toleran, dan kejam waktu mengucilkan orang lain yang ‘berbeda’ dari mereka...” Walaupun pembentukan-identitas merupakan proses seumur hidup, tapi masalah identitas ini mencapai krisisnya di masa remaja. Inilah waktu bagi terjadinya begitu banyak perubahan batin, begitu banyaknya sampai-sampai komitmen masa depan dipertaruhkan di titk ini. Dan di waktu-waktu seperit ini, identitas sebelumnya jadi tampak tidak adekuat bagi semua pilihan dan keputusan yang harus dibaut sekarang. Sebagai contoh Erikson (1959, h.123) melukiskan seorang mahasiswi yang berlatarbelakang konservatif baru masuk kuliah. Sesapainya di kampus, dia bertemu banyak orang dari bermacam-macam latar belakang, dan dari antara semuanya itu, dia harus memilih teman-teman dekatnya. Dia juga harus memutuskan bagaimana sikapnya terhadap seks dan pekerjaan apa yang harus diperjuangkannya nanti. Di titik ini identitas dan identifikasinya saat itu memberinya sedikit pertolongan. Setiap keputusan tampaknya meneguhkan sejumlah aspek masa lalunya dan mengabaikan sejumlah aspek yang lain. Jika, contohnya, dia 42
Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), p.22-23
66
memutuskan untuk menjadi aktif secara seksual, maka dia akan mengganggu nilai-nilai keluarga yang dipegangnya selama ini dan melukai harapan-harapan tersembunyi mereka. Jika dia memilih untuk bersaing memperoleh pekerjaan yang didominasi pria, seperti kedokteran atau hukum, maka dia akan menabrak sejumlah nilai keluarganya namun mempertahankan nilai-nilai lain. Karena itu, ketika membuat keputusan dan komitmen, dia mengkaji lagi pengidentifikasian-diri yang sudah dibuat sebelumnya dan membentuk sebuah identitas baru. Tugasnya adalah menempa bagi dirinya bisa jadi berbeda total dair pandangan dan harapan-harapannya di masa kecil, semata-mata demi menyongsong masa dewasanya” (Erikson, 1958, h.124-126). Remaja sering kali menunda komitmen apa pun karena kebutuhan batinya untuk menghindari identitas yang terlalu mapan, sebuah perasaan terlalu prematur untuk menerima peran-peran sosial yang terkotak-kotakkan. Tugas utama masa remaja, kalau begitu, menemukan sejumlah cara hidup di mana kita bisa membuat komitmen permanen. Perjuangan di tahapan ini membawa mereka pada kekuatan ego baru dalam bentuk kesetiaan-sebuah kemapuan untuk mempertahankan loyalitas yang sudah diniati sejak dulu (1964, h.125).43 Menurut pendapat dari Jeas feist Identitas versus Kebingungan Identitas, pencarian terhadap identitas ego mencapai sebuah klimaks selama masa remaja ketika anak mudah berjuang untuk menemukan siapa mereka dan siapa yang bukan mereka. Dengan kedatangan pubertas, masa remaja mencari peran-peran baru untuk membantu mereka menemukan identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan mereka. Dalam pencarian ini, anak-anak muda menggunakan beragam gambar-gambar dirinya yang sudah diterima atau ditolak sebelumnya. Kalau begitu, benih identitas ini sudah bersemi selama masa bayi, dan terus 43
William Crain. Teori Perkembangan.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2007), 441-445
67
tumbuh selama masa kanak-kanak, usia bermain, dan usia sekolah. Kemudian pada masa remaja, identitas menguat menjadi sebuah krisis ketika anak muda belajar mengatasi konflik psikososial identitas versus kebingungan identitas. Sebuah krisis identitas bisa bertahan selama bertahun-tahun dan dapat menghasilkan kekuatan ego yang kuat atau lemah. Menurut Erikson (1982), identitas muncul dari dua sumber: (1) afirmasi atau penolakan remaja terhadap identifikasi kanak-kanak, dan (2) konteks historis dan sosial mereka, yang mendukung konformitas bagi standar-standar tertentu. Anak muda sering kali menolak standar-standar orangtua mereka, lebih menyukai penilaian teman sekolompok atau geng sebayanya. Dalam peristiwa apa pun, masyarakat menjadi tempat mereka memainkan peran yang substansial dadlam upaya mereka memainkan peran yang substansial dalam upaya mereka membentuk identitas-diri. Identitas bisa juga didefinisikan secara positif maupun negatif ketika para remaja memutuskan ingin menjadi apa mereka dan apa yang mereka yakini, sembari menemukan juga bahwa mereka tidak ingin menjadi apa dan apa yang tidak mereka percayai. Sering kali mereka harus menolak kebajikan orangtua ataukah nilai kelompok sebayanya, sebuah dilema yang semakin meningkatkan kebingungan identitas mereka. Kebingungan identitas adalah sindrom masalah yang mencakup gambar diri yang terpecah-belah, sebuah ketidakmampuan membangun keintiman, perasaan kemendesakan waktu, kurangnya konsentrasi pada tugas-tugas yang disyaratkan, dan penolakan terhadap standar keluarga atau komunitas. Sama seperti kecenderungan distonik lain, beberapa kebingungan identitas adalah normal sekaligus dibutuhkan. Anak muda harus mengalami beberapa keraguan dan kebingungan tentang siapa mereka sebelum dapat mengembangkan
68
identitas yang stabil. Mereka bisa saja mingga dari rumah (seperti yang dilakukan Erikson) untuk mengembara sendiri dalam pencarian dirinya, bereksperimen dengan obat-obatan dan seks, mengidentifikasi diri dengan geng jalanan, bergaung dengan kelompok keagamaan, atau memberontak terhadap masyarakat di sekitarnya tanpa mendapatkan jawaban alternatif. Atau bisa saja mereka cukup bersahaja dan cukup menimbang-nimbang di mana tempat mereka akan cocok dengan dunia dan nilai apa yang paling mereka anut. Meskipun kebingungan identitas adalah bagian tak teralakan dari pencarian kita akan identitas, terlalu banyak kebingungan dapat mengarah kepada penyesuaian patologis dalam bentuk regresi bagi tahap-tahap perkembangan sebelumnya. Kita mungkin bisa menangguhkan tanggung jawab msa dewasa dan mendorongnya tanpa tujuan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dari satu pasangan seksual ke pasangan lain, atau dari sebuah ideologi ke ideologi lain. Sebaliknya, jika sanggup mengembangkan proporsi identitas akan memiliki: (1) kepercayaan pada sejumlah prinsip ideologis, (2) kemampuan untuk memutuskan bagaimana semestinya kita bersikap, (3) percaya kepada rekan-rekan sebaya dan orang dewasa yang memberi kita nasihat tentang tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi, dan (4) keyakinan pada pilihan kita mengenai sebuah pekerjaan yang cocok. Kesetiaan: Kekuatan Dasar Masa Remaja Kekuatan dasar yang muncul dari krisis identitas remaja adalah kesetiaan (fidelity), atau keyakinan penuh pada ideologi tertentu. Setelah menetapkan standar-standar internal mereka tentang hubungan, para remaja tidak lagi memerlukan bimbingan orangtua namun memiliki keyakinan pada ideologi religius, politik dan sosial mereka sendiri. Rasa percaya yang dipelajari pada masa bayi adalah dasar bagi kesetiaan pada masa remaja. Anak-anak muda harus belajar memercayai orang lain sebelum dapat memiliki iman
69
dalam pandangan mereka sendiri tentang masa depan. Setelah mengembangkan harapan selama masa bayi, sekarang mereka harus mengikuti harapan itu dengan kekuatan dasar lainnya – kehendak, tujuan dan kompetensi. Setiap komponen ini adalah prasyarat bagi kesetiaan, sama seperti kesetiaan sangat esensial bagi pencapaian kekuatan-kekuatan ego selanjutnya. Kebalikan patologis dari kesetiaan adalah penolakan peran, patologi inti masa remaja yang menghalangi kemampuan seseorang mensintesiskan beragam gambar-diri dan nilai menjadi sebuah identitas yang beroperasi secara aktual. Penolakan peran dapat mengambil bentuk pengecutan atau perlawanan (Erikson, 1982). Kepengecutan (diffience) adalha kekurangan kepercayaan-diri atau keyakinan-diri ekstrem yang terekspresikan sebagai sikap malu-malu (shyness) atau keengganan mengekspresikan diri. Sebaliknya, perlawanan (defiance) adalah tindakan pemberontakan terhadap otoritas. Para remaja yang biasanya memegang dengan penuh kekeras-kepalaan keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang tidak bisa diterima secara sosial disebabkan hanya karena keyakinan dan praktik tersebut tidak bisa diterima. Namun sejumlah penolakan peran, kata Erikson, dibutuhkan bukan hanya karena mengizinkan remaja mengembangkan identitas pribadi mereka namun, juga karena hal ini menyuntikkan sejumlah ide baru dan vitalitas baru ke dalam struktur sosial44 Menurut Diane papalia pencarian identitas menurut teori Erikson: Identitas vs Kebingungan Identitas. Menurut Erikson (1968), tugas utama masa remaja adalah memecahkan “krisis” identitas versus kebingungan identitas (atau identitas versus kebingungan peran), untuk dapat menjadi orang dewasa unik dengan pemahaman akan diri yang utuh dan memahami peran nilai dalam masyarakat “Krisis identitas” ini jarang teratasi
44
Jess Feist dan Gregory J. Feist. Theories of Personalitiy. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),224-225
70
pada masa remaja: berbagai isu berkaitan dengan keterpecahan identitas mengemuka dan kembali mengemukakan sepanjang kehidupan masa dewasa. Merujuk kepada Erikson, remaja tidak membentuk identitas mereka dengan meniru orang lain, sebagaimana yang dilakukan anak yang lebih muda, tetapi dengan memodifikasi dan menyintesis identifikasi lebih awal ke dalam “struktur psikologi baru yang lebih besar” (Kroger, 1993, hlm. 3). Untuk membentuk identitas, seorang remaja harus memastikan dan mengorganisir kemampuan, kebutuhan, ketertarikan, dan hasrat mereka sehingga dapat diekspresikan dalam konteks sosial. Erikson melihat bahaya utama tahap ini adalah kebingungan identitas (atau peran), yang dapat memperlambat pencapaian kedewasaan psikologis. (Erikson sendiri baru dapat engatasi krisis identitas dirinya pada pertengahan usia dua puluhan). Sampai tingkat tertentu kebingungan identitas merupakan sesuatu yang wajar. Hal tersebut memengaruhi karakter caostik alamiah perilaku remaja dan kesadaran diri remaja yang menyakitkan. Berkelompok dan tidak menoleransi perbedaan – dua hal yang menandai suasana sosial remaja – merupakan benteng dala menghadapi kebingungan identitas. Remaja juga dapat menunjukkan kebingungan dengan mundur ke masa kanak-kanak untuk menghindari pemecahan konflik atau dengan melibatkan diri mereka secara inpulsif ke dalam secangkir tindakan yang buruk. Identitas terbentuk ketika remaja berhasil memecahkan tiga masalah utama: pilhan pekerjaan, adopsi nilai yang diyakini dan dijalani, dan perkembangan identitas seksual yang memuaskan. Sepanjang krisis masa anak-anak pertengahan, yaitu industri versus inferioritas, anak-anak menguasai keterampilan yang dibutuhkan untuk sukses dalam kultur mereka. Sekarang, sebagai seorang remaja, mereka harus mencari jalan menggunakan keterampilan
71
tersebut. Ketika para remaja berada dalam kesulitan mengukuhkan identitas pekerjaan (occupational identity) – atau ketika peluang mereka sengaja dibatasi, sebagaimana yang pernah terjadi pada Jackie Robinson dari teman-temannya – mereka beresiko melakukan perilaku berkonsekuensi negatif, seperti aktivitas kriminal atau kehamilan di usia dini. Remaja yang berhasil mengatasi krisis tersebut dengan memuaskan mengembangkan “moral” kesetiaan: mempertahankan loyalitas, keyakinan atua perasaan dimiliki oleh yang tercinta atau kepada teman serta rekanan. Kesetiaan dapat berarti identifikasi serangkaian nilai, ideologi, agama, gerakan politik, pencarian kreatif, atau kelompok etik (Erikson, 1982). Identifikasi diri muncul ketika anak muda memilih nilai dan orang tempat dia memberikan loyalitas, bukan sekedar mengikuti pilihan orang tuanya. Kesetiaan merupakan perpanjangan dari rasa percaya (trust). Pada masa bayi, memercayai orang tua merupakan hal yang penting untuk menekan ketidakpercayaan; pada masa remaja, merupakan hal yang penting untuk memercayai diri sendiri. Sebagai tambahan, pada saat itu, para remaja meluaskan kepercayaannya kepada para mentor dan yang dicintainya. Dalam berbagai perasaan dan pemikiran, remaja mengklarifikasi identitas tentatif dengan melihat identitas itu tercermin dari mata yang mereka cintai. Walaupun demikian, “intimasi” (intimacy) remaja ini berbeda dari intimasi orang dewasa, yang melibatkan komitmen yang lebih besar, pengorbanan, dan kompromi. Teori Erikson menggambarkan perkembangan identitas pria sebagai sebuah norma. Menurut Erikson, ketika seorang wanita mendefinisikan diri mereka sendiri melalui perkawinan dan keibuan (sesuatu dengan tingkat kebenaran tinggi pada saat Erikson mengembangkan teori ini), pria tidak dapat melakukan intimasi yang sebenarnya sampai mereka telah mendapatkan identitas yang stabil. Karena itu, kata Erikson, seorang wanita
72
mengembangkan identitasnya melalui intimasi, bukan sebelumnya. Dan sebagaimana yang akan kita saksikan kemudian, orientasi pria dalam teori Erikson ini telah menimbulkan kritik. Walaupun demikian, konsep krisis identitas Erikson telah menginspirasi banyak riset berharga.45 Menurut Diane E papalia dalam teoori Erikson: Identitas versus Kebingungan Identitas. Tugas utama remaja, kata Erikson (1968), adalah untuk melawan krisis identitas versus kebingungan identitas atau identitas versus kebingungan peran, sehingga menjadi dewasa yang unik dengan rasa diri yang koheren dan nilai peran dalam kelompok sosial. Konsep krisis identitas didasarkan pada bagian pengalaman hidup Erikson. Tumbuh besar di Jerman sebagai anak di luar pernikahan perempuan Yahudi dari Denmark yang berpisah dari suami pertamanya, Erikson tidak pernah tahu siapa ayah biologisnya. Melalui adopsi di usia 9 tahun oleh suami kedua ibunya, dokter anak Yahudi Jerman, Erikson merasa bingung siapa dia sebelumnya. Dia bergulat beberapa waktu sebelum akhirnya mendapatkan pekerjaan tetapnya. Ketika dia datang ke Amerika Serikat, dia butuh untuk mendefinisikan kembali identitasnya sebagai imigran. Identitas, menurut Erikson, bentuk keputusan tiga hal penting pada orang muda, yaitu pilihan akan pekerjaan, adopsi nilai-nilai kehidupan, dan perkembangan kepuasan identitas seksual. Selama pertengahan masa anak, anak mempelajari keterampilan yang diperlukan untuk keberhasilan di budaya mereka sebagai remaja, mereka perlu menemukan cara untuk menggunakan keterampilan tersebut. Ketika orang muda memiliki masalah dalam identitas pekerjaan – atau ketika kesempatan mereka dibatasi secara artifisial – mereka berada dalam risiko perilaku dengan konsekuensi serius yang negatif, seperti kejahatan. Menurut Erikson, 45
Diane E. Papalia, Sally Wendkos Old, Ruth Duskin Feldman. Human Development (Psikologi Perkembangan). (Kencana Prenada Media Group, Prenada Media Group: 2011), 587-589
73
penundaan psikososial, berakhir periode yang disediakan remaja, menuntun orang muda mencari komitmen kepada siapa mereka akan setia. Remaja yang mengatasi krisis identitas dengan memuaskan mengembangkan keutamaan dari kesetiaan; loyalitas yang terus menerus, keyakinan, atau rasa memiliki akan orang yang dicintai atau teman dan sahabat. Kesetiaan juga dapat berarti identifikasi dengan rangkaian nilai-nilai, ideologi, agama, gerakan politik, mengejar kreativitas, atau sekelompok etnis (Erikson, 1982). Kepatuhan merupakan cabang dari kepercayaan. Dimasa infant, penting untuk percaya pada orang lain lebih besar daripada ketidakpercayaan; di masa reaja menjadi bagian penting utnuk menjadi seorang yang dapat dipercaya.
Remaja mengembangkan
kepercayaannya kepada mentor atau orang yang dicintainya. Dalam berabgai pikiran-pikiran dan perasaan, seorang remaja memperjelas identitas sementara dengan melihat apa yang tercermin dari mata orang yang dicintainya. Bagaimanapun, isitimasi masa remaja seperti ini berbeda dengan intimasi yang matang, melibatkan komitmen, pengorbanan, dan kompromi. Erikson melihat bahaya utama pada tahap ini sebagai identitas atau kebingungan peran, yang dapat menunda perkembangan psikologis di masa dewasa. (Dia tidak mengatasi krisis identitasnya
hingga di usia pertengahan 20-an). Beberapa tingkat kebingungan
identitas adalah hal yang normal. Menurut Erikson, hal tersebut dapat dihitung tampak sebagai kekacauan yang alami pada banyak perilaku di masa remaja dan bagi remaja kesadaran diri yang menyakitkan. Ketidakcocokan dan intoleransi akan perbedaan. Keduanya menandai bagian sosial masa remaja, merupakan pembelaan terhadap kebingungan identitas. Teori Erikson menggambarkan perkembangan identitas laki-laki sebagai normal. Menurut Erikson, laki-laki tidak mampu membangun hubungan intim hingga dia mencapai
74
identitas yang stabil, sedangkan perempuan mendefinisikan diri mereka sendiri lewat pernikahan dan masa-masa menjadi ibu (sesuatu yang mungkin benar ketika Erikson mengembangkan teorinya saat ini). Selenjutnya, kata Erikson, perempuan (tidak seperti lakilaki) mengembangkan identitas lewat kedekatan, bukan sebelumnya. Seperti yang kita lihat, orientasi laki-laki dari teori Erikson menuai kritik. Tetap saja, konsep krisis identitas Erikson memberikan banyak insipirasi bagi penelitian-penelitian penting.46 Erik H. Erikson Identitas Versus Kebingungan Peran, dengan terbangunnya hubungan awal yang baik dengan dunia keterampilan dan alat, dan dengan datangnya pubertas, masa kanak-kanak berakhir. Masa muda dimulai. Tetapi di masa pubertas dan masa remaja, semua kesamaan dan kontinuitas yang bersandar pada masa sebelumnya sedikit banyak dipertanyakan lagi karena pesatnya pertumbuhan tubuh yang sejajar dengan kecepatan pertumbuhan pada masa kanak-kanak awal dan karena penambahan baru pada kematangan genital. Orang muda yang sedang tumbuh dan berkembang yang dihadapkan pada revolusi fisiologis di dalam dirinya, dan dengan tugas-tugas orang dewasa yang konkret di depan mereka, sekarang terutama peduli dengan penampilan mereka di mata orang lain di banding dengan apa yang mereka rasakan atas dirinya sendiri, dan dengan pertanyaan tentang bagaimana cara mengaitkan peran-peran dan keterampilan-keterampilan yang sebelumnya telah ditanam dengan prototip-prototip pekerjaan saat itu. Integrasi yang sekarang terjadi dalam bentuk identitas ego itu lebih dari sekedar penjumlahan identifikasi-identifikasi masa kanak-kanak. Integrasi itu adalah pengalaman kemampuan ego yang bertambah dengan menginitegrasikan semua identifikasi dengan
46
Diane E. Papalia, Ruth Duskin Feldman. Menyelami Perkembangan Manusia. (Salemba Humanika, Jakarta; 2014) p.46-47
75
perubahan-perubahan libido, dengan bakat-bakat yang dikembangkan dari anugerah yang dimiliki, dan dengan peluang-peluang yang ditawarkan di dalam peran-peran sosial. Bahaya tahap ini adalah kebingungan peran. Bila ini didasarkan pada keraguan sebelumnya yang kuat atas identitas seksualnya, maka episode-episode psikotik yang nakal dan terbuka bukan tidak lazim terjadi. Bila didiagnosis dan ditangani dengan tepat, insideninsiden ini tidak memiliki signifikansi fatal yang sama seperti yang terjadi pada umur-umur lain. Akan tetapi, di kebanyakan kasus, ketidakmamapuan untuk memantapkan diri pada sebuah identitas pekerjaan inilah yang mengganggu orang-orang muda. Untuk menjaga kesatuan dirinya, mereka untuk sementara melakukan overidentifikasi dengan para pahlawan kelompok dan pergaulan, sampai titik tampak sama sekali kehilangan identitasnya sendiri. Ini menginisiasi tahap “jatuh cinta”. Sampai tingkat yang cukup jauh, cinta remaja adalah upaya utnuk sampai pada sebuah definisi tentang identitas dirinya dengan memproyeksikan citra egonya yang menyebar pada orang lain dan dengan melihat hal itu terefleksi dan sedikit demi sedikit mendapatkan klarifikasi. Inilah sebabnya mengapa sangat banyak cinta remaja yang terbatas pada percakapan belaka. Orang-orang muda juga bisa luar biasa suka berkelompok, dan kejam dalam mengeluarkan mereka yang “berbeda”, baik dalam hal warna kulit atau latar belakang budaya, dalam hal selera dan bakat, dan sering kali dalam hal-hal kecil seperti baju dan gerak-gerik yang untuk sementara telah dipilih sebagai tanda-tanda in-grouper atau outgrouper. Hal ini dikarenakan remaja bukan hanya saling membantu dalam melalui banyak ketidaknyamanan dengan membentuk klik (kelompok kecil) dan dengan menstereotipekan diri mereka sendiri, gambaran-gambaran ideal menjanjikan kesetiaan.
76
Dengan demikian, dalam mencari nilai-nilai sosial yang memandu identitas, orang berhadapan dengan masalah ideologi dan aristokrasi, yang dalam pengertian yang seluasluasnya keduanya memiliki konotasi bahwa di dalam gambaran dunia yang ditetapkan dan perjalanan sejarah telah ditakdirkan, orang-orang terbaik akan menguasai dan kekuasaan mengembangkan yang terbaik pada orang-orang.47 Di masa remaja, individu dihadapkan pada tantangan untuk menemukan siapa gerangan dirinya, bagaimana mereka nantinya, dan arah mana yang hendak mereka tempuh dalam hidupnya. Ini merupakan tahap kelima perkembangan menurut Erikson, identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity confusion), remaja dihadapkan pada peran-peran baru dan satus orang dewasa -pekerjaan dan romatisme, contohnya. Jika mereka menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan sampai pada suatu jalur yang positif untuk diikuti dalam kehidupan maka identitas yang psoitif akan di capai, jika tidak, maka mereka mengalami kebingungan identitas48 6. Dewasa Muda: Keintiman versus Isolasi Menurut pendapat Matthew Tahap ini berlangsung sekitar usia 20 sampai 24 tahun, dan sejak tahap psikososial inilah tidak ada korelasi konsep Erikson dengan tahap perkembangan psikoseksual Freud. Seorang dewasa muda dengan identitas yang kuat sangat ingin mencari hubungan intim dengan orang lain: Para dewasa muda, yang berangkat dari pencarian akan dan penekanan terhadap identitas, sangat ingin dan bersedia memadukan identitasnya dengan identitas orang lain. Dia siap bagi sebuah keintiman, yaitu kapasitas untuk mengikat diri menuju afiliasi dan rekanan
47 48
Erik H. Erikson, Childhood and Society, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2010),309-312 John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012), 26
77
yang konkret, dan utnuk mengembangkan kekuatan etik demi mematuhi komitmen tersebut, bahkan meski tindakan-tindakan ini membutuhkan pengorbanan dan kompromi yang signifikan. (Erikson, 1985, hlm. 263). Jika individu mengembangkan sebuah kapasitas yang lebih besar bagi keintiman daripada isolasi di tahap ini, mereka akan muncul dengan kebajikan cinta. Erikson mendefinisikan cinta sebagai “kesetiaan timbal-balik yang selamanya dapat menaklukkan antagonisme-antagonisme yang inhelen di dalam fungsi yang terpilah” (1964, hlm. 129) 49 Teori Erikson: Keintiman vs. Isolasi Pandangan Erikson telah mempengaruhi semua teori kontemporer tentang perkembangan kepribadian dewasa. Konflik psikologis di masa dewasa awal darinya adalah keintiman vs. Isolasi (intimacy versus isolation), yang tecermin dalam pikiran dan perasaan anak muda tentang membuat komitmen tetap pada pasangan dekat. Penelitian menegaskan bahwa – sebagaimana Erikson menekankan – sebuah identitas aman mendonrong pencapaian pada keintiman. Koitmen pada nilai dan tujuan pribadi penuh makna empersiapkan orang dewasa muda bagi komitmen antarpersonal, yang meningkatkan kemajuan di masa dewasa awal (Kroger, 2007). Di antara sampel besar
mahasiswa,
pencapaian identitas berkorelasi positif dengan kesetiaan (loyalitas dalam hubungan) dan cinta, baik bagi laki-laki dan perempuan. Sebaliknya, moratorium identitas – keadaan encaricari sebelum menetapkan komitmen – berhubungan negatif dengan kesetiaan dan cinta (Markstrom dkk., 1997; Markstrom & Kalmanir, 2001). Studi-studi lain menunjukkan bahwa perkembangan maju identitas sangat memprediksikan keterlibatan dalam jalinan cinta yang mendalam dan penuh komitmen atau kesiapan untuk menjalin hubungan seperti itu (Craig-
49
Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2013), 301-302
78
Bray, Adams & Dobson, 1988; Montgomery, 2005). Akan tetapi, pengoodinasian identitas dan keintiman lebih kompleks bagi perempuan, yang bila dibanding laki-laki lebih cenderung mempertibangkan dampak tujuan pribadi mereka terhadap hubungan penting (Archer, 2002).50 Menurut John w. shartock Keakraban versus keterkucilan (intimacy versus isolation) adalah tahap keenam dari perkembangan menurut Erikson keterkucilan (intimacy versus isolation) adalah tahap keenam dari perkembangan menurut Erikson, yang dialami individu selama masa dewasa awal. Di masa ini, individu menghadapi tugas perkembangan yang berkaitan dengan pembentukan relasi akrab dengan orang lain. Jika seorang dewasa muda membentuk persabahatan yang sehat dan sebuah relasi yang akrab dengan orang lain, kekraban akan dicapai; jika tidak, ia akan merasa terkucil51 Menurut penney upton Masa dewasa muda (19 hingga 40 tahun) merupakan Konflik dasar keintiman versus kesendirian, peristiwa penting hubungan, hasil orang dewasa muda perlu membentuk hubungan dekat dan cinta dengan orang lain. Keberhasilan memunculkan hubungan kuat, sedangkan kegagalan menghasilkan kesepian dan kesendirian.52 Dewasa Muda menurut Wiilliam Crain, pada masa remaja sebelumnya, mereka hanya berpusat kepada diri sendiri, lebih bergulat dengan bagaimana penampilan mereka di mata orang lain, dan akan menjadi apa mereka di masa depan. Mereka jadi tertarik secara seksual kepada orang lain bahkan jatuh cinta, namun kedekatan itu sering kali hanya bertujuan untuk mendefinisikan dirinya saja. Di dalam interaksi-interaksi awal itu, anak muda berusaha menemukan siapa diri mereka lewat percakapan tanpa batas mengenai
50
Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Edisi Kelima. Dari dewasa Awal sampai Menjelang Ajal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) p.54 51 John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012), 26 52 Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), p.22-23
79
perasaan mereka yang sesungguhnya, mengenai pandangan terhadap satu sama lain, dan mengenai rencana, harapan dan cita-cita mereka (1959, h.95) Masa remaja, kalau begitu, terlalu asyik dengan siapa dirinya atau tugas apa yang harus dipilih untuk menyongsong masa dewasa muda – intinya mencapai sebuah keintiman. Keintiman yang riil adalah satu-satunya perasaan identitas paling msauk akal yang sudah dibangun selama ini (1959, h.95). Namun hanya orang
yang merasa aman dengan
identitasnya saja, yang sanggup kehilangan dirinya di dalam hubungan timbal balik sejati dengan orang lain. Bila anak muda begitu khawatir dengan maskulinitasnya, maka dia tidak akan dapat menjadi kekasih yang baik. Karena dia terlalu sadar diri, terlalu khawatir dengan bagaimana cara membuktikan diri, dan bagaimana cara menarik diri dengan bebas dan lembut dari pasangan seksualnya. Sama seperti tahapan lain, tidak seorang pun dapat mengembangkan hanya kutub positifnya. Tidak pernah ada pasangan yang dapat mengalami keintiman total. Karena setiap orang berbeda (secara seksual dan yang lainnya), maka pasti akan selalu ada derajat antagonisme di antara pasangan-pasangan itu, yang bisa mengarah kepada pengisolasian periodik. Idealnya, keintiman memang harus lebih kuat. Dan bila ini yang terjadi, maka kaum dewasa muda dapat mengembangkan kekuatan ego yang disebut cinta yang dewasa – sebuah “mutualisme kesetiaan yang sampai kapan pun bisa mengatasi antagonisme apa pun” di antara mereka berdua (Erikson, 1964, h.129).53 Menurut Erik H Erikson Keintiman Versus PengasinganIa siap untuk intimasi, artinya, kapasitas untuk mengkomitmenkan dirinya pada afiliasi-afiliasi dan partner konkret dan untuk mengembangkan kekuatan etis untuk ditaati oleh komitmen-komitmen tersebut, meskipun mereka mungkin membutuhkan berbagai pengorbanan dan kompromi. 53
William Crain. Teori Perkembangan.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2007),445-446
80
Pasangan intimasi adalah penjauhan: kesiapan untuk mengasingkan diri dan, bila perlu, merusak kekuatan-kekuatan dan orang-orang yang esensinya tampak berbahaya bagi eksistensi orang yang bersangkutan. Prasangka-prasangka yang dikembangkan (dan dimanfaatkan dan dieksploitasi di dalam politik dan di dalam perang) adalah hasil pertumbuhan yang lebih matang dari penyangkalan-penyangkalan yang lebih tidak beralasan, yang selama memperjuangkan identitas mendiferensiasikan dengan tajam dan keji antara yang familiar dan yang asing. Agar signifikansi sosialnya terus berlanjut, utopia tentang genitalitas seharusnya mencakup: a. Mutualitas orgasme b. Dengan mtra yang dicintai c. Dari jenis kelamin yang berlawanan d. Dengan siapa orang mampu dan mau saling berbagi kepercayaan e. Dan dengan siapa orang mampu dan mau meregulasi siklus-siklus 1) Pekerjaan 2) Prokreasi 3) rekreasi f. agar dapat memastikan bahwa keturunannya akan memperoleh semua tahap perkembangan yang memuaskan. Bahaya tahap ini adalah isolasi, yaitu penghindaran kontak yang melibatkan komitmen intimas. Di dalam psikopatologi, gangguan ini dapat menyebabkan “masalahmasalah karakter” berat. Di lain pihak, ada banyak kemitraan yang berpuncak pada hubungan
81
antara dua orang, yang melindungi kedua pasangan dari keharusan untuk menghadapi perkembangan kritis berikutnya – perkembangan generativitas.54 Menurut Jeast feast Keintiman versus Isolasi pada Masa dewasa muda ditandai oleh krisis psikososial keintiman versus isolasi. Keintiman adalah kemampuan untuk mencampurkan identitas seseorang dengan identitas orang lain tanpa takut kehilangan identitasnya sendiri. Lantaran keintiman hanya bisa diraih setelah manusia membentuk sebuah ego yang stabil, godaan-godaan seksual yang sering ditemukan pada remaja muda bukanlah keintiman yang benar. Manusia yang tidak begitu pasti dengan identitas mereka bisa menunjukkan sikap malu-malu dari keintiman psikososial atau mencari keintiman dengan penuh keputusasaan melalui hubungan-hubungan seksual yang tidak bermakna. Keintiman yang matang berarti kemampuan dan kesediaan untuk berbagi rasa percaya yang timbal balik. Dia melibatkan pengorbanan, kompromi dan komitmen dalam sebuah hubungan antara dua pihak yang setara. Ini mestinya menjadi persyaratan bagi perkawinan namun, banyak perkawinan itdak memiliki keintiman karena beberapa anak muda menikah sebagai bagian dari pencarian mereka akan identitas yang gagal mereka bangun selama masa remaja dulu. Isolasi didefinisikan sebagai “ketidakmampuan mengambil kesepatan-kesempatan yang ditawarkan identitas seseorang dalam berbagai keintiman yang benar” (Erikson, 1968, hlm. 137). Beberapa orang mungkin menjdai berhasil secara finansial atau sosial naun, pada kenyataannya mereka tetap memeprtahankan perasaan terisolasi karena tidak sanggup meneria tanggung jawab orang-orang dewasa bagi kerja produktif prokreativitas dan cinta yang matang.
54
Erik H. Erikson, Childhood and Society, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2010), 312-316
82
Sekali lagi, beberapa derajat isolasi sangat esensial sebelum seseorang dapat mencapai cinta yang matang. Terlalu banyak kebersamaan dapat menghancurkan perasaan identitas ego seseorang, yang kemudian mengarahkan dia kepada sebuah regresi psikososial dan ketidakmampuan menghadadpi tahap perkembangan selanjutnya. Namun bahaya yang lebih besar jelas adalah perpaduan dari isolasi yang terlalu banyak, keintiman yang terlalu sedikit dan cacat dalam kekuatan dasar cinta.
Cinta: Kekuatan Dasar Masa Dewasa Muda Cinta, kekuatan dasar masa dewasa muda, muncul dari krisis keintiman versus isolasi. Erikson (1968, 1982) mendefinisikan cinta sebagai devosi yang dewasa yang dapat mengatasi perbedaan-perbedaan dasar laki-laki dan perempuan. Meskipun cinta mencakup keintiman, dia juga mengandung sejumlah derajat isolasi, karena setiap pasangan diizinkan untuk mempertahankan identitas yang berbeda dan terpisah. Cinta yang dewasa berarti komitmen, hasrat seksual, kerja sama, kompetisi sekaligus persahabatan. Ini aadlah kekuatan dasar masa dewasa muda, memampukan seseorang mengatasi secara produktif dua tahap perkembangan terakhir. Antipati cinta adalah eksklusivitas, patologi inti masa dewasa muda. Namun begitu, beberapa eksklusivitas dibutuhkan bagi keintiman – artinya, seseorang harus sanggup mengabaikan seseorang yang lain, aktivitas dan ide-ide tertentu agar dapat mengembangkan perasaan identitas yang kuat. Eksklusivitas menjadi patologis ketika dia menghalangi kemampuan seseorang untuk kerja sama, kompetisi atau kompromi semua yang disyaratkan oleh keintiman dan cinta.55
55
Jess Feist dan Gregory J. Feist. Theories of Personalitiy. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),226
83
Menurut John w. shanrtock Keakraban versus keterkucilan (intimacy versus isolation) adalah tahap keenam dari perkembangan menurut Erikson keterkucilan (intimacy versus isolation) adalah tahap keenam dari perkembangan menurut Erikson, yang dialami individu selama masa dewasa awal. Di masa ini, individu menghadapi tugas perkembangan yang berkaitan dengan pembentukan relasi akrab dengan orang lain. Jika seorang dewasa muda membentuk persabahatan yang sehat dan sebuah relasi yang akrab dengan orang lain, kekraban akan dicapai; jika tidak, ia akan merasa terkucil56 Erikson: Intimasi Lawan Isolasi Tahap keenam perkembangan psikososial Erikson adalah intimasi lawan isolasi. Jika dewasa muda tidak dapat membuat komitmen personal secara mendalam dengan yang lain, kata Erikson, mereka berisiko akan terisolasi dan terserap dalam dirinya sendiri. Bagaimanapun, mereka memerlukan beberapa isolasi untuk merefleksikan kehidupan mereka. Sebagaimana mereka berusaha untuk menyelesaikan konflik yang ada dalam intimasi, daya saing, dan jarak, mereka mengembangkan rasa mengenai etika; Erikson mempertimbangkannya sebagai tanda kedewasaa. Hubungan intim membutuhkan pengorbanan dan kompromi. Dewasa muda yang mengembangkan rasa diri yang kuat selama masa remaja berada dalam posisi yang jauh lebih baik untuk meleburkan identitas mereka dengan individu lain. (Seperti yang telah dibahas, bagi kebanyakan orang saat ini proses pembentukan identitas berkembang lebih baik di masa dewasa dan selanjutnya, menurut Erikson, pencapaian intimasi juga harus ditunda). Resolusi pada tahap ini menghasilkan kebaikan akan cinta; persembahan bersama antara pasangan yang memilih untuk berbagi kehidupan mereka, memiliki anak, dan membantu anak-anak tersebut mencapai perkembangan kesehatan mereka sendiri. Sebuah 56
John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012), 27
84
keputusan untuk tidak memenuhi dorongan prokreatif yang memiliki konsekuensi serius bagi perkembangan, menurut Erikson. Teorinya telah dikritik oleh individu yang hdup sendiri, selibat, homoseksual, dan individu tanpa anak mengenai cetak biru Erikson akan perkembangan kesehatan, dan juga untuk mengambil pola-pola perkembangan intimasi pada laki-laki setelah melihat identitas sebagai norma.57 7. Dewasa: Generativitas versus Stagnasi Menurut Matthew ini muncul sekitar usia 25 sampai 64 tahunan, disebut juga sebagai tahap dewasa madya. Jika individu cukup beruntung mengembangkan sebuah identitas yang positif dan menjalani hidup yang produktif dan bahagia, dia akan berusaha melanjutkan situasi-situasi yang sudah menyebabkan hidup demikian ke generasi berikutnya. Ini dapat dilakukan entah lewat berinteraksi dengan anak secara langsung (meski tidak harus anaknya sendiri), atau dengan memproduksi atau menciptakan pengalaman-pengelaman yang akan mengembangkan hidup orang-orang di generasi selanjutnya. mengembangkan
perasaan
generativitas
ini
dicirikan
oleh
Individu yang tidak “stagnasi
dan
tidak
berkembangnya hubungan antar-pribadi” (Erikson, 1985, hlm. 267). Jika perbandingan generativitas lebih besar daripada stagnasi, individu akan meninggalkan tahap ini dengan kebajikan yang disebut perhatian, didefinisikan Erikson sebagai “kepedulian luas untuk apa yang sudah dibangkitkan oleh cinta, keniscayaan atau kecelakaan; sanggup mengatasi semua ambivalensi yang dimunculkan oleh kewajiban yang tidak bisa kembalikan” (1964, hlm. 131). Generasionalisme versus Otoritasme. Ritualisme yang mencirikan tahap ini adalah generasionalisme yang melibatkan banyak cara di mana orang dewasa yang lebih tua 57
Diane E. Papalia, Ruth Duskin Feldman. Menyelami Perkembangan Manusia. (Salemba Humanika, Jakarta; 2014) p.123-124
85
mentransmisikan nilai-nilai budaya ke generasi berikutnya. Orangtua, guru, dokter dan pemimpin spiritual secara khusus berpengaruh bagi penyebaran nilai-nilai budaya kepada anak. Orang dewasa yang sehat lebih fokus kepada penyediaan bagi anak-anak jenis-jenis pengalaman sama yang mereka beruntung memilikinya, yaitu pengalaman yang mendukung pertumbuhan kepribadian dan mempertahankan nilai-nilai budaya. Pelebihan
ritualisasi
generasionalisme
menghasilkan
ritualisme
otoritasme.
Otoritasme muncul ketika tokoh-tokoh otoritas di sebuah budaya menggunakan kuasa mereka bukan untuk memberikan perhatian dan instruksi bagi anak mudah, melainkan demi tujuan egoisme mereka sendiri.58 Generativitas versus stagnasi menurut Erik H erikson, generativitas terutama adalah perhatian dalam membentuk dan membimbing generasi berikutnya, meskipun ada individuindividu, yang melalui kemalangan atau akibat khusus dan tulennya di arah yang lain, tidak menerapkan dorongan ini kepada keturunannya sendiri. Konsep generativitas dimaksudkan untuk memasukkan sinonim-sinonim yang lebih populer seperti produktivitas dan kreativitas, tetapi tidak dapat menggantikannya. Jadi generativitas adalah salah satu tahap yang esensial di dalam psikoseksual maupun daftar psikososial. Apabila pengayaan tersebut gagal sama sekali, regresi ke kebutuhan obsesif akan pseudo-intimasi terjadi, sering kali dengan perasaan stagnasi dan pemiskinan pribadi yang merembes. Akan tetapi, fakta memiliki atau bahkan menginginkan anak-anak tidak “mencapai” generativitas. Faktanya, sebagian orangtua muda mengalami kelambatan kemampuan untuk mengembangkan tahap tersebut. Alasannya sering kali ditemukan pada kesan masa kanak58
Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2013), 303-304
86
kanak awal; di dalam cinta kepada diri sendiri yang didasarkan pada kepribadian yang diciptakan sendiri dengan sangat kuat; dan terakhir (dan di sini kita kembali lagi ke awal) di dalam kurangnya keyakinan tertentu, “keyakinan pada spesiesnya”, yang akan membuat seorang anak tampak seperti menyambut kepercayaan dari masyarakat.59 Teori Erikson: Generativitas vs. Stagnasi menurut laura berk, merupakan konflik psikologis usia paruh baya dalam teori Erikson terkenal dengan sebutan genreativitas vs. Stagnasi (generativity versus stagnation). Generativitas melibatkan jangkauan pada orang lain dengan cara memberi dan membimbing generasi berikutnya. Generativitas tengah berlangsung masa dewasa awal, biasanya melalui kelahiran dan pengasuhan anak dan membangun sebuah tempat dalam dunia kerja. Generativitas semakin bertambah luas di usia paruh baya, ketika komitmen melampaui (identitas) diri seseorang dan (keintiman) pasangan hidup seseorang (keintiman) menuju pada kelompok lebih besar – keluarga, komunitas, atau masyarakat. Orang dewasa generatif menggabungkan kebutuhan akan ekspresi diri dengan kebutuhan akan persekutuan, memadukan tujuan pribadi dengan kesejahteraan dunia sosial yang lebih luas (McAdams & Logan, 2004). Kekuatan yang dihasilkan adalha kemampuan untuk memerhatikan orang lain dalam cara yang lebih luas dibanding sebelumnya. Erikson (1950) memilih istilah generativitas (generativity) untuk mencakup segala hasil yang dapat hidup lebih lama dari diri dan memastikan kesinambungan masyarakat dan perbaikan masyarakat: anak, gagasan, produk, karya seni. Pengasuhan memang menjadi sarana utama mewujudkan generativitas, tetapi ia bukan satu-satunya sarana: Orang dewasa bisa menjadi generatif dalam hubungan keluarga yang lain (seperti hubungan Jewel dengan keponakannya), sebagai mentor di tempat kerja, dalam kerja sukarela, dan melalui berbagai bentuk produktivitas dan kreativitas. 59
Erik H. Erikson, Childhood and Society, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2010), 316-318
87
Dari penjelasan kita sejauh ini, perhatikan bahwa generativitas menyatukan keinginan pribadi dan tuntutan budaya. Pada sisi pribadi, orang dewasa paruh baya merasa butuh untuk dibutuhkan – untuk mencapai keabadian simbolis dengan memberikan sumbangsih yang akan terus bertahan setelah kematian mereka. Pada sisi budaya, masyarakat menerapkan jam sosial bagi generativitas di usia paruh baya, mengharuskan orang deweasa untuk memikul tanggung jawab bagi generasi berikutnya melalui peran mereka sebagai orangtua, guru, mentor, pemimpin, dan koordinator (McAdams & Logan, 2004). Menurut Erikson, “keyakinan pada spesies” budaya seseorang – keyakinan bahwa hidup itu indah dan berharga, sekalipun berhadapan dengan kehancuran dan kerugian manusia – adalah motivator utama bagi tindakan generatif. Tanpa pandangan optimistis ini, orang tidak akan pernah memiliki harapan untuk memperbaiki kondisi manusia. Hasil negatif dari tahap ini adalah stagnasi: Sekali orang telah menggapai tujuan hidup tertentu, seperti pernikahan, anak-anak, dan keberhasilan karier, mereka bisa menjadi egois dan memanjakan diri sendiri. Orang dewasa dengan perasaan stagnasi mengungkapkan absorpsi-diri mereka melalui banyak cara – melalui kurangnya minat pada orang muda (termasuk anak mereka sendiri), melalui fokus pada apa yang bisa mereka terima dari orang lain ketimbang apa yang bisa mereka berikan, dan melalui sedikit minat untuk produktif di tempat kerja, mengembangkan bakat mereka, atau memperbaiki dunia dengan cara lain. Sejumlah peneliti mempelajari generativitas dengan menilai sifat kepribadian, seperti ketegasan, ketahanan, dan tanggung jawab. Sebagian peneliti lain meminta orang menilai diri mereka berdasarkan sifat-sifat generatif, seperti perasaan wajib membantu orang lain yang membutuhkan atau kewajiban untuk menjadi warga negara aktif. Sebagian lain mencari tema-tema generatif dalam deskripsi naratif orang mengenai diri mereka sendiri.
88
Teori Erikson, orang yang sangat generatif tampak sangat bis maenyesuaikan diri dengan baik – memiliki tingkat kecemasan dan depresi rendah; memiliki otonomi, penerimaan–diri, dan kepuasan hidup tinggi, dan lebih berpeluang berhasil dalam pernikahan dan memiliki teman karib. Mereka juga lebih terbuka pada ragam sudut pandang, memiliki kualitas kepemimpinan, menginginkan imbalan lebih dari sekadar uang dari pekerjaan, dan sangat peduli tentang kesejahteraan anak, psangan, orangtua yang menginjak usia lanjut, dan msyarakat luas mereka (Peterson, 2002; Peterson, Smirles,&Wentworth, 1997). Selain itu, generativitas ada kaitannya dengan pengasuhan anak yang lebih efektif – lebih menghargai rasa saling percaya, komunikasi terbuka, penyebaran nilai-nilai kepada anak-anak, dan gaya otoritatif (Hart dkk., 2001; Peterson & Duncan, 2007; Pratt dkk., 2008). Orang generatif paruh baya juga lebih aktif dalam kegiatan politik, termasuk pemilu, kampanye, dan melakukan kontak dengan para pejabat publik (Cole & Stewart, 1996).60 Menurut Laura berk Teori Erikson Generativitas vs Stagnasi sebagai berikut: Menurut Erikson, bagaimana kepribadian berubah di usia paruh baya? a. Generativitas meluas tajam saat orang dewasa paruh baya berhadapan dengan konflik psikologis generativitas vs stagnasi (generativity versus stagnation) ala Erikson. Orang yang sangat generatif menerima kepuasan penuh saat mereka memberikan sumbangsih pada masyarakat melalui peran sebagai orangtua, hubungan keluarga lainnya, tempat kerja, dan aktivitas sukarela. b. Hasrat pribadi dan tuntutan budaya bergabung bersama membentuk aktivitas generatif orang dewasa. Orang yang sangat generatif tampa mampu menyesuaikandiri dengan baik.
60
Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Edisi Kelima Dari dewasa Awal Sampai Menjelang Ajal. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) p.144-146
89
Hasil negatifnya, stagnasi, terjadi bila orang menjadi egois dan asyik dengan diri sendiri di usia paruh baya.61 Menurut John w. shartock Generativitas versis stagnasi (generativity versus stagnation), yang merupakan tahap ketujuh dari perkembangan menurut Erikson, berlangsung di masa dewasa menengah. Persoalan utama yang dihadapi individu di masa ini adalah membantu generasi muda untuk mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang berguna – inilah yang dimaksud dengan generativitas oleh Erikson. Perasaan bahwa belum melakukan sesuatu untuk menolong generasi berikutnya disebut stagnasi 62 Menurut Jess Feist Generativitas versus Stagnasi sebagai berikut Generativitas didefinisikan sebagai “pembangkitan makhluk-makhluk baru, produkproduk baru, dan ide-ide baru” (Erikson, 1982, hlm. 67). Generativitas (generativity), yang berbicara tentang pembangunan dan penuntunan generasi masa depan, mencakup prokreasi anak-anak, prouksi kerja, dan penciptaan berbagai hal dan ide baru yang memberikan kontribusi bagi pembangunan sebuah dunia yang lebih baik. Manusia memiliki kebutuhan yang bukan hanya belajar, tetapi juga memberikan instruksi. Kebutuhan ini akan melepaskan manusia dari mental kekanak-kanakannya menuju kepedulian altruistik terhadap anak muda lain. Generativitas tumbuh dari kualitsa-kualitas sintonik sebelum seperti keintiman memerlukan kemampuan untuk mencampurkan ego seseorang dengan ego orang lain tanpa merasa takut akan kehilangan egonya. Kesatuan identitas-identitas ego ini menarah kepada perluasan kepentingan secara gradual. Selama masa dewasa, keintiman satu-lawan-satu tidak lagi cukup. Orang lain, khususnya anak-anak, sekarang turut menjadi bagian dari kepeduliannya. Memberikan instruksi kepada orang lain 61
Laura E. Berk. Development Through The Lifespan.Edisi Kelima. Dari dewasa Awal Sampai Menjelang Ajal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) p.182 62 John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012), 26
90
dengan cara-cara yang sesuai budaya merupakan sebuah praktik yang bisa ditemukan di semua masyarakat. Untuk orang dewasa yang matang, motivasi ini bukan hanya sekedar kewajiban atau kebutuhan egoistis namun juga menjadi dorongan evolusioner untuk memberikan kontribusi bagi generasi-generasi mendatang dan untuk menjamin kontinuitias masyarakat manusia. Antitesis generativitas adalah peneyrapan-segala-sesuatu-pada-diri-sendiri (selfabsorption) dan stagnasi (stagnation). Siklus generasional produktivitas dan kreativitas menjadi cacat ketika manusia menjadi cacat ketika manusia menjadi terlalu tercerap ke dalam dirinya sendiri, menjadi terlalu menyenangkan-diri-sendiri (self-indulgent). Sikap seperti ini hanya akan menumbuhkan
perasaan stagnasi yang terus menggelayut. Namun begitu,
beberapa elemen stagnasi dan penyerapan-segala-sesuatu-kepada-diri-sendiri ini tetap dibutuhkan. Manusia-manusia yang kreatif harus, pada waktu-waktu tertentu, tetap tinggal dalam kondisi yang lembam dan terserap dengan diri mereka sendiri agar nantinya dapat membangkitkan sebuah pertumbuhan baru. Interaksi generativitas dan stagnasi menghasilkan perhatian – kekuatan dasar masa dewasa. Perhatian: Kekuatan Dasar Masa Dewasa Perhatian sebagai “sebuah komitmen yang terus melebar untuk merawat (take care of) pribadi, produk, dan ide-ide lain, tetapi sebelumnya dia harus
belajar lebih dulu
memerhatikan (care for).” Sebagai kekuatan dasar masa dewasa, perhatian muncul dari setiap kekuatan ego dasar sebelumnya. Dia harus memiliki harapan, kehendak, tujuan kompetensi, kesetiaan, dan cinta agar dapat merawat apa pun yang di perhatikannya. Perhatian bukan sebuah tugas atau kewajiban, melainkan hasrat alamiah yang muncul dari konflik antara generativitas dan stagnasi atau penyerapan-segala-sesuatu-pada-diri-sendiri.
91
Antipati dari perhatian adalah sikap penolakan (rejectivity), patologi inti masa dewasa. Penolakan adalah ketidaksediaan untuk merawat pribadi atau kelompok tertentu (Erikson, 1982). Penolakan termanifestasikan sebagai pemusatan-pada-diri-sendiri (selfcenteredness), pemilah-milahan (provincialism), atau pura-pura perhatian (pseudospeciation): yaitu keyakinan bahwa kelompok manusia lain lebih rendah daripada dirinya. Penolakan bertanggung jawab bagi sebagian besar kebencian, destruksi, stereotipe, dan perang di antara manusia. Seperti dikatakan Erikson (hlm. 70), penolakan “memiliki implikasi yang luas bagi kelangsungan hidup spesies manusia sama seperti bagi setiap perkembangan psikososial individu.”63 Masa dewasa menengah (40 hingga 65 tahun) menurut penney upton sebagai berikut : Konflik dasar generativitas versus stagnasi, peristiwa penting bekerja dan menjadi orang tua, hasil orang dewasa perlu menciptakan atau memelihara hal-hal yang akan menjadi penerus hidup mereka, kerap dengan memiliki anak atau menciptakan suatu perubahan positif yang memberi manfaat bagi orang-orang lain. Keberhasilan mendorong perasaan kebergunaan dan pencapaian, sedangkan kegagalan menghasilkan keterlibatan yang rendah di dunia64
Tahap Dewasa Di dalam terminologi Erikson, mereka memasuki tahapan semangat-berbagi vs penyerapan diri dan stagnasi (Erikson, 1982, h.67). Semangat berbagi merupakan istilah yang sangat luas, mengacu bukan hanya kepada memproduksi anak, tapi juga memproduksi hal-
63 64
Jess Feist dan Gregory J. Feist. Theories of Personalitiy. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),227-228 Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), p.22-23
92
hal dan ide-ide lewat kerja. Namun Erikson lebih menyoroti yang – pertama membesarkan anak. Orang tua harus sering mengorbankan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Mereka harus mengatasi godaan untuk memuaskan diri sendiri, yang hanya akan mengarah kepada stagnasi yang tidak produktif. Apabila mereka bisa mengatasi konflik ini secara positif, mereka akan mengembangkan kemampuan untuk memperhatikan generasi selanjutnya. Namun begitu Erikson juga mencatat bahwa sejumlah orang sudah mengembangkan semangat berbagi dan perhatian ini meski tidak punya anak. Orang-orang seperti ini dapat mengajar dan menuntun generasi selanjutnya “dengan membimbing anak orang lain atau membantu menciptakan dunia yang lebih baik bagi mereka” (Erikson di dalam Evans, 1969, h.51). Di sisi lain, ada juga banyak orang yang menikah tapi kekurangan semangat berbagi ini. Di dalam kasus-kasus yang demikian, pasangan ini sering kali mundur ke dalam ‘pseudokeintiman’ atau “mulai menutup diri seolah mereka satu-satunya anak tunggal” (Erikson, 1959, h.97). Erikson sering melihat pasangan seperti ini terus menganalisis tanpa henti hubungan mereka untuk mencari seberapa banyak bisa memperoleh sesuatu dari pasangannya. Individu-individu seperti ini tampaknya lebih peduli dengan kebutuhannya sendiri daripada kebutuhan anak-anak mereka.65 Menurut Diaene papalia dari teori Erikson : Intimasi versus isolasi. Tahap keenam perkembangan psikososial Erikson, Intimasi versus isolasi, adalah isu utama masa dewasa awal. Jika seorang dewasa awal tidak dapat membuat komitmen personal yang dalam terhadap orang lain, kata Erikson, maka meraka akan terisolasi, dan self absort (terpaku pada kegiatan dan pikirannya sendiri). Akan tetapi, mereka juga butuh kesendirian (isolasi) 65
William Crain. Teori Perkembangan.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2007),447-448
93
sebagai upaya merefleksikan kehidupan mereka. Ketika mereka berusaha menyelesaikan tuntutan saling berlawanan dari intimasi, kompetisi, dan jarak, mereka mengembangkan pemahaman etis, yang dianggap Erikson sebagai tanda kedewasaan. Hubungan yang intim menuntut pengorbanan dan kompromi. Orang dewasa awal yang telah mengembangkan perasaan akan eksistensi diri (sense of self) yang kuat pada masa remaja sudah siap meleburkan identitas mereka dengan milik orang lain. Erikson membedakan intimacy (keintiman) seksual, yang mungkin dapat terjadi karena sebuah pertemuan, dari intimacy (keintiman) matang – dengan hruf kapital “I” – yang lebih dari sekedar seksualitas belaka (E. Hall, 1983). Hanya ketika seseorang telah siap bagi keintiman yang matang, kata Erikson, “genitalitas sejati” dapat terjadi yang didefinisikan sebagai orgasme mutual dalam hubungan cinta heteroseksual. Penetapan tahapan ini menghasilkan “kebijaksanaan” cinta (virtue of love): kesetiaan mutual antar pasangan yang telah dipilih untuk berbagai hdup mereka, memiliki anak, dan membantu anak-anak tersebut mencapai perkembangan mereka sendiri yang sehat. Menurut Erikson , keputusan untuk tidak memenuhi dorongan reproduksi alami memiliki konsekuensi serius bagi perkembangan. Teorinya telah dikritik karena mengabaikan orang yang melajang/membujang, berselibat, homoseksual, dan yang tidak memiliki anak dalam pandangannya tentang perkembangan yang sehat. Kritik juga ditujukan pada tindakannya yang menjadikan pola pria dalam perkembangan intimasi setelah identitas sebagai sebuah norma (lihat kembali Bab 12). Akan tetapi, kita harus mengingat bahwa Erikson mengembangkan teorinya pada pertengahan abad dua puluh, dalam konteks seksual yang berbeda dengan yang ada pada saat ini.
94
Erik Erikson: Generativitas versus Stagnasi. Berlawanan dengan Jung yang melihat masa paru baya sebagai titik balik ke dalam, Erikson menggambarkan titik balik ke luar. Erikson melihat bahwa tahun-tahun sekitar usia 40 sebagai masa ketika orang memasuki tahap normatif ketujuhnya: generativitas versus stagnasi. Generativitas, sebagai yang didefinisikan oleh Erikson, perhatian orang dewasa untuk membangun dan membimbing genersi selanjutnya, mengabdikan dirinya melalui pengaruhnya terhadap yang generasi selanjutnya. Orang merasa perlu meninggalkan warisan – untuk berpartisipasi dalam kelangsungan hidup. Orang-orang yang tidak menemukan saluran untuk generativitas menjadi terserap ke dalam diri sendiri (self-absrob), terlalu memanjakan diri sendiri (selfindulgent) atau stagnan (tidak aktif atau tidak hidup). “Nilai moral” dari periode ini adalha perhatian: “komitmen yang luas untuk memperhatikan orang, produk dan ide yang harus diperhatikan olehnya” (Erikson, 1985, p. 67). Generativitas dapat diekspresikan bukan hanya melalui parenting dan grandparenting, tetapi melalui pengajaran dan pembimbangan, produktivitas atau kreativitas, dan “selfgeneration” atau pengembangan diri. Hal tersebut dapat meluas kepada dunia kerja, politik, seni, musik, dan yang lain – atau sebagaimana yang disebut oleh Erikson, “memelihara dunia”. Dalam Gandhi’s Truth, Erikson (1969) menunjukkan bagaimana Gandhi – yang bukan seorang ayah yang baik – muncul sebagai “bapak bangsa” –nya di usia 49 tahun, mengekspresikan generativitas dalam perhatiannya terhadap kesejahteraan seluruh bangsa. Teori berikut (Kotre, 1984) membedakan empat bentuk spesifikasi generativitas: Biologis (mengandung dan melahirkan anak), parental (mengasuh dan membesarkan anak), teknis (mengajarkan keterampilan kepada pemegang), dan kultural (mentransmisikan nilai dan institusi kultural). Terlepas dari bentuknya, kata Kotre, generativitas dapat diekspresikan
95
dalam dua jalan atau gaya yang berbeda: Comunal (mengandung perhatian dan pengasuhan orang lain) atau agentic (Kontribusi personal kepada masyarakat – kreatif, ilmiah atau kewiraswastaan). Bagaimana generativitas muncul? Merujuk kepada salah satu model (McAdams, 2001), hasrat batin terhadap keabadian simbolis atau kebutuhan untuk dibutuhkan yang dikombinasikan dengan tuntutan eksternal (dalam bentuk peningkatan harapan dan tanggung jawab) menghasilkan kesadaran akan generasi selanjutnya. Hal ini, bersama dengan apa yang Erikson sebut “keyakinan spesies,” menimbulkan komitmen dan tindakan generatif. 66 Erik Erikson: Generativitas lawan Stagnasi Berlawanan dengan Jung, yang memandang paru baya sebagai waktu peralihan pada dunia batiniah. Erikson menggambarkan peralihan ke dunia lahiriah. Erikson melihat tahuntahun sekitar usia 40 seabgai waktu individu memasuki tahap normatif ketujuh, generativitas (kebangkitan) lawan stagnasi. Generativitas, seperti yang didefinisikan Erikson adalah perhatian dari orang dewasa yang matang untuk menyeimbangkan dan mengarahkan generasi berikutnya, mengabdikan diri melalui pengaruh seseorang untuk diikuti. Individu yang tidak menemukan tempat untuk generativitas menajdi penyerapan-diri, kesabaran-diri, atau stagnan (Tidak aktif dan kurang hidup). Kebajikan dari periode ini adalah perawatan “komitmen yang luas untuk merawat seseorang, produk dan ide yang dipelajari seseorang untuk memberikan perawatan” (Erikson, 1985, hlm. 67). Teori selanjutnya dan penelitian telah mendukung perluasan pandangan Erikson. Bagaimana generativitas muncul? Berdasarkan pada satu model (McAdams, 2001), keinginan batin untuk kematian simbolis atau kebutuhan untuk dibutuhkan, dikombinasikan 66
Diane E. Papalia, Sally Wendkos Old, Ruth Duskin Feldman. Human Development (Psikologi Perkembangan). (Kencana Prenada Media Group, Prenada Media Group: 2011) p. 791-792
96
dengan permintaan eksternal (meningkatkan harapan dan tanggung jawab) untuk menghasilkan perhatian sadar untuk generasi berikutnya. Perhatian ini bersama dengan apa yang disebut Erikson “percaya pada spesies” mengarahkan pada komitmen dan tindakan generatif. Generativitas, usia, dan gender generativitas khususnya menonjol saat paruh baya karena permintaan dari pekerjaan dan keluarga salama periode ini meminta respons yang generatif. Orang tua yang sangat generatif cenderung untuk lebih terlibat pada sekolah anakanaknya daripada mereka yang kurang generatif dan cenderung memiliki gaya pengasuhan autoritatif. Menggunakan teknik tersebut sebagai daftar cek perilaku dan laporan diri (Tabel 161), peneliti menemukan bahwa individu paruh baya cenderung memiliki skor tinggi untuk generativitas daripada idividu muda atau yang lebih tua. Bagaimanapun juga, generativitas tidak dibatasi pada usia paruh baya. Usia saat individu mencapai beragam generativitas, menguat pada waktu tertentu. Lebih jauh lagi, beberapa orang lebih generatif dibandingkan yang lain (Keyes & Ryff, 1998; McAdams, 2006; McAdams, de St. Aubin, & Logan, 1993; Stewart & Vandewater, 1998).
Perempuan umumnya melaporkan tingkat tinggi dari
gnerativitas daripada laki-laki tetap perbedaan ini memudar di akhir masa dewasa (Keyes & Ryff, 1998). Tampaknya, bahkan orang dewasa yang memasuki paruh baya memiliki kerugian relatif terkait dengan generativitas dapat
mengejar ke teman sebayanya
(Whitbourne, Sneed & Sayer, 2009) temuan yang menegaskan pernyataan Erikson bahwa perubahan positif adalah mungkin di titik manan saja dari rentang kehidupan. Bentuk-bentuk Generativitas Sebagai tantangan inti dari tahun-tahun pertengahan, generativitas dapat diekspresikan, tidak hanya melalui pengasuhan sebagai orang tua dan
97
kakek – nenek, tetapi juga melalui pengajaran atau menjadi mentor, produktivitas atau kreativitas, dan generasi diri atua perkembangan diri. Generativitas cenderung diasosiasikan dengan perilaku prososial (McAdams, 2006). Inti dapat memperluas pada dunia kerja, politik, keagamaan, hobi, seni musik, dan lingkup lainnya – atau kepada, apa yang disebut Erikson Generativitas lawan stagnasi Tujuh tahap perkembangan psikososial Erikson, saat individu paruh baya mengembangkan perhatian dengan membangun, mengarahkan, dan memengaruhi generasi berikutnya atau stagnasi pengalaman orang lain (perasaan tidak aktif atau kurang hidup). Generativitas Istilah Erikson untuk perhatian terhadap orang dewasa yang matang untuk membangun, mengarahkan dan memengaruhi generasi berikutnya. 67 8. Usia Senja: Integritas Ego versus Rasa Putus Asa Menurut Matthew tahap ini muncul dari sekitar usia 65 tahun hingga meninggal, dan disebut tahap dewasa akhir. Erikson mendifinisi integritas ego, solusi positif bagi krisis di tahap ini, sebagai berikut: Hanya pada individu yang lewat berbagai cara memberikan perhatian kepada banyak hal dan manusia, dan yang sudah mengadaptasikan dirinya pada kemenangan dan kekecawaan yang selalu menggelayuti manusia, penggagas atau pembangkit produk-produk dan ide-ide – hanya pada individu ini secara bertahap buah-buah dari ketujuh tahap sebelumnya terpetik – saya tidak hanya istilah lebih untuk ini selain integritas ego. (1985, hlm. 268).
67
Diane E. Papalia, Ruth Duskin Feldman. Menyelami Perkembangan Manusia. (Salemba Humanika, Jakarta; 2014), 191
98
Menurut Erikson, individu yang dapat menengok kembali semua hal di masa lalu dengan cara yang konstruktif dan kaya, hidupnya bisa disebut bahagia dan tidak pernah takut pada kematian. Individu yang seperti ini memiliki perasaan yang disebut ‘lengkap/utuh’ dan ‘penuh’. Namun, individu yang menengok masa lalu dengan rasa frustasi akan mengalai keputusasaan. Individu yang mengalami rasa putus asa ini tidak siap untuk meninggal karena tidak mengalami rasa kepenuhan, yaitu perasaan dirinya belum meraih tujuan-tujuan utama di dalam hidupnya. Bukan hanya delapan tahap ini saja progresif berkaitan satu sama lain, tetapi juga tahap terakhir perkembangan psikososial ini berkaitan langsung dengan tahap pertama. Dengan kata lain, delapan tahap ini saling berkaitan secara melingkar. Contohnya, sikap orang dewasa terhadap kematian akan memengaruhi langsung rasa percaya anak kecil. Erikson mengatakan, “Sepertinya memungkinkan untuk menegaskan hubungan antara integritas orang dewasa dan rasa percaya infantil dengan menyatakan bahwa anak yang sehat tidak akan takut menjalani hidup jika orang dewasa mereka tidak takut menghadapi kematian” (1985, hlm. 269). Jika seseorang individu memiliki integritas ego lebih besar daripada rasa putus asa, hidupnya akan dicirikan oleh nikmat, didefinisikan Erikson sebagai “kepedulian yang siap melepaskan hidup demi menyambut kematian” (1964, hlm. 133). 68 Menurut Erik H Erikson integritas ego vs. keputusasaanHanya pada orang yang dengan cara tertentu telah mengurus berbagai benda dan orang-orang dan telah mengadaptasikan dirinya dengan berbagai kemenangan dan kekecewaan yang melekat pada setiap makhluk, sebagai originator orang lain atau sebagai generator berbagai produk dan ide.
68
Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2013),304-305
99
Kurang atau hilangnya integrasi ego yang tumbuh ini ditandai oleh ketakutan akan kematian: satu-satunya siklus kehidupan tidak diterima sebagai akhir kehidupan. Keputusasaan mengekspresikan perasaan bahwa waktunya sekarang singkat, terlalu singkat bagi upaya memulai kehidupan lain dan mengujicobakan jalur-jalur integritas lain. Kemuakan menyembunyikan keputusasaan, sering kali hanya dalam bentuk “seribu kemuakan kecil” yang tidak disatukan menjadi sebuah penyesalan besar yang mendalam. Untuk menjadi orang dewasa yang matang, setiap individu harus mengembangkan dengan derajat yang cukup semua kualitas ego yang telah disebutkan, sehingga seorang Indian yang bijak, seorang pria sejati, atau seorang petani yang matang semuanya satu sama lain berbagi dan mengenali tahap akhir integritas. Dengan demikian, integritas ego menyiratkan sebuah integrasi emosional yang memungkinkan partisipasi melalui orang yang diikuti maupun penerimaan tanggung jawab kepemimpinan. Tampaknya masih mungkin untuk memparafrasekan lebih jauh hubungan antara integritas dewasa dan keyakinan infantil dengan mengatakan bahwa anak-anak yang sehat tidak akan takut akan kehidupan jika orang-orang yang lebih tua memiliki cukup integritas untuk tidak takut akan kematian.69 Teori Erikson: Integritas Ego vs. Putus Asa menurut laure berk sebagai berikut: Konflik psikologis terakhir dalam teori Erikson (1950) integritas ego vs. putus asa (ego integrity versus despair), melibatkan berdamai dengan kehidupan diri sendiri. Orang dewasa yang memiliki rasa integritas merasa ikhlas, lengkat, dan puas dengan pencapaian mereka. Mereka telah terbiasa dengan gabungan antara kejayaan dan kekecewaan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari hubungan cinta, pengasuhan anak, pekerjaan, 69
Erik H. Erikson, Childhood and Society, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2010), 318-320
100
pertemanan, dan partisipasi komunitas. Mereka sadar jalan yang mereka tempuh, tinggalkan, dan tidak pernah mereka pilih penting untuk membangun sebuah arah hidup penuh makna. Kemampuan untuk melihat kehidupan sendiri dalam konteks manusia yang lebih luas – sebagai gabungan kesempatan menjadi pribadi dan bagian dari sejarah – berperan bagi ketenangan dan kepuasan yang mengiringi integritas. “Beberapa dekade belakangan ini menjadi masa-masa paling bahagia,” bisik Walt sambil menggenggam tangan Ruth hanya beberap aminggu sebelum serangan jantung yang mengakhiri hidup istrinya itu. Berdamai dengan diri, istri, dan anak-anaknya, Walt menerima hidup sebagaimana adanya. Dalam sebuah penelitian yang mengikuti sebuah sampel perempuan dari beragam SES sepanjang masa dewasa, generativitas paruh baya memprediksikan integritas ego di masa dewasa akhir. Integritas ego pada gilirannya berkaitan dengan kesejahteraan psikologis yang lebih baik – jiwa lebih optimis, penerimaan diri lebih besar, kepuasan pernikahan lebih tinggi, hubungan lebih dekat dengan anak dewasa, keterlibatan lebih besar dalam komunitas, dan lebih mau menerima bantuan orang lain saat butuh (James & Zarrett, 2007). Seperti ditunjukkan oleh teori Erikson, kematangan psikososial di usia lanjut berdampak pada semakin tingginya tingkat kepuasan, kasih sayang, ikatan menyenangkan dengan orang lain, dan pelayanan tiada henti pada komunitas. Ketika sedang melihat-lihat koran, Walt merenung, “Aku terus membaca persentase ini: Satu dari lima orang akan terserang penyakit jantung, satu dari tiga orang akan mengidap kanker. Padahal kebenarannya adalah saut per satu orang akan mati. Kita semua pasti akan mati dan harus menerima nasib ini.” Setahun sebelumnya, Walt memberikan pada cucunya, Marcy, koleksi foto berharga miliknya yang dia kumpulkan selama lebih dari setengah abad.
101
Dengan kesadaran bahwa integritas kehidupan diri sendiri adalah bagian dari rantai panjang eksistensi manusia, kematian akan kehilangan daya sengatnya (Vaillant, 1994, 2002). Putus asa, yang merupakan hasil negatif dari tahap ini, terjadi bila lansia merasa telah banyak membuat keputusan keliru, padahal waktu ini terlalu singkat untuk menemukan jalur alternatif menuju integritas. Tanpa memiliki banyak kesempatan, pribadi putus asa merasa sulit menerima bahwa kematian sudah dekat dan tenggelam dengan ke pedihan, kekalahan, dan putus asa. Menurut Erikson, semua sikap ini kerap kali diungkapkan dalam bentuk kemarahan dan penghinaan pada orang lain, yang sebenarnya merupakan pelampiasan dari perendahan terhadap diri sendiri. Perilaku suka debat dan mencari-cari kesalahan pada diri Dick, kecenderungan untuk menyalahkan orang lain atas kegagalan diri sendiri, dan pandangan penuh sesal atas hidupnya sendiri mencerminkan perasaan putus asa yang mendalam.70 Integritas versus keputusan (integrity versus despair) adalah tahap kedelapan dari perkembangan menurut Erikson yang berlangsung di masa dewasa akhir selama berada di tahap ini, seseorang berusaha merefleksikan kehidupannya di masa lalu. Melalui banyak rute yang berbeda, manusia lanjut usia dapat mengembangkan pandangan yang positif mengenai sebagian besar atau semua tahap perkembangan sebelumnya. Jika demikian, rangkuman seseorang mengenai hidupnya akan memperlihatkan gambaran bahwa kehidupannya telah dilalui dengan baik, dan orang tua akan merasa puas – integritas tercapai. Jika manusia lanjut usia telah menyelesaikan banyak tahap sebelumnya secara negatif, padangan retrospektif
70
Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Buku ke-2 Edisi Kelima. Dari dewasa Awal sampai Menjelang Ajal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) p.246-247
102
cenerung akan menghasilkan rasa bersalah atau kemuraman – yang disebut Erikson sebagai keputusasaan.71 Masa dewasa akhir (65 hingga mati) merupakan konflik dasar integritas ego versus keputusasaan, peristiwa penting refleksi atas kehidupan, hasil orang dewasa akhir perlu melihat ke belakang dalam kehidupan mereka dan merasakan suatu rasa pemenuhan. Keberhasilan tahap ini mendorong perasaan arif, sedangkan kegagalan menghasilkan penyesalan kepahitan, dan keputusasaan.72 Menurut William Crain Tahap Usia Senja sebagai berikut, Menutut pendapat wiliam crain Semakin para lansia menghadapi rasa putus asa, mereka akan semakin berusaha menemukan pengertian mengenai integritas ego. Integritas ego, kata Erikson, sangat sulit didefinisikan namun mencakup perasaan bahwa terdapat sebuah suratan bagi hidupnya dan “penerimaan atas suratan tersebut, sebuah siklus hidup yang harus terjadi dan niscaya, dan tidak ada yang bisa menggantikannya ...” (1963, h.268). integritas, tampaknya berisi perasaan bahwa, “Ya, aku sudah membuat kesalahan tapi siapakah aku waktu itu dan dalam kondisi apa, karena kesalahan seperti itu tidak bisa terelakan. Aku menerima kesalahan itu, bersama hal-hal baik lain di hidupku juga.” Integritas adalah perasaan yang berkembang melampuai diri bahkan mentransendensikan ikatan-ikatan nasional dan ideologis. Para lansia ini, di tingkatan tertentu, memiliki rasa kedekatan” dengan melihat waktu-waktu yang sudah lampau dan pengejaran yang berbeda-beda kala itu, begitu menghargai barang-barang kecil kenangannya, dan suka menceritakan waktu-waktu dan pengejaran-pengejaran masa lalu itu kepada siapa pun yang ditemui” (1963, h.268).
71 72
John W. Santrock, Life Span Development (Jakarta: Erlangga, 2012) p.26-27. Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), p.22-23
103
Erikson dan Bergman memperlihatkan pergulatan batin yang sering kita abaikan jika melihat para lansia. Kita hanya melihat keterbatasan fisik dan sosial mereka, menemukan fakta bahwa para lansia itu memang ‘tidak berguna’. Namun penilaian semacam itu hanya sebagian saja yang valid, karena opini-opini demikian dibentuk hanya dengan memerhatikan perilaku eksternal mereka saja. Kita bisa melihat bahwa para lansia tidak memiliki semangat kemudaan yang sangat dijunjung tinggi sehingga kita gagal memahami pergulatan batin mereka. Kita gagal melihat bahwa pribadi-pribadi ini sedang bergulat dengan pertanyaan paling penting umat manusia: apakah waktu menghadapi kematian nati, hidupku sudah cukup berharga? Apakah yang membuat hidup boleh disebut bermakna? Pergulatan batin ini cenderung membuat para lansia seperti seorang filsuf, bergulat dengan diri sendiri untuk menumbuhkan kekuatan ego yang disebut kebijaksanaan. Kebijaksanaan bisa diungkapkan dengan banyak cara, namun selalu merefleksikan upaya yang penuh pertimbangan dan pengharapan demi menemukan nilai dan makna hidup sewaktu menghadapi kematian (Erikson, 1976, h.23; 1982, h.61-62).73 Menurut Jeass feasit Integritas versus Rasa Putus Asa merupakan , identitas terakhir sebuah pribadi adalah integritas versus rasa putus asa. Di penghujung kehidupan, kualitas distonik dalam bentuk rasa putus asa bisa saja menguasai seseorang namun, jika dia memiliki identitas ego yang kaut yang telah diajari keintiman, dan yang telah memerhatikan orang lain dan segala sesuatunya, maka kualitas sistonik dalam bentuk integritaslah yang akan mendominasi. Integritas berarti perasaan kemenyeluruhan dan kohenrensi, sebuah kemampuan untuk memegang secara bersama-sama perasaan “ke-aku-an” meskipun kekuatan fisik dan intelektualnya mulai menurun, bahkan mungkin hampir menghilang.
73
William Crain. Teori Perkembangan.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2007), 449-452
104
Integritas ego kadang-kadang sulit diperhatikan ketika manusia melihat bahwa mereka sudah kehilangan aspek-aspek yang akrab dari eksistensi mereka, contohnya pasangan, teman-teman, kesehatan fisik, kekuatan tubuh, kewaspadaan mental, independensi dan kedayagunaan sosial. Di bawah tekana-tekanan seperti ini, manusia sering kali mengalami rasa putus asa yang kuat, yang bisa diekspresikan sebagai kemuakan, depresi, ketidaksukaan pada orang lain, atau sikap lain yang menyingkapkan perasaan tidak bisa menerima keterbatasan-keterbatasan hidup yang sangat gamblang di depan mata. Rasa putus asa secara harfiah berarti tanpa harapan. Jika melihat kembali gambar 9.2, kita akan menemukan bahwa kualitas distonik terakhir dalam siklus hidup adalah sisi yang paling bertentangan dari harapan, kekuatan dasar pertama seseorang. Dari masa bayi sampai usia senja, harapan dapat selalu hadir. Namun jika sekali saja harapan hilang, rasa putus asa akan muncul dan hidup berhenti untuk memiliki makna. Kebijaksanaan: Kekuatan Dasar Usia Senja Beberapa bentuk rasa putus asa sangat alamiah dan dibutuhkan bagi kematangan psikologis. Perjuangan tak terelakkan antara integritas dan rasa putus asa akan menghasilkan kebijaksanaan – kekuatan dasar usia senja. Erikson (1982, hlm.61) mendefinisikan kebijaksanaan sebagai “kepedulian terhadap hidup yang sudah dikuasai namun yang mencabik-cabik dirinya sendiri ketika harus menghadapi kematian”. Manusia dengan kepedulian yang tercabik-cabik ini bukannya tidak memiliki kepedulian lagi – lebih tepatnya, mereka menunjukkan sebuah minat yang aktif namun tanpa hasrat apa pun. Dengan kebijaksanaan yang matang, mereka mempertahankan integritas sekalipun kemampuan mental dan fisiknya sudah merosot. Kebijaksanaan mengambil dari sekaligus memberikan kontribusi bagi pengetahuan tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi. Di usia
105
senja, manusia akan lebih fokus kepada masalah-masalah terbesar, termasuk ketiadaan (Erikson, Erikson & Kivnick, 1986). Antitesis dari kebijaksanaan sekaligus patologi inti usia senja adalah perasaan tidak dihargai, diabaikan, atau diremehkan (disdain). Erikson (1982), hlm. 61) mendefinisikannya sebagai “sebuah reaksi untuk merasakan (dan melihat orang lain) dalam peningkatan kondisi yang akan berakhir, membingungkan, dan tak berdaya.” Rasa tidak dihargai, diabaikan, atau diremehkan adalah kelanjutan dari penolakan – patologi inti masa dewasa. Ketika Erikson semakin bertambah uzur, dia sendiri menjadi tidak begitu optimis dengan usia senja, sehingga dia dan istrinya mulai mengonstruksi sebuah tahap kesembilan – sebuah periode yang sangat senja ketika kemerosotan fisikd dan mental sudah merampas dari diri menusia kemampuan-kemampuan generatif mereka sehingga mereduksi manusia sedemikian rupa sampai hanya tinggal menunggu kematian. Joan, khususnya, sangat tertarik dengan tahap kesembilan ini ketika dia mengamati kesehatan suaminya yang merosot dengan cepat selama beberapa tahun terakhir hidupnya. Sayangnya, Joan sendiri meninggal sebelum dapat menyelesaikan tahap kesembilan ini.74 Menurut Daniae papalia Integritas Ego Versus Keputusasaan, menurut Erikson, tahap kedelapan dan akhir perkembangan psikososial, di mana orang-orang pada masa dewasa akhir, mencapai perasaan integritas diri dengan menerima hidup yang pernah mereka jalani, dan karena itu menerima kematian, atau berujung kepada keputusasaan bahwa hidup mereka tidak dapat diulang kembali. Bagi Erikson, prestasi puncak masa dewasa akhir adalah perasaan akan adanya integritas ego (ego (integrity), atau integritas diri, pencapaian yang didasarkan pada refleksi akan kehidupan seseorang. Dalam tahap kedelapan dan terakhir dari rentang u sia, integritas 74
Jess Feist dan Gregory J. Feist. Theories of Personalitiy. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 228-229
106
ego versus keputusasaan, para lansia harus mengevaluasi, merangkum, dan menerima kehidupan mereka untuk menerima semakin mendekatnya kematian. Berdasarkan hasil dari tujuh tahapan sebelumnya, mereka berjuang mencapai koherensi dan keutuhan, bukan berputus asa (Erikson, Erikson, & Kivnick, 1986). Orang-orang yang sukses dalam tugas akhir bersifat integratif ini akan merasakan keteraturan dan makna kehidupan mereka dalam tatanan sosial yang lebih besar di masa lalu, sekarang, dan masa depan. “Nilai moral” yang mungkin berkembang sepanjang tahap ini adalah kebijaksanaan (wisdom), perhatian terinformasi dan objektif akan hidup itu dalam menghadapi kematian” (Erikson, 1985, hlm. 61). Menurut Erikson, kebijaksanaan artinya menerima kehidupan yang dijalani seseorang, tanpa penyesalan yang besar, tanpa mengomelkan “apa yang seharusnya akan dilakukan” atau “apa yang telah dilakukan”. Hal tersebut mencakup menerima orang tua sebagai orang yang telah melakukan hal terbaik yang dapat mereka lakukan dan karena itu berhak mendapatkan cinta, walaupun mereka tidak sempurna. Kebijaksanaan secara tidak langsung menerima kematian seseorang sebagai akhir dari kehidupan yang sedang mereka jalani. Ringkasnya, kebijaksanaan berarti menerima ketidaksempurnaan dalam diri, orang tua, dan hidup. (Definisi kebijaksanaan yang merupakan sumber psikologis penting ini berbeda dari sebagian besar definisi kognitif yang dieksplorasi di Bab 17) Orang-orang yang tidak mencapai rasa menerima akan dibanjiri oleh keputusasaan, kesadaran akan pendeknya waktu untuk digunakan mencari cara integritas ego yang lain. Walaupun tahapan ini baru dianggap sukses apabila integritas dapat mengalahkan keputusasaan, Erikson menegaskan bahwa beberapa keputusasaan merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Orang-orang butuh duka cita – bukan karena ketidakberuntungan mereka
107
serta kehilangan kesempatan mereka, tetapi juga karena kerapuhan dan kefanaan kondisi manusia. Walaupun demikian, Erikson menyakini bahwa walaupun fungsi tubuh melemah, orang harus mempertahankan “keterlibatan vital” dalam masyarakat. Berdasarkan studi sejarah kehidupan orang-orang pada usia delapanpuluhan, dia menyimpulkan bahwa integritas ego bukan hanya bersumber dari perefleksian masa lalu, tetapi – sebagaimana yang terjadi dengan Jimmy Carter – juga dari kontinuitas stimulasi dan tantangan – apakah hal tersebut melalui aktivitas politik, program kebugaran, kerja kreatif, atau melalui hubungan dengan cucu (Erikson et al, 1986). Riset yang diinspirasi oleh teori Erikson mendukung nilai penting posisi pria dan wanita dalam memperjuangkan integritas ego di masa dewasa akhir (Ryff, 1982; Ryff & Baltes, 1976; Ryff & Heinske, 1983). 75 Menurut Diane papalia Erik Erikson: Isu-Isu Normatif dan Berbagai Tugas.- faktor apa saja yang berkontribusi pada pertumbuhan personal? Menurut ahli teori tahap normatif, pertumbuhan bergantung pada pelaksanaan tugas-tugas psikologis di setiap tahap kehidupan dengan cara yang sehat secara emosional. Bagi Erikson, pencapaian tertinggi pada masa lansia adalah rasa integritas ego, atau integritas diri, sebuah pencapaian yang didasari oleh refleksi tentang kehidupan seseorang. Dalam tahap kedelapan dan terakhir dan rentang kehidupan, yaitu integritas ego versus keputusasaaan, lansia perlu mengevaluasi dan menerima kehidupan mereka, begitu pula untuk menerima kematian. Dibangun pada hasil dari tujuh tahapan sebelumnya, mereka berusaha untuk mencapai rasa koherensi dan keutuhan, daripada memberi jalan kepada keputusasaan atas ketidamampuan mereka untuk melakukan hal berbeda pada masa lalu
75
Diane E. Papalia, Sally Wendkos Old, Ruth Duskin Feldman. Human Development (Psikologi Perkembangan). (Kencana Prenada Media Group, Prenada Media Group: 2011) 902-903
108
(Erikson, Erikson, &Kivnick, 1986). Orang-orang yang berhasil dalam tugas integratif yang terakhir ini, akan memperoleh perasaan mengenai makna hidup mereka dalam tatanan sosial yang lebih tinggi. Kekuatan yang dapat berkembang selama tahap ini adalah kebijaksanaan, sebuah “informasi dan perhatian yang terpisah dengan kehidupan diri sendiri dalam menghadapi kematian itu sendir” (Erikson, 1985, hlm. 61). Kebijaksanaan, menurut Erikson, berarti menerima kehidupan yang telah dijalani tanpa ada rasa penyesalan
besar: tanpa memikirkan tentang “apa yang seharusnya
dilakukan” atau “apa yang seharusnya bisa terjadi.” Hal itu berarti menerima ketidaksempurnaan yang ada dalam diri, orang tua, pada anak-anak dan juga dalam kehidupan. (Definisi kebijaksanaan sebagai sumber daya psikologis berbeda dari definisi kognitif yang dijelaskan pada Bab 17). Meskipun integritas harus bisa melebihi keputusasaan jika tahap ini bisa diselesaikan dengan baik, Erikson tetap berkeyakinan bahwa ada sebagian keputusasaan yang tidak bisa dihindari. Orang perlu berduka – tidak hanya karena ketidakberuntungan mereka sendiri dan peluang yang hilang, tetapi untuk kerapuhan dan kefanaan kondisi manusia. Namun, Erikson percaya, bahkan ketika fungsi tubuh melemah, orang harus mempertahankan “keterlibatan yang vital” dalam masyarakat.
Berdasarkan penelitian
kehiduan historis orang berusia 80-an, ia menyimpulkan bahwa integritas ego datang bukan hanya dari merefleksikan masa lalu, tetapi dari lanjutan stimulasi dan tantangan – baik melalui kegiatan politik, program kebugaran, kerja kreatif, atau hubungan dengan cucu (Erikson dkk., 1986).76
76
Diane E. Papalia, Ruth Duskin Feldman. Menyelami Perkembangan Manusia. (Salemba Humanika, Jakarta; 2014), 261
109
2.2. Tahapan Kubler Ross Menurut Kralik Debbie dkk mengemukakan melalui lima tahap penyesuaian emosional menjelang kematian yaitu 1. penyangkalan, 2. kemarahan, 3. tawar-menawar, 4. Depresi 5. tahap akhir penerimaan (Kubler-Ross 1969)77 Menurut wong dkk dalam artikelnya yang diambil dari Elisabeth Ku¨bler-Ross Tahapmodel nya mengatasi kematian yaitu penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, penerimaan78 Menurut Friedmen russel dkk yang diambil dari pandangan Kubler-Ross terkenal lima tahap kematian yaitu penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan79 Menurut Tahapan Elizabeth Kubler Ross, Tahapan duka dirumuskan sebagai berikut Tahap Pertama Penyangkalan: Penyangkalan adalah suatu sikap yang tidak menerima kenyataan oleh suatu keadaan yang diterima oleh konseli Ciri – cirinya :
Mengucapkan kata-kata pengingkaran atas keadaan yang tidak dapat diterimanya.
77
Kralik Debbie dkk. Accetance and Denial : Implications for people adapting to chronic illness: literature rieview. Journal of Advanced Nursing.Aug 2006, vol 55 Issue 4 p457-464.8p. 78 Wong dkk. Beyond Teror and Denial : The positive Psycology of death Acceptance. Death Studies, Feb 2011, vol 35 Issue 2, p99-106.8p 79 Fredmen Russel dkk. The Myth of The Stages of Dying . Death and Grief(cover Story). Skeptic 2008 Vol, 14 Issue 2p37-41.3p
110
Contohnya : tidak mungkin,bukan saya, tidak benar
mencari pembenaran/ kepastian akan keadaan konseli itu sendiri
konseli mengekpresikan kesedihan oleh sebab keadaan yang tidak dapat diterima contohnya : berbicara sendiri atau tidak berbicara ( berdiam diri),
mempunyai perasaan Putus asa. Contohnya : saya sebentar lagi meninggal oleh sebab ini
konseli kurang memperhatikan asupan makanan ke tubuh konseli
Membuka pembicaran atau komunikasi secara non verbal terlebih dahulu sebelum komunikasi80 Penyangkalan menurut Kralik Debbie dkk adalah dimana ketika seseorang pengalaman
dalam menyesuaikan diri dengan penyakit, ini dapat menerjemahkan ke dalam komunikasi yang merusak, serta negatif kepada diri sendiri.81 Menurut Kubler Ross dkk, menyatakan Penolakan atau penyangkalan yaitu: mengadakan ketidak terimaan berita kematian akan datang untuk mengejar kehidupan, cirinya Unsur dari mana penyakit dan kemungkinan kematian menempatkan orang pada tahap menghadapi kematian ke dalam kekacauan emosional. Berbagai keyakinan mereka tentang kesehatan mereka, mereka berharap bahwa dokter bisa menyembuhkan mereka, dan persepsi mereka tentang diri mereka sendiri sebagai sikap yang menantang mampu hidup lebih lama.82 Menurut pendapat Fredman Russel penyangkalan meliputi ketidakpercayaan, mati rasa, dan Shock.83
80
Elisabet Kubler-Ross.On Death and Dying( Amerika: Taylor & Francis 1969),32-112 Kralik Debbie dkk. Accetance and Denial : Implications for people adapting to chronic illness: literature rieview. Journal of Advanced Nursing.Aug 2006, vol 55 Issue 4 p457-464.8p 82 Kubler Ross dkk. A personal Journey Thourgh The Grief and Healing Prosses with Virginia satif. Journal. Juli 2008, vol Issue 3 p89-105,17e 83 Fredmen Russel dkk. The Myth of The Stages of Dying . Death and Grief(cover Story). Skeptic 2008 Vol, 14 Issue 2p37-41.3p 81
111
Model lima tahap Kubler-Ross (1969) Penyangkalan dan keterpencilan Contoh: tidak, jangan saya” atau “itu tidak mungkin – hasilnya pasti tertukar” Dalam tahap ini terjadi penyangkalan terus-menerus tentang status baru yang ditetapkan bagi pasien atau keluarga. Penyangkalan berfungsi sebagai sistem penyangga, memungkinkan pasien untuk mengembangkan mekanisme-mekanisme bertahan lainnya. Juga dapat memunculkan rasa keterpencilan dan pasien dapat memiliki rasa takut akan penolakan dan penelantaran dalam penderitaannya dan merasa bahwa tidak ada orang yang mengerti penderitaannya.84
Tahap Kedua Marah : Marah adalah luapan perasaan yang terdapat pada konseli dan diaplikasikan ke dalam suatu perbuatan pada lingkungan konseli Ciri – cirinya :
Konseli Memiliki perasaan sensintif
Konseli bertindak mencari perhatian : pergi ke tempat-tempat umum dalam lingkungan untuk mencari perhatian
Konseli ingin dimengerti dalam keadaannya 85 Menurut Kubler Ross dkk , kemarahan: Emosi mulai dari iri, kemarahan, kemarahan, dan
kebencian tentang kenyataan kematian yang akan mendekat. Jelas sekali dalam kemarahan terjadi Kekacauan emosional orang yang akan meninggal menjadi murung dan menuntut.
84 85
Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), 255 Elisabet Kubler-Ross.On Death and Dying( Amerika: Taylor & Francis 1969),32-112
112
Setahun kemudian, ketika seseorang yang terdekat sedang sekarat, melihat orang tersebut frustrasi dan marah sekali, serta orang tersebut sakit secara emosional terlihat jelas di mata mereka.86 Kemarahan Contoh: ini tidak adil, mengapa harus saya? Ini merupakan tahap di mana kemarahan diarahkan ke para praktisi kesehatan seperti perawat (dan juga para dokter, kerabat, atau orang-orang lain yang sehat). Reaksi umum biasanya, “Garagara Anda (perawat), saya tidak dapat pulang dan menjemput anak-anak saya di sekolah” atau “Gara-gara Anda (perawat) saya harus meluangkan waktu agar Anda dapat menyakiti saya” atau “Bagi Anda tidak menjadi masalah; Anda bisa pulang di akhir hari.” Terjadi peralihan dari tahap pertama “Bukan, tidak mungkin itu saya, pasti terjadi kesalahan” ke “Oh ya, itu memang saya; itu bukan kesalahan”.87
Tahap Ketiga Tawar-Menawar : Suatu sikap perasaan yang diungkapkan akan sebuah janji bahwa konseli akan melakukan ini sehingga konseli di beri umur panjang Ciri-cirinya :
Konseli melakukan perbuatan positif di lingkungan keluarga atau tempat tinggalnya sehingga memberikan timbal balik bagi kesehatan konseli. Contohnya : JIka saya diberi umur pannjang saya akan berbuat ini88
86
Kubler Ross dkk. A personal Journey Thourgh The Grief and Healing Prosses with Virginia satif. Journal. Juli 2008, vol Issue 3 p89-105,17e 87 Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), .255 88 Elisabet Kubler-Ross.On Death and Dying( Amerika: Taylor & Francis 1969),32-112
113
Menurut Kubler Ross dkk tawar-menawar: merupakan Upaya untuk menunda kematian dengan membuat semacam janji untuk lebih banyak waktu untuk hidup.Tawar-menawar paling sering dilakukan sendirian antara orang mati dan Tuhan mereka. Karena seseorang yang akan meninggal kuat dalam agama mereka, saya sangat percaya bahwa mereka mencoba menawar lebih banyak waktu89 Menurut Fredmen Russel diambil dari pandangan Kübler-Ross' yaitu 5 dari tahapan menuju kematian yaitu tawar-menawar tahap dimana seseorang yang didiagnosis dengan penyakit terminal atau mengahadapi kematian. "Jika Anda hanya akan memberikan kesempatan lain, aku akan mengambil lebih memperhatikan diri sendiri," adalah permohonan seseorang mungkin membuat mereka percaya pada Tuhan. 90
Menawar Contoh: tolonglah Tuhan, izinkan saya... Ini merupakan upaya menunda kematian dengan melakukan kesepakatan dengan Tuhan/takdir/rumah sakti. Pada tahap ini, orang yang menderita penyakit memastikan dan menginginkan kesembuhan atau “waktu yang sedikit lebih lama” akan melakukan apa pun dan biasanya akan dimanipulasi pada tahap ini. Bukan hal yang tidak biasa bahwa pasien yang tidak agamis kini berpaling ke agama – nyaris melakukan penawaran lagi – “Jika saya berdoa, berikanlah saya waktu dua hari lebih lama.” Masalahnya adalah meski pasien benar-
89
Kubler Ross dkk. A personal Journey Thourgh The Grief and Healing Prosses with Virginia satif. Journal. Juli 2008, vol Issue 3 p89-105,17e 90 Fredmen Russel dkk. The Myth of The Stages of Dying . Death and Grief(cover Story). Skeptic 2008 Vol, 14 Issue 2p37-41.3p
114
benar mendapatkan tambahan waktu dua hari, itu tidak pernah cukup; pasien menginginkan lebih.91
Tahap Keempat Depresi : suatu pikiran yang dipikirkan terus menerus oleh konseli atau pikiran masa lalu yang berupa kesedihan atau rasa menyakitkan yang berkepanjangan yang menyebabkan akibat letih secara fisik dan pikiran Ciri-cirinya:
Konseli kehilangan rasa percaya diri
Konseli mempunyai perasaan putus asa. Contohnya: saya tidak berguna, anak saya harusnya dapat bersekolah, klo tidak ada saya bagaimana., uang saya tidak bisa memenuhi keadaan saya dan keluarga
Konseli selalu mengungkapkan atau mengenang masalah serta mengenang masalah yang menyakitkan masa lalunya. Contohnya : ayahnya konseli meningal akibat kejadian ini
Memikirkan pikiran menjelang kematian konseli
Konseli Memiliki penyesalan dalam dirinya 92 Menurut Kubler Ross dkk, depresi mengandung arti merupakan Ketika kematian tidak
dapat bisa disangkal lagi dan realisasi dari apa yang ada di depan yang diakui.depresi:adalah emosi lain yang dirasakan dan merupakan dalam kekacauan. Pada saat depresi Orang tersebut terkadang tenang, sering menangis dan berbicara tentang bagaimana dia tidak bisa hidup lagi,
91 92
Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), .255 Elisabet Kubler-Ross.On Death and Dying( Amerika: Taylor & Francis 1969),32-112
115
sementara pada saat yang sama mencari ke dokter jawaban penyembuhan. Kekacauan internal nya adalah jelas bagi orang tersebut, tetapi sangat membingungkan kepadanya.93 Menurut pendapat Fredman Russel depresi adalah tahap yang mendefinisikan perasaan sedih, mereka terjebak oleh pemikiran mereka yang berkepanjangan. Adapun Ciri-ciriorang depresi sebagai berikut ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, gangguan tidur, pergolakan pola makan, emosi tidak satabil, kurangnya energy. 94 Depresi Contoh: bagaimana saya harus menghadapi semua ini? Ini merupakan saat yang sangat senyap, gelap dan penuh perenungan. Kondisi ini sama persis dengan orang yang benar-benar mengalami depresi. Pada tahap ini, pasien yang sekarat tidak membutuhkan penghiburan dari perawat, namun pada saat yang sama tidak ingin diabaikan. Pada tahap ini anggota keluarga dari pasien yang sekarat juga memulai model lima tahap dan karenanya berusaha keras untuk proaktif – yaitu, dalam penyangkalan bahwa salath satu anggota keluarga akan meninggal. Mereka bahkan dapat merasa marah kepada pasien karena “menyerah”. Pada tahap ini pasien yang sekarat ingin agar orang-orang di sekelilingnya tenang dan di sinilah para perawat dapat membuat perbedaan. Yang diinginkan pasien adalah seseorang yang tetap ada di sampingnya, yang tidak mempertanyakan apa pun dan tidak marah kepadanya. Akan ada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pasien dan perlu dijawab dengan jujur (terutama karena mereka tidak harus berpura-pura tegar seperti bila di hadapan keluarga). Selain itu, pasien dalam tahap ini juga ingin agar perawat mengantisipasi berbagai pertanyaan. 95
93
Kubler Ross dkk. A personal Journey Thourgh The Grief and Healing Prosses with Virginia satif. Journal. Juli 2008, vol Issue 3 p89-105,17 94 Fredmen Russel dkk. The Myth of The Stages of Dying . Death and Grief(cover Story). Skeptic 2008 Vol, 14 Issue 2p37-41.3p 95 Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), p.255
116
Tahap kelima Penerimaan: suatu penerimaan dari konseli dari keadaan yang terjadi pada konseli tersebut dengan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan atas kedaan yang dialaminya. Ciri-cirinya :
Konseli Menerima kedaanya sekarang dengan penuh ikhlas
Konseli berserah penuh kepada Tuhan atau konseli dengan penuh memegang janji-janji kepada Firman Tuhan atas kedaannya sekarang.
Konseli berkata kata secara positif atas kedaannya 96 Menurut kubler Ross pengertian penerimaan: Perasaan telah menyatakan, tawar-menawar
adalah atas, penyangkalan tidak lagi untuk menawarkan kesempatan untuk mengejar kehidupan, dan jadi orang sekarat tersebut datang untuk menyelesaikan tenang yang perjuangan atas dan hidup akan datang ke sebuah akhir. Orang mati mulai melepaskan diri dari hubungan dan berusaha berdiam sambil menunggu kehidupan mereka untuk mengakhiri.. penerimaan merupakan tempat proses akhir mati menjadi satu tujuan. Setelah orang sekarat menerima kematian, orang mulai untuk melepaskan diri dari seluruh dunia. Mereka telah penyendiri tidak berpura-pura lagi bahwa mereka akan mendapatkan lebih baik. Mereka mengerti mereka akan mati dan mereka menjadi damai dengan hanya anak-anak mereka di sekitar mereka. Mereka yang berlatih cara baru untuk berada dalam hubungan dengan kami. Mereka tidak lagi berbicara tentang hal-hal di masa lalu, tapi hanya berbaring di kehadiran kami saat mereka mati.97 Ada beberapa pendapat lain mengenai tahapan penerimaan atau Ikhlas. Penerimaan dalam kematian menurut Meanger dan David bahwa saya siap untuk mati termasuk beberapa
96
Elisabet Kubler-Ross.On Death and Dying( Amerika: Taylor & Francis 1969),32-112 Kubler Ross dkk. A personal Journey Thourgh The Grief and Healing Prosses with Virginia satif. Journal. Juli 2008, vol Issue 3 p89-105,17e 97
117
kesulitan yang harus dilepasakan atau menerima keadaan nya secara siap dan menerima secara damai dan mengalami pengalaman yang indah98 Penerimaan menurut Fredmen Russel yaitu adalah hampir tidak ada lagi penyangkalan yang mengahadapi kematian99 Menerima Contoh: biarkan saya begini, saya sudah siap untuk mati. Ini merupakan tahap di mana individu tidak lagi mengalami depresi atau marah. Ia telah mengatasi perasaan kehilangan dan telah menemukan kedamaian. Pada tahap ini pasien telah menerima situasi yang ia hadapi dan siap untuk pergi. Juga dalam tahap ini, anggota keluarga menjadi sangat marah atau mempertanyakan mengapa pasien merasa tenang di saat mereka masih ingin mengubah status si pasien. Namun, pasien telah memulai proses mengikhlaskan sejak berada dalam tahap depresi dan telah menuntaskan proses tersebut serta menerima apa yang pasti terjadi. Ia siap untuk melangkah.100
98
David and Meagner. How We Die : Theory Vs Reality. Death Studies, Mar 2007. Vol.31 Issue 3, p226-270.5p Fredmen Russel dkk. The Myth of The Stages of Dying . Death and Grief(cover Story). Skeptic 2008 Vol, 14 Issue 2p37-41.3p 100 Penney Upton. Psikologi Perkembangan. (Jakarta: Erlangga, 2012), .255 99
118