BAB II TINJAUAN UMUM HAK DIPILIH TERKAIT HAK ASASI MANUSIA
2.1 Pengertian Hak Dipilih Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,1 secara leksikal “hak dipilih” diuraikan sebagai hak untuk dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, sebelum menguraikan tentang “hak dipilih”, terlebih dahulu diuraikan “hak pilih” sebagai hak untuk memilih wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Pada bagian lain, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia2, pengertian “hak dipilih” diuraikan sejalan dengan pengertian “hak pilih”. Pengertian “hak dipilih” diuraikan sebagai hak untuk dipilih menjadi anggota (tentang Dewan Perwakilan Rakyat, dsb). Sedang “hak pilih” diuraikan sebagai hak warga negara untuk memiliki wakil dalam lembaga perwakilan rakyat yang merupakan salah satu unsur dalam sistem pemilihan umum yang demokratis. “Hak pilih” dibagi menjadi dua, yaitu: “hak pilih aktif” dan “hak pilih pasif”. “Hak pilih aktif” sebagai hak untuk memilih wakil dalam lembaga perwakilan rakyat. Sedang “hak pilih pasif” adalah hak untuk dipilih dan duduk dalam lembaga perwakilan rakyat.
1
WJS. Poerwadarminta, 2003, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka. Cet. XV, Hlm. 339. 2
Anton M. Moelyono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Hlm. 292; Bdk. Anonim, 2014, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, Edisi VII, Cet. IV, Hlm. 475.
1
2
Dalam kaitan dengan hak pilih aktif (hak memilih) dan hak pilih pasif (hak dipilih) wajib menenuhi berbagai persyaratan yang telah ditentukan.3 Persyaratan dimaksud sesuai Pasal 60 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 antara lain adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e.
f.
g. h.
i. j.
Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; Berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat; Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G-30-S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya; Tidak sedang dicabut hak politiknya berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; Tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari dokter yang kompeten; dan Terdaftar sebagai pemilih.
Pada bagian lain, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51) persyaratan untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam Pasal 12, sedang untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan 3
Persyaratan sebagai dimaksud Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 sebagai obyek penelitian ini berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUUI/2003 pada tanggal 24 Februari 2003 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diatur dalam Pasal 50. Untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah persyaratannya hampir sama. Perbedaan hanya pada persyaratan: mencalonkan hanya 1 (satu) lembaga perwakilan, mencalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan, dan mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang bersangkutan untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. Sedang persyaratan untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah: menjadi anggota Partai Peserta Pemilu, dicalonkan hanya 1 (satu) lembaga perwakilan, dan dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.
Hak pilih warga negara, baik hak memilih maupun hak dipilih dalam Pemilihan Umum merupakan salah satu substansi penting dalam perkembangan demokrasi dan sekaligus sebagai bukti adanya eksistensi dan kedaulatan yang dimiliki rakyat dalam pemerintahan. Dengan demikian, hak pilih adalah hak warga negara untuk memilih wakil dan dipilih sebagai wakil di lembaga perwakilan rakyat melalui Pemilihan Umum yang demokratis.
Hak memilih dan hak dipilih merupakan hak yang dilindungi dan diakui keberadaannya dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Oleh karena itu setiap warga negara yang akan menggunakan hak tersebut dalam setiap Pemilihan Umum harus
4
terbebas dari segala bentuk intervensi, intimidasi, diskrimininasi dan segala bentuk tindak kekerasan yang dapat menimbulkan rasa takut untuk menyalurkan haknya dalam memilih dan dipilih dalam setiap proses Pemilihan Umum. Adapun ketentuan yang mengatur adalah Pasal 28C ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan ayat (5) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (1) yang menjadi dasar hukum bagi setiap warga negara Indonesia untuk memiliki kebebasan untuk ikut serta menentukan wakil-wakil mereka, baik untuk duduk dalam lembaga legislatif maupun dijadikan sebagai pimpinan lembaga eksekutif yang dilakukan melalui Pemilihan Umum.
Sejalan dengan uraian tersebut dapat dimaknai bahwa hak dipilih sebagai bagian dari hak pilih (hak pilih pasif) merupakan hak asasi manusia yang dapat diimplementasikan dalam Pemilihan Umum yang demokratis. Oleh karena itu setiap warga negara dalam menyalurkan dan menggunakan hak tersebut harus bebas dari intervensi, intimidasi, dan diskriminasi serta bebas dari segala bentuk tindak kekerasan yang dapat menghambat dan bahkan meniadakan hak tersebut. 2.2 Sejarah Munculnya Hak Dipilih Upaya penelusuran sejarah munculnya hak dipilih tidak dapat dilepaskan dari hak memilih. Bahkan hak dipilih dan hak memilih sebagai embrio dari hak pilih tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan demokrasi yang bermula di
5
Yunani. Istilah demokrasi yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau government by the people (kata Yunani: demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/ berkuasa).4 Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (city state) Yunani Kuno (Abad VI sampai Abad III SM)5 merupakan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas (negara terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit. Ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi yang hanya merupakan bagian kecil saja 4
Miriam Budiardo, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, Cet. IX, Hlm. 105; Lihat juga dalam C.F. Strong, 2004, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia (Penerjemah: Derta Sri Widowatie, dkk dari Modern Political Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, The English Book Society and Sidgwich & Jakson Limited London, 1966), Bandung, Nusamedia, Hlm. 240 menguraikan bahwa demokrasi diartikan sebagai “bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dalam mengambil keputusan untuk suatu negara ditetapkan secara sah, bukan menurut golongan atau beberapa golongan, tetapi menurut anggotaanggota dari suatu komunitas sebagai keseluruhan”. Hal ini penting ditegaskan pada awal pembahasan tentang persoalan pemilihan, sebab terkadang demokrasi digunakan untuk menunjuk kekuasaan “rakyat” sebagai lawan dari “golongan”. Sebenarnya, kata demos dalam bahasa Yunani menggambarkan jumlah yang banyak, yang berbeda artinya dengan jumlah yang sedikit. Kata demos sendiri cenderung menunjukkan rakyat sebagai keseluruhan. 5
Menurut MacIver di Yunani sebetulnya tidak dikenal kata yang searti dengan istilah modern “negara”. Hanya “kota” polis yang dikenal dan mudah akan salah mengintrepretasikan apa yang dimaksudkan jika menerjemahkannya sebagai negara. Pada “masyarakat kota” bukan kepada “negara kota”. Lihat dalam MacIver, 1984, Negara Modern (Penerjemah Moertono dari Mac Iver, The Modern State, New York, Oxford University Press), Jakarta, Aksara Baru, Hlm. 83; Bdk. Robert A. Dahl, 2001, Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat (Penerjemah: A. Rahman Zainuddin dari Robert A. Dahl, 1999, On Democracy, Yale University Press), Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, Hlm. 15-16
6
dari penduduk. Untuk mayoritas yang terdiri atas budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak berlaku.6 Dalam perkembangan selanjutnya dimana gagasan demokrasi Yunani dapat dikatakan hilang dari muka dunia Barat waktu bangsa Romawi yang sedikit banyak masih kenal kebudayaan Yunani dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan benua Eropa memasuki Abad Pertengahan (600-1400). Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal (hubungan antara vassal dan lord) yang kehidupan sosial dan spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabatpejabat agama lainnya. Dilihat dari sudut perkembangan demokrasi Abad Pertengahan menghasilkan dokumen yang penting, yaitu Magna Charta (Piagam Besar, 1215). Magna Charta merupakan semi kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja John dari Inggris dimana untuk pertama kali seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dan priveleges dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya.7 Selanjutnya pada permulaan Abad XVI di Eropa Barat muncul negara-negara nasional (national state) dalam bentuk yang modern. Eropa Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural yang menyiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern dimana akal dapat memerdekakan diri dari pembatasanpembatasannya. Dua kejadian ini ialah Renaissance (1350-1600) yang terutama 6
Ibid., Hlm. 109.
7
Ibid.
7
berpengaruh di Eropa Selatan seperti Italia dan Reformasi (1500-1650) yang banyak mendapat pengikutnya di Eropa Utara seperti di Jerman dan Swiss.8 Renaissance dan Reformasi merupakan dua aliran pemikiran yang sangat berpengaruh dan mempengaruhi perkembangan pemikiran dunia selanjutnya, khususnya di Eropa Barat. Bahkan dikatakan bahwa kedua aliran pemikiran tersebut menyiapkan orang Eropa Barat untuk dalam masa 1650-1800 mengalami masa Aufklarung (Abad Pemikiran atau Abad Pencerahan) beserta Rasionalisme, suatu aliran pikiran yang ingin memerdekakan pikiran manusia dari batas-batas yang dtentukan oleh Gereja dan mendasarkan pemikiran atas akal (ratio) semata-mata. Kebebasan berpikir membuka jalan untuk meluaskan gagasan ini di bidang politik. Timbullah gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh raja dan mengakibatkan dilontarkannya kecaman-kecaman terhadap raja yang menurut pola yang
sudah lazim pada masa itu mempunyai kekuasaan tak
terbatas.9 Namun, dalam perkembangan selanjutnya kekuasaan raja yang absolut tersebut telah mulai ada pembatasan-pembatasan. Hal ini didasarkan atas suatu teori rasionalistis yang umumnya dikenal sebagai kontrak sosial (social contract). Salah satu asas dari gagasan kontrak sosial ialah bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam (nature) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang 8
Ibid., Hlm. 109-10.
9
Ibid., Hlm. 110.
8
universal; artinya berlaku untuk semua waktu serta semua manusia, apakah ia raja, bangsawan, atau rakyat jelata. Hukum ini dinamakan hukum alam (natural law, ius naturale). Unsur universalisme inilah yang diterapkan pada masalah-masalah politik.10 Pada hakikatnya teori-teori kontral sosial merupakan usaha untuk mendobrak dasar pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat. Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan ini antara lain John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-1755). Menurut John Locke bahwa hak-hak politik mencakup hak atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas milik (life, liberty and property). Sedangkan Montesquieu mencoba menyusun suatu sistem yang dapat menjamin hak-hak politik yang kemudian dikenal dengan istilah Trias Politika. Ide-ide bahwa manusia mempunyai hak-hak politik menimbulkan Revolusi Prancis pada akhir Abad XVIII serta Revolusi Amerika melawan Inggris. Selanjutnya sebagai akibat dari pergolakan tersebut, maka pada akhir Abad XIX gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan individu, kesamaan hak (equal rights), serta hak pilih untuk semua warga negara (universal suffrage).11
10
Ibid., Hlm. 111.
11
Ibid., Hlm. 111-12.
9
Demokrasi yang telah berkembang ditandai bangkitnya kemerdekaan individu, adanya kesamaan hak dan hak pilih yang berlaku bagi semua warga menjadi trend akhir Abad XIX. Sebagai akibat dari keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik secara efektif timbullah gagasan bahwa cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaan pemerintahan ialah dengan suatu konstitusi. Konstitusi menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum.
Gagasan ini dinamakan
konstitusionalisme (constitutionalism), sedangkan negara yang menganut gagasan ini dinamakan Constitutional State atau Rechtsstaat.12 Menurut Miriam Budiardjo, gagasan konstitusionalisme dimana undangundang dasar dipandang sebagai suatu lembaga yang mempunyai fungsi khusus, yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintah di satu pihak dan di pihak lain menjamin hak-hak asasi warga negaranya. Undang-undang dasar dianggap sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil: Pemerintahan berdasarkan hukum, bukan oleh manusia (Government by laws, not by men).13
12
Ibid., Hlm. 112; Bdk. Khusus terkait pembahasan Rechtsstaat dan Rule of Law diuraikan dalam Subbab 1.7.1 13
Ibid., Hlm. 112-13. Menurut Sutandyo Wignjosoebroto ide konstitusionalisme bertumbuh kembang di bumi aslinya Eropa Barat dapat dipulangkan kedua esensinya. Esensi pertama ialah konsep negara hukum (atau di negeri-negeri yang terpengaruh oleh sistem hukum Anglo Saxon disebut rule of law) yang menyatakan bahwa kewibawaan hukum secara universal mengatasi kekuasaan negara, dan sehubungan dengan itu hukum akan mengontrol politik (dan tidak sebaliknya). Esensi kedua ialah konsep hak-hak sipil warga negara yang mengatakan bahwa
10
Dalam
perkembangan
selanjutnya
muncul
gagasan
perlunya
untuk
merumuskan secara yuridis pembatasan kekuasaan pemerintah. Pembatasanpembatasan dimaksud oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental, seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Freidrich Julius Stahl (1802-1861) menyebut dengan istilah Rechtsstaat. sedangkan ahli hukum Anglo Saxon seperti Albert Venn Dicey (1835-1922) menyebut dengan istilah Rule of Law. Pembatasan tersebut intinya bertumpu pada
supremasi hukum (supremation of the law),
adanya kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law), tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan, dan terjaminnya hak asasi manusia. Gagasangagasan tersebut sekaligus menjadi prinsip-prinsip negara hukum (Rechtsstaat) dan Rule of Law dalam arti negara hukum klasik. Sejalan dengan perkembangan demokrasi, politik dan hak asasi manusia di negara-negara Eropa Barat, Amerika, negara-negara Asia dan negara-negara di belahan dunia lainnya, meletusnya Perang Dunia I (1914-1920) dan disusul Perang Dunia II (l939-l945) memicu dan mengetuk perhatian dan kepedulian masyarakat dunia terhadap dampak buruk langsung dari Perang Dunia tersebut. Penghormatan, penyelamatan dan perlindungan terhadap kebebasan, kesetaraan, dan keadilan sebagai nilai-nilai hak asasi manusia semakin mengedepan dan menjadi fokus perhatian masyarakat dunia. Dalam kondisi seperti itu di penghujung Perang kebebasan warga negara dijamin oleh konstitusi dan kekuasaan negara pun akan dibatasi oleh konstitusi, dan kekuasaan itu pun hanya mungkin memperoleh legitimasinya dari konstitusi saja. Lihat dalam Sutandyo Wignjosoebroto, 2002, Op.Cit., Hlm. 405.
11
Dunia tersebut, Negara Republik Indonesia sebagai negara yang lama mengalami penindasan dari penjajahan kolonialisme memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Segala bentuk penindasan, keterkungkungan, ketidakbebasan, perlakuan tidak adil dan diskriminatif sekaligus harapan untuk mewujudkan cita hukum dan tujuan pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tercermin nilai-nilai kemanusiaan, kesetaran, keadilan, kebebasan dan kesejahteraan yang tidak lain adalah nilai-nilai hak asasi manusia.14 Nilai-nilai tersebut sekaligus merupakan nilai-nilai yang menjadi landasan filosofis bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Meski tidak implementatif, nilai-nilai tersebut menjadi muatan materi yang terkandung dalam pasal-pasal Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama Pasal 27 sampai dengan Pasal 34. Pada bagian lain masyarakat dunia melalui Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (MU PBB) telah memproklamasikan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia terdiri atas 30 pasal memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Dengan demikian, di dalamnya tidak saja mencakup hak sipil dan hak politik (Hak Sipol) melainkan juga hak ekonomi, sosial, dan budaya (Hak Ekosob).
14
Bahwa hak-hak yang
Hesti Arwiwulan Sochmawardiah, 2013, Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM: Studi tentang Diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa, Jakarta, Genta Publishing, Hlm. 235.
12
tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia ini merupakan bentuk pengakuan terhadap hak asasi manusia secara tertulis yang keberadaannya diakui oleh hampir seluruh negara di dunia. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia ini merupakan instrumen hukum internasional yang memuat pokokpokok tentang hak asasi manusia dan kebebasan dasar, seperti: mengakui adanya persamaan hak-hak atas seluruh individu dimana seluruh individu tersebut berhak atas kemerdekaan, kesetaraan,
keadilan,
kebebasan, keselamatan, dan
kesejahteraan dirinya. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia ini dimaksudkan juga sebagai acuan umum hasil pencapaian dari sebuah kesepakatan untuk semua rakyat dan bangsa untuk terjaminnya pemenuhan, pengakuan, penghormatan, penegakan dan perlindungan hak-hak manusia secara universal dan efektif. Dalam konteks hak pilih dan hak dipilih sebagai hak politik, dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia secara tegas diuraikan dalam Pasal 2115 sebagai berikut: Ayat (1): Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas. Ayat (2): Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya. Ayat (3): Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang 15
Ian Brownlie (Penyunting.), 1993, Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manasia (Penerjemah: Beriansah), Jakarta, Universitas Indonesia (UI Press), Hlm. 31-32.
13
bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.
Ketentuan Pasal 21 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dapat dimaknai bahwa setiap orang mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam pemerintahan (jabatan-jabatan pemerintahan) dan hal ini dilakukan melalui suatu pemilihan umum yang demokratis berlangsung secara umum, langsung, bebas dan rahasia. Kedudukan dalam pemerintahan yang diperoleh melalui suatu pemilihan umum sifatya tidak diskriminatif. Setiap orang (warga negara) mempunyai hak dan kesempatan yang sama. Keberadaan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tersebut sangat berpengaruh dan telah menjadi penyemangat bagi faunding fathers bangsa ini. Sebelumnya Indonesia memberlakukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (mulai berlaku dari tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949), namun selanjutnya
terutama dalam penyusunan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang berlaku menggantikan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (berlaku dari 27 Desember 1949 sampai dengan. 15 Agustus 1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (berlaku dari tanggal 15 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959)16 16
Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, pengaturan tentang hak asasi manusia terdapat dalam Bagian V yang berjudul: “Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia.” Pada bagian tersebut terdapat 27 pasal, dari Pasal 7 Ssampai dengan Pasal 33. Pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang isinya hampir keseluruhannya serupa dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Di dalam UndangUndang Dasar Sementara Tahun 1950, pasal-pasal tersebut juga terdapat dalam Bagian V yang
14
dipengaruhi oleh suasana kebatinan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi manusia. Ketentuan Pasal 21 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia seolah-olah telah begitu saja “diadopsi” menjadi materi pasal-pasal dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.17 Adapun pasal-pasal yang dimaksud dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat adalah Pasal 22 dan Pasal 34. Pasal 22 menentukan: Ayat (1): Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang. Ayat (2):Setiap warga negara dapat diangkat dalam tiap-tiap jabatan pemerintahan. .... Sedangkan Pasal 34 menentukan: Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan dilakukan menurut hak pilih yang sedapat mungkim bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pengungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang menjamin kebebasan mengeluarkan suarat. . Dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, pasal-pasal dimaksud adalah Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 35. Adapun Pasal 23 dapat disebut sebagai berikut: berjudul “Hak-Hak dan Kebebasan Dasar Manausia”. Bagian ini terdiri dari 28 pasal, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 34 dalam Satya Arinanto, 2011, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hlm. 10. 17
Dalam hal ini, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa “jaminan terhadap hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 sesungguhnya merupakan copy paste dari Konstitusi Republik Indonesia Serikat” dalam Majda El-Muhtaj, 2012, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta, Kencana Prenada Media Group, Cet. IV, Hlm. vii.
15
Ayat (1):
Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas menurut cara yang ditentukan oleh undangundang.
Ayat (2): Setiap warga negara dapat diangkat dalam tiap-tiap jabatan Pemerintahan. Sedangkan Pasal 35 bunyinya sebagai berikut: Kemauan Rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.
Dengan mencermati pasal-pasal hak politik (hak pilih dan hak dipilih), baik dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat maupun Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 menunjukkan bahwa suasana eforia terhadap nilai kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan yang menjadi nilai dasar kemanusiaan sekaligus sebagai hak asasi manusia yang baru diraih oleh bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh nilai hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi manusia. Namun demikian, suasana tersebut tidak berlangsung lama. Melalui Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959 dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1959), maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan berlaku lagi dan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 dinyatakan tidak
16
berlaku.18 Dengan kembalinya Indonesia ke Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka sebagai konsekuensi logis ketentuan hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi berlaku lagi. Delapan belas tahun setelah dicetuskan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM), Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP) pada tanggal 16 Desember 1966.19 Pada prinsipnya substansi dari Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik adalah memberikan jaminan perlindungan dan kebebasan terhadap hak sipil (civil liberties) dan hak politik yang esensial atau mengandung hak-hak demokratis bagi semua orang. Kovenan ini menegaskan mengenai jaminan terhadap hak-hak dan kebebasan individu yang harus dihormati oleh semua negara.20 Kovenan yang terdiri atas 53 (lima puluh tiga) pasal ini memang fokus terkait dengan hak-hak sipil dan hak-hak politik, termasuk kewajiban negara untuk memberikan jaminan, perlindungan, dan pemenuhan terhadap hak-hak tersebut. Di antara 53 (lima puluh tiga) pasal tersebut, ketentuan hak pilih dan hak dipilih diatur dalam Pasal 25 18
Subandi Al Marsudi, 2003, Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma Reformasi (Edisi Revisi), Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, Cet. III, Hlm. 110 Lihat juga Hesti Arwiwulan Sochmawardiah., 2013, Ibid., Hlm. 189. 19
Indonesia telah meratifikasi International Covenant Civil and Political Rights (ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) pada tanggal 28 Oktober 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119). 20
Ibid., Hlm. 190.
17
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan sekaligus sebagai penegasan terhadap hak-hak sipil dan hak-hak politik (hak pilih dan hak dipilih) sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Adapun ketentuan Pasal 25 bunyinya sebagai berikut: Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan, tanpa perbedaan apa pun seperti yang tersebut dalam Pasal 2, dan tanpa pembatasan yang tidak wajar: (a) Ikut serta dalam menjalankan segala urusan umum, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas; (b) Memberikan suara dalam pemilihan dan dipilih pada pemilihan berkala dan dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan melalui pemungutan suara secara rahasia, yang menjamin adanya pernyataan bebas dari kehendak para pemilih; (c) Mendapatkan pelayanan umum, atas dasar persyaratan dan persamaan umumnya di negerinya. Ketentuan Pasal 25 Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik tersebut dapat dimaknai bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan tanpa ada perbedaan dalam menjalankan hak-hak politik dalam hal ini hak pilih dan dipilih. Ketentuan tersebut juga menegaskan larangan terhadap berbagai bentuk diskriminasi dalam menggunakan hak pilih dan hak dipilih. Dalam perkembangan berikutnya bahwa keberadaan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tetang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan dalam Sidang Istimewa MPR pada tanggal 13 November 1998 menunjukkan tekad bangsa dan negara Indonesia terhadap perhormatan, penegakan, pemenuhan, pemajuan, dan
18
perlindungan
terhadap
hak
asasi
manusia.
Dalam
TAP
MPR
Nomor
XVII/MPR/1998 tersebut, paling tidak ada dua hal yang ditegaskan. Pertama, kepada Lembaga-Lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Kedua, kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak asasi manusia. Tidak berselang lama setelah TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut, pada tanggal 23 November 1999 terbit Undang-Undang Nomor 39 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165). Undang-undang yang bersifat lex specialis tentang hak asasi manusia ini diakui bahwa pengaturannya ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak, dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang hak asasi manusia. Dengan demikian, nampaklah bahwa materi maupun muatan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut tidak saja merupakan cerminan dari pasal-pasal pokok TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 melainkan juga pasalpasal pokok dari Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
19
Khusus terkait
pasal-pasal pokok dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia dan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dimaksud tercermin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, terutama pada “Bagian Kedelapan” terkait “Hak Turut Serta dalam Pemerintahan” Pasal 43 menyebutkan: Ayat (1): Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. Ayat (2): Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalan peraturan perundangundangan. Ayat (3): Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Pengakuan hak asasi manusia oleh negara dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah Perubahan sangat kuat. Materi muatan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan semula hanya berisi 7 (tujuh) butir ketentuan (pasal), Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang juga tidak sepenuhnya dapat disebut sebagai jaminan hak asasi manusia. Terkait dengan keberadaan pasal-pasal tersebut, dalam hal ini pernyataan tegas disampaikan Moh. Mahfud MD bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak memuat secara ketat materi-materi yang secara substansial harus ada pada setiap
20
konstitusi yakni perlindungan hak asasi manusia21, namun sekarang telah bertambah secara signifikan, sehingga perumusannya menjadi sangat lengkap dan menjadikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan salah satu undang-undang dasar yang paling lengkap memuat perlindungan hak asasi manusia.22 Sebagai constitutional rights, di samping sarat dengan pengaturan hak asasi manusia beserta jaminannya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga melahirkan lembaga-lembaga baru, yaitu: Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah, Pemerintah Daerah, dan Komisi Pemilihan Umum sebagai amanat UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Ketiga. Bahwa pengaturan tentang hak asasi manusia diatur dalam Pasal 27 dan secara khusus diatur dalam Bab XA “Hak Asasi Manusia”, dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di samping memberi kedudukan yang sama kepada setiap warga, baik dalam kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta kesempatan yang sama dalam pemerintahan juga perintah larangan terhadap
perlakuan diskriminatif.
Hak-hak konstitusional (constitutional rights) tersebut sebagaimana dinyatakan bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
21
Moh. Mahfud MD, 2000, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Yogyakata, Rineka Cipta, Cet. II, Hlm. 141. 22
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jilid II), Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusin Republik Indonesia, Hlm.104-105 Lihat juga dalam Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta, PT Bhuana Ilmu Populer, Hlm. 433.
21
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” (Pasal 27 ayat (1), dan “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan“ (Pasal 28D ayat (3), maka oleh karena itu
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” (Pasal 28D ayat (1), dan selanjutnya bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu” (Pasal 28I ayat (2). Jaminan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia tersebut sepenuhnya menjadi kewajiban dan tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Jaminan tersebut diamanatkan dalam Pasal 28I ayat (4) yang menyatakan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Selanjutnya “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsisp-prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan” (Pasal 28I ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Sebagaimana diuraikan di atas, keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara untuk melaksanakan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam hal ini, anggota Dewan Perwakilan
22
Rakyat23, anggota Dewan Perwakilan Daerah24, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih secara langsung olah rakyat.25 Bahkan Presiden dan Wakil Presiden pun dalam satu pasangan dipilih
secara langsung oleh rakyat, 26 di
samping Gubernur, Bupati dan Walikota.27 Dengan mekanisme pemilihan langsung tersebut, tidak lain merupakan pencerminan konkret dari kedaulatan rakyat yang tidak saja diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melainkan juga berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang23
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua menentukan: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. 24
Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesian Tahun 1945 Perubahan Ketiga menetukan: Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. 25
Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Ketiga menentukan: Pemilihan umum diselengarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 26
Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Ketiga menentukan: Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangn secara langsung oleh rakyat. 27
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi Tahun 1945 Perubahan Kedua ditentukan: Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) tidak dimasukkan ke dalam ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam kerangka kedaulatan rakyat, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, selanjutnya diubah menjadi UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125), dalam Pasal 56 ayat (1) telah memuat regulasi bersejarah pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59).
23
Undang Dasar.” Dengan ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa pemilik kedaulatan Negara Republik Indonesia adalah rakyat. Dalam mewujudkan kedaulatan rakyat tersebut dapat dilakukan melalui sistem demokrasi, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu menggunakan hak pilih dan hak dipilih merupakan pencerminan dari kedaulatan rakyat dan sekaligus sebagai bagian dari hak asasi manusia.
2.3 Perkembangan Hak Dipilih Sebagaimana diuraikan di atas bahwa hak dipilih merupakan hak pilih pasif. Dengan demikian, menurut Hans Kelsen hak pilih adalah hak individu untuk turut serta dalam prosedur pemilihan dengan jalan memberikan suaranya.28 Hak memberikan suara merupakan hak politik dan sekaligus merupakan implemenatasi dari demokrasi. Oleh karena itu, lanjut Hans Kelsen bahwa hakekat demokrasi, hak pilih harus universal. Sekecil mungkin individu yang dikecualikan dari hak pilih, dan usia minimum memperoleh hak suara harus serendah mungkin. Mengecualikan wanita atau individu-individu yang termasuk ke dalam suatu profesi tertentu seperti misalnya tentara atau pendeta akan tidak sesuai dengan ide
28
Hans Kelsen, 2013, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara (Penerjemah: Raisul Muttaqien dari Hans Kelsen, 1971, General Theory of Law and State, New York, Russel and Russel), Bandung, Cet. VIII, Hlm. 414.
24
demokrasi tentang hak suara universal. Demokrasi menghendaki agak hak pilih tidak hanya seuniveral mungkin tetapi juga seadil mungkin.29 Hak pilih atau hak dipilih dalam konteks hakekat demokrasi sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen tersebut tidak saja harus seuniversal mungkin melainkan juga harus seadil mungkin. Namun, apakah demikian keadaannya, pada bagian berikut diuraikan perkembangan hak pilih atau hak dipilih sejalan dengan perkembangan demokrasi. Perkembangan hak pilih dan hak dipilih sebagai perwujudan demokrasi telah berlangsung pada zaman Yunani Kuno. Pada masa itu rakyat Yunani Kuno ikut melaksanakan hak-hak politiknya dalam melaksanakan pemerintahan, yaitu melalui mekanisme pemilihan secara langsung untuk memilih pemimpin, apa yang menjadi keinginan dan apa yang menjadi kebutuhannya. Pemilihan secara langsung (direct democracy) tersebut dimungkinkan karena jumlah penduduk Yunani Kuno tidak banyak (sekitar 300.000 orang) dan wilayahnya pun tidak luas (sekitar 2.000 Km2). Wilayah Yunani Kuno hanya merupakan negara kota (city state) atau lebih dikenal dengan istilah Polis. Sistem demokrsi Yunani Kuno, baik ketika yang berkuasa Solon (638-558 SM) maupun Cleisthenes (570-508 SM) pemilihan langsung untuk jabatan-jabatan negara hanya melibatkan kaum laki yang telah berusia 20 tahun. Kaum perempuan dan budak belian tidak berhak untuk ikut dalam pemilihan langsung tersebut.
29
Hans Kelsen, 2013, Ibid.
25
Namun demikian, sebagai sebuah sistem pemerintahan demokrasi yang berlaku di Yunani Kuno tersebut merupakan cikal bakal terhadap perkembangan demokrasi selanjutnya (demokrasi modern). Terhadap perkembangan tersebut, menurut Miriam Budiardjo bahwa dalam negara modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi merupakan demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy).30 Bahkan terlebih dahulu hal tersebut telah disampaikan oleh C.F. Strong bahwa kehendak ini dapat diekspresikan melalui pemilihan
yang
representatif. Perkembangan cara demokratis ini di zaman modern telah diatur dalam batasan-batasan negara bangsa yang menghendaki adanya sistem yang representatif. Dengan kata lain, kemajuan demokrasi politik terjadi dengan jalan memperluas hak pilih yang terus bertambah dan eksperimen dalam memanipulasi ukuran, bentuk dan distribusi jumlah pemilih dengan harapan memperoleh lembaga legislatif yang benar-benar mewakili pendapat para pemilih.31 Terkait perkembangan demokrasi yang berlangsung pada zaman Yunani Kuno dan bandingannya dengan demokrasi modern pada Abad Pertengahan, C.F. Strong menilai bahwa sejauh menyangkut Yunani Kuno, kekuatan itu timbul dari sebabsebab yang sangat berbeda dengan kekuatan yang ada pada zaman modern. Dalam hal ini, Abad Pertengahan dapat dikatakan menjadi satu periode panjang yang benar-benar mengalami kemunduran untuk kepentingan politik demokratis,
30
Miriam Budiardjo, 2013, Op.Cit., Hlm. 109.
31
C.F. Strong, 2004., Op.Cit.,Hlm. 241.
26
kecuali adanya beberapa usaha yang tidak jelas dengan adanya persamaan di beberapa kota Abad Pertengahan di Italia sampai masa Renaissance mengantarkan era modern. Dalam peninjauan ini, demokrasi tidak dikelirukan dengan semangat republik sebagaimana terjadi pada contoh masa-masa awal Konfederasi Swiss atau seperti kasus di Inggris pada Abad XIV dan Abad XV dengan masuknya suatu elemen dalam Commons untuk membantu sokongan dana terhadap raja karena fenomna seperti itu dapat dengan mudah berdampingan dengan rezim oligarkis, bahkan rezim otokratis.32 Dalam perkembangan selanjutnya, tuntutan hak-hak politik semakin menonjol sejalan dengan munculnya gagasan-gagasan religius. Contoh terbaik untuk hal ini adalah konflik dengan kerajaan di bawah pemerintahan wangsa Stuart di Inggris. Konflik ini merupakan perjuangan untuk memperoleh hak-hak religius yang mendorong berdirinya Koloni Inggris Baru. Perang Saudara pada rezim Raja Charles I merupakan perang agama yang disebabkan oleh prinsip politik. Teori abstrak memainkan peran penting dalam sejarah Abad XVIII. Kebenarannya dapat dibuktikan dengan membandingkan dekomen Revolusi Amerika dengan dokumen Revolusi Prancis. Ketika penulis the Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) dan the Declaration of the Right of Man (Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia) mengemukakan bahwa basis manusia terlahir bebas dan sederajat, mereka berdua mencoba meletakkan landasan bagi politik praktis dan tidak
32
C.F. Strong, 2004., Ibid., Hlm. 241-42.
27
semata-mata mengajukan tuntutan persamaan seluruh umat mansia dihadapan Tuhan, seperti yang terjadi pada pendeta-pendeta Kristen. Pengaruh teori persamaan ini sangat kuat terhadap hak pilih karena aplikasinya yang paling nyata terdapat pada usaha-usaha untuk mewujudkan gagasan “one man one vote” (satu orang satu suara).33 Sebagaimana diuraikan di atas, perkembangan hak pilih dan dipilih sebagai bagian dari demokrasi pada Abad XIX telah berkembang. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan berdasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan. Dalam hal ini, paham Liberalisme Barat mengasumsikan eksistensi “suatu badan yang terdiri dari warga negara yang secara teoretis sempurna di antara mereka yang tidak boleh mengalami perlakuan diskriminasi di tempat pemungutan suara”.34 Selanjutnya hak pilih dan hak dipilih yang sangat luas merupakan karakteristik bagi seluruh negara konstitusional. Negara-negara yang usianya lebih tua telah melakukan reformasi pemilihan dengan memberikan hak pilih hanya kepada kaum dewasa atau kaum pria dewasa, sedangkan negara-negara yang belum lama berdiri hampir selalu mencantumkan suatu pasal dalam konstitusi yang memberikan hak pilih universal tanpa memperdulikan jenis kelamin.35
33
C.F. Strong, 2004. Ibid., Hlm. 242.
34
C.F. Strong, 2004, Ibid.
35
C.F. Strong, 2004. Ibid., Hlm. 243.
28
Dengan kalimat lain, pencantuman hak pilih universal dalam konstitusinya merupakan jaminan terhadap hak politik. Dalam perkembangan selanjutnya, meletusnya Perang Dunia I (1914-1920) dan Perang Dunia II (1939-1945) menggugah kepedulian dan kesadaran masyarakat dunia terhadap pentingnya memberikan penghormatan, penyelamatan, dan perlindungan terhadap kebebasan, kesetaraan, dan keadilan sebagai nilai-nilai hak asasi manusia. Melalui proses yang sangat panjang, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memproklamasikan Deklarasi Universal HakHak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam kaitan dengan hak pilih dan hak dipilih sebagai hak politik diatur dalam Pasal 21 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Sedang dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant Civil and Political Rights) yang dideklarasikan pada tanggal 16 Desember 1966, hak pilih dan hak dipilih diatur dalam Pasal 25. Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, hak pilih dan hak dipilih diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 34. Sedang dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, hak pilih dan dipilih diatur dalam Pasal 23 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 23. Perkembangan politik di penghujung tahun 1998, yang sebelumnya ditandai dengan krisis moneter, akhirnya memunculkan gerakan Reformasi. Gerakan Reformasi dimana mahasiswa sebagai motor penggerak bersama rakyat telah mampu memaksa Presiden Soeharto untuk turun mengundurkan diri dari jabatan
29
sebagai presiden pada tanggal 20 Mei 1998. Dengan pengunduran diri Presiden Soeharto telah menandai berakhirnya Orde Baru dan muncul Orde Reformasi sebagai penggantinya. Pada awal Orde Reformasi tersebut telah terbit berbagai produk undang-undang yang lebih demokratis sesuai dengan nafas reformasi, baik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik, UndangUndang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Dalam konteks ini, penghormatan, pemenuhan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, terutama terkait dengan hak pilih dan hak dipilih dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 43 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Perkembangan yang sangat subtansial dari Orde Reformasi tersebut adalah ketika melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berlangsung dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 (Perubahan Pertama sampai dengan Perubahan Keempat). Konsekuensi yuridis adanya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka semua produk hukum rezim Orde Baru yang tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amandemen harus diganti. Dalam kaitan ini berlaku dalil bahwa manakala konfigurasi politik berubah, maka hukum-hukum pun ikut berubah dan diubah36.
36
Moh. Mahfud MD, 2011, Politik Hukum di Indonesia (Edisi Revisi), Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, Cet. IV, Hlm. 373-74.
30
Terkait tentang pengaturan tentang hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua diatur dalam Pasal 27, secara khusus diatur dalam Bab XA “Hak Asasi Manusia”, Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Meski dalam Konstitusi ini tidak secara eksplisit dicantumkan terkait “hak pilih” dan “hak dipilih”, namun terkait kedudukan dan kesempatan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan di samping larangan terhadap perlakuan diskriminatif merupakan jaminan, perlindungan, pengakuan dan pemenuhan terhadap hak-hak politik tersebut. Adapun pasal-pasal dimaksud adalah Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28I ayat (4), serta Pasal 28I ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua. Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga ditentukan bahwa
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan
Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Bahkan, Presiden dan Wakil Presiden dalam satu pasangan dipilih secara langsung oleh rakyat, termasuk Gubernur, Bupati dan Walikota37.
37
Justifikasi pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah dinyatakan oleh Samsul Wahidin meliputi: 1) Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena Presiden dan Wakil Presden, DPR, DPRD bahkan Kepala Desa selama ini telah dilakukan langsung, 2) Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis, 3) Pilkada langsung dipandang sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civics education), 4) Pilkada langsung dipandang sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah, dan 5) Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasonal. Lihat dalam Samsul Wahidin, 2008,
31
Perkembangan
selanjutnya
terkait
dengan
hak
dipilih
adalah
diakomodasikannya pasangan calon perseorangan yang dikenal dengan calon independen dalam rezim Pemilihan Umum Kepada Daerah (Pemilukada). Terkait dengan hal tersebut, sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125), Pasal 56 ayat (1) ditentukan: Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sedang pada ayat (2) ditentukan: Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada intinya memberikan jaminan pemenuhan terhadap hak-hak politik setiap warga negara. Terhadap hal tersebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2/2007 tanggal 23 Juli 2007 mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap Pasal 56. Menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengajukan pasangan Calon Kepala Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adanya ketentuan tersebut telah menututp hak
Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hlm. 139-40.
32
konstitusional warga negara untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah. Dengan demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2/2007 membuka ruang bagi calon perseorangan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah tanpa harus melalui jalur partai politik. Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
5/PUU-V/2/2007
tersebut
ditindaklanjuti dan menjadi materi muatan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59). Selanjutnya ketentuan Pasal 56 ayat (1) berbunyi: Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sedang ayat (2) berbunyi: Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam undang-undang ini. Dengan uraian tersebut nampak bahwa calon perseorangan yang mempunyai hak dipilih telah diakomodasi dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Dalam perkembangan selanjutnya, calon perseorangan yang mempunyai hak dipilih diakomodasi dalam Pasal 39 huruf b, Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23)
33
dan selanjutnya diubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57). Dengan kalimat lain, keberadaan hak dipilih sebagai hak politik telah diakomodasi dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 yang selanjutnya diubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.
2.4 Kaitan Hak Dipilih dengan Hak Asasi Manusia Kaitan hak dipilih dengan hak asasi manusia bagaikan “dua sisi mata uang”. Penggunaan hak pilih, termasuk hak dipilih (hak pilih pasif) merupakan suatu hak dan sekaligus bagian dari hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia manusia. Hak ini dimilikinya bukan karena diberikan oleh masyarakat atau melainkan berdasarkan martabatnya
berdasarkan hukum positif,
sebagai manusia.38 Meskipun manusia
terlahir dalam kondisi dan keadaan yang berbeda-beda, termasuk berbeda jenis
38
Rhona K.M. Smith, dkk, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII, Hlm. 11.
34
kelamin, ras, agama, suku, budaya dan keanekaragaman lainnya, namun manusia tetap memiliki hak-hak tersebut dimana hak tersebut bersifat universal.39
Sifat keuniversalan hak asasi manusia tidak lain karena hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang melekat dan inheren dalam dirinya sehingga wajib dihormati, dipenuhi, dijunjung tinggi, dilindungi, dan dijamin oleh negara, hukum dan pemerintah. Untuk itu dalam sistem hukum nasional Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, nilai-nilai hak asasi manusia yang sejatinya adalah nilai-nilai kemanusiaan sebagai tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meski tidak aplikatif, dan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan. Di samping itu materi-materi hak asasi manusia dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan hak asasi manusia di dunia, termasuk yang telah menjadi instrumen-instrumen internasional mengenai hak asasi manusia.
39
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ditemukan dua pengertian hak asasi manusia meski memiliki substansi yang sama. Pertama, hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun (bagian Menimbang pada huruf b). Kedua, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Mahan Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1).
35
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terkandung sarat dengan nilai-nilai hak asasi manusia, baik pada alenia pertama sampai alenia keempat. Dalam alenia keempat dinyatakan bahwa: “Kemudian dari pada itu....maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu undangundang Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...” Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia didasarkan atas kedaulatan rakyat (demokrasi). Oleh karena itu bentuk Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat merupakan bentuk pemerintahan dimana pemerintah dipilih oleh rakyat. Bentuk ini sejalan dengan makna kedaulatan rakyat dimana kekuasaan tertinggi dalam negara dipegang oleh rakyat (negara yang menganut paham demokrasi).
Rakyat
yang
memiliki
kekuasaan
untuk
menyelenggarakan
pemerintahan, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan rakyat.
Amanat kedaulatan rakyat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut dielabosi sebagaimana tercermin dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Ketiga dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (1), dan Pasal 22E. Ketentuan konstitusional tersebut pada hakekatnya merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat yang dilaksanakan melalui pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil untuk
36
memilih wakil-wakil rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), Presiden dan Wakil Presiden serta Gubernur, Bupati dan Walikota. Hak-hak konstitusional warga negara tersebut seperti hak pilih dan hak dipilih sebagai hak politik dikonkretisasi oleh lembaga pemilihan umum (Komisi Pemilihan Umum). Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga secara konstitusional baru lahir dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Ketiga) bersifat nasional, mandiri dan tetap eksistensinya telah diakui oleh negara-negara yang menganut paham kedaulatan rakyat (paham demokrasi). Oleh karena itu pemilihan umum merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara dan sekaligus sebagai ciri dari negara hukum demokratis.40 Dengan eksistensinya yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan negara hukum demokratis, maka dapat dimaknai apabila International Commission of Jurist (1965) memberikan rumusan mengenai sistem politik yang demokratis sebagai suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusankeputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang
40
International Commission of Jurist dalam konferensi tahun 1965 di Bangkok telah merumuskan syarat-syarat pemerintahan yang demokratis di bawah Rule od Law ialah: 1) Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak individu harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; 2) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial trubunal); 3) Pemilihan umum yang bebas; 4) Kebebasan untuk menyatakan pendapat; 5) Kebebasan untuk berserikat/ berorganiasi dan beroposisi; 6) Pendidikan kewarganegaraan (civic education) dalam Miriam Budiardjo, Op.Cit., Hlm. 116.
37
dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.41
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa tonggak-tonggak sejarah hak dipilih tidak dapat dilepaskan dan sekaligus merupakan bagian dari perkembangan hak asasi manusia, demokrasi, negara hukum, baik dalam istilah Rechtsstaat maupun Rule of Law dalam pengertian klasik dan modern. Keberadaan hak dipilih sebagai bagian dari hak asasi manusia dengan tegas diuraikan tidak saja dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia melainkan juga dalam berbagai instrumen internasional tentang hak asasi manusia. Keberadaan hak dipilih sebagai constitutional rights dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28E ayat (3). Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 23 ayat (1) yang menetukan bahwa “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Lebih lanjut diuraikan dalam Pasal 43 ayat (1) yang menentukan bahwa “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkam persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
41
Miriam Budiardjo. Op.Cit. Hlm. 116-17.
38
Pengaturan hak dipilih dalam Deklarasi Universal hak Asasi Manusia diatur dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2). Sedangkan dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2). Kedua instrumen internasional hak asasi manusia tersebut, secara substansial menegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak sama tanpa ada perbedaan untuk duduk dalam pemerintahan dan memiliki hak politik yang sama untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, adil dan jujur. Segala bentuk pembatasan, penyimpangan, peniadaan, penghapusan dan tindakan diskriminatif terhadap hakhak tersebut sehingga tidak dapat dipenuhi hal tersebut merupakan pelanggaran.
Dari seluruh uraian tentang hak dipilih di atas menunjukkan dengan jelas bahwa hak dipilih sebagai bagian dari hak asasi manusia merupakan constitusional rights dimana jaminan, pemenuhan, penegakan dan perlindungan terhadap hak tersebut merupakan tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Berbagai bentuk pembatasan, penyimpangan, peniadaan, penghapusan, dan tindakan diskriminatif yang membuat tidak terpenuhinya hak-hak tersebut dapat dinyatakan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
39
BAB III KONSEP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK DIPILIH
3.1 Perlindungan Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Sistem ketatanegaraan dijadikan sebagai dasar elaborasi, sebab hal ini berkaitan dengan hak dipilih, yang berada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.42 Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, perlindungan hukum hak dipilih, baik dalam konsepsi negara hukum maupun konsepsi kedaukatan rakyat yang nota bene merupakan bagian dari hak asasi manusia tercermin sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sarat dengan nilai-nilai hak asasi manusia, baik pada alenia pertama sampai alenia keempat. Berkaitan tentang tujuan Negara Republik Indonesia tercermin dalam alenia keempat sebagaimana dinyatakan: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan..., maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu Undang-Undang Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat....” Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia didasarkan atas kedaulatan rakyat 42
Abdul Mukthie Fadjar, 2006, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta, Konstitusi Pres-Citra Media, Hlm. 47-48.
Jakarta-
40
(demokrasi). Oleh karena itu bentuk Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat merupakan bentuk pemerintahan dimana pemerintah dipilih oleh rakyat. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, perlindungan hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia dapat juga ditelusuri dari Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (alenia keempat: “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia….”) berikut pasalpasal dari Batang Tubuhnya. Oleh karena itu perlindungan hukum sebagai bagian dari hak aasasi manusia nampak dari prinsip kedaulatan rakyat di Indonesia yang berarti demokrasi kerakyatan secara tegas termaktub dalam Pancasila Sila IV: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Dengan demikian, demokrasi kerakyatan adalah konsep yang mempunyai kaitan erat dengan hak asasi manusia karena salah satu prinsip dari demokrasi kerakyatan adalah jaminan perlindungan hak asasi manusia.43 Secara substansial alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung makna bahwa Negara Republik Indonesia dibentuk dengan tujuan melindungi hak asasi manusia warga negaranya (“segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”). Konsep negara seperti ini diusung oleh John Locke dalam bukunya Two Treatises of Civil Government. Locke menyatakan bahwa: “in great and chief end therefore, of men’s uniting into commonwealths, and putting themselves under government, is the preservation of 43
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, 2013, Op.Cit., Hlm. 233.
41
their property”. Sedangkan yang dimaksud property ini mengacu pada uraian Locke sebelumnya, yakni: “live, liberties and estates, which I call by the general name, property.44 Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberadaan suatu negara tidak lain adalah untuk memberi jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, terutama terkait tentang kehidupannya, kebebasannya, dan hak miliknya. Sejalan dengan hal tersebut, tanggung jawab negara berkaitan dengan hak asasi manusia adalah menghormati, melindungi dan memenuhi (to respect, to protect, to fulfill). Tanggung jawab untuk menghormati hak asasi manusia adalah tangung jawab negara untuk tidak bertindak atau mengambil kebijakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Tanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia merupakan tanggung jawab untuk mencegah, menghentikan dan menghukum setiap terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Sedangkan tanggung jawab untuk memenuhi hak asasi manusia adalah kewajiban negara untuk melaksanakan, memberikan, menjamin pelaksanaan setiap hak-hak asasi melalui tindakan dan kebijakan-kebijakannya.45 Sebelum mengelaborasi tanggung jawab negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak asasi manusia sebagaimana terkandung dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amandemen, terutama terkait tentang
44
Rocky Gerung (Ed.), 2006, Hak Asasi Manusia Teori, Hukum, Kasus, Jakarta, Filsafat UI Press, Hlm. 194. 45
Ibid., Hlm. 196-97.
42
perlindungan hukum, maka pada bagian berikut terlebih dahulu akan dicari terminologi atau batasan dan pengertian tentang perlindungan dan perlindungan hukum sehingga ada persepsi dan pemahaman yang sama terhadapnya. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, secara leksikal perlindungan diartikan sebagai tempat berlindung (tempat bersembungi dan sebagainya), perbuatan (hal dan sebagainya) melindungi, pertolongan (penjagaan dan sebagainya).46 Arti ini sebagai hal mendasar yang dijadikan pijakan untuk memahami perlindungan hukum bagi warga negara Indonesia dan implikasinya, khususnya dalam hubungan dengan hak dipilih. Hal tersebut merupakan refleksi dari eksistensi keterlibatan warga negara secara langsung dalam pengelolaan negara. Pada tataran normatif perlindungan hukum selalu menjadi materi muatan dalam konstitusi maupun dalam
berbagai peraturan perundang-undangan.
Keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan ditandai dengaan sifatnya yang memaksa sekaligus disertai adanya sanksi atau hukuman bila ketentuan tersebut terlanggar. Dengan pula adanya perlindungan hukum dimaksudkan agar tidak menciptakan kerugian atau ketidaknyamanan bagi setiap warga negara. Pengertian sebagai dasar dari konseptualisasi perlindungan hukum ini disampaikan oleh banyak ahli. Di antaranya dikemukakan oleh Sudikno
46
WJS Poerwadarminta, 2003, Op.Cit., Hlm. 670; Lihat juga Anton M. Moelyono (Peny.), 1988, Op.Cit., Hlm. 52. Arti istilah “perlindungan” dari kata “lindung”, mendapat “awalan per” dan “akhiran –an”.
43
Mertokusumo dan A. Pitlo bahwa dalam kerangka keterkaitan hukum dengan perlindungan hukum. Menurutnya, bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan.47 Pada bagian lain, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. 48 Oleh karena itu agar perlindungan hukum dapat berlaku efektif dan dipatuhi oleh masyarakat, maka perlindungan hukum berbasis ketentuan formal. Dalam kaitan ini wujudnya adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, peraturan perunangan-undangan dimaksud mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Penekanan terhadap perbuatan dalam rangka perlindungan hukum terhadap warga negara menjadi tujuan hukum dibuat. Hukum harus memberikan rasa aman 47
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Penemuan Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Hlm. 1. 48
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, Edisi IV, Cet. II, Hlm. 145.
44
dan jaminan untuk mendapat perlindungan hukum dari berbagai tindakan yang dapat menyebabkan terdegradasinya rasa aman dan tenteram kepada warga negara. Karakter hukum demikian menjadi ciri khas dari negara yang menerapkan perlindungan hukum bagi setiap warganya dan hal tersebut merupakan kewajiban negara, terutama pemerintah. Perlindungan hukum tidak semata-mata mencakup pencegahan dari intervensi luar. Dalam perlindungan hukum yang terpenting adalah mengakomodasikan hakhak warga negara dalam kehidupan bernegara. Hal ini sebagai dasar dari perlindungan hukum untuk mencegah tindakan penyelewengan atau kesewenangwenangan negara terhadap warga negaranya. Oleh karena itu perlindungan hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia menjadi materi muatan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia, dalam hal ini sebagai ditentukan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
49
dan secara khusus diatur dalam Bab XA “Hak Asasi
Manusia”, dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Dengan demikian, paling tidak ada 10 (sepuluh) pasal dan 24 (dua puluh empat) ayat menjadi materi muatan hak asasi manusia sebagai hasil Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pencantuman pasal-pasal secara khusus mengatur mengenai hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan
49
Pasal 27 ayat (3) yang bunyinya: “Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara” merupakan hasil dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua.
45
Kedua merupakan suatu kemajuan yang cukup siginifikan.50 Dengan diaturnya hak asasi manusia dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia, maka keberadaan hak asasi manusia merupakan constitutional rights warga negara sehingga negara, terutama pemerintah mempunyai kewajiban untuk menghormati, memenuhi, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia dimaksud. Terkait dengan hal tersebut, ditegaskan dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia
Tahun
1945
Perubahan
Kedua
yang
menentukan:
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Berdasarkan uraian di atas, dapat dimaknai bahwa konsep perlindungan hak asasi manusia bermuara pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa untuk melindungi warga Negara menjadi tugas dan kewajiban Negara, terutama Pemerintah. Konsep perlindungan hak asasi manusia merupakan bagian dari constitutional right karena telah menjadi materi muatan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia, Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J Perubahan Kedua. Bagaimana mengimplementasikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia tersebut, Pasal 28I ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua menentukan: “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara 50
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, 2006, Op.Cit.,Hlm. 238.
46
hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Dengan kalimat lain, untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia agar implemtatif harus dijabarkan dalam peraturan peundang-undangan yang bersifat organik. Dalam praktek perlindungan hukum sebagai bagian dari perlindungan hak asasi manusia tidak ayal menghadapi berbagai kendala. Adapun
bentuk
perlindungan hukum ini misalnya dalam Hukum Pers. Perlindungan hukum untuk operasionalisasi pers, diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 nomor 166), meskipun hal itu belum memadai, khususnya dalam hal perlindungan hukum terhadap rakyat akibat tindakan arogansi pers. Artinya belum tercipta keseimbangan antara perlindungan hukum kepada pers
pada satu sisi dan
perlindungan hukum terhadap masyarakat akibat tindakan pers yang merugikan masyarakat pada sisi lain. Dalam konteks ini peran pemerintah sebagai representasi negara sangat penting untuk mewujudkan tujuan dari pers. Dalam hubungan dengan subyek yang secara konkret harus dilindungi yaitu warga negara sebagai sasaran, wujudnya adalah dalam peraturan perundangundangan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden). Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pandangan Philipus M. Hadjon, bahwa perlindungan hukum bagi warga negara meliputi dua macam, yaitu: 1. Perlindungan hukum preventif. Maksudnya bahwa kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
47
2. Perlindungan hukum represif. Pada perlindungan hukum ini lebih menitikberatkan pada tujuan perlindungan yaitu dalam hal penyelesian sengketa. Hal demikian mengingat bahwa rakyat, apalagi berhadapan dengan penguasa, senantiasa pada posisi lemah dan sering kalah atau dikalahkan 51
Dalam perspektif ideologis, perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Filosofi Pancasila pada dasarnya memberikan perlindungan secara komprehensif kepada rakyat sebagai pemilik sah dari negara. Pancasila dengan kelima sila dan penjabarannya merupakan proteksi filosofis dan ideologis bagi warga negara Indonesia.52 Elemen dan karakter Negara Hukum
Pancasila
yang mengandung
perlindungan hukum ialah: 1. Keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan. 2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
51
Ibid., Hlm. 23.
52
Lihat Laica Marzuki, 2006, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Jakarta, Sekretaris Jenderal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa konkretisasi dari perlindungan terhadap rakyat itu terutama tercermin dari penegakan hukum yang berkeadilan. Hal demikian berangkat dari penegakan hukum normatif dan pada saat yang sama disertai dengan dukungan hukum normatif (the substance) yang bakal mengefektifkan upaya penegakan hukum yang akuntabel yang tentu saja harus direspons oleh budaya hukum (legal culture) rakyat sebagai pihak pencari keadilan.
48
3. Prinsip penyelesian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir. 4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban. Berdasarkan elemen sebagaimana diuraikan di atas, perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah diarahkan kepada hal-hal sebagai berikut: 1. Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin mengurangi terjadinya sengketa, dalam hubungan ini sarana perlindungan hukum preventif patut diutamakan daripada sarana perlindungan represif. 2. Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat dengan cara musyawarah. 3. Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan hendaklah merupakan ultimum remedium dan peradilan bukan forum konfrontasi sehingga peradilan harus mencerminkan suasana damai dan tenteram terutama melalui hubungan acaranya.53
Dalam perspektif lebih luas, keputusan sebagai instrumen hukum pemerintah dalam melakukan tindakan hukum sepihak dipahami bahwa hal tersebut dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum terhadap hak asasi manusia, termasuk hak warga negara. Dalam negara hukum modern perlindungan hukum menjadi tema sentral dalam operasionalisasi atau penyelenggaraan
negara.
Perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia, khususnya hak warga negara menjadi permasalahan utama telah semestinya menjadi perhatian negara, terutama pemerintah.
53
Philipus M. Hadjon, Op.Cit., Hlm. 56.
49
Oleh karena itu justeru ketika negara berkewajiban melindungi warga negaranya, maka interpretasi operasionalnya adalah diperlukan perlindungan hukum bagi warga negara terhadap tindakan hukum pemerintah sebagai representasi negara. Negara yang diwakili oleh pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang justeru tidak memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya. Pada dasarnya kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah sebagai wakil negara sangat rawan terhadap berbagai penyelewengan dan tindakan diskriminatif. Hal ini sejalan dengan adagium dari sejarawan Inggris Lord Acton (1834-1902) yang menyatakan bahwa “Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula" (power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely).54 Dengan pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa kekuasaan yang besar dan tidak ada pengawasan yang efektif cenderung diselewengkan atau disalahgunakan. Dengan kalimat singkat, kekuasaan yang dilaksanakan dengan sewenang-wenang rentan diselewenangkan atau disalahgunakan. Dalam
rangka
perlindungan
hukum,
keberadaan
Asas-Asas
Umum
Pemerintahan yang Baik (dikenal dengan AAUPB)55 memiliki peranan penting
54
Miriam Budiardjo, Op.Cit., Hlm. 107, 175.
55
Diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa
50
sehubungan dengan kinerja pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden). Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik atau sering disebut Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur terdiri atas: 1) asas netralitas dan tidak berpihak (fair play), 2) asas kecermatan (zorguuldigheid), 3) asas sasaran yang tepat (zuiverheid van oogmerk), 4) asas keseimbangan (overwidtigheid/ equilibrium), dan 5) asas kepastian hukum (rechtzekerheids/ legal certainty).56 Tanpa berpegang pada asas tersebut, cenderung akan lahir produk hukum yang tidak berpihak kepada kepentingan warga negara. Termasuk dalam implementasi produk hukum yang dibuat oleh pembentuk undang-undang. Kecenderungan membuat jabaran atas produk hukum sebagai refleksi dari freies ermessen57 akan cenderung menyimpang pula. Itulah sebabnya dalam kerangka perlindungan
penyelenggara negara dilaksanakan dengan berpegang pada asas Asas-asas Umum penyelenggaraan negara meliputi:1) Asas Kepastian Hukum; 2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; 3) Asas Kepentingan Umum; 4) Asas Keterbukaan; 5) Asas Proporsionalitas; 6) Asas Profesionalitas, dan 7) Asas Akuntabilitas. 56
Amos H.F. Abraham, 2007, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Dari Orla, Orba Sampai Reformasi), Telaah Sosiologis Yuridis dan Yuridis Pragmatis Krisis Jati Diri Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, Hlm.108. 57
Freies ermessen adalah sebuah istilah yang digunakan dalam bidang pemerintahan, yang menurut Marcus Lukman dalam “Eksistensi Peraturan Kebijakan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional” (Disertasi),, Bandung, Universitas Padjajaran, 1997 bahwa Freies ermessen diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Kewenangan ini diberikan oleh pemerintah atas dasar fungsi pemerintah, yaitu untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum, dan kewenangan ini merupakan konsekuensi logis dari konsep negara hukum modern (welfare state). Namun, tentu saja kewenangan ini (freies ermessen) tidak dapat digunakan tanpa batas dan haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a) bertujuan untuk mengoptimalkan pelayanan publik; b) merupakan tindakan aktif dari administrasi negara; c) dimungkinkan oleh hukum; d) atas inisiatif sendiri. e) bertujuan untuk penyelesaian masalah-masalah penting yang timbul secara mendadak; dan f) dapat dipertanggungjawabkan.
51
hukum terhadap warga negara yang menjadi tujuan berlakunya suatu undangundang dan peraturan perundang-undangan lainnya menjadi refleksi dari freies ermessen tersebut harus didasarkan pada AAUPB. Berdasarkan realitas yang terjadi, pemberian kewenangan untuk mengambil kebijakan sebagai pelaksanaan undang-undang dapat menjadi peluang terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi warga negara oleh pemerintah. Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu: perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif memberikan rakyat kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Artinya, perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Sedangkan perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Dalam kerangka perlindungan hukum terhadap warga negara ini pada dasarnya merupakan
bagian dari sistem yang menempatkan administrasi
pemerintahan sebagai hak warga negara. Terkait dengan pemenuhan perlindungan hukum terhadap warga negara tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik dijabarkan sebagai berikut: a. Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat UUD 1945. b. Membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang
52
harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik. c. Sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara tegas. d. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Pada bagian lain perlu dipahami terkait aspek sosiologis dan faktual yang menjadi dasar dari perlindungan hukum terhadap warga negara. Perlindungan hukum ini diperlukan untuk mencegah adanya tindakan sewenang-wenang dari pemerintah sebagaimana tercermin dalam undang-undang tersebut. Adapun aspek sosiologis dan faktual dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Terjadinya krisis nasional berkepanjangan yang melanda Indonesia mengindikasikan kelemahan di bidang administrasi pemerintahan, terutama birokrasi yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik, sehingga pada gilirannya sangat merugikan warga negara. 2. Terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme lebih banyak disebabkan oleh rentannya birokrasi sebagai unsur pelayan masyarakat, sehingga warga negara sangat dirugikan. 3. Perlunya dilakukan penataan dalam administrasi pemerintahan yang dapat meliputi pembangunan sikap kebersamaan untuk menyatukan irama dan langkah guna terciptanya aparatur negara yang handal dan profesional, serta pentingnya dilakukan peningkatan kapasitas dan profesional aparatur negara.
53
Di samping itu, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 dapat dimaknai sebagai upaya untuk mengurangi, bahkan jika mungkin menghilangkan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Untuk itu diperlukan penerapan instrumen yang memperjuangkan secara aktif tidak saja sanksi-sanksi terhadap pelaku tindak korupsi, tetapi juga instrumen hukum yang dapat memperkuat penegakan hukum dan memperbaiki perlindungan hukum kepada warga negara melalui pengawasan dan pemberian kesempatan pengaduan formal serta pembatasan kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara administrasi negara. Urgensi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 yang paling utama antara lain dapat menjadi perlindungan bagi setiap warga negara dari tindakan birokrat yang
bertindak
sewenang-wenang,
adanya
jaminan
pemerintah
atas
terselenggaranya hak asasi warga negara dan atas terselenggaranya tugas negara sesuai dengan harapan dan kebutuhan warga negara melalui jaminan undangundang sehingga dapat memberikan kepastian manakala terjadi penyimpangan, penyalahgunaan dan penyelewengan yang merugikan warga negara. Sedangkan pada bagian lain, dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menempatkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dengan
dimasukkannya sebagian Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, maka asas
54
tersebut
menjadi
kaedah
normatif,
sehingga
mempunyai
konsekuensi
keberlakuannya mengikat bagi seluruh masyarakat Indonesia. Demikian pula refleksi perlindungan hukum dengan ketaatan pada Asas Asas Pemerintahan yang Baik (AAUPB) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35). Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 juga diatur tentang Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai dasar pengujian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Termasuk jika terjadi gugatan dari seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan (Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004). Dalam hubungan dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang menjadi alasan setiap warga negara harus mendapat perlindungan hukum dari tindakan pemerintah, yaitu: a. Disebabkan dalam berbagai hal warga negara dan badan hukum perdata tergantung pada keputusan-keputusan pemerintah, seperti kebutuhan terhadap izin yang diperlukan untuk usaha perdagangan, perusahaan atau pertambangan. Olah karena itu warga negara dan badan hukum perdata perlu mendapat perlindungan hukum. b. Adanya hubungan antara pemerintah dan warga negara tidak berjalan dalam posisi sejajar dan warga negara berada di pihak lemah, dalam hal ini cenderung menjadi korban kekuasaan rezim pemerintah yang memegang kekuasaan. c. Terjadinya berbagai perselisihan warga negara dengan pemerintah berkenan dengan keputusan, sebagai instrumen pemerintah yang bersifat sepihak dalam menentukan intervensi terhadap kehidupan warga negara.
55
Di Indonesia perlindungan hukum bagi warga negara akibat tindakan hukum pemerintah ada beberapa kemungkinan, tergantung dari instrumen hukum yang digunakan pemerintah. Instrumen hukum pemerintah yang lazim digunakan adalah suatu peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan atau sebagai produk hukum bentukan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden. Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya peraturan perundang-undangan tersebut ditempuh melalui permohonan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Agung58 dan Mahkamah Konstitusi.59
Dalam konteks uji meteriil (judicial review) yang diajukan ke
Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra mengemukakan bahwa judicial review menjadi salah satu cara untuk menjamin hak-hak kenegaraan yang dimiliki oleh seseorang warga negara pada posisi diametral dengan kekuasaan pembuatan peraturan, termasuk undang-undang.60 Hal di atas kiranya menjadi dasar bagi setiap warga negara untuk secara konkret melakukan tindakan hukum terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang merugikan dirinya.
Tujuannya antara lain adalah untuk
menyampingkan atau mengeleminasi munculnya kerugian akibat berlakunya suatu 58
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1984 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9) Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang. 59
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (1) butir a menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 60
Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, Hlm. 293.
56
peraturan perundangan-undangan. Di samping itu, dengan tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk pengawasan warga negara terhadap dikeluarkannya peraturan perundang-undangan oleh DPR bersama Presiden sehingga dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan berikutnya akan lebih cermat, partisipatif dan responsif. Dalam perspektif kepastian hukum yang menjadi dasar dari perlindungan hukum terhadap setiap warga negara ini dapat dirujuk beberapa teori: 1. Teori Utilitas Teori ini menurut Jeremy Bentham bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagiumnya yang terkenal adalah The G reatest H appiness for the Greatest N umber. Artinya, kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang
terbanyak.
Ajaran
Bentham
disebut
juga
sebagai
edonisme atau utilitarisme. 2. Teori Etis Teori ini b erpendapat bahwa tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Mengenai keadilan, Aristoteles mengajarkan dua macam keadilan, yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus
57
mengingat jasa-jasa perorangan.61 3. Teori Pengayoman Teori ini mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak. Dengan demikian bermaksud menyeimbangkan antara keadilan dan kepastian hukum.62 Dalam kerangka mewujudkan pengayoman tersebut, termasuk di dalamnya adalah a) m ewujudkan ketertiban dan keteraturan, b) mewujudkan kedamaian sejati, c) mewujudkan keadilan, d) mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.63 Apresiasi terhadap permasalahan ini, khususnya terhadap daya ikat hukum dalam
masyarakat, dapat dijadikan sebagai dasar adalah pemikiran dari Gustav
Radbruch.
Radbruch
mengembangkan
pemikiran
yang
dikenal
dengan
Geldingstheorie mengemukakan bahwa berlakunya hukum secara sempurna harus memenuhi tiga nilai dasar yang harus secara komprehensif terpenuhi daya ikat dari hukum itu di tengah masyarakat. Adapun ketiga nilai dasar tersebut meliputi: 61
Dudu Duswara, 2003, Sketsa Ilmu Hukum, Bandung, Reflika Aditama, Hlm. 24-25.
62
Ibid., Hlm. 30.
63
Ibid., Hlm. 31.
58
a. Juridical doctrine, nilai kepastian hukum dimana mengikatnya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi.
kekuatan
b. Sociological doctrine, nilai sosiologis, artinya aturan hukum mengikat karena diakui dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan) atau dapat dipaksakan sekalipun masyarakat menolaknya (teori paksaan). c. Philosophical doctrine, nilai filosofis, artinya aturan hukum mengikat karena sesuai dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang tertinggi.64
Dengan demikian, perlindungan hukum berkait erat dengan kepastian hukum yang harus diwujudkan. Hal ini menjadi dasar dari tindakan warga negara untuk melakukan tindakan hukum terhadap terbitnya suatu peraturan perundangundangan (undang-undang) yang merugikan dirinya. Tindakan hukum ini khususnya tercermin dalam upaya mengawasi
peraturan perundang-undangan
yang sudah diterbitkan melalui pengajuan uji materiil (judicial review). Tujuan dari tindakan warga negara yang hak-haknya secara konstitusional dijamin sehingga apabila terbitnya suatu peraturan perundang-undangan (undangundang) mengakibatkan adanya kerugian karena tidak dapat menggunakan hak– haknya (hak-haknya dilanggar dan atau berlaku diskriminatif), maka setiap warga negara tersebut dapat melakukan pengawasan terhadapnya. Oleh karena itu, dalam analisis penelitian ini kerugian yang muncul adalah akibat dari tidak diakomodasikannya hak dipilih warga negara, terutama dengan adanya Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang menentukan: “bukan bekas 64
I Dewa Gede Atmadja, 1993, “Manfaat Filsafat Hukum dalam Studi Ilmu Hukum”, dalam Kerta Patrika, No. 62-63 Tahun XIX Maret-Juni, Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana, Hlm. 68.
59
anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30-S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya”. Hal ini tentu saja sangat merugikan warga Negara dimaksud. Oleh karenanya peraturan perundang-undangan (undangundang) yang berdimensi merugikan dan berlaku diskriminatif in casu ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, selanjutnya diajukan uji meteriil (judicial review) agar dieleminasi atau dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Di samping itu, tindakan warga negara tersebut dimaksudkan sebagai bentuk pengawasan dari setiap warga negara. Demikian pula hal tersebut dilakukan terhadap kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah yang sedang memegang kekuasaan sekaligus untuk mewaspadai terhadap keberadaan peraturan perundangundangan (undang-undang). Pengawaan terhadap peraturan perundang-undangan dengan mekanisme yang jelas tentu akan mengurangi atau bahkan mengeleminasi tindakan penyimpangan, penyelewengan dan penyalahgunaan yang dilakukan oleh negara, termasuk pemerintah. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk baik pada masa lalu maupun dibentuk pada rezim yang sedang berkuasa harus dilakukan pengawasan, sehingga dalam pembentukan peraturan perundang-undangan berikutnya akan lebih cermat,
60
antisipatif dan responsif65. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada akhirnya ditujukan kepada warga negara harus mempertimbangkan asfek filosofis, sosiologis, yuridis serta responsif terhadap nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Pengawasan dimaksud pada intinya adalah memberikan perlindungan hukum kepada warga negara dari tindakan penyimpangan, penyelewengan dan penyalahgunaan terhadap diberlakukannya suatu peraturan perundangan-undangan yang bertentangan dengan konstitusi.
3.2 Hak Dipilih dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa hak dipilih merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dalam perspektif hak asasi manusia, hak dipilih sebagai constitutional rights, jaminan, pemenuhan, perlindungan dan penegakannya merupakan kewajiban negara, dalam hal ini pemerintah. Oleh karena itu pembatasan, peniadaan dan tindakan diskriminatif terhadap hak tersebut tidak dapat dibenarkan karena tidak sesuai dengan Konstitusi Negara Republik
65
Pemahaman kita tentang perubahan sosial tidak akan utuh jika kita tidak mencari cara-cara adaptasi yang melahirkan alternatif-alternatif historis yang baru dan yang mampu terus bertahan, misalnya perubahan dari status ke kontrak, dari Gemeinschaft (masyarakat paguyuban) ke Gesellschaft (masyarakat petembayan), dari hukum yang keras ke keadilan. Lihat dalam Nonet, Philipe dan Philip Selznick, 2013, Hukum Responsif (Diterjemahkan Raisul Muttaqien dari Law and Society in Transition: Toward Responsive Law), Cet. VII, Nusa Media, Bandung, Hlm 29. Bdk. Moh. Mahfud MD, 2001, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Cet. II, LP3ES, Hlm. 381, menyatakan setiap produk hukum merupakan pencerminandari konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh visi politik kelompok dominan (penguasa). Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik.
61
Indonesia, peraturan perundang-undangan, dan instrumen internasional tentang hak asasi manusia. Terkait dengan hal tersebut, pada bagian berikut diuraikan tentang “Demokrasi sebagai dasar hak asasi manusia terkait dengan hak dipilih” dan “Bentuk-bentuk hak asasi manusia dan tempatnya hak dipilih”.
3.2.1 Demokrasi sebagai Dasar Hak Asasi Manusia Terkait dengan Hak Dipilih Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya pembahasan hak dipilih akan terkait pula dengan hak memilih. Oleh karena itu antara hak dipilih dan hak memilih (hak pilih aktif) menjadi satu kesatuan. Keduanya menjadi dasar dalam kehidupan bersama, khususnya dalam masalah keterwakilan. Permasalahan keterwakilan ini, dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara adalah sebagai implementasi dari demokrasi.66 Dalam sejarah perkembangan demokrasi belum pernah menjadi topik yang begitu hangat seperti sekarang ini. Dalam sistem demokrasi yang sudah tua dan mapan di Eropa dan Amerika, namun beberapa warga negara tengah menuntut pelaksanaan demokrasi yang lebih besar. Sementara warga negara di belahan
66
Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang diterapkan hampir di seluruh dunia saat ini. Meskipun penerapannya berbeda antara satu negara dengan negara lain. Lihat dalam Miriam Budiardjo, 2013, Op.Cit., Hlm. 157-64; Samsul Wahidin, 2011, Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hlm. 9-24.
62
dunia lainnya karena kesenjangan sosial ekonomi menuntut demokrasi menjadi sesuatu yang mahal sehingga kurang menjadi perhatian dan kepeduliannya.. Di negara-negara yang sistem demokrasinya lebih muda, ada kepedulian akan hadirnya lembaga-lembaga yang diperlukan untuk membangun suatu demokrasi sejati, stabil dan efektif. Bahkan menurut Jean Baechler bahwa di tempat-tempat di mana demokrasi belum sungguh-sungguh berakar, partai-partai oposisi mencitacitakan demokrasi dalam berbagai bentuk. Meskipun demikian tidak bisa diabaikan suara-suara yang menentang dari para pengkritik dan musuh-musuh demokrasi yang mulai terdengar kembali suaranya, setelah selama dua generasi mereka seolah-olah berdiam diri dan membisu.67 Oleh karena itu demokrasi adalah kosa kata yang terus menjadi bahan kajian dan begitu menarik bagi banyak negara dan ahli di berbagai negara. Bagi para ahli tidak henti-henti mengkaji dan meneliti konsep dan realitas demokrasi karena negara-negara yang menerima demokrasi masih belum menemukan demokrasi dalam realitas. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto bahwa di negara-negara demokrasi “hanya” tertransfer dan diterima sebagai bagian dari upaya penataan kehidupan bernegara dalam maknanya yang normatif, akan tetapi ide itu tidak juga kunjung terwujud sebagai realitas kehidupan seharihari. Adanya selisih antara ide dan realitas inilah yang melahirkan tegangan yang 67
Jean Baechler, 2001, Demokrasi Sebuah Tinjauan Analitis, Yogyakarta, Kanisius, Hlm. 13 menyebutkan bahwa UNESCO telah menyelenggarakan beberapa konferensi internasional yang besar dengan tema “Budaya Demokratis dan Pembangunan” (Montevideo,1991), “Kebudayaan dan Demokrasi” (Praha,1991), “Pendidikan Demokrasi” (Tunisia, 1992), “Pendidikan Hak-hak Asasi Manusia dan Demokrasi” (Montreal, 1993), serta “Demokrasi dan Toleransi” (Seoul, 1994).
63
tidak gampang diatasi yang pada gilirannya juga akan melahirkan ketidakpastianketidakpastian.68 Pada bagian lain, sebagaimana dinyatakan oleh Mac Iver bahwa demokrasi itu sendiri telah dan terus akan mengalami perkembangan.
Democracy is a form of
government that is never completely achieved. Democracy grows into its being.69 Sejalan dengan pendapat Mac Iver tersebut, Bagir Manan menyatakan bahwa demokrasi merupakan suatu fenomena yang tumbuh, bukan suatu penciptaan.70 Oleh karena itu, menurut Arend Liphard
bahwa praktik demokrasi di setiap
negara tidak selalu sama, namun demikian sebuah negara dapat dinyatakan demokrasi apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut71: a) Ada kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota perkumpulan; b) Ada kebebasan menyatakan pendapat; c) Ada hak untuk memberikan suara dalam pemungutan suara; d) Ada kesempatan untuk dipilih atau menduduki berbagai jabatan pemerintah atau negara; e) Ada hak bagi para aktivis politik berkampanye untuk memperoleh dukungan atau suara; 68
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Op.Cit., Hlm. 535.
69
Mac Iver, 1988, The Web of Government, New York, The Mac Millan Company, Hlm..3.
70
Bagir Manan, 1994, “Pelaksanaan Demokrasi Pancasila dalam Pembangunan Jangka Panjang II” (Makalah) dalam Lokakarya Pancasila, Bandung, Universitas Padjadjaran, Hlm. 2. 71
Bagir Manan, 1996, Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Guna Menghormati Prof. Dr. R. Sri Soemantri Martosoewignyo, S.H., Jakarta, Gaya Media Pratama, Hlm. 106.
64
f) Terdapat berbagai sumber aspirasi; g) Ada pemilihan yang bebas dan jujur; h) Semua lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan pemerintah harus bergantung kepada keinginan rakyat. Dari unsur-unsur demokrasi sebagaimana diuraikan di atas, ternyata beberapa unsur demokrasi tersebut sarat dengan kandungan hak asasi manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa unsur-unsur demokrasi tidak lain merupakan bagian dari hak asasi manusia. Beberapa dari unsur tersebut, seperti: mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih atau menduduki berbagai kesempatan pada berbagai jabatan pemerintah atau negara, ada pemilihan umum yang bebas dan jujur, serta semua lembaga yang ada apabila merumuskan kebijaksanaan pemerintah harus bergantung kepada keinginan masyarakat.72 Demikian pula, unsur-unsur demokrasi tersebut telah menjadi muatan materi pasal-pasal dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia (Pasal 22E, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Pasal 21), dan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2). Praktek demokrasi yang paling konkret tercermin dalam pemilihan umum. Sebagaimana diketahui bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik 72
Arsyad Mawardi, 2013, Pengawasan & Keseimbangan antara DPR dan Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan RI: Kajian Yuridis Normatif, Empiris, Historis dan Komprehensif, Jakarta, Rasail Media Group, Hlm. 23.
65
Indonesia seperti diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam perkembangan selanjutnya sebagai tercermin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasca Perubahan, pemilihan umum dilaksanakan secara langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil bertujuan untuk memilih wakil rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan, dan Gubernur, Bupati serta Walikota untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat. Pemilihan tersebut dilakukan secara langsung oleh rakyat. Keberatan lain yang dapat dikedepankan terhadap sistem demokrasi ialah bahwa justeru karena demokrasi pada akhirnya telah berhasil mewujudkan pelbagai kemerdekaan dan kebebasan sebagai percerminan terhadap hak asasi manusia, seperti: kebebasan berfikir dan mengeluarkan fikiran, kemerdekaan berbicara dan bersidang, kebebasan untuk memilih dan dipilih dan lain-lain sebagainya.
3.2.2 Bentuk-Bentuk Hak Asasi Manusia dan Tempatnya Hak Dipilih Kiranya perlu klarifikasi sebagai bagian dari pencarian tempat hak dipilih dalam dokumen mengenai hak asasi manusia. Dalam kaitan ini ada berbagai pandangan tentang bentuk-bentuk hak asasi manusia. Misalnya Thomas Hobbes berpendapat bahwa satu-satunya hak asasi adalah hak hidup. Hak untuk hidup
66
adalah hak paling asasi dari subyek hukum manusia, terutama dalam interaksi dengan sesamanya di dunia. Menurut John Locke dan aliran liberalisme klasik, hak asasi meliputi hak hidup (right to life), hak kemerdekaan (right to liberty), dan hak milik (right to property). Pendapat John Locke ini sangat dipengaruhi oleh gagasan hukum alam (natural law) ketika dalam keadaan alamiah (state of nature), yaitu suatu keadaan dimana belum terdapat kekuasaan dan otorita apa-apa, semua orang sama sekali bebas dan sama derajatnya.73 Dalam perkembangan selanjutnya, di antaranya orang-orang itu sering terjadi percekcokan karena perbedaan pemilikan harta benda dan karena ada orang yang hidup di atas penderitaan orang lain. Kondisi seperti itu telah menggeser keadaan alamiah ke keadaan perang (state war), sehingga memunculkan pemikiran untuk melindungi ketiga hak-hak fundamental, yaitu baik hak hidup, hak merdeka, dan hak memiliki (right to life, right to liberty, right to property). Untuk itu kemudian mereka berkumpul dan mengadakan perjanjian untuk bermasyarakat dan menyerahkan sebagian hak-haknya kepada pemimpin yang berkewajiban untuk melindungi ketiga hak tersebut, baik sebagai hak individu maupun masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya. Selanjutnya hak-hak tersebut diserahkan kepada pemimpin negara dan diterima manusia sejak lahir. Dengan demikian, hak-hak tersebut bukan merupakan pemberian hukum manusia atau masyarakat melainkan hak-hak yang melekat dalam dirinya. 73
Ibid., Hlm. 112
67
Dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang memuat 30 pasal dan 31 ayat, apabila ditelaah lebih lanjut secara garis besar bentuk-bentuk hak asasi manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu: a. Hak-hak politik dan yuridis. b. Hak-hak atas martabat dan integritas manusia. c. Hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya.74 Dalam konteks ini kiranya perlu klarifikasi tentang perbedaan antara hak politik dengan hak sipil. Pada tataran normatif, perbedaan antara keduanya dapat dikemukakan bahwa hak politik merupakan hak yang didapat oleh seseorang dalam hubungan sebagai seorang anggota di dalam lembaga politik, seperti: hak memilih, hak dipilih, hak mencalonkan diri untuk menduduki jabatan-jabatan politik, hak memegang jabatan-jabatan umum dalam negara atau hak yang menjadikan seseorang ikut serta di dalam mengatur kepentingan negara atau pemerintahan. Lapangan hak-hak politik sangat luas mencakup asas-asas masyarakat, dasardasar negara, tata hukum, partisipasi rakyat, pembagian kekuasaan, dan batasbatas kewenangan penguasa terhadap warga negaranya. Sedangkan yang dimaksud hak-hak sipil dalam pengertian yang luas mencakup hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan merupakan hak yang dinikmati oleh manusia dalam hubungan dengan
74
Dawam Rahardjo, 1996, Sistem Pemilu: Demokratisasi dan Pembangunan, Jakarta, PT. Pustaka Cides Indonesia, Hlm. 132.
68
warga negara lainnya dan tidak ada hubungan dengan penyelenggaraan kekuasaan negara, salah satu jabatan dan kegiatannya. Dari uraian di atas dapat dimaknai bahwa hak asasi manusia pun berkembang baik secara negatif maupun positif. Hak sipil dan politik adalah rumpun hak negatif yang menuntut absennya campur tangan negara (-) sementara, hak sosial ekonomi adalah rumpun hak yang menuntut uluran tangan negara dalam pelaksanaannya.75 Dalam
Kovenan
Internasional
Tentang
Hak-Hak
Sipil
dan
Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights) dan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sosial, Ekonomi dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) bentuk-bentuk hak asasi manusia dapat dikemukakan sebagai berikut. a. Bentuk-bentuk hak-hak sipil dan politik antara lain: 1) Hak atas hidup 2) Hak atas kebebasan dan keamanan dirinya. 3) Hak atas keamanan di muka badan-badan peradilan. 4) Hak atas kebebasan berpikir, mempunyai keyakinan (conscience), beragama. 5) Hak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan. 6) Hak atas kebebasan berkumpul secara damai. 7) Hak untuk berserikat. b. Bentuk-bentuk hak asasi ekonomi, sosial dan budaya antara lain: 75
Rocky Gerung (Ed.), 2006, Ibid., Hlm. 9.
69
1) Hak atas pekerjaan. 2) Hak untuk membentuk serikat kerja. 3) Hak atas pensiun. 4) Hak atas tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya serta keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan yang layak, dan 5) Hak atas pendidikan.76 Pembagian hak asasi manusia yang agak mirip dengan kedua kovenan internasional (International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights) tersebut adalah yang mengikuti pembedaan sebagai berikut: a. Hak-hak asasi pribadi (personal rights), meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan sebagainya. b. Hak-hak asasi ekonomi (property rights), yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli, dan menjualnya serta memanfaatkannya. c. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (rights of legal equality). d. Hak-hak asasi politik (political rights), yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih dalam pemilihan umum), hak mendirikan partai politik, dan sebagainya. e. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan (sosial and culture rights), misalnya hak untuk memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan, dan sebagainya. f. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights), misalnya peraturan dalam hal penangkapan, penggeledahan, peradilan, dan sebagainya.77
76
Indonesia telah meratifikasi kovenan tesebut melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya disahkan pada tanggal 28 Oktober 2005, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118).
70
Pendapat lain tentang bentuk-bentuk hak asasi manusia dikemukakan Franz Magnis Suseno78 yang mengelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu: hak asasi negatif (liberal), hak asasi aktif (demokratis), hak asasi positif, dan hak asasi sosial. 1. Hak Asasi Negatif (Liberal) Kelompok hak asasi pertama ini diperjuangkan oleh kaum liberalisme dan pada hakikatnya mau melindungi kehidupan pribadi manusia terhadap campur tangan negara dan kekuatan-kekuatan sosial lain. Hak asasi ini didasarkan pada kebebasan dan hak individu untuk mengurus diri sendiri dan oleh karena itu juga disebut hak-hak kebebasan (liberal). Sedangkan dikatakan negatif karena prinsip yang dianut bahwa kehidupan pribadi tidak boleh dicampuri oleh pihak luar. Kehidupan pribadi merupakan otonomi setiap orang yang harus dihormati. Otonomi ini merupakan kedaulatan asasinya sendiri yang merupakan dasar segala usaha lain, maka hak asasi negatif ini tetap merupakan inti hak asasi manusia. Bentuk-bentuk hak asasi manusia negatif, antara lain: 1) Hak atas hidup. 2) Hak kebutuhan jasmani. 77
Rincian ini memastikan bahwa tidak ada diskriminasi dalam kehidupan berpolitik, khususnya adalah hak untuk memilih dan dipilih. Tindakan diskriminasi terhadap dipenuhinya hak tersebut bertentangan dengan konvenan dimaksud, khususnya pada ketentuan tentang political rights. 78
Frans Magnis Suseno, 1989, Paradigma Hak Asasi Manusia, Jakarta, Kanisius, Hlm.12.
71
3) Kebebasan bergerak. 4) Kebebasan untuk memilih jodoh. 5) Perlindungan terhadap hak milik. 6) Hak untuk mengurus kerumahtanggaan sendiri. 7) Hak untuk memilih pekerjaan dan tempat tinggal. 8) Kebebasan beragama. 9) Kebebasan untuk mengikuti suara hati sejauh tidak mengurangi kebebasan serupa orang lain. 10) Kebebasan berpikir. 11) Kebebasan untuk berkumpul dan berserikat. 12) Hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang. 2. Hak Asasi Aktif (Demokratis) Dasar hak ini adalah keyakinan terhadap kedaulatan rakyat yang menuntut agar rakyat memerintah dirinya sendiri dan setiap pemerintah di bawah kekuasaan rakyat. Hak ini disebut aktif karena merupakan hak atau suatu aktivitas manusia untuk ikut menentukan arah perkembangan masyarakat/ negaranya. Adapun yang termasuk hak asasi aktif (demokratis) antara lain: 1.
Hak untuk memilih wakil dalam badan pembuat undang-undang.
2.
Hak untuk mengangkat dan mengontrol pemerintah.
3.
Hak untuk menyatakan pendapat.
4.
Hak atas kebebasan pers, dan
5.
Hak untuk membentuk perkumpulan politik.
72
3. Hak Asasi Positif Kalau hak-hak negatif menolak campur tangan negara dalam urusan pribadi manusia, maka sebaliknya hak-hak positif justru menuntut prestasi-prestasi tertentu dari negara. Paham hak asasi positif berdasarkan anggapan bahwa negara bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan merupakan lembaga yang diciptakan dan dipelihara oleh masyarakat untuk memberikan pelayananpelayanan tertentu (pelayanan publik). Oleh karena itu, tidak boleh ada anggota masyarakat yang tidak mendapat pelayanan hanya karena ia terlalu miskin untuk membayar biayanya. Dalam hal ini, termasuk hak asasi positif, antara lain: 1. Hak atas perlindungan hukum (misalnya: hak atas perlakuan yang sama di depan hukum (equality before the law) dan hak atas keadilan). 2. Hak warga masyarakat atas kewarganegaraan. 4. Hak Asasi Sosial Hak asasi sosial ini merupakan paham tentang kewajiban negara untuk menjamin hasil kerja kaum buruh yang wajar dan merupakan hasil kesadaran kaum buruh melawan kaum borjuis. Hak asasi sosial mencerminkan kesadaran bahwa setiap anggota masyarakat berhak atas bagian yang adil dari harta benda material dan kultural bangsanya dan atas bagian yang wajar dari hasil nilai ekonomis. Hak ini harus dijamin dengan tindakan negara. Adapun yang termasuk hak asasi sosial, antara lain:
73
Pada dasarnya hak dipilih merupakan hak setiap orang untuk mencalonkan diri untuk dipilih, khususnya pada lembaga perwakilan, sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang.
Pemenuhan terhadap hak dipilih tidak
dibenarkan adanya pembatasan dan tindakan diskriminatif. Dalam Pasal 21 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ditegaskan bahwa: “Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives” (Setiap orang berhak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas). Demikian pula, dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Pasal 25 butir (a) menentukan: “Ikut serta dalam menjalankan segala urusan umum, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas” dan dalam butir (b) “Memberikan suara dalam pemilihan dan dipilih pada pemilhan berkala dan dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan melalui pemungutan suara secara rahasia yang menjamin adanya pernyataan bebas dari kehendak para pemilih.” Keberadaan hak dipilih sebagaimana ditentukan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) tersebut semakin diperkuat keberadaannya dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua yang menyebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Permasalahannya
74
bahwa suatu rezim pemerintahan bisa berganti dan interpretasi terhadap suatu ketentuan bisa berubah dengan implementasi kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang sedang melaksanakan kekuasaannya. Perubahan itu didasarkan pada kepentingan penguasa yang didasarkan pada berbagai pertimbangan praktis. Berdasarkan uraian di atas, bahwa dalam pespektif hak asasi manusia (HAM) tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat membatasi hak dipilih dan hak memilih. Ketentuan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant Civil and Political Rights), termasuk sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan Negara Republik Indonesia (TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999) yang menjabarkan ketentuan tersebut sebagai hak asasi warga negara. Tidak ada interpretasi selain dipenuhinyaa hak dipilih dan hak memilihh
dalam
peraturan
perundang-undangan
dimaksud.
Pembatasan,
penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan serta segala bentuk tindakan diskriminatif terhadap hak asasi warga negara tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tidak berlaku dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan konstitusi dimaksud.
75
BAB IV AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 011-017/PUU-I/2003 TERHADAP WARGA NEGARA
4.1 Pertimbangan dan Analisis Hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003
4.1.1 Pertimbangan Hukumnya Perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh Prof. Dr. Deliar Noer, dkk (sebanyak 28 orang) selaku Para Pemohon I dan permohonan ini diajukan pada tanggal 15 Oktober 2003 dengan register perkara Nomor 011/PUUI/2003. Sedang permohonan II diajukan oleh Said Pradono bin Djaja, dkk (sebanyak 4 orang) pada tanggal tanggal 19 November 2003 dengan perkara Nomor 017/PUU-I/2003. Dalam persidangan perkara a quo, kedua permohonan tersebut digabung sehingga teregister dalam perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003. Adapun alasan permohonan tersebut diajukan pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang berisi larangan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
76
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bagi mereka yang “bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30 S/PKI atau organisasi terlarang lainnya” bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu: Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2), termasuk instrumen internasional hak asasi manusia, baik dalam Pasal 21 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Oleh karena itu, Para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Pasal 60 huruf g UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 menghadirkan juga pihak pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno dan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Yusril Ihza Mahendra serta Prof. Dr. Frans Magnis Suseno, S.J. dan Dr. Thamrin Amal Tomagola sebagai ahli. Perkara a quo diputus dengan adanya pendapat berbeda (dissenting opinion) oleh Hakim Konstitusi Achmad Roestandi, S.H.
77
Pada bagian berikut dikutip pertimbangan-pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 sebagai berikut. a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melarang diskriminasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (2). Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia sebagai penjabaran ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak membenarkan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. Pasal 60 huruf g UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melarang sekelompok Warga Negara Indonesia (WNI) untuk dicalonkan serta menggunakan hak dipilih berdasarkan keyakinan politik yang pernah dianut. b. Menimbang bahwa Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, bahwa setiap orang berhak
78
atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. c. Ditegaskan pula dalam Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu yang sesuai pula dengan Article 21 Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan: 1. Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives. 2. Everyone has the right of equal access to public service in his country. 3. The will of people shall be the basis of the authority of government; this will shall be expressed in periodic and genuine elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret vote or by equivalen free voting procedures. Selain itu, dalam perkembangan selanjutnya mengenai hak-hak manusia yang berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1966 telah menghasilkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang dikenal dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) berlaku sejak tanggal 1 Januari 1991 dimana 92 (sembilan puluh dua) negara dari 160 (seratus enam puluh) negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi negara anggota.
79
d. Article 25 tentang International Covenant Civil and Political Rights dimaksud mengatur sebagai berikut: “Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the distinctions mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions: a) To take part in the conduct of public affairs, directly or through freely chosen representatives;b) To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be b universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteein the free expression of the will of the electors c) To have access, on general terms of equality, to public service in hi country. e. Hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara. f. Ketentuan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat ketentuan dimungkinkannya pembatasan hak dan kebebasan seseorang dengan undang-undang, tetapi pembatasan terhadap hak-hak tersebut haruslah didasarkan atas alasanalasan yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan. g. Pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan dengan maksud “semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
80
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”; tetapi pembatasan hak dipilih seperti ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
Tentang
Pemilihan
Umum
tersebut
justru
karena
hanya
menggunakan pertimbangan yang bersifat politis. h. Di samping itu dalam persoalan pembatasan hak pilih (baik aktif maupun pasif) dalam pemilihan umum lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor usia dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif. i. Menimbang bahwa dari sifatnya, yaitu pelarangan terhadap kelompok tertentu warga negara untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 60 huruf g jelas mengandung nuansa hukuman politik kepada kelompok sebagaimana dimaksud. Sebagai negara hukum, setiap pelarangan yang mempunyai kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. j. Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan
81
Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme juncto Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, yang dijadikan alasan hukum Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah berkaitan dengan pembubaran Partai
Komunis
Indonesia
dan
larangan
penyebarluasan
ajaran
komunisme/Marxisme-Leninisme yang sama sekali tidak berkaitan dengan pencabutan atau pembatasan hak pilih baik aktif maupun pasif warga negara, termasuk bekas anggota Partai Komunis Indonesia. k. Suatu
tanggungjawab
pidana
hanya
dapat
dimintakan
pertanggungjawabannya kepada pelaku (dader) atau yang turut serta (mededader) atau yang membantu (medeplichtige), maka adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum, rasa keadilan, kepastian hukum, serta prinsip prinsip negara hukum apabila tanggungjawab tersebut dibebankan kepada seseorang yang tidak terlibat secara langsung. l. Berdasarkan
pertimbangan-pertim-bangan
tersebut
di
atas
dan
berdasarkan pula keterangan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat serta alat-alat bukti tertulis, saksi, dan ahli maka ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang berbunyi “bukan bekas
82
anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massa, atau bukan orang yang terlibat langsung maupun tak langsung dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia atau organisasi terlarang lainnya” merupakan pengingkaran terhadap hak asasi warga negara atau diskriminasi atas dasar keyakinan politik, dan oleh karena itu, bertentangan dengan hak asasi yang dijamin oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 D ayat (1), ayat (3), dan Pasal 28 I ayat (2). m. Oleh karena itu cukup beralasan untuk menyatakan bahwa Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. n. Di samping pertimbangan juridis tersebut di atas, materi ketentuan sebagaimana terkandung dalam Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipandang tidak lagi relevan dengan upaya rekonsiliasi nasional yang telah menjadi tekad bersama bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan.
83
o. Oleh karena itu, meskipun keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam peristiwa G.30.S. pada tahun 1965 tidak diragukan oleh sebagian terbesar bangsa Indonesia, terlepas dari tetap berlakunya Ketetapan MPRS Nomor: XXV/MPRS/1966 juncto Ketetapan MPR Nomor I/MPR/ 2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tetapi orang perorang bekas anggota Partai Komunis Indonesia dan organisasi massa yang bernaung di bawahnya harus diperlakukan sama dengan warga negara yang lain tanpa diskriminasi. p. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas tentang pokok perkara, dalam Sidang Pleno Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 24 Februari 2004, telah mengambil putusan terhadap permohonan Para Pemohon a quo dengan 1 (satu) orang Hakim Mahkamah Konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion).
4.1.2 Amar Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 telah telah diputus pada tanggal 24 Februari 2004. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 dibarengi dengan adanya pendapat beda (dissenting opinion). Adapun amar putuan perkara a quo adalah sebagai berikut:
84
a. Mengabulkan permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh sebagian Pemohon I, yakni: 1) Payung Salenda, 2) Gorma Hutajulu, 3) Rhein Robby Sumolang, 4) Ir. Sri Panudju, 5) Suyud Sukma Sendjaja, dan 6) Margondo Hardono; dan seluruh Pemohon II, yakni: 1) Sumaun Utomo, 2) Achmad Soebarto, 3) Mulyono, 4) Said Pradono Bin Djaja, 5) Ngadiso Yahya Bin Somoredjo, 6) Tjasman Bin Setyo Prawiro, 7) Makmuri Bin Zahzuri. b. Menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonsia Nomor 4277) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. c. Menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor: 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
85
4.1.3 Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi, H. Achmad Roestandi, S.H. memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion)
dengan Hakim Konstitusi lainnya. Achmad
Roestandi berpendapat bahwa permohonan Para Pemohon I nomor 23 sampai dengan nomor 28 dalam Perkara Nomor 011/ PUU-I/2003 dan seluruh Para Pemohon II dalam Perkara Nomor 017/ PUU-I/2003 harus ditolak dengan alasan sebagai berikut. a) Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum
Anggota
Dewan
Perwakilan
Rakyat,
Dewan
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berbunyi: “bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/ PKI, atau organisasi terlarang lainnya.” Pasal ini seolah-olah tidak terlalu sejalan dengan semangat yang terkandung dalam beberapa pasal dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu: a) Pasal 27 ayat (1): persamaan hak dalam hukum dan pemerintahan; b) Pasal 28 C ayat (2): hak untuk memperjuangkan haknya secara kolektif; c) Pasal 28 D ayat (1): hak atas perlakuan yang sama di depan hukum; d) Pasal 28 D ayat (3): hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan; e) Pasal 28 I ayat (2): hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.
86
b) Namun demikian, dalam membaca dan mencari makna pasal-pasal Undang-Undang Dasar hendaknya tidak parsial, tetapi harus dikaitkan secara sistematis dengan pasal-pasal lainnya, dalam hal ini terutama Pasal 22E ayat (6), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. c) Pasal 22 E ayat (6) berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut tentang Pemilu diatur dengan undang-undang”. Pasal ini memberi mandat kepada Pembuat Undang-Undang (Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden) untuk membuat ketentuan yang lebih rinci tentang Pemilu. Sebagaimana lazimnya mandat seperti itu bisa meliputi persyaratan, penegasan (konfirmasi),
pengulangan
(repetisi),
dan
pembatasan
(restriksi)
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Itulah yang telah dilakukan oleh pembuat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu membuat pembatasan seperti tercantum dalam Pasal 60 huruf a: pembatasan umur, Pasal 60 huruf c: pendidikan, Pasal 60 huruf g: konduite politik, dan Pasal 145: status pemilih. d) Pembatasan seperti itu mempunyai alas konstitusional, yaitu: Pasal 28 J ayat (2) dan 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28 J ayat (2) berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
87
yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Pasal ini memberikan wewenang kepada pembuat undang-undang untuk membuat pembatasan bagi setiap orang dalam menjalankan haknya dengan pertimbangan tertentu. Adapun salah satu pertimbangan yang bisa digunakan sebagai dasar pembatasan itu adalah pertimbangan keamanan dan ketertiban umum. e) Walaupun rujukan terakhir adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi pembatasan tersebut bersesuaian dengan Pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights yang berbunyi: “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations determined by law solely for the purpose of securing due recognation and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society”. f) Sebagai perbandingan, pembatasan hak individual karena konduite politik, yaitu misalnya bekas anggota suatu Partai Politik tertentu bisa terjadi juga di negara lain, termasuk negara-negara yang demokratis. Dari keterangan ahli Frans Magnis Soeseno, dalam sidang, terungkap bahwa di Jerman, setidak-tidaknya sewaktu pendudukan Sekutu (1945-1949) dan di
88
awal era Republik Federasi Jerman (1949-1953) telah dilakukan tindakan de-NAZI-fikasi, yang antara lain berupa pembatasan terhadap bekas anggota partai Nazi untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu (misalnya jabatan menteri). Ahli juga mengakui bahwa Sekutu yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis adalah negara demokratis, walaupun belum tentu bertindak demokratis. g) Pembatasan yang diberlakukan di Jerman tidak bersifat permanen tetapi semakin longgar dan akhirnya berakhir pada tahun 1956. Sementara itu, ahli menerangkan juga bahwa walaupunn hak asasi manusia tidak bisa dilanggar dengan menggunakan alasan raison d’etat, namun dalam kenyataannya
dengan
menggunakan
alasan
kepentingan
nasional
(national interest) kadang-kadang pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dilakukan oleh negara-negara “demokratis”. h) Pemerintah Amerika Serikat melakukan penangkapan terhadap warga Afghanistan yang dicurigai terlibat Al-Qaida dan kemudian menahan mereka di sebuah kamp di Guatanamo (Cuba). Walaupun tindakan Pemerintah Amerika Serikat seperti itu mungkin tidak akan dibenarkan oleh Hakim-hakim Amerika Serikat, tetapi demi raison d’etat dan national interest ternyata Pemerintah Amerika melakukannya. i) Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pembatasan seperti itu bisa dilakukan oleh pembuat undang-undang terhadap semua hak asasi manusia, yang
89
tercantum dalam keseluruhan Bab XV HAK ASASI MANUSIA, kecuali terhadap hak-hak yang tercantum dalam Pasal 28 I, yaitu: a. hak hidup. b. hak untuk tidak disiksa. c. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani. d. hak beragama. e. hak untuk tidak diperbudak. f. hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum. g. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. h. Pembatasan yang diatur dalam Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak termasuk dalam salah satu hak yang disebut dalam Pasal 28 I ayat (1). Oleh karena itu pembatasan dalam Pasal 60 huruf g tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari keterangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah terungkap bahwa ketika Pasal 60 huruf g dibahas telah secara mendalam dipertimbangkan alasan-alasan pembatasan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 I ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
90
j. Pembatasan
yang
ditentukan
oleh
pembuat
undang-undang
sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 huruf g bukanlah pembatasan yang bersifat permanen, melainkan pembatasan yang bersifat situasional, dikaitkan dengan intensitas peluang penyebaran kembali faham (ideologi) Komunisme/Marxisme-Leninisme dan konsolidasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagaimana diketahui penyebaran ideologi komunisme dan konsolidasi PKI tidak dikehendaki oleh rakyat Indonesia, dengan tetap diberlakukannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 oleh MPR hingga saat ini. Menurut keterangan ahli Dr. Thamrin Amal Tomagola, TAP MPR itu secara formal adalah sah, karena dibuat oleh lembaga negara yang berwenang. k. Pembatasan ini bersifat situasional, dapat ditelusuri dengan semakin longgarnya perlakuan terhadap bekas anggota PKI dan lain-lain dari undang-undang Pemilu yang terdahulu ke undang-undang Pemilu berikutnya. Dalam undang-undang Pemilu sebelumnya bekas anggota PKI dan lain-lain, bukan saja dibatasi hak pilih pasif (hak untuk dipilih), tetapi juga hak pilih aktif (hak untuk memilih). Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibatasi hanya hak pilih pasif saja.
91
l. Dalam rangka rekonsiliasi nasional, di masa datang pembuat undangundang diharapkan untuk mempertimbangan kembali pembatasan itu, yang diikuti oleh legislative review, untuk memutakhirkan bunyi Pasal 60 huruf g sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Himbauan ini disampaikan karena sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) yang diberikan wewenang untuk membuat pertimbangan atas pembatasan itu adalah pembuat undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden), bukan lembaga negara lain. Setiap lembaga negara, termasuk Mahkamah Konstitusi memang boleh saja memberikan penilaian terhadap situasi keamanan dan ketertiban umum untuk menentukan
atau
menghapuskan
pembatasan,
tetapi
secara
konstitusional yang diberi mandat sebagai pemegang kata akhir (ultimate decision maker) dalam hal ini adalah pembuat undangundang (Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 diputus dalam rapat permusyawaratan Pleno Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa, tanggal 24 Pebruari 2004 dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal 24 Pebruari 2004. Dalam pembacaan perkara a quo, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., selaku Ketua dan didampingi oleh: Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., Prof. H.A.S. Natabaya,
92
S.H., L.LM., Dr. Harjono, S.H., MCL, I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Prof. Dr. H. Mukthie Fajar, S.H., M.S., Maruarar Siahaan, S.H., Soedarsono, S.H., dan H. Achmad Roestandi, S.H., masing-masing sebagai Anggota. Sedang Cholidin Nasir, S.H. sebagai Panitera Pengganti.
4.1.4 Ratio Decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUUI/2003 Ian McLeod dalam buku Legal Method secara singkat menerjemahkan ratio decidendi sebagai alasan untuk membuat keputusan (... ratio decidendi may be translated as the reason for the decision...).79 Dengan kalimat lain, ratio decidendi maksudnya adalah dasar putusan.80 Dalam kaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003
merupakan putusan Mahkamah
Konstitusi yang pertama kali menyatakan suatu norma bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pengujian terhadap undang-undang (judicial review) dimaksud adalah terhadap ketentuan Pasal 60 huruf g UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
79
80
Ian McLeod, 1996, Legal Method (Second Edition), London, MacMillan, Hlm. 137.
Bryan A. Garner, 2009, Op.Cit., Hlm. 1376 menyatakan ratio decidendi diartikan sebagai: “the reason for deciding”. Selengkapnya disebut: 1) “The principle or rule of law on which a court’s decision in founded; 2) The rule of the law on which a later court thinks that a previous court founded its decision”.
93
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mahkamah Konstitusi menyatakan larangan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam G.30.S/PKI atau organisasi terlarang lainnya menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
011-017/PUU-I/2003,
Mahkamah Konstitusi telah memulihkan hak dipilih bekas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan anggota partai terlarang lainnya yang dibatasi oleh ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal ini telah membatasi hak asasi manusia warga negara terkait dengan persyaratan menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun tidak langsung dengan peristiwa tersebut.81
81
Istilah “terlibat langsung atau tidak langsung” bersifat relatif. Ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 menegaskan syarat-syarat pencalonan anggota Dewan
94
Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tersebut, beberapa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang ataupun undang-undang secara keseluruhan yang diputus dan diucapkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam sidang terbuka untuk umum sampai dengan tahun 2012, dikabulkan permohonannya dan dalam amar putusan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Negara Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Di antara ratio decidendi pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011017/PUU-I/2003 dapat disebutkan bahwa di samping sebagai implementasi atas kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara, sebagai penafsir tunggal konstitusi, dan sebagai pengawal demokrasi (the protector of the citizen constitutional rights, as sole intepreter of the constitution, and as the guardian of the process of democratization) juga adalah dalam rangka menuju
rekonsiliasi nasional.82 Rekonsiliasi dimaknai
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Pada waktu itu, apabila calon anggota warga negara telah berumur 60 tahun dimana dalam KTP-nya tidak tertulis “seumur hidup” melainkan dalam KTP-nya diberi tanda ET (eks tahanan politik), maka tidak memenuhi syarat Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 karena telah dianggap sebagai bekas anggota Partai Komunis Indonesia atau terlibat langsung atau tidak langsung dalam G.30.S/PKI. 82
Pengertian rekonsiliasi menurut Jimly Asshiddiqie ada dua, yaitu: a) secara sosiologispolitis atau dalam arti sempit dimaksudkan sebagai usaha mengatasi konflik dengan semangat “islah” dan “rujuk” untuk terciptanya kehidupan bersama yang rukun dan damai di antara pihakpihak yang sebelumnya bersengketa; 2) secara politis atau dalam arti luas berhubungan dengan telah terjadnya berbagai jenis pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights) yang selama ini belum pernah diselesaikan secara adil yang banyak menimpa banyak pihak di masa lalu. Lihat dalam Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Hlm. 299-300. Bdk. dalam Anonim, 2014, Op.Cit., Hlm. 1158, secara leksikal rekonsiliasi dimaknai sebagai perbuatan memulihkan hubungan
95
sebagai upaya untuk memperbaiki sebuah hubungann yang rusak yang dilakukan oleh dua pihak yang terlibat dalam pertikaian. Dalam perspektif substantif, ada beberapa argumentasi mengapa penyelesaian berbagai kasus hak asasi manusia masa lalu pada umumnya dan pemberontakan PKI tahun 1965 pada khususnya mendesak untuk segera diselesaikan oleh pemerintah yang sedang memegang kekuasaan. Argumentasi yang dijadikan dasar, pertama, berdasarkan penilaian politis bahwa Indonesia kini masih berada pada masa peralihan/transisi dari periode otoriter ke rezim yang lebih demokratik. Masa peralihan adalah masa yang strategis dan momen paling tepat untuk menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia pemerintahan sebelumnya yang autokratik dan sewenang-wenang, khususnya pemberontakan PKI.83 Dapat dinyatakan sebagai masa yang strategis karena pelaku pelanggaran hak asasi manusia diharapkan masih dapat dimintai pertanggungjawaban. Banyak pelaku masih hidup dan berbagai dokumen yang mendukung dapat dijadikan sebagai dasar masih dapat ditemukan. Barang bukti yang mendukung
persahabatan ke keadaan semula. Bdk.juga dalam Bryan A. Gadner (Ed.)., 2009, Op.Cit., Hlm 1386 mengartikan rekonsiliasi sebagai pemulihan keharmonisan antara orang-orang atau sesuatu yang telah mengalami konflik (restoration of harmony between persons or things that had been in conflict). 83
Ifdhal Kasim (Ed..), 2003, Kebenaran Versus Keadilan. Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM Masa Lalu, Jakarta, Elsam. Dalam buku ini dideskripsikan, misalnya terjadinya pembunuhan, penyiksaan, penahanan massal, pengusiran paksa, perkosaan, perbudakan seks, terjadi antara bulan Oktober 1965 sampai sekitar bulan Maret 1966. Diduga antara setengah sampai satu juta orang tewas dalam rangkaian kejadian itu, ratusan ribu lainnya ditahan, sementara belasan juta kehilangan penghidupan, harta benda karena dirampas dalam gelombang kekerasan tersebut. Operasi pembasmian ini menandai awal berdirinya Orde Baru. Pola dan teknik yang digunakan terus ditemukan dalam kasus-kasus pelanggaran selanjutnya.
96
pengungkapkan diharapkan masih dapat diinventarisasi. Demikian pula saksi-saksi maupun korban diharapkan pula masih dapat mengingat peristiwa dengan baik. Kedua, penyelesaian kasus masa lalu membawa makna penting untuk mencegah impunitas atau kekebalan dari para pelanggar hak asasi manusia, apalagi kasus pemberontakan PKI yang membawa begitu banyak korban dan kerugian itu.84 Sejarah tentu mencatat, bahwa dengan tidak diselesaikannya kasus itu segera memberikan kesan bahwa para pelanggar hak asasi manusiaa dapat bebas meninggalkan korbannya tanpa pertanggungjawaban. Hal demikian bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan cita-cita negara hukum yang menjadi dasar penyelenggaraan negara. Padahal dalam hal ini dengan tegas dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara berdasar atas hukum. Norma yang dijadikan dasar untuk penetapan kesalahan terhadap pelaku penting dan penegakan hukum dengan doktrin persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dalam negara hukum harus konsisten ditegakkan. Apalagi dalam tataran kehidupan berbangsa dan bernegara
bersama dalam pergaulan
internasional hal demikian diabadikan dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tidak hanya menjadi sekadar tema yang dikumandangkan untuk kepentingan sempit. Konsistensi terhadap penegakan hukum bagi pelanggar hak
84
Pemberontakan PKI menimbulkan diskriminasi hak kewarganegaraan, yang mencabut atau membatasi hak kewarganegaraan tanpa dasar hukum telah merugikan hak dan kewenangan konstitusional warga negara Indonesia. Dalam bahasa politis, mereka menjadi korban rezim Orde Baru dalam peristiwa G.30.S/PKI dan pelanggaran HAM.
97
asasi
manusia
untuk
ini
harus
ditegakkan
sebagai
implementasi
dan
tanggungjawab atas peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Ketiga, pada perspektif hak asasi manusia, penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, khususnya kasus pemberontakan PKI merupakan refleksi keadilan. Penegakan keadilan bagi para korban adalah adalah hak setiap orang yang dilanggar hak asasinya sebagaimana diamanatkan Pasal 8 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Demikian pula, pemberian keadilan bagi para korban merupakan syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu dalam kerangka tercapainya rekonsiliasi nasional dimaksud. Rekonsiliasi atau perdamaian atau persahabatan baru akan mungkin terwujud, jika pelaku telah ditetapkan sebagai pihak yang bersalah. Sebagai konsekuensinya harus menjalani hukuman, atau kewajiban lain menurut hukum sebagai kompensasinya. Demikian pula, untuk pihak korban mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan pemulihan nama baik sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan atas dasar hak asasi manusia (HAM). Tanpa adanya pengungkapan dan penetapan siapa yang salah dan bertanggung jawab dan kewajiban bagi pelaku, maka rekonsiliasi nasional sulit diwujudkan. Oleh karena itu, mendasar untuk dilakukan adalah melakukan klarifikasi berdasarkan kesadaran semua pihak sehingga perjalanan sejarah masa lalu yang kelam itu menjadi catatan berharga bagi eksistensi bangsa Indonsia. Rekonsiliasi nasional, dalam perspektif hak asasi manusia, termasuk hak warga negara artinya seluruh warga negara mempunyai kesempatan, hak dan
98
kewajiban serta tanggungjawab yang sama di dalam kedudukan di pemerintahan (jabatan publik). Oleh karena itu, tidak ada perbedaan dan diskriminasi yang didasarkan pada pandangan politik tertentu. Dalam perspektif konstitusional, terjadinya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberi warna baru komitmen negara dalam jaminan, pemenuhan, penegakan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Jaminan dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia yang selama ini tidak sepenuhnya dan terinci dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diwujudkan. Hal ini tercermin dari materi muatan pengaturan hak asasi manusia yang lebih beragam dan lebih lengkap, manakala hak asasi manusia dimaksud dipenuhi dan menjadi bagian dari bentuk jaminan, pemenuhan, penegakan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Baik dalam kaitan dengan hak asasi pribadi, hak asasi keluarga, masyarakat dan sebagai warga negara Indonesia yang aman dan damai.85 Perlindungan yang beragam tersebut dapat dilihat dengan dimuatnya jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan II pada BAB XA “Hak Asasi Manusia”, dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I. Pengaturan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang lebih beragam dan lebih lengkap tersebut sekaligus dapat dipandang sebagai suatu upaya dalam merepresentasikan
85
Majda El-Muhtaj, 2002, Op.Cit., Hlm. 30.
99
gagasan konstitusionalisme moderen. Konstitusionalisme ini penekanannya adalah sebagai implementasi dari gagasan pembatasan kekuasaan yang terus berkembang. Dengan demikian, kemunculannya adalah sebagai reaksi terhadap praktik penyalahgunaan kekuasaan sepanjang sejarah peradaban manusia oleh penguasa demi kelanggengan kekuasaannya.86 Dengan adanya Mahkamah Konstitusi sebagai buah dari Gerakan Reformasi menjadi salah satu pilar negara hukum demokratis. Hal ini bertolak dari anggapan bahwa konstitusi ditetapkan oleh rakyat yang memegang kedaulatan. Rakyat yang memegang kekuasaan sepenuhnya dalam negara yang diimplementasikan dan dijalankan dalam kekuasaan pemerintah sehingga harus dijalankan sesuai dengan amanat rakyat. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa pemulihan hak-hak mantan anggota PKI dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUUI/2003 telah dipenuhi meski sifatnya masih belum maksimal. Oleh karena itu kedaulatan rakyat yang dituangkan dalam konstitusi memperkuat gagasan agar konstitusi ditempatkan pada puncak piramida sistem norma hukum. Norma hukum ini mengakomodasikan hak asasi manusia (HAM) sebagai dasar pengikat kekuasaan dalam negara. Konstitusi dibuat untuk mengikat organ-organ kekuasaan negara, yang secara umum terdistribusikan dalam kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
86
Ni’matul Huda., 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, Hlm. 39.
100
Dalam hubungan dengan perlindungan hak politik warga negara, kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai refleksi pengakomodasian atas hak asasi manusia tersebut tercermin pada kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi, yaitu melakukan pengujian terhadap produk hukum berupa undang-undang yang merugikan dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pembubaran partai politik, perkara sengketa perselisihan hasil
pemilihan
umum
(PHPU),
memutus
memperlihatkan fungsi Mahkamah Kontitusi
sengketa
lembaga
negara
sebagai penjaga demokrasi. Hal ini
sekaligus sebagai penjaga konstitusi, pelindung hak asasi manusia, dan pelindung hak konstitusional warga negara.87 Pada bagian lain wewenang Mahkamah Konstitusi dalam perkara pembubaran Partai Politik merupakan upaya melindungi hak asasi manusia (hak konstitusional warga negara) yang telah dijamin oleh konstitusi agar pemerintah tidak sewenang-wenang membubarkan Partai Politik yang akan mengakibatkan terlanggarnya hak berserikat dan mengeluarkan pendapat yang telah dijamin oleh konstitusi. Sejalan dengan hal tersebut, sesuai dengan wewenang dan peranan Mahkamah Konstitusi dalam menguatkan gagasan negara hukum
demokrasi
dilaksanakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Sesuai dengan prinsip
87
Jaminan hak asasi manusia dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “ Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat ”, menjadikan negara wajib untuk melindungi, menghormati, mmenuhi dan memajukan hak-hak tersebut secara konsisten. Pemerintah sebagai representasi negara mempunyai kewajiban untuk mewujudkannya.
101
demokrasi, yaitu dimana prinsip kebebasan diakui oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dalam hal ini, konstitusi bukan
merupakan fungsi redusial hak asasi manusia dari kekuasaan negara dan pemerintah melainkan sebaliknya merupakan fungsi redusial kekuasaan dari kebebasan dan hak asasi manusia. Konstitusi tidak boleh memberi pembatasan terhadap hak asasi manusia atau hanya menjadikan kekuasaan pemerintah semata. Konstitusi memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam konteks perlindungan hak politik warga negara, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pembubaran Partai Politik dan perkara sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) memperlihatkan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, juga sebagai pengawal demokrasi (the guardian and the sole interpreter of the constitution as well as the guandian of the process of the democratization), sekaligus sebagai pelindung hak asasi manusia dan pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizens constitution rights). Adanya jaminan hak asasi dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” menjadikan negara wajib untuk melindungi, menghormati, memenuhi dan memajukan hak-hak tersebut. Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam perkara pembubaran Partai Politik merupakan upaya untuk melindungi hak asasi manusia (hak konstitusional) warga
102
negara yang telah dijamin oleh konstitusi agar pemerintah tidak sewenang-wenang membubarkan Partai Politik yang akan mengakibatkan terlanggarnya hak berserikat dan mengeluarkan pendapat yang telah dijamin oleh konstitusi. Berdasarkan uraian di atas, dalam praktik penegakan hukum, khususnya Peradilan Tata Negara ratio decidendi mengacu pada
peraturan perundang-
undangan. Namun demikian, secara substantif di balik peraturan perundangundangan senantiasa ada ratio decidendi yang menjadi dasar sehingga diakomodasikan dalam pasal sebagai dasar pertimbangan (pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara). Sehubungan dengan dibatalkan atau dinyatakan tidak berlakunya ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tersebut, salah satu di antaranya adalah
dalam kerangka rekonsiliasi nasional. Khususnya dengan orang yang
secara langsung atau tidak langsung terlibat dengan peristiwa G-30. S/ PKI tersebut. Meskipun sampai saat ini rekonsiliasi dimaksud belum terwujud secara formal, namun dalam konteks pemulihan terhadap hak dipilih warga negara telah terpenuhi meski terbatas pada pencalonan sebagai anggota legislatif.
4.2 Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUUI/2003 Pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ditentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
103
putusannya bersifat final. Selanjutnya, pada Pasal 47 ditentukan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Itu berarti bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.88 Dengan kalimat lain, putusannya bersifat final and binding. Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi, berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara, yaitu: Pemohon, Pemerintah, DPR/DPD ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia. Ia berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan oleh pembentuk undang-undang. Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative legislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.89 Meski demikian, terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 pada bagian berikut diuraikan tentang: a) keterbatasan putusan hanya pada lembaga perwakilan, b) akibat hukum dalam bidang politik untuk hak dipilih, dan c) perspektif negara hukum dan hak asasi manusia.
88
Maruarar Siahaan, 2005, Op.Cit., Hlm. 208.
89
Maruarar Siahaan, Op.Cit., Hlm. 208-209.
104
4.2.1 Keterbatasan Putusan Hanya pada Lembaga Perwakilan Permasalahannya adalah berkenaan dengan akomodasi hak dipilih dalam pemilihan umum, dalam kaitan ini adalah Pemilihan Umum Legislatif. Padahal berdasarkan analisis pada Bab III permasalahan yang berhubungan dengan hak dipilih pada dasarnya adalah untuk semua jabatan publik. Dalam prakteknya, untuk jabatan publik yang bersifat strategis masih menggunakan acuan atau mencantumkan persyaratan: “terlibat secara langsung atau tidak langsung dengan pemberontakan PKI.” Kalimat “terlibat langsung atau tidak langsung dengan pemberontakan PKI”, yaitu bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI merupakan kalimat politis yang dapat diterjemahkan oleh rezim penguasa sesuai dengan kepentingannya. Secara politis hal demikian dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyingkirkan hak-hak politik dari para pesaing politiknya.90 Sebagai refleksi dalam hal ini, misalnya adalah pada syarat calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf q Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, terkait persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dan Pasal 10 huruf q Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden masih mencantumkan persyaratan “bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi
90
Munasir, 2003, Hak Politik dalam Pespektif Hak Asasi Manusia, Solo, Panepen Mukti,
Hlm. 65.
105
massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI”. Dalam perspektif hak asasi manusia dan hak dipilih adanya ketentuan tersebut bertentangan dengan hak konstitusional (constitutional rights) warga negara, baik sebagaimana ditentukan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia, peraturan perundang-undangan Indonesia maupun dalam instrumen internasional tentang hak asasi manusia. Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia, jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia tercermin dalam pasal-pasal
tentang
hak asasi manusia (HAM). Terutama terkait dengan hak dipilih sebagai hak politik, ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua merupakan landasan konstitusional. Dengan demikian, hal ini seharusnya juga menjadi dasar dalam pengakomodasian hak-hak warga negara untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin tertinggi negeri ini, yaitu sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dalam satu pasangan yang dipilih langsung oleh rakyat dalam suatu Pemilihan Umum. Ketentuan pasal yang kemudian dicabut itu dinilai bertentangan dengan konstitusi karena berbagai peraturan perundang-perundangan lain sudah mengakomodasikan hak anggota partai tersebut. Setidaknya secara ideologis tidak ada kekhawatiran akan terjadinya pemberontakan atau mengulangi peristiwa pemberontakan G.30-S/PKI tersebut. Secara ideologis, perjuangan yang dikaitkan
106
dengan pemberontakan PKI itu seharusnya sudah tidak ada lagi dan tinggal menjadi catatan sejarah perjalanan bangsa yang kelam.91 Kalaupun berdasarkan kajian politis teoretik masih relevan dan memunculkan kekhawatiran, akan tetapi kecenderungannya adalah sebagai upaya untuk mengurangi persaingan atau untuk menyingkirkan lawan-lawan politik dari kancah persaingan. Permasalahan yang berhubungan dengan pemberontakan PKI, misalnya dalam kerangka apa yang disebut dengan PKI gaya baru misalnya, bersifat wacana yang tidak terukur dan terbuktikan secara kuantitatif.92 Kondisi sebagaimana dikemukakan di atas merupakan bentuk diskriminasi dalam bidang politik. Diskriminasi dalam hubungan ini merujuk kepada perlakuan yang tidak adil terhadap warga negara tertentu. Secara umum diskriminasi memberlakukan perbedaan peraturan atas pemberlakuan secara tidak adil karena karakteristik suku, antar golongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain. Dalam perspektif Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang didasarkan pada Pasal 5 huruf q Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dan pada Pasal 10 huruf q Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2014 yang mensyaratkan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus bebas dari keanggotaan PKI maupun simpatisannya merupakan bentuk diskriminasi terhadap 91
Ibid., . Hlm. 80.
92
PKI gaya baru menjadi tema hangat beberapa waktu yang lalu dan merupakan upaya untuk membangkitkan kembali peristiwa pemberontakan PKI. Namun pada dasarnya hal itu mencerminkan adanya ketakutan kiprah lawan politik, terutama dari anak keturunan anak-anak PKI.
107
hak politik warga negara. Hal demikian tentunya tidak boleh terjadi, apalagi kebijakan diskriminatif tersebut dilakukan oleh negara. Negara sebagai pihak yang seharusnya melindungi dan bertanggung jawab untuk memastikan terpenuhinya hak konstitusional (constitutional rights) warga negara tanpa diskriminasi.93 Dalam kaitan ini, pola rekruitmen kepemimpinan harusnya direfleksikan pada pengakomodasian seluruh warga negara untuk secara sehat berkompetisi didasarkan pada hak asasi manusia yang universal yaitu tidak ada pembatasan, penyimpangan, peniadaan, penghapusan, dan diskriminasi. Pemilihan Umum sebagai sarana perwujudan demokrasi tidak seharusnya tercoreng dengan adanya pembatasan hak partisipasi politik warga negara. Ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2014 tersebut sudah tidak relevan dalam menumbuhkan budaya hukum yang demokratis. Demikian pula, dalam perspektif hak asasi manusia hal tersebut mencerminkan adanya ketakutan yang berlebihan (fobia) dan cenderung sebagai upaya mengeleminasi hak-hak warga negara. Dalam perspektif ini kiranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011017/PUU-I/2003 tersebut harusnya dijadikan sebagai dasar yuridis untuk
93
Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003, persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah menyangkut beberapa peraturan perundang-undangan yang masih mencantumkan larangan bagi eks anggota PKI (dan organisasi terlarang lainnya) untuk mendapat perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Semestunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 harus menjadi spirit untuk menghapus semua peraturan perundang-undangan yang diskriminatif. Semangat ini penting artinya karena sampai sekarang masih ada belasan undang-undang yang diskriminatif terhadap eks anggota PKI. Lihat dalam Saldi Isra, Satu Tahun Sang Penjaga Konstitusi” dalam Refli Harus (Ed.), 2004, Menjaga Denyut Konstitusi, Jakarta, Konstitysi Press, Hlm. 341.
108
mengakomodasikan dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum untuk jabatan publik lainnya. Dalam hal ini dapat merujuk pada rezim Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tidak mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Dengan demikian, pengakomodasian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUUI/2003 tersebut harus diperluas menjadi tidak saja untuk pemilihan umum anggota legislatif tetapi untuk seluruh jabatan publik, baik pada jabatan legislatif, eksekutif (dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden) maupun pada jabatan yudikatif. Sebagai instrumen internasional yang juga diakomodasikan dalam sistem penegakan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, maka ketentuan sebagai dasar hukum sebagaimana
diatur dalam Pasal 25 huruf b Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119). Dalam kovenan tersebut dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan tanpa pembedaan, termasuk untuk memilih dan dipilih pada Pemilihan Umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia, menjamin kebebasan berekspresi dari kehendak pemilih.
109
Tidak ada interpretasi yang kemudian mengeleminasi ketentuan tersebut. Artinya bagi negara tidak ada argumentasi yang membenarkan adanya pembatasan hak politik bagi mantan anggota PKI dan simpatisannya. Untuk itu, negara seharusnya menjamin pelaksanaan sekaligus perlindungan hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum, tanpa mendapat perlakuan diskriminasi terhadap warga negaranya.
Dengan
kalimat
lain,
hendaknya
hak-hak
tersebut
dapat
diakomodasikan tanpa adanya pembatasan-pembatasan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.
4.2.2 Akibat Hukum dalam Bidang Politik untuk Hak Dipilih Bahwa pada prinsipnya pendapat dari para Hakim Konstitusi yang kemudian dituangkan dalam putusan pada permohonan uji materiil (judicial review) tersebut sangat tepat. Bahwa secara tersurat dan tegas tanpa harus ada interpretasi gramatikal dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Dengan masih tetapnya ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, akhirnya warga negara yang hak konstitusionalnya dibatasi mengajukan perrmohonan uji material (judicial review) terhadap ketentuan tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Meskipun secara praktis Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 sudah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
110
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51) yang telah disahkan pada tanggal 31 Maret 2008, namun sebagai dasar pembelajaran untuk menghadapi permasalahan yang sama kiranya diperlukan klarifakasi. Ketegasan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menurut Jimly Ashiddiqie mengandung pengertian adanya pemahaman substansial sebagai berikut: a. Pengakuan terhadap supremasi hukum dan konstitusi. b. Dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. c. Adanya jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. d. Adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum. e.
Menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.94 Dalam perspektif ini, dapat dipahami bahwa esensi negara hukum seperti
diungkapkan oleh Frans Magnis Suseno adalah “…didasarkan pada suatu keinginan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang 94
Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, Hlm. 79.
111
baik dan adil. Hukum menjadi landasan dari segenap tindakan negara, dan hukum itu sendiri harus baik dan adil. Baik karena sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dari hukum dan adil karena maksud dasar segenap hukum adalah keadilan. Ada empat alasan utama untuk menuntut agar negara diselenggarakan dan menjalankan tugasnya berdasarkan hukum: 1) kepastian hukum; 2) tuntutan perlakuan yang sama; 3) legitimasi demokratis; dan 4) tuntutan akal budi”.95 Berkaitan dengan hal tersebut, dalam kerangka untuk memenuhi unsurunsur agar disebut sebagai negara hukum, khususnya dalam pengertian Rechtsstaat, Freidrich Julius Stahl mensyaratkan beberapa prinsip
yang
meliputi: a. Perlindungan hak asasi manusia (grondrechten). b. Pembagian kekuasaan (scheiding van machten). c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur). d. Adanya peradilan administrasi Tata
Usaha Negara (administratieve
rechspraak).96 Dalam perspektif ini kiranya dapat dimaknai, bahwa dalam suatu negara hukum,
salah
satu
pilar
terpentingnya
adalah adanya penghormatan,
pemenuhan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Pada kalimat 95
Frans Magnis Suseno, 1999, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta, Gramedia, Hlm. 295. 96
Philipus M. Hadjon, 1988, Pengkajian Ilmu Hukum, Surabaya, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Hlm. 23.
112
sederhana hal tersebut dipandang sebagai roh dari negara hukum. Tanpa adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM), maka negara hukum itu kehilangan roh yang berarti tidak ada maknanya. Dengan demikian ada keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan antara negara hukum, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Perlindungan terhadap hak asasi manusia dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) terhadap hak asasi manusia sebagai ciri yang penting bagi suatu negara hukum yang demokratis.97 Makna substansialnya bahwa setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Dalam kaitan ini, terbentuknya negara, termasuk penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak asasi manusia. Penyelenggaraan pemerintahan negara yang mengurangi makna jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dipandang melanggar hak asasi manusia dan menjadi refleksi dari sistem pemerintahan yang otoriter dan keluar dari prinsip negara hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh A.V. Dicey tentang prinsip negara hukum ditekankan bahwa isi konstitusi suatu negara yang menganut negara hukum (rule of law) harus mengikuti perumusan hak-hak dasar (constitution based on
97
Ibid., Hlm. 85.
113
human rights), selain prinsip supremasi hukum (the supremacy of law), dan persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law).98 Sehubungan dengan hal di atas, bahwa menjadi kewajiban negara di dalam mempromosikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hal ini mengingat pada dasarnya negara dibentuk untuk menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Inilah yang menjadi tujuan pokok dan
utama
dibentuknya
negara,
yaitu
menghormati,
memenuhi,
dan
melindungi,hak asasi manusia. Konsep tujuan negara ini diusung oleh John Locke yang menyatakan bahwa negara ada dan dibentuk oleh manusia semata-mata untuk menjamin perlindungan hak-hak milik manusia, yakni kehidupannya, kebebasannya, dan hak miliknya. Hak-hak milik yang melekat pada manusia inilah yang kemudian diartikan sebagai hak asasi manusia karena hak tersebut memang dimiliki oleh manusia sejak lahir.99 Pemikiran di atas menjadi dasar pemikiran Locke mengenai kaitan antara hakhak manusia dengan negara. Inilah yang menjadi pokok utama pemikiran Locke mengenai kaitan antara hak-hak manusia dengan negara. Negara ada melalui perjanjian di antara manusia untuk menjaga hak-hak manusia itu. Selain menjadi tujuan, hal ini juga menjadi dasar dari adanya negara. Oleh sebab itu, the 98
99
Miriam Budiardjo, . 2013, Op.Cit., Hlm. 113-14.
Kajian mengenai hal ini dilakukan oleh para pakar Hukum Tata Negara, yang selalu mengaitkan hak-hak dasar warga negara yang kemudian dikenal dengan hak asasi manusia sebagai pilar penting dalam kehidupan bernegara.
114
preservation of human’s property ini merupakan raison d’etre dari negara;100 Sebagai refleksi dari prinsip negara hukum dari A.V. Dicey juga ditegaskan oleh Eric Barendt. Menurut Barendt bahwa karakteristik dari dokumen konstitusi, terutama adalah memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Selain keharusan untuk memberikan batasan pada kekuasaan legislatif dan eksekutif serta mendorong penguatan dan independensi institusi peradilan.101 Pada refleksi hubungan antara negara hukum dan hak asasi manusia ini menjadi substansi dari negara hukum juga dikatakan oleh Brian Z. Tamanaha. Tamanaha sebagai dikutip Herqutanto Sosronegooro menyatakan bahwa substansi dari the rule of law adalah pada pemenuhan hak asasi manusia. Hak individu, hak atas keadilan dan tindakan yang bermartabat serta pemenuhan kesejahteraan sosial menjadi inti dari the rule of law. Sedangkan penyelenggaraan pemerintahan dan demokrasi adalah instrumen atau prosedur untuk mencapai kesejahteraan yang menjadi substansi.102 Bagi Negara Republik Indonesia yang didasarkan pada prinsip negara konstitusionalisme,103 dengan tegas dinyatakan Indonesia adalah negara dengan 100
Ibid., Hlm. 92.
101
Herqutanto Sosronegoro, 1984, Beberapa Ideologi dan Implementasinya dalam Kehidupan Kenegaraan, Yogyakarta, Liberty, Hlm. 89. 102
Herqutanto, 1984, Ibid. Hlm. 92.
103
Konstitusionalisme merujuk pada prinsip bahwa negara yang menggunakan Konstitusi sebagai hukum dasarnya disebut dengan negara konstitusionalisme. Namun pada Abad Pertengahan, konstitusionalisme merupakan satu aliran sebagai bentuk koreksi terhadap negara absolutisme. Lihat dalam Joseph Raz, 1980, The Concept of a Legal System: An Introduction to the Theory of Legal System, London, The Calendon Press.
115
dasar konstitusi. Berdasarkan hal tersebut, pengertian negara hukum Indonesia yang berdasar pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia T a h u n 1945 dan Pancasila, berbeda dengan pengertian negara hukum dalam kerangka rechtsstaat seperti yang berlaku di Belanda, namun lebih mendekati negara hukum dalam pengertian rule of law.104 Secara konseptual sumber dari rechtsstaat pada satu sisi dan the rule of law pada sisi lain memang berbeda. Rechtsstaat bersumber pada tradisi hukum Eropa Kontinental, sedangkan the rule of law bersumber pada tradisi hukum Anglo Amerika. Berkaitan dengan hal di atas, Moh. Mahfud MD memberikan pendapat yang senada dengan Simorangkir. S e l a n j u t n y a , M o h . Mahfud MD mengatakan bahwa penggunaan istilah rechtsstaat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sangat berorientasi pada konsepsi negara hukum Eropa Kontinental. Namun demikian, bilamana melihat materi muatan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 justru yang terlihat kental adalah materi yang bernuansakan Anglo Saxon, khususnya ketentuan yang mengatur tentang jaminan perlindungan terhadap hak asasi manausia. 105 Dalam perspektif yang sama,
menurut
Kusumadi
Pudjosewojo
104
Rechtsstaat muncul pada tradisi hukum Eropa Kontinental. Sementara itu, The Rule of Law muncul pada tradisi hukum Anglo Saxon atau Anglo Amerika. 105
Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta, Gama Media, Hlm. 36.
116
sebagaimana dikutif Ni’matul Huda106 dikarenakan
Indonesia
adalah negara
hukum, maka segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara harus pula berdasarkan dan diatur oleh hukum. Penguasa bukanlah pembentuk hukum, melainkan pembentuk aturan-aturan hukum. Oleh sebab itu hukum berlaku bukan karena ditetapkan oleh penguasa, akan tetapi karena hukum itu sendiri. Hal ini membawa konsekuensi, bahwa penguasa pun dapat dimintai pertanggungjawaban jika dalam menjalankan kekuasaannya melampaui batasbatas yang telah diatur oleh hukum, atau melakukan perbuatan melawan hukum.107 Berdasarkan uraian tersebut, pada prinsipnya pembatasan untuk berperan serta sebagai calon dalam pencalonan jabatan publik dengan menggunakan hak dipilih, khususnya Presiden dan Wakil Presiden harusnya juga mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tersebut. Peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang membatasi pencalonan dimaksud merupakan pembatasan terhadap hak dipilih. Tindakan pembatasan tersebut merupakan tindakan diskriminasi. Interprertasi
demikian
merupakan
perwujudan
negara
hukum
yang
menekankan pada tidak adanya diskriminasi. Semua orang berkedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua). Secara khusus adalah hak
106
Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta,. UII Press, Hlm. 79. 107
Ibid., Hlm. 104
117
untuk dicalonkan dan terbebas dari perlakuan diskriminasi. Hal ini yang menjadi dasar dari pencabutan yang secara normatif terkandung dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 sebagaiman diuraikan pada bagian terdahulu.
4.2.3 Perspektif Perlindungan Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia Dalam perspektif administratif, kewenangan penguasa dan negara sangat dibatasi, terutama pada tindakan
organ-organ
perseorangan dalam negara.
Pembatasan ini adalah refleksi dari hak asasi manusia. Pendapat tersebut menegaskan bahwa hak asasi manusia merupakan unsur penting dalam sebuah negara hukum. Dengan demikiam, Hotma P. Sibuea menyatakan bahwa dari perspektif negara hukum, upaya peningkatan perlindungan terhadap hak-hak individu tersebut dilakukan dengan cara membatasi kekuasaan pemerintah (penguasa).108 Dalam perspektif konstitusional, bahwa perlindungan hak asasi manusia sebagai bagian penting dari konsep negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia. Secara khusus penegasan mengenai jaminan hak asasi manusia dalam negara hukum demokratis tertuang dalam Pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua yang menentukan: “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
108
Hotma P. Sibuea, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Jakarta, Erlangga, Hlm. 140.
118
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.”. Dalam perspektif ini dapat dimaknai bahwa dalam negara hukum, peraturan perundangan-undangan yang terbentuk harus mengandung nilai-nilai keadilan bagi semua orang. Wolfgang Friedman dalam buku Law in a Changing Society sebagaimana dikutif Jimly Asshiddiqie membedakan organized public power (the rule of law dalam arti formil), dengan the rule of just law (the rule of law dalam arti materiil).109 Lebih jauh mencermati ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 sifatnya sangat diskriminatif. A r t i n y a t idak mencerminkan aturan yang secara tegas pro atau sejalan dengan hak asasi manusia (HAM). Keberadaan ketentuan tersebut jelas merupakan refleksi dari aturan yang mencerminkan ketidakadilan. Dengan demikian, ketentuan semacam itu sulit untuk dilaksanakan secara adil (fair). Rumusan dalam ketentuan pasal tersebut jelas mengandung unsur diskriminasi terhadap seseorang yang harus memperoleh perlindungan hukum berdasarkan hak asasi manusia. Keadaan dimaksud juga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang lebih tinggi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), khususnya terkait ketentuan pasal yang dimaksud. Diskriminasi merupakan bentuk pelanggaran atas konsep negara hukum 109
Jimly Asshiddiqie, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Jakarta, UI Press, Hlm. 89. Bdk. Jimly Asshidiqie, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta, Buana Ilmu Populer, Hlm. 200.
119
(rule of law) yang didasarkan kepada a legal system in which rules are clear, well understood, and fairly enforced dan hak asasi manusia (HAM). Dalam perspektif hak asasi manusia, rule of law dapat dimaknai sebagai a legal system in which rules are clear, wel understood, and fairly enforced.110 Dengan satu ciri antara lain adanya persamaan di depan hukum (equality before the law) dan kepastian hukum yang mengandung asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi. Hak untuk tidak b e r l a k u diskriminasi berhubungan dengan persamaan hak dihadapan hukum (equality before the law) yang juga merupakan salah satu prinsip dari negara hukum. Penegasan ini ada di dalam berbagai konsep fundamental tentang hak asasi manusia. Bahkan prinsip tersebut sudah dijamin dalam berbagai instrumen internasionall tentang hak asasi manusia sebagai dimaksud di bawah ini: a. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM): Pasal 2 dan Pasal 7. b. Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik: Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 26. c. Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Pasal 2 ayat (2), ayat (3) dan Pasal 3. d. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD). Bahkan untuk jaminan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat telah diatur secara spesifik dalam United Nation Declaration on the Rights of 110
Jimly Asshiddiqie, 1996, Op.Cit., Hlm. 90.
120
Indigenous Peoples (UNDRIP). Dalam perspektif konstitusional, ketentuan Pasal 28C ayat (1)
Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua telah memberikan
jaminan
konstitusional
bagi
setiap
warga
negara
untuk
mengembangkan dirinya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraan umat manusia. Dalam Pasal 28C ayat (1) ditentukan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Ketentuan tegas dinyatakan dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan dan martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Sesuai dengan kenyataan di atas bahwa bangsa Indonesia mengakui hak untuk mengembangkan diri dan hak keamanan sebagai hak dasar yang tidak boleh terabaikan dalam pemenuhannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia pada TAP MPR Nomor XVII/MPR/ 1998 T entang Hak Asasi Manusia. Pada alinea kedua dari Piagam tersebut menyebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat
121
pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Selanjutnya manusia juga mempunyai hak dan tanggung jawab yang timbul sebagai akibat perkembangan kehidupannya dalam masyarakat. Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, maka menjadi hak bagi setiap orang untuk mengembangkan diri yang bersifat pokok dan mendasar. Hal demikian juga akan berpengaruh terhadap pemenuhan hak-hak lain. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Bagian Ketiga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.. Jaminan terhadap hak untuk mengembangkan diri terdapat dua dimensi pengakuan sekaligus. P e r t a m a , d i dalamnya termasuk pengakuan hak sipil dan politik. Kedua, hak ekonomi, sosial dan budaya. Undang-undang sendiri merupakan pengembangan atau pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya pada pasal-pasal yang disebutkan di dalam konsiderannya. Dengan demikian peraturan
perundang-undangan
di
Indonesia
telah
memberikan jaminan bagi setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya”. Hal
122
demikian sangat fundamental. Dalam pelaksanaan pemajuan, penegakan, pemenuhan, jaminan dan perlindungan hak asasi manusia di dalamnya berlaku beberapa prinsip dasar. Adapun prinsip dimaksud meliputi: 1) prinsip indivisibility, 2) prinsip interdependence, dan 3) prinsip interrelatedness. Artinya, prinsip indivisibility memiliki pengertian bahwa seluruh komponen hak asasi manusia memiliki status yang sama dan setara, tidak ada yang lebih penting daripada yang lain. Oleh karena itu, jika ada penyangkalan atas satu hak tertentu, maka akan langsung menghambat penikmatan hak lainnya. Untuk prinsip interdependence dan interrelatedness ingin menegaskan bahwa tiap hak akan berhubungan dan menyumbang pada pemenuhan hak dan martabat orang. Hak atas politik, untuk memilih dan dipilih tergantung pada pemenuhan hak atas pembangunan, hak atas pendidikan dan hak atas informasi. Hal itu semuanya ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 bertentangan dengan prinsip dasar dimaksud. Maknanya bahwa berdasarkan pada prinsip-prinsip di atas, maka pembatasan atas hak untuk mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan dasar hidup dan hak atas rasa aman akan berdampak dan berhubungan pada pemenuhan hak dasar lainnya, termasuk di dalamnya menghambat pemenuhan hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas harta benda, dan lainnya. Semua itu merupakan refleksi dari hak seseorang yang di hulunya boleh disebut sebagai hak politik.
123
Berdasarkan uraian di atas, bahwa adalah sangat tepat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 mengandung pengakuan atas hak dipilih eks PKI. Putusan Mahkamah Konstitusi a quo dapat dimaknai bahwa keanggotaan pada suatu organisasi terlarang sebelum organisasi itu dilarang bukanlah suatu cacat hukum maupun konstitusi. Dengan demikian, pelarangan yang semata-mata berdasarkan hal itu dan tidak didukung oleh fakta dan alasan yang kuat sesuai hukum melalui Putusan Pengadilan yang telah berkuatan hukum tetap adalah tindakan diskriminasi. Demikian pula, adanya pelarangan terhadap pandangan politik yang berbeda adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusiaa (HAM). Pelarangan dan pembatasan hak dipilih sebagaimana ditentukan dalam Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tidak lagi relevan dengan upaya rekonsiliasi nasional. Kendati pun keterlibatan PKI dalam peristiwa G.30S yang juga diamini oleh banyak kalangan dan keberadaan TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 masih berlaku, namun sebagai sesama warga negara Indonesia mereka yang bekas anggota PKI harus diperlakukan sama dengan warga negara lainnya tanpa diskriminasi. Dalam perspektif ini, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tersebut merupakan upaya Mahkamah Konstitusi dalam menyetarakan hak dan kewajiban konstitusional warga negara Indonesia yang dijamin hak konstitusionalnya untuk dipilih dari tindakan diskriminatif. Dengan demikian upaya ini adalah tindakan untuk menghilangkan diskriminasi dan sekaligus mengakomodasikan secara konkret dari ketentuan, baik dalam
124
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999) maupun berbagai instrumen internasional tentang hak asasi manusia.
125
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bagian terdahulu, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Konsep perlindungan hukum hak dipilih dari segala bentuk diskriminasi dalam mekanisme ketatanegaraan Indonesia bermuara dari Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsep perlindungan hukum hak dipilih sebagai bagian dari hak asasi manusia merupakan constitutional rights karena diatur dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua. Dengan demikian, mekanisme perlindungan hukum dapat dilakukan dengan mengajukan uji materiil (judicial review) bila ada peraturan perundangan-undangan merugikan hak-hak konstitusional warga negara. 2. Akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 terhadap warga Negara adalah pulihnya hak dipilih sebagai hak-hak politik warga
negara.
Undang-undang
yang tidak
lagi
mencantumkan
atau
menyaratkan ketentuan Paal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 (“bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan yang terlibat langsung dalam G-30.S/PKI”):
126
a) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. b) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Unfang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
5.2 Saran Berdasarkan uraian terdahulu dan kesimpulan di atas, disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Hendaknya pembentukan peraturan perundang-undangan tidak sematamata berorientasi kepada pertimbangan politis dari golongan yang terwakili dalam lembaga perwakilan (Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Berbagai produk peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR bersama Presiden pada akhirnya ditujukan untuk kepentingan warga negara seyogianya paling mempertimbangkan asfek filosofis, sosiologis, dan yuridis serta responsif terhadap nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
konstitusi
yang
hidup
(living
constitution).
Dengan
127
mempertimbangkan hal tersebut, paling tidak berbagai tindakan sewenangwenang, penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dapat dihindari. 2.
Hendaknya pasca dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011017/PUU-I/2003, pembentukan peraturan perundang-undangan terkait dengan hak dipilih tidak lagi mencantumkan atau menyaratkan ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 semata-mata ditujukan untuk anggota legislatif melainkan pada
semua
pembentukan
peraturan
perundangan-undangan
untuk
pencalonan pejabat publik, termasuk untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden harus mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011017/PUU-I/2003 tersebut. Bukan sebaliknya sebagaimana Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden masih mencantumkan atau menyaratkan sebagaimana dimaksud Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 segera direvisi atau diubah sehingga tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
128
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU Amos, H.F. Abraham, 2007, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Dari Orla, Orba Sampai Reformasi) Telaah Sosiologis Yuridis dan Yuridis Pragmatis Krisis Jati Diri Hukum Tata Ngara Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Anonim, 2014, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat PT.Gramedia Pustaka Utama, Edisi IV, Cet. VII, Jakarta.
Bahasa,
Anwar C, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi: Paradigma Kedaulatan dalam UUD 1945 (Pasca Perubahan) Implikasi dan Implementasi pada Lembaga Negara, Intran Publising, Malang. Arinanto, Satya, 2011, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Cet. III, Jakarta. Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. Asshiddiqie, Jimly, 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. ----------------, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Jakarta, UII Press. ----------------, 1998, Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, IndHill-Co, Jakarta. -----------------, 2004, Konstitusi & Konstitutionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. -----------------, 2006a, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Panca Reformasi, Konstitusi Press, Cet. II, Jakarta.
129
-----------------, 2006b, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jilid II), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. -----------------, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Buana Ilmu Populer, Jakarta. -----------------, 2011, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Edisi Kedua, Jakarta. Atmasasmita, Romli, 2012, Teori Hukum Integratif: Rekonstruktif Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Cet. II, Jakarta. Baechler, Jean. 2001, Demokrasi Sebuah Tinjauan Analitis, Kanisus, Yogyakarta. Budiardjo, Miriam, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet. IX, Jakarta. Brownlie, Ian (Peny.), 1993, Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia (Basic Document on Human Rights), Penerjemah: Beriansyah, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta. Dahl, Robert A, 2001, Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat (Penerjemah: A. Rahman Zainuddin dari Robert A. Dahl, 1999, On Democracy, Yale University Press. Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Davidson, Scott, 2008, Sejarah, Teori, danm Praktek dalam Pergaulan Internasional (Penerjemah A. Hadyana Pudjaatmaka), PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Duswara, Deden, 2003, Sketsa Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung. Effendi, A. Masyhur, 1994, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia. Jakarta. Fadjar, A. Mukthie, 2006, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press-Citra Media, Jakarta-Yogyakarta.
130
--------------, 2013, Pemilu, Perselisihan Hasil Pemilu dan Demokrasi, Setara Press, Malang. Friedrich, Carl Joschim, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis (The Philosophy of Law in Historical Perspective),Penerjemah: Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung. Gadung Agussalim, Andi, 2007, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. Gaffar, Janedjri M, 2012, Politik Hukum Pemilu. Konstitusi Press, Jakarta. --------------, 2013a, Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta. --------------, 2013b, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta. Garner, Bryan A, 2009, Black’s Law Dictionary, Nith Edition, Thompson Reuter, St. Paul-Minnesota. Gerung, Rocky (Ed.), 2006, Hak Asasi Manusia Teori, Hukum, Kasus, Filsafat UI Press, Jakarta. Goud, Carol C, 1993, Demokrasi Ditinjau Kembali, Yogyakarta.
PT. Tiara Wacana,
Hadjon, Philipus M, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya. ---------------, 1988, Pengkajian Ilmu Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya. Hardjono, 2013, Legitimasi Peubahan Konstitusi: Kajian Perubahan UUD 1945, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Terhadap
Hasani, Ismail (Ed.), 2013, Dinamika Perlindungan Hak Konstitusional Warga: Mahkamah Konstitusi sebagai Mekanisme Nasional Baru Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Pustaka Masyarakat Setara, Jakarta.
131
Huda, Ni’ Matul, 2007, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta. Huijbers, Theo, 2002, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Cet. XI, Yogyakarta. Ibrahim, Johnny, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang. Isra, Saldi, 2004, “Satu Tahun Sang Penjaga konstitusi” dalam Refli Harus (Ed.), Menjaga Denyut Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta. -------------, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Iver, Mac, 1988, The Web of Goverment, The Macmillan Company, New York. ---------------, 1984, Negara Modern (Penerjemah Moertono dari Mac Iver, The Modern State, New York, Oxford University Press), Aksara Baru, Jakarta. Kelsen, Hans. 2008, Dasar-Dasar Hukum Normatif: Prinsip-Prinsip Teoretis untuk Mewujudkan Keadilan dakam Hukum dan Politik (What is Justice? Justice, Politic, and Law in the Mirror of Science), Penerjemah: Narulita Yusron, Nusa Media, Bandung. ------------------, 2009, Pengantar Teori Hukum (Introduction to the Problems Legal Theory), Penerjemah: Siwi Purwandari, Nusa Media. Cet. II, Bandung. Kaligis, O.C, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Alumni, Bandung. Kasim, Ifdhal (Ed.), 2003, Kebenaran Versus Keadilan, Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM Masa Lalu, Elsham, Jakarta. Latif, H, Abdul, 2007, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Kreasi Total Media, Jakarta.
132
Lubis, Todung Mulya, 1993, In Seach of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966-1990, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Mahfud MD, Moh, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta. -------------2000, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Rineka Cipta, Cet. II, Yogyakarta. ---------------2001, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Cet. II, Jakarta ---------------2011, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta. Manan, Bagir, dkk., 2001, Perkembangan dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, PT. Alumni, Bandung. ------------- dan Susi Dwi Harijanti, 2014, Memahami Konstitusi Makna dan Aktualisasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Marsudi, Subandi Al, 2003, Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma Reformasi (Edisi Revisi), .PT RajaGrafindo Persada, Cet. III, Jakarta. Martitah, 2013, Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislative ke Positive Legislative, Konstitusi Press, Jakarta. Marzuki, Laica, 2006, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Sekretariat Jenderal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. McLeod, Ian, 1996, Legal Metod, Macmillan Press Ltd, London. Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ---------------, 1999, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Edisi IV, Cet. II, Yogyakarta.
133
Muhtaj, Majda El, 2012, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Prenada Medi Group, Cet. IV, Jakarta. Moelyono, Anton M., 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta. Muroj, Ma'mun, 1999, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amien Rais tentang Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Nasution, Bahder Johan, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandar Maju, Bandung. Nonet, Philipe dan Philip Selznick, 2013, Hukum Responsif (Diterjemahkan Raisul Muttaqien dari Law and Society in Transition: Toward Responsive Law), Cet. VII, Nusa Media, Bandung. Palguna, I Dewa Gede, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta. Poerwadarminta, WJS, 2003, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Cet. XV, Jakarta. Rahardjo, Dawan, 1996, Sistem Pemilu: Demokratisasi dan Pembangunan, PT. Pustaka Cides Indonesia, Jakarta. Ranadireksa, Hendarmin, 2002, Visi Politik Amandemen UUD 45 Menuju Konstitusi yang Berkedaulatan Rakyat, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta. Raz, Joseph, 1980, The Concept of a Legal System: An Introduction to The Theory of Legal System, The Calendon Press, London. Rawls, John, 2011, Teori Keadilan (A Theory of Justice), Penerjemah: Uzair Fausan, dkk., Pustaka Pelajar, Cet. II, Yogyakarta. Roestandi, Achmad, 2004, “Mengapa Saya Mengajukan Dissenting Opinion” dalam Refly Harun, dkk (Ed.), Menjaga Denyut Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta. Rozak, Abdul, dkk (Ed.), 2005, Demokrasi Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Prenada Media, Cet. III, Jakarta.
134
Rukmini, Mien, 2003, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Poersamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung. Sahdan, Gregorius, 2004, Jalan Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto, Pondok Edukasi, Jakarta. Sastrapratedja, M, 2002, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Th. Aquinas, Kanisius,Yogyakarta. Satjipta Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta. Siahaan, Maruarar, 2005, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta. Sibuea, Hotma P., 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & AsasAsas Pemerintahan yang Baik, Erlangga, Jakarta. Sochmawardiah, Hesti Armiwulan, 2013, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum Ham: Studi Tentang Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa, Genta Publishing, Yogyakarta. Sosronegoro, Hergunanto, 1994, Beberapa Ideologi dan Implemetasinya dalam Kehidupan Berbangsa, Liberty, Yogyakarta. Strong, C.F., 2004, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia (Penerjemah: Derta Sri Widowatie, dkk. dari C.F. Strong, 1966, Modern Poliitical Constittution: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Existing Form, The English Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, London), Nusamedia, Bandung. Subandi Al Narsudi, 2003, Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma Reformasi (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada, Cet. III., Jakarta. Sugiyono, 2013, Cara Mudah Menyusun Skripsi, Bandung, Alfabeta, Hlm. 55-56.
Tesis dan Disertasi,
Suharizal, Firdaus Arifin, 2007, Refleksi Reformasi Konstitusi 1998-2002, Citra Aditya Bakti, Bandung. Sujatmoko, Andrey, 2015, Hukum RajaGrafindo Persada, Jakarta,
HAM dan
Hukum
Humaniter.
135
Sumarsono, E, 1999, Etika Profesi Hukum: Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanisius, Cet. II., Yogyakarta. Sumantri M, Sri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Nagara Indonesia, Alumni, Bandung. Suseso, Frans Magnis, 1989, Paradigma Hak Asasi Manusia, Kanisius, Jakarta. ----------------,1994, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta. Sutiyoso, Bambang, 2009, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, UII Press, Yogyakarta. Tutik, Titik Triwulan, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Prenada Media, Jakarta. Ubaedillah, A dan Abdul Rozak, 2006, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ujan, Andre Ata, 2001, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filafat Politik John Rawls, Kanisius, Yogyakarta. Wahidin, Samsul, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakata. ----------------, 2011, Konseptualisasi dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Wignyosoebroto, Soetandyo, 2002, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsham dan Huma, Jakarta. Wolff, Jonathan, 2013, Pengantar Filsafat Politik (An Introduction to Political Philosophy), Penerjemah: M. Nur Prabowo Setyabudi. Nusa Media, Bandung.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
136
b. Ketetapan MPRS-RI Nomor XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/ Marxisme-Lenninisme. c. Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia. d. Ketetapan MPR-RI Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
e. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. f. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
g. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. h. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. i. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
j. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. k. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang-Undang.
l. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayan Publik.
137
m. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
n. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
o. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
p. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilhan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang. q. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004. r. Universal Declaration of Human Rights (UDHR). s. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
t. International Covenant on Social, Economic and Cultural.
C. JURNAL, SKRIPSI, TESIS, DAN DISERTASI a. Atmadja, I Dewa Gede, 1993, “Manfaat Filsafat Hukum dalam Studi Ilmu Hukum”, dalam Kerta Patrika, No. 62-63 Tahun XIX Maret-Juni. Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
138
b. Diantha, I Made Pasek, 2000, “Batas Kebebasan Kekuasaan Kehakiman” (Disertasi), Universitas Airlangga, Program Pascasarjana, Surabaya. c. Eko Prasojo, 2006, “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum dan Politik” dalam Jentera Jurnal Hukum. Edisi 11, Tahun III, Januari-Maret, Jakarta. d. Kasim, Ifdhal, 2004, “Analisis Putusan MK dalam Perspektif Rekonsiliasi Nasional”; dalam Jurnal Konstitusi, Vol.1 No 1, Juli, Jakarta. e. Lubis, Todung Mulya, 2004, “Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 011017/PUU-I/2003 dari Perspekif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional” dalam Jurnal Konstitusi Vol.1, No 1, Juli, Jakarta. f. Lukman, Marcus, 1997, “Eksistensi Peraturan Kebijakan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional” (Disertasi), Universitas Padjajaran, Bandung. g. Manan, Bagir, 1994, “Pelaksanaan Demokrasi Pancasila dalam Pembangunan Jangka Panjang II” (Makalah) dalam Lokakarya Pancasila, Universitas Padjadjaran, Bandung. h. Shidarta, 2006, “Filosofi Penalaran Hukum Hakim Konstitusi dalam Masa Transisi Konstitusional” dalam Jentera, Edisi 11, Tahun III, Januari-Maret, Jakarta. i. Termoshuizen-Art, Marhanne, 2004, “The Concept of Rule of Law” dalam Jentera, Edisi 3 Tahun II, November, Hlm. 83-92, Pusat Studi Hukum dan Kebjakan (PSHK), Jakarta. j. Putra, Gugun Ridho, 2012, “Hak Mantan Narapidana untuk Dipilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah” (Skripsi), Fakultas Hukum, Program Studi Kekhususan Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, Depok.
139
k. Putra, Nugraha Widya, 2012, “Pengaturan Hak Pilih TNI dan Polri dalam
Siostem Demokrasi di Indonesia (Studi Perbandingan Pemilu 1955, Orde Baru, dan Era Reformasi)” (Skripsi), Fakultas Hukum, Univeersitas Islam Indonesia, Yogyakarta.