OPINIO JURIS
Volume 04 | Januari - April 2012
PERKEMBANGAN ISU HUKUMAN MATI DI INDONESIA Elmar I. Lubis, SH
Pendahuluan Sampai saat ini hukuman mati masih menjadi bagian dalam hukum pidana Indonesia baik dalam KUHP maupun di luar KUHP1. Hal ini telah menimbulkan perdebatan antara yang setuju dengan yang tidak setuju dengan penerapan hukuman mati dalam sistem pidana seiring dengan desakan masyarakat internasional untuk menghapuskan hukuman mati. Sampai saat ini 68 negara yang masih menerapkan hukuman mati, termasuk Indonesia, 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan penghapusan terhadap hukuman mati. Pada
tanggal 11 November 2010, Komite III SMU ke-65 PBB telah mengadopsi ranres 65/206 mengenai Moratarium on the Use of the Death Penalty melalui pemungutan suara sebagai berikut: Mendukung 107 negara, Menolak 38 negara, dan abstain 36 negara. Indonesia termasuk dalam negara yang menolak ranres tersebut. Indonesia dan sebagian negara lainnya masih mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukumnya dengan mengemukakan berbagai argumen filsafat, hukum, politik dan bahkan agama yang tidak kalah absahnya dibandingkan yang menolak hukuman mati. Karena isu hukuman mati mencakup ruang lingkup yang sangat luas, maka tulisan ini hanya berupaya untuk menggambarkan pertentangan yang terjadi di Indonesia tentang pemberlakuan hukuman mati dan yang terpenting adalah anali-
1 2
Ancaman hukuman mati dalam KUHP terdapat dalam pasal-pasal : Makar membunuh Kepala Negara (Pasal 104); Mengajak negara asing guna menyerang Indonesia [Pasal 111 ayat (2)]; memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang (Pasal 124 ayat 3); Membunuh Kepala Negara negara sahabat [Pasal 140 ayat (1)]; Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu [Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340]; Pencurian dengan kekerasan ... yang mengakibatkan luka berat atau kematian [Pasal 365 ayat (4)]; Pembajakan ...sehingga ada orang mati (Pasal 444); Dalam waktu perang menganjurkan huru hara (pasal 124 bis); Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (pasal 127 dan pasal 129); Pemerasan dengan pemberatan [pasal 368 ayat (2)]; Dalam memori penjelasan disenutkan bahwa negara berhak untuk menjalankan semua peraturan atau ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, termasuk pidana mati sebagai “kriterium keharusan” dengan maksud negara dapat memenuhi kewajibannya untuk menjaga ketertiban hukum dan kepentingan umum. Peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang mencantumkan ancaman pidana mati : UU Nomor 12 Drt Tahun 1951 tentang Senjata Api, Amunisi, Bahan Peledak, Senjata Pemukul, Senjata Penikam atau Senjata Penusuk; UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM); UU Nomor 15 dan 16 Tahun 2003 jo Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
33
Volume 04 | Januari - April 2012
sa terhadap argumen yang dikemukakan oleh Pemerintah untuk tetap mempertahankannya. Latar belakang Sejarah dan Perkembangan hukuman mati Perdebatan tentang pidana mati pada intinya terbagi dalam dua arus pemikiran utama; pertama, adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya ketentuan yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang menginginkan penghapusan secara keseluruhan. Selebihnya hanyalah upaya untuk tetap mempertahankan pemberlakukan hukuman mati dengan cara pandang hukuman mati sebagai upaya akhir yang harus diperlakukan secara khusus, ketat dan terbatas. Secara anthopologis hukuman mati merupakan salah satu bentuk hukuman yang sudah dikenal sejak lama di berbagai kebudayaan dan bangsa dan dapat dianggap sebagai bentuk hukuman berat yang paling tua. Hukuman mati juga dikenal dan diakui oleh berbagai agama. Walaupun demikian, dalam perkembangannya penafsiran terhadap hukuman mati termasuk dalam agama juga mengalami perubahan-perubahan. Pemikiran filsafat sosial-politik dan hukum yang terus berkembang juga mendorong perubahan cara pandang terhadap hukuman mati. Landasan pemikiran yang bermuara pada ajaran agama, filsafat sosial-politik dan hukum tersebut pada akhirnya bercampurbaur yang kemudian tercermin dalam berbagai aturan dalam hukum positif. Seringkali hukuman mati diberlakukan hanya sekedar untuk memenuhi kepentingan penguasa (raja) atau pemerintahan kolonial. Namun contoh tersebut tidak dapat mengabaikan banyaknya hukuman mati di berlakukan atas dasar kehendak demokratis dari masyarakat itu sendiri. 34
OPINIO JURIS
Salah satu landasan pemikiran yang utama dan mungkin tertua yang mendukung adanya hukuman mati adalah teori pembalasan. Berdasarkan teori pembalasan, pidana mati dijatuhkan karena pidana hukuman mati merupakan upaya untuk mempertahankan dan menegakkan kesusilaan dan keadilan. Pidana dijatuhkan bukan karena mempromosikan suatu tujuan atau kebaikan namun semata-mata adalah untuk membalas kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang sehingga kesusilaan dan keadilan dalam bentuk keseimbangan yang mutlak tetap tercapai. Dalam perkembangannya, teori pembalasan ini mengalami transformasi dan memasukkan tujuan-tujuan ideal lainnya seperti unsur upaya preventif dan efek jera dan menghilangkan sumber ancaman. Di lain pihak, penolakan terhadap pidana hukuman mati menilai bahwa hukuman mati bertolak belakang dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Negara dan kekuasaan apapun tidak memiliki kewenangan untuk mencabut hak hidup seseorang. Pandangan ini juga menjelaskan bahwa efek jera dan upaya preventif terbukti tidak berhasil dan juga tidak memperbaiki kesalahan yang terjadi. Pemikiran ini dilandasi semangat humanisme yang berkembang di Eropa Barat setelah mengalami peperangan dan kehancuran ejak perang perang di Eropa selama abad 19 dan abad 20 yang diakhiri dengan Perang Dunia I dan II. Penolakan terhadap hukuman mati juga banyak diakibatkan oleh kenyataan bahwa banyak hukuman mati dilaksanakan terhadap orang-orang yang memiliki pandangan politik yang berbeda dengan penguasa tanpa ada alasan kuat apapun yang dapat mendukung pelaksanaan mati tersebut harus dilakukan dan
OPINIO JURIS
hanya sekedar penolakan atau penghilangan hak hidup orang tersebut. Selain itu, banyak bentuk hukuman mati dilaksanakan dengan menggunakan metoda hukuman yang sangat kejam dan cenderung sadis dan menyebabkan penderitaan dan rasa sakit luar biasa.2 Pengakuan terhadap hak asasi manusia secara langsung mempengaruhi cara pandang terhadap keabsahan hukuman mati. Pembatasan ruang gerak apa yang tidak dan dapat dilakukan oleh negara terhadap individu dan perubahan-perubahan besar dalam cara pandang terhadap kekuasaan dan politik secara relative telah mendorong semakin kuatnya dorongan untuk menghapuskan bentuk hukuman mati. Perkembangan isu hukuman mati di lingkup global diwarnai dengan tuntutan moratorium dan penghapusan hukuman mati. Dapat dicatat bahwa kebanyakan negara yang telah menghapuskan hukuman mati adalah negara-negara anggota Uni Eropa. Adapun di kelompok negara ASEAN, hanya Filipina yang telah menghapuskan hukuman mati. Sementara itu, terdapat beberapa negara yang masih mengakui dan melaksanakan hukuman mati namun dengan cara yang sangat selektif dikenal sebagai retentionist, seperti misalnya Indonesia yang melaksanakan hukuman mati dalam jumlah yang sangat rendah dan hanya dipergunakan untuk tindak pidana berat tertentu saja. Atas tren penghapusan hukuman mati tersebut, negara-negara yang telah menghapus hukuman mati secara rutin mendorong isu penghapusan hukuman mati di ber-
Volume 04 | Januari - April 2012
bagai kesempatan, termasuk dalam Sidang Majelis Umum (SMU) PBB. Secara rutin, rancangan resolusi (ranres) tentang moratorium penerapan hukuman mati yang didukung oleh kelompok negara-negara Uni Eropa diajukan di SMU PBB sejak tahun 2007. Di Inggris dan beberapa negara bagian Amerika Serikat, hukuman mati telah dihapuskan. Sedangkan di beberapa negara lainnya tetap berlaku tetapi tidak pernah digunakan. Di lain pihak, upaya penghapusan hukuman mati di India telah berlangsung sejak jaman kolonial Inggris saat Gaya Prasad Singh pada tahun 1931 mengusulkan rancangan undang-undang (RUU) kepada Dewan Legislatif untuk menghapuskan hukuman mati, namun mengalami penolakan dari Pemerintah yang berkuasa. Kemudian setelah India merdeka, rancangan yang serupa kembali diusulkan kepada Parlemen India oleh Mukand Lal Agarwal, pada tahun 1956, dan tetap mengalami penolakan dari Pemerintah. Pada tanggal 21 Oktober 2010, di kesempatan SMU PBB ke-65, delegasi Gabon dan Micronesia telah menyelenggarakan konsultasi informal pertama tentang rancangan resolusi (ranres) “Moratorium on the use of the death penalty”. Walaupun diketahui secara luas bahwa dibalik pemrakarsa resolusi tersebut adalah Uni Eropa, namun selalu diciptakan kesan bahwa resolusi ini merupakan prakarsa negara-negara lintas kawasan. Sebagai catatan, pada tahun 2007 ranres ini diusulkan oleh Italia dan Chile, serta pada tahun 2008 ranres ini diusulkan oleh Chile dan Angola.
1 2
Beberapa cara hukuan mati yang dikenal di Eropa, Timur Tengah dan Asia Pasifik antara lain : diikat di roda berpaku, direndam dalam air mendidih, dirajam dengan lemparan batu, ditusuk dari dubur ke mulut, diinjak gajah atau benda berat, ditarik oleh beberapa kuda kearah yang berlawanan, pemotongan anggota badan, dibakar, di potong dengan gergaji, ditembakkan dari dalam meriam, memotong daging secara perlahan.
35
Volume 04 | Januari - April 2012
Pada tanggal 11 November 2010, Komite III SMU ke-65 PBB telah mengadopsi ranres 65/206 mengenai Morotarium on the use of the Death Penalty melalui pemungutan suara sebagai berikut: Mendukung 107 negara, Menolak 38 negara, dan abstain 36 negara. Indonesia termasuk dalam negara yang menolak ranres tersebut. Pernyataan Catherine Ashton dan Thorbjørn Jagland, Secretary-General of the Council of Europe dapat kiranya secara singkat menggambarkan argumen utama atas penolakan hukuman mati Uni Eropa. Catherine Ashton menyatakan bahwa sejarah menunjukkan pelaksanaan hukuman mati tidak pernah dapat mencegah peningkatan tindak kriminal, maupun memberikan keadilan bagi korban tidak kriminal tersebut. Pada saat yang sama, karena tidak satupun sistem hukum yang kebal dari kesalahan, maka hukuman mati yang telah dilaksanakan tidak mungkin untuk dibatalkan atau mengembalikan nyawa terpidana mati. Dengan demikian hukuman mati hendaknya dihapuskan karena : n Hukuman mati tidak memberikan dampak jera maupun preventif terhadap terjadinya tindak kriminal n Hukuman mati tidak memberikan rasa keadilan yang sesungguhnya bagi korban n Hukuman mati tidak mungkin untuk diperbaiki jika terjadi kesalahan dalam sistem peradilan yang akan selalu tidak sempurna n Hukuman mati dinilai bertolak belakang dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan posisi yang menghendaki tetap adanya hukuman mati beralasan : n Hukuman mati merupakan tindakkan pembalasan dan pembentukan keadilan n Hukuman mati merupakan upaya efek jera dan 36
OPINIO JURIS
preventif terhadap terjadinya tindak pidana Hukuman mati ditujukan untuk menghilangkan ancaman terhadap keselamatan dan kepentingan umum. n
Alasan-alasan yang dikemukakan diatas dilandasi 3 argumen dasar, yaitu : Teori Absolut, digunakan sebagai landasan untuk melakukan pembalasan. Pidana dimaksudkan untuk mencapai tujuan praktis dan juga untuk menimbulkan nestapa bagi orang tersebut. Jadi menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana dan harus ada akibat mutlak dalam bentuk pembalasan untuk mencapai kesimbangan dan keadilan. Teori Relatif, menyatakan bahwa pidana merupakan alat untuk mencegah adanya kejahatan dan bagian dari upaya menjaga kepastian hukum dan tata tertib masyarakat. Dengan demikian pidana dalam teori ini merupakan alat pencegahan untuk menakut-nakuti, memperbaiki dan membuat pelaku kejahatan tidak berdaya lagi. Jadi menurut teori ini pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat baik bagi pelaku kejahatan maupun masyarakat. Dasar pembenaran dari teori ini adalah terletak pada tujuannya, yaitu supaya orang jangan melakukan kejahatan lagi. Teori Gabungan, yaitu pidana merupakan pembalasan yang pelaksanaannya menjamin terciptanya keadilan yang setimpal dan untuk menegakkan tata tertib hukum. Den-
OPINIO JURIS
gan demikian, tindakan pembalasan adalah asas hukum pidana untuk menciptakan keadilan dan juga tetap memberikan dampak positif yang antara lain untuk menjaga kepastian hukum dan tata tertib dalam masyarakat serta sebagai prevensi general. 3 Terhadap ke tiga teori tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa sanksi pidana umumnya adalah sebagai alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku, dimana tiap-tiap norma mempunyai sanksi sendiri-sendiri dan pada tujuan akhir yang diharapkan adalah upaya pembinaan4. Dengan demikian, fungsi hukuman mati yang hanya ditujukan pada upaya legitimasi kekuasaan sudah sama sekali ditinggalkan. Asumsi paling dasar yang digunakan adalah fungsi hukum itu sendiri tidak lain demi kepentingan masyarakat sendiri dan bukan untuk kepentingan penguasa. Pendekatan positivisme hukum dalam penerapan sanksi pidana dengan menggunakan asas legalitas, yang berbunyi “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale”, terkadang juga dikemukakan oleh sebagian kalangan di Indonesia untuk mempertahankan pemberlakukan hukuman mati dalam hukum pidana Indonesia. Menurut Wiryono Prodjodikoro, bahwa tujuan dari hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadilan kemudian ditambahkan oleh para sarjana hukum, tujuan hukum pidana adalah: 5 n Untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan, baik menakut-nakuti orang banyak (general preven-
Volume 04 | Januari - April 2012
tie) maupun menakut-nakuti orang-orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (specialle preventie). n Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar orang menjadi baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Dalam RUU KUHP yang baru disebutkan, bahwa tujuan pemidanaan adalah: n Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. n Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna. n Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. n Untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Dalam Pasal 10 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur jenis-jenis Pidana atau hukuman yang meliputi antara lain pidana pokok yang terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda; serta pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Sementara itu, Taufik Makaro menilai bahwa hukuman mati dapat membuat jera
1 3 4 5
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984, hal:10. Widodo Supriyadi S.H., MM, Efektifitas Hukuman mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia W. Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, 1981, hal: 27.
37
Volume 04 | Januari - April 2012
pelaku kejahatan maupun orang lain agar tidak berbuat atau melakukan kejahatan/tindakpidana yang sama; dan juga untuk mengurangi tindak pidana/kejahatan dalam masyarakat serta untuk menegakkan hukum di Indonesia.6 Andi Hamzah menyatakan bahwa hukuman mati adalah pidana yang terberat dari semua pidana, sehingga hanya diancamkan kepada kejahatan-kejahatan yang amat berat saja yaitu perbuatan yang mengakibatkan matinya orang lain yang diserang dan perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya besar atau mempunyai akibat-akibat yang berpengaruh besar terhadap perikehidupan manusia dan kehidupan negara di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya serta ketahanan nasional7. Pandangan ini menempatkan hukuman mati sebagai upaya khusus yang hanya dibunakan sebagai langkah terakhir. Dalam penjelasan KUHP dikatakan bahwa pidana mati masih diperlukan karena kondisi spesifik Indonesia saat ini seperti masih adanya bahaya gangguan atas ketertiban hukum, wilayah Indonesia yang sangat luas, penduduknya terdiri dari berbagai macam golongan yang mudah bentrok, sedangkan alat-alat Kepolisian tidak begitu kuat.8 Hukuman mati di Indonesia Sebagai negara demokratis yang memiliki komitmen untuk memajukan HAM, Indonesia memandang positif perdebatan tentang penghapusan, atau penangguhan dan mempertahankan hukuman mati di Indonesia. Kelompok penentang hukuman mati berpendapat bahwa hukuman mati harus diha-
1 6
OPINIO JURIS
puskan karena bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945 yang mengakui hak untuk hidup. {andangan ini berpendapat bahwa bahwa hidup dan mati berada di tangan Tuhan dan tidak ada satu lembagapun memiliki hak membunuh seseorang dengan alasan apapun. Sistem hukuman mati yang ada sekarang oleh kelompok penentang dinilai tidak dapat membuktikan keberhasilan efek jera maupun sebagai faktor pencegah kejahatan karena dalam kenyataannya tindakan kriminal tetap ada dan pada saat tertentu bahkan mengalami peningkatan baik jumlah maupun kualitasnya. Dalam konsep Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang baru, dirumuskan bahwa pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus (pidana exceptional) dan tidak termasuk lagi dalam pidana pokok, karena diterapkan terhadap tindak pidana yang bersifat “the most serious crime” Penerapan hukuman mati di Indonesia berfungsi antara lain sebagai pembalasan, prevensi umum/khusus, pendidikan, menakut-nakuti, menciptakan efek jera, bahkan membinasakan bagi pelaku tindak pidana tertentu. Dalam perundang-undangan, baik KUHP maupun perundang-undangan di luar KUHP, beberapa tindak pidana yang diancam dengan pidana mati dapat digolongkan sebagai tindak pidana yang berat/khusus. Oleh karena itu tepat kiranya untuk menyimak arti pentingnya pencantuman pidana mati tersebut, baik melalui maksud dan tujuan pemidanaan yang lebih mengarah pada pembalasan dan prevensi umum/khusus atau efek jera, juga melalui filosofi dan maksud
Taufik Makaro, dkk., Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2003, hal: 78. Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,1983, hal: 32 8 Ruslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, hal:17. 7
38
OPINIO JURIS
diundangkannya undang-undang dimaksud disesuaikan dengan kemauan politik (political will) pemerintah melalui pembentukan UU9. Pidana mati di Indonesia hanya dapat dilaksanakan setelah kasus tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dalam hal ini, terpidana mati memiliki hak untuk melakukan upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa, untuk meminta keringanan atas hukuman tersebut. Upaya dimaksud adalah Peninjauan Kembali (PK) dan Grasi, yang merupakan upaya hukum terakhir bagi terpidana. Dalam proses PK yang diajukan terpidana, Mahkamah Agung berkewajiban mempertimbangkan unsur-unsur yuridis, sosiologis, dan politis suatu kasus, yang memperbesar kemungkinan pemberian keringanan atas putusan hukuman mati. Dengan demikian, tampak jelas bahwa hukum Indonesia menempatkan hukuman mati dalam posisi yang sangat khusus dan hanya diperuntukan bagi upaya terakhir yang hanya dilaksanakan sebagai upaya terakhir. Upaya Proses pemulihan yang dapat dilakukan oleh terpidana antara lain adalah remisi, grasi, abolisi, amnesti yang merupakan wewenang presiden yaitu: n Remisi menurut Pasal 1 ayat 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia No.174 Tahun 1999, adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana yang telah
Volume 04 | Januari - April 2012
berkelakuan baik selama menjalani pidana.10 n Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana yang diberikan oleh Presiden. Yang dapat diajukan permohonan grasi yaitu pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun (UU No.22 Tahun 2002 tentang Grasi Pasal 2 ayat (2). 11 n Abolisi adalah keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, ketika pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh keputusan pengadilan. n Amnesti merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh
1 9
Widodo Supriyadi S.H., MM, Efektifitas Hukuman mati dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia Remisi dan asimilasi, tertuang kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Di pasal 34 ayat (3) disebutkan narapidana yang masuk kategori tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan yakni berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa pidana. 11 Hal ini juga diatur dalam Keppres RIS No. 156/1950, yang menyatakan bahwa jika selama 5 tahun berturut-turut sejak memperoleh grasi terhukum berkelakuan baik, mereka berhak mendapat remisi, yaitu hukuman penjara maksimal 20 tahun. 10
39
Volume 04 | Januari - April 2012
suatu negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan. n Rehabilitasi merupakan suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim, di mana dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula. Atau bahkan, ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Dalam UUD 1945 pasal 14 disebutkan bahwa presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Sedangkan terkait pemberian amnesti dan abolisi, disebutkan presiden dapat memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Menurut data dari Kejaksaan Agung, per Januari 2011, terdapat 118 orang terpidana mati di seluruh Indonesia. Saat ini, berkurang lima, yang terdiri empat menjadi seumur hidup dan 1 menjadi 12 tahun. Dari 113 sisanya, belum ada yg dieksekusi mengingat upaya hukum belum selesai. Berdasarkan data dari Sekretariat Negara RI, pengajuan grasi sejak tahun 2000 yang telah mendapat putusan Presiden berjumlah 29, dan Presiden memberikan Amnesti dan Abolisi untuk setiap orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka melalui Keppres No. 22 tahun 2005. Seluruh terpidana mati di Indonesia adalah orang dewasa, karena diatur dalam pasal 66 ayat 2 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 bahwa “Penjatuhan hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak boleh dikenakan kepada anak-anak yang melanggar hukum”. 40
OPINIO JURIS
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan uraian di atas, terdapat banyak argumen utama yang dikemukakan oleh Indonesia dalam mempertahankan pemberlakuan hukuman mati dalam hukum pidana Indonesia. Argumen-argumen tersebut dikemukakan oleh berbagai instansi terkait di Indonesia baik di pemerintah maupun lembaga peradilan dan kalangan akademisi dan cendikiawan. Namun demikian, bila ditelaah lebih mendalam, terdapat beberapa argumen yang seringkali dikemukakan oleh Indonesia yang menurut penulis sebagai argumen yang kuat maupun argumen yang lemah yang suatu saat akan merugikan Indonesia sendiri dan sebaiknya dihindari untuk digunakan yang antara lain adalah : Argumen lemah untuk mempertahankan hukuman mati n Keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 1997 tentang tafsir UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan Hak konstitusionalitas (Kedudukan Hukum WNA) “Hukuman Mati”. Salah satu keputusan penting yang dapat digunakan sebagai salah satu rujukan penting yang menunjukkan posisi Indonesia dalam kaitannya dengan hukuman mati adalah keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 1997 tentang tafsir UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan konstitusionalitas “Hukuman Mati”. Dalam keputusannya MK menyatakan bahwa Ketentuan Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU
OPINIO JURIS
Narkotika, sepanjang mengenai ancaman pidana mati, tidak bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang diajukan para Pemohon perkara 2/PUU-V/2007 (Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani, Myuran Sukumaran, Andrew Chan) dan Pemohon perkara 3/PUU-V/2007 (Scott Anthony Rush). Mengingat pentingnya Keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 1997 tersebut untuk digunakan sebagai rujukan bagi posisi Indonesia terhadap hukuman mati, maka perlu kiranya untuk ditelaah lebih lanjut isi keputusan tersebut serta dampaknya bagi Indonesia di masa mendatang dan melihat kemungkinan celahcelah yang dapat menjadi kekuatan atau melemahkan dan merugikan Indonesia di kemudian hari, baik yang terkait secara langsung dengan hukuman mati itu sendiri maupun dengan sistem hukum pidana Indonesia secara keseluruhan. Adapun celah dan kelemahan argumen dalam keputusan MK tersebut antara lain adalah Penolakan MK terhadap kedudukan hukum pemohon WNA untuk mengajukan permohonan pengujian perundangan ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi tahun 1997 dalam putusan permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) telah menolak permohonan warga negara asing Myuran Sukumaran, Andrew Chan dan Scott An-
Volume 04 | Januari - April 2012
thony Rush terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) dan menyatakan bahwa para Pemohon yang berkewarganegaraan asing tidaklah mempunyai kedudukan hukum. Dengan demikian permohonan agar MK melakukan pengujian UU No. 22 tidak dapat diterima. Para Pemohon WNA asing yang telah dipidana mati tersebut merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya ancaman pidana mati dalam UU Narkotika. Penulis berpandangan bahwa alasan ini kurang dapat dipertahankan. Argumen pemohon yang menyatakan bahwa hak konstitusionalnya dilanggar oleh UU Narkotika perlu dicermati secara lebih dalam terutama kaitannya dengan jiwa dari Pembukaan dan UUD 45. Hak konstitusional yang digunakan para pemohon WNA tersebut dapat ditafsirkan sebagai salah satu wujud dari hak hak asasi manusia yang bersifat universal. Hak-hak yang asasi ini sejalan dengan jiwa dari Pembukaan dan batang tubuh UUD 45 serta bangunan ketatanegaraan Indonesia yang demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Dalam konteks penghormatan dan perlindungan HAM, sejalan dengan kecenderungan di masyarakat internasional saat ini, perlindungan HAM tersebut akan secara relative melampaui batas-batas negara dan kewarganegaraan dan bersifat universal. Dengan demikian, kedudukan hukum pemohon WNA tersebut seharusnya diterima karena hukum pidana Indonesia mengakui hak hak asasi manusia bersifat universal dan setiap individu diperlaku41
Volume 04 | Januari - April 2012
kan sama di depan hukum. Penolakan terhadap prinsip tersebut berarti juga penolakan terhadap pembukaan dan batang tubuh UUD 45. Kedudukan hukum sebagai pemohon pengujian perundangan ke MK harus dibedakan secara substantive dengan putusan hukuman mati itu sendiri. Perlu juga dipertimbangkan sifat universalitas hukum pidana yang menempatkan individu dalam posisi yang sama adalah suatu ketidakadilan bila hukum pidana diberlakukan terhadap WNA dan pada saat yang sama WNA tersebut tidak memiliki hak tertentu yang terkait dengan hukum pidana yang dijatuhkan padanya dengan alasan kewarganegaraan. Oleh karena itu argumen yang menolak kedudukan hukum seseorang dalam kaitannya dengan hak konstitusionalnya sebaiknya tidak lagi digunakan oleh MK maupun lembaga peradilan Indonesia dalam menghadapi kasus yang sejenis di kemudian hari.12 b. Hukuman Mati tetap berlaku karena merupakan bagian dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia Argumen ini seringkali digunakan dengan menyebutkan bahwa hukuman mati masih berlaku di Indonesia karena memang hukuman mati masih merupakan bagian dalam hukum pidana Indonesia. Pandangan yang sangat positivist ini dirasakan sulit untuk dipertahankan karena dengan dianutnya prinsip-prinsip HAM dan demokrasi dalam hukum mod1
12
42
OPINIO JURIS
ern saat ini, hukum bukan menjadi hukum bila hukum tersebut tidak mewakili atau bertentangan dengan moralitas yang hidup dalam masyarakat seperti misalnya HAM, demokrasi dan rasa keadilan. Walaupun aliran positivisme menenkankan pentingnya adanya kepastian hukum untuk menjamin ketertiban, namun alas an ini tidak dapat diberlakukan secara terpisah dan mengabaikan prinsip-prinsip dasar yang dikandung oleh hukum itu sendiri, seperti rasa keadilan, demokrasi dan HAM. Argumen kuat untuk mempertahankan hukuman mati Hukuman mati masih mewakili rasa keadilan yang dituntut oleh masyarakat Selain unsur efek jera, efek preventif, pada dasarnya unsur pembalasan merupakan argumen kuat yang tidak dapat diabaikan yang merupakan jelmaan unsur rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sebagai negara yang demokratis, hukum yang berlaku harus dapat mencerminkan dan mewakili rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Oleh karena itu, Indonesia menilai bahwa hukum pidana mati masih tetap merupakan bagian dari hukum pidana Indonesia karena masyarakat Indonesia masih menginginkan adanya hukuman mati tersebut. Hal ini sangat penting karena adanya bias pandangan yang menilai bahwa hukuman mati tetap diberlakukan hanyalah demi kepentingan penguasa. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, asumsi dasar yang digunakan adalah bahwa hukuman mati merupakan salah satu bentuk hukuman yang dilaksanakan demi kepentin-
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, University of California Press Berkeley, Hal 67.
OPINIO JURIS
gan masyarakat dan bukan penguasa. Dengan demikian, landasan hukum yang demokratis ini sama sekali berbeda dengan bentuk pelaksanaan hukum yang dalam sejarah memang sering digunakan hanya demi kepentingan penguasa. Oleh karena itu, lembaga yudikatif, eksekutif dan legislative dan perangkat lembaga negara lainnya harus tetap menghormati keinginan rakyat tersebut. Hanya saja memang hukum
Volume 04 | Januari - April 2012
tersebut tidak secara otomatis dilaksanakan hanya sebagai pelaksanaan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat, hal ini ditunjukkan bahwa hukuman mati di Indonesia saat ini hanya diberlakukan sebagai upaya paling akhir yang bersifat khusus dan hanya dilaksanakan untuk bentuk-bentuk pidana tertentu saja yang dipandang membahayakan dan mengancam kepentingan masyarakat luas dan negara.
43